Professional Documents
Culture Documents
Kultur jaringan
Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 8:00 am
Kultur jaringan/Kultur In Vitro/Tissue Culture adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel,
protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang
tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali.
a. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel
zigot karena berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
b. Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik
seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman
lengkap.
(lagi…)
Komentar (21)
vaksin
1. Antibodi Monoklonal
adalah antibodi sejenis yang diproduksi oleh sel plasma klon sel-sel b sejenis. Antibodi ini
dibuat oleh sel-sel hibridoma (hasil fusi 2 sel berbeda; penghasil sel b Limpa dan sel
Bertindak sebagai antigen yang akan menghasilkan anti bodi adalah limpa. Fungsi antara lain
2.Terapi Gen
adalah pengobatan penyakit atau kelainan genetik dengan menyisipkan gen normal
3.Antibiotik
Dipelopori oleh Alexander Fleming dengan penemuan penisilin dari Penicillium notatum.
dan sinar X.
Adalah antibodi terhadap virus. Secara alami hanya dibuat oleh tubuh manusia. Proses
pembentukan di dalam, tubuh memerlukan waktu cukup lama (dibanding kecepatan replikasi
5.Vaksin
Secara konvensional pelemahan kuman dilakukan dengan pemanasan atau pemberian bahan
kimia.
Komentar (3)
Januari 9, 2009
tempe
Perkembangan bioteknologi :
Penggunaan mikroba masih secara tradisional, dalam produksi makanan dan tanaman serta
pengawetan makanan.
Contoh:
(lagi…)
Komentar (6)
November 4, 2008
Mengenal Bioteknologi
Diarsipkan di bawah: Bioteknologi — gurungeblog @ 7:02 am
Pengertian Bioteknologi
Adalah penggunaan makhluk hidup dan hasil-hasilnya untuk menyediakan barang dan jasa.
Dalam bioteknologi meliputi penggunaan bakteri, jamur serta kultur-kultur tumbuhan dan
Penerapan Bioteknologi
Beberapa jenis mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk produksi makanan dan minuman
Bioteknologi Tradisional
Salah satu penerapan bioteknologi secara tradisional adalah dalam pembuatan tempe dari
kacang kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus. Secara tradisional tempe dibuat dengan
1. Perendaman
Kacang kedelai direndam dalam air mengalir ± 8 jam agar kulitnya mudah lepas
2. Pelepasan Kulit
Tujuannya agar ragi dapat tumbuh dengan baik karena mendapat makanan yang cukup.
3. Perebusan
4. Pengeringan
Setelah direbus, kedelai didinginkan dan ditiriskan sampai permukaan menjadi kering agar
5. Pemberian Ragi
Campuran kedelai dan ragi dibungkus dengan daun pisang atau plastic yang berlobang-
7. Pemeraman
Selain membawa dampak positif bagi ketersediaan makanan, namun dalam proses maupun
● Limbah dari kulit kedelai dan air buangan rendaman kedelai dapat mengakibatkan
pencemaran air
Komentar (1)
Teknik Inseminasi
Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI
dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal
(rongga peritoneum).
Sumber Sperma
2. Sperma penderma
Belakangan ini, selain faktor sel sperma yang secara genetik tidak
sehat, para ahli juga menduga prosedur inseminasi memainkan
peranan yang menentukan. Kesalahan pada saat injeksi sperma,
merupakan salah satu faktor kerusakan genetika. Secara alamiah,
sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom[5] berfungsi
sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses
pembuahan secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang
masuk ke dalam inti sel telur.
Segi Agama
Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan tidak
boleh menerima anak yang dilahirkan sebagai anak yang sah,
apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena nantinya akan
mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah. Bolehkah
“ayah” yaitu suami yang memiliki gangguan reproduksi dapat
diterima sebagai walinya? Selain masalah agama juga muncul soal
hukum dalam pembagian harat. Bolehkah anak yang dilahirkan AID
mewarisi harta “ayah” juga dalam hal lain-lain yang berkaitan
dengan pewarisan. Di negara barat, yang mana inseminasi benih
penderma dilakukan dengan giatnya, mereka atasi masalah
Undang-Undang dengan menjalani proses “adopsi” secara sah.
