You are on page 1of 13

Makalah Industri Tuna

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan


lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan / petani ikan dan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, disamping
memperluas lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan ekspor untuk
menghasilkan devisa Negara.
Tuntutan yang sangat mendesak tersebut mengingat potensi
sumberdaya perikanan Indonesia yang saat ini belum dapat dimanfaatkan
secara optimal. Bahkan, potensi di perairan ZEE Indonesia khususnya tuna
dan cakalang serta ikan pelagis besar lainnya masih lebih banyak
dimanfaatkan oleh kapal ikan asing dengan berbagai akibat yang
merugikan kepentingan nasional.
Tuna sebagai komoditas perikanan andalan Indonesia setelah
udang mempunyai prospek cerah dalam pengusahaanya, mengingat
permintaan produk tersebut di pasar domestik dan ekspor cenderung
meningkat. Peningkatan tersebut dipacu dengan kesadaran masyarakat
khususnya di Eropa dan Amerika serta negara-negara di kawasan Timur
Tengah yang mulai sadar akan sumber makanan yang sehat , mereka
beralih dari daging ke ikan khususnya tuna.
Ekspor komoditi tuna Indonesia hingga bulan November 2004
berdasarkan data BPS, 2005 sebesar 39,920,865 Kg dengan nilai ekspor
sebesar 110,025,438 US$. Pada tahun 2003 sebesar 117,091,984 Kg
dengan nilai 213,178,841 US$, mengalami kenaikan bila dibandingkan
tahun 2002 sebesar 92,796,612 Kg dengan nilai 212,425,684. Ekspor
komoditi tuna Indonesia sebagian besar dalam bentuk beku, segar dan
tuna dalam kaleng. Negara tujuan utama ekspor produk tuna Indonesia
adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan Thailand. Jepang merupakan
sentral pasar tuna dunia, negara tersebut mendominasi permintaan tuna
dengan total volume konsumsi sebesar 660,000 ton yang terdiri dari
80.000 ton permintaan terhadap produk tuna kaleng dan 580,000 ton tuna
segar untuk konsumsi sashimi. Sedangkan 1,3 juta ton berasal dari
permintaan negara lain.
Negara–negara pesaing Indonesia di pasar internasional antara lain
Australia, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan dan Guam. Peluang pasar tuna
dan cakalang dibeberapa negara importir utama masih terbuka lebar, dari
peluang tersebut Indonesia baru mencapai pangsa pasar dunia sebesar
7,52 %. Sehubungan dengan itu ekspor tuna dan cakalang masih perlu
ditingkatkan, mengingat luasnya wilayah ZEE Indonesia dengan
sumberdaya ikan tersebut cukup besar dengan sentra sentra
pengusahaanya yang perlu diintensifkan seperti di perairan Maluku,
Papua, Sulawesi dan Pantai Barat Sumatera, tentunya diperlukan kerja
keras dan keberpihakkan semua sektor dalam mendukung infrastruktur
dan permodalan yang memadai guna menciptakan bisnis yang kondusif
khususnya di sentra-sentra produksi tuna di kawasan Timur Indonesia.
Banyak kendala dan masalah yang harus dihadapi untuk
memanfaatkan sumberdaya perikanan tuna secara optimal dan lestari,
pertama, berkaitan dengan sistem perbankan yang kurang kondusif bagi
investasi usaha perikanan, kedua tuna tergolong hewan yang hight
miggration sehingga pengeloaannya terkadang melewati batas-batas
negara sementara Indonesia belum menjadi anggota dalam pengelolaan
tuna dunia. Ketiga, masih maraknya illegal fishing yang mempengaruhi
produksi tangkapan kapal tuna nasional, ke empat pelayanan di pelabuhan
perikanan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, ke lima kurang
terpadunya rencana tata ruang di dalam wilayah laut dan pantai. sehingga
hal itu mengurangi kepastian hukum dalam berusaha dan menimbulkan
kesenjangan sosial, ke enam, kurang tegasnya tindakan terhadap
pelanggaran peraturan, dan pengawasan keamanan, disamping itu perlu
adanya upaya peningkatan SDM dan relokasi nelayan dari wilayah padat
tangkap seperti di perairan pantai Utara Jawa ke sentra usaha tuna di
kawasan Timur Indonesia. Melalui kerja keras dan kebersamaan dari
berbagai sector diharapkan ke depan Indonesia menjadi sentral industri
tuna dunia.

