You are on page 1of 80

ISBN

987-979-035-013-7

CP 13-14-32-01-034

Penulis:

LT Bangsawan

Penyunting:

Andira

Desain Isi:

Tim Pustaka Latifah

Desain Sampul:

Tim Pustaka Latifah

Edisi: 2006

Diterbitkan oleh
CV CITRA PRAYA
Komplek Cibolerang Indah Blok E
No. 52 Bandung

Hak cipta yang dilindungi undang-undang ada pada pengarang.


Dilarang keras mengutip, menjiplak, dan memfotokopi sebagian atau seluruh isi
buku ini serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari
CV Citra Praya.
iii

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt. penulis panjatkan atas segala
kenikmatan, perlindungan, semangat, kesehatan yang takkan
pernah tergantikan oleh apapun di dunia ini. Dengan rahmat-Nya,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan buku ini yang berjudul
Perkembangan Peserta Didik.
Buku ini bermaksud menyoroti perkembangan anak didik pada
ketiga periode yaang telah dibagi menjadi 3 periode oleh Ki Hadjar
Dewantara, yaitu (a) waktu pertama (1–7 tahun) dinamakan masa
kanak-kanak (kinder periode); (b) waktu kedua (7 – 14 tahun),
yaitu masa pertumbuhan jiwa dan pikiran (intellectueele periode);
dan (c) masa ketiga (14– 21 tahun) dinamakan masa terbentuknya
budi pekerti atau social periode. 1 Nilai-nilai dalam keluarga serta
nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat menjadi
landasan bagi anak didik dalam menempuh pendidikan di sekolah
dan pendidikan di masyarakat tersebut dengan berbagai pengaruh
yang menimbulkan perbedaan-perbedaan.
Selain itu, akan diuraikan juga bagaimana guru
memanfaatkannya menjadi energi positif untuk terus memupuk
dan membina anak didiknya agar menjadi pribadi yang berguna
bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan negara di kemudian hari.

1. Ibid, halaman 28 – 29.


iv
BAB III
BELAJAR DAN PERUBAHAN PADA SISWA DIDIK ..... 35
A. APA ITU BELAJAR?......................................................... 37
B. BAGAIMANA PROSES OTAK SAAT BELAJAR?......... 38
C. BELAJAR ITU BERLANGSUNG SEPANJANG
HAYAT ............................................................................... 40
D. BELAJAR ITU BERSIFAT HOLISTIK............................. 41
E. BAGAIMANA SIKAP TERBENTUK?............................. 43
F. BELAJAR DAN PERUBAHAN SIKAP............................ 46
G. PERUBAHAN SIKAP MENUJU
PERUBAHAN PERILAKU................................................ 47

BAB IV
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DAN
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK . ............................. 49
A. PERLUKAH PEMBELAJARAN SEKOLAH?................. 50
B. PEMBELAJARAN KETERAMPILAN
DI SEKOLAH .................................................................... 51
C. PEMBELAJARAN MENUJU PERUBAHAN
PERILAKU ........................................................................ 56
D. PEMBELAJARAN DARI LINGKUNGAN ..................... 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 69
GLOSARIUM ........................................................................ 71
INDEKS................................................................................... 72
v

DAFTAR ISI
Prakata . ................................................................................... iv
Daftar Isi ................................................................................... ii

BAB I
PEMAHAMAN TERHADAP MANUSIA SEBAGAI
MAKHLUK SOSIAL .............................................................. 1
A. MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA .............................. 4
1. Perbedaan perilaku karena perbedaan kemampuan . ...... 4
2. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda ..... 6
3. Berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan ....... 7
4. Pemahaman atas lingkungan berdasarkan
Pengalaman masa lalu dan kebutuhan ............................ 8
5. Seseorang memiliki reaksi senang atau tidak Senang..... 9
B. BEBERAPA HAMPIRAN UNTUK MEMAHAMI
PERILAKU ........................................................................ 10
1. Hampiran kognitif (cognitive approach) ...................... 10
2. Hampiran penguatan (reinforcement aproach) . ........... 14
3. Hampiran psikoanalitis (psychoanalitical approach) . . 16

BAB II
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA . .............................. 21
A. APA ITU KELUARGA?..................................................... 24
B. KELUARGA SEBAGAI PENUNTUN NILAI-NILAI
DAN TRADISI .................................................................. 25

vi
Melalui buku ini diharapkan dapat bermanfaat, bernilai guna,
serta dapat menjadi pembuka jalan pemikiran individu untuk
selalu mengembangkan kemampuan berpikirnya ditengah-tengah
permasahan kehidupan yang datang silih berganti.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepaddda semua
pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan
buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas terhadap buku ini.

Bandung, Juni 2006



Penulis
BAB I
PEMAHAMAN
TERHADAP MANUSIA
SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
2
Karena proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang
melibatkan berbagai unsur, yaitu guru, siswa, orangtua, sekolah
dan masyarakat, itu artinya proses belajar mengajar merupakan
suatu proses yang melibatkan antarindividu manusia yang ada di
dalamnya, khususnya guru dan peserta didik.
Zaman dahulu, orang percaya dengan suatu teori yang
disebut tabula rasa , yaitu teori yang mengandung keyakinan
bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan kosong seperti kertas
putih. Tabula rasa artinya papan tulis dari lilin yang pada zaman
dulu dipakai untuk surat-menyurat. Teori ini meyakini bahwa
pendidikan dan lingkunganlah yang kemudian mengisi jiwa kosong
manusia tersebut sehingga beraneka warna. Pendidikan oleh teori
ini dianggap sebagai satu-satunya pembentuk kepribadian dan
kemampuan manusia.
Teori tersebut kemudian dibantah oleh teori-teori lain dengan
alasan: apabila tidak ada faktor bawaan dari lahir, sudah pasti melalui
pendidikan semua manusia adalah orang-orang yang pandai dan
baik, asalkan mendapat pendidikan dan pengaruh yang baik. Teori
negatif yang merupakan kebalikan dari teori tabula rasa ini meyakini
bahwa, bagaimana pun baiknya suatu pendidikan yang diberikan pada
manusia, pendidikan tidak akan dapat sepenuhnya menjadi jaminan
menjadikan manusia itu pandai dan baik apabila watak dasar manusia
tersebut memang tidak baik.
Pada zaman sekarang, kedua teori di atas tidak lagi diakui
kebenarannya. Banyak teori yang sekarang menekankan bahwa apa
yang dibawa manusia sejak lahir saling pengaruh-memengaruhi

Perkembangan Peserta Didik


3
dengan pengajaran yang ia peroleh di masa sekolah. Teori ini
disebut teori konvergensi, di mana karakteristik bawaan individu
saling memengaruhi dengan apa yang ia peroleh dari luar atau
lingkungannya.
Manusia adalah makhluk sosial. Pernyataan ini ada disebabkan
manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau
individu dengan lingkungannya. Individu membawa serta ke dalam
tatanan masyarakat di lingkungannya, suatu kemampuan, kepercayaan
diri, pengharapan kebutuhan dan pengalaman-pengalaman di masa
lalunya. Semua ini merupakan karakteristik individu.
Ungkapan pengertian di atas dapat dirumuskan dengan formula
sebagai berikut:1
P = F (I, L)
Keterangan:
P adalah perilaku
F adalah fungsi
I adalah individu
L adalah lingkungan
Ungkapan tersebut dapat dibaca sebagai berikut.
Perilaku individu adalah suatu fungsi dari interaksi antara
seorang individu dengan lingkungannya. Ini artinya bahwa
seseorang individu dengan lingkungannya menentukan perilaku
keduanya secara langsung, atau saling memengaruhi.

1. Drs. Miftah Thoha, MPA., Perilaku Organiaasasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya,
CV Rajawali, Jakarta, hal. 34.

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


4
A. MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA
Ilmu perilaku telah banyak mengembangkan cara-cara untuk
memahami sifat-sifat manusia. Konsep tentang manusia itu sendiri
telah banyak pula dikembangkan oleh para peneliti. Walaupun
konsep-konsep tersebut terdapat perbedaan satu sama lain, namun
usaha pengembangan pemahaman mengenai sifat manusia pada
umumnya telah banyak dilakukan. Salah satu cara untuk memahami
sifat-sifat manusia ini ialah dengan menganalisa kembali prinsip-
prinsip dasar yang merupakan salah satu bagian dari padanya.
Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.2
1. Perbedaan perilaku karena perbedaan kemampuan.
Prinsip dasar kemampuan ini sangat penting diketahui dalam
me­mahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku ber­
beda dengan orang lain. Perbedaan kemampuan ini ada yang
menganggap disebabkan oleh kemampuan manusia yang di­takdir­
kan tidak sama. Ada pula yang beranggapan bukan karena di­
sebabkan sejak lahir, melainkan karena perbedaan cara menyerap
informasi dari suatu gejala. Ada lagi yang beranggapan bahwa
per­bedaan kemampuan itu disebabkan kombinasi dari keduanya.
Oleh karena itu, kecerdasan merupakan salah satu perwujudan
dari kemampuan seseorang. Ada pula yang beranggapan bahwa
kecerdasan seseorang itu juga berasal dari pembawaan sejak lahir,
dan ada pula yang beranggapan bahwa kecerdasan berasal dari

2. Ibid, hal.36.

Perkembangan Peserta Didik


5
pendidikan serta pengalaman. Meskipun demikian, ada pula yang
membenarkan bahwa kecerdasan (IQ) seseorang itu dipengaruhi
oleh tingkat keterbatasan karena adanya pembatasan-pembatasan
psikologis (Physiological Limitations).
Ag. Soejono dalam bukunya Aliran Baru dalam Pendidikan,
menggolong-golongkan kecerdasan anak sebagai berikut.
a. Anak dengan kecerdasan baik, yaitu mereka yang memiliki
IQ (Intelligentie Quotient) antara 110–130.
b. Anak dengan kecerdasan biasa, yaitu yang IQ-nya antara
90 dan 110
c. Anak dengan kecerdasan kurang, yaitu yang IQ-nya antara
70 dan 90, serta
d. Anak dengan kecerdasan amat kurang, yaitu IQ nya kurang
dari 70.
Lepas dari setuju atau tidak setuju dari perbedaan-perbedaan
tersebut, ternyata kemampuan seseorang dapat membedakan
perilaku­nya. Oleh karena perbedaan kemampuan ini, dapat kiranya
dipergunakan untuk memprediksi pelaksanaan dan hasil belajar
seorang siswa di dalam kelas. Kalau kita berhasil memahami sifat-
sifat dari sudut ini, kita akan memahami pula mengapa seorang
siswa berperilaku berbeda dengan yang lain di dalam melaksanakan
kegiatan belajar individu atau kelompok di dalam kelas.

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


6
2. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda
Ahli-ahli perilaku umumnya membicarakan bahwa manusia
berperilaku karena didorong oleh serangkaian kebutuhan. Dengan
kebutuhan tersebut, muncul beberapa pernyataan di dalam diri
seseorang (internal state) yang menyebabkan seseorang itu ber­
buat untuk mencapai suatu objek atau hasil.
Kebutuhan seseorang berbeda dengan kebutuhan orang lain.
Terkadang, seseorang yang sudah berhasil memenuhi kebutuhan
yang satu, misalnya kebutuhan mencari sandang, pangan, serta
papan, kebutuhannya akan berlanjut dan berubah atau ber­
kembang. Ia akan mengganti kebutuhannya dengan kebutuhan
yang lain. Misalnya, dengan kebutuhan akan pengakuan atas
dirinya atau peningkatan harga diri. Kebutuhan yang mendorong
seorang individu, mungkin merupakan hal yang potensial, tetapi
mungkin juga tidak. Semua itu berpengaruh terhadap perilakunya
di kemudian hari.
Pemahaman kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap individu ini
amat bermanfaat untuk memahami perilaku siswa di dalam kelas
pada proses pembelajaran secara individu maupun kelompok. Ini
juga membantu kita untuk memahami mengapa suatu hasil dari
evaluasi belajar dianggap penting bagi seseorang dan tidak bagi
siswa lainnya.

