You are on page 1of 32

Guru NgeBlog

Januari 23, 2009

Kultur jaringan
Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 8:00 am

Tags: Bioteknologi, Kultur jaringan, Perbanyakan Tanaman

Kultur jaringan/Kultur In Vitro/Tissue Culture adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel,

protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang

mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada kondisi aseptik,sehingga bagian-bagian

tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali.

Teori Dasar Kultur Jaringan

a. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel

zigot karena berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).

b. Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik

seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman

lengkap.

(lagi…)

Komentar (21)

Januari 12, 2009

Bioteknologi Dalam Kedokteran Dan Produksi Obat


Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 8:25 am

Tags: Antibiotik, Antibodi Monoklonal, Bioteknologi, Interferon, kedokteran, Produksi Obat,

Terapi Gen, Vaksin

vaksin

Bioteknologi Dalam Kedokteran Dan Produksi Obat

1. Antibodi Monoklonal

adalah antibodi sejenis yang diproduksi oleh sel plasma klon sel-sel b sejenis. Antibodi ini

dibuat oleh sel-sel hibridoma (hasil fusi 2 sel berbeda; penghasil sel b Limpa dan sel

mieloma) yang dikultur.

Bertindak sebagai antigen yang akan menghasilkan anti bodi adalah limpa. Fungsi antara lain

diagnosis penyakit dan kehamilan

2.Terapi Gen

adalah pengobatan penyakit atau kelainan genetik dengan menyisipkan gen normal

3.Antibiotik

Dipelopori oleh Alexander Fleming dengan penemuan penisilin dari Penicillium notatum.

- Penicillium chrysogenum Þ memperbaiki penisilin yang sudah ada.

…………………………………Dilakukan dengan mutasi secara …………………………………iradiasi ultra violet

dan sinar X.

- Cephalospurium ………………Þ penisilin N.

- Cephalosporium ………………Þ sefalospurin C.

- Streptomyces …………………Þ streptomisin, untuk pengobatan TBC


4.Interferon

Adalah antibodi terhadap virus. Secara alami hanya dibuat oleh tubuh manusia. Proses

pembentukan di dalam, tubuh memerlukan waktu cukup lama (dibanding kecepatan replikasi

virus), karena itu dilakukan rekayasa genetika.

5.Vaksin

Contoh: Vaksin Hepatitis B dan malaria.

Secara konvensional pelemahan kuman dilakukan dengan pemanasan atau pemberian bahan

kimia.

Dengan bioteknologi dilakukan fusi atau transplantasi gen.

Komentar (3)

Januari 9, 2009

Perkembangan bioteknologi dan Penggunaannya di industri


serta pangan
Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 4:26 am

Tags: bioteknologi dalam industri, Perkembangan bioteknologi, Produksi Pangan

tempe

Perkembangan bioteknologi :

1.Era bioteknologi generasi pertama Þ bioteknologi sederhana.

Penggunaan mikroba masih secara tradisional, dalam produksi makanan dan tanaman serta

pengawetan makanan.

Contoh:

pembuatan tempe, tape, cuka, dan lain-lain.

(lagi…)

Komentar (6)
November 4, 2008

Mengenal Bioteknologi
Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 7:02 am

Pengertian Bioteknologi

Adalah penggunaan makhluk hidup dan hasil-hasilnya untuk menyediakan barang dan jasa.

Dalam bioteknologi meliputi penggunaan bakteri, jamur serta kultur-kultur tumbuhan dan

hewan ( termasuk tekhnik hidroponik dan kultur jaringan ).

Penerapan Bioteknologi

Beberapa jenis mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk produksi makanan dan minuman

serta keperluan lainnya , contoh :

Bahan Makanan—->Hasil—>Mikroorganisme yang dipakai

Beras - Sacharomyces (ragi) - Minuman berakohol(anggur, bir

Kedelai - Rhizopus – tempe

kedelai - Aspergilus wenti - oncom

Kacang tanah - Neurospora crassa - oncom

Air kelapa – Acetobacter xylinum - Nata de coco

Bioteknologi Tradisional

Salah satu penerapan bioteknologi secara tradisional adalah dalam pembuatan tempe dari

kacang kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus. Secara tradisional tempe dibuat dengan

tahapan sebagai berikut :

1. Perendaman

Kacang kedelai direndam dalam air mengalir ± 8 jam agar kulitnya mudah lepas

2. Pelepasan Kulit

Tujuannya agar ragi dapat tumbuh dengan baik karena mendapat makanan yang cukup.

3. Perebusan

Tujuannya agar kedelai lebih mudah dicerna, mempermudah pertumbuhan ragi,

menghilangkan bau dan menambah cita rasa.

4. Pengeringan

Setelah direbus, kedelai didinginkan dan ditiriskan sampai permukaan menjadi kering agar

terhindar dari pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki.

5. Pemberian Ragi

kedelai ditaburi dengan ragi kemudian diaduk-aduk sampai benar-benar rata.


6. Pembungkusan

Campuran kedelai dan ragi dibungkus dengan daun pisang atau plastic yang berlobang-

lobang dalam bentuk dan ukuran tertentu sesuai selera masing-masing.

7. Pemeraman

bungkusan-bungkusan tersebut kemudian disimpan pada suhu 30oC selama 24 jam

Dampak Hasil Bioteknologi

Selain membawa dampak positif bagi ketersediaan makanan, namun dalam proses maupun

hasil bioteknologi membawa dampak negative antara lain :

● Limbah dari kulit kedelai dan air buangan rendaman kedelai dapat mengakibatkan

pencemaran air

● mabuk-mabukan, karena minum bir yang berlebihan

Komentar (1)

MATERI-4: INSEMINASI BUATAN

Oleh: Evi Puspita Sari, Esti Cahya Wirastri, Yusmeida Ciptami,


Susanna Puspitarini

Pengertian Dan Tujuan Inseminasi Buatan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang


sangat besar. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menggunakan rasa, karsa dan daya cipta yang
dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat dewasa ini
adalah teknologi reproduksi. Teknologi reproduksi adalah ilmu
reproduksi atau ilmu tentang perkembangbiakan yang
menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk
menghasilkan suatu produk (keturunan). Salah satu teknologi
reproduksi yang telah banyak dikembangkan adalah inseminasi
buatan. Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial
insemination yang berarti memasukkan cairan semen (plasma
semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria (spermatozoa) yang
diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau
penampungan semen.

Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi tentang inseminasi


buatan adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam
saluran kelamin wanita dengan menggunakan alat-alat buatan
manusia dan bukan secara alami. Namun perkembangan lebih lanjut
dari inseminasi buatan tidak hanya mencangkup memasukkan
semen ke dalam saluran reproduksi wanita, tetapi juga menyangkut
seleksi dan pemeliharaan sperma, penampungan, penilaian,
pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan
pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan
penentuan hasil inseminasi pada manusia dan hewan. Adapun
tujuan dari inseminasi buatan adalah sebagai suatu cara untuk
mendapatkan keturunan bagi pasutri yang belum mendapat
keturunan.

Mengapa inseminasi buatan dilakukan?

Hadirnya seorang anak merupakan tanda dari cinta kasih pasangan


suami istri, tetapi tidak semua pasangan dapat melakukan proses
reproduksi secara normal. Sebagian kecil diantaranya memiliki
berbagai kendala yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki
keturunan.