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui perkembangan industri perikanan tuna Indonesia.
2. Mengetahui potensi dan tingkat pemanfaatannya.
3. Mengetahui kendala dan permasalahan yang dihadapi industri perikanan
.tuna Indonesia.
4. Menyusun strategi dan kebijakan pengembangannya
BAB II. INDUSTRI PERIKANAN
TUNA INDONESIA

2.1. Gambaran Umum.

Di Indonesia perikanan tuna mulai diperkenalkan pada awal tahun


1960 dan baru 1 (satu) perusahaan yang mengusahakan secara komersial
yaitu PN. Perikani dengan armada dan SDM yang sangat terbatas. Baru
pada awal tahun 1970, setelah PT. Perikanan Samudera Besar (PSB)
berdiri, usaha penangkapan tuna secara komersial benar-benar terealisasi.
Basis perikanan terkonsentrasi di Benoa Bali, dan terus dikembangkan
hingga ke Sabang-Aceh, daerah tersebut dipilih karena dekat dengan
fishing ground tuna. Pada tahun 1980 armada perikanan PSB beroperasi
hampir diseluruh perairan Indonesia. Perkembangannya diikuti oleh
perusahaan-perusahaan Nasional dan Penanaman Modal Asing (PMA),
sejalan dengan adanya peningkatan sarana dan prasarana perikanan
tangkap (Pelabuhan Perikanan) dan sarana penunjang lainnya. Kapal yang
digunakan pada saat ini berukuran > 100 Gross Tonage (GT) yang
dilengkapi dengan unit refrigrasi hingga (-) 50 °C, dengan lama operasi
lebih dari 30 hari/tripnya.
Perkembangan industri perikanan tuna nasional demikian pesat hal
ini dikarenakan produk tersebut bernilai tinggi dan permintaannya di pasar
dunia terus meningkat tidak hanya produk beku (frozen tuna), segar (Fresh
tuna) tetapi juga dalam bentuk tuna kaleng (canning tuna). Khusus untuk
produk segar (fresh tuna), dikembangkan kapal-kapal yang berukuran lebih
kecil (< 60 GT) dinilai lebih effesien dan ekonomis dengan lama operasi
tidak lebih dari 2 minggu untuk menjaga mutu produk tersebut. Basis
perikanan tidak hanya terkonsentrasi di Bali tetapi sudah menyebar di
sentra-sentara penangkapan tuna seperti di Jakarta, dan Cilacap, khusus
untuk industri tuna longliner skala besar. Sementara di NTT, NTB hingga
ke kawasan timur Indonesa (Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya, sekarang
Papua), dikembangkan pole and liner, purseiner dan hand liner yang
melibatkan nelayan dalam jumlah besar dengan pola kemitraan dengan
pengusaha.

2.2. PERKEMBANGAN ARMADA

Pengusaha Perikanan Tuna, tergabung dalam satu wadah yaitu


Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), yang memiliki armada tuna longliner
dengan jumlah kapal sebanyak 485 kapal yang berpangkalan di Pelabuhan
Nizam Zahman, Jakarta.
Kapal tuna long liner yang beroperasai di Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah 1600 kapal berbagai ukuran
dengan pangkalan utama Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta,
Pelabuhan Benoa-Bali dan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap.
Kapal Tuna Long Line yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Cilacap
hingga tahun 2004, sebanyak 127 kapal, dengan ukuran 60 – 100 GT.
Disamping ditangkap dengan rawai tuna dan pukat cincin, tuna juga
ditangkap oleh para nelayan dengan menggunakan jenis alat tangkap hand
line. Ukuran kapal hand line relatif kecil <10 GT. Penangkapan tuna
biasanya dilakukan dengan alat bantu rumpon. Namun dewasa ini hanya
sebahagian kecil dari tangkapan nelayan dengan hand line yang dapat
menembus pasar tuna segar karena mutu, penanganan hasil tangkapan
dan peralatan yang kurang memadai. Namun demikian penangkapan tuna
dengan alat tangkap hand line ini cukup memberikan harapan untuk
menopang industri tuna nasional, khususnya sebagai pemasok bahan
baku industri tuna kaleng, jika dikelola dengan baik dan bijaksana.
2.3. PRODUKSI DAN PERKEMBANGAN EKSPOR

Dalam perdagangan tuna dunia, ikan tuna umumnya dipasarkan


dalam bentuk segar, beku dan bentuk olahan (tuna kaleng, loin, steak, tuna
saku dll.). Indonesia selain sebagai produsen tuna juga sebagai negara
pengolah tuna, melalui industri pengalengan maupun olahan tuna lainnya.
Pada tahun 2001 Indonesia menempati urutan ke 3 sebagai negara
produsen utama tuna dunia, dengan total produksi 253,1 ribu ton (Tabel. 2.
5). Perkembangan produksi dan ekspor komoditi tuna Indonesia hingga
November, 2004.

