Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
2011
DAFTAR ISI
F. Gaya Bahasa................................................................... 15
SINOPSIS …………………………………………………… … 22
PENDAHULUAN
Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan
tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan
didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan
estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang
menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan
estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)
Pada pendekatan sosiologis berpandangan bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang suka duka
kehidupan masyarakat. Bertolak dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang
dilakukan terfokus atau lebih banyak mamperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan
yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang
pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.
Suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat dimana dia di lahirkan.
Pada umumnya memang begitu, tetapi hal itu tidak harus Ignas Kleden (1981)
menyebutkan bahwa sastra adalah karya individualyang didasarkan pada kebebasan
mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia pertama-tama, karena merupakan
cermin diri sang pengarang itu sendiri: persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia
kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran
persoalan umum itu terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua, karena
kemampuannya menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa
kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa actual sementara ini. Tentu
saja dengan itu tidak dikatakan bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing dari
kehidupan masyarakat. Dia dapat juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat
masanya, tetapi itu tanpa pretense mau menjadi juru bicara jamannya dalam arti yang
lengkap.
Kekurangan didalam sebuah cerpen yang memang hampir banyak ditemukan
diberbagai Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra ternyata
mendapat tantangan daripada tokoh, diantaranya Rene Wellek dan Austin Warren (1956).
Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan
sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan
biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial,
adat-istiadat, dan politik.
Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Djoko Damono (1978), tidak
sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang
mendesak, memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi nasib mereka
sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. Sastra karya
pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu
barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk
mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Dan karena sastra juga
akan selalu mencerminkan rekaan agar mencari nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat
diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap astra sebagai
cermin masyarakat, sebab masyarakat semakin menjadi rumit.
Didalam makalah ini penulis ingin lebih mengkhususkan membahas mengenai
pendekatan sosio-psikologi sastra yang terdapat didalam cerpen yang berjudul “di malam
takbiran” oleh pengarang bernama Sabilaa didalam majalah Femina.
Kelebihan didalam cerpen tersebut yang khas yang dapat dilihat adalah
kemampuan pengarang dalam menggemukakan secara lebih banyak makna tersirat
daripada tersurat yang ditangkap oleh para pembaca secara implisit dari sekedar apa yang
diceritakan yang terdapat dalam cerpen tersebut. Pembaca disuguhkan dengan
kepiawaian pengarang dalam menceritakan kejadian sehingga pembaca semakin
tertantang dan tidak mengalami kejenuhan. Kata demi kata di uraikan dengan baik.
Bahkan penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot,
namun tetap saling berkaitan secara logika.
cerpen yang ditulis yaitu plot, plot yang disajikan dalam cerpen ini hanya terdiri
dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir bahkan penyelesaian
diserahkan kepada interpretasi pembaca. Penokohan, jumlah tokoh cerita yang terlibat
dalam cerpen ini terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh,
khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi
sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh dalam cerpen tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI
Aminuddin (1987 : 91) mendefinisikan ide yang mendasari suatu cerita sehingga
berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Lebiha jauh lagi Aminuddin memberikan beberapa langkah untuk
memahami tema.
1. Pemahaman setting,
2. Memahami penokohan
3. Pemahaman satuanm peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa
4. Pemahaman plot dan alur
5. Hubungan pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan
dari satuan-satuan peristiwa
6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan
7. Identifikasi pengarang memaparkan cerita
8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya.
Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan.
Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar itu. Dengan demikian
tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam
seluruh cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu taka ada gunanya dan
artinya.
Brooks, Puser dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “ tema adalah
pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian
nilai-nilai tertentu yang membentuk atau yang membangun dasar atau gagasan utama dari
suatu karya sastra”. Dalam Tarigan (1986 :125)
B. Alur atau Plot
Aminudin (1987 : 83) mendifinisikan alur adalah rangkai cerita yang dibetuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita.
S. Tarif menyebutkan bahwa setiap cerita dapat dibagi dalam lima again:
a. Ad avo, jika sebuah cerita disusun dan dimulai pada awal peristiwa
b. In medis res, jika cerita dimulai ditengah kisah kemudian dipertautkan dengan
semua peristiwa sebelum dan sesudahnya.
c. Alih bakih atau sorot balik jika urutan kronologisnya peristawa- peristiwa
yang disajikan dalam karaya sastra disela denga peristiwa yang terjadi
sebelumnya.
C. Perwatakan atau Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh
tersebut disebut penokohan (Aminuddin, 1984:85). Tokoh dalam karya rekaan selalu
mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada
tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas :
(a) Tokoh primer/utama
(b) Tokoh sekunder/tokoh bawahan
(c) Tokoh komplementer/tokoh tambahan
(Sudjiman, 1988:17-20; Sukada, 1987:160; Aminuddin:85-87).
Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh
dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan
atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks (Aminuddin, 1984:91-92).
Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiaanya selalu berkembang. Sebagai contoh ,
tokoh yang semula jujur, karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya
menjadi tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah ia sadar bahwa
dengan tidak jujur penyakit jantungnya menjadi parah. Tokoh statis adalah tokoh yang
mempunyai kepribadian tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh
yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Sedangkan tokoh yang
mempunyai karakter kompleks adalah tokoh yang mempunyai karakter beraneka ragam
kepribadian, misalnya tokoh yang di mata masyarakat dikenal sebagai orang yang
dermawan. Pembela kaum miskin, berusaha mengentaskan kemiskinan, ternyata ia juga
menjadi Bandar judi.
Sukada (1987:160) merangkum keempat pembagian di atas menjadi tokoh datar
(flat character), yakni tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round
character), yakni tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan bersifat dinamis.
Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh
protagonis dan tokoh antagonis (Aminuddin, 1984:85). Tokoh protagonis adalah tokoh
yang wataknya disukai pembacanya. Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak
yang baik dan positif, seperti dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai,
mandiri, dan setia kawan. Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang
mempunyai watak yang seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai kelemahan.
Oleh karena itu, ada juga watak protagonis yang menggambarkan dua sisi kepribadian
yang berbeda. Sebagai contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia
memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak dan istrinya sehingga anak dan
istrinya juga begitu sayang kepadanya. Contoh berikutnya bisa kita lihat, misalnya, pada
tokoh yang dikenal masyarakat sebagai orang yang pelit, padahal dia adalah pemilik panti
asuhan itu. Ia berbuat seakan-akan pelit untuk menutupi kedermawanannya. Ia takut tidak
ikhlas dalam beramal saleh.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh ini
biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negative, seperti
pendendam, culas, pembohong, menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan
ambisius. Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang bercampur dengan
sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang jujur, tetapi dengan kejujurannya itu justru
mencelakakan temanya; tokoh yang setia kepada negara, padahal negaranya adalah
negara penebar kejahatan di dunia; tokoh yang memegang teguh janji, tetapi janji itu
diucapkan pada orang yang salah dan berakibat fatal.
Boulton (dalam Aminuddin, 1984:85) mengungkapkan bahwa cara sastrawan
menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Mungkin
sastrawan menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku
yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku egois,
kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku dapat berupa manusia
atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, kaset,
dan sepatu.
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui :
(a) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya
(b) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya
maupun caranya berpakaian
(c) Menunjukkan bagaimana perilakunya
(d) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri
(e) Memahami bagaimana jalan pikirannya
(f) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya
(g) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya
(h) Melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu member reaksi terhadapnya
(i) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain
(Aminuddin, 1984:87-88).
Pengarang serba tahu (auther emniscient) Titik pandang adalah tempat sastrawan
memandang ceritanya. Dari empat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
tempat, waktu, dengan gayanya sendiri. Sedangkan menurut Aminuddin ((1984:105-107),
titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita
yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi :
Narrator omniscient
Narrator observer
Narrator observer omniscient
Narrator the third person omniscient
Harry Shaw (dalam Sudjiman, 1988:76) menyatakan titik pandang terdiri atas :
Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan
pengarang dalam pendekatan materi cerita
Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah
dalam cerita
Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam
membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.
Dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku
pada masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut
menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut/dilakukan pada
suatu masyarakat.
Nilai moral
Nilai social
Nilai budaya/tradisi
Nilai religi/agama
1. Nilai Moral
Nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti (baik dan buruk).
Misalnya :
Contoh :
Saling memberi
Tenggang rasa
Saling menghormati pendapat
3. Nilai Budaya/Tradisi
Nilai-nilai yang terkait dengan kebiasaan/ tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh :
4. Nilai Religi/Agama
Contoh :
Aku sendiri tak mengerti, kenapa tiba-tiba aku ingin pulang lebaran kali ini.
Barang kali karena sejak awal bulan puasa aku terus dibayangi mimpi tentang Bapak.
Ah, Bapak, dia orang yang paling ku kagumi. Meski tak banyak bicara. Bapak punya
perasaan yang lembut. Ia tak pernah memarahi aku maupun Ambar, adikku. Tapi, bukan
berarti kami di manjakan. Sebagai guru di sebuah SMP negeri dikota kami, Bapak
mendidik anak-anaknya dengan tegas dan penuh kedisiplinan.”Biarpun kamu anak
perempuan, kamu tak boleh bergantung pada orang lain,” itu selalu yang ditanamkan
Bapak pada kami.