Perkembangan Peserta Didik


7
3. Berpikir tentang masa depan dan membuat pillihan
Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dipenuhi lewat perilakunya
masing-masing. Dalam banyak hal, seringkali seseorang dihadap­
kan dengan sejumlah kebutuhan potensial harus dipenuhinya lewat
perilaku yang dipilihnya. Misalnya, seorang siswa memerlukan
nilai tinggi pada saat ujian akhir di sekolah, tetapi di saat yang
sama juga membutuhkan pengakuan teman-temannya dalam
pergaulan sehari-hari, di sini ia dihadapkan pada pilihan untuk
menentukan mana yang lebih prioritas belajar atau teman , dan
akhirnya perilakunyalah yang menentukan hasil capaian di sekolah
dan lingkungannya (teman-temannya).
Cara untuk menjelaskan bagaimana seseorang membuat
pilihan di antara sejumlah besar rangkaian pilihan perilaku yang
terbuka baginya, adalah dengan mempergunakan penjelasan teori
expectancy. Teori ini berdasarkan atas proposisi yang sederhana
yakni bahwa seseorang memilih berperilaku sedemikian karena
ia yakin dapat mengarahkan untuk mendapatkan sesuatu hasil
tertentu (misalnya, mendapat pujian atau nilai yang baik).
Jadi, usaha-usaha yang dilakukan seseorang adalah berdasarkan
harapan (expectancy) bahwa ia akan memperoleh sesuatu dari
pelaksanaan usahanya itu. Ia percaya bahwa tingginya pencapaian
hasil yang ia peroleh akan bergantung pada usaha dan pelaksanaan
usahanya.

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


8
4. Pemahaman atas lingkungan berdasarkan pengalaman
masa lalu dan kebutuhannya.
Model expectancy, seperti halnya dengan banyak hampiran yang
di­pergunakan untuk memahami perilaku manusia, menduga
bahwa orang berperilaku itu menurut persepsinya terhadap dunia
ini. Ini menunjukkan bahwa persepsi mengarahkan kepada suatu
kepercayaan tentang pelaksanaan atau usaha yang dilakukan.
Memahami lingkungan adalah suatu proses yang aktif, di mana
seseorang mencoba membuat lingkungannya itu mempunyai
arti bagi dirinya. Proses yang aktif ini melibatkan seorang
individu mengakui secara selektif aspek-aspek yang berbeda dari
lingkungan, menilai apa yang dilihatnya dalam hubungannya
dengan pengalaman masa lalu, dan mengevaluasi apa yang di­
alaminya itu dalam kaitannya dengan kebutuhan dan nilai-
nilainya.
Oleh karena kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman seseorang
itu seringkali berbeda sifatnya, persepsinya terhadap lingkungan
juga akan berbeda. Contohnya, siswa-siswa didik yang ada dalam
sebuah kelas yang seringkali mempunyai perbedaan dalam ber­
pengharapan (expectancy) mengenai suatu jenis pelajaran, se­
hingga hasil yang diperoleh dari pelajaran yang sama akan ber­
beda-beda.
Sebagai tambahan keterangan dari hal-hal istimewa ini,
proses belajar di masa yang lampau dari seorang siswa didik
akan memainkan peranan penting dalam menentukan apa yang
ia ketahui di kemudian hari. Walaupun suatu peristiwa atau objek

Perkembangan Peserta Didik


9
diketahui atau diperhatikan oleh seorang individu, bukan jaminan
bahwa peristiwa atau objek tadi dapat dipahami secara akurat.
Objek atau peristiwa sering kali ditafsirkan agar sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilainya.
Sifat yang spesifik dari penyalah-tafsiran (distortion) terhadap
suatu objek atau peristiwa tertentu ini, adalah sulit untuk di­
ramalkan. Banyak faktor-faktor idiosinkrasi yang ikut terlibat,
baik pada sifat suatu objek atau peristiwa, maupun pada hal-hal
yang bersifat psikologis dan emosional dari seorang manusia.
5. Seseorang memiliki reaksi senang atau tidak senang
(affective)
Manusia jarang yang dapat bertindak netral mengenai sesuatu hal
yang mereka ketahui atau alami. Mereka cenderung mengevaluasi
sesuatu yang mereka alami dengan cara senang (like) atau tidak
senang (dislike). Selanjutnya, evaluasinya itu merupakan salah
satu faktor yang teramat sulit di dalam memengaruhi perilakunya
mengenai sesuatu di masa yang akan datang. Contohnya, seorang
siswa yang di rumah orangtuanya tidak pernah memberikan
penjelasan mengenai pentingnya mempelajari bahasa asing selain
bahasa Indonesia atau daerah, ketika menemui pelajaran bahasa
asing di sekolah akan merasa dislike dengan pelajaran itu.
Perasaan like dan dislike ini akan menjadikan seseorang berbuat
yang berbeda dengan orang lain di dalam rangka menanggapi
sesuatu hal. Perasaan-perasaan senang dan tidak senang itu biasanya
diikuti dengan usaha untuk membanding-bandingkan dengan apa
yang sudah ia alami sebelumnya. Perbandingan-perbandingan ini

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


10
terkadang kurang informasi atau kurang bahan masukan (input)
sehingga menimbulkan salah persepsi (misperception). Kesalahan
dalam persepsi ini menjadi bahan penting bagi proses belajar-
mengajar agar bahan pelajaran yang diberikan kepada para siswanya
tidak menimbulkan misperception yang akibatnya memunculkan
ke­­salahan dalam bersikap dan bertindak dari para siswa didiknya.
Contoh­nya, seorang ustadz yang mengajarkan paham mengenai Islam
yang keliru sehingga memunculkan muslim-muslim yang berwatak
keras terhadap kepercayaan orang lain.
B. BEBERAPA HAMPIRAN UNTUK MEMAHAMI
PERILAKU
Ada beberapa hampiran yang dikembangkan oleh para ahli ilmu
perilaku untuk memahami perilaku manusia yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Hampiran (approach) pemahaman perilaku
itu pada umumnya dapat dikelompokkan atas tiga hampiran, yaitu
hampiran kognitif, hampiran penguatan (reinforcement approach),
dan hampiran psikoanalitis.
1. Hampiran kognitif (cognitive aproach)
Teori kognitif percaya bahwa perilaku seseorang itu disebabkan
adanya suatu rangsangan (stimulus), yaitu suatu objek fisik yang
memengaruhi seseorang dalam banyak cara. Menurut teori ini,
semua perilaku itu tersusun secara teratur. Individu mengatur
pengalamannya ke dalam aktivitas untuk mengetahui (cognition)
yang kemudian menyusunnya ke dalam susunan kognitifnya
(cognitive structure). Susunan ini menentukan jawab (respons)
individu terhadap sesuatu.

Perkembangan Peserta Didik


11
Cognition menurut Neisser adalah aktivitas untuk mengetahui,
misalnya kegiatan untuk mencapai yang dikehendaki, pengaturan­
nya dan penggunaan pengetahuan. Dari alasan inilah maka
pengetahuan mengenai cognition ini merupakan bagian dari
psikologi, dan teori-teori mengenai cognition ini merupakan teori
psikologi.3
Kognisi adalah dasar dari unit teori kognitif. Ia merupakan
representasi internal yang terjadi antara suatu stimulus dengan
suatu jawaban (respons), dan yang bisa menyebabkan terjadinya
jawaban. Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Stimulus Cognition Response

Seseorang mengetahui adanya suatu stimulus, kemudian


memprosesnya ke dalam kognisi. Pada akhirnya, kognisi ini
menghasilkan dan menyebabkan munculnya jawaban atas stimulus
tadi. Sebagai contoh, suatu hari seorang siswa harus mengikuti
ujian akhir. Karena tidak siap, ia kemudian mencontek. Tiba-tiba
seorang pengawas yang berdiri di belakangnya mendehem. Ia
yang menyangka si pengawas menegurnya, langsung berkeringat.
Interpretasinya mengenai perilakunya yang salah menyebabkan
keringat dingin keluar bercucuran.
Contoh tersebut menguraikan adanya elemen-elemen dari
kognitif, berupa stimulus, kognisi dan respons.
3. Ulric Neisser, Cognition and Reality: Principles and Implications of Cognitive Psy-
chology, San Francisco, WH. Freeman dan Co., 1976, hal.1

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


12
Menurut teori kognitif, aktivitas mengetahui dan memahami
sesuatu (cognition) itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Aktivitas
ini selalu dihubungkan dan disempurnakan dengan kognisi yang
lain. Proses penjalinan dan tata hubungan di antara kognisi-kognisi
ini membangun suatu struktur dan sistem. Struktur dan sistem ini
dinamakan struktur kognitif. Contohnya, Kemarin, Sinta duduk
dekat saya di kelas dan buku Sosiologi saya hilang . Kedua kognisi
itu jika digabungkan akan membentuk sistem kognisi bahwa
Sinta pencuri. Asosiasi ini disebabkan karena adanya pengalaman
terdahulu yaitu, apabila kehadiran Sinta selalu diikuti dengan
hilangnya benda-benda tertentu.
Sistem kognitif mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (1)
memberikan pengertian pada kognitif baru, (2) menghasilkan
emosi, (3) membentuk sikap, dan (4) memberikan motivasi
terhadap konsekuensi perilaku.
Menurut teori kognitif, pengertian terjadi jika suatu kognitif
dihubungkan dengan sistem kognitif yang telah ada. Contohnya,
seorang murid ketika belajar matematika di dalam kelas dengan
seorang guru baru, dengan segera ia akan menghubungkan
pelajaran matematika itu dengan yang telah ia pelajari dari gurunya
terdahulu. Jika pengalaman tidak bisa dihubungkan dengan
sistem kognitifnya (pelajaran dari guru baru tersebut) maka dapat
dikatakan tidak memberi arti (meaningless).
Interaksi antara kognisi dan sistem kognitif tidak hanya
memberi pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat memberikan

Perkembangan Peserta Didik


13
konsekuensi-konsekuensi berupa sikap atau perasaan, misalnya
senang atau tidak senang, cinta atau benci, hormat atau tidak
hormat, dan sebagainya. Dalam contoh di atas, jika cara mengajar
guru baru itu menyenangkan, penilaian siswa tadi terhadap guru
barunya mungkin adalah senang atau bagus. Inilah yang dinamakan
konsekuensi emosi.
Sistem kognitif memerlukan komponen-komponen yang
mengandung afektif (emosi). Bersatunya sistem kognitif dan
komponen afektif menghasilkan tendensi perilaku untuk mencapai
suatu objek. Jadi, sikap seseorang itu mempunyai kognitif
(pengetahuan), afektif (emosi) dan tindakan (tendensi perilaku).
Sikap seorang siswa terhadap pelajaran bahasa Inggris. Misalnya,
terdiri atas komponen-komponen kognitif berikut:
a. bahasa Inggris penting untuk masa depan;
b. siswa itu mungkin tahu bahwa orang yang bisa berbahasa
Inggris lebih mudah untuk diterima bekerja;
c. siswa merasa pergaulannya lebih luas bila ia bisa berbahasa
asing;
d. dan sebagainya.
Komponen-komponen kognitif ini semuanya juga termasuk
komponen afektif (misalnya, siswa itu hampir secara keseluruhan
menyukai pelajaran bahasa Inggris) dan tendensi bertindak (misal­
nya, siswa tersebut menambah jam belajar bahasa Inggris selain
di sekolah juga di tempat kursus).
Ternyata, teori kognitif harus pula didukung oleh motivasi dari
perilaku seseorang. Hal tersebut dikarenakan perilaku itu hanya

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


14
terdiri atas tindakan-tindakan yang terbuka saja melainkan juga
termasuk faktor-faktor internal, seperti berpikir, emosi, persepsi,
dan kebutuhan.
2. Hampiran penguatan (reinforcement approach)
Istilah reinforcement (penguatan) secara konsepsional sangat erat
hubungannya dengan proses psikologi lainnya yang dikenal dengan
motivasi. Ada kecenderungan para ahli untuk menyamakan antara
reinforcement dengan motivasi. Motivasi sebagai suatu dasar dari
proses psikologi adalah sangat luas dan kompleks dibandingkan
dengan reinforcement ini.
Kebutuhan (need) yang merupakan pusat perhatian dari
motivasi berlandaskan pada kognitif dan kebutuhan merupakan
pernyataan di dalam diri setiap orang yang sulit diamati atau dilihat.
Sementara itu, reinforcement adanya di lingkungan. Reinforcer
berasal dari luar (external), yaitu berupa peristiwa-peristiwa yang
ada di lingkungan yang kemudian diikuti dengan adanya respons.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa motivasi dari suatu perilaku adalah
berasal dari dalam (internal) dan reinforcement asalnya dari luar.
Dengan demikian, perspektif motivasi dan reinforcement memang
sangat berbeda.
Konsepsi penguatan menjelaskan bahwa stimulus adalah
sesuatu yang terjadi untuk merubah perilaku seseorang. Suatu
stimulus dapat berupa benda fisik ataupun berupa materi. Ia dapat
diukur dan diamati. Semua stimulus dapat dijumpai di dalam
lingkungan manusia. Adapun respons adalah setiap perubahan
dalam perilaku individu. Suatu respons terjadi karena stimulus dan

Perkembangan Peserta Didik


15
suatu stimulus selalu menghasilkan respon. Perubahan perilaku
individu bisa positif, yaitu jika perubahan yang disebabkan stimulus
itu membawa kesenangan dan bisa juga negatif jika perubahan
yang disebabkan stimulus itu menimbulkan kesengsaraan.
Selain stimulus dan respons, satu lagi unsur yang ada dalam
konsepsi penguatan ini adalah adanya penguat (reinforcer). Penguat
adalah suatu respons yang menghasilkan adanya peningkatan
hubungan (association) antara stimulus dan respon. Penguat akan
meningkatkan probabilitas bahwa stimulus akan menghasilkan
respons-respons lagi yang sama, respons-respons tersebut akan
diulang. Terdapat dua jenis penguat, yaitu penguat positif dan
penguat negatif.
Penguat positif adalah suatu hasil dari suatu respons yang
dapat menguatkan asosiasi antara stimulus dan respons. Karena
adanya hubungan yang kuat antara respons dan stimulus ini, maka
penguat positif akan terjadi berulang-ulang. Contoh: Seorang guru
yang selalu akan menaikkan siswanya bila ada uang suap . Maka
kelak, bila akan naik kelas lagi, siswa tersebut akan memberikan
penguat positif berupa uang suap kepada guru tersebut agar naik
kelas.
Penguat negatif adalah suatu hasil yang dapat merubah
kekuatan perhubungan antara suatu stimulus dan respon yang
dihasilkannya. Contoh: Guru yang tadinya senang disuap untuk
menaikkan kelas siswanya, tiba-tiba kepergok oleh kepala sekolah
dan mendapatkan sanksi. Maka sanksi adalah penguat negatif
yang dapat menghentikan perilaku guru yang sedang disuap tadi.

