You are on page 1of 3

POSISI AKAL DAN HAWA NAFSU DALAM ISLAM

(Q.S. Ali Imran/3:190-191, Q.S.Shad/38:26 dan Q.S.al-Mu’minun/23: 71 )

A. Pendahuluan
Manusia sebagai pelaku pendidikan, Allah anugrahkan alat yang dapat
digunakan untuk mencapai kebaikan dan keburukan yaitu hati nurani, akal, dan
ruh juga hawa nafsu. Pendidikan sebagai suatu proses mendidik dan membimbing
manusia harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki keterampilan untuk
dapat mempergunakan akalnya yang dapat membawa kebaikan dan hawa nafsu
yang dapat menjauhkannya untuk melakukan keburukan.

B. Pembahasan
Kata akal (‫ )العقل‬yang berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda,
tidak akan kita temukan dalam Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan
mengungkap kata akal maka akan didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : ,‫عقلوه‬
‫يعقلون‬,‫ يعقلها‬,‫نعقل‬ kata-kata itu dapat diartikan dengan paham dan mengerti.
Selain itu kata akal juga diidentikan dengan kata LubI jamaknya al-Albab,
sehingga ulul Albal diartikan orang-orang yang berakal. Dalam Q.S. Ali
Imran/3:190-191 dinyatakan :
‫ان في خلق السموات والرض واختلف الليييل‬
‫الييذين يييذ كييرون‬.‫والنهار ليات لولي اللبييا ب‬
‫الله قياما وقعييودا وعلييي جنييوبهم ويتفكييرون‬
‫في خلق السموات والرض ربنا ما خلقت هييذا‬
‫با طل سبحانك فقنا عذاب النار‬
Pada ayat tersebut di atas terlihat bahwa orang yang berakal (Ulul Albab)
adalah orang yang melakukan dan memadukan antara tadzakkur dan Tafakkur
yakni mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan melakukan kedua hal
tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui, memahami dan
menghayati bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang ada
didalamnya menunjukan adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh
menyatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian
siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu
adanya aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat
di dalamnya. Hal itu menunjukan kepada fungsi akal sebagai alat untuk
mengingat, berfikir dan merenung.
Lebih lanjut Al-Maraghy mengatakan bahwa keberuntungan dan
kemenangan akan tercipta dengan mengingat keagaungan Allah dan memikirkan
terhadap segala ciptaan-Nya (makhluk-Nya). Kebahagiaan tersebut dapat dilhat
dari munculnya bebagai temuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
yang pada hakikatnya merupakan generalisasi atau teorisasi terhadap gejala-gejala
dan hukum yang terdapat di alam jagat raya ini. Keadaan tersebut dapat
mengantarkan pula manusia untuk mensyukuri dan meyakini bahwa segala
cipataan Allah ternyata amat bermanfaat dan tidak ada sia-sia;
‫ربنا ماخلقت هذا بيياطل سييبحانك فقنييا عييذاب‬
‫النار‬
(Ya Tuhan kami, Engkau tidak ciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia, Maha
Suci Engkau Ya Allah , dan karenanya jauhilah kami dari api neraka)

Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan
kata al-Hawa’ (‫ )الهههوى‬yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya.
Pertama, menyangkut pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan
sifatnya yatiu enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya
yang menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan
lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang
yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah Allah SWT (Q.S.
An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa hawa nafsu
yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak manusia kepada
hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan dan menghinakan
bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman :
‫يا داود انيا جعلنياك خليفية فيى الرض فياحكم‬
‫بين الناس بالحق ولتتبييع الهييوى فيضييلك عيين‬
‫سبيل اللييه لهييم عييذاب شييديد بمييا نسييوا يييوم‬
(26 :‫الحسا ب )ص‬
Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai
penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara
dengan seadil-adilnya, yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu
kelompok dengan kelompok yang lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar
tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapt menyebabkan manusia melakukan
perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan
tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan
menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah bahwa seorang pemimpin yang
baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan
yang gemar memperturutkan hawa nafsunya dalam setiap perbuatan dan
tindakannya.
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana
syetan memasukan peranan, dan pengaruhnya. Pengaruh itu dapat tampil dalam
berbagai bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau
miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda
maupun orangtua dan seterusnya.Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai
lapisan tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan
hancurlah segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Dalam hubungan ini Allah mengingatkan dalam
Q.S. Al-Mu’minun/23:17:
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Qur’an) mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.”

C. Hikmah Tarbiyah (Implikasi Pendidikan)


• Pendidikan yang baik hendaknya mempertimbngkan potensi akal
• Pendidikan harus membina dan mengembangkan potensi akal pikiran
manusia dalam memecahkan berbagai masalah
• Materi pendidikan diarahkan untuk membina akal tersebut
• Pendidikan juga harus mengarahkan dan mengingatkan manusia untuk
tidak melakukan yang dapat merangsang hawa nafsu manusia
• Materi pendidikan akhlak dan budi pekerti dalam penerapanya di
kehidupan sehari-hari menjadi amat penting untuk meredam segala
gejolak hawa nafsu
• Orang yang telah terbina akalnya dan terkendalikan hawa nafsunya
diharapkan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam
menghadapi problema kehidupan

Referensi:
1. Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy
2. Ibn Katsir, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir
3. Abudin Nata, Tafsir al-ayat at-Tarbawiyyah

You might also like