You are on page 1of 27

TUGAS SOSIO-PSIKOLOGI SASTRA

ANALISIS SOSIOLOGIS CERPEN


“DI MALAM TAKBIRAN”
KARYA SABILAA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosio-Psikologi Sastra
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2009/A
Dosen Pembimbing :
Drs. Heru Subakti, M.M

Oleh :

INGGIT RETNA PALUPI


NIM. 096093

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG

2011
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................... 1

Daftar Isi ................................................................................... 2

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................... 3

BAB II : LANDASAN TEORI ................................................ 6

2.1 Pengertian Sosiologis Sastra................................................. 6

2.2 Unsur-unsur Dalam Sosiologis Sastra................................... 7

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen....................................................... 6

A. Tema dan Amanat......................................................... 8

B. Alur dan Plot.................................................................. 9

C. Perwatakan atau Penokohan ………………… 10

D. Sudut Pandang atau Titik Pandang................................ 13

E. Latar atau Setting........................................................... 14

F. Gaya Bahasa................................................................... 15

2.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerpen.................................................... 7

2.2.3 Nilai-Nilai Psikologis Cerpen............................................ 7

BAB III : PEMBAHASAN ...................................................... 17

3.1 Sosiologi Pengarang Cerpen “Di Malam Takbiran” ……… 17

3.2 Sosiologi Karya Sastra “Di Malam Takbiran”...................... 18

3.3 Sosiologi Pembaca Cerpen “Di Malam Takbiran”............... 20

BAB IV : PENUTUP ................................................................ 22


4.1 KESIMPULAN …………………………………………. … 22

SINOPSIS …………………………………………………… … 22

DAFTAR PUSTAKA …………………………………… … 22


BAB I

PENDAHULUAN

Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan
tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan
didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan
estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang
menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan
estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)
Pada pendekatan sosiologis berpandangan bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang suka duka
kehidupan masyarakat. Bertolak dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang
dilakukan terfokus atau lebih banyak mamperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan
yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang
pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.
Suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat dimana dia di lahirkan.
Pada umumnya memang begitu, tetapi hal itu tidak harus Ignas Kleden (1981)
menyebutkan bahwa sastra adalah karya individualyang didasarkan pada kebebasan
mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia pertama-tama, karena merupakan
cermin diri sang pengarang itu sendiri: persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia
kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran
persoalan umum itu terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua, karena
kemampuannya menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa
kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa actual sementara ini. Tentu
saja dengan itu tidak dikatakan bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing dari
kehidupan masyarakat. Dia dapat juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat
masanya, tetapi itu tanpa pretense mau menjadi juru bicara jamannya dalam arti yang
lengkap.
Kekurangan didalam sebuah cerpen yang memang hampir banyak ditemukan
diberbagai Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra ternyata
mendapat tantangan daripada tokoh, diantaranya Rene Wellek dan Austin Warren (1956).
Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan
sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan
biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial,
adat-istiadat, dan politik.
Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Djoko Damono (1978), tidak
sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang
mendesak, memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi nasib mereka
sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. Sastra karya
pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu
barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk
mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Dan karena sastra juga
akan selalu mencerminkan rekaan agar mencari nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat
diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap astra sebagai
cermin masyarakat, sebab masyarakat semakin menjadi rumit.
Didalam makalah ini penulis ingin lebih mengkhususkan membahas mengenai
pendekatan sosio-psikologi sastra yang terdapat didalam cerpen yang berjudul “di malam
takbiran” oleh pengarang bernama Sabilaa didalam majalah Femina.
Kelebihan didalam cerpen tersebut yang khas yang dapat dilihat adalah
kemampuan pengarang dalam menggemukakan secara lebih banyak makna tersirat
daripada tersurat yang ditangkap oleh para pembaca secara implisit dari sekedar apa yang
diceritakan yang terdapat dalam cerpen tersebut. Pembaca disuguhkan dengan
kepiawaian pengarang dalam menceritakan kejadian sehingga pembaca semakin
tertantang dan tidak mengalami kejenuhan. Kata demi kata di uraikan dengan baik.
Bahkan penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot,
namun tetap saling berkaitan secara logika.
cerpen yang ditulis yaitu plot, plot yang disajikan dalam cerpen ini hanya terdiri
dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir bahkan penyelesaian
diserahkan kepada interpretasi pembaca. Penokohan, jumlah tokoh cerita yang terlibat
dalam cerpen ini terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh,
khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi
sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh dalam cerpen tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Psikologis Sastra Cerpen


