You are on page 1of 12

Pengasuhan Orang Tua

Seberapa Besar Pengaruh Orang Tua terhadap Perilaku Anak Remajanya dalam Menggunakan
Situs Jejaring Sosial?

Pada awal Februari 2010, Bintang Kejora (bukan nama sebenarnya), seorang gadis
remaja berusia 14 tahun, datang ke Jakarta bersama orang tuanya untuk menghadiri pesta
pernikahan salah seorang pamannya. Sebelum menghadiri pesta pernikahan, Kejora bersama
keluarganya menginap di rumah pamannya yang lain di Tanah Kusir. Pada malam hari sebelum
menghadiri pesta pernikahan, Kejora bertemu seorang laki-laki di seberang rumah tempat dia
menginap. Segera setelah kejadian itu, Ibunya, karena merasa kesal—entah alasan apa yang
membuatnya merasa kesal—menampar Kejora.

Sabtu sore atau keesokan harinya usai menghadiri pesta pernikahan, Kejora dan keluarga
pulang ke kediaman pamannya di Bumi Serpong Damai (BSD). Setelah tiba di BSD, Kejora
sibuk menerima telepon dari seseorang yang diduga kenalannya di Facebook. Karena suasana
rumah tampak ramai, orang tua tidak memperhatikan Kejora. Salah satu sepupunya melihat
tiga cowok menemui Kejora di depan rumah. Saat sepupunya masuk ke dalam rumah, Kejora
kemudian pergi entah ke mana. Pihak keluarga berusaha mengetahui keberadaan Kejora,
tetapi handphone-nya tidak bisa dihubungi. Kejora hilang.

Pihak keluarga melaporkan kejadian hilangnya siswa kelas 2 sebuah SMP di Jawa Timur ini
ke Kepolisian Sektor Metro Serpong, Tangerang Selatan. Bersama pihak kepolisian, keluarga
menyebar fotokopi identitas dan foto Kejora ke tempat umum, seperti tempat hiburan, restoran,
pasar, rumah sakit, dan mal di sekitar Serpong. Pada lembar tersebut tertulis kalimat berikut,
"Telah meninggalkan rumah seorang gadis bernama lengkap Bintang Kejora. Kelahiran
Surabaya 3 November 1995. Tinggi badan 150 sentimeter dengan berat badan 44 kilogram”.
Pada lembar yang sama, tertera dua foto Kejora.

Setelah melakukan pencarian selama tiga hari, polisi akhirnya menemukan Kejora di dekat
sebuah restoran di Tangerang. Saat ditemukan, Kejora tidak sendirian. Dia bersama seorang
laki-laki yang dikenalnya di Facebook, sebut saja Romeo. Melalui Facebook, Kejora telah
mengenal Romeo sejak November 2008. Perkenalan dilanjutkan dengan bertukar nomor
handphone sehingga terjalin komunikasi yang lebih intensif di antara keduanya.

Setelah ditemukan, Kejora dibolehkan pulang, sementara Romeo harus berurusan dengan
kepolisian. Saat ditanya mengenai motif tindakan Kejora dan Romeo, seorang pejabat Polda
Metro Jaya hanya menjawab singkat, ”Cinta... cinta”.

Pada waktu yang berdekatan, kasus kehilangan anak remaja marak terjadi. Modusnya pun
serupa, dua orang remaja yang belum pernah bertemu mula-mula berkenalan di Facebook.
Kemudian, mereka memadu janji dengan bertemu secara langsung di dunia nyata. Facebook
memungkinkan seorang remaja berkenalan dengan siapa saja yang diinginkan dan melanjutkan
perkenalannya melalui pertemuan secara langsung.

Facebook memungkinkan perkenalan itu. Seseorang dapat dengan mudah terhubung


dengan orang lain, termasuk dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Facebook
juga memungkinkan seseorang yang baru berkenalan bisa terkesan lebih akrab. Namun
sesungguhnya, yang lebih memungkinkan terjalinnya perkenalan dan keakraban itu
sesungguhnya adalah pada diri remaja itu sendiri. Ya, usia remaja memungkinkan seseorang
menjalin pertemanan dengan siapa saja yang diinginkan—jika Anda remaja atau pernah
menjadi remaja, tentu Anda merasakan bahwa melewatkan waktu berkumpul dan berbagi suka
cita (mungkin sedikit duka cita) dengan teman sangat penting. Usia remaja merupakan fase
yang memiliki kekhasan berkaitan dengan kebutuhannya menjalin interaksi dengan teman-
temannya—atau dengan siapa saja yang ingin dijadikannya sebagai teman. Seperti apakah
kecenderungan remaja terhadap kebutuhan atas pertemanan?

“Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat
mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan
masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua
maupun guru,” begitu ungkap Elizabeth B. Hurlock, penulis buku-buku psikologi perkembangan,
dalam salah satu bukunya. Hurlock juga mengungkap sebuah penelitian yang menunjukkan
bahwa sebagian besar remaja membutuhkan “seseorang yang dapat dipercaya, seseorang
yang dapat diajak bicara, dan seseorang yang dapat diandalkan”. Pada fase remaja, kebutuhan
tersebut belum sepenuhnya bisa terpenuhi saat mereka berhubungan dengan orang tuanya
di rumah maupun gurunya di sekolah. Remaja lebih merasa kebutuhan itu bisa terpenuhi saat
mereka berinteraksi dengan teman-temannya.
Dengan adanya Facebook, mencari orang yang dapat dipercaya, dapat diajak bicara, dan
dapat diandalkan tidaklah sulit—setidaknya menurut asumsi remaja itu sendiri, walau kemudian
terbukti bahwa asumsi tentang orang tersebut ternyata keliru. Dengan Facebook, remaja lebih
mudah dilipur dengan interaksi yang akrab dengan orang lain, bahkan orang yang belum
pernah dikenal sebelumnya. Seorang remaja mungkin baru akan tersadar bahwa pertemanan
yang dijalin di dunia maya hanya semu belaka, terutama pada orang-orang yang semula
belum dikenalnya, sampai ia bertemu secara langsung dengan teman tersebut lalu menyadari
bahwa yang dipahaminya ternyata keliru. Kalau toh seorang remaja tidak merasa keliru atas
pandangannya tentang seseorang yang baru dikenalnya di Facebook, mungkin ada kekuatan
lain yang hadir sebagaimana ada pada kasus Kejora di atas: cinta.

“Remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada pada teman-teman sejenis,” lanjut
Hurlock. “Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan demikian,
pada akhir masa remaja seringkali mereka lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun
tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.” Melalui Facebook,
minat remaja terhadap lawan jenis mudah saja disalurkan. Dalam Facebook, seseorang
bisa mengucapkan perasaan suka tanpa harus mengeluarkan emosi yang sangat besar,
sebagaimana jika bertemu secara langsung. Ia juga bisa mengunakan Facebook untuk
memberikan perhatian kepada lawan jenisnya yang bisa dengan mudah ditangkap oleh remaja
sebagai bentuk rasa suka. Beban yang harus ditanggung pun tidak terlalu berat jika perasaan
sukanya tidak disambut oleh lawan jenisnya. Dengan Facebook, seorang remaja bisa saja
menyatakan cinta, memberi perhatian pada seseorang dan berbagai ekspresi cinta lainnya dan
jika ditolak atau tidak ditanggapi, ia bisa melakukan hal yang sama pada orang yang lain.

Dampak yang ditanggung remaja dalam berkenalan di Facebook pun tidak selamanya baik.
Karena tidak sepenuhnya mengetahui seseorang yang dikenalnya di Facebook, remaja bisa
saja berkenalan dengan orang yang keliru. Seorang psikolog dari Universitas Indonesia
(UI), Mayke S. Tedjasaputra, mengungkapkan betapa dahsyatnya Facebook mempengaruhi
perilaku remaja dalam menjalin perkenalan. “Mereka bisa berkenalan dengan seseorang yang
memanfaatkan mereka, mengajarkan hal-hal yang mengagumkan sampai anak-anak terkesima,
mengajarkan perilaku tertentu, hingga yang negatif, seperti ajakan berhubungan intim,” katanya.

Orang yang semula tidak saling kenal akan mudah saja saling berinteraksi dengan melakukan
perbuatan yang tidak akan mungkin dilakukan jika keduanya saling kenal. Mungkin ada
semacam perasaan segan, juga enggan, pada dua remaja yang sudah saling kenal untuk
melakukan perbuatan tertentu yang selama ini belum pernah mereka bicarakan—bahkan
mereka mungkin akan malu membicarakannya. Namun, dengan orang yang baru dikenal,
seorang remaja tidak punya hambatan psikologis yang besar untuk membicarakan sesuatu
yang tabu dibanding dengan jika berbicara dengan orang yang sudah lama dikenalnya.