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


16
3. Hampiran psikoanalitis (psychoanalitical approach)
Hampiran psikoanalitis menekankan bahwa perilaku manusia itu
dikuasai oleh kepribadiannya (personality). Pelopor dari konsep
psikoanalitis adalah Sigmund Freud. Dia memiliki pandangan
bahwa konflik selalu ada dalam tubuh manusia yang terpatri dalam
perjuangan antara segi baik dan buruk, segi malaikat dan setan,
yang selalu berjuang saling mengalahkan. Menurut Freud, susunan
personality seseorang itu dapat dijelaskan dengan kerangka
ketidaksadaran. Ia percaya ada tiga hal yang saling berhubungan
dan yang sering kali berlawanan yaitu: id, ego dan superego.
Apa itu id ?
Pada dasarnya id adalah subsistem dari kepribadian. Id sering
kali dilukiskan sebagai kawah mendidih yang berisi pengharapan
dan keinginan-keinginan yang memerlukan pemuasan/pemenuhan
secepatnya. Dalam rangka mencari pemuasan dari keinginan-
keinginan itu, id tidak terbelenggu oleh faktor-faktor pembatas
seperti etik, moral, alasan atau logika. Tidak heran bila terdapat
dua hal yang sering kali bertentangan terjadi bersama-sama dalam
satu id. Contohnya: keinginan guru untuk memajukan siswanya
sesuai dengan kemampuan mereka, namun di saat yang sama ia
juga ingin mensejahterakan keluarganya sendiri.
Id secara tetap merupakan suatu upaya untuk mendapatkan
penghargaan, pemuasan dan kesenangan. Id terwujud melalui libido
(mengarah pada keinginan seksual dan kesenangan, kehangatan,
makanan dan kenyamanan) dan agresi (keinginan berperang,
berkelahi, berkuasa, dan semua tindakan yang bersifat merusak).

Perkembangan Peserta Didik


17
Pada individu yang matang, dewasa dan berkembang karena
pendidikan, ia belajar untuk mengendalikan id-nya. Untuk itulah
agama mengajarkan pada manusia agar beriman pada Tuhannya.
Meskipun demikian, id tetap memberikan dorongan-dorongan
yang kuat untuk pemenuhan dan pemuasan terhadap individu-
individu manusia.
Apa itu ego?
Apabila id yang sudah diulas sebelumnya merupakan sumber
dari ketidaksadaran manusia, maka ego menunjukkan sebaliknya.
Ego adalah sumber rasa sadar. Ego mewakili logika dan yang
dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas. Ego merupakan
subsistem yang dapat mengendalikan dua subsistem lain dari
kepribadian manusia yaitu id dan superego yaitu dengan cara
berinteraksi dengan dunia luar atau lingkungan luar (external
environment).
Ego bertindak sebagai perantara id, yaitu yang mengembangkan
kepentingan id dengan dunia luar agar dapat mencapai pemuasan
keinginan. Tujuannya adalah untuk melindungi kehidupan dengan
cara menafsirkan dan menggali apa yang terjadi di lingkungan
luar, sehingga ego menjadi sadar tentang apa yang terjadi di dunia
dan apa yang dialaminya. Ego dapat menimbang dan belajar
dari lingkungan luarnya. Dalam hal ini, ego mempertimbangkan
keinginan-keinginan yang muncul dari id terlebih dulu sebelum
menjawab ya atau tidak . Jika jawabannya ya, ego akan mendorong
id untuk mencari alat agar keinginan id tercapai. Tetapi jika
jawabannya tidak, ego akan mengarahkan id ke cara yang lebih

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


18
aman atau ke daerah yang menurut realita lebih dapat tercapai.
Namun, seringkali id dan ego berkonflik dengan sangat keras,
sehingga individu merasakan kebingungan yang teramat sangat.
Agar ego dapat mengataasi situasi konflik itu, maka ego mendapat
bantuan dari superego.
Apa itu superego?
Superego adalah kekuatan moral dari kepribadian. Ia
merupakan sumber norma atau standar kebenaran yang secara
tidak sadar dapat menilai semua aktivitas ego. Superego itu sendiri
berkembang dari saling interaksinya ego dengan lingkungan atau
masyarakat. Superego ini dikembangkan lewat penyerapan nilai-
nilai kultural dan moral dalam masyarakat. Sebenarnya, dalam
perkembangan siswa didik, orangtualah yang paling penting
dalam pengembangan superego anak-anaknya.
Jadi, teori dari Sigmund Freud sebenarnya ditandai dengan
konflik dari subsistem personality (kepribadian) ini. Pendekatan
dari Freud menjelaskan bahwa perilaku manusia itu didasarkan
pada emosional. Jika ego tidak mampu mengendalikan id, maka
seseorang itu menjadi agresif dan dapat merusak masyarakat.
Tetapi jika id terlalu dikontrol oleh ego, maka seseorang itu sulit
menyesuaikan diri (maladjusted). Dan jika superego yang terlalu
kuat, maka hasilnya orang tersebut menjadi cepat tersinggung
dan merasa bersalah. Dengan demikian, sistem kepribadian harus
berimbang disesuaikan dengan keadaan lingkungan, logika dan
realitasnya.

Perkembangan Peserta Didik


19

Pemahaman terhadap Manusia sebagai Makhluk Sosial


20

Perkembangan Peserta Didik


BAB II
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
22
Tak dapat disangkal lagi bahwa seluruh pendapat para ahli
sosiologi selalu mengungkapkan manusia adalah makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial berarti manusia tidak dapat hidup sendiri
atau menyendiri. Manusia akan selalu mencari manusia lainnya
untuk berinteraksi dan mengembangkan diri.
Seorang psikolog bernama Branca bahkan mengatakan
bahwa, Man is a social animal. As a raze man, cannot survive in
isolation. As an individual, his normal state is in association with
other human beings. From his first day of life and through his long
infancy and childhood, he is almost continuously attended by and
in the presence of other human beings. Even when he becomes
an adult, the greatest parts of his activities are in respon to the
activities of other people . Jadi sejak masa kelahirannya, manusia
selalu dihadiri oleh manusia lainnya, bahkan ketika ia dewasa
sekalipun, seluruh aktivitasnya tidak akan mungkin lepas dari
aktivitas orang-orang lain di sekelilingnya. Begitulah manusia,
yang tidak mungkin bisa hidup (survive) dengan cara dikucilkan.
Alasan mengapa manusia tidak dapat hidup sendiri dikemukakan
oleh Prof. DR. P.J. Bouwman yaitu, bahwa manusia memiliki
hasrat-hasrat yang harus dipenuhi dalam dirinya seperti:
• hasrat sosial;
• rasa harga diri;
• hasrat untuk patuh;
• hasrat meniru;
• hasrat bergaul;
• hasrat tolong-menolong dan simpati;

Perkembangan Peserta Didik


23
• hasrat berjuang, dan
• hasrat memberitahukan dan menerima kesan-kesan.
Seluruh hasrat di atas merupakan hasrat bermasyarakat, yaitu
bahwa manusia secara individu mengadakan kontrak sosial tertulis
maupun tak tertulis untuk hidup bersama dalam suatu kelompok
pergaulan hidup.
Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan menggambarkan
teorinya sebagai berikut.
Berpegang kepada keadaan alam, maka manusia merupakan
homo homimi lupus (manusia yang satu bersikap serigala kepada
manusia yang lainnya) yang sangat membahayakan kehidupan
manusia, sehingga demi keutuhan (menghindari kemusnahan)
diadakanlah kontrak atau perjanjian sosial antarindividu untuk
hidup bersama di bawah suatu pemerintahan yang cukup kuat
untuk mengekang setiap orang untuk kepentingan mereka
bersama.4 Demikianlah, untuk mempertahankan hidupnya
manusia kemudian berkelompok, terkotak-kotak dalam kesamaan
kepentingan dan pemenuhan kebutuhan.
Proses pertumbuhan tiap individu manusia dari masa anak-anak
hingga dewasa sampai ia dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan
kelompok dikenal dengan istilah sosialisasi dan enkulturasi.
Proses sosialisasi adalah pertumbuhan dalam kehidupan tiap-tiap
individu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang,
berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan diri dengan individu-
individu yang hidup dalam masyarakat di sekitarnya. Sementara
4. Dr. A. Lysen, “Individu dan Masyarakat”, diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pener-
bit Sumur Bandung, Bandung, 1964, hal.52.

Pendidikan dalam Keluarga


24
itu, proses enkulturasi adalah pertumbuhan dalam kehidupan
bersama dengan masyarakat di sekitarnya. Individu mempelajari
dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat, norma-norma, aturan-
aturan, pendirian-pendirian dan anggapan-anggapan yang sudah
ada dalam lingkungan sosial dan kebudayaan di mana si individu
itu berada.
Kita dapat menjumpai proses-proses tersebut dalam tiap
kelompok. Pada umumnya, dimulai dari kelompok terkecil
di masya­rakat, yaitu keluarga. Kemudian menuju kelompok
yang lebih besar melalui beberapa tahapan. Misalnya, seorang
anak memulai hidupnya dengan berhubungan dan mempelajari
kelompok keluarganya sendiri, mulai dari ayah, ibu, dan saudara-
saudaranya. Kemudian, ia mempelajari pembantu-pembantu
yang ada di rumahnya. Setelah itu, ia akan keluar, ke tetangga-
tetangga, sekolah, dan kemudian meluas dan melebar ketika ia
sudah beranjak dewasa dan bekerja.
A. APA ITU KELUARGA?
Sebagaimana telah disebutkan di awal, keluarga merupakan
kelompok masyarakat yang terkecil, yang masing-masing individu
di dalamnya mempunyai ikatan darah dan pertalian batin yang
sangat erat. Dan meskipun tidak tertulis, tiap anggota individu di
dalam keluarga memiliki tanggung jawab yang jelas.
Sebuah keluarga biasanya terdiri dari seorang ayah, seorang ibu
dan anak-anak. Disadari ataupun tidak, masing-masing individu di
dalam keluarga akan saling belajar satu sama lainnya; anak-anak
akan belajar dan meniru dari ayah dan ibunya, ibu akan belajar

Perkembangan Peserta Didik


25
dari ayah dan sebaliknya, bahkan seorang ayah dan ibu pun akan
mempelajari sesuatu dari anak-anaknya.
Secara fisik, seorang ayah dan ibu akan menurunkan sifat-
sifat bawaan (heredity) kepada anak-anaknya, yang menyebabkan
satu keluarga dan keluarga yang lainnya memiliki ciri fisik yang
berbeda-beda; bahkan, satu individu dan individu lainnya dalam
keluarga memiliki ciri fisik yang berbeda-beda. Sifat-sifat bawaan
ini misalnya: rambut ikal atau lurus, hidung mancung atau tidak,
bentuk tulang pipi dan mata, warna kulit, dan sebagainya. Semua
sifat bawaan ini sudah tak dapat berubah. Oleh karena itulah,
ciri fisik seringkali menjadi patokan bagi pihak kepolisian untuk
mencari seseorang yang melanggar hukum.
Pembawaan (Heredity); yakni segala potensi yang dimiliki
individu sejak masa kehamilan. Ini berarti bahwa penurunan sifat
berlangsung melalui sel benih dan bukan sel-sel lain. Dengan
demikian tidak akan terjadi penularan sifat seseorang pada peristiwa
transfusi darah, transplantasi dan sebagainya; dan bukan hasil dari
kecakapan hasil belajar atau usaha lain. Misalnya: orangtua yang
cerdas akan menurunkan anak-anak yang cerdas, kesamaan fisik,
dan sebagainya. Jadi yang diturunkan orangtua pada anaknya
adalah structural, permanent state (sifat-sifat struktural tetap) dan
bukan tingkah laku dari hasil belajar atau pengalaman.
B. KELUARGA SEBAGAI PENUNTUN NILAI-NILAI DAN
TRADISI
Menurut Ki Hadjar Dewantara, mendidik anak berarti mendidik
rakyat. Kedaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman

Pendidikan dalam Keluarga


26
sekarang adalah buah dari pendidikan yang kita terima dari
orangtua pada waktu kita anak-anak. Sebaliknya anak-anak yang
pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara
kita. Ia juga mengatakan, pengaruh pengajaran itu umumnya
memerdekakan manusia atas hidupnya. Manusia merdeka yaitu
manusia yang lahir dan batinnya tidak tergantung kepada orang
lain, tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.5 Penanaman motivasi
belajar dari masa balita sampai pendidikan dasar dan menengah
terutama ada di pundak orangtua.
Untuk keperluan pendidikan, maka umur anak-anak didik
telah dibagi tiga periode oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu: (a)
waktu pertama (1–7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak
(kinderperiode); (b) waktu kedua (7–14 tahun), yaitu masa
pertumbuhan jiwa dan pikiran (intellectueele periode); dan (c)
masa ketiga (14–21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi
pekerti atau social periode. 6 Nilai-nilai dalam keluarga, dan nilai-
nilai norma yang berlaku dalam masyarakat menjadi landasan
bagi anak didik dalam menempuh pendidikan di sekolah dan
pendidikan di masyarakat.
Tiap periode pada anak didik, terdapat pengaruh yang muncul
dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Seluruh pengaruh itu
menimbulkan perbedaan perkembangan jiwa anak, perkembangan
kemampuan berpikir, perkembangan bersosialisasi, dan motivasi.
1. Periode 1–7 tahun dalam keluarga
5. Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, Bagian pertama, Edisi dan Cetakan Pertama, Ta-
man Siswa, Yogyakarta, 1962, hal.3.
6. Ibid, halaman 28 – 29.

Perkembangan Peserta Didik


27
Pada periode ini, peranan proses imitasi tidak kecil artinya bagi
pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan otak seorang anak dalam
keluarga. Misalnya, bahasa yang digunakan untuk menyatakan
perasaan atau keinginannya mula-mula ditiru dari ibunya. Bukan
cuma itu, tingkah laku si ibu juga ditiru anak-anak pada masa usia
1–7 tahun ini, misalnya cara memberi hormat, cara menyatakan
terima-kasih, cara mengungkapkan rasa senang, cara makan, cara
berpakaian dan lain sebagainya.
Pada kebanyakan anak-anak, banyak tingkah laku orangtua
yang diambilnya tanpa pertimbangan terlebih dulu. Mereka akan
menerima dan melakukannya tanpa kritik, apa lagi bila si anak
sangat mengidolakan salah satu dari kedua orangtuanya itu.
Mereka akan sangat tersugesti untuk mengikuti apa saja perilaku
orangtuanya. Menurut Dr. W.A. Gerungan Dipl. Psych. dalam
bukunya Psychologi Sosial , sugesti adalah proses di mana seorang
individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman
tingkah-laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.
Nilai-nilai kehidupan juga akan langsung diterima oleh
anak-anak pada usia 1–7 tahun dari ke dua orangtuanya. Proses
identifikasi berlangsung tanpa batas. Identifikasi berarti dorongan
untuk identik atau sama dengan orang lain.
Perkembangan jiwa dan kemampuan anak-anak usia 1–7
tahun memang sangat bergantung terutama pada seorang ibu.
Perkembangan itu bisa mengarah pada sesuatu yang positif
ataupun negatif. Perkembangan jiwa dan kemampuan anak yang
positif adalah:

Pendidikan dalam Keluarga


28
a. Jujur
Nilai jujur diperoleh anak dengan meniru perilaku seorang ibu.
Seorang ibu yang selalu berkata jujur dan apa adanya pada
seorang anak atau pada suami akan ditiru oleh anak-anaknya.
Namun seorang ibu yang terlalu keras pada anak-anaknya, akan
mendorong si anak tumbuh menjadi pendusta, karena dengan
dusta ia akan merasa aman. Banyak juga kedustaan yang diperoleh
anak-anak berasal dari cerita-cerita bohong yang didongengkan
para orangtua. Seorang ibu yang sering mengumbar janji bohong
kepada anak-anaknya juga menjadi contoh ketidakjujuran dan
akan diimitasi oleh anak-anaknya.
b. Berani
Seorang ibu yang pemberani juga akan menanamkan nilai hidup berani
pada anak-anaknya untuk menghadapi persoalan-persoalan dalam
keluarga. Mahmud Mahdi Al-Istanbulli dalam bukunya Mendidik
Anak Nakal , menyatakan bahwa umumnya ibu-ibu adalah penakut.
Mereka takut pada tikus, kecoa, cerita-cerita hantu, atau kegelapan,
maka anak-anaknya akan tumbuh seperti itu.
c. Menghargai milik orang lain
Sering kali kita melihat ada anak-anak usia 1-7 tahun yang
mempunyai rasa selalu ingin memiliki barang orang lain. Perasaan
ini muncul karena di rumah, si ibu atau ayahnya tidak pernah
memberikan pengertian mengenai rasa menghormati milik orang
lain. Atau yang lebih parah adalah perilaku ini muncul justru karena
proses imitasi dari kedua orangtuanya. Karena itu, penanaman
nilai-nilai positif mengenai hal ini sangatlah penting artinya, agar

Perkembangan Peserta Didik


29
anak tidak tumbuh menjadi pencuri-pencuri kecil yang kelak bila
dewasa memunculkan koruptor-koruptor besar di negara ini.
d. Rajin
Anak yang kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya bisa
tumbuh menjadi anak yang malas, malas berbuat sesuatu karena
kurangnya penghargaan atau kasih sayang. Sangat berbahaya bila
kedua orangtua tidak memberikan dukungan yang besar terhadap
pendidikan anak di tahap awal mereka memasuki dunia sekolah,
karena anak menjadi malas untuk belajar. Perilaku rajin hanya
dapat muncul dengan munculnya penghargaan dari keluarga.
e. Disiplin
Ketidakteraturan dan kekacauan di dalam rumah-tangga, akan
mendorong seorang anak pada periode 1–7 tahun memiliki pribadi
yang tidak disiplin. Seorang ibu yang malas bangun pagi untuk
menyiapkan keperluan rumahtangganya atau seorang ayah yang
tidak teratur jam kerjanya, akan menyebabkan anak bertumbuh
menjadi anak-anak yang tidak mengenal keteraturan hidup. Nilai-nilai
kedisiplinan dapat diterapkan dengan mengajarkan anak menepati
waktu, misalnya waktu belajar, waktu makan, waktu bangun pagi,
waktu main, dan sebagainya. Ini merupakan awal anak menghargai
waktu dan berdisiplin menerapkannya dalam kehidupannya kelak.
f. Sportif
Masyarakat kita telah banyak yang kurang menghargai sportifitas,
baik dari segi olahraga, sosial maupun kancah politik. Lihat saja,
begitu klub sepakbolanya kalah, maka yang ada adalah amuk
massa; begitu juga politiknya tidak terpilih dalam Pemilihan

Pendidikan dalam Keluarga


30
Umum atau Pilkada, maka sekali lagi amuk massa. Rupanya
bangsa ini sudah demikian rapuh untuk menghargai sportifitas.
Nilai-nilai sportif adalah rasa untuk menghargai keunggulan atau
kemampuan orang lain, tanpa iridengki atau perasaan lain. Nilai-
nilai sortif hanya muncul dari rasa percaya diri bahwa dengan
usaha yang sama kerasnya atau belajar dan pelatihan yang sama
giatnya, seseorang akan mampu mencapai prestasi yang sama
dengan orang lain. Dasar-dasar dari nilai-nilai ini hanya diperoleh
dari keluarga. Penanaman nilai sportifitas berasal dari penanaman
rasa percaya diri dengan memunculkan penghargaan-penghargaan
dan kasihsayang dalam keluarga.
g. Toleransi
Oleh karena periode 1–7 tahun merupakan masa peka, maka
pengajaran dalam keluarga bagi anak-anaknya untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan orang lain adalah penting. Pada
masyarakat kita sekarang, toleransi terhadap sesama sudah
semakin terkikis, sehingga kebijakan-kebijakan penguasa tidak
dapat lagi berlandaskan pada apa yang dirasakan orang banyak.
Untuk itulah, apa yang kita ajarkan pada anak-anak kita sekarang
akan menjadi buah dari apa yang kita petik kelak.
2. Periode 7–14 tahun
Periode ini bagi seorang anak adalah masa-masa mereka
duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Dalam periode ini, seorang anak mulai belajar berinteraksi dengan
lingkungan di luar lingkungan keluarga. Beberapa proses interaksi

Perkembangan Peserta Didik


31
seperti imitasi, sugesti, dan identifikasi pada diri si anak tetap
berjalan dengan batasan-batasan nilai-nilai yang telah lebih dulu
ditanamkan di dalam keluarganya.
Pada periode ini anak melakukan adaptasi dengan lingkungan
baru. Hal itu menyebabkan sensorimotorik (keterampilan
motorik) dan kognitif­nya (kemampuan berpikir) berkembang
terus menerus. Yang disebut sensorimotorik adalah keterampilan
berjalan, membuka botol, menulis, menggambar, melompat, dan
sebagainya. Sedangkan kognitif adalah kemampuan berpikir atau
pengembangan daya untuk menerima informasi dan pengetahuan
baru di dalam sel-sel otak. Ada dua mekanisme adaptasi yang terkait
dalam setiap tindakan, yaitu akomodasi dan asimilasi. Akomodasi
adalah perubahan respon terhadap tuntutan lingkungan yang
mencakup perkembangan baru dari hasil adaptasi yang sudah ada.
Sedangkan asimilasi adalah perilaku memproses atau mentransfer
setiap stimulus yang datang dari lingkungan.
Keberhasilan seorang anak untuk mempelajari lingkungan baru
memang sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif, tetapi faktor
non-kognitif (seperti motivasi, emosi) tidak kalah pentingnya.
Oleh karena itu, peran orangtua dalam periode pertama anak
memasuki dunia adaptasi dengan sekolah sangat diperlukan untuk
menjaga keseimbangan antara faktor kognitif dan nonkognitif si
anak tersebut.
Meskipun sudah nmenjadi pengetahuan umum, bahwa anak
dengan intelegensia (IQ) yang baik akan lebih mudah menerima
materi pelajaran dan memperoleh prestasi tinggi di sekolah, namun

Pendidikan dalam Keluarga


32
EQ (Emotional Quotient) juga memengaruhi prestasi belajar
seorang anak di sekolah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa EQ itu adalah suatu
ukuran yang menunjukkan pada kualitas memahami perasaannya
sendiri dan kemampuan untuk ikut menghayati perasaan orang
lain (empati). Kemampuan membaca situasi sekitar melalui
kesadaran diri (self awareness) sehingga ia mampu mengendalikan
dirinya disertai kematangan (maturity) menentukan pilihan adalah
gambaran dari beberapa keterampilan emosional yang dikandung
oleh pengertian EQ ini.
Pada periode 7–14 tahun inilah seorang anak akan mengalami
beberapa hal dalam dirinya yaitu sebagai berikut.
(a) Perkembangan kemampuan membedakan antara berbagai
aspek penting dalam lingkungan
(b) Koordinasi dari berbagai pengetahuan bersifat konkrit.
(c) Pencapaian kemampuan berpikir sebab dan akibat.
3. Periode 14–21 tahun
Setiap anak dilahirkan dengan bakat yang merupakan potensi
kemampuan (inherent compponent of ability) yang berbeda-beda
dan terwujud karena interaksi yang dinamis antara keunikan
individu dan pengaruh lingkungan. Berbagai kemampuan yang
teraktualisasikan beranjak dari berfungsinya otak si anak. Pada
periode ini pertumbuhan kognitif, inteligensi emosional, bakat,
dan pengalaman tentang nilai-nilai pada diri si anak akan menjadi
lebih baik lagi bila orangtua dan sekolah memberikan seluruh
kebutuhan yang diperlukan anak dalam proses ini.

