You are on page 1of 10

http://bedahunmuh.wordpress.

com/2010/05/21/trepanasi-kraniotomi-pada-edh-dan-sdh/

TREPANASI / KRANIOTOMI PADA EDH DAN SDH


Introduksi

a. Definisi

Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan


mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan
duramater.

Subdural hematoma (SDH)  adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara
lapisan duramater dengan araknoidea

b. Ruang lingkup

Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal atau
temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada
sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi akibat
robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora posterior. Walaupun
secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita trauma kepala
dan 9 % dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila
ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat
penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra
aksial.

c. Indikasi Operasi

 Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata


 Adanya tanda herniasi/lateralisasi
 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.

d. Diagnosis Banding

Hematom intracranial lainnya

e. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan kepala

Teknik Operasi

Positioning

Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o
(pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/
hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka
ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.

Washing

Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak
yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan
dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja
operasi

Markering

Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat
CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk
menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis
cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita)

Desinfeksi

Desinfeksi  lapangan operasi  dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang


mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.

Operasi

 Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
 Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
 Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di
bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya
nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.
 Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium
pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
 Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan.
 Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.
 Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
 Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole
dengan kapas basah/ wetjes.
 Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde.
Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan
penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan
pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
 Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara  tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator kemudian
miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
 Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan
suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone
wax.
 Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
 Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura,
perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah
tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu
tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang
(berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali
dicurigai berasal dari sinus.
 Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul
dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan
spoeling berulang-ulang.

 Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya adalah


membuka duramater.
 Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan
dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang
terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila
sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas
berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan
sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada
lapisan tersebut.
 Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi yang
dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau
subkutan.
 Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-
pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
 Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada
darah lagi.
 Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang
direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan.
Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila
dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset
anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
 Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang dengan
evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan
operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:

-    Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.

-    Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.


-    Pasang drain subgaleal.

-    Jahit galea dengan vicryl 2.0.

-    Jahit kulit dengan silk 3.0.

-    Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).

-    Operasi selesai.

 Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang
tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk
menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai
dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan  2 lubang ditengah berdekatan
untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup
lapis demi lapis seperti diatas.

f.  Komplikasi operasi

 Perdarahan
 Infeksi

g.  Mortalitas

Tergantung beratnya cedera otak

h.  Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian.

i. Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Dipublikasikan pada 26 February 2007 oleh Asta Qauliyah

X
Jika anda baru mengunjungi Astaqauliyah.com, maka ini adalah kesempatan berharga buat
anda. Silahkan berlangganan artikel Astaqauliyah.com melalui email anda. Kami akan
mengirimkan resume ke email anda setiap kali ada postingan baru di blog ini. Klik di sini di
sini untuk mendaftar!

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras.
Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.
Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna.

Ini dia referat selengkapnya :

I. PENDAHULUAN
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras.
Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.
Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang
tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.(1,2,3 )
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga
menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh
vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery
yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila
terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.(15)

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan
sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma
epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.Orang yang beresiko
mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.(2,9)
60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada
umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. (9)
Tipe- tipe : (6)
1. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri
2. Subacute hematoma ( 31 % )
3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena

III. ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan
yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.(2,9)

IV. ANATOMI OTAK


Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian
masalah merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di
temukan secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.(1)
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat di
gerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit
dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung
pembuluh-pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan
dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit
kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria
dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat emmbawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh
ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak. (1)
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di
pisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar di sebit tabula eksterna, dan dinding bagian
dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi
yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . tabula interna mengandung alur-alur yang
berisiskan arteria meningea anterior, media, dan p0osterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery ini, perdarahan arterial yang di
akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah dura
mater, arachnoid, dan pia mater (1)
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang membungkus
dalam calvaria
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang berlanjut
terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.

V. PATOFISIOLOGI
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.(8)
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan
antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. (8)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis
otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami
herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.(1)
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah
ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinski positif.(1)
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda
vital dan fungsi pernafasan.(1)
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut
interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. (8)
Sumber perdarahan : (8)
• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga langsung
mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama,
apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)

VI. GAMBARAN KLINIS


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering
juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di
observasi dengan teliti. (3)
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak : (3,8)
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang
otak.(11)
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak
akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. (8)

VII. GAMBARAN RADIOLOGI


Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali. (2)
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada
film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
(10)

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong
ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah. (6,8,16)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater,
berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas
fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.(9,10,16)

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1.Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid.
Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya
di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit. (10)

2.Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya.
(10)

IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
• Dekompresi dengan trepanasi sederhana
• Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan
posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkakan
drainase vena.(9)
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan
dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3
mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini
masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya
focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan
karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat
masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat,
dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk
mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak
dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB
dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.(8)

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat : (15)
• Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
• Keadaan pasien memburuk
• Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving.
Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya
keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.(8)
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
• > 25 cc = desak ruang supra tentorial
• > 10 cc = desak ruang infratentorial
• > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
•Penurunan klinis
•Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
•Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada : (8)
• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
• Besarnya
• Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi. (2,14)

DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
2. Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
3. Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org
4. Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com
5. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme
Medical Publisher, New York,1996, 22
6. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &
Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178
7. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366
8. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC,
Jakarta, 2004, 818-819
9. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
11. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar,
Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
12. Price D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
13. Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen Interpretation, fourth
edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404
14. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,
http://iwansain.wordpress.com/2007
15. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In
Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80
16. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth
edition, Churchill Living Stone, London,1993, 1423

You might also like