Tapi sesungguhnya, bagaimana sikap remaja terhadap ajakan-ajakan di situs jejaring sosial
dari seseorang yang tak dikenalnya? Sebenarnya, sebagian besar remaja akan mengabaikan
orang yang tidak dikenalnya di situs jejaring sosial. Sebuah survei tentang orang tua dan remaja
dilakukan Pew Internet bersama American Life Project pada Oktober sampai November 2006.
Sebanyak 291 remaja yang pernah dihubungi orang tak dikenal melalui situs jejaring sosial
ditanya, “Coba ingat beberapa waktu lalu saat Anda dihubungi secara online oleh seseorang
yang tidak Anda kenal sama sekali, bagaimana Anda meresponnya?” sebanyak 65 persen
mengatakan hanya mengabaikan atau menghapusnya, 21 persen menanggapi sehingga dapat
mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut, 8 persen menanggapi dan meminta untuk tidak
menghubunginya lagi, 3 persen melaporkan kepada orang yang lebih dewasa, dan 3 persen
menjawab selain itu.

Sebagian besar remaja akan mengabaikan jika dihubungi secara online oleh orang yang
tak dikenalnya. Mungkin cukup melegakan. Namun sebenarnya tidak cukup lega jika dilihat,
pada data di atas, sebanyak 21 persen remaja yang dihubungi orang yang tak dikenal akan
meresponnya dan mencari tahu lebih jauh tentang orang tersebut. Dihubungi oleh orang
tak dikenal bisa membuat lebih dari seperlima remaja penasaran untuk mengetahui siapa
gerangan yang menghubunginya. Jumlah 21 persen tentu tidak bisa dipandang kecil. Angka
tersebut memungkinkan satu atau dua orang atau lebih terjerat pada kejadian sebagaimana
yang dialami Kejora. Dan kejadian semacam ini tentu bisa menguras waktu, tenaga dan
biaya banyak orang. Bukan hanya orang tua remaja tersebut, tetapi juga sejumlah pihak yang
berkaitan dengan perihal anak hilang.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh lembaga yang sama diketahui bahwa remaja,
khususnya perempuan, cukup rentan terhadap ajakan pertemanan dari seseorang yang
tidak dikenalnya. Gadis remaja dan remaja yang usianya lebih tua (sekitar 15-17 tahun)
lebih memungkinkan dikontak secara online oleh orang tak dikenal daripada remaja laki-
laki dan remaja dengan usia yang lebih muda. Gadis remaja dengan usia lebih tua paling
sering melaporkan bahwa dirinya telah dihubungi secara online oleh orang yang tak dikenal
(51 persen). Sedangkan remaja laki-laki dengan usia lebih tua hanya 30 persen saja yang
melaporkan kalau dirinya pernah dikontak oleh orang tak dikenal. Laki-laki yang tidak dikenal
mungkin merasa bahwa gadis remaja usia 15-17 tahun sudah cukup dewasa untuk berbicara
dengan lawan jenis dan cukup dewasa untuk menanggapi perkenalan dengan orang yang baru
dikenal. Disamping itu, gadis remaja dengan usia 15-17 tahun mungkin merasa dirinya tidak
sebagai anak-anak lagi, bahkan mungkin sudah merasa dewasa untuk berkomunikasi dengan
siapa saja, termasuk dengan orang yang tidak dikenal. Gadis remaja dengan usia 15-17 tahun
mungkin akan merasa dirinya terlalu kanak-kanak jika tidak menanggapi ajakan perkenalan dari
orang yang belum pernah dikenalnya.

Sebenarnya, apa yang dicari oleh remaja di situs jejaring sosial? apa yang mendorong mereka
menggunakan situs jejaring sosial sampai harus siap menanggung kemungkinan dihubungi
oleh orang yang tidak dikenal? Hasil survey Pew Internet bersama American Life Project
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja menggunakan situs jejaring sosial agar bisa tetap
berhubungan dengan orang-orang yang sudah pernah dikenalnya, baik itu teman yang sering
mereka temui (91 persen) maupun teman yang jarang mereka temui (82 persen). Sedangkan
49 persen remaja menggunakan situs jejaring sosial untuk menjalin pertemanan baru.