Perkembangan Peserta Didik


33
Proses pendidikan anak usia 14 –21 tahun bukan hanya
membentuk kecerdasan dan atau hanya membentuk keterampilan
tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan
sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Namun demikian, dalam proses pendidikan
di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan.
Itulah sebabnya campur tangan orangtua dalam periode ini masih
sangat menentukan bagi perkembangan jiwa si anak.
Beberapa hal penting yang terjadi pada diri anak usia 14–21
tahun adalah sebagai berikut.
a. Kematangan dari dalam (maturity) oleh karena hasil dari
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
b. Mulai ada pengarahan diri secara internal dan pengaturan diri
sendiri (internal self direction and regulation).
c. Mulai menunjukkan tekanan intrinsik yang aktif dan eksploratif
dalam mengelola pengalamannya agar bermakna bagi dirinya
sendiri dan lingkungannya.
d. Mulai dapat menentukan pilihan-pilihan dan mengorganisir
cara untuk menapai pilihan-pilihan tersebut.

Pendidikan dalam Keluarga


BAB III
BELAJAR DAN PERUBAHAN
PADA SISWA DIDIK
36
Tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem
pembelajaran, sebab seluruh aktivitas guru dan siswa diarahkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah
kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang diharapkan
dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses
pembelajaran tertentu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Dick and Carey yaitu: The instructional goal is statement that
describes what it is that student will be able to do after they have
completed instruction . Dalam kurikulum berorientasi pencapaian
kompetensi, tujuan pembelajaran itu juga biasa diistilahkan
dengan indikator hasil belajar. Artinya, apa hasil yang diperoleh
siswa setelah mereka mengikuti proses pembelajaran.
Dewasa ini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama teknologi infofrmasi, setiap orang bisa memperoleh
pengetahuan lewat berbagai media. Artinya, saat ini setiap orang
dapat belajar dari berbagai sumber belajar. Guru bukan lagi satu-
satunya sumber belajar (learning resource) dari siswa didiknya,
karena siswa didik dapat memperoleh ilmu pengetahuan dari
membaca koran, buku, internet, dan berbagai fasilitas komunikasi-
informasi lainnya. Guru bukan satu-satunya learning resource,
tetapi lebih berperan sebagai pengelola pembelajaran (manager
of instruction).
Keberhasilan suatu proses pengajaran biasanya diukur dari
sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang
disampaikan guru. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan
yang bersumber dari mata pelajaran yang diberikan di sekolah.

Perkembangan Peserta Didik


37
Sedangkan mata pelajaran itu sendiri ialah pengalaman-pengalaman
manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan logis
kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya
isi buku itu harus dikuasai oleh siswa. Dan untuk mengetahui
tingkat kemampuan siswa dalam memahami isi pelajaran, biasanya
digunakan tes secara periodik terhadap siswa yang bersangkutan.
Pandangan lain menyebutkan bahwa mengajar sebagai proses
mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam
konsep ini yang terpenting adalah belajarnya siswa. Untuk apa
menyampaikan materi pelajaran kalau siswa tidak berubah tingkah
lakunya? Untuk apa siswa menguasai materi pelajaran sebanyak-
banyaknya kalau ternyata materi yang dikuasainnya itu tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku dan kemampuan siswa.
Dengan demikian, yang penting dalam mengajar adalah proses
mengubah perilaku. Dalam kontek ini mengajar tidak ditentukan
oleh lamanya serta banyaknya materi yang disampaikan, tetapi
dari dampak proses pembelajaran itu sendiri. Misalnya: guru hanya
beberapa menit saja di muka kelas, namun dari waktu yang sangat
singkat itu membuat siswa sibuk melakukan proses belajar.
A. APA ITU BELAJAR?
Kalau bahasan di atas tadi adalah konsepsi mengenai pengajaran
(memberikan pelajaran), lalu apa sebenarnya belajar itu? Belajar
adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses
mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Dalam pembelajaran berpikir,
proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan kepada

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


38
akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetapi yang diutamakan
adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya
sendiri (self regulated).
Asumsi yang mendasari pembelajaran berpikir adalah bahwa
pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk
oleh individu itu sendiri dalam struktur kognitif (lihat bagian 1
buku ini) yang dimilikinya. Atas dasar itulah maka, mengajar itu
bukanlah memindahkan pengetahuan guru pada siswa, tetapi suatu
aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun sendiri
pengetahuannya. Menurut Bettencourt (1985) mengajar berarti
mengajak siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
B. BAGAIMANA PROSES OTAK SAAT BELAJAR?
Belajar adalah proses pemanfaatan otak secara maksimal. Menurut
beberapa ahli, otak manuasia terdiri dari dua bagian, yaitu otak
kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki
spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu.
Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier dan
rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas,
ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara
berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal,
menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan
fakta, fonetik, serta simbolis.
Cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif,dan
holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk me­
ngetahui yang bersifat nonverbal seperti perasaan dan emosi,

Perkembangan Peserta Didik


39
kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran
suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan
pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara optimal dan
seimbang. Belajar yang hanya cenderung memanfaatkan otak
kiri, misalnya dengan memaksa anak untuk berpikir logis dan
rasional akan membuat anak dalam posisi kering dan hampa .
Oleh karena itu, belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung
oleh pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan unsur-
unsur yang bisa memengaruhi emosi, yaitu unsur estetika melalui
proses belajar yang menyenangkan dan menggairahkan.
Pendapat lain tentang otak adalah Teori Otak Triune. Triune
artinya Three in One (Dave Meier, 2002: 83). Menurut teori ini,
otak manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu otak reptil, sistem
limbik dan neokortek.
Otak yang paling sederhana dari ketiga bagian itu adalah otak
reptil. Tugas utamanya adalah mempertahankan diri. Otak ini
menguasai fungsi otomatis seperti degupan jantung dan sistem
peredaran darah. Dari otak inilah manusia sering berprilaku
secara naluriah, yang cenderung mengikuti contoh dan rutinitas
secara membuta. Otak reptil diyakini sebagai sisi hewani manusia
yang berfungsi mengejar kekuasaan. Ia akan berbuat apa saja
demi mencapai tujuan yang diinginkannya termasuk untuk
mempertahankan diri.
Sistem limbik merupakan otak bagian tengah yang memainkan
peran besar dalam hubungan manusia dan dalam emosi. Fungsi

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


40
otak ini bersifat sosial dan emosional. Di otak ini juga terkandung
sarana untuk mengingat dalam jangka panjang.
Sedangkan neokortek merupakan fungsi otak yang paling
tinggi tingkatannya. Otak ini memiliki fungsi tingkat tinggi,
misalnya mengembangkan kemampuan berbahasa, berpikir
abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, dan
berkreasi. Otak inilah yang membuat seorang manusia berbeda
dengan makhluk lain ciptaan Tuhan.
Proses belajar seharusnya mampu mengembangkan setiap
bagian otak. Jika proses pembelajaran mampu mencapai
neokortek, maka sudah barang tentu otak reptil dan sistem limbik
akan terkembangkan. Sebaliknya, pembelajaran yang hanya
menyentuh otak limbik apalagi otak reptil saja, belum tentu dapat
mengembangkan neokortek. Dengan demikian, pembelajaran
yang benar adalah yang dapat mengembangkan fungsi neokortek,
yaitu melalui pengembangan berbahasa, memecahkan masalah
dan membangun kreasi.
C. BELAJAR ITU BERLANGSUNG SEPANJANG HAYAT
Manusia sepanjang hidupnya akan selalu dihadang oleh
masalah-masalah baru dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam
menghadapi masalah-masalah itu, berdasarkan kemampuan dan
pengalaman yang telah ada, manusia selalu berusaha menetapkan
pilihan-pilihan pemecahan masalah. Cara untuk menjelaskan
bagaimana seseorang membuat pilihan di antara sejumlah besar
rangkaian pilihan perilaku yang terbuka baginya, adalah dengan
mempergunakan penjelasan expectancy. Ini berdasarkan atas

Perkembangan Peserta Didik


41
proposisi yang sederhana yakni bahwa seseorang memillih
bertindak sedemikian karena ia yakin dapat mengarahkan untuk
mendapatkan sesuatu hasil tertentu (misalnya mendapat pujian
atau nilai yang baik).
Jadi usaha-usaha yang dilakukan seseorang adalah berdasarkan
harapan (expectancy) bahwa ia akan memperoleh sesuatu dari
pelaksanaan usahanya itu. Ia percaya bahwa tingginya pencapaian
hasil yang ia peroleh akan bergantung pada usaha dan pelaksanaan
usahanya.
Ketika rintangan atau masalah itu sudah dilaluinya, maka manusia
akan dihadapkan pada rintangan atau masalah baru yang mungkin saja
lebih berat. Demikianlah terus-menerus sampai akhir hayatnya. Jika
sekolah berperan sebagai wahana untuk memberi latihan bagaimana
cara belajar, maka melalui kemampuan bagaimana cara belajar,
siswa akan mampu belajar untuk memecahkan masalah setiap kali
rintangan menghadangnya dalam pencapaian tujuan. Karena inilah,
maka belajar merupakan suatu proses yang terus-menerus, yang tidak
pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Belajar akan
berlangsung sepanjang hayat manusia itu sendiri.
D. BELAJAR ITU BERSIFAT HOLISTIK
Belajar itu bukan hanya untuk pembentukan pola pikir (belajar
berpikir) tetapi lebih dari itu ia bersifat menyeluruh yang
menjadikan seorang manusia, manusia seutuhnya . Artinya, belajar
itu seharusnya bersifat holistik yaitu mengandung: learning to do,
learning to be, dan learning to live together.

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


42
Learning to do mengandung pengertian bahwa belajar itu
bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan
akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan
akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era
persaingan global. Kompetensi akan dimiliki manakala anak
diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian,
learning to do juga berarti proses belajar yang berorientasi pada
pengalaman (learning by experiences).
Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar adalah
membentuk manusia yang menjadi dirinya sendiri . Dengan kata
lain, belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai
individu dengan kepribadian yang memiliki tanggungjawab
sebagai manusia. Dalam pengertian ini juga terkandung makna
kesadaran diri sebagai makhluk yang memiliki tanggungjawab
sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan
kelemahannya.
Learning to live together adalah belajar untuk bekerja sama.
Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dalam masyarakat global di mana manuasia baik secara
individual maupun secara kelompok tak mungkin bisa hidup
sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya. Dalam
konteks ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis
yang memahami dan menyadari akan adanya setiap perbedaan
pandangan antara individu.

Perkembangan Peserta Didik


43
E. BAGAIMANA SIKAP TERBENTUK?
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Rumusan tujuan pendidikan di atas sarat dengan pembentukan
sikap. Artinya, pembelajaran bukan hanya pembentukan kognitif
semata namun juga pembentukan afektif yang sarat nilai-nilai
hingga dapat memunculkan sikap yang baik dan luhur.
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki
seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh
karena itu, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan
nilai.
Menurut DR. Wina Sanjaya, MPd., nilai adalah suatu konsep
yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi,
tidak berada di dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak
indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan sebagainya,
sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang.7
Dengan demikian, pendidikan nilai bertujuan menanamkan nilai-
nilai atau pandangan yang dianggap masyarakat baik dan tidak
7. DR. Wina Sanjaya, MPd., Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pen-
didikan, Prenada Medya Group, Jakarta, Cetakan ke 2, 2006, halaman 272.

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


44
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku yang pada
akhirnya siswa didik akan bersikap dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai tersebut.
Dauglas Graham (Gulo, 2002) melihat adanya empat faktor
yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu
sebagai berikut.
1. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma
hukum.
2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran
dengan pertimbangan-pertimbangan rasional.
3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau
sekedar basa-basi.
4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri
sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap
individu tentu saja yang diharapkan adalah kepatuhan yang bersifat
normativist, sebab kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang
didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah perilaku
itu menguntungkan untuk dirinya sendiri atau tidak.
Selanjutnya dari sumber yang sama dijelaskan, dari empat
faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan sebagai berikut.
1. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau
kepatuhan yang ikut-ikutan.
2. Comformist, yakni kepatuhan yang memiliki tiga bentuk
yaitu (1) conformist directed, yaitu penyesuaian diri
terhadap masyarakat atau orang lain; (2) conformist

Perkembangan Peserta Didik


45
hedonist yakni kepatuhan yang berorientasi pada untung
rugi; dan (3) conformist integral adalah kepatuhan yang
menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan
masyarakat.
3. Compulsive deviant, yaitu kepatuhan yang tidak
konsisten.
4. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa
memperhitungkan kepentingan orang lain.
5. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang
tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, tetapi selalu berubah.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau
menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau
tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh
kecenderungan untuk menerima (sikap positif) atau menolak
(sikap negatif) sesuatu objek.
Pernyataan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu
objek sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman (aspek kognitif)
terhadap objek tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran
(kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak
(psikomotorik) terhadap objek tersebut turut menentukan sikap
seseorang terhadap objek yang bersangkutan.
Apakah sikap bisa dibentuk? Dalam proses pembelajaran
di sekolah, baik disadari maupun tidak disadari, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses
pembiasaan. Misalnya, siswa yang setiap kali mendapat perlakuan

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


46
tidak menyenangkan dari gurunya di kelas, perlahan-lahan
mucullah perasaan benci dalam diri siswa tersebut; dan anak itu
akan mengalihkan sikap negatifnya itu bukan hanya kepada guru
pengajarnya itu sendiri tetapi dapat juga kepada mata pelajaran
yang diasuh si guru tersebut.
Sikap dapat juga dibentuk melalui proses modelling, yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang
adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang
ia tiru adalah perilaku-perilaku dari orang-orang yang menjadi
idolanya. Proses mencontoh ini di sekolah dapat dilakukan dengan
memberikan penjelasan dengan menjawab pertanyaan mengapa
kita harus selalu berpakaian bersih, mengapa kita harus telaten
terhadap tanaman yang kita tanam, dan sebagainya.

