You are on page 1of 155

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun-tahun terakhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ditandai terutama

oleh semakin intens-nya globalisasi. Dalam zaman atau era globalisasi ini

kerjasama antar bangsa di dunia juga berkembang dengan pesat dan semakin

meningkat. Perkembangan atau peningkatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di sektor komunikasi dan

informasi. Globalisasi dan perkembangan hubungan antar bangsa itu telah

meningkatkan akses, keterbukaan dan kemudahan untuk memperoleh informasi

dan melakukan komunikasi.

Edward Depari dalam bukunya Komunikasi dalam Organisasi,


mendefinisikan komunikasi sebagai proses penyampaian gagasan,
harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu,
mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada
penerima pesan (Widjaja, 2000 : 13).

Sumber informasi sangat beragam, baik yang berbentuk media elektronik

maupun media cetak. Karena teknologi informasi dan kapital (modal) di

dominasi oleh negara industri maju (terutama Amerika Serikat), maka pengaruh

dan arus informasi yang berasal dari Barat menjadi sangat dominan. Misalnya,

Reuter, CNN, AFP, BBC merupakan sumber utama informasi.

Teknologi informasi…(Ely, 1982) ”mencakup sistem-sistem komunikasi


seperti satelit siaran langsung, kabel interaktif dua-arah, penyiaran
bertenaga rendah (low-power broadcasting), komputer (termasuk
personal-komputer dan komputer genggam yang baru), dan televisi
(termasuk video disk dan video tape cassette)” (Nasution, halaman 5).
2

Masalahnya, sikap atau persepsi media Barat mengenai berbagai issu

tidak jarang berbeda dengan sikap atau persepsi Pemerintah dan masyarakat

Indonesia. Misalnya, mengenai masalah terorisme internasional (mengenai

masalah perjuangan bangsa Palestina), sikap atau persepsi media Barat

(khususnya Amerika Serikat) cenderung bias, atau tidak seimbang, dan

seringkali mengkaitkannya dengan kelompok Islam. Dominasi media Barat

tersebut dapat berpengaruh besar terhadap pembentukan opini atau sikap

masyarakat. Bahkan, bisa mengakibatkan persepsi masyarakat yang keliru

mengenai kebijakan Pemerintah Indonesia. “Tidak hanya itu, Deplu pun semakin

harus bergeliat seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Kemajuan itu

membuat semua pihak bisa dalam sekejap akan terlimpah dengan berbagai

informasi. Kondisi itu kadang justru membuat seseorang akan terjebak pada apa

yang disebut sebagai paradox of plenty” (Kompas edisi 10 Maret, 2002 : 3).

“Ada dua hal yang diperhatikan reporter. Hal pertama, tidak setiap
“posisi atau pengalaman” dari sumber berita “akan dan mesti” tahu akan
informasi yang dipertanyakan. Ini mungkin berhubungan dengan
ketidaktahuan sumber berita. Atau, sumber berita yang kurang pandai
berbicara dan menyampaikan keterangan. Sumber berita yang memang
tidak mau membagi informasi. Dan terakhir, sumber lupa mengingat
fakta-keterangan yang dibutuhkan reporter” (Kurnia, 1999 : 40).

Sementara itu, pada saat yang sama, situasi dalam negeri telah

mengalami perubahan yang mendasar, dari suatu situasi atau sistem yang otoriter

menjadi sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Sejalan dengan globalisasi

dan perkembangan atau perubahan dalam negeri, di Indonesia juga semakin

mudah memperoleh akses terhadap informasi dan perkembangan internasional.

Menlu mencatat “perubahan mendasar pada tingkat nasional, dimulai


sejak reformasi 1998, yang bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu
3

demokratisasi, penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi,


kolusi, dan nepotisme (KKN), penegakan hak asasi manusia (HAM), dan
upaya pemulihan ekonomi”.
“Akibat langsung dari perubahan mendasar itu, aktor politik dan
hubungan luar negeri semakin banyak. Selain itu, seiring dengan proses
demokratisasi, terjadi pula pergeseran kekuasaan dari eksekutif dan
legislatif. Kondisi itu dari satu sisi membuat DPR, masyarakat sipil,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, dan para pengamat
politik yang makin aktif serta kritis terhadap masalah politik luar negeri”.
“Salah satu konsekuensi dari perkembangan itu, keputusan atau kebijakan
politik luar negeri, lalu tidak hanya menjadi monopoli “Pejambon,
Merdeka Utara, dan Merdeka Barat”. Karena itu, proses pengambilan
keputusan kadang justru menjadi semakin kompleks” (Kompas edisi 10
Maret, 2002 : 3).

Dengan latar belakang itulah maka pimpinan Departemen Luar Negeri

memandang perlu untuk membentuk atau menetapkan suatu unit organisasi atau

pejabat tertentu di lingkungan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,

yang diberi wewenang dan mampu untuk memberikan atau menyajikan

informasi yang akurat dan tepat waktu kepada masyarakat luas melalui pers, baik

di dalam negeri maupun di luar negeri.

“Meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui

penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan, komunkasi guna

memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global” (GBHN

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, Bab IV Arah Kebijakan, 1999 : 29).

Dalam keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor

SK.053/OT/II/2002/01 Tahun 2002, tentang Organisasi Tata Kerja Departemen

Luar Negeri Republik Indonesia, di tetapkan bahwa “Departemen Luar Negeri

Republik Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah di bidang

pemerintahan luar negeri” (Pasal 1), yang “mempunyai tugas membantu

Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang


4

politik dan hubungan luar negeri” (Pasal 2). Fungsi dari Departemen Luar Negeri

itu sendiri antara lain, “melaksanakan Politik Luar Negeri serta

menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri” (Pasal 3).

Dalam hal ini, hubungan luar negeri adalah “setiap kegiatan yang

menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di

tingkat pusat dan tingkat daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara,

badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat, atau warga negara Indonesia” (Pasal 1). Sedangkan yang dimaksud

dengan politik luar negeri adalah “kebijakan, sikap, dan langkah yang diambil

Pemerintah Republik Indonesia dalam melakuakan hubungan dengan negara

lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya dalam

rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional”

(Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri).

Contoh dari politik luar negeri adalah sikap dan kebijakan Pemerintah

Indonesia (yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri) mengenai masalah

Palestina, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas terhadap perjuangan bangsa

Palestina. Contoh lainnya adalah kebijakan Pemerintah Indonesia yang menolak

mengkaitkan terorisme dengan agama atau pengikut agama manapun, dan

mendukung peran kepemimpinan PBB dalam upaya menanggulangi terorisme

internasional.

Di masa lalu, struktur organisasi Departemen Luar Negeri dibagi, antara

lain, atas dasar fungsional, sehingga terdapat unit-unit yang ditugaskan khusus di

bidang tertentu. Karena itu, terdapat pemisahan antara unit di bidang politik
5

(Direktorat Jenderal Politik dan jajarannya) dengan unit di bidang ekonomi

(Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri atau HELN dan

jajarannya). Berdasarkan struktur organisasi yang lama tersebut terdapat

Direktorat Penerangan Luar Negeri, yang ditugaskan untuk memberikan

penerangan (informasi) luar negeri.

Dalam struktur lama tersebut tidak terdapat suatu unit khusus, atau

pejabat khusus, yang diberi wewenang atau tugas menjadi ‘Juru Bicara’

Departemen Luar Negeri. Karena itu, tugas menjadi Juru Bicara atau Spokesman

Departemen Luar Negeri seringkali harus dilakukan oleh Menteri Luar Negeri

sendiri. Hal demikian sesungguhnya tidak lazim, karena disamping Menteri Luar

Negeri adalah pemimpin departemen, juga mempunyai kesibukan yang sangat

tinggi dan seringkali berada atau bertugas di luar negeri.

Pada Departemen atau Kementerian Luar Negeri di negara lain, misalnya

di State Department Amerika Serikat, terdapat pejabat khusus sebagai

spokesman Departemen Luar Negeri, yang secara teratur memberikan penjelasan

kepada pers atau masyarakat tentang berbagai issu penting atau tentang

kebijakan Pemerintah dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Dengan adanya tuntutan kebutuhan yang meningkat, tuntutan efisiensi

organisasi, dan kompleksitas masalah yang dihadapi, dirasakan keperluan adanya

Juru Bicara Departemen Luar Negeri, yang mampu menjelaskan dengan baik,

efektif dan akurat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi, kepada

masyarakat di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan adanya

restrukturisasi yang diputuskan pada akhir tahun 2001 dan dilaksanakan pada
6

awal tahun 2002, Departemen Luar Negeri telah menunjuk pejabat khusus

dengan tingkat kredibilitas yang tinggi untuk bertindak sebagai Juru Bicara

Departemen Luar Negeri, guna mewakili Menteri Luar Negeri memberikan

informasi atau penjelasan mengenai berbagai masalah yang dihadapi atau

kebijakan Departemen Luar Negeri kepada pers.

Dari segi pengertian, ”Juru Bicara adalah orang yang kerjanya memberi

keterangan resmi dan sebagainya kepada umum; pembicara yang mewakili suara

kelompok atau lembaga; penyambung lidah” (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

1999 : 423).

Di zaman demokrasi dan era reformasi, yang ditandai dengan

meningkatnya tanggung jawab (akuntabilitas) Pemerintah dan meningkatnya

keterbukaan (transparansi), Departemen Luar Negeri dituntut untuk dapat

memberikan penjelasan, atau informasi kepada rakyat Indonesia (masyarakat

atau publik) mengenai berbagai aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri

dan pelaksanaan politik luar negeri dengan sebaik-baiknya atau sejelas mungkin.

Penjelasan atau informasi tersebut juga meliputi penjelasan tentang sikap atau

kebijakan Pemerintah atau Departeman Luar Negeri tentang berbagai masalah

atau issu dalam rangka politik dan hubungan luar negeri atau hubungan

internasional.

Sehubungan dengan itu, Departemen Luar Negeri menjadwalkan

pertemuan regular dengan pers (Press Briefing), yang biasanya diadakan pada

hari Jum’at (jam 14.00-15.00). Pertemuan ini merupakan suatu kegiatan


7

komunikasi kelompok, dimana Palapah dan Syamsudin mendefinisikan

komunikasi kelompok sebagai brikut:

“Komunikasi kelompok adalah pernyataan manusia yang ditujukan


kepada kelompok tertentu. Dengan kelompok adalah dimaksudkan suatu
kumpulan manusia yang mempunyai antar hubungan sosial yang nyata
dan yang memperlihatkan struktur yang nyata pula. Atau sebagai yang
dikatakan oleh Loyd Sommerland : Communication to organized groups.
Bentuk-bentuk komunikasi yang ditujukan kepada kelompok ini dapat
diperinci antara lain: ceramah, briefing, indoktrinasi, coaching, dan
sebagainya” (1983 : 12).

Press Briefing tersebut menjadi sumber berita utama bagi media massa,

yang selanjutnya menjadi berita yang layak untuk disampaikan kepada

masyarakat Indonesia maupun pihak luar negeri. Pertemuan yang dikenal dengan

Press Briefing ini tidak hanya diikuti oleh pers nasional saja, melainkan juga

oleh pers internasional. Penyampaian informasi atau penjelasan melalui Press

Briefing tersebut dilaksanakan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri,

dimana dalam kegiatan ini terdapat session tanya jawab antara pers dengan Juru

Bicara.

“Umpan balik antar pribadi, kecepatan interaksi kelompok, fase-fase


kelompok, norma-norma kelompok, iklim atau suasana kelompok,
konflik antar pribadi, serta distribusi kepemimpinan merupakan sebagian
dari ciri-ciri kelompok yang dapat menjadi bagian dari teori komunikasi
kelompok” (Goldberg dan Larson, 1985 : 64).

“Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa

modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;

memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa, serta

mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan

komunikasi” (GBHN Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, Bab IV Arah

Kebijakan, 1999:29-30).
8

Strentz lalu membagi dua sumber berita yang dicari reporter : “Sumber
Berita Konvensional dan Nonkonvensional. Sumber berita konvensional
ialah tempat-tempat dimana biasa wartawan mencari dan memperoleh
berita. Tempat-tempat itu : kantor-kantor pemerintahan, humas atau
sumber-sumber promosi, berbagai peristiwa yang bernilai berita, dan
catatan publik. Sedang sumber berita nonkonvensional, biasanya
ditemukan dari cara pengumpulan berita baru atau kurang sering
dipergunakan, seperti teknik precision jurnalism, peliputan ke kelompok
minoritas (AIDS, misalnya) dan terorisme (politik)” (Kurnia, 1999 : 41).

Sehubungan dengan masalah yang sedang dihadapi Pemerintah Indonesia

di dalam negeri, yang juga bersangkutan dengan hubungan luar negeri, maka

tema Press Briefing yang diangkat difokuskan pada masalah ‘terorisme, yaitu

mengenai pemboman di Bali pada 12 Oktober lalu’.

Dengan demikian peran Juru Bicara Departemen Luar Negeri, dapat

diartikan sebagai pihak yang mengirim pesan mengenai politik dan hubungan

luar negeri, dalam hal ini mengenai terorisme, kepada pers yang hadir dalam

kegiatan Press Briefing, yang merupakan sumber berita atau salah satu pelaku

utama dalam proses komunikasi dan salah satu unsur yang penting dan

berpengaruh besar terhadap pembentukan opini.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang baru dan

memberi manfaat untuk menciptakan komunikasi yang lebih baik di Departemen

Luar Negeri, terutama proses komunikasi antar Juru Bicara dengan pers dalam

kegiatan Press Briefing, serta pelaksanaan fungsi Juru Bicara dalam kegiatan

Press Briefing.

1.2 Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan, maka

penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimana Fungsi Juru


9

Bicara Departemen Luar Negeri RI Dalam Menghadapi Masalah Terorisme Pada

Kegiatan Press Briefing”.

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka masalah yang

diteliti dapat di identifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam

memberikan informasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press

Briefing?

2. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam

memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press

Briefing?

3. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam

memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai

masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar

Negeri RI dalam memberikan informasi mengenai masalah terorisme

pada kegiatan Press Briefing.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar

Negeri RI dalam memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme

pada kegiatan Press Briefing.


10

3. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar

Negeri RI dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang

diajukan pers mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.

1.5 Pembatasan Masalah dan Pengertian Masalah

1.5.1 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran dan kesalah pengertian,

juga agar ruang lingkup masalah yang dibahas menjadi jelas dan terarah, maka

perlu diadakan pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada fungsi Juru Bicara dalam

menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing, yaitu informasi

yang berisikan hal-hal umum, jelas dan gamblang, penggunaan bahasa

yang jelas, informasi yang berbentuk positif, seimbang, dan sesuai

dengan keinginan komunikan. Dalam hal ini adalah mengenai masalah

terorisme, pada kegiatan Press Briefing mingguan selama tiga bulan,

yaitu bulan Oktober, November dan Desember.

2. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada kepercayaan, penerimaan,

dan pengertian pers yang hadir pada kegiatan Press Briefing bulan

Oktober, November dan Desember terhadap klarifikasi suatu issu

mengenai masalah terorisme, yang disampaikan atau diklarifikasi Juru

Bicara Departemen Luar Negeri RI.

3. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada fungsi Juru Bicara

Departemen Luar Negeri pada kegiatan Press Briefing bulan Oktober,


11

November, dan Desember, yaitu memberikan informasi, mengklarifikasi,

dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers mengenai

masalah terorisme.

4. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pers yang terdaftar

atau tercatat sebagai peliput dalam kegiatan Press Briefing Departemen

Luar Negeri, yang berlokasi di Jl. Pejambon no.6 Jakarta Pusat, yaitu

sebanyak 62 media (cetak dan elektronik). Populasi yang dijadikan

sampel oleh penulis adalah 30% dari populasi yang sebenarnya, yaitu

sebanyak 19 orang.

1.5.2 Pengertian Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman, maka diberikan beberapa

penjelasan terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini sehingga

diharapkan dapat memberikan pengertian yang sama :

1. Fungsi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan

pekerjaannya. (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991 : 426)

2. Juru Bicara adalah seorang yang ditugaskan untuk menyampaikan

penjelasan atau keterangan atau jawaban kepada pihak lain (dalam hal ini

pers) dari orang atau pihak yang diwakilinya atau yang menugaskannya.

(Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996:126).

Untuk kegiatan Press Briefing, Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI

berfungsi sebagai pihak yang menyediakan informasi, dan

mengklasrifikasikan issu-issu, serta memberikan jawaban terhadap

pertanyaan yang diajukan oleh pers, mengenai issu-issu terkini yang


12

sedang berkembang serta proyeksinya ke depan, maupun mengenai

kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia di bidang politik luar

negeri. Press Briefing pada umumnya difokuskan kepada satu atau

beberapa issu atau peristiwa tertentu, namun tetap terbuka kemungkinan

dijawabnya pertanyaan atas issu atau peristiwa yang lain. Dalam hal ini,

persiapan yang dilakukan biasanya menyangkut persiapan atas substansi

issu atau peristiwa yang akan disampaikan, termasuk persiapan bahan-

bahan untuk issu atau peristiwa terkini, jika ditanyakan. (Wawancara

dengan Direktorat Biro Administrasi Menteri, 7-9 Oktober 2002)

3. Dalam keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor SK.053/OT/II/2002/01

Tahun 2002, tentang Organisasi Tata Kerja Departemen Luar Negeri

Republik Indonesia, ditetapkan bahwa :

“Departemen Luar Negeri Republik Indonesia merupakan unsur

pelaksana Pemerintah di bidang pemerintahan luar negeri” (pasal 1).

“Departemen Luar Negeri RI mempunyai tugas membantu Presiden

dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang politik

dan hubungan luar negeri” (pasal 2).

“Departemen Luar Negeri RI menyelenggarakan fungsi antara lain :

Pelaksanaan politik luar negeri serta penyelenggaraan hubungan luar

negeri” (Pasal 3.a).

4. Press Briefing (Taklimat Pers) termasuk bentuk jumpa pers resmi yang

diselenggarakan secara periodik tertentu, pada awal/akhir bulan atau


13

tahunan oleh pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi

instansi bersangkutan. (Ruslan,1999 : 180)

Press Briefing Departemen Luar Negeri RI merupakan kegiatan

pertemuan antara pihak media massa atau pers dengan Departemen Luar

Negeri RI yang dipimpin oleh Juru Bicara. Kegiatan Press Briefing ini

diadakan empat kali dalam satu bulan, yaitu setiap hari Jum’at di ruang

Palapa Departemen Luar Negeri. Dalam pelaksanaan pembinaan, Juru

Bicara telah menyiapkan bahan yang perlu untuk disajikan pada semua

wartawan yang hadir pada kegiatan Press Briefing tersebut. Kemudian

dalam penyelenggaraan Pembinaan, dalam hal ini dengan memberikan

kesempatan kepada para wartawan untuk berperan aktif, yakni melalui

forum tanya-jawab dan diskusi, serta diberikan penjelasan berdasarkan

data dan fakta yang bersangkutan. Sehingga dalam penyajiannya dan

penyebaran informasi tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan.

1.6 Alasan Pemilihan Masalah

1. Dari sisi Hubungan Masyarakat, Juru Bicara Departemen Luar Negeri

pada hakekatnya merupakan peran Public Relations Officer (PRO),

dalam rangka memberikan informasi dan penjelasan kepada masyarakat

di dalam maupun di luar negeri, mengenai berbagai issu atau kebijakan

Pemerintah Indonesia.

2. Departemen Luar Negeri RI merupakan unsur pelaksanaan pemerintah di

bidang pemerintahan luar negeri yang dipimpin oleh Menteri yang berada
14

dibawah dan bertanggung jawab pada Presiden. Departemen Luar Negeri

RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan

sebagian tugas pemerintahan di bidang politik dan hubungan luar negeri.

Dengan teknologi informasi yang semakin canggih sekarang ini, maka

arus informasi yang ada sangat berpengaruh di masyarakat. Dengan ini,

Departemen Luar Negeri memandang perlu untuk menyampaikan atau

menyajikan informasi atau masalah yang sedang dihadapi (dalam hal ini

mengenai masalah terorisme) kepada masyarakat malalui media massa.

Maka penelitian ini bertujuan untuk memaparkan situasi atau kegiatan

Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan informasi tersebut

melalui Press Briefing yang dipimpin oleh Juru Bicara.

3. Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI sangatlah diperlukan karena Juru

Bicara merupakan komunikator yang menyampaikan dan menjelaskan

kebijakan Departemen Luar Negeri kepada pers melalui kegiatan Press

Briefing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sejauh ini

pers dapat memahami informasi yang disampaikan Juru Bicara melalui

Press Briefing, dalam hal ini mengenai masalah terorisme. Apakah

dengan adanya Juru Bicara dan Press Briefing penyampaian informasi

kepada pers lebih dapat terorganisir, jelas, dipahami, dan pertanyaan-

pertanyaan pers mengenai Departemen Luar Negeri dan kebijakannya,

dapat terjawab.

4. Juru Bicara baru diangkat sebagai suatu unit khusus atau pejabat khusus

di Departemen Luar Negeri pada awal tahun 2002, maka penulis ingin
15

mengetahui fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing, yang juga

baru diadakan awal tahun 2002, sebagai kegiatan mingguan antara pihak

Departemen Luar Negeri dengan pers. Dengan diadakannya Press

Briefing, diharapkan dapat mempermudah untuk mempublikasikan

tentang Departemen Luar Negeri dan masalah yang dihadapinya yang

menyangkut dengan Pemerintah Indonesia mengenai Poitik Luar Negeri

dan Hubungan Luar Negeri.

1.7 Anggapan Dasar

Anggapan Dasar merupakan landasan teori yang penulis jadikan dasar

atau titik tolak dalam melakukan penelitian ini, mengingat fungsinya sangat

penting dalam penelitian ini, penulis mengemukakan anggapan dasar sebagai

berikut :

1. Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang ditujukan kepada

kelompok tertentu. Yang dimaksud dengan kelompok ialah “suatu

kumpulan manusia yang mempunyai hubungan sosial yang nyata dan

memperlihatkan struktur yang nyata pula”. Bentuk komunikasi kelompok

ialah : ceramah, briefing, penyuluhan, indoktrinasi, dan sebagainya

(Widjaja dan Hawab, 1987 : 64).

2. Press Briefing (Taklimat Pers) termasuk bentuk jumpa pers resmi yang

diselenggarakan secara periodik tertentu, pada awal/akhir bulan atau

tahunan oleh pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi

instansi bersangkutan.
16

Pertemuan ini, diadakan mirip dengan suatu diskusi atau berdialog, saling

memberikan masukan atau infomasi cukup penting bagi kedua belah

pihak. Disamping itu pihak pers/wartawan akan diberikan kesempatan

untuk menggali seluas-luasnya mengenai suatu informasi, masalah yang

sedang aktual dan faktual, kemudian diharapkan wartawan mempunyai

pengetahuan lebih baik, misalnya tentang akan diterbitkan suatu

peraturan, UU, atau kebijakan baru oleh pemerintah di massa mendatang.

Jadi sebelum kebijakan itu diresmikan, maka wartawan bersangkutan

secara teknis dibriefing (taklimat pers) terlebih dahulu pengetahuannya

oleh pejabat yang berwewenang, diharapkan pada waktu

memberitakannya di media massa tidak terjadi salah mengutip, merelease

atau menghindari terjadinya berita-berita yang tidak akurat, baik

mengenai jumlah, angka, istilah-istilah teknis dan nama perusahaan atau

menyebutkan identitas tokoh personal dan sebagainya (Ruslan, 1999 :

180).

3. Informasi :

Adalah pesan yang disampaikan kepada seseorang atau sejumlah

orang yang baginya merupakan hal yang baru diketahuinya.

Kegiatan menyebarluaskan pesan disertai penjelasan, baik secara

langsung maupun melalui media komunikasi, kepada khalayak yang

baginya merupakan hal atau peristiwa ang baru (Effendy, 1989 : 177).

Pesan yang disampaikan haruslah tepat dengan sasaran dan pesan

tersebut harus memenuhi syarat-syarat :


17

Umum

Berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh audience/komunikan,

bukan soal-soal yang cuma berarti atau dipahami oleh seorang atau

kelompok tertentu.

Jelas dan gamblang

Pesan haruslah jelas dan gamblang, tidak samar-samar. Jika

mengambil perumpamaan hendaklah perumpamaan yang senyata

mungkin, untuk tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita

maksudkan.

Bahasa yang jelas

Sejauh mungkin hindarilah menggunakan istilah-istilah yang tidak

dipahami oleh audience. Gunakanlah bahasa yang jelas yang cocok

dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana berkomunikasi. Hati-

hati pula dengan istilah atau kata-kata yang berasal dari bahasa

daerah atau bahasa asing yang dapat ditafsirkan lain. Sejauh mungkin

dipergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Positif

Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-

hal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan

agar diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara

mengemukakan pesan itu diupayakan agar lebih mendapatkan

simpati.
18

Seimbang

Pesan yang disampaikan hendaknya wajar sebab bila tidak wajar

maka cenderung ditolak atau tidak diterima oleh komunikan.

Sebaliknya pesan itu dirumuskan secara seimbang selaras dan serasi.

Penyesuaian dengan keinginan komunikan

Orang-orang yang menjadi sasaran/komunikan dari komunikasi yang

kita lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan tertentu. Oleh

sebab itu kita perlu mengetahui keadaan, waktu dan tempat dalam

menyampaikan pesan itu. (Hawab dan Widjaja, 1987 : 62)

4. Klarifikasi adalah penjernihan, penjelasan dan pengembalian kepada apa

yang sebenarnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999 : 507)

5. Menjawab: 1. Memberi jawaban (atas pertanyaan, kritik, dsb) ;

menyahut(i); 2. Memenuhi; menanggapi (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1999 : 405).

1.8 Operasional Variabel

Dalam penelitian ini penulis menggunakan satu variable, yaitu “Fungsi

Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI Dalam Kegiatan Press Briefing”, dan

untuk mengukur variable-variabel penelitian yang telah ditetepkan sebelumnya

digunakan kriteria yang meliputi :

Indikator I = Pemberian informasi mengenai masalah terorisme yang

disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada

kegiatan Press Briefing


19

Alat Ukur = - Pesan berisikan hal-hal umum

- Pesan yang jelas dan gamblang

- Bahasa yang jelas

- Pesan berbentuk positif

- Pesan dirumuskan secara seimbang

- Pesan sesuai dengan keinginan komunikan

Indikator II = Pemberian klarifikasi mengenai masalah terorisme yang

disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada

kegiatan Press Briefing

Alat Ukur = - Pesan dapat menjernihkan

- Pesan dapat memberikan penjelasan

- Pesan dapat mengembalikan pada apa yang sebenarnya

Indikator III = Pemberian jawaban yang disampaikan Juru Bicara

Departemen Luar Negeri RI terhadap pertanyaan pers

mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing

Alat Ukur = - Memberi jawaban

- Memenuhi pertanyaan

- Menanggapi pertanyaan

1.9 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.9.1 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini penulis menggunakan “Metode Deskriptif Analitis”,

menurut Issac and Michael dalam bukunya : “Hand Book in Research and
20

Evaluations”, yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Metode

Penelitian Komunikasi”, yang mengemukakan bahwa :

“Metode Deskriptif analitis bertujuan melukiskan secara sistematis fakta


atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan
cermat” (Isaac and Michael dalam Rakhmat, 2001 : 22).

“Penelitian deskriptif ditujukan untuk : (1)mengumpulkan informasi


aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,
(2)mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-
praktek yang berlaku, (3)membuat perbandingan atau evaluasi,
(4)menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang”
(Rakhmat, 2001 : 25).

Hal ini guna memperoleh suatu gambaran mengenai fungsi Juru Bicara

Departemen Luar Negeri RI dalam kegiatan Press Briefing.

Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa “Penelitian deskriptif

hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau

menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi”

(Rakhmat, 2001 : 24).

“Ciri lain metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana
alamiah (naturalistis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya
membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku
observasinya. Denagn suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun
langsung ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasikan vriabel.
Karena kehadirannya mungkin mempengaruhi perilaku gejala (reactive
measures), peneliti berusaha memperkecil pengaruh ini” (Rakhmat,
2001:25).

1.9.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dibutuhkan oleh penulis

sehubungan dengan masalah yang akan diteliti, dikumpulkan dengan cara-cara

berikut :
21

1. Angket, yaitu berupa daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun

secara tertulis dan dibagikan kepada responden yang menjadi sampel

penelitian, guna memperoleh jawaban terhadap masalah yang diteliti.

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh pers yang hadir pada

kegiatan Press Briefing, baik pers nasional maupun internasional.

2. Wawancara, yaitu merupakan salah satu bentuk pengumpulan data

dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau

seorang ahli yang berwewenang dalam suatu masalah. (Keraf, 1994:161)

Penulis akan melakukan interview dengan Juru Bicara Departemen Luar

Negeri, Marty Natalegawa, pers yang hadir dalam kegiatan Press

Briefing di Departemen Luar Negeri, dan para staff yang bersangkutan

yang dianggap mengetahui dengan pasti hal-hal yang ada hubungannya

dengan permasalahan.

3. Studi Kepustakaan, yaitu kegiatan pengumpulan data sekunder yang

dibutuhkan dengan memanfaatkan buku-buku, surat kabar, dan sumber

bacaan atau dokumen-dokumen lain yang ada kaitannya dengan masalah

yang dibahas sehingga data-data yang tercantum dalam penulisan bersifat

akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

4. Observasi didefinisikan oleh Karl Weick (dikutip dari Seltiz,

Wrightsman, dan Cook 1976:253) sebagai “pemilihan, pengubahan,

pencatatan, dan pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang

berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan

empiris” (Rakhmat, 2001:83).