Sosiologi adalah merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang masyarakat;
telaah tentang lembaga dan proses sosial. Selo Soemarjand dan Soelaiman Soemardi
(1990:20) menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu kemasyarakatan ialah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan
sosial. Pittirin Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala social. Hubungan
dan pengaruh timbale-balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial.
Psikologi sastra mempunyai kemungkinan pengertian. Yang pertama, adalah studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, adalah studi proses kreatif.
Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pengertian
yang keempat berkaitan dengan sastra dan masyarakat. Yang berkaitan dengan bidang
sastra adalah pengertian ketiga. Sedangkan dua pengertian lainnya merupakan bagian dari
psikologi seni. Psikologi pengarang dan proses kreatif sering di pakai dalam pengajaran
sastra, tetapi sebaiknya asal-usul adan proses penciptaan sastra tidak dijadikan pegangan
untuk memberikan penilaian.
Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang
suka-duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak
dari pandangan itu telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih banyak
memperhatikan segi-segi social kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya satra
serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata
kehidupan.
Pendekatan yang mengungkap “konsep pengaruh”, merepresentasikan bahwa
kondisi sosiobudaya memiliki peranan penting bagi sastra. Jika berkiblat pada teori Taine
(Junus, 1986:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya
masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi oleh
kondisi sejarah dan kelas masyarakat, yang akan tampak pada gaya maupun bentuk
sastra. Bahkan, lebih jauh lagi super struktur masyarakat kadang-kadang sangat besar
penagruhnya terhadap kehidupan sastra. Hal semacam ini sulit disangkal, ketika bangsa
Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang panjang, ternyata telah
menyempitkan penerbitan karya sastra. Tidak sedikit karya sastra yang harus
“mengeram” sampai tidak menetas di penerbit, karena memang tidak ada dana lagi,
kalaupun ada sedikit pertolongan dari Ford Foundation, itu pun belum mampu
menerbitkna semua karya sastrawan, karena yayasan ini juga memiliki hegemoni
tersendiri.
Dan pendekatan psikologis adalah merupakan pendekatan penelaah sastra yang
menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra. Segi-segi
psikologis ini mendapat perhatian dalam penelaah dan penelitian sastra. Hal ini terjadi
disebabkan timbulnya kesadaran bagi para pengarang, yang dengan sendirinya juga bagi
kritikus sastra, bahwa perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini
tidaklah semata-mata dapat di ukur dari segi materi saja, tetapi juga dari segi rohaniah
atau kejiwaan.

2.2 Unsur-Unsur Dalam Psikologis Sastra Dalam Cerpen


Unsur-unsur yang menjadi kajian dalam psikologi sastra yang berupa unsur
intrinsic maupun ekstrinsik.

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen


Unsure intrinsic dalam cerpen terdiri atas tema dan amanat, alur, perwatakan,
sudut pandang, latar, dan gaya bahasa.

A. Tema dan Amanat


Tema merupakan omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan
dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan
dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang mempunyai pedoman dalam
ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, tema
mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam mengarap cerita,
sasaran tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu
alur.

Aminuddin (1987 : 91) mendefinisikan ide yang mendasari suatu cerita sehingga
berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Lebiha jauh lagi Aminuddin memberikan beberapa langkah untuk
memahami tema.

Langkah-langkah tersebut melalui:

1. Pemahaman setting,
2. Memahami penokohan
3. Pemahaman satuanm peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa
4. Pemahaman plot dan alur
5. Hubungan pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan
dari satuan-satuan peristiwa
6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan
7. Identifikasi pengarang memaparkan cerita
8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya.

Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan.
Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar itu. Dengan demikian
tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam
seluruh cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu taka ada gunanya dan
artinya.

Brooks, Puser dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa “ tema adalah
pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian
nilai-nilai tertentu yang membentuk atau yang membangun dasar atau gagasan utama dari
suatu karya sastra”. Dalam Tarigan (1986 :125)
B. Alur atau Plot

Pendapat Jan Van Luxemburk yang di indonesiakan oleh Dick Hartono


mengemukakan bahwa alur atau plot adalah kontruksi yang dibuat pengarang mengenai
sebuah deretan peristiwa yang logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan
atau dialami para pelaku ( Hartoko, 1984 :149)

Aminudin (1987 : 83) mendifinisikan alur adalah rangkai cerita yang dibetuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita.

S. Tarif menyebutkan bahwa setiap cerita dapat dibagi dalam lima again:

a. situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

b. generating sircumstances (peristiwa ang bersangkut paut mulai bergerak )

c. rising action (keadaan mulai memuncak )

d. climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)

e.denonement (pengarang mulai memberikan pemecahan persoalan dari semua


peristiwa) dalam ( tarigan, 1986 : 128)

Didalam memahami buku cerita rekaan dijelaskan pengaluran adalah pengaturan


peristiwa membentuk cerita ( sudjiman, 1988 : 31 ). Ada beberapa cara yang dilakuakan
untuk mengetahui pengaluran dalam sebuah cerita yaitu :

a. Ad avo, jika sebuah cerita disusun dan dimulai pada awal peristiwa
b. In medis res, jika cerita dimulai ditengah kisah kemudian dipertautkan dengan
semua peristiwa sebelum dan sesudahnya.
c. Alih bakih atau sorot balik jika urutan kronologisnya peristawa- peristiwa
yang disajikan dalam karaya sastra disela denga peristiwa yang terjadi
sebelumnya.
C. Perwatakan atau Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh
tersebut disebut penokohan (Aminuddin, 1984:85). Tokoh dalam karya rekaan selalu
mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada
tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas :
(a) Tokoh primer/utama
(b) Tokoh sekunder/tokoh bawahan
(c) Tokoh komplementer/tokoh tambahan
(Sudjiman, 1988:17-20; Sukada, 1987:160; Aminuddin:85-87).

Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh
dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan
atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks (Aminuddin, 1984:91-92).
Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiaanya selalu berkembang. Sebagai contoh ,
tokoh yang semula jujur, karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya
menjadi tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah ia sadar bahwa
dengan tidak jujur penyakit jantungnya menjadi parah. Tokoh statis adalah tokoh yang
mempunyai kepribadian tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh
yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Sedangkan tokoh yang
mempunyai karakter kompleks adalah tokoh yang mempunyai karakter beraneka ragam
kepribadian, misalnya tokoh yang di mata masyarakat dikenal sebagai orang yang
dermawan. Pembela kaum miskin, berusaha mengentaskan kemiskinan, ternyata ia juga
menjadi Bandar judi.
Sukada (1987:160) merangkum keempat pembagian di atas menjadi tokoh datar
(flat character), yakni tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round
character), yakni tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan bersifat dinamis.
Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh
protagonis dan tokoh antagonis (Aminuddin, 1984:85). Tokoh protagonis adalah tokoh
yang wataknya disukai pembacanya. Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak
yang baik dan positif, seperti dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai,
mandiri, dan setia kawan. Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang
mempunyai watak yang seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai kelemahan.
Oleh karena itu, ada juga watak protagonis yang menggambarkan dua sisi kepribadian
yang berbeda. Sebagai contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia
memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak dan istrinya sehingga anak dan
istrinya juga begitu sayang kepadanya. Contoh berikutnya bisa kita lihat, misalnya, pada
tokoh yang dikenal masyarakat sebagai orang yang pelit, padahal dia adalah pemilik panti
asuhan itu. Ia berbuat seakan-akan pelit untuk menutupi kedermawanannya. Ia takut tidak
ikhlas dalam beramal saleh.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh ini
biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negative, seperti
pendendam, culas, pembohong, menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan
ambisius. Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang bercampur dengan
sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang jujur, tetapi dengan kejujurannya itu justru
mencelakakan temanya; tokoh yang setia kepada negara, padahal negaranya adalah
negara penebar kejahatan di dunia; tokoh yang memegang teguh janji, tetapi janji itu
diucapkan pada orang yang salah dan berakibat fatal.
Boulton (dalam Aminuddin, 1984:85) mengungkapkan bahwa cara sastrawan
menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Mungkin
sastrawan menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku
yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku egois,
kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku dapat berupa manusia
atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, kaset,
dan sepatu.
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui :
(a) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya
(b) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya
maupun caranya berpakaian
(c) Menunjukkan bagaimana perilakunya
(d) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri
(e) Memahami bagaimana jalan pikirannya
(f) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya
(g) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya
(h) Melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu member reaksi terhadapnya
(i) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain
(Aminuddin, 1984:87-88).