Inseminasi buatan pertama kali dilakukan pada manusia dengan


menggunakan sperma dari suami telah dilakukan secara intravagina
pada tahun 1700 di Inggris. Sophia Kleegman dari Amerika Serikat
adalah salah satu perintis yang menggunakan inseminasi buatan
dengan sperma suami ataupun sperma donor untuk kasus
infertilitas. Pada wanita kendala ini dapat berupa hipofungsi
ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar
progesterone. Sedangkan pada pria berupa abnormalitas
spermatozoa kriptorkhid[1], azoospermia [2]dan rendahnya kadar
testosteron[3]. Selain untuk memperoleh keturunan, faktor
kesehatan juga merupakan fokus utama penerapan teknologi
reproduksi. Sebagai contoh kasus:

Di Colorado Amerika Serikat pasangan Jack dan Lisa melakukan


program inseminasi, bukan semata-mata untuk mendapatkan
keturunan tetapi karena memerlukan donor bagi putrinya Molly
yang berusia 6 tahun yang menderita penyakit fanconi anemia,
yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh tidak berfungsinya
sumsum tulang belakang sebagai penghasil darah. Jika dibiarkan
akan menyebabkan penyakit leukemia. Satu-satunya pengobatan
adalah melakukan pencangkokan sumsum tulang dari saudara
sekandung, tetapi masalahnya Molly anak tunggal. Yang dimaksud
inseminasi disini diterapkan untuk mendapatkan anak yang bebas
dari penyakit fanconi anemia agar dapat diambil darahnya sehingga
diharapkan akan dapat merangsang sumsum tulang belakang Molly
untuk memproduksi darah.

Teknik Inseminasi

1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination)

Teknik IUI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher


rahim hingga ke lubang uterine (rahim).

2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination)

Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI
dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal
(rongga peritoneum).

Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat yang


disebut bivalve speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk seperti
selang dan mempunyai 2 cabang, dimana salah satu ujungnya
sebagai tempat untuk memasukkan/menyalurkan sperma dan ujung
yang lain dimasukkan ke dalam saluran leher rahim untuk teknik
IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan ke dalam peritoneal.
Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak
0,5–2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang
mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi
terlentang selama 10–15 menit.

Sumber Sperma

Ada 2 jenis sumber sperma yaitu:

1. Dari sperma suami

Inseminasi yang menggunakan air mani suami hanya boleh


dilakukan jika jumlah spermanya rendah atau suami mengidap
suatu penyakit. Tingkat keberhasilan AIH hanya berkisar 10-20 %.
Sebab-sebab utama kegagalan AIH adalah jumlah sperma suami
kurang banyak atau bentuk dan pergerakannya tidak normal.

2. Sperma penderma

Inseminasi ini dilakukan jika suami tidak bisa memproduksi sperma


atau azoospermia atau pihak suami mengidap penyakit kongenital[4]
yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Penderma sperma
harus melakukan tes kesehatan terlebih dahulu seperti tipe darah,
golongan darah, latar belakang status physikologi, tes IQ, penyakit
keturunan, dan bebas dari infeksi penyakit menular. Tingkat
keberhasilan Inseminasi AID adalah 60-70 %.
Penyiapan sperma

Sperma dikumpulkan dengan cara marturbasi, kemudian


dimasukkan ke dalam wadah steril setelah 2-4 hari tidak
melakukan hubungan seksual. Setelah dicairkan dan dilakukan
analisa awal sperma, teknik “Swim-up” standar atau “Gradient
Percoll” digunakan untuk persiapan penggunaan larutan garam
seimbang Earle atau Medi. Cult IVF medium, keduanya dilengkapi
dengan serum albumin manusia. Dalam teknik Swim-up, sampel
sperma disentrifugekan sebanyak 400 g selama 15 menit.
Supernatannya dibuang, pellet dipisahkan dalam 2,5 ml medium,
kemudian disentrifuge lagi. Sesudah memisahkan supernatannya,
dengan hati-hati pellet dilapisi dengan medium dan diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 37º C. Sesudah diinkubasi, lapisan media
yang berisi sperma motile dikumpulkan dengan hati-hati dan
digunakan untuk inseminasi.

Pada teknik Percoll, sperma dilapiskan pada Gradient Percoll yang


berisi media Medi. Cult dan disentrifugekan sebanyak 500 g selama
20 menit. 90 % dari pellet kemudian dipisahkan dalam 6 ml media
dan disentrifugekan lagi sebanyak 500 g selama 10 menit. Pellet
sperma kemudian dipisahkan dalam 0,5 atau 1 ml medium dan
digunakan untuk inseminasi.

Analisis Kualitas Sperma

Pemeriksaan Laboratorium Analisis Sperma dilakukan untuk


mengetahui kualitas sperma, sehingga bisa diperoleh kualitas
sperma yang benar-benar baik. Penetapan kualitas ekstern di
dasarkan pada hasil evaluasi sampel yang sama yang dievaluasi di
beberapa laboratorium, dengan tahapan-tahapan: Pengambilan
sampel, Penilaian Makroskopik, Penialain Mikroskopis, Uji Biokimia,
Uji Imunologi, Uji mikrobiologi, Otomatisasi, Prosedur ART, Simpan
Beku Sperma.

Resiko Injeksi Sperma

Dalam pembuahan normal, antara 50.000-100.000 sel sperma,


berlomba membuahi 1 sel telur. Dalam pembuahan normal, berlaku
teori seleksi alamiah dari Charles Darwin, dimana sel yang paling
kuat dan sehat adalah yang menang. Sementara dalam inseminasi
buatan, sel sperma pemenang dipilih oleh dokter atau petugas
labolatorium. Jadi bukan dengan sistem seleksi alamiah. Di bawah
mikroskop, para petugas labolatorium dapat memisahkan mana sel
sperma yang kelihatannya sehat dan tidak sehat. Akan tetapi,
kerusakan genetika umumnya tidak kelihatan dari luar. Dengan cara
itu, resiko kerusakan sel sperma yang secara genetik tidak sehat,
menjadi cukup besar.

Belakangan ini, selain faktor sel sperma yang secara genetik tidak
sehat, para ahli juga menduga prosedur inseminasi memainkan
peranan yang menentukan. Kesalahan pada saat injeksi sperma,
merupakan salah satu faktor kerusakan genetika. Secara alamiah,
sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom[5] berfungsi
sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses
pembuahan secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang
masuk ke dalam inti sel telur.

Sementara dalam proses inseminasi buatan, dengan injeksi


sperma, enzim akrosom yang ada di bagian kepala sperma juga ikut
masuk ke dalam sel telur. Selama enzim akrosom belum terurai,
maka pembuahan akan terhambat. Selain itu prosedur injeksi
sperma memiliko resiko melukai bagian dalam sel telur, yang
berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom.

Dampak Inseminasi Buatan

Keberhasilan inseminasi buatan tergantung tenaga ahli di


labolatorium, walaupun prosedurnya sudah benar, bayi dari hasil
inseminasi buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar
daripada dibandingkan pada bayi normal. Penyebab dari munculnya
cacat bawaan adalah kesalahan prosedur injeksi sperma ke dalam
sel telur. Hal ini bisa terjadi karena satu sel sperma yang dipilih
untuk digunakan pada inseminasi buatan belum tentu sehat, dengan
cara ini resiko mendapatkan sel sperma yang secara genetik tidak
sehat menjadi cukup besar. Cacat bawaan yang paling sering
muncul antara lain bibir sumbing, down sindrom, terbukanya kanal
tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas.