22

Untuk mengumpulkan data, penulis melakukan pengamatan langsung ke

lokasi, yaitu Departemen Luar Negeri RI, yang berlokasi di Jl. Pejambon

no.6, untuk menghadiri kegiatan Press Briefing.

Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa “Observasi berguna untuk

menjelaskan, memberikan dan merinci gejala yang terjadi” (2001 : 84).

1.10 Populasi dan Sampel

1.10.1 Populasi

“Populasi adalah kumpulan objek penelitian. Objek penelitian bisa

berupa orang, umpi, organisasi, kelompok, lembaga, buku, kata-kata, surat kabar,

dan lain-lain” (Rakhmat, 2001 : 78).

Populasi yang akan diteliti penulis adalah seluruh pers yang terdaftar atau

tercatat sebagai peliput pada bulan Oktober hingga Desember dalam kegiatan

Press Briefing Departemen Luar Negeri, berlokasi di Jl. Pejambon no.6, Jakarta

Pusat, yaitu sebanyak 62 responden (yang berasal dari media cetak dan

elektronik lokal maupun asing).

1.10.2 Sampel

“Sampel adalah bagian yang diamati dari kumpulan objek penelitian.

Dengan adanya sampel ini, maka diharapkan populasi dapat menunjukkan dan

menggambarkan karakteristik sifat populasi” (Rakhmat, 2001 : 78).

Teknik sampling yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

simple random sampling. Populasi yang dijadikan sampel oleh penulis adalah
23

30% dari populasi yang sebenarnya (62 orang), yaitu sebanyak 19 orang, dengan

cara mengundi, sehingga populasi yang ada mempunyai kesempatan yang sama

untuk dijadikan sample. Pengambilan sampel tersebut mengacu pada pendapat

Kartono bahwa : “Tidak ada aturan yang ketat untuk secara mutlak menentukan

berapa persen sampel tersebut harus diambil atau dipilih dari populasi” (Kartono,

1996 : 135).

Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan dari Wahyu M.S. yang

mengatakan bahwa : “Mengenai basarnya sampel tidak ada ketentuan yang baku

atau rumusan yang pasti, sebab keabsahan sampel terletak pada sifat dan

karakteristiknya mendekati tidaknya populasi bukan pada besarnya” (Wahyu

M.S., 1996 : 63).

1.11 Organisasi Karangan

Permasalahan yang berkaitan dengan penelitian dibagi ke dalam lima bab

yang sistematika penulisannya sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi alasan-alasan mendasar pentingnya penelitian ini, yaitu

mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, identifikasi masalah,

alasan pemilihan masalah, tujuan penelitian, operasional variable, metode

penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, serta organisasi

karangan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Penulisan dalam bab ini diuraikan teori yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti, yaitu dengan mengemukakan komunikasi kelompok, tinjauan


24

tentang Juru Bicara, dan tinjauan tentang Press Briefing, yang berdasarkan buku

rujukan dan dapat dijadikakan landasan.

BAB III : GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan sekilas tentang tugas, fungsi, dan

kewenangan, Departemen Luar Negeri, tugas dan fungsi Biro Administrasi

Menteri, peranan dan fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam

kegiatan Press Briefing, dan tujuan, fungsi dan sasaran kegiatan Press Briefing.

BAB IV : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan analisis deskriptif data responden dan analisis data hasil

penelitian yang diperoleh dari pengisian angket dari responden terpilih yang

disebarkan, guna mengetahui bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar

Negeri dalam menghadapi masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan rangkuman dan kesimpulan dari penelitian ini, serta

saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian yang telah

dilaksanakan.
25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI FUNGSI JURU BICARA


DEPARTEMEN LUAR NEGERI PADA KEGIATAN PRESS
BRIEFING

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dikehidupan

manusia, karena manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Sebagai

mahluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan orang lain. Dengan

komunikasilah manusia dapat berhubungan dengan sesama dan memenuhi

kebutuhan guna mencapai tujuan hidupnya. Melalui simbol-simbol atau

lambang-lambang yang berarti, manusia menyampaikan maksud, gagasan, ide,

kepentingan kepada orang lain guna mencapai tujuan hidup tersebut. Tetapi,

apakah arti dari komunikasi tersebut?

Sebuah kata dapat mempunyai makna yang berbeda-beda atau lebih dari

satu bila diartikan oleh manusia yang berbeda pula. Sama seperti kata

komunikasi. Sebagian orang mengartikan komunikasi sebagai seorang pembicara

yang menyampaikan pikirannya kepada audience di balik sebuah mimbar atau di

atas sebuah panggung, diskusi antara pegawai dalam sebuah rapat, atau

pertukaran pendapat atau pikiran antar dua orang. Banyak pula yang berpikiran

bahwa komunikasi harus berkaitan dengan media massa – surat kabar, televisi,

buku, radio, atau film. Untuk sebagian orang, komunikasi adalah sesuatu yang

berhubungan dengan komputer, telepon, atau satelit.


26

Komunikasi jauh lebih luas dari hanya berbicara dan mendengar, dan

membaca dan menulis. Komunikasi adalah dasar dari proses kehidupan.

Perbedaan pengertian atau makna tersebut dapat membingungkan banyak orang.

Orang awam atau orang yang tidak begitu mengerti atau mengenal ilmu

komunikasi, dapat berpikiran apakah kata komunikasi tersebut mempunyai batas

dari segi pengertian. Maka, ada beberapa pengertian dari para pakar, sebagai

berikut :

Komunikasi menurut Sir Gerald Barry, adalah berasal dari kata Latin ;

Comunicare, artinya ‘to talk together, corfer, discourse and consult with
another’. Perkataan ini menurut Barry ada hubungannya pula dengan
perkataan Latin yang lain Communitas, yang artinya : not only
community but also fellowship and justice in men’s dealings with one
another. Katanya selanjutnya : Society is based on the possibility of men
living and working together for common-ends in a word, on cooperation.
(Palapah dan Syamsudin, 1983 : 2)

Definisi komunikasi menurut Carl I. Hovland adalah sebagai berikut :

Proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-


perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk
merubah tingkah laku orang-orang lain (komunikate) atau dalam bahasa
aslinya : “The process by which an individual (the communicator)
transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other
individuals (communicates). (Effendy, 1981 : 12)

Sedangkan menurut James A.F. Stoner komunikasi adalah sebagai

berikut : “Komunikasi adalah proses di mana seorang berusaha memberikan

pengertian dengan cara pemindahan pesan” (Widjaja, 2000 : 13).

Hakekatnya komunikasi adalah “proses pernyataan antar manusia yang

dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya”. (Effendy,1993 : 28) (b).


27

Melihat pernyataan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi

merupakan pernyataan pikiran atau perasaan melalui lambang-lambang yang

berarti atau kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain, yaitu komunikate.

Dengan demikian, tanpa komunikasi manusia tidak dapat mencapai tujuan

hidupnya karena tidak dapat menyampaikan maksud, pikiran, kepentingan dan

perasaannya kepada orang lain.

Sedangkan, komunikasi antar manusia tidak dapat dihindari. “We can not

not communicate”. Bahasa verbal dan nonverbal adalah suatu tindakan

penyampaian informasi yang tidak ada hentinya, dan sebaliknya, kita secara

terus menerus dan tanpa bisa dihindari menerima informasi mengenai orang lain,

keadaan dan hal-hal di sekitar kita, juga mengenai diri sendiri.

2.2 Tinjauan tentang Hubungan Masyarakat

Hubungan Masyarakat (Humas) merupakan suatu bentuk spesialisasi

komunikasi yang bertujuan untuk saling mengerti dan bekerjasama antara semua

pihak yang berkepentingan guna mencapai keuntungan dan keputusan bersama.

Hanya dengan komunikasilah humas dapat mencapai tujuan tersebut.

Hubungan Masyarakat mempunyai dua pengertian, yakni : “Hubungan


Masyarakat sebagai “method of communication”, yaitu rangkaian atau
system kegiatan (order or system of action), yakni kegiatan
berkomunikasi secara khas, dan Hubungan Masyarakat sebagai “state of
beign”, yaitu perwujudan kegiatan berkomunikasi tersebut melembaga”
(Effendy, 1993 : 94) (a).

Adapun definisi humas menurut kamus IPR, adalah : “Praktek humas


atau Public Relations adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan
secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan
memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi
dengan segenap khalayaknya” (Jefkins, 1996 : 8).
28

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa humas adalah

suatu rangkaian kegiatan yang diorganisasikan dimana semua itu berlangsung

secara berkesinambungan dan teratur, dengan tujuan apa yang disampaikan dapat

dimengerti oleh pihak-pihak yang turut berkepentingan.

Perkembangan bidang dan ilmu kehumasan semakin tahun semakin baik.

Pendekatan kehumasan telah memasuki bermacam-macam sector, mulai dari

sector social, pendidikan, politik, pemerintahan, dan sebagainya. Sektor-sektor

tersebut telah menggunakan humas sebagai bagian dari manajemen mereka.

Penerapan dalam sektor tersebut, dapat dianalogikan dengan munculnya

bermacam-macam humas.

Dalam buku “Dasar-Dasar Humas” dibahas empat macam humas, dengan

tidak bermaksud membatasi bidang humas, yakni:

- Humas Pemerintahan
- Humas Industri dan Bisnis
- Humas Sosial
- HUmas Organisasi Internasional
(Kusumastuti, 2002 : 37).

2.2.1 Humas Pemerintahan

“Humas Pemerintahan pada dasarnya tidak bersifat politis, dimana bagian


humas tersebut dibentuk untuk mempublikasikan atau mempromosikan
kebijakan-kebijakan mereka” (Kusumastuti, 2002 : 37).

Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri merupakan suatu unsur

pelaksanaan pemerintahan dibidang pemerintahan luar negeri, di mana Juru

Bicara memerankan peranan humas dalam mempublikasikan atau

mempromosikan kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri. Peranan tersebut


29

antara lain memberikan informasi secara teratur tentang kebijakan, rencana-

rencananya ke depan, serta hasil-hasil kerja institusi serta memberi pengertian

kepada masyarakat tentang peraturan dan perundang-undangan dan segala

sesuatunya yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

Walter Lippman pernah mengatakan, “Public Relations is another name


for political leadership, yaitu Public Relations adalah nama lain dari
kepemimpinan politik” (Kusumastuti, 2002 : 38).

Seiring dengan tuntutan transparansi dari masyarakat luas sebagai publik

pemerintahan, manfaat humas dalam penyelenggaraan pemerintahan secara

umum telah diterima sejak lama. Humas dalam pemerintahan dan politik tidak

dapat dilepaskan dari opini publik. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan

Menteri Luar Negeri dalam menunjuk suatu pejabat tertentu dengan kredibilitas

tinggi yang mampu untuk memeberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan

Pemerintah dan Departemen Luar Negeri, kegiatan-kegiatan dan rencana-

rencananya ke depan, juga posisi Pemerintah dan Departemen Luar Negeri

dalam menghadapi suatu masalah, kepada masyarakat luas. Hal ini direalisasikan

melalui kegiatan rutin Juru Bicara dengan pers, yaitu melalui Press Briefing.

Tugas pemerintah sangat berat, sebab masyarakat yang dihadapi terdiri

dari berbagai publik dengan kepentingan yang sangat kompleks pula. Hal ini

memang tidak lepas dari “karakteristik” yang melekat dalam setiap kegiatan

pemerintah, antara lain sebagai berikut:

Program pemerintah ditujukan untuk masyarakat luas. Dengan berbagai latar


belakang, karakter, ekonomi, pendidikan (intelejensi) yang beragam.
Seringkali hasilnya abstrak, yang sulit dilihat dalam waktu dekat, bahkan dalam
jangka panjang sekalipun, karena sifatnya yang integral dan berkesinambungan.
Melibatkan generasi ke generasi. Bahkan program pemerintah cenderung dibayar
dengan “harga sosial” yang tinggi. Program-program pemerintah seringkali tidak
30

dapat menghindari perlunya “pengorbanan” sosial (masyarakat). Di sinilah


perlunya pendekatan khusus untuk melibatkan partisipasi dan emansipasi
masyarakat.
Program pemerintah selalu mendapat controlling/pengawasan dari berbagai
kalangan, terutama pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sebagainya.
Mereka sangat berperan dalam proses penyadaran masyarakat mengenai
permasalahan-permasalahan mereka sebagai warga masyarakat.
(Kusumastuti, 2002 : 38)

Karakteristik itulah yang dapat dijadikan latar belakang mengapa humas

pemerintahan perlu diterapkan dan dikembangluaskan secara profesional.

Namun, tugas yang berat tersebut ternyata masih ditambah dengan hambatan-

hambatan penerapan humas yang ideal di pemerintahan. Undang-undang dan

peraturan organisasi, seringkali menghambat fungsi humas. Masalah dana,

tumpang tindihnya job description, penyalahgunaan para pejabat terhadap humas

demi publisitas pribadi dan untuk melindungi “ketidakjujuran” dan program-

program yang tidak perlu merupakan hal-hal yang memperburuk citra humas

pemerintahan.

Ivy Lee berpendapat bahwa “semua jenis materi pers harus bebas dari
nilai-nilai dan kepentingan sepihak”. Kiteria kejujuran dan kenetralan
harus dipegang teguh oleh kalangan praktisi humas. Setiap pesan atau
berita yang mereka sampaikan kepada masyarakat melalui pers haruslah
sesuai dengan kenyataan yang sesuangguhnya. Baik atau buruknya
humas diukur berdasarkan kejujuran dan sikap netralnya. Kepentingan
masyarakat, harus senantiasa diutamakan. Kalau hal ini benar-benar
diperhatiakan maka sambutan khalayak pembaca, pendengar dan
pemirsa, dengan sendirinya akan positif sehingga perusahaan induk atau
klien humas tadi pasti akan memperoleh suatu publisitas yang baik
seperti yang diinginkannya, dan pada saat itulah kepentingan-
kepentingannya sendiri akan dapat terpenuh” (Jefkins, 1996 : 99).

2.3 Tinjauan tentang Juru Bicara

2.3.1 Pengertian, Peranan dan Fungsi Juru Bicara


31

2.3.1.1 Pengertian Juru Bicara

Dari segi pengertian, ”Juru Bicara adalah orang yang kerjanya memberi

keterangan resmi dan sebagainya kepada umum; pembicara yang mewakili suara

kelompok atau lembaga; penyambung lidah”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

1999 : 423).

Dari hasil wawancara penulis dengan bagian Biro Administrasi Menteri,

Juru Bicara atau spokesman berarti :

“A person who speaks for another or for a group, atau seseorang yang
berbicara atas nama orang lain atau perkumpulan” (Wawancara dengan
bagian Biro Administrasi Menteri, 7-9 Oktober 2002).

Dan Nimmo mengatakan bahwa Juru Bicara dalam kepentingan


organisasi biasanya : “bukan profesional dalam komunikasi. Namun, ia
cukup terlibat baik dalam politik maupun dalam komunikasi sehingga
dapat disebut aktivis politik dan semiprofesional dalam komunikasi
politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran
yang serupa dengan peran politikus yang menjadi wakil partisan, yakni
mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi dan tawar-menawar
untuk pemeriksaan yang menguntungkan” (Nimmo dalam Rakhmat,
1999 : 36).

Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara

adalah pihak atau seeorang yang mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi

atau lembaga untuk berbicara atau menyampaikan pesan, antara lain kebijakan-

kebijakan organisasi yang bersangkutan kepada pihak luar. Dalam hal ini, Juru

Bicara Departemen Luar Negeri RI merupakan wakil Departemen Luar Negeri

RI yang bertugas untuk menyampaikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan

Departemen Luar Negeri, juga mengklarifikasi issu-issu atau masalah yang

sedang dihadapi, guna menjaga citra Departemen Luar Negeri, baik di dalam
32

maupun di luar Departemen dan juga menjaga citra Indonesia baik di mata

bangsa Indonesia, maupun di mata dunia.

Sedangkan Siagian berpendapat bahwa Juru Bicara organisasi dalam

hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi merupakan salah satu fungsi

kepemimpinan yang hakiki. Dalam bukunya “Teori dan Praktek Kepemimpinan”

mengatakan bahwa Lima fungsi-fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut:

1. Pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian
tujuan,
2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar
organisasi,
3. Pimpinan selaku komunikator yang efektif,
4. Mediator yang andal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam
menangani situasi konflik,
5. Pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.
(Siagian, 1999 : 48).

2.3.1.2 Peranan Juru Bicara

Kedudukan seseorang dalam organisasi adalah menempatkan seseorang

dalam anggota kelompok organisasi apakah lebih tinggi, lebih rendah, atau

sejajar maupun dalam hubungannya di luar organisasi. Salah satu alasan

diangkatnya Juru Bicara adalah untuk mencapai tujuan Departemen Luar Negeri

dalam rangka menyampaikan kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri dan

menyediakan informasi mengenai issu-issu terkini yang sedang berkembang.

Tetapi tujuan tersebut tidak akan berlangsung dengan baik bila Juru Bicara tidak

memehami fungsi dan peranannya sendiri. Maka, sangatlah penting untuk

mengetahui dan memahami fungsi, peranan, dan tanggung jawabnya sendiri.


33

Adapun peranan Juru Bicara (spokesman role) yang dikemukankan

Effendy dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” bahwa :

“Peranannya sebagai Juru Bicara memiliki persamaan dengan peranannya


sebagai penghubung, yakni dalam hal mengkomunikasikan informasi
kepada khalayak luar. Perbedaannya ialah dalam hal caranya: jika dalam
peranannya sebagai penghubung ia menyampaikan informasi secara
antarpesona atau kontak pribadi dan tidak selalu resmi, maka dalam
peranannya sebagai Juru Bicara tidak selamanya secara kontak pribadi,
tetapi selalu resmi. Dalam peranannya sebagai Juru Bicara itu ia juga
harus mengkomunikasikan informasi kepada orang-orang yang
berpengaruh yang melakukan pengawasan terhadap organisasinya.
Kepada khalayak di luar organisasi (external public) ia memberikan
informasi dalam rangka mengembangkan organisasinya. Ia meyakinkan
khalayak bahwa organisasi yang dipimpinnya telah melakukan tanggung
jawab sosial sebagaimana mestinya. Ia meyakinkan pula para pejabat
pemerintahan bahwa organisasinya berjalan sesuai dengan peraturan
sebagaimana harusnya” (1998 : 119).

2.3.1.3 Fungsi Juru Bicara

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dalam usaha pencapaian

tujuan dan berbagai sasarannya, tidak ada organisasi atau lembaga, baik lembaga

pemerintah maupun non pemerintah, yang dapat bergerak dalam suasana

terisolasir. Artinya, tidak ada organisasi yang akan mampu mencapai tujuannya

tanpa memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak di luar organisasi

atau lembaga yang bersangkutan sendiri. Pada tingkat negara pun, pemeliharaan

hubungan itu dewasa ini sudah diterima sebagai keharusan mutlak, baik pada

yang menyangkut berbagai segi kepentingan, seperti kepentingan di bidang

ekonomi, pertahanan dan keamanan, politik, dan bahkan kepentingan sosial

budaya. ASEAN, OPEC, APEC, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh

dari kebutuhan memelihara hubungan tersebut.


34

Kebutuhan-kebutuhan tersebut timbul sebagai kenyataan bahwa sekarang

ini tidak ada lagi negara yang akan mampu mencapai tujuannya tanpa

berhubungan dengan berbagai negara lainnya. Prinsip yang sama berlaku bagi

suatu instansi pemerintah, termasuk Departemen Luar Negeri dengan bertitik

tolak dari kenyataan bahwa Departemen Luar Negeri mempunyai wewenang

melaksanakan tugas-tugas pengaturan dan berkewajiban memberikan pelayanan

kepada masyarakat. Dalam hal ini Kepala Biro Administrasi Menteri lah yang

bertindak sebagai wakil dan Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam

berhubungan dengan pihak di luar Departemen.

“Pemeliharaan hubungan itu bukan hanya dalam menyelenggarakan


tugas-tugas pengaturan, akan tetapi juga dalam memberikan pelayanan.
Bahkan pemeliharaan hubungan dengan pihak yang diatur dan yang
dilayani pun perlu terpelihara dengan baik” (Siagian, 1999 : 52).

Salah satu fungsi Juru Bicara adalah menyampaikan informasi-informasi

mengenai kebijakan-kebijakan dan kegiatan organisasinya kepada publik, baik

masyarakat maupun media massa. Dengan maksud pihak yang bersangkutan

mempunyai pengetahuan, pengertian dan pemahaman mengenai organisasi

tersebut, dengan harapan pemberian dukungan. Seperti yang dikatakan Siagian

dalam bukunya “Teori dan Prektek Kepemimpinan”:

“Kebijaksanaan dan kegiatan organisasi perlu dijelaskan kepada berbagai


pihak dengan maksud agar berbagai pihak itu mempunyai pengertian
yang tepat tentang kehidupan organisasi perusahaan yang bersangkutan.
Pengertian yang tepat diharapkan bermuara pada pemahaman dan
pemberian dukungan yang diperlukan, bertolak dari kepercayaan
berbagai pihak tersebut terhadap kemampuan organisasi memenuhi
berbagai kepentingan yang diwakili oleh pihak-pihak yang
berkepentingan itu. Yang paling bertanggung jawab untuk berperan
sebagai wakil dan juru bicara perusahaan adalah pimpinan perusahaan”
(1999 : 53).
35

Juru Bicara Departemen Luar Negeri merupakan wakil Departemen Luar

Negeri, yang ditunjuk langsung oleh Menteri Luar Negeri, yang bertugas untuk

menyampaikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan Departemen Luar

Negeri. Serta mengklarifikasi issu-issu atau masalah yang sedang dihadapi, guna

menjaga citra Departemen Luar Negeri, baik di dalam maupun di luar

Departemen dan juga menjaga citra Indonesia baik di mata bangsa Indonesia,

maupun di mata dunia.

Dalam hal ini, walaupun Kepala Biro Administrasi Menteri yang

merangkap jabatan sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri merupakan

pimpinan yang menduduki salah satu jabatan dalam Departemen, ia mempunyai

pengetahuan yang memadai tentang berbagai kegiatan Departemen Luar Negeri

sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil baik oleh

Menteri Luar Negeri maupun pejabat pimpinan Departemen Luar Negeri

lainnya, karena selain ia mengikuti dan mengetahui seluruh kegiatan Menteri

Luar Negeri juga mendampingi Menteri Luar Negeri bila bepergian atau

menjalankan tugas ke luar negeri, serta mengetahui komunikasi yang masuk dan

ke luar Departemen, terutama komunikasi yang ditujukan pada Menteri Luar

Negeri.

“Dengan adanya struktur yang disatukannya Juru Bicara dengan jabatan


Kepala Biro Administrasi Menteri ini, maksudnya adalah supaya tidak
ada kesenjangan, dan ada pemahaman yang lebih mendalam dengan apa
yang menjadi perhatian dari Menteri Luar Negeri dan Departemen Luar
Negeri. Karena secara struktural kegiatan Kepala Biro Administrasi
Menteri dekat dengan kegiatan Menteri Luar Negeri. Dengan keadaan
saya merangkap jabatan Juru Bicara dengan Kepala Biro Administrasi
Menteri, maka akan memahami arus komunikasi yang masuk ke
Departemen karena secara tulisan, komunikasi yang masuk yang
ditujukan pada Menteri Luar Negeri harus saya baca dan filter. Dalam hal
36

yang tidak tertulis adalah, saya mengikuti semua kegiatan Menteri Luar
Negeri, baik dalam menerima tamu atau pun mendampingi Menteri ke
luar negeri. Dengan itu ungkapan-ungkapan dan pandangan-pandangan
Menteri Luar Negeri dapat saya rekam dan ingat” (Wawancara dengan
Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31 Desember 2002).

Dalam “Report of the Task Force on Reorientation of UN Public

Information Activities”, menyatakan bahwa fungsi Juru Bicara atau spokesman

adalah bahwa:

“Juru Bicara berfungsi untuk mengumpulkan informasi yang patut


dijadikan berita dari Sekretariat Departemen dan kegiatan-kegiatannya di
luar organisasi, lalu mengembangkannya menjadi dasar uraian materi
atau penerangan singkat harian, secara aktif menyebarkan materi-materi
tersebut kepada media massa (media berita), dan menanggapi pertanyaan
pers yang menjadi perhatian masyarakat. Kegiatan Juru Bicara harus
dekat dengan pimpinan Departemen atau Organisasi agar dapat
mengembangkan pesan-pesan dan mengidentifikasikan berita-berita atau
kejadian-kejadian yang menjadi ketertarikan media massa. Mempunyai
akses (informasi atau pesan) langsung dari pimpinan organisasi adalah
kunci utama untuk kredibilitas Juru Bicara dari para pers. Juru Bicara
harus terus mengikuti dan mengetahui seluruh rencana pimpinan
organisasi, juga mengikuti atau mendampingi pimpinan bila bepergian”
(Report of the Task Force on Reorientation of UN Public Information
Activities, Chapter III: A New Communication Structure, halaman 5).

Dengan demikian, berarti Juru Bicara harus mengumpulkan informasi

yang patut dijadikan berita, yang kemudian dikembangkan menjadi materi

informasi yang menjadi ketertarikan pers dan masyarakat mengenai

organisasinya, lalu disampaikan kepada pers. Dalam mengumpulkan informasi

tersebut, Juru Bicara harus mengikuti dan mengetahui seluruh kegiatan

organisasinya dan mendampingi pimpinan organisasi bila bepergian agar

mengetahui pandangan-pandangan, kebijakan, dan pemikiran-pemikiran

pimpinan organisasi, guna menyampaikannya kepada pers dan dapat


37

memberikan tanggapan terhadap apa yang menjadi ketertarikan pers dan

masyarakat bila mereka bertanya.

Siagian berpendapat bahwa “sebagai wakil dan Juru Bicara resmi


organisasi, fungsi pimpinan tidak terbatas pada pemeliharaan hubungan
baik saja, tetapi harus membuahkan perolehan dukungan yang diperlukan
oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya”.
Dilanjutkannya bahwa “salah satu konsekuensi logis dari fungsi demikian
ialah bahwa seorang pimpinan mutlak perlu mengetahui bukan saja
bagaimana merumuskan kebijaksanaan strategik, akan tetapi juga
berbagai keputusan lain yang telah diambil oleh para pejabat pimpinan
yang lebih rendah. Bahkan lebih dari itu. Dituntut pula pengetahuan yang
memadai tentang berbagai kegiatan yang berlangsung dalam organisasi
sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil.
Pengetahuan demikian akan memungkinkannya memberikan penjelasan
yang diperlukan sedemikian rupa sehingga berbagai sasaran tercapai.
Artinya, dengan demikian persepsi yang tepat dari berbagai pihak dapat
ditumbuhkan, seluruh kebijaksanaan yang ditempuh serta latar
belakangnya dapat dipahami, salah pengertian tercengah timbulnya atau
bila telah timbul dapat dihilangkan, dukungan yang diperlukan dapat
diperoleh” (Siagian, 1999 : 54).

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

dengan mempunyai tugas memberikan penjelasan mengenai kebijakan dan

kegiatan organisasi, maka Juru Bicara berfungsi sebagai pihak yang

menyampaikan informasi dan memberikan penjelasan terutama bila diajukan

pertanyaan oleh pihak luar. Misalnya pada saat wawancara langsung dengan

pihak media massa atau pada forum tanya jawab dalam kegiatan Press Briefing,

mengenai kebijaksanaan dan kegiatan organisasi yang bersangkutan (dalam hal

ini Departemen Luar Negeri), guna menumbuhkan persepsi yang tepat dan dapat

dipahami dari berbagai pihak, terutama media massa. Karena media massa

merupakan pihak yang memiliki peranan penting antara organisasi dengan

publik, dimana media massa dapat membantu menyampaikan penjelasan

mengenai kebijakan dan kegiatan organisasi tertentu kepada masyarakat luas


38

dengan berbagai kalangan guna mendapatkan dukungan yang diperoleh

organisasi dalam usaha pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Serta bila telah timbul

salah pengertian mengenai kebijakan dan kegiatan organisasi tersebut atau

adanya issu yang kurang tepat dengan masalah yang sebenarnya, dapat

dihilangkan atau dikembalikan pada masalah yang sebenarnya, karena fungsi

lain dari Juru Bicara adalah mengklarifikasi issu atau masalah tertentu yang

bersangkutan dengan organisasinya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui Press

Briefing yang diadakan Juru Bicara atau organisasi yang bersangkutan. Dengan

ini dapat menciptakan citra organisasi atau lembaga yang positif.

2.3.2 Juru Bicara Dalam Menyampaikan Informasi

Pemeliharaan hubungan baik ke luar maupun ke dalam organisasi

tentunya dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara

tertulis. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa timbulnya perselisihan,

perbedaan paham dan konflik, terutama disebabkan oleh tidak adanya

komunikasi yang efektif antara pihak-pihak yang berhubungan. Komunikasi

yang efektif pun mempengaruhi keberhasilan pemutusan kebijakan dalam suatu

organisasi.