Selain dipasarkan (ekspor) dalam bentuk tuna segar, tuna beku dan
produk olahan beku, produk tuna dunia juga dipasarkan dalam bentuk tuna
kaleng. Tidak semua produksi tuna kaleng masuk ke pasar ekpor, hal ini
dikarenakan sebagian dikonsumsi di dalam negeri negara produsen
tersebut, sisanya sejumlah 857,8 ribu ton (55,3 %) yang masuk pasar
ekspor dunia atau setara dengan 2.029,2 milyard US$, sementara untuk
Indonesia, produksi tuna kalengnya 100 % untuk ekspor.
Sejak tahun 1981 – 2000, Produksi dan ekspor tuna kaleng Indonesia
tumbuh dari 0,5 juta karton menjadi 5 juta karton, artinya baru 20 %
kapasitas produksi yang dapat dimanfaatkan. Problem yang muncul ke
permukaan pada industri pengalengan nasional adalah tidak dapat
bersaing dengan industri pengalengan dari negara tetaga seperti Thailand
dan Philiphina, serta negara pengekspor tuna kaleng utama lainnya
dikarenakan kurangnya pasokan bahan baku dari industri penangkapan
tuna nasional yang lebih cenderung mengekspornya dalam bentuk segar
atau beku karena harganya jauh lebih tinggi dan menguntungkan.
Disamping itu industri pengalengan tuna nasioanal umumnya tidak memiliki
armada penangkapan sendiri sehingga kontinuitas bahan baku kurang
terjamin karena hanya mengandalkan pasokan dari nelayan tradisonal
dengan hasil tangkapan yang kurang memadai dan kualitasnya rendah.
Secara geografis Perairan Indonesia sebenarnya sangat menguntungkan
bila ditinjau dari penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan
khususnya industri pengalengan tuna. Sumber bahan baku dapat diperoleh
dari perairan Pasifik Barat dengan produksi 1 – 1,5 juta ton/ tahun dan
perairan Indonesia sebesar 0,2 juta ton/ tahun, ironis memang bila industri
pengalengangan nasional mengalami kekurangan pasokan bahan baku,
tapi kenyataanya demikian, untuk itulah Direktorat Kelembagaan Dunia
Usaha, Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan mencoba menjembatani
dengan mempertemukan pelaku usaha (stakeholder ), melalui Workshop
Revitalisasi Industri Pengolahan Hasil Perikanan, awal September 2004.
Diharapkan melalui kegiatan tersebut dapat dicari jawabannya guna
mengatasi permasalahan di atas.
Bila dibandingkan dengan nilai ekspor tuna kaleng dari negara
lainnya, posisi ekspor tuna kaleng Indonesia berada pada urutan ke 7,
setelah Thailand, Ecuador, Spanyol, Cote d´lvoire, Seychelles dan
Philiphina (Tabel. 2.6). Sementara itu bila dilihat dari produksi tuna kaleng
negara produsen tuna kaleng dunia, posisi Indonesia berada pada urutan
ke 11 setelah Thailand, Spanyol, Amerika Serikat, Cote d´lvoire, Ecuador
Italia, Mexico, Jepang, Philiphina dan Iran.
Estimasi penerimaan devisa negara dari industri pengolahan
nasional, bila permasalahan kelangkaan bahan baku dapat teratasi.
Kapasitas industri pengolahan yang ada sebesar 800 MT/ hari,
membutuhkan bahan baku sebanyak 208.000 MT dalam 260 hari kerja/
tahunnya. Kemampuan produksi industri pengalengan nasional 24,5 juta
karton (48 x 6,5 Oz), apabila harga perkartonnya 18 US$, devisa yang
didapat sebesar 490 juta US$ setiap tahunnya. Sementara selama lima
tahun berturut-turut dari hasil ekspor tuna kaleng indonesia cederung
mengalami penurunan. Tahun 1998 dengan volume ekspor 39,9 ribu ton,
nilai ekspor sebesar 104,2 juta US$, tahun 1999 sebesar 82,6 juta US$,
tahun 2000 sebesar 87,8 juta US$, tahun 2001 sebesar 84,1 juta US$ dan
pada tahun 2002 dengan total ekspor 38,3 ribu ton, nilai ekspornya
sebesar 82,6 juta US$, (Fishdap, 2004).

2.4. POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TUNA

Ikan tuna tergolong jenis scombrid yang sangat aktif dan umumnya
menyebar di perairan yang oseanik sampai ke perairan dekat pantai.
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan indonesia
mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan sangat bergantung
pada beberapa hal yang terkait dengan spesies tuna, kondisi hidro-
oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi jenis
ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna
dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan
antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Berikut disajikan data
produksi tuna di Samudera Hindia, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik.
Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang
secara komersial dibagi atas kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna
besar terdiri dari jenis ikan tuna mata besar (bigeye-Thunnus
obesus),madidihang (yellowfin – Thunnus albacares), tuna albakora
(albacore – thunnus alalunga), tuna sirip biru Selatan (southern bluefin –
Thunnus maccoyii).dan tuna abu-abu (longtail tuna – Thunnus tonggol),
sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (skipjack –
Katsuwonus pelamis).
Sumber daya ikan tuna menyebar tidak merata di seluruh wilayah
perairan Indonesia demikian juga dengan tingkat pemanfaatannya. Tabel
3.2 menyajikan estimasi potensi, produksi, dan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan pelagis besar di wilayah penangkapan.
Dalam rangka pengembangan industri perikanan tuna Indonesia untuk
tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat maka diperlukan suatu konsep
strategi optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Indonesia yang
mengacu pada strategi potensi wilayah perairan dan strategi implementasi
teknologi penangkapan.

