Professional Documents
Culture Documents
NPM : 1006694555
Pada penulisan review ini, secara umum akan membahas mengenai konsep balance of power.
Struktur dari penulisan adalah dimulai dari rangkuman dari pemikiran Joseph S. Nye mengenai
konsep balance of power, kemudian akan dilanjutkan dengan rangkuman dua bahan pembanding
yaitu, pemikiran Hans J. Morgenthau dan Kenneth N. Waltz mengenai konsep balance of power.
Selanjutnya, analisis perbandingan mengenai konsep balance of power akan disajikan pada
penulisan berikutnya. Pada bagian akhir, review ini akan ditutup dengan kesimpulan. Selain itu,
disertakan pula tabel perbandingan untuk mempermudah mempelajari analisis yang dikemukakan.
Balance of power merupakan salah satu konsep yang banyak digunakan dalam Ilmu
Hubungan Internasional. Akan tetapi, balance of power juga merupakan salah satu konsep yang
membingungkan. Bagi beberapa ahli, seperti David Hume, balance of power dideskripsikan sebagai
aturan politik konstan yang bijaksana. Di lain pihak, Richard Cobden, seorang liberalis Inggris,
menjuluki balance of power sebagai chimera atau sejenis makhluk buas dalam mitologi yang tidak
dapat didefinisikan. Sama dengan pendapat Wodrow Wilson yang menyatakan bahwa konsep
balance of power adalah prinsip yang jahat karena mendorong negarawan untuk memperlakukan
apapun pada suatu bangsa demi kepentingan politik tanpa memperhatikan masyarakatnya.
Tujuan dari balance of power itu sendiri bukan untuk menjaga perdamaian tetapi untuk
menjaga independensi dari aktor-aktor yang melakukan. Balance of power membantu menjaga
sistem anarkhi dari negara-negara yang terpisah meskipun tidak semua negara terjaga dari rasa
aman. Sebagai contoh, Polandia pada akhir abad ke-18 berada di tengah kekuatan besar seperti
Prusia, Austria, dan Rusia. Kedaulatan Polandia berakhir dengan kehancurannya akibat perebutan
1
kekuasaan. Oleh karena itu, balance of power tidak menjaga perdamaian dan tidak selalu menjaga
independensi setiap negara, tetapi menjaga sistem anarkhi.
Balance of power yang dimaknai sebagai distributions of power merujuk kepada status quo
atau perimbangan kekuatan yang sedang terjadi. Jika terjadi perubahan kecil dalam status quo
perimbangan kekuatan, maka akan terjadi perubahan yang signifikan dalam politik internasional.
Perimbangan kekuatan dalam balance of power juga dapat mengacu pada kondisi spesial di mana
power didistribusikan secara sama dan penggunaan ini menciptakan gambaran mengenai kondisi
yang seimbang atau equilibrium dalam sistem internasional. Beberapa realis berargumen bahwa
stabilitas terjadi ketika terdapat keseimbangan yang rata, tetapi realis lain menjelaskan bahwa
stabilitas terjadi ketika terdapat preponderance of power, sehingga aktor lain tidak berani
menyerangnya. Selain kedua argumen, terdapat pula teori hegemonik, yang menyebutkan bahwa
stabilitas terjadi bila terdapat satu entitas yang dominan. Hal ini dapat dijelaskan ketika power yang
dominan mulai menurun, maka power lain akan cenderung untuk menantang dominasi, sehingga
kemungkinan perang lebih besar. Akan tetapi, kita harus lebih berhati-hati dalam pengunaan teori-
teori balance of power yang menjelaskan mengenai penciptaan stabilitas karena teori-teori tersebut
cenderung overpredict atau terlalu pasti dalam memprediksi konflik. Sebagai contoh, pada tahun
1895, perdebatan antara Amerika Serikat dan Inggris mengenai batas Amerika Selatan diprediksi
akan terjadi perang. Terdapat penantang baru, Amerika Serikat, yang muncul terhadap eksistensi
hegemoni lama yaitu Inggris yang menjadi dapat penyebab perang. Akan tetapi, perang terbukti
tidak terjadi. Oleh karena itu, kita tidak boleh terlalu bertumpu pada teori yang cenderung
overpredict.
