You are on page 1of 30

M. Fischbach · A. Edefonti · C. Schr_der · A.

Watson ·
The European Pediatric Dialysis Working Group

Hemodialisis Pada Anak: Pedoman Pelaksanaan Umum

Abstrak. Dalam 20 tahun terakhir, anak – anak telah mendapatkan keuntungan dari
perkembangan teknologi dan manajemen klinis untuk dialisis. Angka morbiditas saat
dilakukan dialisis telah berkurang dan tidak ditemukan kejadian kejang dan jarang
ditemukan hipotensi yang episodik. Penggunaan kateter internal pada vena jugularis
jangka panjang dan penggunaan krim anestesi untuk lokasi tusukan telah mengurangi
rasa nyeri dan ketidaknyamanan. Teknologi non invasif yang digunakan untuk
menentukan berat kering pasien dan akses masuk dapat mengurangi morbiditas dan
biaya perawatan secara signifikan. Penemuan tentang urea kinetic modeling dapat
memudahkan kita untuk menghitung pemberian dosis dialisis, Kt/V, dan melakukan
penilaian intake secara tidak langsung. Penentuan status nutrisi dan nutrisi penunjang
merupakan hal yang penting pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Walaupun validitas data tentang ‘hanya urea saja’ masih dipertanyakan, analisis
tersebut memudahkan kita untuk menyediakan informasi saat pemantauan. Mesin
yang lebih baru memungkinkan kontrol ultrafiltrasi yang lebih baik melalui
pemantauan volumetrik dan pemantauan volume darah yang lebih baik saat dilakukan
dialisis. Larutan buffer bicarbonat merupakan standar dan lebih biokompatibel
terhadap membran sintetik dan material dialisis berukuran kecil yang spesifik dan
telah dibuat sistem ‘tubing’ untuk anak kecil. Telah ditemukan konsep yang lebih
baru, dialisat ultra murni, yaitu bebas kontaminas mikrobiologi dan endotoksin.
Konsep ini memungkinkan untuk dilakukan hemodiafiltrasi, terutama pada pilihan
on-line, yang secara teori memberikan lebih banyak keuntungan dan harus
dipertimbangkan pada kasus yang membutuhkan hemodialisa yang
optimal/maksimal. Walaupun dosis dialisis yang optimal untuk anak masih belum
pasti, dengan durasi yang panjang atau dialisis harian memberikan hasil yang lebih
baik dalam mengontrol kadar fosfat dari pada hemodialasis konvensional dan harus
diperhatikan dengan baik setidaknya pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler.
Pada anak, hemodialisis harus dilakukan secara individual dan dipandang sebagai
‘terapi terpadu’ karena mempertimbangkan kegagalan pengobatan gagal ginjal dalam
jangka panjang. Dialisis terlihat hanya sebagai tindakan sementara untuk anak – anak
dibandingkan dengan transplantasi ginjal karena ini merupakan tindakan rehabilitasi
terbaik dalam segi pendidikan dan fungsi psikososial. Walaupun begitu, dialisis
jangka panjang pada anak – anak ini harus ditetapkan dengan standar tertinggi untuk
menjamin ‘kehidupan kerdiovaskuler’ mereka yang mungkin memerlukan waktu
dialisis yang lebih banyak dan hemodiafiltrasi “on-line” dengan membran sintetik
aliran tinggi jika kita dapat meningkatkan konsep klirens dialisis urea berukuran kecil
terlarut yang masih terbatas.

Kata kunci: Hemodialisis – Anak – Pedoman

Pendahuluan

The European Pediatric Dialysis Working Group didirikan pada tahun 1999 oleh ahli
nefrologi pediatric dari berbagai Negara eropa yang berkonsentrasi pada hemodialisa.
Grup ini sebelumnya telah menerbitkan pedoman lain, yaitu dialysis peritoneal [1,2].
Pelaksanaan hemodialisa pada anak telah mengalami peningkatan dalam 20 tahun
terakhir, terutama akibat perkembangan teknologi, dan evolusi kebutuhan dialisis dari
‘minimal/adekuat’ menjadi ‘optimal/maksimal’[3]. Walaupun begitu, sepertinya
masih diperlukan rekomendasi secara umum yang baru.