Seperti diketahui kemampuan berpikir dan bernalar membuat


manusia menemukan berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan itu
kemudian digunakan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-
besarnya. Akan tetapi, sering pula teknologi yang kita hasilkan itu
memberikan efek samping yang memberikan dampak negatif. Oleh
sebab itu ada beberapa orang yang pro dan kontra terhadap
teknologi tersebut. Dari pendapat yang pro dan kontra,
memunculkan masalah etis, diantaranya:

A. Bagaimana Inseminasi buatan dapat dibenarkan?

Inseminasi buatan dapat dibenarkan atau diijinkan bila dilakukan


dengan alasan kesehatan dan pengobatan atau untuk meningkatkan
nilai genetik, sehingga menghasilkan manusia yang lebih
berkualitas. Dan yang lebih penting dilakukan oleh pasangan yang
sah. Hal ini di kemukakan oleh sebagian pakar agama baik dari
Islam, Kristen maupun Yahudi, karena dapat membantu pasangan
suami istri yang tidak bisa memperoleh keturunan, jika kedua belah
pihak setuju untuk melakukan inseminasi. Tetapi ada juga yang
mempersoalkan tentang inseminasi buatan ini, bahwasanya anak
yang diperoleh dengan cara inseminasi sebenarnya bukanlah anak
dari dari suami istri itu sendiri, melainkan dari orang lain yang
identitasnya biasanya disembunyikan. Karena itu juga muncul
problem hukum tentang ayah yang benar dari anak tersebut dan
problem physikologis dalam diri anak di kemudian hari bila ingin
tahu tentang ayahnya yang sebenarnya. Selain itu persoalan
tentang bagaimana cara mendapatkan sperma, apakah boleh
digunakan masturbasi? Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
inseminasi buatan, ternyata juga menimbulkan masalah karena
terlalu mahal, sekitar 11 juta. Apakah tidak lebih baik bila biaya
tersebut digunakan untuk didermakan kepada panti asuhan sebelum
mereka mengangkat seorang anak dari panti asuhan tersebut?

B. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan?

Segi Agama

Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan tidak
boleh menerima anak yang dilahirkan sebagai anak yang sah,
apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena nantinya akan
mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah. Bolehkah
“ayah” yaitu suami yang memiliki gangguan reproduksi dapat
diterima sebagai walinya? Selain masalah agama juga muncul soal
hukum dalam pembagian harat. Bolehkah anak yang dilahirkan AID
mewarisi harta “ayah” juga dalam hal lain-lain yang berkaitan
dengan pewarisan. Di negara barat, yang mana inseminasi benih
penderma dilakukan dengan giatnya, mereka atasi masalah
Undang-Undang dengan menjalani proses “adopsi” secara sah.
Tetapi kedudukan di negara Indonesia masih belum jelas.

Alasan lain dari sekelompok agamawan menolak teknologi


reproduksi ini karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut
sama artinya bertentangan dengan ajaran Tuhan yang merupakan
Sang Pencipta. Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja
melakukan campur tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal
perkembangan embrio untuk meningkatkan kesehatan atau untuk
meningkatkan ruang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat
Allah adalah Sang pemberi hidup.

Segi Sosial

Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat,


terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma
atau sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya
status anak menjadi tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari
mungkin saja terjadi perkawinan antar keluarga dekat tanpa di
sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau dengan ibu atau
bisa saja antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir
generasi cacat akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang
janda yang ditinggal mati suaminya, dan dia ingin mempunyai anak
dari sperma beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma
yang digunakan berasal dari suaminya sendiri sehingga tidak
menimbulkan masalah sosial, karena status anak yang dilahirkan
merupakan anak kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang
wanita ingin mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa
menikah, dengan alasan ingin mempunyai keturunan dari seseorang
yang diidolakannya seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut
akan menimbulkan sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh
sama halnya dari sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan
persoalan dalam masyarakat seperti status anak yang tidak jelas.
Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu
sendiri dari masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak
tanpa menikah dan belum bersuami.

Segi Hukum

Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar hukum. Contoh


kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia
menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai
pendonor sperma kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai.
Dan diberi sanksi untuk memberi tunjangan terhadap 3 orang anak
hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta perbulan. Dalam kasus
ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis timbul dilihat dari
sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya kepada
pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan
tersebut untuk mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul
dari pasangan lesbian yang bercerai, karena telah menuntut
pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang mengaku
sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3
anak hasil inseminasi spermanya.

Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan nilai


etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam
dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai
agen moral dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan
arah perkembangan bioteknologi serta perkembangannya secara
teknis, sehingga tujuan yang menyimpang dan merugikan bagi
kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting perlu
diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan
penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif
terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan
bioteknologi.

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang unik. Ia tahu bahwa ia


tahu dan ia tahu bahwa ia tidak tahu. Ia mengenal dunia
sekelilingnya dan lebih dari itu ia mengenal dirinya sendiri.
Manusia memiliki akal budi, rasa, karsa, dan daya cipta
yang digunakan untuk memahami eksistensinya, dari mana
sesungguhnya ia berasal, dimana berada dan akan kemana
perginya. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul, akan
tetapi pertanyaan itu belum pernah berhasil dijawab secara
tuntas. Manusia tetap saja diliputi ketidaktahuan.
Demikianlah sesungguhnya manusia, siapa saja, eksis
dalam suasana yang diliputi dengan pertanyaan–
pertanyaan. Manusia eksis di dalam dan pada dunia
filsafat dan filsafat hidup subur di dalam aktualisasi
manusia.
Berdasarkan rasa, karsa dan daya cipta yang dimilikinya
manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Namun, perkembangan teknologi yang luar biasa
menyebabkan manusia “lupa diri”. Manusia menjadi individual,
egoistik dan eksploitatif, baik terhadap diri sendiri, sesamanya,
masyarakatnya, alam lingkungannya, bahkan terhadap Tuhan
Sang Penciptanya sendiri. Karena itulah filsafat ilmu
pengetahuan dihadirkan ditengah-tengah keaneka ragaman
IPTEK untuk meluruskan jalan dan menepatkan fungsinya bagi
hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.

Salah satu bidang IPTEK yang berkembang pesat dewasa


ini adalah teknologi reproduksi. Cabang ilmu ini mengalami
kemajuan pesat dan secara dinamis melahirkan paradigma baru
dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejarah telah membuktikan,
teknologi reproduksi telah mengubah wajah peradaban, yakni
dimulai dari diterapkannya inseminasi buatan, super ovulasi
sampai aplikasi teknik bayi tabung, bahkan kloning pada
manusia sudah mulai dirambah.

Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana cabang ilmu


teknologi reproduksi dapat mengubah tatanan sosial masyarakat
ditinjau dari fisafat ilmu pengetahuan. Secara ontologi kajian ini
akan membahas apa dan bagaimana teknologi reproduksi
manusia. Selanjutnya secara epistemologi akan dibahas
tentang metode atau proses yang digunakan dalam
pengembangan bioteknologi reproduksi manusia yang bertumpu
pada interdisipliner ilmu. Dan yang terakhir tinjauan aksiologi,
yaitu manfaat bioteknologi reproduksi bagi kesejahteraan dan
kebahagian seluruh umat manusia.

TINJAUAN ONTOLOGI TEKNOLOGI


REPRODUKSI

Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yakni ta onta


dan logi. Ta onta berarti berada dan logi berarti ilmu
pengetahuan atau ajaran, sehingga ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mengkaji tentang keberadaan suatu obyek.
Dalam tulisan ini teknologi reproduksi manusia ditempatkan
sebagai objek yang akan dikaji.