Balance of power juga dapat mengacu pada kebijakan yang dilakukan oleh aktor negara yang
bertujuan untuk menyeimbangkan equilibrium. Balance of power memprediksi suatu negara akan
membuat kebijakan untuk mencegah negara lain yang mengembangkan preponderance of power.
Sebagai contoh, ketika Jerman, sebagai preponderance of power, mencoba menyerang Uni Soviet
pada Perang Dunia II, Inggris segera menciptakan aliansi dengan Uni Soviet untuk mengimbangi
kekuatan Jerman.
Nye menjelaskan bahwa kebijakan dalam balance of power berbeda dengan politik domestik.
Dalam politik domestik, seseorang akan bergabung dengan orang yang lebih kuat untuk
memaksimalkan keuntungan yang akan ia peroleh. Hal ini berbeda dalam sistem internasional yang
dijelaskan bahwa negara akan bergabung dengan aktor yang lebih lemah untuk mengimbangi
preponderance of power yang memiliki kekuatan lebih besar. Analogi yang dapat digunakan adalah
2
kita harus membantu anjing yang lebih lemah karena bila kita membantu anjing yang lebih kuat, ia
dapat berbalik dan memakan kita.
Akan tetapi, Nye memfokuskan pada beberapa pengecualian dalam prinsip kebijakan balance
of power. Hal ini terjadi karena perilaku manusia tidak dapat sepenuhnya dipastikan. Manusia
manusia memiliki pilihan dan tak dapat dipastikan sehingga aksi yang dilakukan tidak selalu dapat
diprediksi. Dalam kebijakan balance of power, suatu negara tidak selalu bergabung dengan pihak
yang lebih lemah dan justru bergabung dengan yang lebih kuat atau tidak berbuat apa-apa.
Beberapa pengecualian dalam balance of power terjadi secara spesifik. Pengecualian pertama
adalah suatu negara yang tidak mau bergabung dalam pihak manapun, seperti Finlandia pasca
Perang Dunia II yang cenderung netral dalam perang dingin. Hal ini bertujuan untuk menjaga
independensi negara tersebut. Pengecualian kedua adalah perbedaan persepsi mengenai
kepentingan. Sebagai contoh, Amerika Serikat diprediksi akan bergabung dengan pihak Jerman
dibanding Inggris dan Perancis dalam Perang Dunia I karena pihak Jerman-Austria lebih lemah
dalam persaingan industri dunia. Akan tetapi, Amerika justru tidak memihak pada Jerman karena
kekuatan militer Jerman lebih kuat, melihat Jerman adalah pihak agresor, dan Jerman menganggap
rendah Amerika Serikat. Pengecualian ketiga adalah kedekatan dengan ancaman. Hal ini
menjelaskan alasan Jepang bergabung dengan Amerika Serikat yang cenderung lebih kuat dalam
perang dingin karena Uni Soviet dinilai lebih mengancam Jepang berdasarkan kedekatan
geografisnya. Pengecualian keempat adalah alasan interdependensi. Pengecualian terakhir terkait
dengan alasan ideologi. Contohnya, Eropa Barat berpihak pada Amerika Serikat karena adanya
persamaan ideologi demokrasi-liberal.
Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations juga menjelaskan konsep
tentang balance of power. Morgenthau menjelaskan bahwa balance of power merupakan konsep
universal. Dalam konsep universal ini dapat dikatakan bahwa balance of power tidak hanya
inevitable atau pasti terjadi tetapi juga faktor esensial yang menstabilkan equilibrium percaturan
negara yang berdaulat1. Terdapat dua asumsi dalam fondasi equilibrium. Asumsi pertama, elemen
penyeimbang adalah hal yang penting bagi negara-negara untuk berlangsung. Asumsi kedua, tanpa
adanya equilibrium di antara mereka, penguasaan terhadap negara lain, pelanggaran kepentingan
dan hak, serta kehancuran dapat terjadi. Balance of power bertujuan tidak hanya untuk menjaga
kestabilan tetapi juga mempreservasi sistem yang ada. Morgenthau juga menjelaskan mengenai
balance of power dalam politik domestik. Konsep dari equilibrium ditemukan baik di sistem
1
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, (6th ed., New York: Alfred-A-Knopf,
1985), hlm.179
3
internasional maupun di lingkup politik domestik. Tubuh parlemen yang mengaplikasikan sistem
multipartai akan berkembang seperti dalam teori balance of power. Apabila terdapat dua pihak yang
tidak mampu merepresentasikan mayoritas dalam tubuh legislatif, maka akan ada voting yang
dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga akan cenderung bergabung dengan grup yang secara
potensi lebih lemah dari kedua grup, sehingga akan menciptakan evaluasi bagi grup yang lebih
kuat2.