Tidak hanya pertemanan saja yang bisa diperoleh remaja di situs jejaring sosial. Penelitian
yang dilakukan Barbie Clarke dari Universitas Cambridge menyimpulkan bahwa remaja
menggunakan situs jejaring sosial untuk menjalin pertemanan dan mengeksplorasi identitas
dirinya. Artinya, di samping membangun pertemanan, situs jejaring sosial juga digunakan
remaja untuk membangun identitas dirinya.

Membangun identitas pada masa remaja merupakan tugas perkembangan yang penting
bagi remaja. Seorang tokoh psikologi perkembangan Erik H. Erikson memandang bahwa
masa remaja sebagai periode seseorang membangun identitas yang dibentuk melalui
serangkaian idealisasi diri dan sistem keyakinan dalam upaya mengembangkan orientasi
peran yang dipandang tepat oleh masyarakat. “Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha
untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat,” begitu tulis Erikson.
Bagaimana pembentukan identitas ini dilakukan melalui situs jejaring sosial?

Pada Facebook, identitas diri bisa dimunculkan pada kolom “about me”. Remaja bisa
mengungkapkan apa saja yang dipandang tepat untuk menggambarkan tentang dirinya. Pada
info di profil Facebook, remaja dapat menampilkan berbagai informasi yang menunjukkan
identitas dirinya—apa yang ingin orang lain ketahui tentang dirinya. Mereka bisa menampilkan
minat dirinya, musik yang disukainya, film yang disukainya, tokoh idolanya, dan buku yang
disukainya. Remaja dapat menampilkan foto apa saja yang akan dijadikan sebagai identitas
bagi profil dirinya di Facebook. Remaja bisa meng-up load foto dirinya yang bisa memperkuat
identitasnya. Mereka bisa membuat album foto yang bisa membangun kesan tertentu tentang
dirinya pada orang lain. Mereka pun bisa menggunakan fasilitas tag agar orang-orang tertentu
bisa segera melihat foto dirinya. Untuk mengungkapkan sikap, pandangan, pengetahuan, dan
apapun yang mereka ingin agar orang lain mengetahui tentang dirinya, remaja bisa menuliskan
apa saja di dinding (wall) maupun di catatan (note) pada profil Facebooknya.

Dengan upaya-upaya tertentu, Facebook bisa memberi kontribusi positif pada remaja.
Facebook sangat bermanfaat dalam membantu remaja menjalani tugas perkembangannya.
Facebook membantu remaja mendapatkan pengakuan atas keberadaan dirinya di antara teman
sebaya dan mampu membangun identitas dirinya sebagaimana diharapkan oleh orang-orang di
sekitar mereka. Facebook membantu remaja melakukan sosialisasi dan penyesuaian diri atas
norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Namun, adakalanya remaja menampilkan sikap yang tidak diharapkan—perilaku mereka


menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku. Melalui Facebook, teman sebaya yang
dikenalnya justru membuat remaja semakin memperburuk citra dirinya. Remaja menampilkan
perilaku negatif akibat pergaulan dengan teman yang baru saja dikenalnya di Facebook.
Remaja menampilkan identitas diri yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Misalnya menulis ungkapan yang bernada menghina di Facebook, menampilkan
foto yang mengundang orang lain untuk berbuat jahat, menampilkan identitas diri yang terbuka
sehingga pada akhirnya mengganggu privasi dirinya, membicarakan perihal yang tidak pantas
bagi remaja seusianya saat melakukan chatting dengan orang dewasa yang baru dikenalnya,
dan sebagainya. Melalui Facebook, remaja menampilkan berbagai perilaku negatif yang
membuat orang tua tidak bisa tidur nyenyak. Umumnya sebuah alat bantu atau sarana yang
tergantung sepenuhnya pada penggunanya, Facebook cukup unik di tangan remaja. Beberapa
pihak mungkin akan menyalahkan Facebook sebagai penyebab permasalahan remaja saat ini.