2.5. KENDALA DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TUNA.

Dalam pengembangan sektor perikanan terdapat berbagai masalah


yang selain terkait juga berpengaruh cukup besar. Permasalahan-
permasalahan tersebut diantaranya adalah masalah pencurian oleh kapal
asing, rendahnya kualitas produk, adanya hambatan tarif dan non tarif
serta kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah. Beberapa
permasalahan tersebut akan dibahas sebagai berikut :

IV.1. PENCURIAN OLEH KAPAL ASING


Sampai September 2001, diduga sebagian besar (+- 70 %) dari sekitar
7.000 kapal perikanan berbendera Indonesia yang memperoleh izin untuk
beroperasi di perairan ZEE masih dimiliki pihak asing, terutama Thailand,
Philipina, Taiwan dan RRC. Keadaan tersebut menyebabkan kerugian
negara yang diperkirakan mencapai US $ 1,362 miliar per tahun dengan
rincian (1) kerugian dari kehilangan devisa US $ 1 miliar, (2) Kerugian dari
selisih iuran DPKK US $ 22 juta, dan (3) kerugian dari fee yang harus
dibayar sekitar US $ 100 juta (Dahuri, 2001).

IV.2. HAMBATAN-HAMBATAN EKSPOR NON TARIF


Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan
impor adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu,
isu lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention dan lain-lain.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :
Ekuivalensi, Uni Eropa mensyaratkan bahwa hanya approved packers (unit
pengolah yang disetujui) dari negara harmonized country yang diizinkan
mengekspor komoditas perikanannya. Terhitung sejak tanggal 23
September 2000 terdapat 247 Approval Number dari Indonesia yang
berhak mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa.
Sertifikat Ekspor. Setiap produk perikanan diwajibkan dilengkapi dengan
serifikat mutu (quality certificate), dan sertifikat kesehatan (Health
Certificate) dalam bahasa nasional negara tujuan. Selain sertifikat tersebut
ditandatangani oleh inspektur yang terakreditasi dengan tinta yang
warnanya sesuai.
Standar Sanitasi. Standar Sanitasi yang tidak transparan atau standar
ganda adalah masalah yang sering kita dengar. Misalnya UE
mensyaratkan bebas salmonella untuk udang beku (kecuali udang rebus
beku) tetapi untuk anggota UE aturannya lebih lunak. Semua ekspor udang
beku hanya bebas bakteri patogen. Kerang-kerangan yang diimpor dari
luar UE harus bebas bakteri E. Coli sedangkan produk sejenis yang
diproduksi di wilayah UE yang mengandung bakteri patogen pun tetap
dapat dijual asal diberi label “B Area Product”.
Standar Mutu. Standar mutu yang diterapkan negara pengimpor umumnya
lebih lunak daripada standar sanitasi. Namun pengujian organoleptik masih
lazim digunakan untuk menentukan kualitas dan penerimaan suatu produk
di pelabuhan masuk. Banyak produk perikanan dari negara berkembang
ditolak masuk karena tidak lolos uji organoleptik.
Isu Lingkungan. Untuk memblok ekspor tuna dan embargo udang, AS
meniupkan dolphin issue untuk tuna longliner dan berkaitan dengan
penggunaan TED / BED (turtle excluder device) untuk penangkapan
udang. Sidang dispute settlement body menyatakan AS kalah dan harus
mencabut embargo ekspor udang dari India, Pakistan, Malaysia dan
Thailand.
Rapid Alert System. UE menerapkan sistem pengujian laboratorium secara
acak (Random Sampling) atau dikenal dengan Rapid Alert System untuk
mengatasi standar sanitasi dan mutu produk perikanan. Penerapan RAS
oleh UE sering menghambat ekspor hasil perikanan Indonesia karena hasil
pengujian bersifat final dan merupakan hak prerogatif inspektur veteriner
UE sehingga sulit dikaji ulang atau dibantah.
Autamatic Detention. Sistem yang diberlakukan di AS ini pada dasarnya
sama dengan RAS di UE. Setiap ekspor perikanan dimasukkan dalam
detention list dan diperiksa secara acak. Suatu perusahaan perikanan akan
dicabut dari detention list jika secara 3 kali berturut-turut mutunya tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Untuk uji iji, eksportir
dikenakan biaya sebesar 10 % dari total nilai ekspor.
Masalah by catch. Negara-negara maju mulai mempermasalahkan ikut
tertangkapnya shark (cucut) dan burung laut dalam penangkapan tuna.
Beberapa negara Eropa juga mulai mengeluhkan tentang ukuran ikan,
yang dieksport negara berkembang (termasuk Indonesia) karena dianggap
melanggar code of conduct for responsible fishing dan CITES.
Ecolabel, beberapa negara maju telah mendesak FAO untuk segera
menyiapkan rancangan kriteria prosedur ecolabelling bagi produk
perikanan yang diperdagangkan secara global. Ecolabelling yang awalnya
bersifat sukarela (Voluntary) diganti dengan pelabelan bersifat wajib
(Compulsary) dan berlaku universal. Hal ini terlihat dari resolusi sidang
PBB ke-55 pada mata acara 34 ocean and the law of the sea.
Irradiasi, Amerika serikat, Australia dan Jepang memberikan toleransi
terhadap teknik irradiasi sepanjang tidak disalah gunakan untuk mengganti
sistem pembinaan mutu yang kurang baik. Sementara UE kecuali
Perancis, Belgia dan Belanda menetang digunakannya teknik irradiasi
untuk pengawetan produk perikanan.
Undang-Undang Bioterorisme atau The Bioterorisme Act telah disetujui
Presiden Amerika Serikat dan dinyatakan berlaku mulai 12 Desember
2003. UU bio-terorisme merupakan bagian dari kebijakan keamanan
nasional Amerika untuk mencegah masuknya teror berupa penyakit,
kuman dan virus melalui produk-produk yang diimpor. Sektor industri yang
terkena peraturan tersebut khususnya adalah produk makanan dan
minuman. Eksportir harus menyampaikan dengan rinci pada USFDA
tentang deskripsi produk, nama produsen , kapal pengangkut,
pergudangan, negara asal serta pelabuhan tujuan untuk selanjutnya
diterbitkan prior of notice . Dengan kata lain peraturan ini mewajibkan
setiap eksportir untuk mendaftarkan diri ke USFDA.
Cargo Securuty Inisiative (CSI), merupakan sistem terbaru untuk setiap
kargo yang akan masuk ke Amerika harus terlebih dahulu diinfeksi di
pelabuhan-pelabuhan yang telah ditetapkan AS. Terdapat 20 pelabuhan
yang telah ditetapkan dan untuk Indonesia pelabuhan yang terpilih adalah
Singapura, Hongkong, Shanghai, Tokyo dan Kobe. Dengan sistem ini
waktu pengapalan menjadi lebih lama dan beresiko bagi produk-produk
yang tidak tahan lama. Pemerintah AS menyatakan akan menanggung
seluruh biaya pemeriksaan, namun hal tersebut tidak menjamin kerugian
eksportir karena adanya opportunity cost lainnya.