Pengertian Teknologi Reproduksi


Teknologi reproduksi adalah ilmu reproduksi atau ilmu
tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta
prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu produk
(keturunan). Teknologi reproduksi yang telah banyak
dikembangkan meliputi inseminasi buatan, perlakuan hormonal,
donor sel telur dan sel sperma, kultur telur dan embrio,
pembekuan sperma dan embrio, GIFT (gamet intrafallopian
transfer), ZIFT (zygote intrafallopian transfer), IVF (in vitro
fertilization), partenogenesis dan kloning. Dalam tulisan ini
teknologi reproduksi yang akan dikaji adalah teknik in vitro
fertilisasi dan kloning.
Produk Teknologi Reproduksi
Bayi tabung merupakan salah satu produk teknologi
reproduksi yang dihasilkan baik melalui teknik fertilisasi in vitro
maupun kloning. Fertilisasi in vitro adalah proses pembuahan
yang dilakukan diluar tubuh manusia (di dalam cawan petri),
sedangkan teknik kloning adalah produksi sejumlah individu
yang secara genetik identik melalui proses seksual apabila
melalui fertilisasi dan aseksual apabila menggunakan sel
somatis. Baik pada fertilisasi in vitro maupun kloning, embrio
yang dihasilkan “dititipkan“ kembali kembali ke dalam rahim
seorang wanita, baik yang ada hubungan darah maupun yang
tidak. Melalui teknologi in vitro, analisis kromosom dari embrio
yang memiliki resiko kelainan genetik dapat dilakukan sebelum
dikembalikan kedalam rahim. Louis Brown adalah bayi tabung
pertama yang dilahirkan pada tahun 1978, merupakan kreasi
dari Edward and Steptoe (Dawson, 1993; Gordon, 1994).

Pada Kongres Fertilisasi In Vitro dan Genetika Reproduksi


Manusia se Dunia Ke 11 di Sydney, tanggal 9–14 Mei 1999, Kwa
Yung Cha dkk, mengungkapkan keberhasilan teknik maturasi in
vitro pada 33 wanita fertil yang mengalami kelainan PCO
(polycystic ovarian syndrome), 20 diantaranya berhasil
melahirkan bayi (Kompas, 6 Juni 1999). Di Indonesia, meskipun
program bayi tabung dimulai sejak tahun 1988 di RS Harapan
Kita, Jakarta, namun baru pada tahun 1997 RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta berhasil mengembangkan program ini hingga
melahirkan tiga bayi kembar (Kompas, 3 Maret 2001). Di
Amerika Serikat, Adam adalah bayi tabung yang khusus
diprogram untuk menyelamatkan kakaknya dan berhasil.

TINJAUAN EPISTEMOLOGI TEKNOLOGI


REPRODUKSI

Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti


“pengetahuan” dan logos yang berarti “teori”. Jadi
epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan.
Dalam ilmu filsafat, epistemologi dikategorikan sebagai
cabang ilmu yang mempelajari asal mula pengetahuan,
struktur, metode dan validitas pengetahuan (Nasoetion,
1999; Keraf dan Dua, 2001; Thoyibi, 1999; Mandey, 2000).
Dalam tulisan ini dasar pengembangan teknologi
reproduksi dan fertilisasi in vitro yang merupakan metode
utama untuk menghasilkan bayi tabung diulas sebagai
tinjauan epistemologi.

Dasar Pengembangan Teknologi Reproduksi


Reproduksi pada manusia diawali dengan pertemuan
antara sel sperma dan sel telur di dalam organ reproduksi (tuba
fallopi) seorang wanita. Penyatuan ini menghasilkan zigot yang
akan berkembang menjadi embrio dan selanjutnya berkembang
menjadi janin. Setelah kurang lebih 36 minggu berkembang
dalam rahim ibu lahirlah seorang bayi.

Tidak semua pasangan dapat melakukan proses


reproduksi secara normal. Sebagian kecil diantaranya
memiliki berbagai kendala yang tidak memungkinkan
mereka memiliki keturunan. Pada wanita, kendala ini dapat
berupa sistik ovari, hipofungsi ovarium, gangguan pada
saluran reproduksi dan rendahnya kadar hormon
progesteron. Sedangkan pada pria, berupa abnormalitas
spermatozoa, kriptorkhid, azoospermia, necrospermia dan
rendahnya kadar testosteron. Kendala ini merupakan
tantangan bagi para ahli yang berkecimpung dalam bidang
medis khususnya reproduksi. Mereka terus memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat membantu
pasangan ini keluar dari kesulitan, dengan dasar Ilmu
Reproduksi dikembangkanlah teknik fertilisasi in vitro dan
kloning.

Prosedur Fertilisasi In vitro


Fertilisasi in vitro dilakukan dengan mengikuti
beberapa tahap pendahuluan, yakni sel sperma dan sel
telur dikoleksi dari pasangan yang ingin mengikuti program
bayi tabung. Sel sperma dan sel telur dievaluasi
kualitasnya dan hanya sel sperma dan sel telur yang
berkualitas digunakan untuk fertilisasi. Fertilisasi dilakukan
di dalam cawan petri yang mengandung media sesuai
dengan kondisi in vivo, kemudian disimpan dalam
inkubator sampai embrio berkembang. Embrio yang
berkembang dengan kualitas excellent dipilih untuk
ditransfer ke dalam rahim donor (mother hoster).
Selanjutnya embrio dipelihara dalam rahim donor sampai
dilahirkan.
Dalam perkembangan teknik ini, sel sperma atau sel
telur tidak hanya diperoleh dari pasangan yang menikah
tetapi juga dapat diperoleh dari bank sperma atau
pendonor sperma/sel telur. Disamping itu, embrio yang
dihasilkan tidak hanya ditransfer kembali ke rahim ibunya
tetapi dapat juga kerahim wanita lain. Contoh kasus
seorang wanita post menopausal berusia 59 tahun
berhasil melahirkan anak kembar pada tahun 1993 (Squier,
1994). Ilustrasi metode fertilisasi in vitro ditunjukkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Ilustrasi fertilisasi in vitro

Prosedur Kloning
Kloning adalah upaya untuk memproduksi sejumlah
individu yang secara genetik identik. Metode ini dapat dilakukan
melalui proses sexual dengan fertilisasi in vitro dan aseksual
dengan menggunakan sel somatis sebagai sumber gen
(Gambar2). Pada kloning seksual, langkah awal yang dilakukan
adalah fertilisasi in vitro. Setelah embrio terbentuk dan
berkembang mencapai 4 sampai 8 sel maka dilakukan splitting
(pemotongan dengan teknik mikromanipulasi) menjadi dua atau
empat bagian. Bagian-bagian embrio ini dapat ditumbuhkan
kembali dalam inkubator hingga berkembang menjadi embrio
normal yang memiliki genetik sama. Setelah mencapai fase
blastosis, embrio tersebut ditransfer kembali ke dalam rahim ibu
sampai umur 9 bulan. Berbeda dengan kloning seksual, pada
kloning aseksual, fertilisasi tidak dilakukan menggunakan
sperma, melainkan hanya sebuah sel telur terfertilisasi semu
yang dikeluarkan pronukleusnya dan sel somatis. Karenanya,
bila pada kloning seksual, genetik anak berasal dari kedua orang
tuanya, maka pada kloning aseksual, genetik anak sama dengan
genetik penyumbang sel somatis.
TINJAUAN AKSIOLOGI TEKNOLOGI REPRODUKSI

Aksiologi adalah ilmu yang mempertanyakan nilai suatu


obyek yang akan dikaji. Karena itu dalam tulisan ini diuraikan
tentang manfaat dan kontroversi yang ditimbulkan oleh
penerapan teknologi reproduksi pada manusia.