Mungkin kita perlu menghibur diri sejenak bahwa masa remaja hanyalah sebuah fase dalam
pertumbuhan seseorang. Anak remaja Anda tidak akan selamanya berbuat buruk. Perilaku
negatif mereka tidak akan menetap sepanjang waktu. Perilaku mereka akan berubah seiring
dengan pertumbuhan mereka menuju dewasa. “Jika kita tahu bahwa perilaku remaja hanyalah
sebuah fase, mengapa kita meributkannya?” begitu tanya Richard Carlson dalam bukunya
Don’t Sweat Your Small Stuff with Your Family. “Kita cemas bahwa tingkah laku dan arah
kehidupan kita ketika usia lima belas tahun akan berjalan permanen, seperti diukir pada
batu. Dalam beberapa hal kita kurang menaruh kepercayaan pada anak remaja kita padahal
mereka membutuhkannya. Kurangnya kepercayaan ini dirasakan betul oleh anak muda
zaman sekarang dan, saya yakin, memiliki peran besar atas timbulnya masalah yang kini
banyak terjadi”. Namun, ternyata zaman sekarang telah membuat kepercayaan itu sendiri
semakin terkikis. Orang tua tidak mungkin hanya percaya begitu saja pada aktivitas anak
yang terlalu privat, semacam menggunakan Facebook. Zaman sekarang, dengan teknologi
komunikasi semacam Facebook, membuat orang tua tidak mudah begitu saja percaya pada
anak remajanya.

Terkait aktivitas anak remaja di situs jejaring sosial, ada kekhawatiran orang tua terhadap
aktivitas anaknya itu. Alih-alih menjadi aktivitas yang privat sehingga orang tua tidak tahu
apa yang dilakukan anaknya, anak remaja justru memberikan banyak informasi pribadi di
dunia maya sehingga orang lain bisa mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Sebuah jejak
pendapat dilakukan oleh Common sense Media dan Zogby International terhadap 2.100 orang
di Amerika Serikat pada Austus 2010. Hasilnya, sebanyak 92 persen orang tua khawatir bahwa
anaknya memberikan terlalu banyak informasi di dunia maya. Sebanyak 85 persen orang
tua mengatakan mereka lebih peduli tentang privasi di dunia maya dibandingkan 5 tahun
sebelumnya. Bahkan, 79 persen para remaja mengatakan kalau temannya telah membagi
terlalu banyak informasi pribadi di dunia maya.

Alih-alih orang tua memberikan kepercayaan kepada anaknya, sebenarnya, sejauh mana
pengaruh orang tua terhadap perilaku anaknya?

Kejadian yang menimpa Kejora mengundang keprihatinan berbagai kalangan. Masalah yang
sudah terangkat ke permukaan memang lebih menggoda siapa saja untuk menimbang-nimbang
perihal penyebab masalahnya. Mereka menimpakan penyebab kejadian itu pada orang tua.
Walaupun orang tua bukan sepenuhnya sumber masalah remaja, namun orang lain akan
mudah menempatkan orang tua sebagai sumber penyebabnya. Padahal, setiap orang tua
yang memiliki anak gadis berusia remaja mungkin akan cemas terhadap setiap kejadian yang
menimpa remaja. Orang tua yang tidak mendapati anaknya tertimpa masalah seperti mendapat
kemujuran dan bergumam bahwa untungnya yang tertimpa masalah bukan anak remajanya—
atau belum gilirannya?

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Boy Rafli Amar, yang menangani
kasus hilangnya Kejora, memberikan masukan kepada orangtua agar lebih memperhatikan
anak gadis yang menginjak usia remaja. “Mungkin mengawasi saat berkomunikasi melalui
jejaring sosial,” begitu katanya. Kasus Kejora tidak luput dari perhatian Komnas Perlindungan
Anak (PA). “Orang tua Kejora harus sadar, kejadian ini bukan sepenuhnya kesalahan anaknya,”
begitu ungkap sekretaris jenderal Komnas PA, Aris Merdeka Sirait.

Ketua Komnas PA Seto Mulyadi mengatakan, kecenderungan anak-anak remaja mencari


perhatian di situs jejaring sosial, termasuk Facebook, disebabkan karena mereka tidak
mendapatkan perhatian dari orang tua. “Ada beberapa pengaduan yang masuk ke Komnas
yang menunjukkan adanya kecenderungan anak-anak bermain Facebook karena kurang
perhatian orang tua,” katanya. Menurutnya, orang tua bisa menjadi pendengar yang baik
sehingga anak-anak tidak perlu lagi curhat ke situs jejaring sosial. “Orang tua juga harus
melakukan pengawasan, bukan secara otoriter, melainkan secara bersahabat saat anak-anak
mereka mengakses internet dan membuka situs jejaring sosial,” begitu anjurnya.