Dari pengertian komunikasi sebagaimana telah disampaikan di atas,

tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan

persyaratan terjadinya komunikasi. Dalam “bahasa komunikasi” komponen-

komponen tersebut adalah sebagai berikut :

- Komunikator : orang yang menyampaikan pesan;


- Pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang;
39

- Komunikan : orang yang menerima pesan;


- Media : sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya;
- Efek : dampak sebagai pengaruh dari pesan (Effendy, 2000 : 6).
Komunikasi tidak akan terjadi bila tidak adanya komunikator, karena

komunikator merupakan orang yang menyampaikan pesan melalui lambang-

lambang tertentu. Komunikator menurut Cangara adalah “pihak yang mengirim

pesan kepada khalayak” (2002 : 89). Sedangkan menurut Effendy komunikator

adalah “seseorang atau sekelompok orang yang menyampaikan pikirannya atau

perasaannya kepada orang lain” (1993 : 14) (a). Karena itu komunikator biasa

disebut sebagai pengirim, sumber, source, atau encoder.

Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi dalam kegiatan Press

Briefing, Juru Bicara memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam

mengendalikan jalannya komunikasi tersebut. “Fungsi komunikator ialah

pengutaraan pikiran dan perasaannya dalam bentuk pesan untuk membuat

komunikan menjadi tahu atau berubah sikap, pendapat, atau perilakunya”

(Effendy, 2000 : 16).

Sedangkan fungsi komunikator menurut Widjaja adalah “menyediakan


sumber informasi. Selanjutnya menyaring dan mengevaluasi informasi
yang tersedia dan mengolah informasi ini ke dalam suatu bentuk yang
sesuai bagi kelompok penerima informasi tersebut, sehingga kelompok
penerima memahami informasi dimaksud” (2000 : 59).

Oleh karena itu, dalam hal ini Juru Bicara harus terampil berkomunikasi,

dan juga kaya ide serta penuh daya kreativitas. Tetapi, keefektifan komunikasi

tidak saja ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi, melainkan juga oleh diri

Juru Bicara dan komunikate. Komunikate, dalam hal ini pers yang dijadikan

sasaran akan mengkaji siapa komunikator yang menyampaikan informasi itu.


40

Jika ternyata informasi yang disampaikannya tidak sesuai dengan diri

komunikator - betapa pun tingginya teknik komunikasi yang dilakukan- hasilnya

tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Effendy dalam bukunya “Dinamika Komunikasi” menjelaskan sebagai


berikut:

A. Etos Komunikator

Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah


nilai diri seorang yang merupakan paduan dari kognisi (cognition), afeksi
(affection), dan konasi (conation). Kognisi adalah proses memahami (process of
knowing) yang bersangkutan dengan pikiran; afeksi adalah perasaan yang
ditimbulkan oleh perangsang dari luar; dan konasi adalah aspek psikologis yang
berkaitan dengan upaya atau perjuangan.

Effendy melanjutkan bahwa “Etos tidak timbul pada seseorang dengan

begitu saja, tetapi ada faktor-faktor tertentu yang mendukungnya. Faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kesiapan (preparedness)

Seorang komunikator yang tampil di mimbar harus menunjukkan kepada


khalayak, bahwa ia muncul di depan forum dengan persiapan yang matang.
Kesiapan ini akan nampak pada gaya komunikasinya yang meyakinkan. Tampak
oleh komunikan penguasaan komunikator mengenai materi yang dibahas.

b. Kesungguhan (seriousness)

Seorang komunkator yang berbicara dan membahas suatu topik dengan


menunjukkan kesungguhan, akan menimbulkan kepercayaan pihak komunikan
kepadanya.

c. Ketulusan (sincerity)

Seorang komunikator harus membawakan kesan kepada khalayak, bahwa ia


berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Ia harus hati-hati untuk
menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada kecurigaan terhadap
ketidaktulusan komunikator.

d. Kepercayaan (confidence)
41

Seorang komunikator harus senantiasa memancarkan kepastian. Ini harus selalu


muncul dengan penguasaan diri dan situasi secara sempurna. Ia harus selamanya
siap menghadapi segala situasi.

e. Ketenangan (poise)

Khalayak cenderung akan menaruh kepercayaan kepada komunikator yang


tenang dalam penampilan dan tenang dalam mengutarakan kata-kata.
Ketenangan ini perlu dipelihara dan selalu ditunjukkan pada setiap peristiwa
komunikasi menghadapi khalayak.

Ketenangan yang ditunjukkan seorang komunikator akan menimbulkan kesan


pada komunikan bahwa komunikator merupakan orang yang sudah
berpengalaman dalam menghadapi khalayak dan menguasai persoalan yang akan
dibicarakan. Lebih-lebih apabila ketenangan itu diperlihatkan di saat
komunikator menghadapi pertanyaan yang sulit atau mendapat serangan yang
gencar dari komunikan, seolah-olah pernyataan atau serangan itu sudah biasa
baginya.

f. Keramahan (friendship)

Keramahan komunikator akan menimbulkan rasa simpati komunikan kepadanya.


Keramahan tidak berarti kelemahan, tetapi pengekspresian sikap etis. Lebih-
lebih jika komunikator muncul dalam forum yang mengandung perdebatan. Ada
kalanya dalam suatu forum, timbul tanggapan salah seorang di antara yang hadir
berupa kritikan pedas. Dalam situasi sepeti ini, sikap hormat komunikator dalam
memberikan jawaban akan meluluhkan sikap emosional si pengeritik, dan akan
menimbulkan rasa simpati kepada komunikator.

g. Kesederhanaan (moderation)

Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga
dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan
perasaan dan dalam gaya mengkomunikasikannya.

B. Sikap komunikator

Sikap (attitude) adalah suatu kesiapan kegiatan (preparatory activity), suatu


kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan menuju atau
menjauhi nilai-nilai sosial. Dalam hubungannya dengan kegiatan komunikasi
yang melibatkan manusia-manusia sebagai sasarannya, pada diri komunikator
terdapat lima jenis sikap, yakni :

a. Reseptif (receptive)

Sikap reseptif berarti kesediaan untuk menerima gagasan dari orang lain, dari
staf pimpinan, karyawan, teman, bahkan tetangga, mertua, dan isteri. Dengan
42

sikapnya yang reseptif, seorang komunikator berhati terbuka, tidak mentunakan


(underestimate) orang lain.

b. Selektif (selective)

Seperti halnya dengan faktor reseptif, faktor selektif pun penting bagi
komunikator dalam peranannya selaku komunikan, sebagai persiapan untuk
menjadi komunikator yang baik. Jadi, untuk menjadi komunikator yang baik, ia
harus menjadi komunikan yang terampil. Tetapi dalam menerima pesan dari
orang lain dalam bentuk gagasan atau informasi, ia harus selektif dalam rangka
pembinaan profesinya untuk diabdikan kepada masyarakat.

c. Dijestif (digestive)

Yang dimaksud dengan dijestif di sini ialah kemampuan komunikator dalam


mencernakan gagasan atau informasi dari orang lain sebagai bahan bagi pesan
yang akan ia komunikasikan. Ia mampu memahami makna yang lebih luas dan
lebih dalam dari tersurat, ia mampu melihat intinya yang hakiki saratya dapat
melakukan prediksi akibat dari pengaruh gagasan atau informasi tadi.

d. Asimilatif (assimilative)

Asimilatif berarti kemampuan komunikator dalam mengorelasikan gagasan atau


informasi yang ia terima dari orang lain secara sistematis dengan apa yang telah
ia miliki dalam benaknya, yang merupakan hasil pendidikan dan pengalamannya.

e. Transmisif (transmissive)

Transmisif mengandung makna kemampuan komunikator dalam


mentransmisikan konsep yang telah ia formulasikan secara kognitif, afektif, dan
konatif kepada orang lain. Dengan lain perkataan, ia mampu memilih kata-kata
yang fungsional, mampu menyusun kalimat secara logis, maupun memilih waktu
yang tepat, sehingga komunikasi yang ia lancarkan menimbulkan dampak yang
ia harapkan. (2000 : 16-21).

Komunikator dalam menyampaikan pesan perlu melakukan

pertimbangan-pertimbangan, apa yang harus dilakukannya. Dalam

menyampaikan pesan. Komunikator, dalam hal ini Juru Bicara Departemen Luar

Negeri, yang menyampaikan pesan dengan cara yang baik sangat penting dan

bermanfaat, selain ia membawa nama Departemen, juga dapat mempengaruhi


43

citra Pemerintah, berhubung hampir semua yang disampaikan Juru Bicara

mengenai keputusan dan kebijakan Departemen Luar Negeri yang ditetapkan

berhubungan dengan Pemerintah. Sikap-sikap dan etos Juru Bicara perlu

dikuasai. Seyogianya cara atau gaya yang merusak penyampaian pesan tidak

dilakukan Juru Bicara.

2.4 Tinjauan tentang Kegiatan Press Briefing

2.4.1 Pengertian Press Briefing

Dalam bukunya ‘Dasar-dasar Public Relations’, Neni Yulianita

mengatakan bahwa:

“Briefing (pengarahan) adalah memberikan penjelasan-penjelasan secara


singkat atau pertemuan untuk memberikan penerangan secara singkat”
(1999 : 95).

“Press Briefing termasuk bentuk jumpa pers resmi yang diselenggarakan


secara periodik tertentu, pada awal atau akhir bulan atau tahunan oleh
pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi instansi
bersangkutan. Pertemuan ini (Press Briefing), diadakan mirip dengan
suatu diskusi atau berdialog, saling memberikan masukan atau informasi
cukup penting bagi kedua belah pihak” (Ruslan, 1999 : 180).

“Pakar Public Relations, Frank Jefkins, menyebutkan pula istilah Press


Briefing, yang sebetulnya juga merupakan jumpa pers. Bedanya, Press
Briefing dilakukan secara rutin sedangkan jumpa pers atau konferensi
pers tidak dilakukan secara rutin” (Abdullah, 2001 : 87 - 88).

Press Briefing atau Jumpa Pers merupakan suatu kegiatan hubungan pers,

selain Press Release, Kunjungan Pers, Resepsi Pers, dan lain sebagainya.

Kegiatan ini biasanya dilakukan menjelang, menghadapi ataupun setelah terjadi

peristiwa atau kegiatan penting dan besar. Kelebihan Press Briefing terletak pada

aspek diskusi atau tanya jawab. Dengan adanya forum diskusi atau tanya jawab
44

antara Juru Bicara dengan pers, memungkinkan pers makin kaya lagi dengan

informasi yang didapat, selain bahan tertulis yang disediakan.

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan

konferensi pers atau jumpa pers adalah sebagai berikut:

1. Jangan mengundang wartawan secara mendadak karena biasanya


wartawan sudah memiliki jadwal kerja yang padat. Kecuali bila kita
mengundangnya untuk kasus-kasus besar yang amat mendesak.
2. Hargailah waktu wartawan. Jangan menunda waktu yang telah
dijadwalkan atau ditetapkan untuk jumpa pers, sehingga terjadi ngaret-
nya acara.
3. Jangan mengundurkan waktu hanya karena ada wartawan yang belum
datang sebab bisa memunculkan kesan penganakemasan media tertentu.
4. Wartawan paling menyukai acara jumpa pers pagi hari dan kurang
menyukai jumpa pers sore atau malam hari, karena sore atau malam hari
tenaga wartawan sudah terkuras untuk bekerja dari pagi hingga sore hari.
5. Hindari pula acara jumpa pers pada hari libur.
6. Hindari acara jumpa pers yang jaraknya sangat jauh. Selenggarakanlah di
lokasi yang strategis dan gampang dijangkau dari segala penjuru kota.
7. Jika ingin suasana yang santai, jumpa pers bisa pula di rumah makan atau
tempat rileks lainnya sambil makan siang.
8. Hadirkanlah orang yang memiliki kredibilitas sehingga menambah bobot
acara jumpa pers.
9. Jangan “mengusir” wartawan yang datang tidak diundang sejauh dia
betul-betul membutuhkan informasi untuk berita.
10. Sediakan bahan-bahan atau data tertulis sebagai pelengkap tulisan atau
berita yang akan ditulis wartawan. Apakah itu proposal, brosur, rilis, dan
lain-lain.
11. Masukkan bahan-bahan tadi dalam map atau amplop besar.
12. Jika akan memberi cinderamata atau uang transportasi, masukkanlah ke
dalam amplop besar atau map tadi.
13. Hindarilah jumpa pers satu arah. Berilah kesempatan wartawan untuk
bertanya.
14. Jangan heran apabila dalam kesempatan ini wartawan akan bertanya pula
tentang materi lain di luar materi yang dijumpaperskan.
15. Hindari jawaban “No Comment” dalam diskusi, sebab jawaban ini
mengesankan pembenaran dari pernyataan wartawan.
16. Khusus dalam Press Briefing karena dilakukan secara regular dalam
kegiatan besar, maka diperhatikan hal-hal berikut:
a. Susunlah jadwal yang pasti. Siapa yang bakal tampil sebagai
narasumber. Siapkan data akurat lainnya
b. Konfirmasikan dahulu, apakah narasumber yang akan ditampilkan
itu bersedia muncul dalam pertemuan dengan wartawan.
45

c. Siapkan bahan-bahan tertulis dalam press room yang disediakan.


d. Buatlah jurnal harian yang akurat dan lengkap. Misalnya, raihan
medali hari kesekian dalam pesta olah raga, angka perjualan
paling aktual pada hari tersebut dalam pameran industri, atau
informasi-informasi lainnya, baik yang serius maupun informasi
ringan.
e. Sediakanlah press room yang memadai yang dilengkapi dengan
berbagai sarana komunikasi dan pengetikan (Abdullah, 2001 :
88).

Maka, dalam melaksanakan dan untuk menjaga, juga meningkatkan

keefektifan kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri, haruslah

diperhatikan hal-hal penting di atas tersebut. Hal sekecil apa pun harus

diperhatikan, guna menjaga hubungan baik dengan pers. Misalnya, meskipun

Press Briefing Departemen Luar Negeri merupakan kegiatan rutin tiap minggu

dengan waktu dan lokasi yang sama, yang biasanya diselenggarakan pada hari

Jum’at, pihak Departemen Luar Negeri sebaiknya tetap memberikan atau

menyebarkan undangan Press Briefing kepada pihak media massa guna

memastikan adanya kegiatan tersebut dengan waktu dan tempat yang telah

ditetapkan.

2.4.2 Press Briefing sebagai Komunikasi Eksternal

“Komunikasi eksteral ialah komunikasi antara pimpinan organisasi


dengan khalayak di luar organisasi. Pada instansi-instansi pemerintah
seperti departemen, direktorat, jawatan, dan pada perusahaan-perusahaan
besar, disebabkan oleh luasnya ruang lingkup, komunikasi lebih banyak
dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat (public relations officer)
dari pada oleh pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan
hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting, yang tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain, umpamanya perundingan
(negotiation) yang menyangkut kebijakan organisasi. Yang lainnya
dilakukan oleh kepala humas yang dalam kegiatan komunikasi eksternal
merupakan tangan kanan pimpinan” (Effendy, 1998 : 128).
46

Sebenarnya, komunikasi eksternal dapat dilakukan oleh seluruh

karyawan pada organisasi, dimulai dari tingkat tertinggi sampai dengan yang

terendah. Bila dilihat secara struktural, seperti dikatakan oleh Effendy diatas,

komunikasi eksternal pada Departemen Luar Negeri tidak dilakukan oleh

pimpinan Departemen, dalam hal ini Menteri Luar Negeri, melainkan oleh Juru

Bicara yang merangkap sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri. Jadi, bila

pihak luar atau publik luar memerlukan informasi baik mengenai Departemen

Luar Negeri maupun hubungan dan politik luar negeri, pihak yang memberikan

informasi tersebut adalah Juru Bicara Departemen Luar Negeri. Contoh dari

kegiatan komunikasi eksternal untuk publik pers yang dilakukan oleh Juru

Bicara adalah: Press Briefing, Press Interview, Press Reception, dan lain

sebagainya.

Menurut Neni Yulianita dalam bukunya “Dasar-Dasar Public Relations”:

“Oleh seluruh unsur yang ada pada organisasi, dimulai dari tingkat
pimpinan dalam konteks hubungan dengan publik luar, kegiatan
komunikasi dapat dilakukan tertinggi sampai dengan karyawan
operasional sampai merupakan representasi publik organisasi atau
membawa nama organisasi pada saat mereka melakukan kegiatan
komunikasi dengan publik luar” (2000 : 109).

Jelas bahwa Press Briefing adalah kegiatan komunikasi eksternal, karena

komunikasi tersebut merupakan kegiatan komunikasi dengan publik luar, yang

dilakukan oleh pihak dalam, dalam hal ini adalah Departemen Luar Negeri yang

diwakili oleh Juru Bicara, kepada pihak luar, yaitu publik pers.

2.4.3 Press Briefing sebagai Press Relations


47

Secara naluri, individu memerlukan individu lain dan sebaliknya. Dengan

demikian individu satu dengan individu lain memerlukan hidup bermasyarakat.

Hidup bermasyarakat adalah hidup berkelompok, berteman, berkeluarga dan

hidup berbangsa.

Syarat untuk terjalinnya hubungan ini semua sudah tentu harus ada

hubungan saling pengertian serta adanya pertukaran informasi yang saling

mengerti. Jalinan hubungan tersebut memungkinkan individu selalu mengadakan

serba hubungan yang dinamis dan harmonis yang mencerminkan keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan.

Begitu pula dengan organisasi. Suatu organisasi tidak mungkin dapat

berdiri sendiri tanpa bantuan pihak lain, baik pihak luar maupun pihak dalam

organisasi tersebut. Suatu komunikasi yang efektif sangat diperlukan guna

tercapainya tujuan bersama. Salah satu komunikasi yang digunakan suatu

organisasi adalah komunikasi kelompok. Pengertian dari komunikasi kelompok

itu sendiri adalah “interviu tatap muka antara tiga individu atau lebih dengan

tujuan yang telah diketahui sebelumnya, seperti berbagai interviu pemeliharaan

diri dan pemecahan masalah yang anggotanya dapat mengingat karakteristik

peribadi anggota kelompok lainnya dengan baik” (Praktikto, 1987 : 55).

Dengan adanya komunikasi, pasti akan terjadi atau terjalin suatu

hubungan, tetapi dengan adanya hubungan tidak berarti akan terjadi komunikasi.

Salah satu hubungan yang dibina dalam suatu organisasi adalah hubungan

eksternal dengan media massa atau para pers.


48

Hubungan pers merupakan hubungan eksternal suatu organisasi atau

perusahaan dengan media massa, guna menyampaikan suatu informasi dalam

upaya menciptakan pengetahuan dan pemahaman. Menurut Frank Jefkins

(1990), hubungan pers (press relations) adalah “upaya untuk mempublikasikan

suatu pesan atau informasi yang maksimum untuk menciptakan pengetahuan dan

pemahaman bagi khalayak yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan”

(Abdullah, 2001 :4).

Dalam praktik hubungan pers, dikenal beberapa bentuk kegiatan yang

melibatkan pers. Berbagai kegiatan ini dimaksudkan selain untuk

menginformasikan aktivitas lembaga atau individu juga sebagai ajang

peningkatan citra positif melalui media massa. Bentuk kegiatan hubungan pers

yang dilakukan Departemen Luar Negeri RI antara lain adalah : Press Release,

Jumpa Pers (press briefing, press conference), Kunjungan Pers, Resepsi pers,

dan lain sebagainya.

Press Briefing merupakan kegiatan rutin (setiap satu minggu sekali) yang

diselenggarakan Departemen Luar Negeri guna menjalin hubungan baik,

harmonis, dan dinamis dengan pers. Dengan kata lain untuk memperkokoh

kemitraan antara diplomat dan media massa. Press Briefing ini dilakukan pula

untuk perbaikan pelayanan informasi dari pihak Departemen Luar Negeri kepada

media massa.

Press Briefing merupakan komunikasi kelompok karena komunikasinya

di tujukan kepada kelompok tertentu, yaitu pers, yang mempunyai hubungan

sosial yang nyata dan memperlihatkan struktur yang nyata pula. Komunikasi
49

tatap muka ini lebih cenderung dilakukan secara sengaja, dan umumnya para

pesertanya lebih sadar akan peranan dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Ini dapat dilihat dari peranan anggota kelompok dari Press Briefing tersebut,

dimana Juru Bicara, wakil dari Deparetemen Luar Negeri, merupakan

komunikator yaitu pihak yang menyampaikan pesan atau informasi mengenai

kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, mengklarifikasi suatu masalah

atau issu yang sedang dihadapi, juga menyampaikan kegiatan-kegiatan

Departemen Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri dalam menjalin

hubungan dan politik luar negeri. Kemudian pers berperan sebagai pihak yang

mencari data, informasi yang disampaikan Juru Bicara, dan kemudian

mengemasnya sedemikian rupa hingga menjadi sebuah berita dan layak

disebarkan melalui medianya masing-masing, yang dinilai memiliki kekuatan

untuk mempengaruhi opini khalayak.

Tujuan pokok diadakannya hubungan pers adalah “menciptakan

pengetahuan dan pemahaman” (Jefkins, 1996 : 99).


50

BAB III
OBJEK PENELITIAN

3.1 Tinjauan Tentang Departemen Luar Negeri RI

Departemen Luar Negeri RI merupakan pelaksana Pemerintah di bidang

pemerintahan luar negeri yang dipimpin oleh Menteri yang berada di bawah dan

bertanggungjawab pada Presiden.

Pada akhir tahun 2001 Departemen Luar Negeri melakukan strukturisasi

baru, yang dilaksanakan pada awal tahun 2002. Proses restrukturisasi tersebut

dihasilkan dengan Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001. Pembenahan

diri itu pada umumnya menyangkut restrukturisasi Departemen Luar Negeri dan

Perwakilan RI, serta pembenahan profesi diplomat.

Restrukturisasi dilakukan karena di satu sisi, tantangan yang ada

sekarang berbeda dengan 50 tahun lalu. Struktur organisasi pusat yang sudah

sejak tahun 1974 dinilai tidak memadai lagi, dan telah terjadi perubahaan besar

dan mendasar pada tingkat nasional dan internasional. Dunia yang sekarang

semakin mengglobal, batas antar negara semakin kabur, saling ketergantungan

antar negara meningkat. Kondisi itu akan sangat mempengaruhi lingkungan


51

strategis tempat politik luar negeri disusun, diputuskan, dan dioperasionalkan.

Karena itu kaitan antar masalah pun mejadi semakin besar.

Dalam formasi sekarang, Departemen Luar Negeri diperkuat oleh 54

direktorat Eselon II dan 10 Eselon I. Departemen Luar Negeri terdiri dari

Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Inspektorat Jenderal (Irjen). Persoalan

difokuskan pada masalah bilateral, regional, dan multilateral.

3.1.1 Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Departemen Luar Negeri RI

3.1.1.1 Tugas Departemen Luar Negeri

Departemen Luar Negeri mempunyai tugas membantu Presiden dalam

menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang politik luar negeri dan

hubungan luar negeri. Seperti meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar

negeri agar mampu melakukan diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk

membantu citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan

perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia,

serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan internasional.

3.1.1.2 Fungsi Departemen Luar Negeri

Dalam melaksanakan tugas, Departemen Luar Negeri RI

menyelenggarakan fungsi :

Pelaksanaan politik luar negeri serta penyelenggaraan hubungan luar negeri;


52

Pembinaan, koordinasi, dan konsultasi dalam pelaksanaan politik luar negeri dan

penyelenggaraan hubungan luar negeri;

Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi

Departemen;

Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta pendidikan dan

pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang politik dan

hubungan luar negeri;

Pelaksanaan pengawasan fungsional.

3.1.1.3 Kewenangan Departemen Luar Negeri

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang telah tercantum di

atas, maka Departemen Luar Negeri mempunyai kewenangan :

Penerapan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara

makro;

Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;

Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga

profesional / ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya;

Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan

atas nama negara;

Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidangnya;

Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yaitu: pengaturan dan pelaksanaan hubungan sosial, politik, ekonomi,


53

budaya, dan penerangan luar negeri; serta pengaturan dan pelaksanaan protokol

dan konsuler.

3.1.2 Struktur Organisasi Departemen Luar Negeri RI

Dengan dilaksanakannya restrukturisasi, maka struktur organisasi

Departemen Luar Negeri pun berubah. Departemen Luar Negeri yang sekarang

terdiri dari Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Insepektorat Jenderal (Irjen).

Berdasarkan Keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor SK.053/OT/II/2002/01

Tahun 2002, ditetapkan Susunan Organisasi Departemen Luar Negeri sebagai

berikut :

Menteri Luar Negeri RI, membawahi :

Staf Ahli:

Unit Pengendalian Krisis:

Inspektorat Jenderal:

Sekretariat Jenderal;

Badan Pengkajian Pengembangan Kebijakan;

Perwakilan RI.

Sekretariat Jenderal terdiri dari :

Biro Administrasi Menteri;

Biro Perencanaan dan Organisasi;


54

Biro Kepegawaian;

Biro Keuangan;

Biro Hukum;

Biro Tata Usaha dan Perlengkapan;

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai;

Pusat Komunikasi.

Dalam hal ini, Kepala Biro Administrasi Menteri sekaligus merangkap

sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri.

II. Sedangkan Inspektorat Jenderal dituangkan dalam empat wilayah, yaitu :

Inspektorat Wilayah I

Inspektorat Wilayah II

Inspektorat Wilayah III

Inspektorat Wilayah IV

Persoalan difokuskan pada masalah bilateral, regional, dan multilateral.

Bidang bilateral terdiri dari :

Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, yang diperkuat dengan lima

direktorat, yaitu:

Direktorat Asia Timur dan Pasifik;

Direktorat Asia Selatan dan Tengah;

Direktorat Afrika;

Direktorat Timur Tengah;

Direktorat Kerjasama Intra Kawasan.

Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa, juga terdiri dari lima Direktorat, yaitu :
55

Direktorat Amerika Utara dan Tengah;

Direktorat Amerika Selatan;

Direktorat Eropa Barat;

Direktorat Eropa Tengah dan Timur;

Direktorat Kerjasama Intra Kawasan.

Bidang regional terdiri dari:

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, yang terdiri dari empat Direktorat :

Direktorat Politik Keamanan ASEAN;

Direktorat Kerjasama Ekonomi ASEAN;

Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN;

Direktorat Mitra Wicara dan Antar Kawasan.

Bidang multilateral terdiri dari:

Direktorat Jenderal Multilateral Politik, Sosial, dan Keamanan, terdiri dari empat

Direktorat, yaitu:

Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata;

Direktorat Politik Khusus;

Direktorat HAM, Kemanusiaan, dan Sosial Budaya;

Direktorat Organisasi Internasional Antar Pemerintah Non PBB dan Organisasi

Internasional Non Pemerintah.

Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, yang

juga terdiri dari empat Direktorat:

Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup PBB;

Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral;


56

Direktorat Komoditi dan Standarisasi;

Direktorat Kerjasama Ekonomi, dan Pembangunan Non PBB.

Lalu Direktorat Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, Perjanjian

Internasional, terdiri dari lima Direktorat, yaitu :

Direktorat Informasi dan Media;

Direktorat Diplomasi Publik;

Direktorat Keamanan Diplomatik;

Direktorat Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan;

Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya.

Juga Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, yang diperkuat oleh empat

Direktorat, yaitu :

Direktorat Protokol;

Direktorat Konsuler;

Direktorat Fasilitas Diplomatik;

Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum

Indonesia.

Seluruh struktur itu diperkuat oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan

Kebijakan, yang terdiri dari :

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan

Afrika;

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa;

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan pada Organisasi Internasional.


57

Perwakilan RI

Gambar 3.1
58

3.2 Tinjauan Tentang Biro Administrasi Menteri

Biro administrasi Menteri merupakan salah satu struktur baru yang

terbentuk setelah diadakannya restrukturisasi Departemen Luar Negeri

pada akhir tahun 2001. Biro Administrasi Menteri merupakan salah satu

struktur yang kegiatannya sangat dekat dengan kegiatan Pimpinan

Departemen, yaitu Menteri Luar Negeri.

Pengangkatan dan pelantikan Kepala Biro Administrasi Menteri

sekaligus merangkap sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri, baru

dilaksanakan secara resmi oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda pada hari

Jum’at 1 Maret 2002.

Biro Administrasi Menteri dapat dikatakan sebagai terminal komunikasi

Departemen Luar Negeri, di mana segala atau seluruh kawat, facsimile, nota,

dari seluruh perwakilan RI di luar negeri, seluruh direktorat yang berada di

Jakarta, yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri, ditangani oleh Biro

Administrasi Menteri tersebut. Kepala Biro Administrasi Menteri mensortir

mana yang patut untuk diberikan dan menjadi perhatian Menteri Luar Negeri dan

mana yang tidak. Mana yang klasifikasinya UDK (untuk diketahui), yaitu hanya

untuk dijadikan informasi saja, dan mana yang untuk didisposisikan oleh Menteri

Luar Negeri.

Maka sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri, harus mengetahui arus

komunikasi yang masuk dan keluar dari Departemen Luar Negeri. Mulai dari
59

bidang politik, keamanan, ekonomi, diplomasi publik, perjanjian politik dan

internasional, sosial budaya, dan lain-lain. Pada intinya Kepala Biro

Administrasi Menteri merupakan filter dari Menteri Luar Negeri, dimana ia

harus menyeleksi hal-hal yang penting, yang patut menjadi perhatian, serta

menyampaikan instruksi-instruksi Menteri kepada jajaran pimpinan Departemen

Luar Negeri lainnya.