F. BELAJAR DAN PERUBAHAN SIKAP


Dengan penjelasan di atas, maka sikap yang muncul dari seorang
individu bukanlah merupakan hasil dari pembawaan manusia
sejak lahir, melainkan terbentuk melalui proses belajar baik lewat
sekolah, keluarga maupun masyarakat di lingkungannya. Sikap
dapat berubah sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan
orang lain. Sikap dapat dipelajari dari lingkungan dan dapat
dipelajari oleh lingkungan.
Karena sikap adalah bentukan dari suatu proses belajar,
maka proses mempelajari nilai-nilai yang benar dalam keluarga
merupakan pagar yang paling efektif untuk pembentukan sikap

Perkembangan Peserta Didik


47
yang baik menurut standar masyarakat dan norma yang ada.
Keluarga sebenarnya sangat dominan dalam membentuk sikap
awal seorang siswa sebelum ia terjun di masyarakat.
Namun sikap bersangkutan dengan dimensi waktu, yang
artinya sikap hanya cocok untuk situasi dalam waktu tertentu,
yang belum tentu sesuai untuk waktu yang lainnya. Karena itu
sikap dapat berubah menurut situasi.
Siswa didik dalam proses pembelajaran awalnya selalu membawa
sikap tertentu ke dalam kelas atau lingkungan sekolahnya. Pada masa
belajar, sikap tersebut dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru
yang ia peroleh ketika masa belajar.

G. PERUBAHAN SIKAP MENUJU PERUBAHAN


PERILAKU
Perubahan sikap seseorang oleh karena berubahnya nilai-nilai
yang ada pada diri seseorang mengarah pada perubahan pada
perilaku. Perilaku merupakan cerminan dari nilai dan sikap yang
telah ada di dalam diri manusia. Sikap tidak dapat dilihat, tetapi
perilaku dapat dilihat dengan kasat mata.
Perbedaan perilaku ini didasarkan pada adanya perbedaan
kebutuhan dan kemampuan. Menurut Drs. Miftah Thoha, MPA,
manusia selalu mempunyai kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan
adalah beberapa pernyataan di dalam diri seseorang (internal state)
yang menyebabkan seseorang itu berbuat untuk mencapainya

Belajar dan Perubahan pada Siswa Didik


48
sebagai suatu objek atau hasil. Para ahli sosiologi seringkali
membagi-bagi kebutuhan berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Kebutuhan primer, merupakan kebutuhan mendasar
manusia, seperti makan, minum, sandang dan papan, juga
kebutuhan penyaluran biologis terhadap lawan jenis.
2. Kebutuhan sekunder, yakni seluruh kebutuhan yang tak
dapat dilihat kasat mata untuk pemenuhannya, misalnya:
kebutuhan akan diakui keberadaannya oleh lingkungan
sekitar (existency), kebutuhan akan rasa dihormati, nama
baik, harga diri, dan lain sebagainya.
Pemenuhan atas kebutuhan mendorong manusia untuk
menentukan pilihan-pilihan mengenai cara atau sarana yang
ditempuh. Misalnya: seorang siswa ingin lulus agar memperoleh
peningkatan harga diri baik di depan teman-temannya maupun
keluarganya, maka ia akan memilih apakah ia berusaha dengan
belajar lebih giat ataukah dengan jalan pintas yakni mencontek.
Perilaku siswa ditentukan oleh pilihan akan usaha pemenuhan
kebutuhan tersebut serta tentu saja didasari oleh nilai-nilai yang
telah dianut sebelumnya.

Perkembangan Peserta Didik


BAB IV
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DAN
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
50
Belajar merupakan kebutuhan hidup manusia yang self generating,
yaitu mengupayakan dirinya sendiri agar dapat menuju tujuan
tertentu dengan peningkatan diri. Belajar dilakukan menusia baik
secara sadar maupun tidak sadar. Hal ini bukan saja disebabkan
karena ikhtiar untuk melangsungkan hidup bersumber dari diri
si manusia itu sendiri, melainkan juga karena sebagai makhluk
sosial ia harus mampu mempertahankan hidupnya. Jadi ada dua
macam dorongan yang membuat manusia terus belajar sepanjang
hidupnya, yaitu agar mampu mencapai kemandirian dan sekaligus
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,
bahwa manusia sejak lahir, secara sadar atau tidak, telah
melakukan belajar. Karena manusia sejak lahir telah membawa
kemampuan genetisnya masing-masing (inteligensi) yang
bersumber dari otak. Apabila struktur otak telah ditentukan secara
biologis, maka berfungsinya otak manusia sangat dipengaruhi
oleh interaksi dengan lingkungannya. Jadi, apabila lingkungan
berpengaruh positif bagi dirinya, kemungkinan besar potensi
tersebut berkembang mencapai realisasi optimal.
Dengan tujuan memperoleh pembelajaran yang lebih
terstruktur dan sistematis demi perkembangan otak anak-anaknya
itulah kemudian para orangtua memasukkan anak-anak mereka
ke sekolah-sekolah formal maupun informal. Pendidikan di
lingkungan sekolah diharapkan mampu membuat kemampuan otak
secara biologis tadi berkembang lebih optimal plus perkembangan
keseimbangan jiwa anak dapat tercapai.

Perkembangan Peserta Didik


51
A. PERLUKAH PEMBELAJARAN DI SEKOLAH?
Pertama-tama yang harus diingat adalah, bahwa pendidikan atau
pembelajaran sekolah itu hanyalah tuntunan di dalam proses
kehidupan para siswa didik. Ini artinya, bahwa hidup dan tumbuh
kembang para siswa didik terletak diluar kemampuan atau kehendak
para pendidik mereka. Para siswa didik sebagai makhluk hidup,
sebagai manusia, dan sebagai benda hidup, tentu memiliki kodrat
nya sendiri. Tugas para pendidik hanyalah menuntun tumbuhnya
atau hidupnya kekuatan-kekuatan positif dalam diri anak didik,
agar dapat memperbaiki perilakunya tetapi tidak dapat merubah
garis hidup siswa didik itu di kemudian hari.
Meskipun pendidikan sekolah hanya berupa tuntunan saja,
namun sudah tentu tuntunan tadi seharusnya dapat meningkatkan
kecerdasan yang lebih tinggi dan luas. Seluruh kemampuan
inteligensi otak maupun emosi (IQ maupun EQ) akan terasah di
dalam pendidikan sekolah.
Menurut Convergentie Theory , watak manusia dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah yang dinamakan
bagian intelligibel , yakni yang berhubungan dengan kecerdasan
intelektual yang dapat berubah menurut pengaruh proses
pendidikan atau keadaan lingkungan. Sedangkan yang bagian
yang kedua adalah yang dinamakan bagian biologis yakni yang
berhubungan dengan dasar hidup atau bawaan manusia yang tidak
dapat berubah sepanjang hidupnya.Yang disebut dengan bagian
intelligible atau yang dapat berubah dengan pendidikan, misalnya
kebodohan, kurangnya wawasan berpikir, kurangnya kecepatan

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


52
berpikir, dan sebagainya. Sedangkan bagian biologis menyangkut:
rasa takut, rasa malu, kurang percaya diri, dan sebagainya, yang
menjadi bawaan manusia atau disebut watak atau kepribadian.
Seringkali seorang anak yang kurang percaya diri, setelah
mendapat pendidikan lalu menjadi hilang rasa kurang percaya
dirinya itu atau menjadi lebih percaya diri. Padahal rasa tidak
percaya diri itu sebenarnya masih ada, hanya saja tertutupi
dengan pengetahuannya sehingga ia dapat menimbang-nimbang,
termotivasi dan menguatkan kemauannya agar nampak lebih
percaya diri.
Pada proses pembelajaran, La Costa (1985) mengklasiifikasikan
mengajar berpikir menjadi 3 yaitu:
1. Teaching of thinking, yaitu proses pembelajaran yang
diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental
tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis dan
berpikir kreatif.
2. Teaching for thinking, adalah proses pembelajaran yang
diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar
yang dapat mendorong terhadap perkembangan kognitif.
Jenis pembelajaran ini lebih menitik beratkan kepada
proses menciptakan suasana atau lingkungan tertentu.
Contohnya, menciptakan suasana keterbukaan yang
demokratis, menciptakan iklim menyenangkan sehingga
siswa dapat berkembang secara optimal.

Perkembangan Peserta Didik


53
3. Teaching about thinking adalah pembelajaran yang
diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih
sadar terhadap proses berpikirnya.
Sedangkan belajar dianggap sebagai proses perubahan
perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard
mengungkapkan learning is the process by which an activity
originates or changed through training procedures (whether in
the laboratory or in the natural environment) as distinguished
from changes by factors not attributable to training . Bagi
Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan
atau prosedur latihan, baik latihan di dalam laboratorium maupun
dalam lingkungan alamiah.
Seperti kita ketahui semua, bahwa prestasi belajar siswa didik
bukan hanya dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang
bersifat kognitif semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
nonkognitif seperti emosi, motivasi, kepribadian serta berbagai
pengaruh lingkungan.
Meskipun sekolah hanya bertugas menuntun siswa didiknya,
namun kata menuntun tersebut harus diartikan bahwa sekolah
bertugas membimbing dan membentuk perkembangan anak.
Perkembangan tersebut adalah seluruh faktor yang telah disebutkan
di atas.
Keseimbangan antara faktor-faktor inteligensi intelektual dan
inteligensi emosional diperlukan antara lain untuk berkonsentrasi
terhadap materi pelajaran yang dihadapi, mengatasi stres atau

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


54
kecemasan dalam menghadapi persoalan tertentu. Namun
kenyataannya, menyeimbangkan faktor-faktor ini sangatlah sulit
tercapai.
Untuk mencapai prestasi yang tinggi, siswa didik perlu
memiliki motivasi yang kuat, sehingga kemampuan inteligensi
nya dapat digunakan secara optimal. Dalam ilmu Psikologi,
memang telah dikenal apa yang disebut motif internal dan motif
eksternal. Motif internal adalah, motif yang datang dari dalam diri
individu itu sendiri, sedangkan motif eksternal adalah motif yang
datang dari luar diri individu atau dari lingkungannya. Apapun
bentuk motifnya, siswa yang datang ke sekolah untuk menerima
pendidikan wajib diperkuat motivasinya oleh para guru agar motif
tadi tidak berkurang atau bahkan hilang di tengah pendidikan yang
sedang dijalani siswa didik.
Motif internal pada anak hanya muncul apabila ia tahu persis
bahwa ia memerlukan sesuatu. Contohnya, seorang anak merasa
senang mendengarkan musik, maka ia termotivasi untuk membeli
beberapa kaset group musik kesayangannya. Sedangkan motif
eksternal muncul oleh karena pengaruh lingkungan. Misalnya,
seorang anak yang semula tidak menyukai musik menjadi senang
musik karena mengikuti tren yang ada di lingkungannya (anak-
anak lain). Motif ini akan lebih cepat hilang daripada motif yang
datang dari dalam diri si anak.
Demikian pula halnya dengan proses pembelajaran. Suatu
proses pembelajaran akan dikatakan berhasil bila ia mampu
menumbuhkan motif internal dalam diri anak didiknya, sehingga

Perkembangan Peserta Didik


55
si anak akan terus mencari dan menggali mata pelajaran yang
diajarkan tanpa perlu disuruh oleh guru atau pengajarnya. Motif
ini akan bertahan lama dan sulit luntur, kecuali guru tidak lagi
dapat menguatkan motif internal anak tersebut melalui proses
belajar yang menyenangkan.
Dalam proses menuntun dan membimbing siswa-siswanya,
sekolah akan melakukan beberapa cara yang dianggap ampuh
dalam memperkuat motivasi yaitu:
1. Menumbuhkan kompetisi / persaingan (competition)
Kompetisi sebenarnya memperbandingkan kemampuan
dalam mencapai sesuatu prestasi diri. Kemudian
competition with other akan lebih mendorong individu
untuk bersaing dengan orang lain, sehingga memperkuat
kemampuannya dalam mencapai prestasi.
2. Menciptakan pace making
Tujuan dari sesuatu perbuatan bermotif seringkali terasa
jauh. Untuk mencapai tujuan yang jauh itu, individu
biasanya akan merasa malas atau jenuh. Untuk itu perlu
dibuat tujuan-tujuan yang lebih dekat atau pendek.
3. Menetapkan tujuan yang jelas
Makin jelas tujuan dirumuskan, semakin besar motif
individu untuk mencapai tujuan itu
4. Memperkuat minat siswa didiknya
Motif akan semakin besar apabila individu yang sedang
menjalani belajar mempunyai minat yang besar terhadap
apa yang dipelajarinya.