Manfaat dan Kerugian Penerapan Teknologi Reproduksi


Manfaat teknologi reproduksi terutama dirasakan oleh
pasangan-pasangan infertil atau orang-orang yang memiliki
masalah kesehatan. Dapat dibayangkan bagaimana
kebahagiaan pasangan suami isteri yang sudah puluhan tahun
tidak dikaruniai anak dan oleh bantuan teknik bayi tabung,
mereka dapat memilikinya. Pasangan suami isteri Yamsun (34)
dan Ida Rahmawati (31) telah merasakan manfaatnya.
Pasangan Yansum dan Ida telah berhasil mendapatkan 3 bayi
hasil fertilisasi in vitro yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta. Mereka langsung mengucapkan syukur pada Tuhan
karena karunia ketiga bayi tabung tersebut dan ketiga anaknya
itu diberi nama Rahmat Dani Yamsun, Rahma Dana Yamsun dan
Rahma Dini Yamsun (Kompas, 3 Maret 2001).
Gambar 2. Ilustrasi Metode Kloning, (A Kloning seksual,
(B) Kloning aseksual.

Selain untuk memperoleh keturunan, alasan kesehatan


juga merupakan fokus utama penerapan teknologi reproduksi.
Sebagai contoh, pasangan Jack dan Lisa Nash melakukan
program bayi tabung dengan alasan kesehatan. Jack dan Lisa,
warga Englewood, Colorado, Amerika Serikat, dalam rubrik
kesehatan majalah Gatra 14 Oktober 2000 melaporkan bahwa
lewat program bayi tabung yang mereka lakukan lahirlah Adam.
Adam dengan sengaja diprogramkan untuk menolong kakaknya,
Molly (6 tahun) yang menderita penyakit fanconi anemia, suatu
penyakit yang disebabkan tidak berfungsinya sumsum tulang
belakang yang memproduksi darah. Bila dibiarkan, penyakit ini
akan menjurus pada leukemia atau kanker darah. Pada program
ini darah Adam disuntikkan ke tubuh Molly dan ternyata tidak
menimbulkan penolakan atau komplikasi. “Ini pengalaman yang
sangat monumental dalam hidup kami” ujar Lisa (Washington
Post dalam Gatra 14 Oktober 2000).

Tidak seperti pada fertilisasi in vitro, kloning pada manusia


baru akan dimulai, sehingga secara aktual manfaat dan
kerugiannya belum dirasakan. Namun, beberapa ahli
percaya bahwa kloning embrio dan DNA manusia dewasa
dapat memberikan beberapa keuntungan, yakni dapat
menolong: 1) wanita yang kurang subur. Bila dia hanya
dapat memproduksi 1 sel telur, maka dengan teknik
kloning embrio yang dihasilkan oleh satu sel telur tersebut
dapat diduplikasi, misalnya menjadi 8 embrio untuk
diimplantasikan. Dengan demikian, peluang untuk menjadi
hamil lebih besar. 2) Orang tua yang diketahui memiliki
kelainan genetik yang dapat diturunkan pada anaknya.
Dengan teknik kloning, telur terbuahi dapat diduplikasi dan
dievaluasi genetiknya. Hanya klon yang bebas dari
kelainan genetik yang diimplantasikan ke rahim ibunya.
Dan 3) Juga dikembangkan untuk menghasilkan individu
dengan bakat atau kelebihan tertentu. Misalnya, kloning
DNA dari keluarga yang memiliki kemampuan musikal
dilakukan untuk menghasilkan anak yang memiliki potensi
serupa.
Disamping manfaat yang diberikan oleh teknologi
ini,kerugian juga terjadi. Dengan kloning maka: 1)
Keragaman populasi akan hilang, akibatnya setiap orang
memiliki respon yang sama. Tentulah hidup ini akan
membosankan. 2) Bila manusia secara genetik sama
maka terdapat resiko besardaripatogen tunggal. Penyakit
yang fatal dapat memusnahkan semuanya. 3) Kloning
dianggap tidak etis, tidak manusiawi dan tidak bermoral.

Implikasi Penerapan Teknologi Reproduksi


Sejak kelahiran Louis Brown pada tahun 1978, perdebatan
mengenai boleh tidaknya in vitro fertilisasi dilakukan pada
manusia mulai hangat dibicarakan. Perdebatan ini terfokus pada
implikasi theologika, etika, legalitas dan sosial, baik menyangkut
prosedur maupun produk yang dihasilkan.

Dimensi theologika penerapan teknologi reproduksi di


tanggapi secara beragam. Sebagian kelompok agamawan
menolak fertilisasi in vitro pada manusia karena mereka
meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya
mempermainkan Tuhan yang merupakan Sang Pencipta. Juga
banyak kalangan menganggap bahwa pengklonan manusia
secara utuh tidak bisa dilakukan sebab ini dapat dianggap
sebagai “intervensi” karya Ilahi.

Sebaliknya, Sheikh Mohammad Hussein Fadlallah, seorang


pemandu spiritual muslim fundamentalis dari Lebanon
berpendapat, adalah salah jika menganggap kloning adalah
suatu intervensi karya Ilahi. Peneliti dianggapnya tidak
menciptakan sesuatu yang baru. Mereka hanya menemukan
suatu hukum yang baru bagi ormanisme, sama seperti ketika
mereka menemukan fertilisasi in vitro dan transplantasi organ
(http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm).

Professor Abdulaziz Sachedina dari Universitas Virginia


mengemukakan bahwa Allah adalah kreator terbaik. Manusia
dapat saja melakukan intervensi dalam pekerjaan alami,
termasuk pada awal perkembangan embrio untuk
meningkatkan kesehatan atau embrio splitting untuk
meningkatkan peluang terjadinya kehamilan, namun perlu
diingat, Allahlah Sang pemberi hidup (Sachedina, 2001).

Dimensi etika dari isu ini terutama terpusat pada


pertanyaan mengenai cara atau prosedur penerapan teknologi
reproduksi. Sebagian masyarakat menolak dengan alasan
moral. Penolakan ini timbul karena dalam program bayi tabung,
proses pembuahan dilakukan pada cawan petri sehingga hanya
embrio yang diperlukan dimasukkan kembali ke dalam rahim,
sisanya “dibuang”. Hak hidup embrio yang dibuang inilah yang
dipermasalahkan. Banyak kalangan memandang tindakan itu
sebagai pembunuhan.

Hubungan fundamental antar manusia, hubungan laki-laki


dan perempuan dan kasih sayang, dipertanyakan eksistensinya
bila melakukan fertilisasi in vitro. Hal ini menjadi lebih buruk
bila sel telur dibuahi oleh sperma yang bukan dari suami yang
sah, misalnya dari bank sperma, atau sebaliknya dari pendonor
telur. Apabila embrio berasal dari penyatuan benih pasangan
suami istri yang sah, namun istri tidak bisa memelihara embrio
dan terpaksa dititipkan ke mother hoster maka dari sudut
hukum islam keadaan demikian tidak diperbolehkan karena ada
kemungkinan si mother hoster menerima sperma dari suaminya
sendiri, dengan demikian jaminan nasabnya (keutuhan
keturunannya) diragukan (Hadipermono, 1995).