3.2.1 Tugas dan Fungsi Biro Administrasi Menteri

3.2.1.1 Tugas Biro Administrasi Menteri

Biro Administrasi Menteri mempunyai tugas melaksanakan koordinasi

penghimpunan dan penyajian naskah untuk disampaikan kepada Menteri, dan

menyampaikan instruksi-instruksi Menteri kepada jajaran pimpinan Departemen

Luar Negeri serta menyelenggarakan urusan rumah tangga Menteri dan urusan

administrasi Staf Ahli Menteri.

3.2.1.2 Fungsi Biro Administrasi Menteri

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana telah tercantum, Biro

Administrasi Menteri menyelenggarakan fungsi :

Koordinasi, penyiapan, dan penyusunan naskah yang berhubungan dengan soal-

soal politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan serta soal-soal hukum untuk

disampaikan kepada Menteri;

Koordinasi, perancangan, dan penghimpunan naskah Menteri yang disiapkan

oleh unit kerja terkait serta penyajian naskah pidato terakhir kepada Menteri;
60

Penyampaian instruksi Menteri kepada jajaran Eselon Satu;

Penyelenggaraan urusan administrasi rumah tangga Menteri dan Staf Ahli

Menteri.

3.2.2 Struktur Organisasi Biro Administrasi Menteri

Biro Administrasi Menteri terdiri dari:

Bagian Penyajian Masalah Politik, Sosial, dan Keamanan, terdiri dari :

Subbagian Asia Pasifik dan Afrika;

Subbagian Amerika dan Eropa;

Subbagian Organisasi Regional;

Subbagian Organisasi Multilateral.

Bagian Penyajian Masalah Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, terdiri dari :

Subbagian Asia Pasifik dan Afrika;

Subbagian Amerika dan Eropa;

Subbagian Organisasi Regional;

Subbagian Organisasi Multilateral.

Bagian Informasi dan Media Massa, terdiri dari :

Subbagian Penterjemah dan Penerjemahan;

Subbagian Media Cetak;

Subbagian Media Elektronik.

Bagian Umum, terdiri dari :

Subbagian Protokol;

Subbagian Keamanan dan Rumah Tangga Menteri;


61

Subbagian Pelayanan Staf Ahli Menteri;

Subbagian Tata Usaha Biro.

Bagian Penyajian Masalah Politik, Sosial, dan Keamanan mempunyai

tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi penghimpunan dan penyajian

(naskah mengenai) soal-soal politik, sosial, dan keamanan serta soal-soal hukum

dan budaya di wilayah Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa, organisasi

regional, dan organisasi multilateral.

Bagian Penyajian Masalah Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan

mempunyai tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi penghimpunan

dan penyajian naskah yang berhubungan dengan soal-soal ekonomi, keuangan,

dan pembangunan di wilayah Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa,

organisasi regional, dan organisasi multilateral.

Bagian Informasi dan Media Massa mempunyai tugas melaksanakan

penyiapan perumusan mengenai informasi dan media massa, serta

menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penerjemahan, pelaksanaan pemberian

informasi kepada media massa, serta pelaksanaan pemantauan berita cetak dan

elektronik.

Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan urusan protokol,

keamanan dan rumah tangga Menteri, pelayanan Staf Ahli, serta urusan

pelayanan administrasi Biro dan Staf Ahli. Adapun fungsi dari Bagian Umum

adalah menyelenggarakan pelayanan keprotokolan Menteri, pengurusan

keamanan dan rumah tangga Menteri, Pelayanan administrasi staf Ahli Menteri

dan pelayanan tata usaha Biro.


62

3.3 Tinjauan Tentang Juru Bicara Departemen Luar Negeri

Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI adalah seseorang yang berbicara

atas nama Menteri Luar Negeri atau Departemen Luar Negeri. Juru Bicara

Departemen Luar Negeri telah ditunjuk oleh pimpinan Departemen (Menteri

Luar Negeri) untuk berbicara kepada publik dan masyarakat luas, yaitu termasuk

baik kepada masyarakat diplomatik maupun masyarakat pers.

Issu mengenai Juru Bicara kembali diangkat ketika diadakan acara

Foreign Policy Breakfast yang pertama, pada tanggal 16 Januari 2002 di Gedung

Pancasila, Departemen Luar Negeri. Pada Foreign Policy Breakfast yang

pertama ini, diundang para tokoh media massa. Beberapa masukan dari diskusi

ini ditindaklanjuti, diantaranya penunjukkan seorang Juru Bicara Departemen

Luar Negeri beserta perangkatnya, penyelenggaraan Press Briefing mingguan

yang dilakukan secara rutin, serta perbaikan pelayanan informasi kepada media

massa.

Juru Bicara merupakan jabatan baru yang dikomplikasikan dengan

Kepala Biro Administrasi Menteri, yang secara resmi dan struktural diangkat

Departemen Luar Negeri pada awal tahun 2002 bersamaan dengan pengangkatan

atau pelantikan sebagian dari pejabat Departemen Luar Negeri lainnya, setelah

diadakannya restrukturisasi pada akhir tahun 2001. Sebelumnya, jabatan atau

minimal sebutan ‘Juru Bicara’ setidaknya pernah dilekatkan kepada diplomat

senior seperti mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Mantan Duta Besar Nana

Sutresna dan Irawan Abidin, namun pengangkatan Juru Bicara secara resmi dan

struktural baru dilakukan sekarang.


63

Memang sebelumnya tidak ada yang secara struktur disebut sebagai Juru

Bicara. Dalam struktur Departemen Luar Negeri yang lama, yang ada adalah

Direktur Penerangan. Yang membedakan diantara kedua tersebut adalah selain

istilahnya lebih tegas sebagai spoksman, yaitu Juru Bicara, juga dalam struktuk

Departemen Luar Negeri yang baru ini Juru Bicara dikombinasikan dengan tugas

Kepala Biro Administrasi Menteri, yang mana Biro Administrasi Menteri ini

juga merupakan struktur baru di Departemen Luar Negeri.

Tujuan utamanya adalah untuk memastikan agar salah satu kendala yang

dihadapi Departemen Luar Negeri di masa lalu, yaitu bahwa Direktur

Penerangan karena secara struktural jauh dari kegiatan Menteri jadi sukar untuk

menterjemahkan dan menyampaikan pandangan-pandangan Departemen Luar

Negeri dengan sebaik mungkin, karena kegiatan Direktorat Penerangan tidak

bisa mengikuti pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan Menteri Luar Negeri

secara dekat.

Jadi dengan adanya struktur yang disatukannya Juru Bicara dengan

jabatan Kepala Biro Administrasi Menteri ini, maksudnya adalah supaya tidak

ada kesenjangan, dan supaya adanya pemahaman yang lebih mendalam dengan

apa yang menjadi perhatian dari Menteri Luar Negeri dan Departemen Luar

Negeri.

Sebelum menetapkan Juru Bicara, Departemen Luar Negeri melakukan

perbandingan terlebih dahulu dengan Departemen Luar Negeri lainnya atau di

negara lain, bagaimana mereka melakukannya dan pengalaman-pengalaman

negara tersebut. Ideal yang bisa dilihat sehari-hari adalah seperti di State
64

Department Amerika Serikat, karena sudah sangat mapan, seperti fungsi Juru

Bicaranya. Dengan melihat perbandingan itu, jelas masih sangat banyak yang

harus dilakukan Departemen Luar Negeri. Tetapi paling tidak Departemen Luar

Negeri sudah memulai pada perbaikan.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, misalnya di ASEAN,

yaitu Kementerian Luar Negeri Singapore dan Thailand, seandainya ada Juru

Bicara tidak dipersonifikasikan. Jadi hanya kantornya yang ada, yaitu kantor

penerangan (Penerangan Departemen Luar Negeri), tetapi tidak ada yang

bertanggungjawab sebagai Juru Bicara.

Setelah berjalan hampir satu tahun, Juru Bicara Departemen Luar Negeri

kini menjadi pintu utama informasi terkini dari Indonesia. Marty Natalegawa,

sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri kini, menjadi orang yang diburu

wartawan tiap kali ada peristiwa tak mengenakkan yang dialami orang atau

warga Indonesia di luar negeri, juga kejadian-kejadian di Indonesia yang

menyangkut dengan hubungan dan politik luar negeri, termasuk terorisme,

terutama mengenai peristiwa Bom Bali.

Untuk Departemen Luar Negeri sendiri, dibentuknya lembaga Juru

Bicara merupakan bagian dari upaya pembenahan diri, baik dari aspek struktural

dan sikap. Mencoba agar psan-pesan dan langkah-langkah, juga kebijakan-

kebijakan Departemen Luar Negeri di upayakan dapat dipahami masyarakat luas.

Pesan tersebut bukan hanya informasi untuk ke luar ke masyarakat, baik

masyarakat nasional maupun internasional, tapi juga masukan dan kritik dari
65

masyarakat. Dengan adanya jabatan Juru Bicara, jika ada kritik pasti akan

diarahkan kepada yang bersangkutan.

3.3.1 Peranan dan Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri

3.3.1.1 Peranan Juru Bicara Departemen Luar Negeri

Seorang Juru Bicara Departemen Luar Negeri harus secara baik

memahami pada umumnya seluruh kegiatan dari Departemen Luar Negeri, baik

yang secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Secara tertulis misalnya, sebagai

Kepala Biro Administrasi, menerima seluruh kawat, facsimile, nota, dan lain

sebagainya yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri dan menyeleksinya untuk

diberikan kepada Menteri Luar Negeri.

Dengan ini, secara tidak langsung Kepala Biro Administrasi Menteri

merangkap sebagai Juru Bicara, mengetahui kegiatan dan masalah apa saja yang

masuk ke dalam Departemen Luar Negeri, begitu pula yang keluar Departemen

Luar Negeri, sehingga memahami arus komunikasi tersebut dan seluruh

permasalahan yang menyangkut Departemen Luar Negeri.

Hal di atas sangat mendukung peranan Juru Bicara, yaitu berbicara atas

nama Menteri Luar Negeri atau Departemen Luar Negeri kepada pers, maupun

masyarakat diplomatik mengenai informasi yang berkaitan dengan Departemen

Luar Negeri, kegiatan-kegiatan Menteri Luar Negeri dan jajaran pejabat

Departemen Luar Negeri dalam hubungannya dengan politik luar negeri dan

hubungan luar negeri. Karena mau tidak mau Juru Bicara akan well informed,
66

atau lebih mempunyai pengetahuan mengenai masalah yang masuk dan keluar

Departemen Luar Negeri.

Untuk yang tidak tertulis, sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri,

harus mengikuti perkembangan atau semua kegiatan Menteri Luar Negeri, baik

dalam menerima tamu, ataupun mendapingi Menteri Luar Negeri ke luar negeri.

Dengan demikian, ungkapan-ungkapan atau pemikiran-pemikiran yang

disuarakan Menteri Luar Negeri dapat terekam dan coba untuk diingat sedapat

mungkin oleh Juru Bicara, guna memberikan jawaban yang tidak terlalu jauh

dengan pandangan Menteri Luar Negeri tersebut, bila ada pertanyaan dari pers

atau pihak dari luar Departemen.

Bila suatu permasalahan kebetulan ditanyakan pada Juru Bicara dahulu,

sebelum kepada Menteri Luar Negeri karena tidak ada di tempat, maka Juru

Bicara harus segera mengkoordinasikan dengan Menteri setelah menjawab

pertanyaan tersebut, guna menghindari jawaban yang terlalu berseberangan. Dan

bila jawaban yang diberikan Juru Bicara kurang tepat, maka dengan cara yang

bijaksana Menteri Luar Negeri dapat dan atau harus melengkapinya,

mengkoreksinya, atau meluruskan permasalahannya.

Pada saat Juru Bicara ke luar negeri mendampingi Menteri Luar Negeri,

masalah yang berkembang di Jakarta (Indonesia) akan disampaikan oleh

karyawan Biro Administrasi Menteri lainnya melalui telepon yang selalu dibawa

Juru Bicara, yang dapat di akses dari Jakarta, agar pengetahuan Juru Bicara tidak

terlalu jauh dari perkembangan dan perhatian yang diminati di Jakarta.


67

Jadi, menjadi Juru Bicara harus tetap mengkoleksi informasi yang ada

hubungannya dengan Pemerintah Indonesia dan hubungannya dengan politik dan

hubungan luar negeri, kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, juga

pandangan-pandangan dan seluruh kegiatan Menteri Luar Negeri, baik bila ia

sedang di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan kata lain Juru Bicara

tidak boleh ketinggalan informasi sekecil apa pun.

Pada intinya, Juru Bicara adalah pembicara tetap pada kegiatan Press

Briefing. Bila Juru Bicara sedang bertugas ke luar negeri, Press Briefing pada

umumnya tidak ada. Karena Juru Bicara berfungsi sebagai penyampai informasi

atau pembicara tetap pada kegiatan Press Briefing. Kecuali sempat dua kali tidak

dilakukan oleh Juru Bicara, yang salah satunya adalah dilakukan oleh Menteri

Luar Negeri, yang pada saat itu mengangkat masalah mengenai money

laundering. Tetapi selain itu tidak pernah diadakan Press Briefing bila bukan

Juru Bicara yang menjadi pembicaranya.

3.3.1.2 Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri

Juru Bicara Departemen Luar Negeri secara umum berfungsi sebagai

penyedia informasi kepada publik dan pers, mengenai issu-issu terkini, dan

kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang politik luar negeri, serta

sekaligus mengemban fungsi kehumasan Departemen. Informasi yang

disampaikan, berupa informasi serta kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang

politik luar negeri yang bersifat umum, faktual, dan tepat serta bukan

diklasifikasi sebagai rahasia negara.


68

Press Briefing adalah kegiatan yang dilaksanakan Departemen Luar

Negeri, dimana Juru Bicara berfungsi sebagai pembicara atas nama Departemen

Luar Negeri. Selain pada kegiatan Press Briefing, Juru Bicara melayani atau

menerima jika ada permintaan wawancara dari stasiun televisi, radio, atau yang

lainnya. Juru Bicara pun mencoba untuk mengadakan pertemuan-pertemuan

informal dengan datang ke kantor-kantor media massa untuk bersilaturahmi.

Fungsi Juru Bicara dalam kegiatan yang rutin adalah pada kegiatan Press

Briefing, yaitu berfungsi sebagai penyedia informasi atas nama Departemen Luar

Negeri, kepada pers mengenai issu-issu terkini yang sedang berkembang serta

proyeksinya ke depan, maupun mengenai kebijakan-kebijakan Pemerintah

Indonesia di bidang politik luar negeri. Kegiatan Press Briefing hanya

berlangsung 1 hingga 1½ jam, di mana Juru Bicara sedapat mungkin tidak terlalu

kaku dan membuka kesempatan untuk adanya pertanyaan-pertanyaan dari pers.

Pada kegiatan Press Briefing tersebut dibagikan ‘lembaran informasi’ kepada

pers yang hadir guna melengkapi informasi pers untuk kemudian dijadikan

berita.

Selain menyampaikan hal-hal atau masalah khusus yang direncanakan

dalam kegiatan Press Briefing mengenai kegiatan-kegiatan Departemen Luar

Negeri, termasuk kegiatan Menteri Luar Negeri dalam hubungannya dengan

politik dan hubungan luar negeri, serta masalah warga Indonesia yang berada di

luar negeri, Juru Bicara juga berfungsi untuk mengklarifikasi masalah-masalah

atau issu-issu yang sedang dihadapi Departemen Luar Negeri. Selain itu, Juru

Bicara pun berfungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pers pada forum


69

tanya jawab, yang selalu dibuka setelah Juru Bicara menyampaikan hal-hal atau

masalah-masalah khusus mengenai Departemen Luar Negeri pada kegiatan

Press Briefing.

Meski dari sisi Departemen Luar Negeri tidak ada hal atau masalah yang

khusus yang harus disampaikan kepada pers dalam kegiatan Press Briefing,

sejauh ini Juru Bicara tetap melangsungkan Press Briefing karena Juru Bicara

ingin adanya interaksi antara pers dengan pihak Departemen Luar Negeri,

terutama Juru Bicara. Walau Juru Bicara pada awalnya mempertimbangkan

apakah tetap akan diadakan Press Briefing bila dari sisi Departemen Luar Negeri

tidak ada hal khusus yang harus disampaikan secara terencana. Tetapi di sisi lain,

jika Juru Bicara tidak mengadakan Press Briefing sama sekali, seandainya ada

sesuatu yang ingin dipertanyakan pers dan tidak tersampaikan, ada kemungkinan

Departemen Luar Negeri akan dianggap tidak transparan. Maka jika tidak ada

hal khusus yang ingin disampaikan Departemen Luar Negeri, Juru Bicara akan

langsung membuka forum tanya jawab.

Karena Juru Bicara berfungsi untuk berbicara atas nama Departemen dan

diberikan wewenang penuh untuk itu, maka Juru Bicara harus benar-benar

sehati-hati mungkin dalam mengungkapkan pendapatnya atau pandangnnya.

Untuk hanya berbicara adalah mudah, tapi jika untuk berbicara dengan

pemahaman bahwa setiap kata dan istilah yang digunakan membawa implikasi

yang bisa berarti, harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan ini dapat

menigkatkan keefektifan dalam dalam penyampaian pesan atau keefektifan

dalam berkomunikasi, terutama pada kegiatan Press Briefing


70

Juru Bicara Departemen Luar Negeri cenderung mengungkapkan ke arah

yang konserfatif, yang sehati-hati mungkin tapi juga di lain pihak selangsung

mungkin dan setransparan mungkin. Bila berbicara dengan sesama diplomat,

maka mudah untuk memahami istilah-istilah yang digunakan, signal-signal atau

arti-arti tertentu. Tetapi bila menggunakan istilah-istilah yang khusus kepada

media, mereka kadang kala belum bisa membedakannya. Jadi, yang menjadi

kepentingan utama Juru Bicara adalah kehati-hatian.

Jadi pada intinya, fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing

adalah untuk menyampaikan informasi mengenai Departemen Luar Negeri, baik

itu kebijakan-kebijakannya, pendapat atau pandangan-pandangannya, kegiatan-

kegiatan baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang, atau

posisi Departemen Luar Negeri dalam suatu masalah yang sedang dihadapi.

Penyampaian informasi tersebut harus disampaikan secara tepat dan up to date,

juga secara jelas menyampaikan peranan Departemen Luar Negeri dan kegiatan-

kegiatannya.

Pada khususnya, jika Departemen Luar Negeri sedang menjadi bahan

berita utama di media massa, maka sangat penting bahwa media massa tersebut

memberitakan kejadian atau gambaran yang tepat atas tujuan dan apa yang

sedang dilakukan Departemen Luar Negeri atau memberitakan kejadian atau

gambaran yang sebenarnya. Ini berarti Juru Bicara tidak hanya harus tanggap

pada permintaan pers mengenai informasi yang menjadi ketertarikan mereka

saja, tetapi juga mnyampaikan seluruh kegiatan Departemen Luar Negeri,

mempromosikan Departemen Luar Negeri sehingga citranya meningkat atau


71

paling tidak mempertahankan citra Departemen Luar Negeri, memanfaatkan

kegiatan Press Briefing untuk mengkoreksi atau mengklarifikasi misinformation

atau informasi yang kurang tepat mengenai Departemen Luar Negeri, dan juga

harus dapat mengarahkan bahwa kegiatan-kegiatan Departemen Luar Negeri

didengarkan dan diakui oleh seluruh pihak, baik di dalam Departemen maupun

di luar Departemen.

3.4 Tinjauan tentang Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

3.4.1 Latar Belakang Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Issu mengenai Press Briefing diangkat pada saat diadakan kegiatan

Foreign Policy Breakfast yang pertama, pada bulan January di Gedung

Pancasila, Departemen Luar Negeri. Pada acara ini, disepakati betapa pentingnya

memperkokoh kemitraan antara diplomasi dan media massa, serta pelayanan

informasi kepada media massa. Maka, dua hingga tiga bulan setelah kesepakatan

pada kegiatan Foreign Policy Breakfast tersebut, diadakan kegiatan Press

Briefing pertama.

Salah satu alasan diadakannya Press Briefing adalah agar meningkatnya

pelayanan informasi kepada media massa, guna menyampaikan posisi

Departemn Luar Negeri dalam menghadapi suatu masalah, menyampaikan

kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, mengklarifikasi suatu issu yang

sedang dihadapi Departemen Luar Negeri, serta menyediakan wadah untuk para

pers bertanya mengenai masalah atau peristiwa yang sedang menjadi perhatian

pers dan masyarakat.


72

Press Briefing merupakan sebuah rangkuman secara lisan, singkat dan

faktual mengenai isu-issu terkini yang diutarakan kepada pers. Press Briefing

Departemen Luar Negeri adalah kegiatan rutin, setiap minggu yang khusus diatur

Departemen Luar Negeri, dengan Juru Bicara sebagai pihak yang ditunjuk

Departemen Luar Negeri, untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri.

Press Briefing berbeda dengan Press Conference, Press Briefing Departemen

Luar Negeri berlangsung singkat antara 1 hingga 1 ½ jam, dan tidak bersifat

wawancara khusus, serta bukan atas permintaan tertentu, karena Press Briefing

merupakan kegiatan yang sudah direncanakan dan ditentukan waktunya oleh

Departemen Luar Negeri, tidak seperti Press Conference, yang merupakan

wawancara untuk para wartawan dan telah khusus diatur untuk memberi

penerangan secara umum.

Issu yang dibicarakan dalam kegiatan ini adalah seputar kebijakan

Pemerintah Indonesia di bidang politik luar negeri, dan dilakukan secara rutin

pada hari Jum’at, yang dapat dihadiri baik oleh kalangan pers dalam negeri

maupun pers luar negeri. Pada umumnya Press Briefing difokuskan kepada satu

atau beberapa issu atau peristiwa tertentu, namun tetap membuka kemungkinan

dijawabnya pertanyaan atas issu atau peristiwa yang lain. Dalam hal ini,

persiapan yang dilakukan biasanya menyangkut persiapan atas substansi issu

atau peristiwa yang akan disampaikan, termasuk persiapan-persiapan bahan-

bahan untuk issu atau peristiwa terkini, jika ditanyakan.

Biasanya satu hari sebelum Press Briefing dilaksanakan, pihak

Departemen Luar Negeri, yaitu Direktorat Informasi dan Media selaku pihak
73

yang bekerjasama dengan Biro Administrasi Menteri dalam melaksanakan

kegiatan Press Briefing, menyebarkan undangan pada media massa lewat

facsimile. Istilahnya Direktorat Informasi dan Media adalah hadrware dari Press

Briefing, dimana mereka membantu menyediakan fasilitasnya, persiapan-

persiapan yang dibutuhkan dalam Press Briefing, misalnya tempat atau ruangan

untuk diadakan kegiatan tersebut, serta pelaporan hasilnya yang kemudian

dikirimkan ke perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Untuk persiapan materi

Press Briefing, dilakukan oleh Biro Administrasi Menteri.

Maka, dengan adanya Press Briefing diharapkan pelayanan informasi

kepada pers, penyampaian informasi mengenai masalah atau hal-hal yang

berkaitan dengan politik dan hubungan luar negeri, serta posisi Departemen Luar

Negeri dalam menghadapi suatu masalah, dapat tersalurkan dengan lebih baik,

mudah dan terencana. Ini dapat menandakan bahwa Departemen Luar Negeri

berusaha untuk setransparan mungkin dalam mengungkapkan atau

menyampaikan apa yang telah dan akan dilakukan Departemen Luar Negeri

dalam hubungannya dengan politik dan hubungan luar negeri.

Tetapi Press Briefing ini diadakan bukan hanya untuk memenuhi atau

melaksanakan strategi komunikasi medern atau tidak hanya dalam bidang

teknologi informasi saja, dimana hal tersebut tetap merupakan prioritas utama

bagi Departemen Luar Negeri, tetapi juga meningkatkan hubungan baik antara

Departemen Luar Negeri dengan media massa (dalam hal ini press relations).
74

3.4.2 Tujuan, Fungsi, dan Sasaran Kegiatan Press Briefing Departemen

Luar Negeri

3.4.2.1 Tujuan Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Press Briefing Departemen Luar Negeri adalah kegiatan rutin, lisan,

singkat, dan faktual yang diadakan Departemen Luar Negeri dengan

mengundang para wartawan, baik wartawan lokal maupun wartawan asing,

baik dari madia massa cetak maupun dari media massa elektronik. Masalah

atau issu-issu yang disampaikan Juru Bicara dalam kegiatan ini adalah

mengenai seputar kebijakan Pemerintah Indonesia, Departemen Luar

Negeri di bidang politik dan hubungan luar negeri.

Masalah-masalah dalam negeri dan luar negeri dapat diumpamakan

sebagai dua sisi yang berbeda pada satu koin, karena mereka saling berhubungan

dan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sehingga dalam hubungan

internasional, diketahui bahwa masalah luar negeri tidak dapat terlepas dari

masalah dalam negeri, juga sebaliknya, masalah dalam negeri tidak bisa terlepas

dari masalah luar negeri. Dengan terjadinya perubahan-perubahan mendasar di

dunia internasional dan di dalam negeri, perlu dibangun pemahaman baru dunia

tentang Indonesia dan, sebaliknya perlu dibangun pemahaman baru Indonesia

tentang dunia. Dalam hal ini, tujuan diadakannya Press Briefing adalah agar

dapat dibangun pemahaman dunia tentang Indonesia dan pemahaman Indonesia

tentang dunia yang lebih baik.

Dengan diadakannya Press Briefing secara rutin, hasil yang diharapkan

adalah bahwa informasi yang telah diberikan kepada wartawan nasional dan
75

wartawan internasional adalah informasi yang faktual dan tepat, sehingga pada

gilirannya akan mengakibatkan penulisan atau peliputan yang faktual dan tepat

pula. Press Briefing juga bertujuan agar adanya interaksi dan hubungan yang

baik antar pihak Departemen Luar Negeri dengan pihak luar, dalam hal ini media

massa, baik media massa asing maupun media massa lokal, selain memperbaiki

pelayanan informasi kepada media massa dari pihak Departemen Luar Negeri.

Tetapi di lain pihak Juru Bicara tidak mau menampilkan sosok yang

memaksakan pandangan kepada media massa atau memberi kesan bahwa Juru

Bicara atau pihak Departemen Luar Negeri serba tahu dan serba benar. Dimana

pada akhirnya seolah-olah Juru Bicara hanya memaksakan pandangan

Pemerintah, padahal hal tersebut tidak sejalan dengan misi Departemen Luar

Negeri. Melainkan tujuan sebenarnya adalah memberikan pemahaman mengenai

Indonesia yang seutuh dan selengkap mungkin. Jadi, Departemen Luar Negeri

tidak berusaha memiliki monopoli atas kebenaran, melainkan menyampaikan

pandangan Pemerintah mengenai masalah politik dan hubungan luar negeri

kepada para wartawan, setelah sebelumnya mereka telah mendengar pandangan

dari para pengamat, yang seharusnya pada akhirnya pers tersebut menarik

kesimpulan sendiri atas pandangan-pandangan tersebut.

Jadi, tujuan dari Press Briefing pada intinya ada dua. Yang pertama

adalah yang bersifat keluar, yaitu meyebarkan atau menyampaikan informasi

kepada media massa. Hal ini bertujuan guna memberi pemahaman yang lebih

baik kepada media massa apa yang menjadi pandangan dan kebijakan

Departemen Luar Negeri dan kebijakan Pemerintah. Tujuan yang kedua adalah
76

dari sudut perspektif Departemen Luar Negeri, yaitu untuk memperoleh

informasi mengenai apa yang menjadi perhatian media massa, guna dijadikan

introspeksi bagi Departemen Luar Negeri. Press Briefing ini pun bermanfaat

untuk dijadikan rujukan oleh perwakilan RI di luar negeri bila ada wartawan

yang bertanya mengenai posisi Indonesia tentang berbagai hal yang belum tentu

diberikan di media massa, dimana perwakilan RI di luar negeri mendapakan

rangkuman tersebut dari Direktorat Informasi dan Media mengenai hasil Press

Briefing.

3.4.2.2 Fungsi Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Press Briefing merupakan wadah pertemuan antara Departemen Luar

Negeri dengan pers, dengan tujuan intinya adalah menyampaikan pandangan-

pandangan Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Indonesia, juga kegiatan-

kegiatan Departemen Luar Negeri yang bersifat long-term. Press Briefing

berfungsi sebagai dorongan agar adanya hubungan baik antar Departemen Luar

Negeri dengan pihak luar, yaitu media massa, yang juga menyatakan bahwa

Departemen Luar Negeri transparan dalam membuka fakta mengenai masalah-

masalah yang sedang dihadapi mengenai politik dan hubungan luar negeri.

Dengan adanya Press Briefing, maka salah satu dampak positifnya adalah bahwa

masyarakat mengetahui pandangan-pandangan Departemen Luar Negeri dan

kegiatan-kegiatan Departemen Luar Negeri dalam masalah memperbaiki

hubungan dan politik luar negeri dan posisi Departemen Luar Negeri dalam
77

suatu masalah tertentu, juga usaha-usahanya membantu warga negara Indonesia

yang berada di luar negeri dalam menghadapi masalahnya.

Press Briefing juga berfungsi untuk para perwakilan Indonesia di luar

negeri, dimana hasil dari Press Briefing tersebut dijadikan rujukan untuk mereka

mengenai posisi-posisi Indonesia sebagai apa dalam masalah tertentu, selain

untuk pers, untuk dijadikan liputan esok harinya. Seperti yang pernah terjadi,

Juru Bicara tidak bisa mengadakan Press Briefing karena suatu hal. Dampak dari

hal tersebut adalah Juru Bicara mendapatkan banyak telepon dan e-mail dari

banyak perwakilan RI di luar negeri yang menanyakan kenapa tidak adanya

Press Briefing. Jadi, Press Briefing tidak hanya bermanfaat untuk media massa,

tapi bermanfaat juga untuk perwakilan RI di luar negeri guna mengetahui

mengenai masalah tertentu dan posisi Indonesia dalam masalah tersebut.