Suardi Tasrif (dalam Mochtar Lubis, 1960:18) mengemukakan 7 macam cara


melukiskan perwatakan tokoh cerita, yaitu :
a) Physical description; menggambarkan bentuk lahir dari pelaku cerita.
b) Portroyal of throught streem of conscious ; pelukisan jalan pikiran atau apa yang
terlintas dalam pikiran tokoh.
c) Reaction to event: penggambaran tentang bagaimana reaksi pelaku terhadap
kejadian-kejadian.
d) Direct auther analysis: menganalisis langsung watak tokoh.
e) Discussion of environment: pelukisan keadaan sekitar lingkungan pelaku, seperti
keadaan kamar yang bias memberi kesan jorok, dsb.
f) Rection of others about to character: pelukisan mengenai bagaimana pandangan
pelaku lain terhadap tokoh utama.
g) Conversation of about to character: perbincangan oleh pelaku-pelaku lain
terhadap tokoh utama, untuk memberi kesan terhadap tokoh utama.

D. Sudut Pandang atau Titik Pandang

Pengarang serba tahu (auther emniscient) Titik pandang adalah tempat sastrawan
memandang ceritanya. Dari empat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,
tempat, waktu, dengan gayanya sendiri. Sedangkan menurut Aminuddin ((1984:105-107),
titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita
yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi :
 Narrator omniscient
 Narrator observer
 Narrator observer omniscient
 Narrator the third person omniscient

Harry Shaw (dalam Sudjiman, 1988:76) menyatakan titik pandang terdiri atas :
 Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan
pengarang dalam pendekatan materi cerita
 Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah
dalam cerita
 Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam
membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.

Sudut pandang pribadi dibagi atas :


 Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh
 Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan
 Pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal; ia sama sekali
berdiri di luar cerita.

E. Latar atau Setting


Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin (1984:64) memberi batasan
setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi berupa tempat, waktu maupun peristiwa,
serta memilih fungsi fisik maupun fungsi psikologis.
Abrams (1981:173) mengemukakan latar cerita adalah tempat umum(general locale),
waktu kesejarahan (jistorical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances)
dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.
Leo Hamalian dan Frederick R. karell (dalam Aminuddin, 1984:64) menjelaskan
bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana
yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu
masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Kenney (dalam Sudjiman,
1988:44) mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita fiksi yang meliputi
penggambaran lokasi geografis, pemandangan, perincian perlengkapan sebuah ruangan,
pekerjaan, atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa
sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial,
dan emosional para tokoh.
Hudson (dalam Sudjiman, 1988:44) membagi setting atas setting sosial dan
setting fisik. Setting sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok
sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan, daerah, dan
sebagainya.
Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita rekaan. Mungkin
dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang menonjol adalah latar sosial. Penggambaran
latar ini ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara persis
seperti kenyataannya; ada yang gabungan antara kenyataan dengan khayalan; ada juga
latar yang merupakan hasil imajinasi sastrawannya.
Selain latar yang digambarkan secara jelas, ada juga latar cerita yang
digambarkan secara umum. Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembacanya. Bagi
sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita dapa
digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana, yang dialami tokoh.
Sastrawan juga bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi
peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan latar
cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita dapat membantu untuk
membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Latar juga bisa
membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam
rangka mewujudkan tema suatu cerita.
Dalam cerpen modern setting telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang
penting. Ia terjalin erat dengan karakter, tema, suasana cerita. Hanya tahu dimana suatu
cerita terjadi tidak cukup. Setting dalam cerpen telah menjadi begitu kompleks terjalin
dengan unsur-unsur dan waktu tertentu tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah,
sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka,
kecurigaan mereka, dan sebagainya. Dalam cerpen yang baik, setting harus benar-benar
mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu harus
menghasilkan perwatakan tokoh tertentu, tema tertentu.
F. Gaya Bahasa