Pengawasan yang bersahabat. Ini tentu berhubungan dengan bagaimana cara orang tua
berinteraksi dengan anak-anaknya. Ini berhubungan dengan gaya pengasuhan orang
tua (parenting style) dalam membesarkan anak-anaknya. Dengan kata lain, orang tua
menampilkan gaya pengasuhan tertentu dalam berinteraksi dengan anak remajanya yang
kerap menggunakan situs jejaring sosial. Orang tua yang menampilkan gaya pengasuhan
otoriter tentu akan menimbulkan reaksi yang berbeda dari anak remaja dibandingkan orang
tua yang mengasuh dengan pengawasan bersahabat. Akan berbeda pula pada orang tua
yang mengasuh dengan penuh bersahabat namun tanpa melakukan pengawasan pada anak
remajanya. Bagaimana pengaruh gaya pengasuhan orang tua terhadap perilaku remaja
dalam menggunakan situs jejaring sosial? Penelitian yang dilakukan Larry D. Rosen dan
kolega-koleganya mendapati bahwa gaya pengasuhan orang tua berpengaruh kuat terhadap
pengalaman, perilaku, dan sikap remaja dalam menggunakan situs jejaring sosial.

Sebelumnya, mari kita periksa keadaan anak-anak kita terkait dengan aktivitasnya di dunia
maya. Berikut ini beberapa ciri seorang anak yang memiliki ketergantungan pada internet,
termasuk situs jejaring sosial. Anda bisa memeriksa apakah beberapa ciri di bawah ini ada
pada anak remaja Anda.
1. Menentang batas waktu yang sudah disepakati sebelumnya
2. Lebih suka menghabiskan waktu dengan online daripada dengan keluarga
3. Lebih suka menghabiskan waktu dengan online daripada dengan teman-temannya
4. Merasa menderita karena sejumlah waktunya dihabiskan dengan online
5. Menarik diri dari orang lain
6. Suka merahasiakan dalam menggunakan internet
7. Merasa asyik dengan kembali online ketika sedang dalam keadaan offline
8. Merasa lelah dan letih
9. Marah atau melawan ketika batas waktunya diterapkan
10. Merasa depresi, murung atau gelisah ketika sedang offline.

Jika remaja Anda memiliki beberapa ciri di atas, Anda mungkin perlu mengakui bahwa Anda
memiliki gaya pengasuhan tertentu yang memungkinkan anak Anda memiliki ciri-ciri tersebut.
Mengapa bisa demikian?

Coba kita periksa gaya pengasuhan mana yang mendekati dengan gaya yang selama ini kita
terapkan dalam mengasuh anak-anak kita. Dalam penelitiannya, Rosen menggunakan gaya
yang pengasuhan yang dipopulerkan pertama kali oleh psikolog Diana Baumrind. Ada dua
dimensi perilaku mengasuh, yakni kontrol dan keramahan. Kontrol berarti sejauh mana orang
tua ikut terlibat dalam mengelola perilaku anaknya. Sedangkan keramahan berarti sejauh
mana orang tua menerima dan menanggapi perilaku anaknya. Dua dimensi ini membagi gaya
pengasuhan orang tua dalam empat jenis, yakni:
1. Otoritatif (authoritative)
Orang tua memiliki kontrol dan keramahan yang tinggi pada anaknya,
2. Otoriter (authoritarian)
Orang tua memiliki kontrol yang tinggi pada anaknya namun keramahan rendah,
3. Terlalu memberi hati (indulgent)
Orang tua memiliki keramahan yang tinggi pada anaknya namun kontrol rendah,
4. Mengabaikan (neglectful)
Orang tua memiliki kontrol dan keramahan yang rendah pada anaknya.

Dalam penelitiannya, Rosen melibatkan 341 pasangan orang tua-anak remaja. Dia ingin
mengetahui apakah gaya pengasuhan orang tua mempengaruhi penggunaan situs jejaring
sosial. Jika berpengaruh, gaya pengasuhan mana di antara empat gaya pengasuhan di
atas yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat perilaku negatif pada remaja dalam
menggunakan situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang digunakan dalam penelitian ini
adalah MySpace.