Legalitas penerapan teknologi ini didasarkan pada


berbagai pendapat yang pro dan kontra. Pertentangan ini
mengundang perhatian pemerintah Inggris untuk menengahi
perbedaan pandangan dari kelompok yang pro dan kontra.
Maka disusunlah undang-undang yang mengizinkan penelitian
pada embrio manusia yaitu dapat dilakukan hanya sampai umur
14 hari sesudah fertilisasi. Menurut Johnson dan Everit, 1985
umur embrio yang mampu implantasi didalam rahim adalah
tahap blastosis atau pada umur 14 – 18 hari setelah fertilisasi.
Karena itu pembuangan embrio berumur kurang dari 12 hari
dipandang tidak mengurangi hak hidup calon anak.

Disamping itu, penerapan teknologi ini diizinkan bila


dilakukan dengan alasan kesehatan dan pengobatan, atau untuk
meningkatkan nilai genetik sehingga menghasilkan manusia
yang lebih berkualitas. Dan yang lebih penting lagidilakukan
oleh pasangan yang sah. Hal ini dikemukakan oleh sebagian
pakar agama, baik dari Islam, Kristen, maupun Yahudi
(http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm). Sebagiannya
lagi mengemukakan bahwa tidak ada alasan kloning pada
manusia dilakukan, mereka menganggap perlakuan itu dari
segala sisi adalah tidak etis, tidak manusiawi dan tidak bermoral
(http://www.islamonline.net/iol-english/dowalia/techng-15-
10/techng1b.asp).

Disamping berbagai manfaat, teknologi ini juga


menimbulkan berbagai dampak sosial dalam masyarakat.
Masalah seringkali muncul setelah bayi produk teknologi ini
lahir. Posisi si anak menjadi simpang siur dalam tatanan
kemasyarakatan, terutama bila sperma yang digunakan berasal
dari bank sperma atau sel telur yang digunakan berasal dari
pendonor. Akibatnya silsilah anak tersebut menjadi tidak jelas.
Akibatnya, dikemudian hari dapat saja terjadi perkawinan antar
kelaurga dekat tanpa disengaja, misalnya antara anak dengan
bapak atau dengan ibu atau antar saudara. Maka besar
kemungkinan akan lahir generasi-generasi cacat akibat
inbreeding.

Masalah lain yang ditimbulkan oleh teknologi ini adalah


perebutan bayi. Mungkin kita masih mengingat kasus yang
menimpa pasangan suami isteri yang menitipkan
embrionya dalam rahim mother hoster. Setelah sekitar 36
minggu mengandung dan akhirnya melahirkan bayi titipan
tersebut, si mother hoster mengklaim bayi tersebut
miliknya, dan tidak bersedia mengembalikannya pada ayah
dan ibu biologisnya.
Diperanakkan, Bukan Dibuat
Suatu Pandangan Katolik Mengenai
Teknologi Reproduksi
oleh: John M. Haas, Ph.D., S.T.L. *

“Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan
tunduk pada `quality control' dan dibinasakan apabila didapati `cacat'”

Infertilitas atau ketidaksuburan merupakan masalah yang semakin meningkat


di Amerika Serikat. Dan seiring dengan itu, sesuai gaya hidup Amerika,
terdapat pula peningkatan dalam “industri teknologi reproduksi” untuk
menawarkan jalan keluar.

Adalah sah-sah saja, malahan patut dipuji, berusaha menemukan jalan keluar
untuk mengatasi infertilitas. Masalah ketidaksuburan menyebabkan kesedihan
dan kepedihan mendalam bagi banyak pasangan yang menikah. Sebab anak-
anak adalah anugerah mengagumkan suatu perkawinan, adalah sungguh baik
berusaha mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi anak-anak
dikandung dan dilahirkan.

Kitab Suci penuh dengan kisah para perempuan yang menderita akibat
ketidaksuburan. Kepedihan hati yang mereka rasakan akibat tidak dapat
mempunyai seorang anak, tak dapat dihapuskan bahkan dengan kasih sayang
suami. Dalam Perjanjian Lama Elkana berkata kepada isterinya yang tak dapat
mengandung, “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak
mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu
dari pada sepuluh anak laki-laki?” Tentu saja Hana mencintai suaminya, tetapi
ia amat rindu melahirkan anak mereka. Kisah-kisah semacam itu dalam Kitab
Suci diceritakan guna menunjukkan kuasa Tuhan; sebagian besar berakhir
bahagia dengan mengandungnya para perempuan itu, bahkan dalam usia
mereka yang telah lanjut. Ada Sara, isteri Abraham dan ibunda Ishak; Hana,
isteri Elkana, yang menjadi ibunda Nabi Samuel; dan Elisabet, ibunda Yohanes
Pembaptis. Namun demikian, Kitab Suci juga mengatakan kepada kita bahwa
ada batas-batas terhadap cara-cara yang dapat diterima untuk mengandung
seorang anak. Ingat kisah tentang anak-anak gadis Lot yang tidak menikah,
yang berusaha membuat ayah mereka mabuk supaya mereka dapat
mengandung anak-anak darinya! Jelas, tidak semua cara dapat dipergunakan
untuk mengandung dan mendapatkan anak.

Pada masa kita, banyak teknik dan terapi telah dikembangkan untuk mengatasi
ketidaksuburan. Di Amerika Serikat telah muncul suatu “industri” dengan
sedikit atau bahkan tanpa ketentuan-ketentuan dari pemerintah atau dari
professional demi melindungi kepentingan laki-laki, perempuan maupun anak-
anak yang terlibat di dalamnya. Kepada para perempuan diberikan obat-obatan
fertilitas yang dapat menyebabkan mereka mengandung empat, lima atau
bahkan enam anak sekaligus, sehingga membahayakan kesehatan diri dan
kesehatan bayi-bayinya. Sebagian lainnya, menyediakan telur untuk dibuahi in
vitro (dalam sebuah cawan kaca) tanpa menyadari bahwa ini dapat
menghantar pada pemusnahan embrio-embrio atau embrio-embrio ini
dibekukan untuk keperluan eksperimen di kemudian hari.

Banyak cara yang sekarang dipergunakan untuk mengatasi ketidaksuburan


juga mengandung implikasi moral yang besar, dan pasangan suami isteri
hendaknya menyadari hal ini sebelum membuat keputusan untuk
menggunakannya. Tiap-tiap teknik hendaknya dipertimbangkan masak-masak
untuk mengetahui apakah teknik tersebut sungguh dapat diterima secara
moral, yaitu apakah teknik itu mengembangkan kebaikan dan kesejahteraan
manusia. Segala teknologi ini dengan suatu cara tertentu menyentuh hidup
manusia yang tak berdosa.