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


56
e. Memberi kesempatan untuk meraih sukses
Penciptaan banyaknya peluang berprestasi atau keber­
hasil­an di dalam kelas akan memperbesar motivasi siswa
untuk maju bersama siswa-siswa lainnya.
C. PEMBELAJARAN KETERAMPILAN DI SEKOLAH
Apakah keterampilan itu? Keterampilan adalah kemampuan untuk
melakukan sesuatu yanng ditujukan untuk mengatasi persoalan
yang muncul. Misalnya, jika mau minum dari botol, diperlukan
keterampilan untuk membuka botol itu dulu, lalu menuangkan
airnya ke dalam gelas. Pembelajaran keterampilan di sekolah
mencakup pembelajaran untuk meningkatkan seluruh pancaindra
siswa didik sehingga dapat digunakan maksimal; menggabungkan
fungsi pancaindra tersebut dengan kemampuan kognitif, emosi
dan motivasi.
Proses pendidikan di sekolah juga setahap demi setahap
mengarah pada pembelajaran pancaindra ini bagi para anak
didiknya. Dulu Montessori dan Frobel juga memberlakukan
hal yang sama pada para siswa didiknya. Bedanya, Montessori
memberikan latihan pancaindra yang bersifat pelajaran, anak diberi
kemerdekaan dengan luas, tetapi ia tidak mementingkan permainan
di kelas, sedangkan Frobel memberikan pelajaran pancaindra
dengan mengutamakan permainan anak-anak, kegembiraan anak-
anak, sehingga peralatan mainan anak digunakan sepenuhnya
meskipun anak masih diperintah.
Kita bangsa Indonesia sebenarnya sudah memiliki berbagai
jenis mainan anak yang mengarah pada pendidikan pancaindra

Perkembangan Peserta Didik


57
atau keterampilan anak seperti: melatih agar anak lebih cekatan
(permainan bekelen, petak umpet, unclang), melatih berhitung
(permainan dakon, kelereng, dsb).
Pembelajaran keterampilan di sekolah diberikan bertahap
dan dibeda-bedakan berdasarkan usia. Untuk prasekolah dasar,
pembelajaran keterampilan biasanya meliputi menggambar,
mewarnai, membentuk sesuatu dengan lilin atau logo, menggunting,
melipat, dan sebagainya. Seluruh kegiatan dilakukan dengan
tujuan
• Melatih daya motorik anak didik agar lebih baik,
misalnya cara berjalan, melompat, menulis, dan lain
sebagainya.
• Merangsang anak untuk menggunakan seluruh kreativitas
mereka melalui pancaindranya (mata, jari-jari tangan,
penciuman, dan peraba).
• Memperkuat pengetahuan yang telah diperoleh untuk
menggunakan ke lima indranya dalam menghadapi
persoalan-persoalan melalui pengamatan.
• Mempertajam cara menghadapi masalah melalui
kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang telah diajarkan
sehingga mampu menentukan pilihan-pilihan yang tepat
dan bertindak dengan efektif.
1. Keterampilan untuk periode 1–7 tahun
Pada periode masa balita hingga awal mengenal sekolah, peran
keluarga sangat dominan dalam melatihkan keterampilan-
keterampilan dasar manusiawi, seperti cara berjalan, makan,

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


58
minum, mandi, berpakaian, dan sebagainya. Masa bermain kanak-
kanak juga cenderung mengarah pada segi keterampilan fisik yang
menyangkut ketangkasan dan kecepatan.
Pembelajaran di awal sekolah juga mengarah pada penguatan
daya motorik si anak didik yang sudah mendapat pengaruh dari
rumah. Sekolah akan menuntun siswa didik menuju berkembangnya
daya pengamatan untuk mengenali, membedakan, mendiskripsikan
serta mengklasifikasikan objek-objek yang ada di sekeliling mereka.
Tahap berikutnya adalah melatih konsep yang paling esensial dalam
memulai pengembangan kognitif anak didik.
Kecerdasan manusia ditentukan oleh struktur otak. Cerebrum,
otak besar dibagi ke dalam dua belahan otak kiri dan kanan yang
disambungkan dengan serabut-serabut halus yang disebut corpus
callosum. Belahan otak kiri berfungsi untuk merespon terhadap hal
yang sifatnya linier, logis, dan teratur. Sedangkan belahan otak kanan
untuk mengembangkan imajinasi dan krestivitas. Belahan otak kanan
inilah yang perlu digalakkan dalam pengembangan kreativitas anak
didik. Sayangnya, sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya
kurang memperhatikan fungsi belahan otak kanan ini.8
Pengajaran yang menekankan segi hafalan semata dan persepsi
kognitif saja tanpa peduli terhadap experiental learning (belajar
berdasarkan pengalaman langsung) akan kurang memberikan
peluang pada kedua belahan otak untuk tumbuh secara harmonis,
karena akan menjadikan otak belahan kiri lebih berkembang
daripada otak belahan kanan.
8. Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah
Dasar, Cetakan ke 2, PT Indeks, Jakarta, hal. 14.

Perkembangan Peserta Didik


59
2. Keterampilan untuk Periode 7–14 tahun
Banyak pertanyaan akan muncul dari anak-anak usia 7–14 tahun
mengenai berbagai hal dalam pergaulan hidup dan sosialisasi
dengan masyarakat sekitarnya. Anak-anak periode ini mulai
berusaha menghubung-hubungkan seluruh pengetahuan dan nilai-
nilai yang ia peroleh dari rumah dan dari masa prasekolah dengan
realita konkrit yang ia hadapi dari lingkungannya.
Keterampilan yang mereka perlukan juga mulai beralih. Dari
keluarga, mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
mengenai bagaimana bersosialisasi dengan lingkungannya secara baik
dan benar; sedangkan dari sekolah peserta didik berusaha menggali
sebanyak mungkin keterampilan yang bersifat operasional untuk
menunjang kehidupannya di luar sekolah dan di luar keluarganya.
Misalnya, bagaimana menghitung uang dan pecahan, bagaimana
menulis surat yang baik, bagaimana mengarang puisi, bagaimana
berbahasa dengan baik dan benar, bagaimana mengetahui berbagai
fenomena alam, apa yang terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia,
apa yang terjadi sekarang, dan sebagainya.
Usia 7–14 tahun disebut masa operasi konkrit oleh Piaget,
yaitu peserta didik telah menyesuaikan diri dengan realita konkrit
dan haus pengetahuan. Sayangnya, sekolah justru sering kali
menjejali siswa dengan banyak hafalan yang kurang bermakna
dan sangat merugikan anak. Akibatnya, masa ini disebut sebagai
masa penurunan kreativitas (creativity drop).

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


60
Pembebanan otak dengan pengetahuan hafalan, latihan ulangan,
drill yang berlebihan, tidak sepenuhnya akan menunjukkan
penanjakan perkembangan kognitif, bahkan akan menjadikan
perkembangan kognitif mengarah pada hasil berpikir yang
konvergen.9 Pada kenyataannya memang, pembelajaran di SD
merupakan penjejalan pengetahuan untuk dihapalkan, sehingga
bukan merupakan latihan keterampilan mental yang seharusnya
dibentuk pada anak periode ini, akibatnya pengetahuan tersebut
tidak menetap (retained) seumur hidup dan juga peserta didik
tidak terlatih atau kurang berkembang keterampilannya.
Di sekolah, terutama sekolah dasar, sebaiknya tidak terlalu
memaksa ke benak peserta didik untuk memperoleh fakta-fakta
yang tidak saling terkait. Anak sebaiknya belajar konsep dengan
proses yang bermakna. Contohnya, seorang guru bila mengajarkan
sains secara acak, tidak saling mengkait, akan menyebabkan
peserta didik seperti membangun rumah tanpa desain yang benar.
Akibatnya, peserta didik akan mudah lupa akan pelajaran sains
yang tak bermakna itu. Pembelajaran semacam ini tidak dapat
menembus kejadian hidup sehari-hari peserta didik sehingga
mudah dilupakan.
3. Keterampilan untuk periode 14–21 tahun
Periode ini merupakan masa transisi dari rasa ketergantungan
akan pengetahuan kepada orangtua dan sekolah menuju masa
kemandirian untuk menggali pengetahuannya sendiri dari

9. Ibid, hal. 129.

Perkembangan Peserta Didik


61
berbagai sumber. Kalau periode 1–14 tahun, guru dan orangtua
merupakan sumber informasi yang dominan, maka periode 14–21
tahun adalah masa memperoleh informasi dari sumber-sumber di
luar guru dan orangtua. Keterampilan yang diperoleh di sekolah
menjadi kurang dominasinya.
Kini dengan semakin berkembangnya media komunikasi,
sebagai efek dari perkembangan teknologi, informasi dapat
diakses dan diperoleh anak-anak dengan sangat mudah. Media
komunikasi itu misalnya televisi, internet, majalah, surat kabar,
radio, dan berbagai media massa lainnya yang menggerus kita
dengan informasi global.
Dari berbagai media komunikasi itulah anak-anak memperoleh
gambaran kehidupan yang lain, selain yang telah ia peroleh. Nilai-
nilai budaya asing seakan-akan menjadi santapan sehari-hari. Kalau
dulu pengetahuan dari sekolah adalah dominan, pada periode usia
14 – 21 tahun informasi dari sekolah adalah bersifat tambahan atau
penunjang saja untuk memperkuat referensi pengetahuan yang ia
peroleh dari luar sekolah. Dampak positif sekaligus negatif dari
pendidikan yang diperoleh dari luar sekolah ini tentu saja muncul
pada diri peserta didik.
Dampak positifnya adalah media elektronik maupun cetak
tersebut dapat memotivasi peserta didik untuk lebih giat belajar
keterampilan berbahasa asing. Sebagaimana diketahui fungsi
bahasa adalah selain sebagai alat untuk menyatakan diri (fungsi
ekspresi), juga untuk menangkap pikiran dan perasaan orang
lain. Dalam kaitan ini, Mc Carthy (Jersild, 1976) menemukan

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


62
adanya hubungan yang paralel antara perkembangan bahasa
dan perkembangan motorik seseorang. Secara timbal-balik
perkembangan bahasa juga akan memengaruhi kehidupan
intelektual anak dan kehidupan intelektual yang tersulut oleh
minat akan menambah perbendaharaan kata dan bahasa si anak.
Untuk jelasnya, periode 14–21 tahun merupakan masa
anak belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing).
Keterampilan diperoleh baik secara sadar, melalui pendidikan di
dalam atau pun luar sekolah, maupun tidak sadar melalui berbagai
eksplorasi atau penjelajahan di lingkungannya.
D. PEMBELAJARAN MENUJU PERUBAHAN
PERILAKU
Perubahan perilaku yang bagaimana yang dihasilkan dari suatu
proses pembelajaran? Keberhasilan suatu proses pengajaran
biasanya diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi
pelajaran yang disampaikan guru. Materi pelajaran itu sendiri
adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran yang
diberikan di sekolah. Sedangkan mata pelajaran itu sendiri
ialah pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun
secara sistematis dan logis kemudian diuraikan dalam buku-buku
pelajaran dan selanjutnya isi buku itu harus dikuasai oleh siswa.
Untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam memahami
isi pelajaran, biasanya digunakan tes secara periodik terhadap
siswa yang bersangkutan.
Pandangan lain menyebutkan bahwa mengajar sebagai proses
mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam

Perkembangan Peserta Didik


63
konsep ini yang terpenting adalah belajarnya siswa. Untuk apa
menyampaikan materi pelajaran kalau siswa tidak berubah tingkah
lakunya? Untuk apa siswa menguasai materi pelajaran sebanyak-
banyaknya kalau ternyata materi yang dikuasainya itu tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku dan kemampuan siswa.
Dengan demikian, yang penting dalam mengajar adalah proses
mengubah perilaku.
Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai
akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan
learning is the process by which an activity originates or changed
through training procedures (whether in the laboratory or in the
natural environment) as distinguished from changes by factors not
attributable to training . Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses
perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan, baik latihan di
dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.
J. Locke Montessori menegaskan dalam teorinya bahwa,
pangkal, tujuan dan pedoman dalam proses belajar mengajar ialah
diri siswa didik. Segala usaha harus ditimbulkan dari dalam diri si
anak. Montessori berpendapat, pendidikan hanyalah pertolongan
yang diberikan sekolah kepada anak pada waktu perkembangannya.
Jadi yang terpenting dalam pendidikan bukanlah guru atau si
pendidik, tetapi anak didik.
Perkembangan jiwa anak didik, memang bukan selalu
disebabkan interaksi dengan guru dan lingkungan di mana ia
berada. Perkembangan jiwa anak, khususnya yang menyangkut
masalah belajar, sangat bergantung pada sikap dan perilaku