Dalam karya sastra seperti cerpen, gaya bahasa mempunyai fungsi:

a) Memberi warna pada karangan, sehingga gaya bahasa mencerminkan ekspresi


individual.
b) Alat melukiskan suasana cerita dan mengintensifkan penceritaan.

Dalam kesusastraan Indonesia dikenal bermacam-macam gaya bahasa, diantaranya:


a. Metafora
b. Hiperbola
c. Simbolik
d. Asosiasi
e. Sarkasme
f. Sinisme
g. Asideton
h. Polisendeton
i. Repetisi
j. Eufemisme
k. Litotes
l. Paradox

2.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerpen


Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra
itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organism karya
sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang
mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi
bagian didalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap
totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh kaerena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel
haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Wellek & Warren (1956), walau
membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya memandang unsur itu
sebagai sesuatu yang agak negative, kurang penting. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu
karya, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat
bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.
Unsur yang membangun struktur fiksi ekstrinsik ialah permasalahan kehidupan,
falsafah, cita-cita, ide-ide dan gagasan serta latar budaya yang menopang pada kisahan
cerita dalam cerpen.

2.2.3 Nilai-Nilai Psikologis

Dalam sebuah karya sastra pasti terkandung nilai-nilai kehidupan yang berlaku
pada masyarakat di mana karya sastra tersebut diciptakan. Nilai-nilai tersebut
menggambarkan norma, tradisi, aturan, dan kepercayaan yang dianut/dilakukan pada
suatu masyarakat.

Nilai-nilai tersebut antara lain :

 Nilai moral

 Nilai social

 Nilai budaya/tradisi

 Nilai religi/agama

1. Nilai Moral

Nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti (baik dan buruk).

Misalnya :

 Berbakti kepada orang tua


 Jujur
 Sabar
 Ikhlas, dll.
2. Nilai Sosial
Nilai-nilai yang terkait dengan norma/aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan
berhubungan dengan orang lain

Contoh :

 Saling memberi
 Tenggang rasa
 Saling menghormati pendapat

3. Nilai Budaya/Tradisi

Nilai-nilai yang terkait dengan kebiasaan/ tradisi yang berlaku dalam masyarakat.

Contoh :

 Adat istiadat : perkawinan, kematian, dll.


 Cara berpakaian
 Kesenian
 Upacara adat, dll.

4. Nilai Religi/Agama

Nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan beragama.

Contoh :