AJARAN GEREJA

Pada tahun 1987, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan suatu dokumen yang
dikenal sebagai Donum Vitae (“Anugerah Hidup”), yang membahas moralitas
dari banyak prosedur fertilitas modern. Dokumen ini tidak menghakimi
penggunaan teknologi untuk mengatasi ketidaksuburan sebagai salah.
Melainkan, di sana disimpulkan bahwa sebagian metode dapat diterima secara
moral, sementara yang lainnya - sebab melanggar martabat pribadi manusia
dan penetapan perkawinan - adalah amoral. Donum Vitae menegaskan kembali
kewajiban untuk melindungi segala hidup manusia apabila pasangan suami
isteri mempergunakan berbagai teknologi dalam upaya memperoleh anak.
Tanpa mempertanyakan motivasi dari mereka yang mempergunakan teknik-
teknik ini, Donum Vitae menunjukkan bahwa orang dapat mencelakai diri
sendiri dan yang lainnya juga bahkan sementara mereka berusaha untuk
melakukan apa yang baik, yaitu, mengatasi ketidaksuburan. Prinsip dasar
yang dipergunakan Gereja untuk mempertimbangkan moralitas dari berbagai
sarana untuk mengatasi ketidaksuburan cukup sederhana, bahkan meski
penerapannya terkadang sulit.
Donum Vitae mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi
menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar membuahkan
kehamilan, maka intervensi itu dapat diterima secara moral; tetapi, jika
intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk
membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral.

FERTILISASI IN VITRO

Suatu teknologi reproduksi yang oleh Gereja telah dengan jelas dan tegas
dinyatakan sebagai amoral adalah fertilisasi in vitro. Sayangnya, sebagian
besar umat Katolik kurang memahami ajaran Gereja, tidak tahu bahwa
fertilisasi in vitro adalah amoral, dan sebagian telah mempergunakannya
dalam upaya mereka untuk mendapatkan anak. Jika suatu pasangan tidak tahu
bahwa prosedur ini adalah amoral, maka mereka secara subyektif tidak
bersalah atas dosa. Anak-anak yang dikandung melalui prosedur ini adalah
anak-anak Allah dan dikasihi oleh orangtua mereka, seperti seharusnya. Sama
seperti semua anak, tanpa peduli bagaimana mereka dikandung dan
dilahirkan, haruslah dikasihi, disayangi dan diberi perhatian.

Mengapa mengandung seorang anak melalui fertilisasi in vitro adalah amoral,


mungkin sulit dipahami dan dimengerti sebab laki-laki dan perempuan yang
terlibat didalamnya biasanya terikat dalam perkawinan dan mereka sedang
berupaya untuk mengatasi suatu masalah “medis” (yakni infertilitas) dalam
perkawinan mereka. Namun demikian, prosedur ini sungguh melanggar
martabat manusia dan melanggar tindakan perkawinan, dan karenanya harus
dihindari. Tetapi, mengapakah tepatnya, fertilisasi in vitro ini amoral?

Fertilisasi in vitro membuahkan suatu kehidupan baru dalam sebuah cawan


petri. Anak-anak yang dibuahkan melalui fertilisasi in vitro terkadang lebih
dikenal sebagai “bayi tabung”. Beberapa telur diambil dari ovarium
perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan
matangnya banyak telur sekaligus. Mani diambil dari laki-laki, biasanya melalui
masturbasi. Telur dan sperma akhirnya disatukan dalam sebuah cawan kaca,
di mana pembuahan terjadi dan kehidupan baru dibiarkan berkembang selama
beberapa hari. Dalam kasus yang paling sederhana, embrio-embrio kemudian
ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa satu akan bertahan
hidup dan berkembang hingga saat persalinan.

Jelas, fertilisasi in vitro menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai


sarana terjadinya kehamilan, dan bukannya membantu tindakan kasih suami
isteri itu mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan
melalui suatu tindakan kasih antara suami dan isteri, melainkan melalui suatu
prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para dokter atau ahli medis. Suami
dan isteri hanya sekedar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma,
yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan
sperma membuahi telur. Tak jarang pula dipergunakan telur atau sperma dari
“donor”. Artinya, ayah atau ibu genetik dari anak bisa saja seorang lain dari
luar perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang membingungkan bagi
si anak kelak, apabila ia mengetahui bahwa salah satu dari orangtua yang
membesarkannya, bukanlah orangtua bilogisnya.

Sesungguhnya, identitas “donor”, entah donor telur atau sperma, tidak akan
pernah diketahui, sehingga menghalangi anak mengetahui silsilahnya sendiri.
Ini berarti kurangnya pengetahuan akan masalah kesehatan atau
kecenderungan dalam masalah kesehatan yang mungkin diwariskan. Hal ini
dapat pula menghantar sesama saudara dan saudari saling menikahi, sebab
tak seorang pun tahu bahwa sperma yang membuahkan hidup mereka berasal
dari “donor” yang sama.

Tetapi, bahkan meski telur dan sperma berasal dari suami dan isteri, muncul
juga masalah-masalah moral yang serius. Selalu dibuahkan banyak embrio,
tetapi hanya embrio-embrio yang menunjukkan pengharapan terbesar untuk
berkembang hingga masa persalinan ditanamkan ke dalam rahim. Embrio-
embrio lain dibuang begitu saja atau dipergunakan untuk eksperimen. Ini
sungguh merupakan pelanggaran berat terhadap hidup manusia. Sementara
seorang bayi mungil pada akhirnya dapat dilahirkan melalui prosedur ini,
embrio-embrio lain pada umumnya dibinasakan dalam proses.

Fertilisasi in vitro juga menuntut banyak biaya, setidaknya $10,000 per upaya.
Lebih dari 90% embrio yang dibuahkan binasa dalam suatu tahapan dalam
proses. Dalam keinginan untuk menekan biaya dan memperbesar
kemungkinan berhasil, kadang para dokter menanamkan hingga lima atau
lebih embrio dalam rahim ibu. Ini akan menghasilkan lebih banyak bayi dari
yang diharapkan suatu pasangan. Di Kanada, seorang perempuan melahirkan
lima anak yang dibuahkan dari fertilisasi in vitro. Ibu ini menghendaki hanya
satu bayi saja, sebab itu ia menggugat dokternya karena “hidup yang salah,”
dan menuntut sang dokter membayar biaya membesarkan keempat anak lain
yang tak dikehendakinya.

Guna menghindari masalah mengandung dan membesarkan “terlalu banyak”


bayi setelah beberapa embrio ditanamkan dalam rahim, para dokter kadang
melakukan sesuatu yang secara halus disebut sebagai “reduksi fetus” atau
“reduksi selektif”. Di sini mereka memonitor bayi-bayi dalam rahim guna
melihat kalau-kalau ada yang cacat atau dinilai sebagai tidak sesehat yang
lainnya. Kemudian mereka menyingkirkan bayi-bayi yang “kurang
dikehendaki” itu dengan mengisi suatu suntik dengan kalium khlorida,
mengarahkan jarumnya ke arah bayi yang “dipilih” dalam rahim dengan
bantuan ultrasound, dan kemudian menusukkan jarum ke jantung bayi. Kalium
khlorida membunuh bayi dalam beberapa menit saja, dan si bayi akan
dikeluarkan dari rahim sebagai “keguguran”. Jika tidak dapat ditentukan satu
bayi yang kurang sehat daripada yang lainnya, sebagian dokter sekedar
menyingkirkan bayi atau bayi-bayi yang paling mudah dijangkau. Lagi, kita
melihat penghancuran tak terkatakan akan nilai hidup manusia yang dapat
timbul dari prosedur ini.

Tidak semua orang yang mendapatkan anak melalui fertilisasi in vitro


mempergunakan telur atau sperma dari donor, mengambil sperma melalui
masturbasi, atau membunuh bayi-bayi “ekstra” yang tak dikehendaki selama
proses kehamilan. Walau demikian, masih ada problem moral dengan
prosedur itu sendiri. Mengapa?

MENGAPA FERTILISASI IN VITRO ITU SALAH?