Pedoman ini diinisiasi dan didiskusikan pada pertemuan grup ini dan disempurnakan
melalui diskusi via email untuk membentuk suatu opini dari consensus tersebut,
berdasarkan kumpulan pengalaman klinis dan penelitian yang dilaporkan. Laporan ini
akan membahas faktor utama yang akan mempengaruhi pemberian dan manajemen
hemodialisis pada anak.

Pada beberapa negara di eropa, hemodialisis (HD) sering dilakukan pada anak usia
lebih dari 5 tahun [3]. Kebalikannya, dialisis peritoneal (PD) sering dilakukan pada
anak usia kurang dari 2 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10 kg. Walaupun
begitu, penelitian pada beberapa pusat penelitian di Eropa menemukan 73% dari 189
anak menjalani dialisis peritoneal pada usia lebih dari 5 tahun [4]. Faktor – faktor
utama yang dipertimbangkan untuk memilih terapi teermasuk diantaranya [4] usia
anak (30%), pilihan orang tua (27%), jarak dari tempat terapi (14%), pilihan pasien
(11%), kondisi social (7%), dan tidak mampu melakukan salah satunya (6%).
Walaupun, biasanya HD tidak dilakukan pada anak usai kurang dari 5 tahun kecuali
didapatkan kontraindikasi yang penting untuk dilakukan PD [1]. Pada anak lebih
dewasa, HD dilakukan pada anak yang pada anak yang keluar dari program PD atau
ada alasan medis (jarang) atau alasan psikososial (lebih sering) untuk tidak
melakukan PD.

Memilih cara dialisis, baik PD maupun HD, untuk anak memerlukan pertimbangan
pengaruh jenis dialisis pada ketahanan fungsi residual ginjal (RRF) diantara beberapa
faktor lainnya karena berpengaruh secara spesifik terhadap hasil akhir pasien.
Meskipun tidak ada consensus secara umum, dialisis peritoneal telah diakitkan
dengan resiko kurangnya RRF [5,6]. Secara keseluruhan pilihan cara dialisis
merupakan bagian dari model pelayanan terpadu, setiap anak harus dipertimbangkan
untuk dilakukan program kombinasi dialisis-transplantasi.

Penyediaan akses vaskular yang memadai tetap menjadi hambatan terbesar hambatan
bagi kesuksesan pelaksanaan HD, terutama pada bayi. Tidak seperti di Amerika
Serikat, di mana pasien sering menggunakan kateter pusat untuk mengakses
pembuluh darah [7], di Eropa akses pembuluh darah paling umum adalah suatu fistula
arteriovenosa untuk dialisis jangka panjang [8]. Menurut pedoman KDQOI,
persentase kateter pada unit dialisis untuk orang dewasa harus kurang dari 10%,
meskitpun banyak pusat pediatri tidak memenuhi standar ini, karena kesulitan untuk
menciptakan fistula pada anak kecil, terutama pada usaia kurang dari 2 tahun.

Selama dua dekade terakhir telah terjadi banyak perbaikan teknologi [3]: bikarbonat
digunakan sebagai buffer dalam larutan dialisis, ultrafiltrasi yang dikendalikan secara
volumetrikal, jalur dialisis yang lebih kecil dan membran sintetik bahkan dapat
berguna untuk bayi, memungkinkan setingkat ultrafiltrasi dan komposisi dialisat,
hemodiafiltrasi ‘on line’ dan konsep dialisat ultramurni, yaitu steril dan bebas
pirogen. Teknologi non invasif untuk menilai target berat kering pasien dan aliran
akses memberikan potensi penurunan dalam morbiditas dan biaya dialisis [9]. Baru-
baru ini telah dipasarkan obat untuk memperbaiki anemia, misalnya untuk erythropo
etin bahkan darbepoietin, dan infus zat besi, dimana berkontribusi pada peningkatan
klinis pasien yang menjalani hemodialisis[10].