Berdasarkan data di atas sangatlah jelas, kelemahan disektor pengawasan


mutu terhadap produk ekspor khususnya tuna sehingga menempatkan
posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
Diperlukan pengawasan mutu yang ketat, disinilah kinerja laboratorium/
BPMHP/LPPMHP perlu ditingkatkan agar tingkat kepercayaan negara
importir terhadap produk tuna Indonesia tidak terus merosot.

Pajak Ekspor Cakalang. Industri pengalengan ikan cakalang mengalami


kesulitan untuk mendapatkan bahan baku karena sebagian besar produksi
cakalang diekspor dalam bentuk mentah. Saat ini (Maret 2003) sedang
dikaji penetapan pajak ekspor untuk cakalang .
Kenaikan Harga BBM. Kenaikan harga BBM khususnya solar,
mengakibatkan banyak nelayan yang tidak bisa melaut karena mahalnya
biaya operasional. Permasalahan ini akhirnya dengan merevisi kenaikan
harga BBM dan pendirian SPBU khususnya untuk solar di pusat-pusat
penangkapan oleh DKP bekerja sama dengan Pertamina.
Keanggotaan tuna dunia, Pada saat ini hampir 75 % kapal tuna long line
Indonesia beroperasi di luar ZEEI Saudera Hindia ke arah barat hingga
Srilangka, Maldives, bahkan ada yang beroperasi di Samudera Atlantik
untuk menangkap swordfish.Kendala dan masalah yang dihadapi untuk
memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari,
mengingat tuna tergolong hewan yang high migration sehingga
pengeloaannya melewati batas-batas negara sementara Indonesia belum
menjadi anggota dalam pengelolaan tuna dunia seperti IOTC, CCSBT dan
lainnya, ada kekhawatiran kita dianggap ilegal walaupun menangkap
diperairan sendiri. Oleh karena itu pengelolaan ikan dimaksud di masa
depan harus mengacu pada aturan-aturan internasional yang menjadi
kesepakatan bersama.
Sebagai contoh di forum-forum internasional nelayan Indonesia sering
menjadi pembicaraan karena dicurigai mengembangkan ”deep long line”
untuk menangkap bluefin tuna dalam kondisi matang telur. Namun
demikian bila diperhatikan alat tangkap tuna long line yang dikembangkan
di Indonesia umumnya tidak terlalu dalam untuk menangkap yelowfin tuna,
sehingga tuduhan tersebut tidak mendasar dan diaragukan kebenarannya.
IV.3. PERMASALAHAN INTERNAL
No.
Permasalahan
Dukungan yang diharapkan
1.
Kinerja BUMN perikanan cenderung menurun karena mengalami krisis
keuangan
Perlu dilakukan revitalisasi BUMN perikanan (PT. Usaha Mina, PT. Tirta
Raya Mina, PT. Samodra Besa, dan PT. Perikani) dengan dukungan dari
Kantor Kementerian Negara BUMN.
2.
Peningkatan Investasi bidang kelautan dan perikanan di daerah potensial
Sangat diperlukan iklim kondusif untuk pengembangan usaha perikanan
disamping terus dilakukan safari investasi
3.
Kebutuhan bahan bakar (BBM) untuk usaha perikanan tangkap belum
mencukupi
Perlu penyediaan sarana distribusi (SPBU/SPBB/Pool konsumen) di setiap
pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan serta penambahan
pasokan BBM untuk kapal-kapal perikanan sesuai kebutuhan yang sangat
memerlukan dukungan dari Dep. ESM dan Pertamina.
4.
Kualitas sumberdaya manusia perikanan masih lemah :
Kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah akan kebutuhan
sumberdaya manusia yang berkualitas.
Sumberdaya manusia kelautan dan perikanan belum memenuhi standar
internasional yang ditetapkan IMO yaitu STCW-F (Standar Training
Sertification and Watchkeeping for Fisheries).
1. Dukungan terhadap pembentukan sekolah-sekolah perikanan (saat ini
sedang diproses : Akademi Perikanan di Nagroe Aceh Darussalam,
Sekolah Usaha Perikanan Menengah di Sikka NTT, Kota Agung-Lampung,
Pangkal Pinang – Bangka-Belitung, Tanjung Pinang Riau dan
pengembangan beberapa program studi di Pesantren dll).
2. Secara bertahap sedang dilakukan penyesuaian kurikulum dan masih
diperlukan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan penyediaan
kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan profesional perikanan.