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


64
orangtua dalam memberikan respon mereka ketika anak melalui
proses pendidikannya. Menurut Profesor ET. Ruseffendi, SPd.,
MSc, PHD., ada beberapa sikap dan tindakan orangtua yang dapat
merugikan dan menghambat belajar anak yaitu:
a. Acuh tak acuh terhadap persekolahan anak
b. Tidak memberikan pujian/teguran kepada anaknya yang
berhasil maupun tidak berhasil.
c. Tidak menasehati anaknya untuk tidak putus asa bila
anaknya mundur (kurang berhasil) dalam belajar.
d. Tidak kelihatan ada usaha kecintaan untuk memenuhi
keperluan material anaknya sekolah.
e. Tidak membiasakan anaknya untuk belajar disiplin dan
bertanggungjawab.
f. Tidak memberikan gambaran tentang kehidupan di
kemudian hari seandainya anaknya berhasil belajar dan
seandainya tidak.
Namun, hingga kini tidak ada alat ukur yang tepat yang dapat
digunakan untuk mengetahui sampai sejauh manakah harapan
perubahan perilaku anak didik yang disebabkan oleh suatu
pendidikan dasar untuk periode 7–21 tahun.
Dengan demikian, sekolah menuntun peserta didik agar
tumbuh perilaku positif di masyarakat, namun kelak lingkungan
yang akan mengarahkan peserta didik untuk memilih berperilaku
positif atau negatif. Ketika memberikan pembelajaran kognitif
dan afektif, IQ, dan EQ peserta didik terus berkembang. Tetapi
jangan lupa, bahwa tiap individu peserta didik telah membawa

Perkembangan Peserta Didik


65
watak bawaannya masing-masing sejak ia lahir yang sulit untuk
berubah.
Menurut Freud susunan personalitas atau kepribadian individu
dapat dijelaskan dengan kerangka ketidaksadaran. Freud percaya
ada 3 hal yang saling berhubungan dan yang sering kali berlawanan
(konflik), yaitu: id, ego dan superego.10
Id seringkali dilukiskan sebagai kawah mendidih yang berisi
pengharapan dan keinginan-keinginan yang memerlukan pemuasan
secepatnya. Di dalam rangka mencari kepuasan-kepuasan itu id
tidak terbelenggu oleh faktor-faktor pembatas seperti etik, moral,
alasan atau logika. Oleh karena itu, tidaklah heran bila terdapat dua
hal yang seringkali bertentangan dalam id untuk terjadi bersama-
sama. Contohnya, keinginan seorang siswa untuk lulus dengan
nilai sebaik-baiknya dan keinginannya untuk selalu meninggalkan
kelas secepatnya demi mencari kepuasan bermain di luar bersama
teman-temannya.
Ego menunjukkan sebaliknya, ia adalah sumber rasa sadar.
Ego mewakili logika dan yang dihubungkan dengan prinsip-
prinsip realitas. Ego berfungsi ganda, yaitu ia mengendalikan id
dan Superego dengan cara berinteraksi dengan dunia luar atau
lingkungan luar, dengan demikian ia dapat mengendalikan id
karena kesadaran akan kondisi di luar diri individu dan banyaknya
kepentingan-kepentingan yang harus dilayani.
Superego sebenarnya adalah kekuatan-kekuatan moral dari
kepribadian. Ia adalah sumber norma atau standar yang tidak sadar

10. Ibid. halaman 67 - 70

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


66
yang menilai semua aktivitas ego dengan dunia luar. Ia merupakan
pembatas-pembatas untuk mengatakan benar atau salah dalam
diri manusia. Superego membantu seseorang untuk menolong ego
melawan dorongan-dorongan dari id.
Drs. Nana Syaodih Sukmadinata dan Drs. Moh. Surya
membagi perkembangan individu ke dalam 3 faktor besar yaitu:
bawaan (heredity), lingkungan (environment) dan kematangan
(maturity).11 Bagi peserta didik yang telah cukup bekal nilai-nilai
dari orangtuanya pada usia 1 – 7 tahun, terjadi keseimbangan pada
tiga faktor tersebut, sehingga susunan personalitasnya (id, ego dan
superego) nya juga seimbang. Keseimbangan perkembangan jiwa
dan susunan personalitas semakin besar dengan tuntunan motivasi
yang kuat dari sekolah dalam proses belajar peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan, pertama-tama yang harus
diingat adalah, bahwa pendidikan atau pembelajaran sekolah itu
hanyalah tuntunan di dalam proses kehidupan para siswa didik.
Ini artinya, hidup dan tumbuh kembang para siswa didik terletak
diluar kemampuan atau kehendak para pendidik mereka. Para
siswa didik sebagai makhluk hidup, sebagai manusia, dan sebagai
benda hidup, tentu memiliki kodratnya sendiri.
E. PEMBELAJARAN DARI LINGKUNGAN
Dalam pergaulannya, apa lagi bagi anak-anak berusia 7 s.d. 21 tahun,
yaitu anak-anak yang sudah mulai bergaul dengan lingkungan di
luar keluarga dan sekolah, perilaku seseorang (termasuk perilaku
11. Drs. Nana Syaodih Sukmadinata dan Drs. Moh. Surya, “Pengantar Psikologi”, jilid
1, Publikasi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, FIP, IKIP – Bandung, Cetakan ke 7,
1978, halaman 48.

Perkembangan Peserta Didik


67
belajar: malas atau rajin belajar) tidaklah berdiri sendiri, melainkan
merupakan dampak dari interaksi anak dengan lingkungannya.
Teori ini dikemukakan oleh Brofenbrenner.12 Adapun lingkungan
yang dimaksud Brofenbrenner ini sangat berlapir-lapis yaitu:
1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan
pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri
dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman
bermain, tetangga, rumah, tempat bermain, dan sebagainya
yang sehari-hari ditemui oleh anak.
2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam
sistem mikro (hubungan orangtua–guru, orangtua –teman,
guru–teman, dan sebagainya) yang dinamakan sistem
meso.
3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang
disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang
tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih
besar pengaruhnya seperti: keluarga besar, polisi, POMG,
dokter, koran, televisi, dan sebagainya.
4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro,
yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi,
agama, hukum, adat, budaya, dan sebagainya.
Berlapis-lapisnya lingkaran yang memengaruhi perkembangan
anak, atau dalam hal ini siswa didik, memengaruhi pula pola
belajar siswa didik, pola perilaku dan pergaulan siswa. Bukan
hanya guru, tetapi orangtuapun sering kali terkejut karena anak-
12. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Faktor-faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas
Belajar, sebuah Artikel dalam Pendidikan Network, 3 Juni 2003.

Pembelajaran di Sekolah dan Perkembangan Peserta Didik


68
anak mereka tidak lagi mau mendengar perkataan orangtuanya.
Anak makin sering membantah bahkan melawan. Ini karena si
anak banyak melihat contoh-contoh di luar yang berbeda dengan
apa yang ia dengar dari guru atau orangtuanya. Usia 7–11 tahun,
mungkin anak atau siswa masih bisa mendengarkan apa yang
guru atau orangtua katakan, tetapi pada masa pancaroba 11–21
tahun kebiasaan mendengar ini makin menipis karena pengaruh-
pengaruh lain dari luar yang semakin menebal.
Menghadapi era pancaroba yang serba tidak jelas dari diri anak
didik, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa
alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua atau guru
mutlak harus diikuti, orangtua dan guru penuh kekuasaan dan
harus dituruti, sehingga benar atau salah harus selalu dipatuhi.
Jika harus selalu menghadapi secara terus-menerus alam
otoriter ini, maka anak yang memang sedang pada masa bingung
(pancaroba) akan menjadi semakin bingung dan hilang rasa percaya
dirinya. Atau justru akan berkembang menjadi pemberontak atau
pelanggar hukum. Karena itu, bagi siswa didi usia 11–21 tahun,
pendidikan harusnya berorientasi pada pengembangan kemampuan
anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri
secara tepat dan cepat. Dengan kata lain, anak harus dididik untuk
menilai sendiri mana yang benar/salah, baik/tidak baik, indah/
jelek, dan atas dasar itulah mereka dapat memutuskan sendiri
mana yang terbaik bagi mereka sendiri.

Perkembangan Peserta Didik


69
Glosarium
Afektif: berkenaan dengan (seperti takut, cinta), mempunyai gaya
atau makna yang menunjukkan perasaan (tentang gaya bahasa
atau makna).
Kemampuan: kesanggupan, kecakapan, kekuatan.
Kognisi: kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk
kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman sendiri.
Kognitif: kemampuan berpikir atau pengembangan daya untuk
menerima informasi dan pengetahuan baru di dalam sel-sel
otak.
Konsekuensi: akibat dari suatu perbuatan, pendirian, dsb.
Pemahaman: proses, cara, perbuatan memahami, atau
memahamkan.
Perilaku: tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan
atau lingkungan.
Psikoanalisis: cara untuk mendapatkan secara terperinci
pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber atau sebab
gangguan jiwa dan represinya.
Respons: tanggapan, reaksi, atau jawaban.
Struktur: perangsang organisme bagian tubuh atau reseptor lain
untuk menjadi aktif.
Tabularasa: teori yang menyatakan bahwa setiap individu
dilahirkan dengan jiwa yang putih bersih dan suci (yang akan
menjadikan anak itu baik atau buruk adalah lingkungannya)
70
Indeks

A L
afektif 13, 43, 64, 70 learning resource 36, 70
learning to be 41, 70
E
learning to do 41, 42, 70
ego 16, 17, 18, 65, 66, 70
learning to live together 41,
EQ (Emotional Quotient) 32,
70
70
expectancy 7, 8, 40, 41, 70 N
neokortek 39, 40, 70
H
hampiran kognitif 10, 70 P
hampiran penguatan 10, 70 psikoanalisis 70
hampiran psikoanalitis 10, 70 R
hasrat 22, 23, 70 reinforcement iii, 10, 14, 70
holistik 38, 41, 70 respons 10, 11, 14, 15, 70
I S
id 16, 17, 18, 65, 66, 70 sikap 12, 13, 33, 43, 45, 46, 47,
IQ (Intelligence Quotient) 70 63, 64, 70
K sistem limbik 39, 40, 70
kognisi 11, 12, 70 stimulus 10, 11, 14, 15, 31, 70
kognitif iii, 10, 11, 12, 13, 14, superego 16, 17, 18, 65, 66,
31, 32, 38, 43, 45, 52, 53, 70
56, 58, 60, 64, 70 T
tabula rasa 2, 70

Perkembangan Peserta Didik


71
Daftar Pustaka

Al-Istanbulli, Mahmud Mahdi. 1982. Mendidik Anak Nakal.


Bandung: Penerbit Pustaka.

Effendi, Onong Uchyana, Drs. M. A. 1982. Psikologi Manajemen.


Bandung: Alumni.

Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Pendidikan, Bagian Pertama.


Yogyakarta: Taman Siswa.

Miles, Matthew B. 1964. Innovation in Education: Some


Generalizations, dalam Innovation in Education. New York:
Teachers College, Columbia, New York.

Muchlis, Ahmad,. Life Skills untuk Semua Siswa. Artikel dalam


Pikiran Rakyat On Line. 8 Mei. 2008.

Nasution, S. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Jemmars.

R. Semiawan, Conny, Prof. DR. 2008. Belajar dan Pembelajaran


Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Indeks.
Rifai, Tb. Bachtiar dan S. Sudarmadi. 1972. Sekolah Pembangunan
sebagai Pelaksana Pembaharuan Pendidikan, dalam Prima
no.3
72
Robianti, Febi. Sebuah Penjara Bernama Sekolah, Pendidikan
Network. 18 September. 2005.

Sanjaya, Wina, DR., MPd. 2007. Strategi Pembelajaran:


Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada
Media Group.

Sarwono, Sarlito Wirawan, Prof. Faktor-Faktor Makro yang


Menyebabkan Anak Malas Belajar, Pendidikan Network, 3
Juni 2003.

Soedjono, D. SH. 1976. Pengantar Sosiologi. Bandung: Alumni.

Thoha, Mifthah, Drs. MPA. 1983. Perilaku Organisasi: Konsep


Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: CV Rajawali.

Trimo, Soejono, MLS. 1986. Pengembangan Pendidikan.


Bandung: CV Remadja Rosda Karya.

Perkembangan Peserta Didik

You might also like