Hal tersebut sangat berguna terutama pada saat menghadapi masalah bom

Bali beberapa bulan yang lalu. Tidak mungkin Juru Bicara tidak mengadakan

Press Briefing, karena banyak sekali pers yang ingin mengetahui mengenai

masalah tersebut, dimana posisi Indonesia, dan langkah-langkah apa saja yang

sedang dilakukan Indonesia dalam menghadapi hal tersebut, juga bagaimana

posisi Indonesia dalam politik dan hubungan luar negerinya, terutama dengan

negara-negara yang warga negaranya banyak menjadi korban serta dampaknya

pada warga Indonesia yang berada di luar negeri. Selain Departemen Luar

Negeri sendiri mempunyai tugas menyampaikan beberapa masalah mengenai

bom Bali kepada pers, baik pers nasional maupun pers internasional, yang

kemudian dijadikan liputan untuk diketahui masyarakat luas. Bahkan setelah


78

terjadinya bom Bali, Departemen Luar Negeri langsung mengadakan Press

Conference hari berikutnya, dimana Menteri Luar Negeri yang turun langsung

menjadi pembicaranya, dan pada minggu yang sama telah diadakan beberapa

Press Briefing tambahan (selain Press Briefing regular yang diadakan setiap hari

Jum’at).

Bila Juru Bicara ingin mengklarifikasi suatu masalah atau issu-issu

tertentu mengenai Departemen Luar Negeri yang tidak sama atau kurang sesuai

dengan kenyataannya, maka Juru Bicara dapat memanfaatkan Press Briefing

untuk mengklarifikasi masalah tersebut. Karena seperti yang kita ketahui, bahasa

diplomatik dapat berarti banyak, dan tidak menutup kemungkinan pers yang

meliput salah mengartikan kata-kata tertentu karena kadang pers belum bisa

membedakannya. Hal tersebut bisa menjadi fatal dampaknya bila tidak di tindak

lanjuti, maka Juru Bicara harus mengklarifikasi masalah tersebut sesegera

mungkin, guna menghindari dari kesalah pahaman yang lebih besar. Misalnya

bila Juru Bicara mengatakan “Indonesia deplores pada suatu perkembangan”,

yang kemudian diartikan sebagai “Indonesia mengecam…”, dimana sebenarnya

‘mengecam’ dalam bahasa Inggrisnya adalah condemn. Padahal dalam bahasa

diplomasinya antara deplore dan condemn ada gradasinya, dimana deplore lebih

rendah dari pada condemn. Kadang kala ada nuansa-nuansa tertentu yang Juru

Bicara gunakan, tetapi pada pelaporannya diabaikan karena dianggap tidak

penting oleh pers, di mana pada akhirnya bisa timbul masalah karena Juru Bicara

dianggap tidak hati-hati dan tidak menggambarkan posisi Departemen Luar

Negeri atau posisi Pemerintah setepat mungkin. Jadi pada akhirnya, Juru Bicara
79

harus sehati-hati mungkin dalam berbicara, selain adanya Press Briefing yang

berfungsi juga bagi Juru Bicara untuk mengklarifikasi bila ada suatu masalah.

3.4.2.3 Sasaran Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Dalam kegiatan Press Briefing, Departemen Luar Negeri berusaha

mengundang seluruh jenis media massa, baik media massa elektronik, yaitu

radio, televisi, media massa cetak, yaitu majalah, surat kabar, juga perusahaan

dot com, dan lain sebagainya. Departemen Luar Negeri selain mengundang

media massa nasional, juga media massa internasional yang berada di Indonesia.

Bahkan Juru Bicara mempersilahkan diplomat-diplomat asing untuk datang atau

menghadiri Press Briefing bila mereka memerlukan suatu informasi mengenai

Departemen Luar Negeri.

Sehari sebelum kegiatan Press Briefing diadakan, yaitu pada hari Kamis

siang, salah satu Direktorat Departemen Luar Negeri, yaitu Direktorat Informasi

dan Media menyebarkan undangan Press Briefing pada pers, yang berisikan

tempat dan waktu pelaksanaan Press Briefing.

Tetapi pada kenyataannya, Press Briefing hanya diminati dan didatangi

pada umumnya oleh wartawan nasional. Sementara wartawan asing hanya

kadang-kadang saja datangnya, tidak rutin dan tidak sesering wartawan lokal.

Wartawan asing biasanya hanya datang bila ada big event saja. Misalnya setelah

terjadinya tragedi bom Bali, para wartawan asing sering dan banyak yang datang

pada kegiatan Press Briefing untuk menanyakan hal-hal atau masalah yang

bersangkutan dengan bom Bali dan pandangan-pandang, juga posisi Departemen


80

Luar Negeri dalam masalah tersebut. Press Briefing kurang dimanfaatkan oleh

wartawan asing, dimana dalam mencari informasi yang mereka butuhkan,

biasanya mereka lakukan melalui wawancara langsung dengan Juru Bicara

melalui telepon.

Juru Bicara sedang mencari jalan bagaimana untuk menjangkau

wartawan asing untuk lebih terpanggil untuk datang pada kegiatan Press

Briefing, dengan cara yang memang efektif tanpa menimbulkan kesan bahwa

Departemen Luar Negeri diskriminatif. Bahwa seolah-olah ada suatu forum

untuk wartawan asing dan ada suatu forum lainnya untuk wartawan lokal.

3.4.3 Waktu dan Tempat Kegiatan Press Briefing Departemen Luar

Negeri

3.4.3.1 Waktu Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Kegiatan Press Briefing biasanya dilaksanakan setiap minggu, pada hari

Jum’at. Pada awalnya Press Briefing dilaksanakan pada siang hari, dan

menghabiskan waktu kurang lebih 1 hingga 1 ½ jam, yaitu mulai pukul 14.00

hingga jam 15.30.

Tetapi bulan-bulan terakhir pada tahun 2002, mulai bulan September,

Press Briefing dilaksanakan di pagi hari, yaitu pada pukul 10.00 pagi hingga

11.30. hal demikian dilakukan karena pertama, dari sisi eksternal ada beberapa

wartawan yang mempunyai deadline untuk menyelesaikan laporannya pada

siang hari, dan itu tidak mungkin untuknya mengikuti Press Briefing dan

menyelesaikannya atau mengumpulkannya di sore hari. Hal yang kedua adalah


81

dari sisi internal, yaitu penyelenggara Press Briefing, termasuk Juru Bicara, ingin

menyelesaikan tugasnya lebih awal. Lalu, alasan Press Briefing diadakan pada

hari Jum’at adalah ikhtisar dari satu minggu yang telah dijalani para pekerja

kantor dan dipenuhi oleh tugas dan peristiwa yang bermacam-macam.

Pada kenyataannya, waktu kegiatan Press Briefing agak terlambat dari

yang telah dijadwalkan. Hal tersebut dikarenakan pertama adalah, adanya

misunderstanding, bahwa Juru Bicara dan wartawan saling menunggu. Juru

Bicara menunggu agar pers yang datang sudah banyak sebelum ia memulai

Press Briefing tersebut. Karena Juru Bicara tidak menginginkan pers yang

datang terlambat tidak mendapatkan informasi yang ingin mereka liput juga

tidak sempat menanyakan hal-hal yang menjadi perhatian mereka. Tetapi di sisi

lain, pers pun menunggu kehadiran Juru Bicara datang terlebih dahulu agar

mereka tidak menyia-nyiakan waktu mereka, yang pada kenyataannya dapat

digunakan untuk meliput masalah lain yang menjadi perhatian pers tersebut.

3.4.3.2 Tempat Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri

Kegiatan Press Briefing merupakan kegiatan yang diselenggarakan

Departemen Luar Negeri dan juga diadakan di kantor Departemen Luar Negeri.

Press Briefing tersebut pada awalnya dilaksanakan di Gedung Palapah lantai

pertama atau lantai dasar, di mana pada ruangan tersebut berfasilitas air

conditioner, kursi beserta mejanya untuk wartawan gunakan selama kegiatan

Press Briefing tersebut berlangsung, juga microphone dan speaker sebagai alat

bantu dalam berkomunikasi dengan Juru Bicara.


82

Tetapi sejak bulan Desember, ruangan yang digunakan untuk kegiatan

Press Briefing berpindah tempat pada ruangan di lantai tiga, dengan gedung

yang sama. Hal ini disebabkan ruangan di lantai tiga lebih memadai dan bersifat

lebih mendekatkan Juru Bicara dengan pers, dimana tidak ada jarak antara posisi

Juru Bicara dengan pers karena posisi meja dan kursi membentuk suatu persegi

panjang yang menyatu, dengan difasilitaskan satu micriphone yang bersatu

dengan speakernya pada setiap meja yang tersedia.


83

BAB IV
ANALISIS DATA

Untuk mengetahui bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar

Negeri dalam menghadapi masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing,

penulis melakukan penelitian melalui observasi langsung ke lokasi penelitian,

yaitu Departemen Luar Negeri yang berlokasi di Jl.Pejambon no.6, Jakarta Pusat.

Penulis pun melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan

menyebarkan angket (kuesioner) yang meliputi data responden serta data

penelitian. Untuk mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan,

disamping menggunakan teknik pengumpulan data dari buku-buku serta

referensi yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang diteliti.

Pada bab ini, terdapat perolehan data hasil penelitian berikut

pengolahannya atau analisisnya. Jawaban-jawaban yang ada pada kuesioner

diberikan kode, lalu langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut

sehingga memudahkan untuk dipahami.

Penyebaran kuesioner dilaksanakan pada minggu ke dua dan minggu ke

tiga pada bulan Desember 2002, kuesioner dibagikan pada sampel penelitian atau

responden yang diperoleh berdasarkan teknik simple random sampling,

banyaknya sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 19 orang responden

yang merupakan pers, baik yang berasal dari media massa lokal maupun media

massa asing yang datang pada kegiatan Press Briefing pada bulan Oktober
84

hingga Desember 2002, yang diadakan Departemen Luar Negeri di Ruang

Palapah lantai 1 dan 3 Departemen Luar Negeri.

Pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner atau angket merupakan

pertanyaan yang bersifat tertutup, yakni pertanyaan yang jawabannya sudah

ditentukan terlebih dahulu sehingga responden tidak diberikan kesempatan untuk

memberikan jawaban alternatif.

Perolehan data dari hasil penyebaran angket ini diharapkan dapat

memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti. Adapun hasil

tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

4.1 Analisis Data Responden

Analisis Data Responden meliputi Jenis Agama, Jenis Media, Asal

Media, Jenis Media Pemberitaan, Frekuensi Terbit Media, Frekuensi Mengikuti

Kegiatan Press Briefing, serta Lamanya Bekerja.

4.1.1 Jenis Agama

Tabel 1 menunjukkan jumlah jenis agama responden Islam, Katholik,

Protestan, Budha, Hindu. Jumlah responden beragama Islam lebih banyak dari

pada jumlah responden yang beragama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu,

yakni sebanyak 15 orang responden atau sebesar 79%, lalu responden yang

beragama Protestan berjumlah 3 orang responden atau sebesar 16%, dan yang

beragama Katolik hanya sebanyak 1 orang atau sebesar 5%. Sedangkan tidak ada

responden yang beragama Budha, Hindu, dan lain-lain, jadi dalam penelitian ini

mayoritas responden berasal dari agama Islam.


85

Tabel 1
Jenis Agama

No Pernyataan f %
1 Islam 15 79
2 Katolik 1 5
3 Protestan 3 16
4 Budha - -
5 Hindu - -
6 Lain-lain - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Dalam Buku Pintar menunjukkan bahwa mayoritas “masyarakat

Indonesia beragama Islam, yaitu sebesar 83,5%, yang kedua adalah yang

beragama Protestan, yaitu sebesar 7,9%, sedangkan yang beragama Katolik yaitu

sebesar 4,3%, yang beragama Hindu sebesar 3%, dan yang beragama Budha

sebesar 1,3%” (2002 : 480). Dilihat dari data di atas tersebut, dapat dikatakan

bahwasannya banyaknya resoponden yang beragama Islam adalah karena

masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Artinya, perbandingan pers

yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha selalu berada pada

kisaran persentase di atas. Pada Departemen Luar Negeri tidak ada aturan secara

legalitas formal mengenai persyaratan jenis agama pers yang datang pada

kegiatan Press Briefing.

4.1.2 Jenis Media

Tabel di bawah menunjukkan data jenis media responden bekerja. Dari

19 orang responden yang telah ditetapkan, jenis media massa surat kabar

merupakan jenis media massa yang terbesar di mana responden bekerja yaitu
86

sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26%, sedangkan lain-lain atau jenis

media yang tidak tercantum pada angket adalah sebanyak 4 orang responden atau

sebesar 21%, yang bekerja pada majalah sebanyak 3 orang responden atau

sebesar 16%, begitu pula yang bekerja pada radio sebanyak 16%, responden

yang bekerja pada televisi pun sebanyak 16%, dan yang berasal dari perusahaan

dot com sebanyak1 orang responden atau sebesar 5%.

Tabel 2
Jenis Media

No Pernyataan f %
1 Televisi 3 16
2 Radio 3 16
3 Perusahaan Dot Com 1 5
4 Majalah 3 16
5 Surat Kabar 5 26
6 Lain-Lain 4 21
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Untuk melaksanakan kegiatan hubungan pers yang baik, dalam hal ini

Press Briefing, Juru Bicara memerlukan pengetahuan yang memadai tentang

pers. Hal tersebut diungkapkan oleh Frank Jeffkins yang dikutip oleh Aceng

Abdullah, bahwa pokok-pokok penting yang harus diketahui itu adalah :

Kebijaksanaan keredaksian;
Frekuensi penerbitan;
Tenggat terbit;
Proses produksi;
Daerah sirkulasi;
Khalayak pembaca;
Metode distribusi (2001 : 19).

Berdasarkan hal-hal di atas dapat memudahkan atau membantu Juru

Bicara dalam menyampaikan informasi secara efektif, karena setiap media massa
87

memiliki sikap yang berbeda dalam melihat suatu permasalahan, sehingga antara

media yang satu dengan yang lain pasti memiliki sikap yang berbeda. Juga

dengan mengetahui asal media massa pers bekerja, maka Juru Bicara dapat

menggambarkan ketepatan waktu diadakannya kegiatan Press Briefing, guna

membantu pers dalam menghadapi deadline-nya. Sebab sebuah Press Briefing

akan sia-sia bila tidak bisa di muat atau disiarkan karena terganjal oleh deadline

pers tersebut, padahal informasi yang disampaikan merupakan berita yang

cukup penting dan menarik. Dengan ini dapat pula mempengaruhi frekuensi pers

yang mengikuti kegiatan tersebut karena waktunya kurang sesuai.

Dapat dikatakan tidak mengherankan bahwa responden yang bekerja

pada surat kabar lebih banyak dibanding dengan media massa lainnya, karena

“sejak reformasi, telah terdapat 1.500 media cetak (data Juli 1999) di Indonesia

dan sekitar 70% dari media cetak tersebut terbit di Jakarta” (Abdullah, 2001:10).

Data tabel di atas pun dapat menunjukkan bahwa Juru Bicara telah

bekerjasama dengan berbagai jenis media massa, dengan itu Juru Bicara telah

berusaha untuk menyampaikan informasi yang telah disusun sebelumnya kepada

seluruh jenis masyarakat yang luas melalui berbagai media massa yang hadir

pada kegiatan Press Briefing.

4.1.3 Asal Media

Berdasarkan tabel 3, sebagian besar responden bekerja pada media massa

yang berasal dari dalam negeri yaitu berjumlah 14 orang responden atau sebesar

74%, dan responden yang berasal dari media massa luar negeri adalah sebanyak

5 orang responden atau sebesar 26%.


88

Penulis ingin mengetahui apakah banyak atau ada responden yang berasal

dari media massa luar negeri, karena Departemen Luar Negeri tidak hanya

mengundang media massa lokal saja akan tetapi juga media massa asing. Ini

dikarenakan selain terdapat beberapa perwakilan media massa asing di

Indonesia, juga karena Departemen Luar Negeri merupakan departemen yang

bergelut pada bidang hubungan dan politik luar negeri.

Tabel 3
Asal Media

No Pernyataan f %
1 Dalam Negeri 14 74
2 Luar Negeri 5 26
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Dengan adanya data ini, maka penulis dapat mengetahui bahwa ada 5

orang responden atau sebesar 26% media responden berasal dari luar negeri.

Lebih banyaknya media responden lokal yang hadir pada kegiatan Press Briefing

dapat diakibatkan karena kurangnya melakukan pendekatan dalam mengundang

media massa tersebut. Tetapi pada kenyataannya tidak ada satu media massa pun

yang dianakemaskan sehingga pendekatan dalam mengundang media massa oleh

Departemen Luar Negeri sama saja. “Salah satu hal-hal yang perlu dipahami

narasumber dalam menjalani hubungan dengan pers bahwa wartawan tidak

menyukai jika ada media tertentu yang dianakemaskan” (Abdullah, 2001 : 101).

Pada wawancara penulis dengan Juru Bicara bulan Desember, Juru

Bicara menyatakan bahwa pada awalnya tidak ada perbedaan asal media massa

yang diundang karena semua media massa yang bersangkutan dengan politik dan
89

hubungan luar negeri dan beberapa jenis media massa lainnya diundang dengan

cara, hari dan undangan yang sama. Tetapi pada kenyataannya media massa

lokallah yang lebih berminat atau sering datang pada kegiatan Press Briefing.

Sebenarnya Juru Bicara pun belum mengetahui penyebab dari masalah tersebut

dan pada tahun ini Juru Bicara akan mulai melakukan pendekatan lagi dengan

media massa, tanpa meninggalkan juga media massa lokalnya.

“Kita tidak membedakan antara pers luar dan dalam. Tapi kenyataannya
dalam pemanfaatannya, saya mensinyalir yang luar tidak datang sesering
yang saya kira. Saya tidak tahu mengapa. Mereka biasanya berinteraksi
dengan saya secara langsung, tapi tidak di forum Press Briefing. Bahkan
di forum Press Briefing sudah saya sampaikan bahwa bukan saja
wartawan asing, tetapi diplomat-diplomat asing di Jakarta juga saya
persilahkan datang jika mau. Wartawan asing kadang-kadang datang
kalau ada big event saja. Sementara mereka tidak merasa terpanggil untuk
diatur dalam suatu skenario gitu. Jadi for this coming year, saya ingin
mencoba bagaimana untuk menjangkau wartawan asing ini dengan cara
yang memang efektif tanpa menimbulkan kesan kita diskriminatif. Yang
menjadi kepedulian saya, saya tidak mau seolah ada forum buat
wartawan asing dan satu forum buat wartawan lokal. Nanti ada yang
mengira ada favoritism” (Wawancara dengan Juru Bicara, 31 Desember
2002).

4.1.4 Jenis Media Pemberitaan

Tabel 4 menunjukkan jenis media pemberitaan asal responden bekerja, di

mana 11 orang responden atau sebesar 58% menyatakan bekerja pada media

berita umum, 4 orang responden atau sebesar 21% menyatakan lain-lain karena

tidak terdaftar pada angket tersebut, sebanyak 2 orang responden atau sebesar

11% menyatakan berasal dari media berita ekonomi, sedangkan yang

menyatakan berasal dari media berita hukum sebanyak 1 orang responden atau
90

sebesar 5%, begitu pula yang menyatakan berasal dari media massa politik

sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.

Di satu sisi, media massa yang ada di Indonesia lebih banyak berjenis

umum, yaitu tidak hanya menggeluti pada satu bidang saja melainkan lebih dari

satu bidang. Tetapi di sisi lain, melihat data di atas dapat mendukung bahwa

terjadinya tragedi bom Bali tidak hanya diminati oleh media berita politik atau

hukum saja, tetapi juga oleh media berita lainnya, karena hal tersebut tidak

hanya berpengaruh pada politik Indonesia dan hubungan luar negeri, akan tetapi

juga membawa dampak pada bidang lainnya yaitu ekonomi, pariwisata,

keamanan, sosial, dan sebagainya.

Tabel 4
Jenis Media Pemberitaan

No Pernyataan f %
1 Media Berita Umum 11 58
2 Media Berita Ekonomi 2 11
3 Media Berita Hukum 1 5
4 Media Berita Politik 1 5
5 Lain-Lain 4 21
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Selain itu, secara naluri, masyarakat ingin mengetahui segala sesuatu

yang baru atau yang dianggap baru atau asing baginya, dimana hal tersebut

menarik perhatiannya. Dengan itu individu mencari tahu tidak terbatas dari

individu lainnya, juga melalui media massa dan dengan cara-cara yang

bermacam-macam ragam dan bentuknya. Seperti yang diungkapkan oleh

H.A.W.Widjaja bahwa : “Hal yang baru tersebut di samping menarik perhatian


91

orang, juga mendorong orang untuk ingin lebih tahu lagi. Keinginan ini bukan

saja yang ada sangkut pautnya dengan bidangnya, tetapi juga mereka yang

merasakan akibat atau manfaat dari hal yang baru tersebut” (2000 : 8).

4.1.5 Frekuensi Terbit Media

Tabel 5 menunjukkan frekuensi terbit media responden bekerja. Dapat

dilihat bahwa 11 orang responden atau sebesar 59% menyatakan bahwa

frekuensi terbitnya media mereka adalah harian, 5 orang responden atau sebesar

26% menyatakan lain-lain karena tidak tercantum frekuensi terbit medianya,

sedangkan yang berfrekuensi dua mingguan sebanyak 2 orang responden atau

sebesar 10%, dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5 % menyatakan bahwa

media massa mereka terbit secara mingguan.

Tabel 5
Frekuensi Terbit Media

No Pernyataan f %
1 Harian 11 59
2 Mingguan 1 5
3 Dua Mingguan 2 10
4 Bulanan - -
5 Lain-Lain 5 26
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Tabel di atas berhubungan dengan jenis media responden bekerja pada

tabel 2, yaitu menunjukkan frekuensi terbit suatu media massa. Dengan

mengetahui frekuensi penerbitan suatu media massa, dapat membantu Juru

Bicara sebagai pelaksana Press Briefing dalam menetapkan waktu diadakannya


92

Press Briefing guna memungkinkan hadirnya sebanyak mungkin pers agar

informasi yang disampaikan pada kegiatan Press Briefing tersebut bisa

memperoleh publikasi yang maksimal.

Banyaknya pers yang datang pada kegiatan Press Briefing berasal dari

media massa yang mempunyai frekuensi terbit harian karena 26% media massa

responden berjenis surat kabar, radio 16% dan televisi 16%, di mana dari data

mereka terdapat jawaban bahwa media massa mereka merupakan media massa

dengan penerbitan harian. Selain itu mereka mempunyai deadline untuk

mendapatkan berita yang dapat diterbitkan pada hari berikutnya bahkan disiarkan

pada sore harinya. Maka dalam hal ini Juru Bicara cukup berhasil menetapkan

waktu kegiatan Press Briefing karena dapat membantu pers untuk mendapatkan

berita, dalam hal ini take and give, dan Juru Bicara telah dibantu oleh pers untuk

mempublikasikan informasi atau berita yang diinginkannya. Di lain sisi, penulis

ingin mengetahui dan memperjelas frekuensi penerbitan media massa sampel

pada penelitian ini yang dijadikan responden.

4.1.6 Frekuensi Mengikuti Kegiatan Press Briefing

Tabel 6
Frekuensi Mengikuti Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 1 Kali 1 5
2 2 Kali 4 21
3 3 Kali 4 21
4 4 Kali 10 53
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
93

Tabel 6 menunjukkan frekuensi responden mengikuti kegiatan Press

Briefing dalam satu bulan. Berdasarkan pada data tabel di atas, dari 19

responden, 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa mereka

mengikuti kegiatan Press Briefing sebanyak 4 kali dalam satu bulan, yang

menyatakan 3 kali mengikuti Press Briefing adalah sebanyak 4 orang responden

atau sebesar 21%, begitu pula yang menyatakan mengikuti Press Briefing

sebanyak 2 kali dalam satu bulan adalah sebanyak 4 orang responden atau

sebesar 21%, dan responden yang menyatakan 1 kali mengikuti kegiatan Press

Briefing dalam satu bulan hanya sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.

Hal ini menandakan bahwa Press Briefing dengan tema terorisme atau

dalam membahas mengenai terorisme khususnya mengenai tragedi bom Bali

pada tanggal 12 Oktober 2002, diminati dan menarik perhatian sebagian besar

pers pada media massa di Indonesia. Hal tersebut dapat dikarenakan bahwa

tragedi tersebut termasuk salah satu masalah yang besar yang dihadapi Indonesia

yang sampai saat ini dikatakan bahwa tragedi tersebut berhubungan dengan

jaringan teroris internasional Al Qaeda. Masalah ini pun berhubungan dengan

citra Indonesia di mata dunia, dan masalah politik juga hubungan luar negeri,

serta dapat memberikan dampak pada bidang lainnya terutama parawisata.

Seperti yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm bahwa : “Timbulnya perhatian,

yang berarti bahwa komunikan dalam benak atau tingkah lakunya mencari

keterangan tentang pesan yang diterimanya atu karena menarik” (Sastropoetra,

1988 : 209).
94

Dalam kegiatan ini selain Juru Bicara menyampaikan informasi yang

telah disusun dan direncanakan sebelumnya mengenai terorisme, pers pun

diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan mengenai hal yang menarik

perhatian mereka. Dengan ini pers dapat mengetahui apa sebenarnya inti

permasalahan dari masalah yang mereka tanyakan. Selain itu, adanya forum

tanya jawab juga dapat menarik perhatian pers untuk datang pada kegiatan yang

dimaksud karena dengan itu pers mendapatkan jawaban atas apa yang menjadi

perhatian mereka.

4.1.7 Lama Bekerja

Tabel 7
Lama Bekerja

No Pernyataan f %
1 Kurang Dari 1 Tahun - -
2 1-2 Tahun 8 42
3 2-3 Tahun 6 32
4 3-4 Tahun 2 10
5 Lebih Dari 4 Tahun 3 16
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Tabel 7 di atas menunjukkan lamanya responden bekerja, yang

menyatakan telah bekerja antara satu hingga dua tahun sebanyak 8 orang

responden atau sebesar 42%, yang telah bekerja antara dua hingga tiga tahun

sebanyak 6 orang responden atau sebesar 32%, sedangkan yang menyatakan

telah bekerja lebih dari empat tahun sebanyak 3 orang responden atau sebesar
95

16%, dan sisanya menyatakan telah bekerja antara dua hingga tiga tahun yaitu

sebanyak 2 orang responden atau sebesar 10%.

Wartawan yang diterima Departemen Luar Negeri pada kegiatan Press

Briefing tidak dilihat dari pengalaman kerja atau lamanya mereka bekerja pada

media massa mereka. Selain itu dalam penempatan pencarian berita, bidang dan

sumber informasi biasanya tergantung dari kebijakan redaksi atau pimpinan

masing-masing media massa. Biasanya lamanya responden bekerja sebagai

wartawan berpengaruh pada cara berfikir atau bertindak, semakin lamanya

seseorang menekuni profesinya, maka orang tersebut dapat berpengalaman dan

lamanya seseorang berprofesi dalam bidangnya akan mempengaruhi

kepercayaan pimpinan lembaga media di mana seseorang bekerja. Tetapi bukan

berarti bahwa wartawan yang pengalaman kerjanya lebih sedikit tidak mampu

membidangi pekerjaannya.

4.2 Analisis Data Penelitian

Data penelitian meliputi penyampaian informasi yang berisikan hal-hal

umum, kejelasan dan kegamblangan pesan, kejelasan bahasa, kepositifan

informasi, keseimbangan informasi, dan kesesuaian informasi yang disampaikan

Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing mengenai teoroisme, kemudian

penyampaian klarifikasi dalam upaya penjernihan, penjelasan, pengembalian

pesan pada apa yang sebenarnya mengenai terorisme yang disampaikan Juru

Bicara pada kegiatan Press Briefing, dan pemberian jawaban, pemenuhan


96

jawaban, dan ketanggapan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers mengenai

terorisme pada kegiatan Press Briefing.

4.2.1 Pesan Berisikan Hal-hal Umum

4.2.1.1 Pengertian Terhadap Informasi Secara Umum

Pada tabel 8 menunjukkan bahwa 13 orang responden atau sebanyak 68%

mengerti atas informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme

dalam kegiatan Press Briefing secara umum, 3 orang responden atau sebanyak

16% mengatakan bahwa mereka sangat mengerti atas informasi yang

disampaikan Juru Bicara secara umum, dan 3 orang responden lainnya atau

sebanyak 16% menyatakan cukup mengerti. Dalam hal ini, tidak ada satu pun

responden yang menjawab kurang mengerti dan tidak mengerti.

Tabel 8
Pengertian Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing Secara Umum

No Pernyataan f %
1 Sangat Dimengerti 3 16
2 Dimengerti 13 68
3 Cukup Dimengerti 3 16
4 Kurang Dimengerti - -
5 Tidak Dimengerti - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Pada tabel 8 menujukkan bahwa 13 orang responden atau sebanyak 68%

mengerti atas informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme

dalam kegiatan Press Briefing secara umum, 3 orang responden atau sebanyak

16% mengatakan bahwa mereka sangat mengerti atas informasi yang


97

disampaikan Juru Bicara secara umum, dan 3 orang responden lainnya atau

sebanyak 16% menyatakan cukup mengerti. Dalam hal ini, tidak ada satu pun

responden yang menjawab kurang mengerti dan tidak mengerti.