 Cara beribadah kepada Tuhan


 Sistem kepercayaan/agama
BAB III
ANALISA CERPEN

3.1 Sosiologis Pengarang Cerpen “Di Malam Takbiran”

Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan tentang status sosial,


ideology politik, dan lain-lain, yang menyangkut diri pengarang.
Ignas Kleden (1981) menyebutkan bahwa sastra adalah karya individual yang didasarkan
pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa tiba-tiba aku ingin pulang lebaran kali ini.
Barang kali karena sejak awal bulan puasa aku terus dibayangi mimpi tentang Bapak.
Ah, Bapak, dia orang yang paling ku kagumi. Meski tak banyak bicara. Bapak punya
perasaan yang lembut. Ia tak pernah memarahi aku maupun Ambar, adikku. Tapi, bukan
berarti kami di manjakan. Sebagai guru di sebuah SMP negeri dikota kami, Bapak
mendidik anak-anaknya dengan tegas dan penuh kedisiplinan.”Biarpun kamu anak
perempuan, kamu tak boleh bergantung pada orang lain,” itu selalu yang ditanamkan
Bapak pada kami.
Saat aku diterima bekerja sebagai teller disebuah bank pemerintahan dan Ambar
di bagian keuangan sebagai biro perjalanan, Bapak dan ibu begitu bangga kepada kami.
Ibu juga seorang wanita yang aktif dan mandiri. Ia bekerja sebagai karyawan bagian
administrasi sebuah perusaaan batik yang cukup terkenal di kota kami.
Meskipun kedua orang tua kami bekerja, kami hidup dalam kesederhanaan.
Ketika kami mulai besar, tak ada seorang pembantu lah pun yang dipekerjakan. Bukan
karena kami tak mampu, tetapi itulah salah satu cara Bapak dan ibu mendidik kami.
Semua kebagian tugas. Pagi-pagi adalah tugas ibu menyiapkan saarapan untuk kami
berempat. Aku kebagian mencuci dan menyetrika pakaian sepulang sekolah. Ambar yang
dua tahun lebih muda dariku, kebagian menyapu, ngepel. Membersihkan kamar—aku
berbagi kamar dengan Ambar---kami lakukan secara bergantian. Sementara Bapak ,
menyirami tanaman, mencabuti daun-daun yang kuning dan menyapu halaman.
Memasak, sudah tentu bagian ibu.
Kepada kami, secara tidak langsung, mereka selalu mengajarkan rasa berbagi
dengan orang lain. Misalnya, jika ada rezeki lebih, Bapak maupun Ibu menyisihkannya
untuk mereka yang membutuhkan. Sering orang dating kepada kami, membutuhkan
bantuan dan Bapak seolah tak mampu untuk menolaknya. Aku pernah protes, kenapa
Bapak lebih suka memberinya kepada orang lain, padahal kami jarang sekali berpergian
di hari libur.

3.2 Sosiologis Karya Sastra Cerpen “Di Malam Takbiran”

Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang
menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa
tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang pengarang.
Rene Wellek dan Austin Warren (1956). Dikatakan bahwa pendekatan sosiologis
atau ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat
bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan
situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik.

Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai dengan
Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton, pun tak
berhasil membujukku. Tidak juga Pras.
Sampai akhirnya—dua minggu lalu—setelah melakukan salat tasbih, aku
bermimpi bertemu Bapak. Laki-laki yang kukagumi itu memintaku untuk dating
menjengguknya. Lalu, aku seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Ketika kami duduk-
duduk di teras samping. Biasanya sore-sore seperti itu kami saling bercerita tentang
pengalaman hari itu. Bapak senang bercerita tentang murid-muridnya yang bandel tapi
dianggap lucu. Kami sering tertawa mendengarnya. Apalagi, Bapak menceritakannya
secara ekspresif. Dalam mimpi itu, aku dan Ambar duduk berdekatan. Aku menyisir
rambut Ambar yang panjang dan mengepangnya. Kuberi pita kecil warna ungu muda,
faforit Ambar. Boleh dibilang, kami berdua jarang sekali bertengkar. Kami saling
menyayangi satu sama lain.
Mimpi itu seperti menyadarkan aku bahwa sikapku selama ini kepada Ambar
adalah siksaan yang tak berampun. Siksaan yang berkepanjangan. Lalu, apa arti ajaran
orang tua kami selama ini?Aku menangis diam-diam, ingat Ambar.

Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.
Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar
akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga
mengakibatkan kematian sang Bapak.

Aku tak bisaa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai
dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,
pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.

3.3 Sosiologis Pembaca Cerpen “ Di Malam Takbiran”

Sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh


sosialnya terhadap lingkungan atau masyarakat.