Tedapat dua pola dari balance of power. Pola pertama adalah pola mengenai bentuk langsung
oposisi. Bentuk langsung oposisi dalam balance of power ini dapat berupa pola yang melibatkan
pihak ketiga maupun tidak. Bentuk yang melibatkan pihak ketiga, sebagai contoh negara A yang
menjadi imperialistic nation, mencoba mengancam status quo negara B. Negara A dapat memaksa
kebijakan imperialistiknya dengan mendominasi negara C sebagai pihak ketiga. Negara B juga
mengajak negara C dengan baik-baik untuk menjaga status quo. Salah satu contohnya adalah
perebutan dominasi pengaruh antara China dan Amerika Serikat pada negara-negara Asia Tenggara.
Sedangkan yang bentuk balance of power yang tidak melibatkan pihak ketiga, secara sederhana
dideskripsikan dengan kebijakan saling menyeimbangkan antara dua negara. Keseimbangan ini
akan terus berlanjut hingga menghasilkan negara yang lebih lemah atau perang terjadi. Jadi,
balance of power menciptakan precarious stability atau stabilitas yang dapat membahayakan suatu
waktu. Independensi dari tiap negara tidak dapat diserahkan pada pondasi apapun kecuali kekuatan
dari tiap negara itu sendiri dalam menahan negara lain yang hendak melanggar kebebasannya.Pola
kedua menurut Morgenthau adalah pola kompetisi dalam balance of power. Pola kompetisi ini
dapat dianalogikan dengan contoh negara A sebagai imperialistic nation dan B sebagai status quo,
sedangkan C yang berada dalam dua kekuasaan besar hanya memiliki independensi semu. Ketika
negara A menjadi imperialistic nation maka C akan merasa terancam. Bila B sebagai status quo
menarik C dalam pihaknya maka keamanan C akan lebih terjamin. Kemudian, A akan beralih
tujuan dari mendominasi C menjadi mendominasi negara lain, yaitu negara D. Keamanan C pun
kembali terusik bila D jatuh ke tangan A. Jadi, balance of power belum tentu menjaga independensi
negara-negara lemah.
Kita beralih ke konsep balance of power menurut Kenneth N. Waltz. Menurut Waltz, balance
of power merupakan sistem dari politik internasional. Sistem internasional memiliki eksplanatori
dan kekuatan prediksi. Keistimewaan dalam ilmu sosial sosial temasuk Ilmu Hubungan
Internasional, adalah eksplanatori dan prediksi yang didapat adalah berupa hal yang general 3. Hal
2
Ibid., hlm. 181-182
3
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading MA: Addison Weasley, 1979), hlm. 69
4
ini terkait dengan perilaku dari aktor yang mempengaruhi hasil dari interaksi. Sebagai contoh,
ketika teori balance of power memprediksi perang akan terjadi, maka perang akan terjadi namun
teori tidak mampu menjelaskan secara detail. Meskipun tidak mampu menjelaskan secara detail,
konsep ini membantu dalam menjelaskan sesuatu yang lebih besar, penting, dan membentuk pola.
Satu hal yang menjadi ciri khas dari Waltz adalah konsep balance of power-nya yang
cenderung deterministik. Deterministik ini berarti bahwa balance of power akan terjadi dalam
sistem negara-negara baik itu diinginkan oleh negara atau pun tidak4. Asumsinya, negara adalah
aktor rasional dan unit satuan aktor yang akan menggunakan kapabilitas untuk mendapatkan
tujuannya. Di sisi lain, negara tidak dapat mengelak dari interaksi dan konflik kompetisi dalam
lingkungan dunia internasional. Hasilnya, dari aksi negara dan interaksi yang ia dapatkan negara
tersebut cenderung mengarah ke equilibrium atau balance of power. Meskipun terdapat motivasi
untuk membuat posisi untuk mendominasi yang lain, aksi tersebut akan dilawan balik dengan
negara lain yang memiliki motivasi sama. Selain itu, kebebasan memilih yang dimiliki oleh negara
dibatasi oleh aksi yang dilakukan oleh negara lain5. Balance of power juga tidak dipengaruhi oleh
negarawan, karena negarawan memiliki sedikit kebebasan dalam bermanuver.
