You are on page 1of 5

MENGUAK PENTINGNYA MODEL

PEMBELAJARAN
By admin ⋅ October 11, 2008 ⋅ Post a comment

Nilai Ujian Akhir Nasional, hingga saat ini masih menjadi tolok ukur paling ampuh
melihat tingkat keberhasilan belajar siswa, juga menjadi tolok ukur tingkat kesuksesan
guru mengajar. Kelulusan pun bertumpu pada nilai ini, meskipun belakangan banyak
guru yang protes agar kelulusan siswa tidak ditentukan dari nilai Ujian Akhir Nasional.

Sebagai ekspresi melihat nilai yang didapat siswa pada Ujian Nasional maupun nilai
Ujian Akhir Sekolah, yang seringkali muncul adalah ketidakpuasan. Baik dirasakan oleh
siswa itu sendiri, orang tua siswa, guru bahkan segenap keluarga besar sekolah. Lebih-
lebih jika banyak siswa yang mendapat nilai rendah dan berujung pada ketidaklulusan.

Setidak-tidaknya ada tiga hal yang mampu memicu tidak suksesnya kegiatan belajar
mengajar yang berujung pada hasil nilai yang rendah. Pertama, perkembangan
kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu melaju lebih dahulu
daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan
pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh
siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari
berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma,
falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau
tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang
hasil pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah,
dan metodologi pembelajaran.

Model pembelajaran, dipandang paling punya peran strategis dalam upaya mendongkrak
keberhasilan proses belajar mengajar. Karena ia bergerak dengan melihat kondisi
kebutuhan siswa, sehingga guru diharapkan mampu menyampaikan materi dengan tepat
tanpa mengakibatkan siswa mengalami kebosanan. Namun sebaliknya, siswa diharapkan
dapat tertarik dan terus tertarik mengikuti pelajaran, dengan keingintahuan yang
berkelanjutan.

Berbagai model pembelajaran yang telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai
penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk
hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan
akademik melalui aktivitas individu maupuh kelompok.

Terdapat model pembelajaran paling konvensional, yaitu tatap muka dan berpusat pada
guru (teacher center) sampai dengan pembelajaran berpusat pada siswa (student center),
pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang diterapkan pada universitas terbuka dan
berbagai program sertifikasi online juga terus menerus dikembangkan. Journal
Teknodik.22,2007
Terdapat pula pembelajaran kooperatif yang didalamnya mengandung saling
ketergantungan positif di antara siswa/ mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Setiap siswa punyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada
siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling
mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa
lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta
mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif
memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang
relatif sama atau sejajar.

Ada 4 macam model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Arends (2001),
yaitu; (1) Student Teams Achievement Division (STAD), (2) Group Investigation, (3)
Jigsaw, dan (4) Structural Approach. Sedangkan dua pendekatan lain yang dirancang
untuk kelas-kelas rendah adalah; (1) Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) digunakan pada pembelajaran membaca dan menulis pada tingkatan 2-8
(setingkat TK sampai SD), dan Team Accelerated Instruction (TAI) digunakan pada
pembelajaran matematika untuk tingkat 3-6 (setingkat TK).

Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC.
Adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). LC
merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa
sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperanan aktif.

LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep


(concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their
dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk
memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan
lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel,
mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-
lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya
(cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang
diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005).

Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan


siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini
diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah
dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan
yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi.
Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:

1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru
yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan
pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)

Pada tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru
yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak
menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving
(menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih
lanjut.
Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena
siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC
dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola
berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan
perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan
arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.

Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes.
Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut pelaksanaannya harus lebih baik
dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus
sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.

Contecstual Teaching and Learning (CTL).


CTL merupakan suatu proses pendidikan holistik bertujuan memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan
kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat
diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks
lainnya.

CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang
bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis
besar, langkahnya sebagai berikut ini.

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
barunya
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4. Ciptakan masyarakat belajar
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya, falsafah dan


metodologi pembelajaran kuantum yang disebut terakhir tampak relatif lebih populer dan
lebih banyak disambut gembira oleh pelbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan
beberapa buku mengenai hal tersebut oleh Penerbit KAIFA Bandung [Quantum
Learning, Quantum Business, dan Quantum Teaching] – di samping berkat upaya
popularisasi yang dilakukan oleh perbagai pihak melalui seminar, pelatihan, dan
penerapan tentangnya.

Quantum Learning (QL)


Pembelajaran kuantum sesungguhnya merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori
atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh
sebelumnya sudah ada. Di samping itu, ditambah dengan pandangan-pandangan pribadi
dan temuan-temuan empiris yang diperoleh DePorter ketika mengembangkan konstruk
awal pembelajaran kuantum. Hal ini diakui sendiri oleh DePorter. Dalam Quantum
Learning (1999:16) dia mengatakan sebagai berikut. Quantum Learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode
kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi
belajar yang lain, seperti:

• Teori otak kanan/kiri


• Teori otak triune (3 in 1)
• Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
• Teori kecerdasan ganda
• Pendidikan holistik (menyeluruh)
• Belajar berdasarkan pengalaman
• Belajar dengan simbol
• Simulasi/permainan

Quantum Teaching (QT)


Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut.
Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan
dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori
pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner),
Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn),
Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective
Instruction (Hunter).

Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar
pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar
pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang
padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya – pada gilirannya model teoretis tersebut
diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.

Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran
kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa
pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori
kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan
Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn serta temuan-
temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi
atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.

Terus dikembangkannya model-model pembelajaran diharapkan akan memberikan


kesempatan bagi guru dan siswa untuk menemukan model terbaik sesuai dengan kondisi
sekolah dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. [EDU KIRMAN/MA. Diambil dari
berbagai sumber.]

Tags: Metodologi Pembelajaran, model pembelajaran

Discussion
6 comments for “MENGUAK PENTINGNYA MODEL
PEMBELAJARAN”

1. kalo bisa tampilkan lebih banyak lagi mengenai model dan pendekatan-
pendekatan dalam pembelajaran.

Posted by didik | November 6, 2008, 7:59 am

2. tolong di ulas lebih lengkap mengenai siklus belajar yang ditemukan oleh Robert
karplus, dan langkah-langkah dalam pelaksanaannya.
terimakasih!

Posted by didik | December 3, 2008, 3:36 pm

3. tolong lebih detail tentang ciri-ciri dari masing-masing model dan


metode….trimakasih

Posted by endah | March 5, 2009, 2:22 am

4. tolong lebih detail lagi metode2 penelitian

Posted by uline | March 16, 2009, 10:06 am

5. tlg daptar pustaka sebgai rujukan di tulis

Posted by manz | June 19, 2009, 9:23 pm

6. terima kasih atas masukannya

Posted by admin | June 20, 2009, 2:12 am

You might also like