Bagi mereka yang tak pernah merasakan berlebaran di kampong, barangkali


pulang mudik seperti ini di anggap sebagai suatu penggorbanan besar. Bagaimana
tidak, perjalanan harus ditempuh dua sampai tiga kali lipat kondisi biasa. Tetapi, bagi
orang-orang seperti kami, kelelahan ini tak seberapa artinya disbanding dengan
kegembiraan yang akan kami peroleh di kampong.
Lebaran di kampong jauh berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di kompleks
tempat tinggalku di selatan Jakarta. Hanya suara takbir di mesjid yang menandai bahwa
lebaran akan tiba. Suara beduk terdengar sayup-sayup dari sebuah surau kecil yang
terletak di perumahan penduduk asli di belakang kompleks kami. Selebihnya, sepi.
Sementara di kampungku, Panembahan, suasana malam takbiran begitu
menyenangkan. Para tetangga saling berkirim ketupat. Padahal, kadang-kadang kami
memasak lauk yang sama. Kata bapak, ini sebagai pertanda bahwa di antara kami selalu
ada rasa ingin berbagi. Hanya masakan Bude Atmo yang agak berbeda. Ia punnya menu
tambahan, seperti oseng kedelai dengan abon pedas. Menu ini keluar hanya pada saat-
saat khusus. Maklum, bagi kami dulu makanan yang bernama abon cukup mahal. Ibu
sendiri membeli abon hanya jika membuat nasi kuning ketika ulang tahunku atau Ambar.
Masakan Ibu yang menurutku tak ada tandingannya adalah, opor ayam kuning
dan sambal cabai hijau yang diberi potongan daging kecil-kecil. Sehabis salat magrib
berjamaah, kami menyantap hidangan yang lezat sambil lesehan di teras samping.
Biasanya, ada beberapa orang lain yang ikut makan bersama kami. Mereka adalah
penjaga mesjid, yang sengaja di undang Bapak. Kami makan sekenyangnya sampai sulit
bernafas.
Bapak kemudian mengajak kami berkelililng. Ada sekotak kecil uang yang kami
bawa. Uang itu adalah sisa-sisa belanja yang dikumpulkan Ibu setelah lebaran tahun
lalu. Sambil menikmati keramaian malam takbiran, kami membagi-bagikan uang itu
kepada fakir miskin yang kami temui dijalan-jalan. Biasanya kami mengutamakan para
pembersih jalan, tukang sampah, atau orang-orang tua yang tidak terurus.
“ Kita jauh lebih beruntung daripada mereka. Malam ini seharusnya mereka
duduk berkumpul bersama keluarga mereka, seperti kita. Tetapi, keadaan mengharuskan
mereka bekerja, supaya besok di hari Lebaran, suasana kota ini benar-benar bersih.
Nah, kita juga harus begitu, membersihkan hati dan harta kita, “ujar Bapak di kbiran di
suatu malam takbiran. Saat itu kami duduk di sebuah kursi kayu dekat alun-alun karena
kecapekan. Suasana di alun-alun cukup ramai. Kami baru pulang menjelang pukul
sepuluh malam dengan perasaan puas.
Pembaca seolah digiring mengenai sebuah dendam masa lalu pada tokoh aku
yang mempunyai dendam sejak lama kepada adiknya yang telah melakukan sebuah
keteledoran. Pengarang seolah-olah menunjukkan kepada para pembaca bahwa dendam
yang berlebihan hanya akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain. Penggarang
seolah ingin menunjukkan bahwa hanya dengan berdamai lah kemarahan dan kedengkian
yang tak beralasan akan semakin memperkeruh suasana hati apalagi kepada saudara
kandung. Dan dengan saling meminta maaf dan saling memaafkan lah kedamaian
tercipta. Meskipun kejadian tersebut telah merenggut kehidupan sang Bapak namun
bukan seutuhnya kesalahan sang adik karena kondisi tubuh sang Bapak telah renta dan
sakit-sakitan. Hingga akhirnya kematian merenggutnya.