Dapat dianilisis bahwa ketiga penulis, seperti Nye, Morgenthau, dan Waltz memiliki
persamaan mengenai konsep balance of power. Ketiga penulis yakin bahwa balance of power
merupakan konsep dasar mengenai pengaturan power di dalam sistem antar negara. Jadi dapat saya
simpulkan bahwa konsep dasar dari balance of power merupakan nilai universal yang berarti
pengaturan power dalam sistem internasional atau mengenai perimbangan kekuatan dalam
hubungan internasional.
Menurut analisis saya, terdapat sedikit perbedaan mengenai tujuan dari balance of power dari
ketiga penulis. Menurut Nye, balance of power bertujuan bukan untuk menjaga kedamaian dan
tidak selalu menjaga independensi setiap negara, tetapi untuk menjaga sistem anarkhi dalam dunia
internasional. Sistem anarkhi ini dijaga dalam kebijakan balance of power, agar tidak ada negara
yang menjadi dominan. Berbeda dengan pendapat Nye, Morgenthau menjelaskan bahwa tujuan dari
konsep balance of power adalah menciptakan equilibrium. Apabila tidak terdapat equilibrium, akan
terjadi penguasaan negara, pelanggaran hak dan kepentingan negara, dan kehancuran negara lain.
Morgenthau juga menjelaskan bahwa balance of power menciptakan precarious stability atau
stabilitas yang sangat rentan terhadap ancaman karena perubahan balance of power bisa
4
Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism (2th ed., New York:
Macmillan Publishing Company,1993), hlm.52
5
Ibid.
5
berpengaruh pada stabilitas. Sedangkan tujuan dari balance of power yang dijelaskan oleh Waltz
adalah menciptakan keamanan meskipun harus mengorbankan independensi.
Perbedaan antara ketiga penulis juga dapat ditemukan pada hakikat kepastian balance of
power dalam sebuah negara. Penjelasan yang dikemukakan oleh Nye bertolak belakang dengan
penjelasan dari Waltz, sedangkan pendapat Morgenthau berada di antara keduanya. Jadi, dapat
dibuat spektrum mengenai hakikat balance of power di mana di satu sudut adalah pemikiran Nye
tentang balance of power sebagai sebuah kebijakan yang tidak pasti, kemudian pemikiran moderat
Morgenthau yang berada di tengah, dan di sudut lain terdapat pemikiran Waltz yang menyatakan
bahwa balance of power cenderung deterministik. Pemikiran Nye tentang balance of power
difokuskan pada balance of power sebagai sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh negarawan. Jadi,
balance of power merupakan sebuah konsep yang dapat terjadi pelanggaran antara prediksi balance
of power dengan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait adalah kebijakan negarawan di mana
negarawan adalah seorang manusia yang perilakunya tidak dapat dipastikan. Saya menganalisis
bahwa Nye cenderung berpandangan behavioralis dalam kebijakan balance of power. Bertolak
belakang dengan Nye, Waltz justru berpandangan deterministik, di mana negarawan memliki
pengaruh yang kecil dalam melakukan pilihan manuver dalam balance of power. Hal ini
dikarenakan sistem internasional membatasi kebebasan gerak negarawan dalam bermanuver dan
memaksa negarawan untuk mau tidak mau melakukan sistem balance of power. Sedangkan
Morgenthau, tidak menjelaskan secara rinci mengenai kepastian dari balance of power, tetapi
menjelaskan bahwa balance of power itu itu pasti terjadi. Akan tetapi, Morgenthau juga
memfokuskan pada kesadaran tiap negara akan pentingnya balance of power yang berbeda dengan
Waltz yang melihat balance of power cenderung seperti paksaan dari sistem internasional.