Tetapi kedudukan di negara Indonesia masih belum jelas.
Segi Sosial
Segi Hukum
PENDAHULUAN
Prosedur Kloning
Kloning adalah upaya untuk memproduksi sejumlah
individu yang secara genetik identik. Metode ini dapat dilakukan
melalui proses sexual dengan fertilisasi in vitro dan aseksual
dengan menggunakan sel somatis sebagai sumber gen
(Gambar2). Pada kloning seksual, langkah awal yang dilakukan
adalah fertilisasi in vitro. Setelah embrio terbentuk dan
berkembang mencapai 4 sampai 8 sel maka dilakukan splitting
(pemotongan dengan teknik mikromanipulasi) menjadi dua atau
empat bagian. Bagian-bagian embrio ini dapat ditumbuhkan
kembali dalam inkubator hingga berkembang menjadi embrio
normal yang memiliki genetik sama. Setelah mencapai fase
blastosis, embrio tersebut ditransfer kembali ke dalam rahim ibu
sampai umur 9 bulan. Berbeda dengan kloning seksual, pada
kloning aseksual, fertilisasi tidak dilakukan menggunakan
sperma, melainkan hanya sebuah sel telur terfertilisasi semu
yang dikeluarkan pronukleusnya dan sel somatis. Karenanya,
bila pada kloning seksual, genetik anak berasal dari kedua orang
tuanya, maka pada kloning aseksual, genetik anak sama dengan
genetik penyumbang sel somatis.
TINJAUAN AKSIOLOGI TEKNOLOGI REPRODUKSI
“Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan
tunduk pada `quality control' dan dibinasakan apabila didapati `cacat'”
Adalah sah-sah saja, malahan patut dipuji, berusaha menemukan jalan keluar
untuk mengatasi infertilitas. Masalah ketidaksuburan menyebabkan kesedihan
dan kepedihan mendalam bagi banyak pasangan yang menikah. Sebab anak-
anak adalah anugerah mengagumkan suatu perkawinan, adalah sungguh baik
berusaha mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi anak-anak
dikandung dan dilahirkan.
Kitab Suci penuh dengan kisah para perempuan yang menderita akibat
ketidaksuburan. Kepedihan hati yang mereka rasakan akibat tidak dapat
mempunyai seorang anak, tak dapat dihapuskan bahkan dengan kasih sayang
suami. Dalam Perjanjian Lama Elkana berkata kepada isterinya yang tak dapat
mengandung, “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak
mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu
dari pada sepuluh anak laki-laki?” Tentu saja Hana mencintai suaminya, tetapi
ia amat rindu melahirkan anak mereka. Kisah-kisah semacam itu dalam Kitab
Suci diceritakan guna menunjukkan kuasa Tuhan; sebagian besar berakhir
bahagia dengan mengandungnya para perempuan itu, bahkan dalam usia
mereka yang telah lanjut. Ada Sara, isteri Abraham dan ibunda Ishak; Hana,
isteri Elkana, yang menjadi ibunda Nabi Samuel; dan Elisabet, ibunda Yohanes
Pembaptis. Namun demikian, Kitab Suci juga mengatakan kepada kita bahwa
ada batas-batas terhadap cara-cara yang dapat diterima untuk mengandung
seorang anak. Ingat kisah tentang anak-anak gadis Lot yang tidak menikah,
yang berusaha membuat ayah mereka mabuk supaya mereka dapat
mengandung anak-anak darinya! Jelas, tidak semua cara dapat dipergunakan
untuk mengandung dan mendapatkan anak.