Dalam penyampaian informasi, pemakaian kata merupakan unsur yang

sangat penting karena mengarahkan pada pengartian yang mempengaruhi

jalannya suatu komunikasi. Dalam penyampaian pesan-pesan atau informasi

mengenai terorisme oleh Juru Bicara kepada pers jelas menggunakan kata-kata.

Miskomunikasi dalam suatu komunikasi dapat terjadi akibat

penyampaian kata-kata yang rancu serta tidak akurat. Hal tersebut hanya akan

membuat komunikasi tidak berjalan dengan semestinya. Apabila kesalahan

tersebut dibiarkan terjadi maka, Juru Bicara akan dianggap tidak memiliki

kredibilitas sebagai komunikator atau dalam hal ini menyampaikan beritanya.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa 68% mengatakan mengerti atas

informasi yang disampaikan Juru Bicara, 16% mengatakan sangat mengerti, dan

16% lagi mengatakan cukup mengerti. Maka, dapat disimpulkan bahwa Juru

Bicara telah berhasil dalam menyampaikan informasinya mengenai terorisme

pada kegiatan Press Briefing karena sebagian besar dari responden menyatakan

mengerti atas apa yang Juru Bicara sampaikan. Hal ini pun dapat dilihat dari

tabel di atas bahwa tidak ada satu pun responden yang menyatakan kurang

mengerti dan tidak mengerti atas apa yang disampaikan Juru Bicara pada

kegiatan Press Briefing.

Salah satu kerangka rujukan yang dapat digunakan untuk menilai bahwa

suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik (ada kesesuaian pemahaman)


98

adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku

komunikasi tersebut. Jadi, penilaian bahwa informasi yang disampaikan Juru

Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing adalah baik, disebabkan

oleh pers yang menilai memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik. Dalam

hal ini sebagai komunikate pada kegiatan Press Briefing, yang memungkinkan

mereka untuk mengerti dengan mudah mengenai arti dari setiap pesan yang

disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme. Hal tersebut juga disebabkan oleh

keahlian Juru Bicara dalam memilih kata-kata dan berhati-hati dalam

mengungkapkan suatu pandangan, kebijakan, dan informasi mengenai terorisme

pada kegiatan tersebut.

4.2.1.2 Pemenuhan Keingintahuan Masyarakat Secara Umum

Tabel 9
Pemenuhan Keingintahuan Masyarakat Terhadap Informasi Yang
Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing Secara Umum

No Pernyataan f %
1 Sangat Memenuhi - -
2 Memenuhi 6 32
3 Cukup Memenuhi 12 63
4 Kurang Memenuhi 1 5
5 Tidak Memenuhi - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Pada tabel 9 menunjukkan pendapat pers mengenai pemenuhan

keingintahuan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing secara umum. Responden yang

menyatakan cukup memenuhi berjumlah 12 orang responden atau sebesar 63%,


99

yang menyatakan memenuhi berjumlah 6 orang responden atau sebanyak 32%,

sedangkan yang menyatakan kurang memenuhi berjumlah 1 orang responden

atau sebesar 5 %.

Ketepatan pemakaian istilah memang sangat tergantung dari kecakapan

atau kejelian komunikator, dalam arti hal ini harus ditunjang dengan wawasan

komunikator akan bahasa serta keahlian dalam menerjemahkan makna kata ke

dalam bahasa dan istilah yang jelas dan mudah dipahami. Karena tidak jarang

terjadi adanya kata-kata yang merupakan istilah-istilah yang sulit dipahami oleh

komunikate. Jika hal ini sering kali terjadi maka akan timbul kerancuan makna di

mana persepsi komunikate akan berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh

komunikator.

Dalam menggunakan istilah, komunikator dalam hal ini Juru Bicara harus

memperhatikan tingkat intelektual komunikatenya. Ada kalanya komunikate

dengan tingkat intelektual yang tinggi akan meremehkan istilah-istilah yang

sudah terlalu umum. Sebaliknya, bagi komunikate yang tingkat intelektualnya

rendah, cenderung akan melewatkan atau mengabaikan begitu saja berita-berita

dan istilah-istilah yang dianggap rumit atau yang terlalu banyak menggunakan

istilah yang tidak dimengerti.

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa Juru Bicara telah cukup

berhasil dalam mengolah informasi, sehingga dapat memenuhi keingintahuan

masyarakat terhadap informasi mengenai terorisme tersebut. “Seorang

komunikator dapat menyusun dan mengolahnya sebagai suatu bentuk yang


100

paling penting bagi komunikan, sehingga dapat dirasakan dalam pengambilan

keputusan” (David, 1974 : 24).

Sedangkan pesan yang mengena harus memenuhi syarat:

Pesan harus direncanakan (dipersiapkan secara baik sesuai dengan


kebutuhan).
Pesan itu dapat menggunakan bahasa yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak, komunikator dan komunikan.
Pesan itu harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta
menimbulkan kepuasan.
(Widjaja, 2000 : 101).

Masih adanya pendapat bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

pada kegiatan Press Briefing kurang memenuhi keingintahuan masyarakat

adalah bahwa setiap orang mempunyai keinginan, maksud, tujuan dan

kepentingan masing-masing yang berbeda. Maka tidak diherankan bahwa masih

adanya resoponden yang menyatakan kurang memenuhi. Tetapi sebagian besar

menyatakan bahwa informasi tersebut sudah cukup memenuhi, sehingga dapat

disimpulkan bahwa Juru Bicara telah cukup berhasil dalam mengolah informasi

yang dimaksud.

Sedangkan Widjaja dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”

berpendapat bahwa pesan yang ingin disampaikan sedapat mungkin disesuaikan

dengan keinginan komunikate. Karena komunikate selalu mempunyai keinginan-

keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu. “Orang-orang yang menjadi

sasaran atau komunikan dari komunikasi yang kita lancarkan selalu mempunyai

keinginan-keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini

komunikator dapat menyesuaikan dengan keadaan, waktu dan tempat (ketupat)”

(2000 : 34).
101

4.2.2 Kejelasan dan Keterbukaan Pesan

4.2.2.1 Kejelasan Informasi

Tabel 10 di bawah menunjukkan kejelasan terhadap imformasi yang

disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme pada keiatan Press Briefing.

Sebanyak 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa informasi

yang disampaikan Juru Bicara jelas, 7 orang responden atau sebesar 37%

menyatakan cukup jelas, sedangkan 2 orang responden atau sebesar 10%

mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara tersebut sangat

jelas, dan tidak ada yang menyatakan kurang jelas maupun tidak jelas.

Tabel 10
Kejelasan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 2 10
2 Jelas 10 53
3 Cukup Jelas 7 37
4 Kurang Jelas - -
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Kejelasan penyampaian informasi tidak hanya ditentukan oleh bahasa,

kata-kata, dan istilah-istilah yang digunakan Juru Bicara pada kegiatan tersebut,

akan tetapi juga ditentukan oleh alat-alat pembantu dalam melakukan

komunikasi. Hal yang dimaksud adalah microphone, speaker, overhead

projector, dan sebagainya. Hal tersebut penting guna memperjelas dalam

penyampaian informasi yang telah direncanakan, sehingga Frank Jeffkins

memasukkan hal-hal tersebut dalam aspek-aspek yang harus dipersiapkan dalam


102

pelaksanaan acara pers yang baik demi terciptanya hubungan pers yang baik

pula, dalam hal ini kegiatan Press Briefing.

“Persiapan waktu dan peralatan bicara dengan seksama, mulai dari VCR,
perangkat TV, overhead projector, layar peraga, sampel, foto-foto, panel-
panel, dan sebagainya” (Jeffkins, 1996 : 121).

Dengan melihat tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara

telah berhasil dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing

dengan jelas, yang dikarenakan telah berhati-hati dalam memilih kata-kata dan

istilah-istilah dalam bahasa yang jelas sehingga dapat dimengerti pers, yang juga

dibantu oleh alat komunikasi yang berupa speaker, microphone, dan sebagainya.

Hal tersebut telah memberi nilai plus terhadap fungsi Juru Bicara, karena

kejelasan informasi yang disampaikan dapat mengarahkan pada pengertian dan

persepsi pers yang sama dengan Juru Bicara terhadap informasi yang dimaksud

tersebut.

4.2.2.2 Kejelasan Lembaran Informasi

Tabel 11
Kejelasan Terhadap Lembaran Informasi Yang Disebarkan Juru
Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas - -
2 Jelas 5 26
3 Cukup Jelas 9 48
4 Kurang Jelas 4 21
5 Tidak Jelas 1 5
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 9 orang

responden atau sebesar 48% menyatakan bahwa lembaran informasi yang


103

disebarkan Juru Bicara kepada pers mengenai terorisme pada kegiatan Press

Briefing cukup jelas, sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26% menyatakan

jelas, sebanyak 4 orang responden atau sebesar 21% menyatakan kurang jelas,

dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5% berpendapat bahwa lembaran

informasi yang disebarkan Juru Bicara pada kegiatan Press Briefing tidak jelas.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa lembaran informasi yang disebarkan

pada kegiatan Press Briefing cukup jelas, akan tetapi masih ada responden yang

menyatakan bahwa lembaran informasi tersebut kurang jelas, yaitu sebesar 21%

dan 5% menyatakan tidak jelasnya lembaran informasi yang dimaksud. Ini dapat

diakibatkan belum maksimalnya Juru Bicara dalam mengemas isi lembaran

informasi yang dimaksud. Maka, Juru Bicara harus lebih meningkatkan isi dari

lembaran informasi tersebut, baik dalam ketepatan kata-kata dan istilah-istilah

yang digunakan, materi atau berita yang disampaikan, keaktualisasian berita

tersebut, sifat informasi tersebut (objektif atau tidak, menarik atau tidak, dan

sebaginya), juga frekuensi disebarkannya informasi tersebut.

Penyediaan lembaran informasi pada kegiatan Press Briefing untuk

diberikan pada pers merupakan pra kegiatan dari Press Briefing, guna

menambahkan kelengkapan data yang akurat dari materi yang disampaikan pada

kegiatan Press Briefing. “Pihak penyelenggara jumpa pers ini harus

menyediakan bahan tertulis sehingga kalangan pers memiliki data yang akurat

dari materi yang dijumpaperskan” (Abdullah, 2001:86).

Sedangkan Winarko berpendapat bahwa : “Bahasa tulis dianggap lebih


penting di bandingkan dengan bahasa lisan karena lebih sistematis, dapat
dibaca oleh orang lain tanpa harus kehilangan maksud yang berarti”
(Winarko, 2000 : 19). Selain itu menurut Gunadi YS, mengatakan bahwa:
104

“Salah satu fungsi dari media komunikasi adalah untuk mengefektifkan


proses penyebaran pesan, mempermudah penyebaran informasi serta
mempertegas dan memperjelas isi berita yang abstrak sifatnya” (Gunadi,
1998 : 49).

Dengan ini jika lembaran informasi tersebut tidak jelas menurut pers,

maka lembaran informasi tersebut tidak efektif karena tidak membantu

mempermudah penyebaran informasi yang dilakukan Juru Bicara pada Press

Briefing. Tetapi, dalam hal ini karena 48% responden menyatakan lembaran

informasi tersebut cukup jelas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya

penyebaran informasi mengenai terorisme yang dilakukan Juru Bicara pada

kegiatan Press Briefing cukup membantu dan mengefektifkan penyebaran pesan

mengenai terorisme karena dapat mempertegas dan memperjelas isi berita

tersebut.

Untuk mengefektifkan dan meningkatkan kejelasan pesan maka Juru

Bicara harus memperhatikan segala aspek persiapan serta pelaksanaannya.

“Sediakanlah informasi pers yang memadai, namun jangan timbuni para


tamu dengan aneka rupa materi yang kelewat banyak, apalagi yang tidak
relevan. Meskipun terkesan sepele, tapi dalam kenyataannya penyediaan
informasi atau bahan-bahan bagi pers ini seringkali kacau balau. Map
berisikan informasi penting seringkali tercampur denga hal-hal yang
tidak relevan seperti foto pembicara, jurnal internal, daftar harga, dan
laporan penjualan. Apa yang mereka butuhkan adalah tulisan singkat
danfoto-foto menarik yang bisa mereka kantungi dengan mudah”
(Jeffkins, 1996 : 121).

4.2.2.3 Keterbukaan Informasi

Tabel 12 memperlihatkan bahwa sebanyak 6 orang responden atau

sebesar 32% berpendapat bahwa informasi mengenai terorisme pada kegiatan

Press Briefing disampaikan secara terbuka, terdapat 6 orang responden atau


105

sebesar 32% juga menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

kurang terbuka, kemudian 5 orang responden lainnya atau sebesar 26%

mengatakan terbuka, dan 2 orang responden lagi atau sebanyak 10% menyatakan

sangat terbuka terhadap informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai

terorisme.

Tabel 12
Keterbukaan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pertanyaan f %
1 Sangat Terbuka 2 10
2 Terbuka 6 32
3 Cukup Terbuka 5 26
4 Kurang Terbuka 6 32
5 Tertutup - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Keterbukaan di sini mencakup keterbukaan, pembeberan informasi secara

jujur dan apa adanya. Keterbukaan tersebut merupakan langkah strategis dan

praktis yang dilakukan oleh Juru Bicara, dengan harapan seluruh pers yang

merupakan audience pada kegiatan Press Briefing menjadi mengerti, mengetahui

dan paham akan arah langkah, keputusan, tujuan, dan jelas atas informasi yang

disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme tersebut.

Juru Bicara berupaya dan mencoba untuk menginformasikan apa adanya

mengenai terorisme dan perkembangannya, agar tidak ada prasangka buruk dari

pers terhadap Departemen Luar Negeri. Dengan keterbukaan ini pers jadi

mengerti serta memahami akan segala hal dan perkembangan mengenai

terorisme. Setidaknya, dengan kondisi yang serba terbuka ini seluruh pers
106

mengetahui akan niat baik Departemen Luar Negeri dalam upaya memberantas

terorisme dan mendukung atas tindakan Pemerintah dalam rangka mencari atau

menangkap teroris-teroris yang ada di Indonesia.

Tetapi pada tabel di atas menunjukkan bahwa keterbukaan dan kurang

terbukanya informasi yang disampaikan Juru Bicara berjumlah 6 orang

responden masing-masing. Padahal keterbukaan pesan juga diperlukan karena

pesan yang disampaikan bisa menyimpang dari yang dimaksud.

Ketidakterbukaan pesan bisa berasal dari pengetahuan pers yang sangat tinggi

mengenai masalah yang diangkat Juru Biara, dimana pers mengetahuinya dari

sumber lain, misalnya. Dan dengan ketidaksesuaian informasi yang diberikan

Juru Bicara mengenai masalah tersebut, maka mengakibatkan informasi tersebut

menjadi samar-samar, tidak jelas keasliannya dan membuat pers bingung. Hal

tersebut juga dapat terjadi bila pers mengetahui masalah tersebut lebih banyak

dari pada Juru Bicara sendiri, sehingga pada saat pers mengajukan pertanyaan,

Juru Bicara belum mengetahui jawaban atau permasalahannya sehingga tidak

dapat menjawabnya dengan pasti. Atau dapat pula terjadi karena pers bertanya

mengenai masalah atau hal yang seharusnya ditanyakan pada pihak lain, dengan

kata lain pers bertanya pada pihak atau sumber yang salah.

“Pesan harus jelas dan gamblang, tidak samar. Jika mengambil


perumpamaan hendaklah perumpamaan yang senyata mungkin, untuk
tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita maksudkan.” (Widjaja dan
Hawab, 1987 : 62).
107

4.2.3 Kejelasan Bahasa

4.2.3.1 Kejelasan Bahasa

Tabel 13 di bawah memperlihatkan bawha 9 orang responden atau

sebesar 48% berpendapat bahwa bahasa yang digunakan Juru Bicara dalam

menyampaikan informasi mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing jelas,

6 orang responden atau sebesar 32% menyatakan cukup jelas, sedangkan yang

menjawab sangat jelas sebanyak 2 orang responden atau sebesar 10%, dan yang

menjawab kurang jelas terhadap bahasa yang digunakan Juru Bicara dalam

menyampaikan informasi mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing sama

besar jumlahnya seperti yang menjawab sangat jelas yaitu sebanyak 2 orang

responden atau sebesar 10%.

Tabel 13
Kejelasan Terhadap Bahasa Yang Digunakan Juru Bicara Dalam
Penyampaian Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 2 10
2 Jelas 9 48
3 Cukup Jelas 6 32
4 Kurang Jelas 2 10
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Kejelasan dan kesamaan persepsi antara komunikator dengan komunikate

sangat mempengaruhi proses komunikasi dan tujuan yang ingin dicapai. Problem

komunikasi menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam. Seringkali yang

dialami dalam komunikasi lain dari yang diharapkan, lain pula yang kita peroleh.
108

Dalam hal ini 10% responden menyatakan kurang jelas disebabkan adanya

hambatan-hambatan, antara lain adalah hambatan bahasa, yakni pesan yang

disalahartikan sehingga tidak mencapai tujuan.

“Pesan yang disalahartikan sehingga tidak mencapai apa yang


diinginkan, jika bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan,
termasuk dalam hal ini penggunaan istilah-istilah yang mungkin dapat
diartikan berbeda” (Widjaja, 2000 : 101-102).

Maka dengan kata lain keefetifan komunikasi dipengaruhi oleh

persamaan komunikator dan komunikate dalam mengartikan bahasa yang

digunakan. Dalam hal ini Juru Bicara berhasil menyampaikan informasi

mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing, melalui bahasa yang

digunakan Juru Bicara dan tidak ada responden yang menyatakan tidak jelas atas

penggunaan bahasa Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing.

Pendapat lain dari Widjaja adalah bahwa : “Pengalaman membuktikan


bahwa komunikator yang menyampaikan dengan cara dan gaya bahasa
yang baik adalah sangat penting dan bermanfaat. Hal ini akan
memperlancar proses komunikasi dan akan mencapai komunikasi yang
harmonis” (2000 : 57). Selain itu Widjaja dan Hawab mengatakan bahwa:
“Komunikator juga harus menguasai bahasa dengan baik. Bahasa ini
adalah bahasa yang digunakan dan dapat dipahami oleh komunikan,
terlebih lagi dapat pula menguasai istilah-istilah umum yang digunakan
oleh lingkungan tersebut. Penguasaan bahasa akan sangat membantu
menjelaskan pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada audience itu,
tanpa penguasaan bahasa secara baik dapat menimbulkan ketidak
percayaan terhadap komunikator” (Widjaja dan Hawab, 1987 : 61).

4.2.3.2 Kejelasan Istilah-istilah

Berdasarkan table 14 dapat dilihat bahwa sebanyak 10 orang responden

atau sebesar 53% menyatakan bahwa istilah-istilah yang digunakan Juru Bicara

dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme dalam kegiatan Press


109

Briefing jelas, 8 orang responden atau sebanyak 42% menyatakan bahwa istilah

yang digunakan cukup jelas, 1 orang responden atau sebesar 5% menyatakan

sangat jelas, dan tidak ada responden yang menyatakan bahwa istilah-istilah

yang digunakan Juru Bicara mengenai terorisme kurang jelas dan tidak jelas.

Tabel 14
Kejelasan Terhadap Istilah-Istilah Yang Digunakan Juru Bicara
Dalam Penyampaian Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan
Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 1 5
2 Jelas 10 53
3 Cukup Jelas 8 42
4 Kurang Jelas - -
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Kondisi di atas menujukkan bahwa Juru Bicara telah memilih istilah-

istilah yang tepat dan jelas dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme

sehingga 53% dari responden menyatakan bahwa istilah-istilah yang digunakan

Juru Bicara jelas. Ini dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara berhasil dalam

menyampaikan informasi mengenai terorisme melalui istilah-istilah yang dipilih

dan digunakannya. Ini dilakukan karena Juru Bicara sangat berhati-hati dalam

menggunakan dan memilih istilah-istilah tersebut, karena bila salah

menggunakannya dan komunikate salah mengartikannya dapat mengakibatkan

dampak yang negatif karena masalah yang disampaikan berhubungan dengan

politik dan hubungan luar negeri.

“Tapi yang menjadi kepentingan utama saya itu kehati-hatian. Karena


untuk bicara adalah mudah. Tapi kalau kita ingin bicara dengan
110

pemahaman bahwa setiap kata yang kita gunakan, setiap istilah yang kita
gunakan itu membawa implikasi yang bisa berarti, harus dengan kehati-
hatian” (Wawancara dengan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31
Oktober 2002).

Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja bahwa bila istilah-istilah yang

digunakan komunikator diartikan berbeda dengan komunikate, maka

komunikator akan sulit bahkan tidak bisa mencapai apa yang diinginkannya atau

tujuannya.

“Pesan yang disalahartikan sehingga tidak mencapai apa yang diinginkan,


jika bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan, termasuk
dalam hal ini penggunaan istilah-istilah yang mungkin dapat diartikan
berbeda” (Widjaja, 2000 : 101-102). Selain itu Widjaja dan Hawab
mengatakan bahwa : “Sejauh mungkin hindarilah menggunakan istilah-
istilah yang tidak dipahami oleh audience. Gunakanlah bahasa yang jelas
yang cocok dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana
berkomunikasi. Hati-hati pula dengan istilah atau kata-kata yang berasal
dari bahasa daerah atau bahasa asing yang dapat ditafsirkan lain. Sejauh
mungkin dipergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar” (Widjaja
dan Hawab, 1987 : 62).

4.2.4 Pesan Berbentuk Positif

4.2.4.1 Sifat Informasi

Tabel 15 memperlihatkan sifat informasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing. 8 orang responden atau

sebesar 42% menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing bersifat positif, 6 orang

responden atau sebanyak 32% menyatakan cukup positif terhadap informasi

yang disampaikan Juru Bicara, 4 orang responden atau sebesar 21% berpendapat

kurang positif dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5% menyatakan sangat

positif.
111

Informasi yang positif dalam hal ini adalah bentuk atau sifat dari

informasi tersebut sehingga dengan mendengarkan atau mendapatkan informasi

tersebut dapat menyenangkan komunikate, dalam hal ini pers. Contoh pesan

positif yang berupa ungkapan atau pendapat terhadap kejadian pemboman di

Bali yang disampaikan dalam Press Briefing mengenai terorisme dapat berupa

pernyataan seperti, bahwa : “Departemen Luar Negeri mengutuk orang yang

melakukan pemboman di Bali”. Dengan ini dapat dilihat bahwa Departemen

Luar Negeri peduli akan tragedi tersebut dan tidak mendukung terjadinya hal

tersebut. Hal demikian bisa mendapatkan simpati dan nilai plus dari pers.

Tabel 15
Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Positif 1 5
2 Positif 8 42
3 Cukup Positif 6 32
4 Kurang Positif 4 21
5 Negatif - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
112

Dilihat dari tabel di atas masih ada 4 orang responden atau sebesar 21%

mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara kurang

positif. Hal ini dapat dikarenakan adanya informasi yang menyatakan

banyaknya jumlah korban yang jatuh atas terjadinya peledakan bom di

Bali tersebut, baik yang berwarga negara Indonesia maupun berwarga

negara asing. Jadi, kekurang positifan informasi yang disampaikan Juru

Bicara mengenai terorisme tidak mengherankan. Tetapi secara

keseluruhan, informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai

terorisme bersifat atau berbentuk positif.

“Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-hal
yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar
diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara mengemukakan pesan
itu diupayakan agar akan lebih mendapatkan simpati” (Widjaja dan
Hawab, 1987:62).

Tetapi apa pun bentuk atau sifatnya informasi tersebut, harus tetap

disampaikan Juru Bicara pada pers karena pers dan masyarakat berhak

mengetahui hal yang sebenarnya, kecuali yang bersifat rahasia negara.

4.2.4.2 Sifat Kebijakan Departemen Luar Negeri

Tabel di bawah menunjukkan bahwa 9 orang responden atau sebesar 48%

menyatakan bahwa kebijakan Departemen Luar Negeri dalam menanggapi

masalah terorisme bersifat positif, 5 orang responden atau sebesar 26%

menyatakan bahwa kebijakan tersebut cukup positif, begitu pula yang

menyatakan kurang positif sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26%.

Terorisme sangat tidak disukai banyak orang, terutama oleh masyarakat

Indonesia setelah terjadinya pemboman di Bali. Departemen Luar Negeri sebagai


113

departemen yang menangani masalah politik dan hubungan luar negeri, di

harapkan mempunyai misi dan tindakan positif atau kebijakan-kebijakan dalam

menghadapi masalah tersebut, berhubung pemboman tersebut dikaitkan dengan

jaringan teroris internasional. Bila dilihat dari tabel di atas maka kebijakan

Departemen Luar Negeri yang ditetapkan dapat dikatakan positif, meskipun

masih ada beberapa responden yang menyatakan cukup positif dan kurang positif

sebesar 5 orang responden.

Tabel 16
Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Kebijakan
Departemen Luar Negeri Dalam Menanggapi Masalah Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Positif - -
2 Positif 9 48
3 Cukup Positif 5 26
4 Kurang Positif 5 26
5 Negatif - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Pernyataan bahwa kebijakan tersebut positif karena Departemen Luar

Negeri tidak menyukai kekerasan dan menginginkan secepat mungkin

terungkapnya pelaku bom Bali tersebut, juga berusaha sebisa mungkin

membantu pemerintah dalam menangani masalah tersebut, sesuai bidangnya.

Sehingga Departemen Luar Negeri setanggap mungkin dan secepat mungkin

mengeluarkan atau menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu mengenai masalah

yang dimaksud sebagai wujud bahwa Departemen Luar Negeri peduli, dan

disampaikan melalui kegiatan Press Briefing pada pers. Salah satu contoh kecil
114

dari tindakan tersebut adalah mengirim Juru Bicara Departemen Luar Negeri

sebagai wakil dari Departemen Luar Negeri ke Bali setelah kejadian pemboman

tersebut.

“Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-hal
yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar
diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara mengemukakan pesan
itu diupayakan agar akan lebih mendapatkan simpati” (Widjaja dan
Hawab, 1987:62).

4.2.5 Keseimbangan Pesan

4.2.5.1 Kenetralan Informasi

Tabel 17
Kenetralan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Netral 1 5
2 Netral 6 32
3 Cukup Netral 11 58
4 Kurang Netral - -
5 Memihak 1 5
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 11 orang responden atau

sebesar 58% berpendapat bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing bersifat cukup netral,

sedangkan responden yang berpendapat netral sebanyak 6 orang responden atau

sebesar 32%, dan yang berpendapat bahwa informasi tersebut sangat netral

sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5 %, begitu pun yang berpendapat

memihak adalah 1 orang responden atau sebesar 5%.


115

Keterbukaan dan penyampaian informasi yang akurat merupakan langkah

yang praktis dan tepat dilakukan Juru Bicara untuk menyampaikan informasi

mengenai terorisme yang berkualitas. Tetapi bila penyampaian informasi

menggambarkan pertentangan yang terlalu mencolok dan berbeda dari dua kutub

yang berbeda, maka informasi tersebut tidak akan disukai oleh komunikate atau

pendengarnya. Juru Bicara seharusnya menjadi pihak dan atau berada pada pihak

yang netral bila ia berbicara atas nama lembaga, karena ia membawa nama baik

lembaga tersebut. Sebaiknya sikap memihaknya tidak dikeluarkan pada saat ia

berbicara di depan pers, karena akan menurunkan kredibilitasnya sebagai Juru

Bicara.

“Pesan yang disampaikan hendaklah tidak ekstrem dan tidak terlalu


menentang (mempertentangkan dua kutub yang berbeda) yaitu baik dan
buruk, karena hal ini cenderung ditolak atau tidak diterima oleh
komunikan. Sebab itu, jika kita berbicara seolah-olah kelompok satu
paling benar, paling sempurna, dan paling bersih sedangkan kelompok
lain sebaliknya, pesan ini berkecenderungan untuk tidak diterima oleh
komunikan. Sebaliknya pesan itu dirumuskan seimbang, yaitu dengan
mengemukakan kelemahan yang ada, disamping menonjolkan
keberhasilan yang telah dicapai” (Widjaja, 2001:34).

Pada kenyataannya, seperti yang bisa dilihat pada tabel di atas, Juru

Bicara berbicara cukup netral dan netral pada saat menyampaikan informasi

mengenai terorisme. Karena Juru Bicara dapat merumuskan informasi atau pesan

yang akan disampaikan secara seimbang, sehingga ada responden yang

menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara sangat netral. Tetapi

pada tabel tersebut dapat juga dilihat bahwa ada 1 orang responden atau sebesar

5% yang menyatakan informasi yang dimaksud memihak. Hal tersebut dapat

disebabkan karena Juru Bicara merupakan wakil dan pihak yang diberi
116

wewenang langsung untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri, di

mana ia pun harus berusaha mempertahankan, juga meningkatkan citra

Departemen Luar Negeri yang positif. Di lain pihak, alasan lainnya adalah

karena Juru Bicara pun masih merupakan manusia biasa meskipun ia mempunyai

kredibilitas yang tinggi, di mana ia tidak bisa menjaga keseimbangan atau

kenetralan sebuah pesan 100%. Karena ia pun bisa saja terlarut pada

pembicaraannya sehingga tidak atau kurang dapat mengkontrol ucapan-

ucapannya tersebut dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press

Briefing.