V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

V.1. KEBIJAKAN

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan memiliki target yang spesifik


diantaranya ;
Target dalam pertumbuhan ekonomi yaitu (a) pada tahun 2004 penerimaan
devisa kelautan dan perikanan diharapkan mencapai US$ 5 Milyar, (b)
sumbangan terhadap PDB mencapai 10 % pada tahun 2004, (c)
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) penangkapan ikan yang akan
mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan di ZEEI sebesar US$
65 juta, (d) sumbangan terhadap PAD sebesar US$ 53 juta, dari budidaya
dan US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan. Selain itu ditargetkan juga
peningkatan konsumsi ikan per kapita sebesar 21,93 kg/kapita/tahun dan
penyerapan tenaga kerja sebesar 6,54 juta orang.
Target dalam peningkatan dan pemerataan kesejahteraan nelayan dan
pembididaya ikan
Target dalam pemeliharaan daya dukung dan kualitas lingkungan
ekosistem laut dan perairan tawar
Target dalam peningkatan budaya bahari bangsa dan menjadikan laut
sebagai pemersatu bangsa
Dalam upaya meningkatkan ekspor komoditi perikanan Indonesia,
pemerintah mengambil beberapa langkah yang dinilai cukup strategis.
Dalam rangka mendukung hal tersebut di atas, beberapa hal yang
diperlukan adalah :
Memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan secara optimal,efisien dan
berkelanjutan
Meningkatkan pengawasan dan pengendalian SDKP
Menerapkan IPTEK dan manajemen profesional pada setiap mata rantai
usaha bidang kelautan dan perikanan
Merehabilitasi ekosistem habitat pesisir dan laut
Membangun dukungan fiskal dan moneter yang kondusif
Memberdayakan sosial ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan
Mengembangkan dan memperkuat jaringan ekonomi
Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan
perikanan
Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum dan kelembagaan
Nasional dan Internasional
Menanamkan wawasan kelautan pada seluruh masyarakat.