Pada masa kita, banyak teknik dan terapi telah dikembangkan untuk mengatasi
ketidaksuburan. Di Amerika Serikat telah muncul suatu “industri” dengan
sedikit atau bahkan tanpa ketentuan-ketentuan dari pemerintah atau dari
professional demi melindungi kepentingan laki-laki, perempuan maupun anak-
anak yang terlibat di dalamnya. Kepada para perempuan diberikan obat-obatan
fertilitas yang dapat menyebabkan mereka mengandung empat, lima atau
bahkan enam anak sekaligus, sehingga membahayakan kesehatan diri dan
kesehatan bayi-bayinya. Sebagian lainnya, menyediakan telur untuk dibuahi in
vitro (dalam sebuah cawan kaca) tanpa menyadari bahwa ini dapat
menghantar pada pemusnahan embrio-embrio atau embrio-embrio ini
dibekukan untuk keperluan eksperimen di kemudian hari.
AJARAN GEREJA
Pada tahun 1987, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan suatu dokumen yang
dikenal sebagai Donum Vitae (“Anugerah Hidup”), yang membahas moralitas
dari banyak prosedur fertilitas modern. Dokumen ini tidak menghakimi
penggunaan teknologi untuk mengatasi ketidaksuburan sebagai salah.
Melainkan, di sana disimpulkan bahwa sebagian metode dapat diterima secara
moral, sementara yang lainnya - sebab melanggar martabat pribadi manusia
dan penetapan perkawinan - adalah amoral. Donum Vitae menegaskan kembali
kewajiban untuk melindungi segala hidup manusia apabila pasangan suami
isteri mempergunakan berbagai teknologi dalam upaya memperoleh anak.
Tanpa mempertanyakan motivasi dari mereka yang mempergunakan teknik-
teknik ini, Donum Vitae menunjukkan bahwa orang dapat mencelakai diri
sendiri dan yang lainnya juga bahkan sementara mereka berusaha untuk
melakukan apa yang baik, yaitu, mengatasi ketidaksuburan. Prinsip dasar
yang dipergunakan Gereja untuk mempertimbangkan moralitas dari berbagai
sarana untuk mengatasi ketidaksuburan cukup sederhana, bahkan meski
penerapannya terkadang sulit.
Donum Vitae mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi
menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar membuahkan
kehamilan, maka intervensi itu dapat diterima secara moral; tetapi, jika
intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk
membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral.
FERTILISASI IN VITRO
Suatu teknologi reproduksi yang oleh Gereja telah dengan jelas dan tegas
dinyatakan sebagai amoral adalah fertilisasi in vitro. Sayangnya, sebagian
besar umat Katolik kurang memahami ajaran Gereja, tidak tahu bahwa
fertilisasi in vitro adalah amoral, dan sebagian telah mempergunakannya
dalam upaya mereka untuk mendapatkan anak. Jika suatu pasangan tidak tahu
bahwa prosedur ini adalah amoral, maka mereka secara subyektif tidak
bersalah atas dosa. Anak-anak yang dikandung melalui prosedur ini adalah
anak-anak Allah dan dikasihi oleh orangtua mereka, seperti seharusnya. Sama
seperti semua anak, tanpa peduli bagaimana mereka dikandung dan
dilahirkan, haruslah dikasihi, disayangi dan diberi perhatian.
Sesungguhnya, identitas “donor”, entah donor telur atau sperma, tidak akan
pernah diketahui, sehingga menghalangi anak mengetahui silsilahnya sendiri.
Ini berarti kurangnya pengetahuan akan masalah kesehatan atau
kecenderungan dalam masalah kesehatan yang mungkin diwariskan. Hal ini
dapat pula menghantar sesama saudara dan saudari saling menikahi, sebab
tak seorang pun tahu bahwa sperma yang membuahkan hidup mereka berasal
dari “donor” yang sama.
