You are on page 1of 4

Potensi kekayaan alam Indonesia

 
Realita hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan
hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya
alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui
(renewable). Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi
sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian
istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan,
bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah ruah
sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh
dunia.
 
Wilayah hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral
lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki
tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari
wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis
binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang
kedua setelah Brazil (world Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam
hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.
 
Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe
yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk
kawasan Pacifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi,
Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki
keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen
dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari seluruh spesies
burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.
 
Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan
hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya didunia sehubungan dengan keanekaan
hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasific, yaitu diperkirakan
1,148,400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan
Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat
dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia
tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan
hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu
swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600
spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270
species), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.
 
Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81,000
kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang
di dunia. Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan
kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu
karang yang paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra,
pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Sedangkan
lautan biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan
organisme terumbu karang yang lain.
 
Ada apa dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ?
 
DI SEKTOR MIGAS : Masalah kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini
banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka,
Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh
karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam
penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama
para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam Indonesia.
 
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia
dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan
modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak
pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih
rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap
perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
 
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin
pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil”
memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara
(KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas
total daratan Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang
perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan
yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
 
Berbagai kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering
digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap
pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan
Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya
Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan multinasional,
rencana investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional.
 
Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh
pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam
antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan
kepentingan ekonomi negara.
 
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan
mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal
semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil
alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang
sangat diharapkan oleh investor.
 
Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli
di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk
ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik
itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan
multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang
paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka
yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
 
Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan
perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional
dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah
ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan
betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
 
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah
aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus
menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil
Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan
untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat
atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada
dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas
47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
 
DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam
keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag
Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru
Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman
terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman
Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh
PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata,
Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources
NL dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals;
dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
 
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu
dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No.
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti
dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat
hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7
Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
 
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan
kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya
sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang
hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya
justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial
yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub
sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
 
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang
pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan
non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola
59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan
tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya
Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi
(2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18
HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut
pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga
mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.
 
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data
memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter
kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir
mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh
rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan
langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil
eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan
pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada
sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang
berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan
antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
 
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan
lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan
pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama
pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI,
pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya
dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
 
Penutup
 
Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan
kebijaksanaan. Degradasi penglolaan sumberdaya alam lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam
mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tsb
dalam kehidupan sehari-hari.
 
Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan yang benar yang
mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan
berpangkal dari tidak tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam
sebagai syarat utama bekerjanya system aturan pengelolaan sumbedaya alam.
 
Air, listrik, minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan yang diciptakan Allah SWT
untuk dinikmati umat yang tidak boleh di rampas oleh siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah
untuk mencegah agar tidak dikuasai individu ataupun pihak asing. Lebih penting dari itu, agar negara dapat
mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah pemiliknya yang sesungguhnya atau
yang disebut kepemilikan umum.
 

Ironisnya, dibalik kekayaan Indonesia yg begitu melimpah, fakta yang dihadapi umat saat ini justru lilitan utang
luar negeri yang telah menenggelamkan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan.
Rakyat semakin dalam terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan . Posisi utang luar negeri Indonesia pada bulan
April 2001 tercatat 139 milyar US Dolar (USD), atau sebesar Rp 1.251 trilyun, yang terdiri dari 72 milyar USD
(52%) utang pemerintah dan 67 milyar USD (48%) utang swasta (laporan BI,2002). Akibatnya, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita terbebani oleh pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang luar
negeri. Pada Rancangan APBN tahun 2002, alokasi untuk Pembayaran Utang Luar Negeri sebesar Rp. 129.505,60
milyar atau sebesar 38,95 % dari anggaran belanja. Pada saat yang bersamaan, untuk menutup defisit anggaran
APBN 2002, pemerintah memproyeksikan mendapat pinjaman baru sebesar Rp. 43.032,50 milyar. Selain itu,
privatisasi (penjualan BUMN) juga dilakukan untuk menutup defisit anggaran tersebut.

You might also like