Komoditi perikanan merupakan komoditi yang dianggap sangat kompetitif


di pasa dunia namun tingkat kompetitifnya masih belum optimal bahkan
masih lemah. Komoditi perikanan menunjukkan rasio biaya pengolahan
terhadap sumberdaya yang cukup baik dibandingkan Philipina, untuk
penangkapan ikan dan pengalengan Indonesia lebih kompetitif karena
adanya subsidi BBM, harga es yang murah dan sumberdaya ikan yang
melimpah.
Potensi ekonomi kluster pengolahan dan pengalengan ikan sangat
melimpah. Indonesia dianugerahi dengan garis pantai yang sangat panjang
(81.000 Km) dan sumberdaya ikan yang sangat kaya (6,7 juta ton / tahun).
Kebijakan untuk mengembangkan potensi perikanan ini sangat tepat untuk
mengentaskan kemiskinan dan melakukan pemerataan.
Kluster ini sangat kompetitif dalam hal kualitas ekspor ikan segar dengan
tujuan Jepang (misalnya tuna dalam bentuk sashimi dan katsoubochi)
namun dalam segi biaya jika dibandingkan dengan produsen lain di dunia,
Indonesia masih kurang kompetitif khususnya untuk produk kalengan
(tuna, mackarell dan sardin). Hambatan utamanya adalah lemahnya
keterkaitan industri pengalengan dengan suplier ikan segar dan ikan beku.
Hambatan lainya adalah semakin meningkatnya kompetisi global dalam
pengalengan ikan sebagaimana diperlihatkan oleh kecenderungan
menurunnya harga produk tersebut di dunia. Marjin keuntungan dari
industri pengalengan ikan domestik tidak besar sehingga setiap ada
perubahan kebijakan dan lingkungan bisnis yang kontraproduktif akan
meningkatkan biaya proses dan biaya-biaya lainnya yang dapat
mengancam kelangsungan hidup perusahaan pengalengan.
Dengan memperhatikan struktur sumberdaya dan intensitas tenaga kerja
global (dunia) dalam pemrosesan tuna kaleng, keuntungan jangka panjang
yang bisa diambil adalah murahnya tenaga kerja dan melimpahnya bahan
baku dari negara-negara suplier (misalnya ASEAN). Oleh karena itu
praktek perusahaan-perusahaan multinasional dengan merk global
(misalnya Bumble Bee, Starkist dan Chicken of the Sea) yang sudah
“mapan” mempunyai potensi yang sangat besar. Zona Ekonomi khusus di
wilayah timur Indonesia misalnya Bitung dan Biak dapat dikembangkan
menjadi sentra industri tuna modern. Keterkaitan dengan supplier global
selain mengurangi biaya juga akan dapat memfasilitasi alih teknologi
pemrosesan yang efisien dan teknologi distribusi secara global.
Di Indonesia, penerapan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan
masih belum efektif. Hukum-hukum tentang lingkungan dan peraturan-
peraturannya umumnya tidak diterapkan secara terbuka dan konsisten.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya alam Pemerintah
Indonesia menerapkan kebijakan yang mengharuskan distribusi
pendapatan negara dari pengumpulan ikan terhadap pemerintah daerah.
Hal ini dilakukan untuk membiayai konservasi dan rehabilitasi alam.
Rekomendasi Kebijakan
Pertama, Meningkatkan Investasi dalam bidang penelitian, pengembangan
dan pendidikan serta pengembangan sumberdaya manusia untuk
meningkatkan produktivitas, kualitas produk, memproduksi produk dengan
nilai yang lebih tinggi (divefikasi), mempertahankan kelestarian alam dan
mengurangi biaya untuk teknologi.
Kedua, Mengalokasikan investasi publik yang lebih besar pada fasilitas
infrastruktur untuk meminimalkan biaya distribusi dan mengurangi waktu
antrian dalam pengapalan barang.
Ketiga, Memberikan kemudahan dalam hal investasi, pajak dan
pengembangan sumberdaya manusia serta insentif finansial untuk
mengembangkan industri inti dan industri pendukung khususnya pada
pengolahan dan sub sektor permesinan.
Keempat, Memulihkan pembiayaan jangka pendek sampai jangka panjang
bagi usaha para produsen, usaha pemrosesan dan aktivitas perdagangan
internasional apabila cukup layak untuk dipulihkan.
Kelima, Melakukan langkah-langkah progresif dalam perjanjian bilateral
dan multilateral (ASEAN dan APEC) dengan menegosiasikan hambatan
diskriminasi tarif dan non tarif yang tidak adil, misalnya bea masuk 24 %
untuk tuna kalengan di Eropa, penolakan ekspor dan automatic detention
di AS, Australia, dan Eropa, ukuran persyaratan sanitasi dan phytosanitasi
yang keras dari AS dan Jepang.
Keenam, mempercepat keanggataan Indonesia dalam organisasi tuna
dunia dan ikut berperan aktif dalam forum-forum internasional mengenai
strategi dan kebijakan pengeloalaan tuna.
Untuk industri pengalengan dan pemrosesan ikan, fokus
pengembangannya adalah melalui :
· Meningkatkan akses nelayan kecil dan menengah terhadap daerah
penangkapan ikan yang lebih kaya (melalui kapal-kapal modern dan
teknologi penangkapan ikan) dan teknologi pendinginan.
· Menerapkan upstream dan downstream penelitian dan pengembangan.
· Mendorong keterkaitan usaha yang kompetitif dan marketing intelligent
untuk meningkatkan pangsa pasar dunia.
· Mengembangkan handliner dan mengorganisasikan dalam suatu wadah
armada nasional yang dilengkapi dengan mother boat dengan sstem
prosesing yang memadai
· Mengembangkan coolchain system di sentra-sentra penangkapan tuna
khususnya kawasan Timur
· Mengembangkan safe belt system melalui pengembangaan akses pulau
terluar sebagai sentra perikanan tuna/cakalang dan berfungsi sebagai
pagkalan kapal pengawas.
· Melakukan pemasaran yang strategis dengan market intelligent, promosi,
diferensiasi produk dan kualitas (didukung dengan industri downstream
yang dinamis) dan penetrasi pasar yang proaktif misalnya melalui lobby
perdagangan, perjanjian bilateral dan pasar potensial seperti China, India,
Pakistan, Mesir dan negara-negara ASEAN.