“Mbar, aku…,” sulit kulanjutkan kata-kata. Kerongkongan terasa sakit. Kutahan


sekuat daya agar air mataku tidak tumpah.” Aku ingin minta maaf, Mbar,” lanjutku,
tetapi hanya dalam hati.
Ambar menatapku dalam-dalam.”Mbak, masuklah. Mbakmassih lelah. Nanti kita
bicara lagi,” ujarku bijak. Ia menarik tanganku, ingin membimbingku masuk ke dalam
rumah. Tapsegera kutarik, tangan itu hingga kami berdiri begitu dekat. Sesaat kemudian
entah siapa yang memulai, kami saling berpelukan. Air mataku tumpah. Begitu pula
Ambar.
“Maafkan aku, Mbar. Maafkan aku…,” ujarku tersendat-sendat. Ambar
memeluku makin erat.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang memiliki maksud dan
tujuan yang ditawarkan pengarang yaitu untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Cerpen merupakan karya sastra fiksi karena terkandung tujuan
didalamnya dengan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan
estetik. Membaca sebuah karya fiksi berati menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang
menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan
estetik ( Wellek & Waren, 1956:212)

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan Austin Warren membagi
telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang yang
mempermasalahkan tentang status sosial, ideology politik, dan lain-lain, yang
menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan
tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat
dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan seorang
pengarang. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap lingkungan atau masyarakat.

Klasifikasi tersebut hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Ian Watt
dalam bagannya bila dilihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurutnya mencakup tiga hal, yakni konteks
sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai personal di samping mempengaruhi isi karya
sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra
dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalah hal ini
ditelaah sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan pendidikan.

Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pencerminan dalam sosiologi


sastra yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut
penelitian mengenai hasil pemasaran dan penghasilan karya sastra. Termasuk pula
penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra penulis tertentu
dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap
penciptaan karya sastra, misa, pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan
pendekatan Marxis berkenaan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan pula,
pendekatan strukturalisme genetic dari Goldmann dan pendekatan Devignaud yang
melihat mekanisme universal seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen
sosial budaya yang mencatat sosiobudaya masyarakat pada suatu masa tertentu.
Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tak lahir dari kekosongan
budaya. Bagaimanapun, karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tak
terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat pada jamannya tersebut.

Demikian juga objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam
menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan
memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan
tertentu. Henry James mengatakan bahwa sastrawan menganalisa “data” kehidupan
sosialnya, memahami dan mencoba untuk menentukan tanda yang esensial untuk
dipindahkan ke dalam karya sastra.

Apabila realitas tersebut adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat
mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk
memahami pperistiwa itu menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra
dapat menjadi alat bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Dan, sepert juga karya sejarah, karya sastra
dapat merupakan penciptaan ulang peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya
imajinasi pengarang.
Setelah itu, dari bagaimana konflik batin dan fisik yang melanda tiap tokohnya.
Dimulai dari kemarahan yang dialami oleh tokoh aku terhadap adiknya yaitu Ambar
akan keteledoran dan kurang perhatian adiknya dengan kondisi Bapaknya sehingga
mengakibatkan kematian sang Bapak.

Aku tak bisa bicara. Kemarahan menyesakkan dadaku. Bapak baru saja
dimakamkan di samping Ibu. Rasanya aku ingin berteriak, menangis sekencang-
kencangnya, menyesali semua yang terjadi. Aku tak sempat menunggui kepergian Bapak.
Itu karena kebodohan Ambar! Bodoh sekali!kalau saja ia segera membawa ke rumah
sakit jauh-jauh hari sebelumnya, tentu penyakit jantung Bapak masih bias diatasi. Ah,
kenapa Ambar begitu teledor? Bukankah seharusnya ia menjaga Bapak dengan baik?
Kemarahan itu tak pernah mau beranjak dari hatiku. Aku tak sanggup berdamai
dengan Ambar, meski ia berkali-kali minta maaf kepadaku. Bahkan suaminya, Anton,
pun tak berhasil membujukku. Tidak juga Pras.
DAFTAR PUSTAKA

Askuri, Ahmad. 2002. Pengantar Kesusastraan Indonesia. Kediri: Pelita Media.

J.S.& S.K.M. 1987. Apreasiasi Kesusastraan. Bandung

Sabilaa. 1999.Cerpen Di Malam Takbiran

Natawidjaya, P. Suparman. 1980. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: Intermasa.

Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada

Univercity Press.

Subakti, Heru. 2011. Sosio-Psikologi Sastra. Jombang: STKIP Jombang.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada.

Z. F, Zulfahnur. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah tahun 1997/1998

You might also like