Professional Documents
Culture Documents
Tarian Ronggeng Blantek dari Jakarta. Ini adalah tarian rakyat Betawi
klasik. Dulu dilakukan selama upacara ritual tradisional Betawi. Baru-
baru ini, itu dilakukan untuk menghibur tamu. Mutasi adalah
kombinasi antara tari dan seni bela diri tradisional betawi, pencak silat
disebut.
The Tari Merak atau Tari Merak adalah tarian ciptaan baru dari Jawa.
Merak berarti merak dan koreografi yang diilhami oleh gerakan indah
dari burung merak. Gerak dari burung merak yang indah dicampur
bersama-sama dengan gerakan tarian klasik Jawa dan dengan
demikian membuat tarian _expression warna-warni dari merak
bangga menunjukkan bulu yang indah. The Tari Merak
melambangkan keindahan alam dan gerakan burung yang
dimodifikasi dan diubah menjadi modus yang memiliki nilai estetika
sangat tinggi.
Tarian Saman dari Aceh. Ini adalah tarian yang paling populer di
Aceh dan tarian yang telah menjadi terkenal di luar negeri dengan
nama "tangan Seribu". Hal ini berasal dari kelompok etnis Alas dan
biasanya dilakukan sebagai tari pembuka untuk merayakan acara
penting. Delapan sampai dua puluh pemain berlutut di baris di lantai
dan membuat berbagai jenis gerakan badan disertai dengan lagu,
bertepuk tangan, dada menampar, menampar tangan di lantai, dll lagu
pujian kepada Allah atau doa. Tarian ini dimulai dengan gerakan-
gerakan lambat dan meningkatkan tempo secara bertahap untuk
kecepatan tinggi dan akhirnya datang berhenti mendadak.
Tari Badaya adalah tarian wanita klasik seperti tari Bedhaya dari
Jawa Tengah. Setelah jatuhnya kerajaan besar menguasai sebagian
besar Jawa oleh bupati, yang dapat dianggap sebagai pengikut dari
kerajaan Mataram. Bupati Sunda mengikuti kebiasaan para pangeran
Jawa Tengah sehingga mereka mengembangkan tari ke daerah mereka
sendiri. Tari Badaya ini berasal dari Kabupaten Ciamis, sebelah
tenggara Bandung. Berkat jasanya Sambas Wirakusumah, dewan bisa
Nugraha Sudiredja ini catatan tari pada tahun 1958.
The Tari Badaya adalah tarian elegan dengan gaya Sunda yang jelas
abstrak dan karakter. Tarian, kecanggihan budaya kembali ke
kabupaten Sunadanese dan bagaimana bupati ingin mengesankan
tamu-tamu dihormati mereka.
Enoch Atmadibrata adalah tokoh yang sangat peduli dengan seni tari
tradisional di Jawa Barat. Beliau juga sebagi salah seorang pelopor
sekolah seni. Karya tari beliau diantaranya tari Cendrawasih dan tari
Katumbiri.
Hati Enoch pun penuh dengan perasaan bangga dan senang. ”Saya
bertekad mencari ilmu yang banyak untuk mengangkat dan ikut
membesarkan berbagai kesenian rakyat Indonesia,” kata pria
kelahiran Garut, 19 November 1927 itu.
Hal itu berbeda dengan teater rakyat Jepang, Kabuki. Teater yang
memadukan tari dan nyanyian dengan cerita lokal ini dipentaskan di
panggung ber-setting meriah. Setiap babak diberi latar belakang
berbeda dengan warna beraneka ragam.
Contoh pengemasan panggung yang baik juga dia lihat saat diundang
menjadi pembicara di Radio BBC Inggris. Saat itu ia melihat penataan
akustik dan audio pada seperangkat gamelan minimalis. Hasilnya,
ragam dan jenis suara yang jernih. Kondisi itu jarang ia temui di
Indonesia. Sering kali suara gamelan dalam suatu pementasan seni tak
terdengar baik meski diperkuat banyak variasi alat lainnya.
Tak puas, Enoch juga belajar tari wayang dari Mochamad Sari
Redman, tari keurseus, dan berguru tari topeng Palimanan dari Bi
Dasih, tahun 1960. Lewat kecintaannya kepada tari, ia merintis
berdirinya Konservatori Tari (Akademi Seni Tari Indonesia yang kini
jadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia [STSI] Bandung) dan jurusan
sendratari di Fakultas Ilmu Bahasa dan Seni IKIP Bandung (kini
Universitas Pendidikan Indonesia).
Ciri khas lain yang jarang dimiliki umumnya seniman adalah minat
Enoch menulis dan mendokumentasikan karya seni. Hingga kini, ia
telah menghasilkan 14 judul karya tulis dan buku tentang kesenian di
Indonesia, di antaranya Panungtun Dalang Wayang Golek di
Pasundan (1982) dan Khasanah Seni Pertunjukan Daerah Jawa
Barat (2007). Bahkan, ada juga tulisan berbahasa Inggris, seperti
“Sunda Dance” dalam buku Grove Dictionary (1977) dan Ketuk Tilu
and Tayuban, Performing Arts (1999).