V.2. STRATEGI REVITALISASI INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL


PERIKANAN

a). Sektor produksi


- meningkatkan akurasi data sumberdaya ikan ekonomis di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia.
- penghentian ijin operasi ikan kapal asing di wilayah pengelolaan
perikanan Indonesia diikuti dengan peningkatan kemampuan penangkapan
dan modernisasi armada penangkapan ikan/ memberdayakan industri
perkapalan nasional
- pemberian ijin operasi kapal asing hanya diberikan bila mendirikan
industri pengolahan dan menjual sebagian hasil tangkapannya di indonesia
- pembentukan regulasi pengadaan bahan baku ikan impor pada industri
lokal
- mengatur kebijaksanaan perdagangan bahan baku ikan antar daerah,
mempertimbangkan kecukupan pasokan bahan baku ikan pada industri
dan pemenuhan gizi konsumen di daerah asal
- melakukan pengaturan ekspor bahan baku ikan, dengan pemberian
kompensasi logis bagi industri pensuplai bahan baku ikan, misalnya
melalui kebijakan harga, fasilitas, kemudahan regulasi dsb.
- penghapusan PPN 10 % dan peningkatan pungutan ekspor bahan baku
ikan.

b). Sektor pengolahan.


· Untuk konsumsi lokal.

- memperbaiki mutu produk olahan hasil perikanan, dengan


memperhatikan faktor keamanan konsumen
- melakukan edukasi secara intensif dan kontinyu pada konsumen tentang
bahaya mengkonsumsi food additive ilegal
- meningkatkan keragaman produk olahan hasil perikanan untuk
meningkatkan nilai tambah ekonomi
- melakukan kampanye makan ikan secara intensif dengan metode kreatif
dan edukatif secara luas, bekerjasama dengan menteri perempuan,
menteri pemuda, menteri kesehatan, menteri pendidikan, menteri
informasi, tvri, rri, surat kabar nasional sebagai iklan layanan sosial
- memperluas skala pendidikan informal teknik pengolahan ikan secara
baik dan benar (sesuai GHP dan GMP)
- menghapuskan biaya produksi tinggi untuk tingkatkan efisiensi dan daya
saing produk

· Untuk pasar
- menghilangkan image Indonesia yang selama ini dikenal sebagai
pemasok bahan baku industri perikanan di luar negeri, dengan
meningkatkan produksi produk bernilai tambah
- meningkatkan aplikasi teknologi yang lebih tinggi dan mutakhir dalam
pengolahan hasil perikanan, melalui pemberdayaan riset dan
pengembangan maupun kerjasama riset dan pengembangan dengan
lembaga riset/pendidikan
- meningkatkan kesadaran dan pengetahuan aplikasi sistem HACCP serta
HACCP PLUS (own check system) pada industri pengolahan berorientasi
ekspor.
- menerapkan sistem pengawasan jaminan mutu pada industri-industri
dilakukan secara intensif oleh competent authority.
- mendorong unit pengolahan ikan yang telah memenuhi syarat untuk
melakukan ekspor, dan mencabut ijin (approval number) bagi unit
pengolahan ikan yang tidak kontinyu melakukan ekspor ke UE.
- melakukan harmonisasi standar mutu dengan negara-negara pengimpor
dan standar internasional.
- melakukan negosiasi secara intensif dengan negara importir untuk
menurunkan tarrief dan non-tarrief barriers.

c). Strategi pemasaran


- meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait
- penguasaan industri pendukung
- memberikan konsekuensi logis
- perbaikan peraturan dan persaingan usaha
- meningkatkan kampanye makan ikan
- sinkronisai/harmonisasi persepsi Pemerintah Pusat –Daerah
- penempatan atase perdagangan perikanan di pasar utama produk hasil
perikanan Indonesia
- meningkatkan market iteliegence
- mengundang investor yang punya visi pro poor dan pro job.

d). Penguatan kelembagaan


- pemberdayaan koperasi
- revitalisasi seluruh BUMN dan UPT Perikanan
- pembangunan klaster-klaster sentra produk unggulan
- distribusi pusat penjualan BBM nelayan
- memperkuat basis dan struktur industri perikanan

V.3. KERANGKA PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL


PERIKANAN

a). Sasaran Jangka Menengah (2004-2009)

- meningkatnya utilisasi kapasitas menjadi sekitar 60% dengan rata-rata


peningkatan 5% per tahun
- meningkatnya ekspor rata-rata 5,0% per tahun
- meningkatnya penyerapan tenaga kerja di bidang industri pengolahan
hasil perikanan sebanyak 36 ribu orang
- meningkatnya devisa dari sektor perikanan rata-rata 2 % pertahun

b) Sasaran Jangka Panjang (2010-2024)


- Tercapainya angka kecukupan protein asal ikan bagi penduduk Indonesia
seperti yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi
- Tercapainya 50% ekspor produk perikanan dalam bentuk olahan

You might also like