Mula-mula Rosen memberikan kuesioner gaya pengasuhan untuk diisi remaja yang terlibat
dalam penelitian ini. Salah satu contoh pertanyaan tentang keramahan orang tua dalam
kuesioner tersebut berbunyi berikut ini: “Saya bisa mempertimbangkan orang tua untuk
membantu saya jika saya punya berbagai macam masalah”. Salah satu contoh pertanyaan
tentang kontrol orangtua dalam kuesioner tersebut berbunyi berikut ini: “Orang tua saya
tahu dengan tepat di mana saya berada pada sore hari setelah pulang sekolah”. Kemudian,
Rosen memberikan kuesoner tentang batasan dan pengawasan orang tua baik kepada
remaja maupun orang tua yang terlibat dalam penelitian ini. Dalam skala lima (tidak pernah,
jarang, terkadang, sebagian besar waktu, dan selalu), orang tua dan remaja diminta mengisi
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner tersebut, di antaranya, “Saya tahu apa yang anak
remaja saya lakukan sepanjang waktu” (untuk orang tua) dan “Orang tua saya tahu apa yang
saya lakukan sepanjang waktu” (untuk anak remaja).

Hasilnya, anak remaja yang berusia lebih tua memiliki orang tua yang terlalu memberi hati
(indulgent) atau orang tua yang mengabaikan (neglectful). Anak remaja yang berusia lebih
muda memiliki orang tua yang otoritatif atau otoriter. Orang tua membuat batasan dan
melakukan pengawasan kepada anak remaja, namun lebih ketat dilakukan pada remaja yang
usianya lebih muda. Pada remaja yang lebih tua, batasan dan pengawasannya lebih sedikit.
Orang tua dengan remaja yang lebih tua, lebih banyak mengizinkan komputer berada di kamar
tidur daripada hal yang sama dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak remaja lebih muda.
Artinya, orang tua lebih banyak membatasi dan mengawasi anak remaja yang lebih muda
daripada anak remaja yang lebih tua.

Remaja dengan orang tua yang otoritatif lebih banyak dibatasi dan diawasi daripada remaja
dengan orang tua otoriter atau orang tua indulgent. Sementara remaja dengan orang tua
neglectful paling sedikit batasan dan pengawasannya. Sementara, orang tua dengan gaya
otoritatif dan otoriter lebih cenderung membuat batasan dalam menggunakan komputer dan
menggunakan MySpace pada anaknya dibandingkan dengan orang tua indulgent atau orang
tua neglectful. Orang tua indulgent atau orang tua neglectful lebih banyak memberi izin pada
anaknya untuk menaruh komputer di kamar tidur daripada hal yang sama dilakukan oleh
orang tua otoritatif atau otoriter. (Bagaimana dengan Anda, apakah termasuk orang tua yang
akan mengizinkan anak remaja Anda menaruh komputer di kamar tidur mereka, atau tidak
mengizinkan?)

Orang tua otoritatif memiliki pengetahuan paling banyak tentang profil MySpace anaknya.
Orang tua tipe ini paling sering melongok situs anaknya. Orangtua otoritatif dan indulgent
paling banyak memiliki pengetahuan umum tentang MySpace. Dua orang tua tipe ini juga lebih
banyak memiliki profil di MySpace sehingga bisa berhubungan dengan profil anaknya. Bersama
dengan orang tua otoriter, orang tua otoritatif lebih cenderung melihat foto pada profil MySpace
anaknya. Beberapa perbedaan gaya pengasuhan dan efeknya terhadap perilaku anak remaja
dalam menggunakan MySpace tampak pada tabel berikut ini.

Variabel Otoritatif Otoriter Indulgent Neglectful

Orang tua melihat halaman MySpace 78 % 67 % 67 % 52 %


anaknya

Orangtua tidak pernah atau paling 22 % 40 % 53 % 64 %


tidak pernah melihat halaman
MySpace anaknya

Orang tua melihat foto di MySpace 72 % 73 % 66 % 46 %


anaknya

Orang tua megatakan kalau dia 57 % 51 % 27 % 26 %


membatasi penggunaan komputer
pada anaknya

Orang tua megatakan kalau dia 50 % 42 % 29 % 15 %


membatasi penggunaan MySpace
pada anaknya

Komputer ada di kamar tidur 32 % 27 % 51 % 44 %


Orang tua punya akun MySpace 40 % 24 % 36 % 22 %

Keterbukaan anak:

Nama lengkap 29 % 29 % 55 % 54 %

Alamat 3% 6% 13 % 12 %

Nama sekolah 56 % 53 % 69 % 73 %

e-mail 40 % 49 % 73 % 54 %

Nama Internet Masangger (IM) 45 % 53 % 67 % 59 %

Lokasi sekolah 23 % 27 % 51 % 47 %

Bertemu dengan seseorang yang 6% 15 % 27 % 10 %


baru pertama kali dijumpai di
MySpace

Coba kita perhatikan pada tabel di atas tentang keterbukaan anak. Remaja dengan orang tua
otoriter dan otoritatif paling sedikit membuka informasi pribadinya seperti nama lengkap, alamat
rumah, nama dan alamat sekolah, dan e-mail. Ini menarik karena informasi yang diberikan anak
remaja di situs jejaring sosial berhubungan dengan seperti apa gaya pengasuhan orang tuanya.
Anak remaja yang punya orangtua otoriter dan otoritatif cenderung lebih sedikit memberikan
informasi pribadinya di situs jejaring sosial. sedangkan anak remaja dengan orang tua orang
tua indulgent dan orang tua neglectful cenderung lebih banyak memberikan informasi pribadi
di situs jejaring sosialnya. Jadi, jika orangtua benar-benar kuatir dengan informasi pribadi yang
diberikan anak remajanya di situs jejaring sosial, mereka pertama kali perlu kuatir dengan
dirinya sendiri: adakah yang kurang tepat dengan gaya pengasuhan yang saya terapkan
selama ini? Jadi, orang tua perlu melihat seperti apa gaya pengasuhan yang selama ini
mereka terapkan pada anak remajanya, juga akan seperti apa gaya pengasuhan yang akan
mereka terapkan agar anak remajanya tidak memberikan informasi yang terlalu banyak di situs
jejaring sosial. Hanya ada dua pilihan yang mungkin: mau jadi orangtua otoriter atau orang tua
otoritatif? Pilihan ini akan makin jelas setelah kita membaca hasil penelitian ini lebih lanjut pada
paragraf di bawah ini.

Baik, bagaimana dengan kemungkinan anak remaja bertemu secara langsung dengan orang
yang baru pertama kali ditemui di dunia maya, termasuk dalam hal ini di situs jejaring sosial?
Dalam penelitian ini, remaja dengan orang tua indulgent paling banyak bertemu secara
langsung dengan orang yang baru ditemuinya di MySpace. Fenomena ini makin berkurang
secara berturut-turut pada anak dengan orangtua otoriter, neglectful dan otoritatif. Jadi, orang
tua otoritatif paling sedikit mendapati anaknya melakukan pertemuan secara tatap muka
dengan orang asing yang baru ditemui di dunia maya atau situs jejaring sosial. Orangtua
otoriter mungkin tidak akan mendapati anak remajanya banyak memberikan informasi pribadi
di situs jejaring sosial, tetapi anak remajanya lebih mungkin bertemu secara langsung dengan
orang yang baru pertama kali ditemui di situs jejaring sosial.

Hasil penelitian ini menekankan bahwa orang tua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif
berhubungan dengan lebih sedikit perilaku beresiko di dunia maya yang dilakukan oleh anak
remajanya. Dalam penelitian ini, ada dua perilaku beresiko di dunia maya yang dilakukan anak
remaja, yakni banyak menampilkan data pribadi tentang dirinya di situs jejaring sosial dan
bertemu secara tatap muka dengan orang asing yang baru dikenal di situs jejaring sosial. Jadi,
agar anak remaja kita tidak banyak menampilkan data pribadi tentang dirinya di situs jejaring
sosial dan untuk mengurangi kemungkinan anak remaja kita bertemu secara tatap muka
dengan orang asing yang baru dikenal di situs jejaring sosial, maka kita perlu lebih banyak
orang tua yang otoritatif: orang tua yang memberikan kontrol sekaligus keramahan, dalam porsi
yang seimbang, pada anak remajanya.[]

Tentang Penulis

Abu Bakar Fahmi adalah peminat psikologi kepribadian dan sosial. Beberapa
kali terlibat dalam penelitian di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Alumni psikologi UGM ini lahir di Tegal, sekarang
tinggal dan bekerja di Jakarta. Buku ini, Mencerna Situs Jejaring Sosial (Elex Media
Komputindo, 2011), adalah bukunya yang kedua. Buku pertamanya diterbitkan oleh
penerbit yang sama berjudul Menit untuk Anakku (2010).

You might also like