Menurut analisis saya, dalam hal penggunaan istilah terdapat perbedaan antara dua penulis,
yaitu Nye dan Morgenthau. Dalam penggunaan istilah yang menggantikan makna negara yang
berkembang dan menantang status quo, Nye lebih banyak menggunakan istilah preponderance of
power dan Morgenthau lebih banyak menggunakan istilah imperialistic nation. Penggunaan kata
istilah preponderance of power oleh Nye menurut saya lebih bersifat netral dan tidak memiliki
tendensi. Berbeda dengan istilah yang digunakan Morgenthau yang melihat bahwa negara
penantang status quo adalah imperialistic nation yang cenderung memiliki konotasi yang lebih
buruk. Imperialistic nation dipandang sebagai sebagai perusak sistem yang telah ada dan lebih
bersikap mendominasi dan ekspansif dibanding dengan negara status quo yang bersikap respect
seperti yang dikemukakan Morgenthau.
6
Selain itu, juga terdapat perbedaan antara Nye dan Morgenthau dalam analogi balance of
power dalam politik domestik. Menurut Nye, tidak ada balance of power dalam politik domestik.
Politikus akan cenderung bergabung dengan pihak yang lebih kuat demi mendapatkan
kepentingannya. Di sisi lain, Morgenthau menyatakan bahwa balance of power dapat dianalogikan
dengan politik domestik. Dalam politik domestik parlemen sistem multipartai, apabila terdapat dua
grup yang saling bertentangan maka, pihak ketiga akan cenderung memihak pada grup yang lebih
lemah untuk menciptakan fungsi kontrol bagi grup yang lebih kuat. Hal ini dapat saya analisis dari
latar belakang dari tiap penulis. Nye merupakan ahli dalam Hubungan Internasional yang berpikiran
realis. Negara diasumsikan sebagai aktor yang rasional atau mempertimbangkan untung rugi dalam
menerapkan kebijakan. Negara memandang independensi sebagai hal yang lebih strategis dibanding
dengan kepentingan atau keuntungan maksimal belaka, seperti dalam kasus politikus yang hanya
mengejar kepentingan. Berbeda dengan Nye, Morgenthau mengakui adanya balance of power
dalam politik. Hal ini dapat dianalisis dari latar belakang Morgenthau yang cenderung hanya
melihat politik domestik multipartai di Amerika Serikat. Dalam parlemen Amerika Serikat, terdapat
sistem kontrol check and balance yang terjadi di tubuh legislatif. Morgenthau belum melihat politik
domestik negara lain yang bersifat partai tunggal yang tidak menerapkan check and balance.
Dapat saya analisis, terdapat perbedaan antara Nye dengan Waltz dalam menanggapi prediksi
dalam teori balance of power. Nye lebih berhati-hati pada penggunaan teori balance of power yang
cenderung overpredict atau terlalu percaya diri dalam memastikan prediksi. Prediksi dapat benar-
benar salah meskipun syarat telah terpenuhi karena terdapat beberapa pengecualian. Di lain pihak,
Waltz mengungkapkan bahwa teori dalam Hubungan Internasional memiliki kemampuan untuk
memprediksi secara general. Selain itu, Waltz melihat bahwa balance of power adalah sistem yang
deterministik yaitu dapat diprediksi apabila syarat telah terpenuhi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa balance of power adalah konsep keseimbangan kekuatan
dalam sistem internasional. Konsep balance of power bertujuan untuk menciptakan stabilitas
sementara dan menjaga sistem anarkhi. Apabila tidak ada proses balance of power dalam sistem
internasional maka akan muncul dominasi negara dan pelanggaran hak dan kepentingan negara lain.
Konsep dasar mengenai balance of power merupakan nilai yang universal bagi sebagian besar ahli.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan dalam melihat konsep balance of
power tergantung dari cara pandang seseorang, seperti Nye yang cenderung realis dan behavioralis,
Morgenthau yang cenderung realis, dan Waltz yang memandang balance of power cenderung
determinis. Oleh karena itu, perbedaan pemikiran dalam balance of power bukanlah hal yang buruk
melainkan hal yang positif dalam menkonstruksi teori balance of power agar lebih sempurna.
7
Tabel Perbandingan Konsep Balance of Power