Ivy Ledbetter Lee, dalam bukunya yang berjudul “Declaration of


Principles” terbitan tahun 1906 menyatakan bahwa : “semua jenis materi
pers harus bebas dari nilai-nilai dan kepentingan sepihak. Kriteria
kejujuran dan kenetralan itu juga harus dipegang teguh oleh kalangan
praktisi humas. Setiap pesan atau berita yang mereka sampaikan kepada
masayarakat mlalui pers haruslah sesuai dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Baik atau buruknya humas diukur berdasarkan kejujuran
dan sikap netralnya” (Jeffkins, 1996 : 99).

Dengan demikian, maka baik buruknya Juru Bicara pun diukur

berdasarkan kejujuran dan sikap netralnya karena peranan Juru Bicara

merupakan salah satu dari peranan humas. Oleh karena itu kriteria kejujuran dan

kenetralan harus dipegang teguh oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri.

4.2.5.2 Sifat Informasi

Pada tabel 18 menunjukkan objektivitas informasi yang disampaikan Juru

Bicara mengenai terorisme. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 8 orang

responden atau sebanyak 42% mengatakan bahwa informasi yang disampaikan

Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing bersifat objektif, 8
117

orang responden atau sebesar 42% mengatakan cukup objektif, dan 3 orang

responden lagi atau sebesar 16% mengatakan kurang objektif. Sedangkan tidak

ada responden yang menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

yang dimaksud bersifat sangat objektif dan tidak objektif.

Salah satu unsur dari kualitas berita atau informasi adalah objektivitas

informasi atau berita tersebut. Objektivitas di sini berarti penyampaian informasi,

dalam hal ini mengenai terorisme, harus bersih dari prasangka Juru Bicara dan

informasi yang disampaikan apa adanya.

Tabel 18
Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Objektif - -
2 Objektif 8 42
3 Cukup Objektif 8 42
4 Kurang Objektif 3 16
5 Tidak Objektif - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Untuk jawaban objektif dan cukup objektif yang diberikan responden

merupakan nilai plus bagi Juru Bicara sebagai pihak dan wakil Departemen Luar

Negeri dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing terutama

mengenai terorisme. Karena keobjektivitasan dalam penyampaian informasi

tersebut diakui pers, dimana dapat mempengaruhi khalayak medianya juga, dan

ini perlu ditingkatkan lagi agar semakin baik tanggapan yang diberikan pers,

juga menghilangkan tanggapan pers yang menyatakan kurang objektif. Meskipun


118

itu hanya 16% tetapi sangat berarti bagi penilaian mereka terhadap fungsi Juru

Bicara dan kredibilitasnya.

Seperti yang dikatakan di atas bahwa masih ada 16% atau sebanyak 3

orang responden yang menyatakan behwa informasi yang disampaikan Juru

Bicara bersifat kurang objektif. Ini berarti bahwa informasi yang disampaikan

Juru Bicara masih ada yang bersifat objektif, di mana hal ini menunjukkan masih

adanya keberpihakan Juru Bicara terhadap objek pemberitaan atau informasi

yang disampaikan di mata pers. Walaupun persentasenya kecil, hal ini tetap

harus menjadi perhatian bagi Juru Bicara.

Kenyataan ini bisa diterima karena objektvitas memang sulit untuk

dilakukan. Walaupun satu kalimat, Juru Bicara bisa saja larut dalam

penyampaian isi informasi tersebut sehingga sadar atau tidak, unsur objektivitas

turut dalam penyampaian informasi tersebut. Oleh sebab itu dengan keadaan Juru

Bicara yang selalu berhati-hati dalam berbicara dan meyampaikan informasi

mengenai terorisme sudah baik, tetapi harus tetap ditingkatkan untuk

mendapatkan hasil dan pandangan atau opini yang lebih baik juga, karena

apapun yang ditulis atau disiarkan pers dalam media massanya merupakan hasil

dari penilaiannya terhadap apa yang disampaikan Juru Bicara sebagai sumber

beritanya.

Dalam buku Media Massa III, beberapa ahli mengatakan: “Objektivitas


sulit untuk diukur serta sulit pula untuk dilihat tolak ukur pencapaiannya.
Walau bagaimanapun para jurnalis tidaklah benar-benar dapat dipisahkan
dari pekerjaannya; disadari atau tidak, emosi dan pendapatnya cenderung
untuk tergantung pada persepsinya terhadap fakta yang mereka lihat.
Terlebih, tidak ada seorang pun jurnalis yang dapat melihat secara
keseluruhan dari sebuah situasi, dan suatu kejadian akan tampak menjadi
makin pelik ditengah pekerjaan yanng rumit. Jurnalis melihat hanya
119

sebagian kecil sebuah susunan fakta” (Heibert, Ungurait, Bohn, 1982 :


421).

4.2.6 Kesesuaian Pesan

4.2.6.1 Kesesuaian Informasi dengan Keinginan Komunikate

Tabel 19 menunjukkan bahwa 10 orang responden atau sebesar 53%

menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme

pada kegiatan Press Briefing cukup sesuai dengan keinginan komunikate, 5

orang responden atau sebesar 26% berpendapan bahwa informasi tersebut kurang

sesuai dengan keinginan komunikate, 3 orang responden atau sebesar 16%

menyatakan sesuai dengan keinginan komunikate, dan 1 orang responden lagi

atau sebesar 5% menyatakan bahwa informasi tersebut sangat sesuai dengan

keinginan komunikate, dan tidak ada seorang responden pun yang menjawab

bahwa informasi yang dimaksud tidak sesuai dengan keinginan pers.

Tabel 19
Kesesuaian Keinginan Komunikate Terhadap Informasi Yang
Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Sesuai 1 5
2 Sesuai 3 16
3 Cukup Sesuai 10 53
4 Kurang Sesuai 5 26
5 Tidak Sesuai - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
120

Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara dalam

mengelola informasi yang disampaikan pada kegiatan Press Briefing mengenai

terorisme telah bertindak dengan cermat dalam memenuhi kebutuhan

respondennya akan informasi tersebut. Sementara itu masalah kecermatan

(accuracy) adalah salah satu faktor yang mendasar bagi keberhasilan suatu

berita. Seperti teori yang dikemukakan oleh Paul De Maeseneer sebagai berikut :

“kecermatan adalah hal yang fundamental bagi suatu pelayanan pemberitaan.

Jika kita tidak dapat berlaku cermat, maka kita akan kehilangan audience dan

kehilangan kredibilitas”.

Sedangkan Widjaja dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”

berpendapat bahwa pesan yang ingin disampaikan sedapat mungkin disesuaikan

dengan keinginan komunikate, agar lebih mudah diterima oleh komunikate.

Karena komunikate selalu mempunyai keinginan-keinginan atau kepentingan-

kepentingan tertentu.

“Orang–orang yang menjadi sasaran/komunikan dari komunikasi yang


kita lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan atau kepentingan-
kepentingan tertentu. Dalam hal ini komunikator dapat menyesuaikan
dengan keadaan, waktu, dan tempat (ketupat)” (2000 : 34).

4.2.6.2 Kepercayaan terhadap Sumber Informasi

Tabel 20
Sumber Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing
121

No Pernyataan f %
1 Sangat Dipercaya 3 16
2 Dipercaya 11 58
3 Cukup Dipercaya 5 26
4 Kurang Dipercaya - -
5 Tidak Dipercaya - -
Jumalah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Tabel 20 menunjukkan kepercayaan pers terhadap Juru Bicara sebagai

sumber informasi atau narasumber Departemen Luar Negeri yang tepat

mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing. Dari 19 responden ternyata

sebayak 11 orang responden atau sebesar 58% menyatakan bahwa sumber

informasi pada kegiatan Press Briefing merupakan sumber informasi yang

dipercaya, 5 orang responden atau sebesar 26% menyatakan bahwa Juru Bicara

merupakan pihak yang sangat dipercaya sebagai sumber informasi pada kegiatan

Press Briefing, dan 3 orang responden lainnya atau sebesar 16% menyatakan

cukup mempercayai Juru Bicara sebagai sumber informasi pada kegiatan Press

Briefing.

Dapat disimpulkan bahwa sumber informasi mengenai terorisme pada

kegiatan Press Briefing, yaitu Juru Bicara merupakan pihak yang dipercaya oleh

pers. Ini dikarenakan bahwa Menteri Luar Negeri sendiri yang telah menunjuk

langsung Kepala Biro Administrasi Menteri sebagai Juru Bicara Deplu, dan ia

diberi wewenang penuh sebagai pihak yang dipercaya Departemen Luar Negeri

untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri. Hal tersebut juga dapat

dikarenakan Juru Bicara dapat meyakinkan pers bahwa apa yang ia sampaikan
122

dalam kegiatan Press Briefing merupakan informasi yang benar, tepat, dan

bukan hasil rekayasa Juru Bicara. Ini dapat dilihat bahwa banyaknya pers yang

mengadakan wawancara langsung, baik pers sendiri yang datang ke Departemen

Luar Negeri, wawancara via telepon, Juru Bicara diundang untuk berdialog pada

suatu stasiun televisi, ataupun Juru Bicara dan pers tersebut bertemu di suatu

tempat untuk melakukan wawancara tersebut.

“Tapi pada intinya Menteri Luar Negeri memberikan ini adalah: you are
speaking on behalf of the Departement. Anda berbicara atas nama
Departemen, yang diberikan wewenang penuh untuk itu” (Wawancara
dengan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31 Desember 2002).

Pentingnya tingkat kepercayaan pada komunikator atau dalam hal ini


adalah Juru Bicara sesuai dengan apa yang diungkapkan Golding
P.Ettema dan Tann dalam “Prinsip-prinsip Selective Attention”
sebagaimana yang dikutip oleh Liliweri yang menyatakan bahwa:
“Tingkat kepercayaan seseorang akan menjadi saringan dalam menerima
pesan-pesan mereka termasuk juga media massa” (Liliwery, 1992 : 24).

4.2.6.3 Ketepatan Waktu Informasi

Tabel 21
Ketetapan Waktu Terhadap Informasi Mengenai Terorisme Dalam
Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Tepat Waktu 1 5
2 Tepat Waktu 6 32
3 Cukup Tepat Waktu 10 53
4 Kurang Tepat Waktu 2 10
5 Tidak Tepat Waktu - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Tabel 21 menunjukkan ketepatan waktu terhadap informasi yang

disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme. Dapat dilihat bahwa 10 orang


123

responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa informasi yang disampaikan

Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing merupakan

informasi yang cukup tepat waktu, 6 orang responden atau sebesar 32%

menyatakan bahwa informasi tersebut tepat waktu, 2 orang responden atau

sebesar 10% mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing merupakan informasi yang

kurang tepat waktu, 1 orang responden lagi atau sebesar 5% menyatakan

informasi tersebut sangat tepat waktu, dan tidak ada responden yang menyatakan

informasi yang dimaksud tidak tepat waktu.

Unsur aktualisasi atau ketepatan waktu informasi atau berita merupakan

salah satu unsur penilaian terhadap kualitas suatu informasi atau berita. Rasa

ingin tahu pers akan masalah yang baru terjadi atau menarik perhatian

merupakan salah satu alasan mengapa pers sering datang pada kegiatan Press

Briefing yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri, juga mengikuti

perkembangan informasi lainnya mengenai terorisme, baik yang dilakukan

melalui wawancara lewat telepon atau langsung berhadapan, dan sebagainya.

Jawaban yang diberikan menunjukkan tingkat aktualisasi yang cukup

tepat waktu, dilihat dari segi informasi yang selalu disampaikan Juru Bicara pada

kegiatan Press Briefing mengenai terorisme dan perkembangan terbaru dari

masalah tersebut. Ini terbukti dari sebesar 53% responden mengatakan cukup

tepat waktu, 32% responden mengatakan tepat waktu, dan 5% dari keseluruhan

responden menyatakan sangat tepat waktu. Meski masih ada beberapa yang

menyatakan kurang tepat waktu yaitu sebesar 10%.


124

Juru Bicara selalu berusaha untuk menyampaikan informasi yang up to

date karena selain informasi tersebut akan dikemas oleh pers menjadi berita yang

kemudian disajikan kepada khalayak medianya, hasil dari kegiatan Press

Briefing pun dikemas oleh Direktorat Informasi dan Media yang bekerjasama

dengan Biro Administrasi Menteri dalam menyelenggarakan kegiatan Press

Briefing, untuk diberikan atau disebarkan kepada perwakilan-perwakilan RI di

negara lain. Hal tersebut biasanya dijadikan rujukan untuk mereka (perwakilan

RI di negara lain), bila ada wartawan asing atau kedutaan asing yang bertanya.

Aktualisasi atau ketepatan waktu informasi adalah relatif sifatnya.

Beberapa ahli mengungkapkan hal yang sama mengenai relativitas aktualisasi

berita, keaktualan merupakan kriteria terpenting dari sebuah berita. Keaktualan

atau ketepatan waktu berita atau informasi yang disampaikan tergantung pada

kebijakan komunikator yang bersangkutan, sehingga apa yang dianggap sudah

tidak aktual lagi bagi pihak lain akan tetapi masih hangat dan masih layak untuk

dijadikan berita bagi Juru Bicara, maka akan tetap disampaikan oleh Juru Bicara.

Salah satu unsur suatu berita atau informasi dikatakan aktual menurut
Charnley (1965 : 24) adalah “Bila berita tersebut memuat berita tentang
peristiwa yang menarik perhatian. Menarik perhatian di sini dapat
diartikan ditemukannya fakta yang baru terhadap suatu peristiwa yang
sudah lalu atau pun memang penyampaian berita tentang peristiwa yang
baru terjadi dan disampaikan semenarik mungkin”.

Akan tetapi, hal tersebut besifat relatif. Menarik atau tidaknya suatu informasi

atau berita itu tergantung dari rasa ingintahu pers terhadap informasi yang

disampaikan Juru Bicara.

Oleh karena itu, sebaiknya Juru Bicara menyampaikan suatu informasi

yang paling aktual dalam kegiatan Press Briefing agar dapat menarik perhatian
125

pers sehingga informasi tersebut dapat dijadikan berita dan dikutip atau disiarkan

pada media massanya. Masih adanya 2 orang responden yang menyatakan bahwa

informasi yang dimaksud kurang efektif dapat dikarenakan pers tersebut telah

mengetahui masalah atau informasi yang disampaikan Juru Bicara dari pihak

atau sumber lain. Dimana sekarang seperti yang kita ketahui sangat mudah untuk

mendapatkan informasi dengan didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin

canggih dan cepat dewasa ini.

4.2.7 Upaya Penjernihan Pesan

4.2.7.1 Penjernihan Klarifikasi

Pada tabel 22, terdapat 9 orang responden yang berpendapat bahwa

klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara terhadap suatu issu atau masalah

mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing cukup menjernihkan, 5 orang

responden atau sebesar 26% berpendapat bahwa klarifikasi tersebut dapat

menjernihkan, dan 5 orang responden lagi menyatakan bahwa klarifikasi tersebut

kurang menjernihkan, sedangkan tidak ada responden yang menyatakan bahwa

klarifikasi yang dimaksud sangat menjernihkan begitu pula tidak menjernihkan.

Tabel 22
Penjernihan Klarifikasi Oleh Juru Bicara Terhadap Issu Atau
Masalah Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
126

No Pernyataan f %
1 Sangat Menjernihkan - -
2 Menjernihkan 5 26
3 Cukup Menjernihkan 9 47
4 Kurang Menjernihkan 5 26
5 Tidak Menjernihkan - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Dengan diadakannya suatu klarifikasi diharapkan dapat menjernihkan

masalah tersebut sehingga dapat kembali pada arti dan masalah yang sebenarnya.

Dalam hal ini klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara cukup menjernihkan

sehingga dapat dikatakan bahwa pers mengetahui masalah yang sebenarnya.

Klarifikasi yang cukup menjernihkan tersebut dilakukan Juru Bicara dengan

menyediakan referensi atau menyampaikan narasumbernya, dilakukan dengan

hati-hati sehingga setelah adanya klarifikasi penafsiran yang menyimpang atau

kurang tepat dapat mengarah ke penafsiran yang lebih tepat, serta

menyampaikannya sesuai faktanya atau apa adanya.

Dalam melakukan klarifikasi guna mengarah pada peningkatan

kejernihan masalah yang lebih baik, maka Juru Bicara dapat memperhatikan

beberapa hal yang merujuk pada syarat-syarat informasi, guna menghasilkan

penafsiran yang sebenarnya terhadap masalah yang diklarifikasi. Ada pun syarat-

syarat informasi tersebut adalah sebagai berikut:

Benar dalam angka, jumlah, dan data


Lengkap dan komplit
Tersedia pada waktunya dan tidak ketinggalan segi aktual/faktual
Terarah, sebagai referensi, narasumber dan
Penyajian yang baik, dan tidak menimbulkan interpretasi atau penafsiran yang
kurang tepat
127

(Ruslan, 1999 : 99).

Bila melihat tabel di atas lagi, terdapat 5 orang responden yang

menyatakan bahwa klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara kurang menjernihkan.

Ini dapat dikarenakan bahwa pers telah mendapatkan informasi mengenai

masalah yang dimaksud dari beberapa pihak lain dengan versi yang berbeda-

beda, sehingga menimbulkan kesulitan bagi pers untuk menyimpulkannya.

Maka, agar suatu klarifikasi dapat menjernihkan, Juru Bicara perlu

memperhatikan hal-hal di atas tadi, sehingga dapat lebih meyakinkan pers.

4.2.7.2 Kepercayaan terhadap Klarifikasi

Kepercayaan pers terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara

mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing cukup tinggi. Hal ini terlihat

dari data yang diperoleh pada tabel 23 di bawah yang menggambarkan bahwa

sebanyak 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan klarifikasi yang

disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing cukup

dipercaya, dan yang menjawab bahwa klarifikasi tersebut dapat dipercaya

sebanyak 8 orang responden atau sebesar 42%, sedangkan yang menjawab

sangat percaya terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara sebanyak 1

orang responden atau sebesar 5%. Dalam hal ini tidak ada satu orang responden

pun yang menyatakan bahwa klarifikasi yang dimaksud kurang dipercaya dan

tidak dipercaya.

Tabel 23
Kepercayaan Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
128

No Pernyataan f %
1 Sangat Dipercaya 1 5
2 Dipercaya 8 42
3 Cukup Dipercaya 10 53
4 Kurang Dipercaya - -
5 Tidak Dipercaya - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Dari kenyataan yang dapat dianalisis tersebut di atas menunjukkan,

bahwa pers yang hadir pada kegiatan Press Briefing mempercayai klarifikasi

yang disampaikan Juru Bicara terhadap issu atau masalah terorisme yang sedang

dihadapinya karena tidak ada satupun responden yang menyatakan bahwa

klarifikasi tersebut kurang dipercaya dan tidak dipercaya. Ini dapat disebabkan

karena kemampuan Juru Bicara dalam menangani issu atau masalah tersebut

sudah cukup baik, tetapi harus tetap ditingkatkan, karena ketidakpercayaan atau

krisis kepercayaan dan kepercayaan seseorang, dalam hal ini pers, merupakan

sifat alamiah dari pers sebagai seorang individu manusia. Maka, apabila Juru

Bicara dapat meningkatkan kemampuannya dalam menangani suatu masalah,

dalam hal ini kemampuannya dalam melakukan klarifikasi (baik dengan cara

memilih istilah-istilah dan kata-kata yang digunakan maupun kehati-hatiannya

dalam berbicara atau menyampaikan pesan atau klarifikasi tersebut), maka

tingkat kepercayaan pers pun akan bertambah.

Dengan kepercayaan yang ada maka Juru Bicara dapat melakukan

komunikasi yang efektif, dalam hal ini bila pers mempercayai Juru Bicara

sebagai komunikator maka usaha klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara pada

kegiatan Press Briefing mengenai suatu issu atau masalah terorisme akan
129

dipercayai oleh pers. Jadi keberhasilan komunikasi tersebut disebabkan salah

satunya oleh kepercayaan pers pada Juru Bicara.

“Salah satu faktor yang dapat menyebabkan komunikasi berhasil adalah


kepercayaan komunikan terhadap komunikator. Kepercayaan ini banyak
berkaitan dengan profesi atau keahlian yang dimiliki oleh komunikator”
(Effendy, 2000 : 44).

4.2.8 Upaya Penjelasan Klarifikasi

4.2.8.1 Upaya Penjelasan Informasi

Pada tabel 24 dapat dilihat bahwa responden yang menyatakan bahwa

klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing terhadap

issu atau masalah terorisme dapat menjelaskan sebanyak 8 orang responden atau

sebesar 42%, begitu pula yang menyatakan cukup menjelaskan yaitu sebanyak 8

orang responden atau sebesar 42%, dan 3 orang responden lagi menyatakan

kurang menjelaskan, sedangkan tidak ada responden yang menyatakan sangat

menjelaskan dan tidak menjelaskan.

Tabel 24
Upaya Penjelasan Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru
Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing

No Pernyataan F %
1 Sangat Menjelaskan - -
2 Menjelaskan 8 42
3 Cukup Menjelaskan 8 42
4 Kurang Menjelaskan 3 16
5 Tidak Menjelaskan - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Hal demikian dapat terjadi salah satunya adalah karena komunikator

biasanya kurang mempelajari materi atau masalah yang akan disampaikan pada
130

kegiatan tersebut. Ini dapat disebabkan karena komunikator tersebut merasa

sudah cukup dalam menguasai masalah atau materi tersebut, sehingga

komunikator tidak berusaha untuk lebih memahami dan menguasai materi dan

semua yang berhubungan dari masalah yang ingin diklarifikasi. Namun pada

kenyataannya tidak demikian karena Juru Bicara mempunyai pengetahuan yang

tinggi mengenai masalah yang dimaksud karena Juru Bicara tanggap atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers dan dapat menjawabnya, kecuali

pertanyaan yang bukan merupakan wewenangnya dalam menanggapinya,

melainkan wewenang pemerintah misalnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil

penelitian pada tabel 28, 29, 30, dan 31, yang menunjukkan kelangsungan,

kesesuaian, pemenuhan dan tanggapan yang diberikan Juru Bicara atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers.

Kejelasan klarifikasi sangat dibutuhkan guna menghindari salah

pengertian dan agar dapat mengembalikan pada masalah dan arti yang

sebenarnya. Dengan kejelasan klarifikasi dan penyampaian informasi akan

mengurangi atau menghindari adanya upaya klarifikasi masalah berikutnya,

terutama pada masalah yang sama.

4.2.8.2 Pengertian terhadap Klarifikasi


131

Dari tabel 25 dapat diambil kesimpulan bahwa klarifikasi yang

disampaikan Juru Bicara mengenai issu atau masalah terorisme dalam

kegiatan Press Briefing dapat dimengerti, hal ini tergambar dari data hasil

angket yang diperoleh bahwa sebanyak 10 orang responden atau sebesar

53% menjawab dimengerti, sebanyak 9 orang responden atau sebesar

47% menjawab cukup dimengerti, sedangkan yang menjawab sangat

dimengerti, kurang dimengerti, dan tidak dimengerti, tidak ada seorang

pun yang menyatakannya.

Sering adanya atau terjadinya kesalahan dalam penafsiran pada suatu

istilah dan pandangan. Adanya suatu klarifikasi menandakan telah

terjadinya suatu kesalahan dalam penafsiran pada suatu masalah.

Pengertian yang sama sangat dibutuhkan di sini, guna menghilangkan

dan menghindari dari kesalahfahaman tersebut, dimana ada dampak-

dampak tertentu dari masalah tersebut.

Tabel 25
Pengertian Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing

No Pertanyaan f %
1 Sangat Dimengerti - -
2 Dimengerti 10 53
3 Cukup Dimengerti 9 47
4 Kurang Dimengerti - -
5 Tidak Dimengerti - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
132

“Sering terjadi penafsiran yang keliru karena perbedaan arti suatu istilah.
Cara mengatasinya diperlakukan pengetahuan bahasa bagi kelompok
tertentu. Selain itu, hendaknya dipergunakan bahasa baku yang berlaku
umum dan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan
kaidah yang berlaku” (Widjaja, 2000:70).

Dengan diadakannya klarifikasi oleh Juru Bicara mengenai masalah yang

bersangkutan dengan terorisme, diharapkan adanya persamaan

pengertian, pandangan, dan penafsiran terhadap pesan atau masalah yang

disampaikan. Karena jika tidak, akan bertambahnya penafsiran yang

lebih kompleks.

Hasil tabel di atas yang menunjukkan bahwa 53% responden mengerti

dan 47% cukup mengerti terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara,

merujuk pada pendapat H.A.W. Widjaja bahwa : “Supaya yang kita sampaikan

dapat dimengerti, sebagai komunikator kita harus menjelaskan kepada

komunikan (penerima) dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga mereka dapat

mengerti dan mengikuti apa yang kita maksudkan” (2000 : 66).

Dengan itu, dapat dikatakan bahwa Juru Bicara berhasil dalam

menjelaskan suatu masalah mengenai terorisme, dengan tujuan mengklarifikasi

masalah tersebut dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga pers dapat mengerti

dan mengikuti apa yang Juru Bicara maksud, juga telah menggunakan bahasa

atau istilah-istilah yang dapat dimengerti oleh pers. Karena dari hasil tabel dapat

dilihat bahwa tidak ada satu pun responden yang menyatakan kurang mengerti,

apa lagi tidak mengerti terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara, akan

tetapi sebagian besar atau sebesar 53% menyatakan bahwa mereka mengerti dan
133

47% lagi menyatakan bahwa mereka cukup mengerti atas klarifikasi yang

dimaksud.

4.2.9 Pengembalian Pesan Pada Apa yang Sebenarnya

4.2.9.1 Pengembalian Pada Masalah yang Sebenarnya

Pada tabel 26 menunjukkan apakah klarifikasi yang disampaikan Juru

Bicara mengenai issu atau masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing dapat

mengembalikan pada masalah yang sebenarnya. Dari 19 responden yang

menyatakan cukup dapat mengembalikan pada masalah yang sebenarnya adalah

sebanyak 11 orang responden atau sebesar 58%, yang menyatakan dapat

mengembalikan pada masalah yang sebenarnya sebanyak 4 orang responden atau

sebesar 21%, begitu pula yang menyatakan kurang dapat mengembalikan pada

masalah yang sebenarnya adalah sebanyak 21%.

Hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata setelah pers yang

hadir pada kegiatan Press Briefing mendengarkan klarifikasi mengenai suatu issu

atau masalah terorisme, cukup dapat mengembalikan pada masalah yang

sebenarnya. Dari yang salah atau kurang mengerti atau salah mengartikan

persepsi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme, menjadi mengerti

dengan mengartikan persepsi yang sama dengan yang dimaksud Juru Bicara.

Seperti yang dikemukakan oleh Turner dan Converse “Sesungguhnya informasi

dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang menghapus atau mengurangi

ketidakpastian” (Noesijirwan, 1985 : 254).


134

Tabel 26
Pengembalian Pada Masalah Yang Sebenarnya Terhadap Klarifikasi
Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Issu Atau Masalah
Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan f %
1 Sangat Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang - -
Sebenarnya
2 Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang 4 21
Sebenarnya
3 Cukup Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang 11 58
Sebenarnya
4 Kurang Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang 4 21
Sebenarnya
5 Tidak Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang - -
Sebenarnya
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Hal tersebut berhubungan dengan keefektifan komunikasi atau

keberhasilan suatu komunikasi, yaitu saat komunikate dapat mengartikan suatu

masalah yang sama dengan komunikator. Seperti yang diungkapkan oleh

Widjaja dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”, bahwa :

“Komunikasi akan dapat berhasil apabila sekiranya timbul saling


pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan si penerima
informasi dapat memahaminya. Hal ini tidak berarti bahwa kedua belah
pihak harus menyetujui sesuatu gagasan tersebut, tetapi yang penting
adalah kedua belah pihak sama-sama memahami gagasan tersebut. Dalam
keadaan seperti inilah baru dapat dikatakan komunikasi telah berhasil
baik (komunikatif)” (2001:15).

4.2.9.2 Pengembalian Pada Arti yang Sebenarnya

Tabel 27
Pengembalian Pada Arti Yang Sebenarnya Terhadap Klarifikasi Yang
Disampaikan Juru Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing
135

No Pernyataan F %
1 Sangat Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang 1 5
Sebenarnya
2 Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya 7 37
3 Cukup Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang 8 42
Sebenarnya
4 Kurang Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang 3 16
Sebenarnya
5 Tidak Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang - -
Sebenarnya
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Berdasarkan pada tabel 27, terdapat 8 orang responden atau sebanyak

42% mengatakan klarifikasi yang Juru Bicara sampaikan pada kegiatan Press

Briefing mengenai terorisme cukup dapat mengembalikan pada arti yang

sebenarnya, 7 orang responden atau sebesar 37% menyatakan bahwa klarifikasi

tersebut dapat mengembalikan pada arti yang sebenarnya, 3 orang responden

atau sebesar 16% mengatakan bahwa klarifikasi tersebut kurang dapat

mengembalikan pada arti yang sebenarnya, dan 1 orang responden lagi

menyatakan sangat dapat mengembalikan pada arti yang sebenarnya terhadap

klarifikasi tersebut. Di sini tidak ada responden yang menyatakan bahwa

klarifikasi yang dimaksud tidak dapat mengembalikan pada arti yang

sebenarnya.