Saat aku diterima bekerja sebagai teller disebuah bank pemerintahan dan Ambar
di bagian keuangan sebagai biro perjalanan, Bapak dan ibu begitu bangga kepada kami.
Ibu juga seorang wanita yang aktif dan mandiri. Ia bekerja sebagai karyawan bagian
administrasi sebuah perusaaan batik yang cukup terkenal di kota kami.
Meskipun kedua orang tua kami bekerja, kami hidup dalam kesederhanaan.
Ketika kami mulai besar, tak ada seorang pembantu lah pun yang dipekerjakan. Bukan
karena kami tak mampu, tetapi itulah salah satu cara Bapak dan ibu mendidik kami.
Semua kebagian tugas. Pagi-pagi adalah tugas ibu menyiapkan saarapan untuk kami
berempat. Aku kebagian mencuci dan menyetrika pakaian sepulang sekolah. Ambar yang
dua tahun lebih muda dariku, kebagian menyapu, ngepel. Membersihkan kamar—aku
berbagi kamar dengan Ambar---kami lakukan secara bergantian. Sementara Bapak ,
menyirami tanaman, mencabuti daun-daun yang kuning dan menyapu halaman.
Memasak, sudah tentu bagian ibu.
Kepada kami, secara tidak langsung, mereka selalu mengajarkan rasa berbagi
dengan orang lain. Misalnya, jika ada rezeki lebih, Bapak maupun Ibu menyisihkannya
untuk mereka yang membutuhkan. Sering orang dating kepada kami, membutuhkan
bantuan dan Bapak seolah tak mampu untuk menolaknya. Aku pernah protes, kenapa
Bapak lebih suka memberinya kepada orang lain, padahal kami jarang sekali berpergian
di hari libur.
Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang
menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa
tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang pengarang.
Rene Wellek dan Austin Warren (1956). Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis
atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat
bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan
situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik.
Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai dengan
Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton, pun tak
berhasil membujukku. Tidak juga Pras.
Sampai akhirnya—dua minggu lalu—setelah melakukan salat tasbih, aku
bermimpi bertemu Bapak. Laki-laki yang kukagumi itu memintaku untuk dating
menjengguknya. Lalu, aku seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Ketika kami duduk-
duduk di teras samping. Biasanya sore-sore seperti itu kami saling bercerita tentang
pengalaman hari itu. Bapak senang bercerita tentang murid-muridnya yang bandel tapi
dianggap lucu. Kami sering tertawa mendengarnya. Apalagi, Bapak menceritakannya
secara ekspresif. Dalam mimpi itu, aku dan Ambar duduk berdekatan. Aku menyisir
rambut Ambar yang panjang dan mengepangnya. Kuberi pita kecil warna ungu muda,
faforit Ambar. Boleh dibilang, kami berdua jarang sekali bertengkar. Kami saling
menyayangi satu sama lain.
Mimpi itu seperti menyadarkan aku bahwa sikapku selama ini kepada Ambar
adalah siksaan yang tak berampun. Siksaan yang berkepanjangan. Lalu, apa arti ajaran
orang tua kami selama ini?Aku menangis diam-diam, ingat Ambar.
Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.
Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar
akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga
mengakibatkan kematian sang Bapak.
Aku tak bisaa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai
dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,
pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan
tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan
didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan
estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang
menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan
estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan Austin Warren membagi
telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang yang
mempermasalahkan tentang status sosial, ideology politik, dan lain-lain, yang
menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan
tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat
dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang
pengarang. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap lingkungan atau masyarakat.
Klasifikasi tersebut hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Ian Watt
dalam bagannya bila dilihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurutnya mencakup tiga hal, yakni konteks
sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai personal di samping mempengaruhi isi karya
sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra
dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalah hal ini
ditelaah sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan pendidikan.
Demikian juga objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam
menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan
memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan
tertentu. Henry James mengatakan bahwa sastrawan menganalisa “data” kehidupan
sosialnya, memahami dan mencoba untuk menentukan tanda yang esensial untuk
dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas tersebut adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat
mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk
memahami pperistiwa itu menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra
dapat menjadi alat bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Dan, sepert juga karya sejarah, karya sastra
dapat merupakan penciptaan ulang peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya
imajinasi pengarang.
Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.
Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar
akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga
mengakibatkan kematian sang Bapak.
Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai
dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,
pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.
DAFTAR PUSTAKA
Univercity Press.