Manusia diciptakan seturut gambar dan citra Allah. Sebab itu manusia wajib
dihormati sebagai sakral. Tidak pernah boleh manusia dipergunakan sebagai
sarana untuk suatu tujuan, bahkan tidak demi memuaskan kerinduan terdalam
dari suatu pasangan yang tidak subur. Suami dan isteri melakukan tindakan
kasih (“make love”), mereka tidak membuat bayi (“make babies”). Suami dan
isteri saling mengungkapkan kasih mereka satu sama lain, dan seorang anak
mungkin atau mungkin juga tidak dibuahkan dari tindakan kasih itu. Tindakan
perkawinan bukanlah suatu proses produksi, dan anak-anak bukanlah hasil
produksi. Seperti Putra Allah Sendiri, kita adalah makhluk-makhluk yang
“diperanakkan, bukan dibuat” dan, karenanya, seorang anak memiliki status
dan martabat yang sama dengan orangtuanya.

Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan
tunduk pada “quality control” dan dibinasakan apabila didapati “cacat”. Dalam
taraf paling awal dari keberadaan mereka, anak-anak ini sepenuhnya tunduk
pada pilihan sewenang-wenang dari mereka yang mengadakannya. Dalam
kata-kata Donum Vitae: “Hubungan antara pembuahan in vitro dan
penghancuran yang disengaja embrio-embrio insani terlalu sering terjadi. Hal
ini sungguh perlu diperhatikan: Dengan prosedur ini yang tujuannya rupanya
berseberangan, kehidupan dan kematian diserahkan kepada keputusan
manusia yang dengan demikian membuat dirinya sesukanya menjadi tuan atas
hidup dan mati.” Dokumen ini berbicara mengenai “hak setiap orang untuk
dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui perkawinan.” Dalam
dan dari perkawinan; pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan
yang oleh kodratnya ditujukan kepada keterbukan penuh kasih kepada
kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis.

Aspek pelecehan manusia dari sebagian prosedur-prosedur ini jelas nyata


dalam istilah itu sendiri yang berkenaan dengannya, yakni “industri teknologi
reproduksi”. Anak-anak disebut sebagai “produk” pembuahan. Ciri khas
fertilisasi in vitro adalah perlakuannya terhadap anak-anak, dalam tahap paling
awal keberadaan mereka, yang tidak dianggap sebagai manusia.

KLONING

Sebagai kelanjutan dari laporan-laporan mengenai kloning domba “Dolly” di


Skotlandia, terjadilah peningkatan spekulasi mengenai kloning manusia.
Kloning adalah suatu prosedur rumit di mana nukleus dari sel telur
dikeluarkan dan diganti dengan nukleus dari sel somatik tubuh, misalnya sel
kulit. Sel telur tersebut kemudian diberi aliran listrik dengan kondisi khusus
hingga tumbuh menjadi manusia yang identik dengan sel asalnya.
Belum ada seorang pun yang dihasilkan melalui kloning, tetapi banyak
ilmuwan yakin bahwa ini hanya tinggal soal waktu saja.

Ada banyak alasan mengapa orang berupaya untuk menghasilkan suatu


kehidupan manusia baru melalui kloning. Namun, tak satu pun yang secara
moral dapat dibenarkan. Sebagai contoh, suatu pasangan berkehendak untuk
mempergunakan suatu sel dari anaknya yang di ambang ajal untuk
mengkloning seorang bayi lain sebagai suatu cara untuk “menghidupkan”
kembali anaknya. Jelas, ini bukanlah suatu kelanjutan hidup dari anak yang di
ambang ajal itu, melainkan mengadakan seorang anak yang baru. Anak yang
di ambang ajal itu akan menjadi “leluhur” dari suatu kehidupan baru tanpa ia
sendiri menyetujuinya; anak yang baru tidak akan diperlakukan sebagai suatu
pribadi yang unik dengan identitasnya sendiri, melainkan sebagai kelanjutan
dari suatu pribadi lain.

Seorang, entah laki-laki ataupun perempuan, mungkin berkehendak


mendapatkan seorang bayi tanpa harus menikah atau terlibat dengan seorang
lain dari lawan jenis. Sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa
kloning akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak,
sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan jenis. Hal ini akan
sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu
alami.

Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab


beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas dan hebat sehingga seorang
anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar
bagi masyarakat. Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois,
yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu. Dalam
mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan
diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga percobaan dan hipotese yang
bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui
apa yang disebut `pembelahan anak kembar', kloning atau parthenogenese
harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena bertentangan
dengan martabat prokreasi insani dan sanggama.”

Yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak


mempergunakan kloning untuk membuat manusia semata-mata demi
eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai
jaringan-jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai
macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio manusia dari sel tubuh
pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi
suplai “spare part” mereka. Sebagian bahkan berbicara mengenai
mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala”
atau “tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa
makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi demi kebutuhan organ-
organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai
“pribadi”.
INTERVENSI YANG DAPAT DITERIMA SECARA MORAL UNTUK
MENGATASI KETIDAKSUBURAN

Sejumlah intervensi yang diperkenankan secara moral dapat dipergunakan


untuk mengatasi ketidaksuburan. Sebagai contoh, operasi dapat dilakukan
untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau
perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas
juga dapat dipergunakan, dengan peringatan bahwa kehamilan kembar banyak
dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali
ritme reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan.
Institut Paus Paulus VI di Creighton University di Omaha, Nebraska telah
berhasil gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi
ketidaksuburan dengan mempergunakan metoda-metoda alami.

Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT,


atau Lower Tubal Ovum Transfer, secara moral diperkenankan. LTOT
menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi
(= saluran telur) sehingga tindakan perkawinan dapat menghasilkan
kehamilan. Suatu metoda lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut
GIFT, atau Gamete Intra-Fallopian Transfer. GIFT menyangkut mendapatkan
sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil sebuah telur dari
ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil
dengan dipisahkan oleh suatu gelembung udara, isi tabung kemudian
disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi
pembuahan. Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan
perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya menganggap
GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan
karenanya diperkenankan. Karena otoritas mengajar Gereja - Paus dan para
uskup - belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan
Katolik bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan
hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian hari otoritas mengajar
Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi
dipergunakan.

Gereja menaruh belas kasih yang besar kepada mereka yang menderita
ketidaksuburan. Namun demikian, demi kasih kepada segala hidup manusia
dan hormat terhadap integritas hubungan perkawinan, Gereja mengajarkan
bahwa sebagian sarana untuk mengupayakan terjadinya kehamilan adalah
tidak licit. Sebagian dari sarana-sarana ini sesungguhnya mencakup
pembinasaan hidup manusia yang tidak berdosa, atau memperlakukan hidup
manusia sebagai sarana bagi suatu tujuan atau suatu “hasil produksi”.
Sarana-sarana ini sungguh melanggar martabat pribadi manusia.

Di Amerika, kita memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa kita dapat


mengatasi segala masalah dengan “teknologi” yang tepat. Tetapi, anak-anak
tidak dihasilkan oleh teknologi atau diproduksi oleh suatu industri. Anak
haruslah berasal dari tindakan kasih antara suami dan isteri, dalam kerjasama
dengan Tuhan. Tak seorang manusia pun dapat “menciptakan” gambar dan
citra Allah. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan bahwa manusia adalah
“rekan kerjasama” Allah dalam penciptaan. Anak adalah buah dari tindakan
kerjasama di antara suami, isteri, dan Tuhan Sendiri. Sebagai kesimpulan
akhir, anak-anak seharusnyalah diperanakkan, bukan dibuat.

You might also like