Dalam menyampaikan suatu pesan, dalam hal ini klarifikasi hendaknya

perlu diperhatikan unsur-unsur yang dapat menunjang tercapainya maksud dan

tujuan pesan tersebut. Maksud dan tujuan tersebut adalah dalam hal ini
136

mengembalikan suatu masalah atau issu pada arti yang sebenarnya melalui

klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara pada kegiatan Press Briefing.

Rachmadi dalam bukunya “Public Relations dalam Teori dan Praktek”,


menyebutkan bahwa: “Unsur-unsur pesan meliputi:
Gagasan dan isi pesan
Organisasi atau susunan pesan
Bahasa dan gaya
Cara penyampaian baik itu secara lisan maupun tulisan
(Rachmadi, 1994 : 66).

Unsur-unsur di atas perlu diperhatikan dan dilakukan, dalam upaya

menumbuhkan pengertian dan pemahaman serta arti yang sebenarnya atas pesan

yang disampaikan pada pers. Apabila semua unsur di atas dapat dijalankan

dengan baik, maka pesan yang disampaikan dapat diterima dan dimengerti

dengan mudah oleh pers sesuai dengan maksud, tujuan, pemahaman dan

pengertian kata-kata dan masalah yang sama dengan yang dimaksud oleh Juru

Bicara.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 3 orang responden atau sebesar

16% yang mengatakan bahwa kalrifikasi yang dimaksud kurang dapat

mengembalikan pada arti yang sebenarnya. Hal demikian dapat terjadi karena

ada suatu jarak antara bahasa yang digunakan Juru Bicara sebagai diplomat

dengan bahasa pers atau bahasa Indonesia biasa, dimana ada ukuran-ukuran

tertentu dalam menggunakan kata atau istilah yang dimaksud. Karena ada

beberapa bahasa diplomat yang sangat berbeda bila diterjemahkan dengan

bahasa Indonesia yang sebenarnya. Maka hal demikian dapat terjadi oleh pers

dimana ia salah mengartikan hal-hal atau masalah-masalah tertentu, karena salah

menterjemahkannya. Jadi yang dapat menjadi perhatian Juru Bicara adalah


137

kehati-hatiannya dalam memilih kata-kata atau istilah-istilah yang akan

digunakannya. Dengan kehati-hatiannya tersebut dan melihat hasil dari tabel di

atas, Juru Bicara dapat dikatakan cukup dapat mengembalikan issu atau masalah

mengenai terorisme pada arti yang sebenarnya.

4.2.10 Pemberian Jawaban

4.2.10.1 Kelangsungan Menjawab Pertanyaan

Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak

14 orang responden atau sebesar 74% menyatakan bahwa Juru Bicara hampir

selalu langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pers yang

diajukan pada kegiatan Press Briefing, 4 orang responden atau sebesar 21%

menyatakan bahwa Juru Bicara selalu langsung memberikan jawaban, dan 1

orang responden atau sebesar 5% menyatakan bahwa Juru Bicara kadang-kadang

langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan pers, sedangkan tidak ada

responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara hampir tidak pernah langsung

dan tidak pernah langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan pers.

Adanya 1 orang responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara kadang-

kadang langsung memberikan jawaban, merupakan hal yang biasa selama itu

tidak memakan waktu yang lama, karena Juru Bicara harus berpikir dengan

kehati-hatiannya jawaban apa yang harus, pantas dan tepat diberikan atas

pertanyaan tersebut, juga memilih kata-kata dan istilah tertentu yang dapat

langsung dimengerti pers sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Juru Bicara.
138

Tabel 28
Juru Bicara Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan Mengenai
Terorisme Pada Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan F %
1 Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan 4 21
2 Hampir Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan 14 74
3 Kadang-Kadang Langsung Menjawab Pertanyaan 1 5
4 Hampir Tidak Pernah Langsung Menjawab - -
Pertanyaan
5 Tidak Pernah Langsung Menjawab Pertanyaan - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Sedangkan banyaknya pers yang menyatakan bahwa Juru Bicara hampir

selalu langsung memberikan jawaban dan beberapa responden yang menyatakan

bahwa Juru Bicara selalu langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan

pers adalah dikarenakan ketanggapan Juru Bicara yang tinggi terhadap

pertanyaan pers, sehingga sebelum pers selesai bertanya Juru Bicara sudah

mengetahui inti pertanyaan pers maka lebih mudah bagi Juru Bicara untuk

langsung menjawab pertanyaan tersebut. Kelangsungan pemberian jawaban oleh

Juru Bicara pun dapat menandakan bahwa Juru Bicara mempunyai pengetahuan

yang cukup luas dan tinggi atas permasalahan tersebut, sehingga Juru Bicara

dapat langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.

4.2.11 Pemenuhan Jawaban terhadap Pertanyaan

4.2.11.1 Kesesuaian Menjawab Pertanyaan


139

Tabel 29
Kesesuaian Jawaban Yang Diberikan Juru Bicara Terhadap
Pertanyaan Pers Mengenai Masalah Terorisme Pada Kegiatan Press
Briefing

No Pernyataan F %
1 Sangat Sesuai - -
2 Sesuai 10 53
3 Cukup Sesuai 8 42
4 Kurang Sesuai 1 5
5 Tidak Sesuai - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Pada tabel 29 dapat dilihat bahwa sebanyak 10 orang responden atau

sebesar 53% berpendapat bahwa jawaban yang diberikan Juru Bicara sesuai

terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai terorisme pada kegiatan Press

Briefing, sebanyak 8 orang responden atau sebesar 42% menyatakan cukup

sesuai atas jawaban yang diberikan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers,

kemudian 1 orang responden lagi atau sebanyak 5% menyatakan kurang sesuai,

dan tidak ada responden yang menyatakan sangat sesuai dan tidak sesuai.

Kesesuaian jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers akan

mempengaruhi hasil berita yang kemudian disajikan media pada khalayaknya.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara dapat memberikan jawaban

yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pers mengenai terorisme pada

kegiatan Press Briefing. Dengan ini, supaya Juru Bicara dapat memberikan

jawaban yang sesuai maka, ia harus menguasai materi atau masalah yang

dimaksud guna menghindari timbulnya interpretasi yang salah tentang informasi

yang diberikan Juru Bicara sebagai jawabannya. Selain itu, Juru Bicara pun tidak
140

boleh menganggap remeh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers sehingga

Juru Bicara dapat menjawabnya secara serius dan tepat, karena dapat merepotkan

Juru Bicara sendiri bila hal tersebut dimuat pada media massa, di mana setiap

orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya. Jadi, keseriusan dan

kesesuaian jawaban yang diberikan Juru Bicara sangat berpengaruh pada

kredibilitas Juru Bicara juga citra Departemen Luar Negeri karena Juru Bicara

membawa dan berbicara atas nama Departemen Luar Negeri, di mana ia telah

diberi wewenang penuh oleh Menteri Luar Negeri untuk berbicara atas nama

Departemen Luar Negeri.

Hal tersebut mengacu pada pendapat Aceng Abdullah, bahwa salah satu

hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan jumpa pers adalah :

“Jangan menganggap remeh pertanyaan atau pernyataan wartawan saat


jumpa pers sehingga kita pun ceplas-ceplos menjawab pertanyaan atau
pernyataan mereka. Karena keceplas-ceplosan yang biasa kita utarakan
dalam obrolan sehari-hari inilah, jika dimuat media massa bisa
merepotkan” (Abdullah, 2001:88).

Dalam hal ini, fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing selain

menyampaikan informasi kepada pers, ialah memberikan jawaban yang tepat,

sesuai, dapat dipercaya, serta memenuhi pertanyaan pers yang diajukan pada

kegiatan tersebut. Maka bila apa yang ia berikan sebagai jawaban atas

pertanyaan pers tidak sesuai, maka fungsi Juru Bicara pun tidak berjalan dengan

baik dan efektif karena sudah tentu bahwa pers tersebut tidak akan merasa puas

atas jawaban yang diberikan Juru Bicara tersebut sebab tidak mendapatkan

jawaban yang benar atau sesuai dengan faktanya.

4.2.11.1 Pemenuhan Menjawab Pertanyaan


141

Tabel 30
Pemenuhan Jawaban Yang Diberikan Juru Bicara Terhadap
Pertanyaan Pers Mengenai Masalah Terorisme Pada Kegiatan Press
Briefing

No Pernyataan F %
1 Sangat memenuhi - -
2 Memenuhi 6 32
3 Cukup Memenuhi 12 63
4 Kurang Memenuhi 1 5
5 Tidak Memenuhi - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Berdasarkan tabel 30 di atas 12 orang responden atau sebanyak 63%

menyatakan bahwa jawaban yang diberikan Juru Bicara cukup memenuhi

terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai masalah terorisme pada

kegiatan Press Briefing, hal ini terbukti sebanyak 12 orang responden atau

sebesar 63% menjawab cukup memenuhi, dan 6 orang responden atau sebesar

32% menjawab memenuhi, sedangkan yang menjawab kurang memenuhi hanya

sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.

Penguasaan terhadap materi atau masalah yang berhubungan dengan

terorisme oleh Juru Bicara dapat menunjukkan apakah Juru Bicara dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers dengan baik, sesuai atau

tepat, memenuhi seluruh pertanyaan, juga ketanggapannya terhadap pertanyaan-

pertanyaan tersebut. Jawaban yang tajam dan analisis biasanya merupakan

jawaban yang diinginkan pers dari Juru Bicara sebagai narasumber. Karena

untuk mencari orang yang memiliki kredibilitas sebetulnya tidak terlalu sulit,
142

terutama di kota-kota besar, khususnya yang memiliki perguruan tinggi, di mana

tidak sulit untuk mencari seseorang yang bergelar, seperti doktor atau guru besar.

Seperti yang dikatakan Aceng Abdullah bahwa : “Pejabat, pengusaha,


serta profesi lainnya yang sesungguhnya memiliki kredibilitas tersendiri.
Sayangnya, ketika mereka diwawancara, jawaban yang diberikan itu
kelihatan kurang tajam serta tidak analitis, sehingga jawabannya
mengambang tidak sesuai dengan keinginan wartawannya” (Abdullah,
2001 : 71).

Jadi pemenuhan jawaban Juru Bicara atas pertanyaan yang diajukan pers

pada kegiatan Press Briefing, dalam hal ini mencakup pemberian jawaban yang

tajam dan analisis yang dalam terhadap suatu masalah, juga ketanggapannya

pada pertanyaan pers akan mempengaruhi pers datang lagi pada kegiatan Press

Briefing berikutnya untuk meliput dan menjadikannya sebagai narasumber.

“Narasumber yang baik adalah narasumber yang mampu dengan tajam


menganalisis fenomena atau kecenderungan yang diajukan oleh
wartawan sebagai bahan wawancara. Mengapa fenomena itu muncul,
bagaimana dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana solusinya”
(Abdullah, 2001 : 7).

Dalam hal ini, Juru Bicara cukup mampu memenuhi pertanyaan yang

diajukan pers dan mampu menjadi narasumber yang baik, dapat dilihat dari hasil

pada tabel 6 yang menyatakan bahwa frekuensi pers yang datang pada kegiatan

Press Briefing dalam satu bulan sebanyak 10 orang responden atau sebanyak

53% hadir sebanyak 4 kali dan 21% menyatakan 3 kali dan 2 kali menghadiri

Press Briefing dalam satu bulan, kemudian hanya 1 responden atau sebesar 5%

yang hadir hanya 1 kali dalam satu bulan. Maka dapat dikatakan bahwa Juru

Bicara dapat menarik pers untuk datang lagi pada kegiatan Press Briefing

berikutnya untuk menjadikannya sebagai narasumber lagi.


143

4.2.12 Ketanggapan terhadap Pertanyaan

4.2.12.1 Ketanggapan terhadap Pertanyaan

Tabel 31
Ketanggapan Juru Bicara Terhadap Pertanyaan Pers Mengenai
Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing

No Pernyataan F %
1 Sangat Tanggap 2 10
2 Tanggap 11 58
3 Cukup Tanggap 6 32
4 Kurang Tanggap - -
5 Tidak Tanggap - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian

Dari tabel 31 dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara tanggap

terhadap pertanyaan yang diajukan pers dalam kegiatan Press Briefing, dapat

dilihat bahwa sebagian besar responden, yaitu sebesar 58% atau sebanyak 11

orang responden berpendapat bahwa Juru Bicara tanggap terhadap pertanyaan

pers mengenai terorisme, sedangkan yang berpendapat bahwa Juru Bicara cukup

tanggap sebanyak 6 orang responden atau sebesar 32%, dan sisa 2 orang

responden lagi atau sebesar 10% menyatakan bahwa Juru Bicara sangat tanggap

terhadap pertanyaan pers.

Banyaknya responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara tanggap

terhadap pertanyaan pers adalah bahwa Juru Bicara sadar betapa pentingnya

menyampaikan informasi atau berita yang diminati atau yang menjadi perhatian

pers, oleh karena itu Juru Bicara harus tanggap terhadap apa yang pers tanyakan.

Ketanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan pers dan pemberian jawaban


144

yang tepat dan apa adanya akan membawa hasil yang baik karena pers akan

merasa puas.

Salah satu fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing adalah

membuka forum tanya jawab atau menjawab pertanyaan yang diajukan pers. Bila

Juru Bicara tidak tanggap akan pertanyaan tersebut, maka kegiatan Press

Briefing tidak akan berjalan dengan lancar. Karena sudah tentu bahwa pers yang

datang tidak hanya untuk mendengarkan informasi apa yang telah Juru Bicara

susun sebelumnya, tetapi juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang pers

ajukan. Adanya beberapa responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara cukup

tanggap terhadap pertanyaan pers bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi Juru

Bicara tetap harus memperhatikan pernyataan tersebut, guna adanya perubahan

ke tingkat yang lebih baik. Hal tersebut dapat diakibatkan karena terkadang, pada

saat Juru Bicara membuka forum tanya jawab, pers langsung saling berlomba

untuk bertanya agar mendapatkan jawaban terlebih dahulu, dengan itu suara satu

dengan yang lainnya saling bertubrukan sehingga dapat membingungkan Juru

Bicara. Tetapi pada akhirnya dapat dikendalikan atau diterbitkan oleh Juru

Bicara.

Adanya responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara sangat tanggap

terhadap pertanyaan pers, memberikan nilai positif pada Juru Bicara karena

dengan ini menandakan bahwa pers tersebut puas atas ketanggapan Juru Bicara.

Selain itu Juru Bicara yang efektif tidak lagi terletak pada kemampuannya untuk

melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, tetapi terletak pada

kemampuannya untuk berfikir, dalam hal ini tanggap atas pertanyaan pers juga
145

memberikan jawaban secara lengkap, luas, dengan analisis yang dalam. Hal

tersebut mengacu pada pendapat Sondang P.Siagian, bahwa :

“Berbagai teori tentang kepemimpinan yang efektif dan pengalaman


banyak orang menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang
tidak lagi terletak pada kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan
yang bersifat teknis operasional, melainkan pada kemampuannya untuk
berpikir” (Siagian, 1999:86).

BAB V
PENUTUP
146

Pada bab ini penulis menyusun suatu rangkuman berdasarkan uraian-

uraian terdahulu, kemudian mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah di

dapat sebelumnya atau yang menjadi tujuan penelitian. Berdasarkan kesimpulan

tersebut, penulis mengemukakan saran-saran konkret yang diharapkan dapat

memberi manfaat bagi pengembangan lembaga Juru Bicara pada kegiatan Press

Briefing.

5.1 Rangkuman

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah

meningkatkan akses, keterbukaan dan kemudahan untuk memperoleh informasi

dan melakukan komunikasi. Dalam era globalisasi dan pesatnya perkembagan

ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, kerjasama antar bangsa berkembang

dengan pesat dan semakin meningkat, baik di bidang politik, ekonomi dan sosial,

maupun di bidang sekuriti dan kebudayaan.

Dengan melihat adanya perubahan yang cukup mendasar pada tingkat

nasional, dimulai sejak reformasi 1998, sejalan dengan globalisasi, Indonesia

juga semakin mudah untuk memperoleh akses terhadap berbagai informasi dan

perkembangan internasional. Sehubungan dengan itu, pimpinan Departemen

Luar Negeri memandang perlu untuk membentuk dan menetapkan suatu unit

organisasi atau pejabat tertentu di lingkungan Departemen Luar Negeri, yang

diberi wewenang dan mampu untuk memberikan dan menyajikan informasi yang

akurat dan tepat waktu kepada masyarakat luas.


147

Juru Bicara atau spokesman Departemen Luar Negeri tersebut, yang

merangkap sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri, pelantikannya baru

dilakukan pada awal tahun 2002. Sebelumnya tidak ada jabatan Juru Bicara

dalam struktur Departemen Luar Negeri yang lama.

Juru Bicara menjadwalkan pertemuan regular dengan pers, yaitu Press

Briefing, pada hari Jum’at. Press Briefing yang diadakan di Gedung Palapa

Departemen Luar Negeri, semula diselenggarakan di siang hari, yaitu pada pukul

14.00 hingga pukul 15.30, dan sekarang diadakan pada pagi hari yaitu pukul

10.00 hingga 11.30.

Keberadaan lembaga baru di Departemen Luar Negeri dan prektek

berupa Press Briefing tersebut telah menggugah minta penulis untuk

mengadakan penelitian dan membahas secara lebih mendalam mengenai

“Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam kegiatan Press

Briefing”. Dalam hal ini penulis menarik salah satu tema dalam kegiatan Press

Briefing yang diteliti oleh penulis, yaitu terorisme.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami (1) bagaimana

Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan informasi mengenai

masalah terorisme, (2) bagaimana Juru Bicara Departemen Luar Negeri

memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press

Briefing, dan (3) bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam

memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai masalah

terorisme pada kegiatan Press Briefing. Penelitian ini dilaksanakan di kantor

Departemen Luar Negeri RI yang berlokasi di Jl.Pejambon no.6, Jakarta Pusat.


148

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pers yang

datang pada kegiatan Press Briefing pada bulan Oktober hingga Desember 2002,

yang berjumlah 62 orang. Penulis menetapkan sampel dengan menggunakan

teknik simple random sampling, dimana sampel tersebut diambil sebesar 30%

dari jumlah populasi yang ada yaitu sebanyak 19 orang responden.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui

observasi, wawancara, penyebaran angket serta menggunakan referensi dari

buku-buku penunjang yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti.

Data-data yang diperoleh tersebut dikumpulkan, diklasifikasi dan kemudian di

lakukan analisis melalui pendekatan deskriptif.

Selanjutnya dilakukan operasionalisasi variabel dengan pokok penelitian

berupa fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan

informasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing, fungsi Juru

Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan klarifikasi mengenai

masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing, dan fungsi Juru Bicara

Departemen Luar Negeri dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang

diajukan pers mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.

5.2 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penulis memperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan informasi

mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing sudah berjalan dengan baik.

Hal ini terlihat dari hasil data yang diperoleh yang menunjukkan bahwa
149

informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme secara umum telah

cukup memenuhi keingintahuan masyarakat dan dapat dimengerti, baik berupa

kejelasan dan keterbukaan informasi yang disampaikan (termasuk lembaran

informasi yang disebarkan pada kegiatan tersebut), kejelasan bahasa dan istilah-

istilah yang digunakan maupun bentuk pesan yang positif dan seimbang (tidak

memihak). Disamping itu, informasi atau pesan yang disampaikan oleh Juru

Bicara menunjukkan sumber informasi yang dapat dipercaya, dan cukup up to

date. Juru Bicara dalam berkomunikasi selalu berusaha bersikap hati-hati, baik

dalam memilih kata-kata, bahasa, maupun dalam menggunakan istilah-istilah.

Informasi yang disampaikan diupayakan memenuhi keingintahuan pers dan

masyarakat. Pelaksanaan fungsi Juru Bicara Departemen Laur Negeri melalui

kegiatan Press Briefing tersebut juga ditunjang oleh penguasaan bahasa asing

(bahasa Inggris) dan bahasa Indonesia yang baik, penguasaan materi atau

substansi informasi (tentang terorisme) yang lebih dari memadai dan penampilan

sikap yang tegas atau percaya diri, sehingga memberikan kesan sumber yang

dapat diandalkan (reliable sources).

Upaya Juru Bicara dalam melakukan klarifikasi mengenai terorisme pada

kegiatan Press Briefing sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian

antara lain, bahwa klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara sudah cukup

menjernihkan, dapat dipercaya, cukup jelas, dan dapat dimengerti oleh pers.

Fungsi Juru Bicara dalam melakukan klarifikasi tersebut telah dapat

mengembalikan atau menempatkan masalah atau issu yang berkaitan dengan

terorisme pada tempatnya, atau proporsional. Hal tersebut berkaitan dengan


150

usaha Juru Bicara yang difokuskan pada pengembalian pada masalah dan arti

yang sebenarnya, tanpa meninggalkan kejelasan pesan yang disampaikan

sehingga dapat dimengerti dan dapat dipercaya oleh pers. Dalam hal, ini Juru

Bicara berusaha untuk tidak menyalahkan pihak tertentu, misalnya media massa

tertentu karena salah menafsirkan suatu berita yang telah disebarkan pada

khalayak, tetapi tetap pada intinya yaitu mengembalikan pada arti dan masalah

yang sebenarnya.

Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan jawaban

terhadap pertanyaan pers yang diajukan pada kegiatan Press Briefing sudah baik.

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil data yang diperoleh yang menunjukkan

bahwa Juru Bicara hampir selalu langsung memberikan jawaban terhadap

pertanyaan pers, berusaha untuk tidak mengabaikan sedikitpun pertanyaan

tertentu yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan Juru Bicara sesuai

dengan pertanyaan yang diajukan pers. Hal demikian tercapai karena Juru Bicara

bersikap tanggap terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers pada

kegiatan Press Briefing mengenai terorisme.

5.3 Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah di peroleh dari penelitian mengenai

“Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada kegiatan Press

Briefing dalam menghadapi masalah Terorisme”, maka penulis memberikan

saran-saran berupa :
151

5.3.1 Saran Pengembangan Ilmu :

Sebaiknya dalam pengembangan ilmu komunikasi hubungan masyarakat

menyajikan buku khusus tentang Juru Bicara, minimal buku saduran atau

terjemahan dari buku-buku asing. Sehingga memudahkan bagi peneliti

selanjutnya. Hingga saat ini buku yang khusus membahas mengenai Juru

Bicara belum tersedia.

5.3.2 Saran Pengembangan Praktis :

Bahwa penyampaian informasi pada kegiatan Press Briefing sebaiknya terus

ditingkatkan dan dipertahankan, sehingga pers menjadi jelas, paham, yang

pada akhirnya pers dan masyarakat akan bersikap dan berperilaku sesuai

dengan harapan Juru Bicara, serta mendukung seluruh kebijakan dan

kegiatan Departemen Luar Negeri yang disampaikan pada kegiatan tersebut.

Selain itu Juru Bicara harus tetap berusaha menyampaikan informasi

mengenai masalah atau hal yang menjadi perhatian pers dan masyarakat,

guna keefektivan Press Briefing dimana hasil dari kegiatan tersebut dimuat

oleh pers dan disajikan pada masyarakat, juga memancing ketertarikan pers

sehingga hadir pada kegiatan Press Briefing selanjutnya.

Juru Bicara pun disarankan untuk tetap meningkatkan kejelasan dan

penyebaran lembaran informasi pada kegiatan Press Briefing, sehingga

lembaran tersebut dapat dimanfaatkan pers guna mendukung dalam

penulisan atau pengemasan berita yang kemudian disajikan kepada

masyarakat. Keseimbangan, kegamblangan, dan kejelasan pesan yang


152

disampaikan, baik itu bahasa yang digunakan maupun istilah-istilahnya,

harus tetap diperhatikan karena hal tersebut menentukan pengertian dan

penafsiran pers terhadap apa yang disampaikan Juru Bicara dalam kegiatan

Press Briefing, juga kepercayaan pers terhadap Juru Bicara sebagai sumber

informasi.

Selain cara penyampaian pesan yang dilakukan Juru Bicara, penulis

menyarankan sebaiknya dalam kegiatan Press Briefing Juru Bicara

menyampaikan informasi secara mendalam, apa adanya, dan lebih terperinci

mengenai infomasi yang akan disampaikan, guna meningkatkan

kepercayaan pers terhadap Juru Bicara dan Departemen Luar Negeri bahwa

Departemen Luar Negeri tidak berusaha untuk menutup-nutupi kejadian atau

masalah sebenarnya kepada pers dan masyarakat.

Untuk meningkatkan kepercayaan dan pengembalian pada masalah dan arti

yang sebenarnya terhadap masalah yang diklarifikasi Juru Bicara, maka

sebaiknya Juru Bicara menyertakan data pendukung guna meyakinkan pers

mengenai keaslian atau kebenaran masalah tersebut. Hal demikian pun dapat

meningkatkan kejernihan klarifikasi, guna menghindari adanya salah

penafsiran yang lebih kompleks terhadap masalah yang hendak diklarifikasi.

Dengan seringnya Juru Bicara melakukan klarifikasi terhadap suatu

masalah, berarti sering pula terjadi kesalahpahaman atau salah penafsiran

terhadap suatu masalah, yang dapat disebabkan karena kesalahan Juru

Bicara dalam menyampaikan informasi, salah penafsiran oleh pers yang

disebabkan oleh kekurang hati-hatian Juru Bicara dalam memilih kata-kata,


153

bahasa, dan istilah-istilah yang digunakannya, juga dapat dikarenakan

adanya issu-issu yang tersebar di masyarakat mengenai suatu masalah yang

berasal dari pihak yang kurang tepat. Maka Juru Bicara disarankan untuk

menguasai materi-materi dengan luas dan segala yang berhubungan dengan

informasi yang hendak disampaikannya guna menghindari adanya klarifikasi

yang disebabkan oleh kesalahan Juru Bicara sendiri. Selain itu, Juru Bicara

lebih baik selalu memperhatikan kehati-hatiannya dalam memilih bahasa

dan istilah-istilah umum yang juga dapat dimengerti oleh pers pada kegiatan

Press Briefing tersebut, terutama dalam melakukan klarifikasi mengenai

terorisme.

Salah satu tujuan diadakannya kegiatan Press Briefing adalah menyampaikan

informasi yang menjadi perhatian Departemen Luar Negeri, termasuk kebijakan,

kegiatan, pandangan dan peristiwa-peristiwa tertentu yang berhubungan dengan

masalah politik dan hubungan luar negeri. Di sisi lain, diharapkan Juru Bicara

dapat menyampaikan informasi mengenai masalah yang menjadi perhatian pers

dan juga masyarakat. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers,

memberi kesempatan pada Juru Bicara untuk memenuhi keingintahuan pers

tersebut. Dalam hal ini ketanggapan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers harus

tinggi guna dapat memenuhi seluruh pertanyaan dan sesuai dengan apa yang pers

tanyakan, maka Juru Bicara sebaiknya meningkatkan terus perhatiannya dan

ketanggapannya terhadap pertanyaan pers pada kegiatan Press Briefing,

meskipun yang dilakukan Juru Bicara sudah baik.


154

Dengan mempunyai pengetahuan yang luas, diharapkan Juru Bicara dapat

menganalisis dalam menanggapi pertanyaan pers, juga disarankan

menyampaikan keadaan yang sebenarnya, apa adanya, tanpa rekayasa

sedikitpun guna kepuasan dan kepercayaan pers terhadap Juru Bicara dan apa

yang disampaikannya. Karena pers dan masyarakat berhak mengetahui apa

yang sebenarnya sedang terjadi, kecuali bila hal tersebut merupakan rahasia

negara karena Juru Bicara Departemen Luar Negeri tidak berhak untuk

menyampaikan masalah tersebut.

Penulis ingin menambahkan sedikit saran mengenai jalannya kegiatan Press

Briefing. Sebaiknya, kegiatan Press Briefing dilaksanakan tepat waktu, yaitu

sesuai dengan waktu yang dicantumkan pada undangan Press Briefing yang

disebarkan satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan tersebut. Karena selain

ketepatan waktu dapat menentukan pandangan pers terhadap Juru Bicara, juga

mempengaruhi hubungan Juru Bicara dengan pers. Selain itu Juru Bicara dan

pers pun mempunyai segudang kegiatan dan deadline yang sangat

menyibukkannya, maka sebaiknya ia melaksanakan Press Briefing tepat waktu

guna keefektivan kegiatan tersebut dan kegiatan Juru Bicara dan pers lainnya.

Mengenai penyebaran undangan Press Briefing, harus tetap dilaksanakan dan

bila memungkinkan disebarkan paling tidak dua hari sebelum

dilaksanakannya kegiatan tersebut, agar media massa yang diundang dapat

menyesuaikan jadwalnya dengan kegiatan penting lainnya. Meskipun Press

Briefing Departemen Luar Negeri merupakan kegiatan regular yang diadakan

di tempat dan pada waktu yang sama, tetapi Departemen Luar Negeri harus
155

tetap menghargai pers, apa lagi bila mereka mempunyai kesibukan yang

sangat tinggi. Hal demikian juga menentukan keefektivan kegiatan Press

Briefing, karena akan sia-sia bila tidak bisa di muat atau disiarkan karena

terganjal oleh deadline pers tersebut, padahal informasi yang disampaikan

merupakan berita yang cukup penting dan menarik. Dengan ini dapat pula

mempengaruhi frekuensi pers yang mengikuti kegiatan tersebut karena

waktunya kurang sesuai.

You might also like