Tetapi, bahkan meski telur dan sperma berasal dari suami dan isteri, muncul
juga masalah-masalah moral yang serius. Selalu dibuahkan banyak embrio,
tetapi hanya embrio-embrio yang menunjukkan pengharapan terbesar untuk
berkembang hingga masa persalinan ditanamkan ke dalam rahim. Embrio-
embrio lain dibuang begitu saja atau dipergunakan untuk eksperimen. Ini
sungguh merupakan pelanggaran berat terhadap hidup manusia. Sementara
seorang bayi mungil pada akhirnya dapat dilahirkan melalui prosedur ini,
embrio-embrio lain pada umumnya dibinasakan dalam proses.
Fertilisasi in vitro juga menuntut banyak biaya, setidaknya $10,000 per upaya.
Lebih dari 90% embrio yang dibuahkan binasa dalam suatu tahapan dalam
proses. Dalam keinginan untuk menekan biaya dan memperbesar
kemungkinan berhasil, kadang para dokter menanamkan hingga lima atau
lebih embrio dalam rahim ibu. Ini akan menghasilkan lebih banyak bayi dari
yang diharapkan suatu pasangan. Di Kanada, seorang perempuan melahirkan
lima anak yang dibuahkan dari fertilisasi in vitro. Ibu ini menghendaki hanya
satu bayi saja, sebab itu ia menggugat dokternya karena “hidup yang salah,”
dan menuntut sang dokter membayar biaya membesarkan keempat anak lain
yang tak dikehendakinya.
Manusia diciptakan seturut gambar dan citra Allah. Sebab itu manusia wajib
dihormati sebagai sakral. Tidak pernah boleh manusia dipergunakan sebagai
sarana untuk suatu tujuan, bahkan tidak demi memuaskan kerinduan terdalam
dari suatu pasangan yang tidak subur. Suami dan isteri melakukan tindakan
kasih (“make love”), mereka tidak membuat bayi (“make babies”). Suami dan
isteri saling mengungkapkan kasih mereka satu sama lain, dan seorang anak
mungkin atau mungkin juga tidak dibuahkan dari tindakan kasih itu. Tindakan
perkawinan bukanlah suatu proses produksi, dan anak-anak bukanlah hasil
produksi. Seperti Putra Allah Sendiri, kita adalah makhluk-makhluk yang
“diperanakkan, bukan dibuat” dan, karenanya, seorang anak memiliki status
dan martabat yang sama dengan orangtuanya.
Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan
tunduk pada “quality control” dan dibinasakan apabila didapati “cacat”. Dalam
taraf paling awal dari keberadaan mereka, anak-anak ini sepenuhnya tunduk
pada pilihan sewenang-wenang dari mereka yang mengadakannya. Dalam
kata-kata Donum Vitae: “Hubungan antara pembuahan in vitro dan
penghancuran yang disengaja embrio-embrio insani terlalu sering terjadi. Hal
ini sungguh perlu diperhatikan: Dengan prosedur ini yang tujuannya rupanya
berseberangan, kehidupan dan kematian diserahkan kepada keputusan
manusia yang dengan demikian membuat dirinya sesukanya menjadi tuan atas
hidup dan mati.” Dokumen ini berbicara mengenai “hak setiap orang untuk
dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui perkawinan.” Dalam
dan dari perkawinan; pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan
yang oleh kodratnya ditujukan kepada keterbukan penuh kasih kepada
kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis.
KLONING
Gereja menaruh belas kasih yang besar kepada mereka yang menderita
ketidaksuburan. Namun demikian, demi kasih kepada segala hidup manusia
dan hormat terhadap integritas hubungan perkawinan, Gereja mengajarkan
bahwa sebagian sarana untuk mengupayakan terjadinya kehamilan adalah
tidak licit. Sebagian dari sarana-sarana ini sesungguhnya mencakup
pembinasaan hidup manusia yang tidak berdosa, atau memperlakukan hidup
manusia sebagai sarana bagi suatu tujuan atau suatu “hasil produksi”.
Sarana-sarana ini sungguh melanggar martabat pribadi manusia.