Kuantifikasi kecukupan dialisis oleh model urea kinetik memungkinkan pendekatan


yang lebih spesifik untuk dosis dialisis dan merupakan penilaian tidak langsung pada
asupan protein, meskipun klirens dari nilai terlarut-kecil yang terbatas [11]. Namun
demikian, telah diterima secara luas bahwa hasil klinis setidaknya tergantung pada
dosis dialisis yang didiberikan [12, 13, 14, 15]. Bahkan, pengalaman suatu pusat
penelitian menunjukkan dampak yang menguntungkan dari durasi dialisis yang lebih
lama pada hasil klinis anak-anak [13]. Namun, sekarang menjadi semakin terbukti
bahwa peningkatan dosis dialisis ketika hanya diberikan tiga kali seminggu
merupakan strategi yang tidak fisiologis, bersifat self-limited dimana berpotensi
meningkatnya risiko gangguan hemodinamik dan elektrolitik [16, 17, 18]. Dalam
perawatan pasien dewasa, ada kecenderungan penggunaan dialisis harian, karena
pengalaman jangka panjang menunjukkan baik hasil [16, 17, 18]. Pada anak-anak
hanya didapatkan satu contoh penelitian yang mendukung dampak positif dengan
dialisis harian pada remaja sangat tidak kooperatif [19].
Pada anak-anak pemberian hemodialisis harus ditinjau secara individual. Pemilihan
cara hemodialisis harus memperhitungkan waktu sebelum dilakukan transplantasi
ginjal dianggap sebagai "pembenaran" untuk menggunakan cara "yang terbaik yang
tersedia" dengan biaya tertinggi dan, sebaliknya, yang didukung penelitian yang
sangat terbatas / sementara[13, 19].

Pentingnya pilihan bahan yang digunakan untuk cuci darah dan penerapannya tidak
boleh mengesampingkan kebutuhan pengelolaan seluruh anak dengan ESRF,
terutama yang memerlukan gizi optimal[20]. Karena dialisis tidak mampu
mengoreksi sepenuhnya berbagai fungsi ginjal yang hilang selama ESRF, obat-obatan
dan makanan rekomendasi dibutuhkan pada anak-anak yang menjalani hemodialisis
[20]. Hormon pertumbuhan rekombinan sering dibutuhkan dengan pertimbangan
tingkat kecepatan pertumbuhan anak-anak yang menjalani dialisis kronis [3].

Pedoman 1: Unit Dialisis

 Hemodialisa harus dilakukan di pusat dialisis ‘pediatri’ dengan tim dari multi
disiplin ilmu yang menunjang terapi berdasarkan tiap individu dan terpadu.

 Kepentingan utama adalah nutrisis, pertumbuhan dan edukasi.

Karena ada kebutuhan khusus pada anak, maka hemodialisis harus diberikan dengan
baik, dan mungkin hanya, dilakukan pada unit dialisis pediatri saja [3,4,7].

Terapi ini termasuk untuk terapi remaja hingga berumur 18 tahun dan tergantung dari
pertumbuhan fisik dan psikologis anak dan tergantung penyesuaian dengan alat untuk
orang dewasa [21]. Perawatan pasien anak dengan ESRF mememrlukan koordinasi
tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, psikolog, guru sekolah, ahli terapi
bermain, dan pekerja sosial [22]. ‘keluarga sekunder atau tim pendukung’ ini harus
terdiri dari multidisiplin ilmu dan harus siap sedia dengan cepat untuk anak dengan
penyakit kronis, baik berjarak jauh maupun dekat untuk menstimulasi kehidupan
keluarga yang normal, menunjang pendidikan sesuai usia, yang berguna untuk
menunjang kehidupan sosial di masa depan.

Hemodialisis, kontras dengan dialisis peritoneal, biasanya dilakukan di rumah sakit,


di mana pada kebanyakan pasien dilakukan tiga kali seminggu. Frekuensi ini
mungkin dapat meningkat untuk memenuhi kebutuhan pada bayi dan remaja yang
membutuhkan ‘dialisis yang lebih banyak’ [3,13,19].

Pedoman 2: kualitas air

 Komposisi cairan biokimia yang adekuat

 Bebas dari kontaminasi bakteri

Mesin dialisis memerlukan air untuk memproduksi dialisat dengan komposisi


biokimia yang adekuat dan bebas dari kontaminasi bakteri, seperti bakteri dan
endotoksin (Tabel 1). Saterilisasi air tergantung dari kualitas sumber air. Biasanya
dilakukan filtrasi dengan menggunakan arang dan penyaring kecil dengan sistem
osmosis terbalik untuk memproduksi air yang digunakan pada dialisis yang sesuai
dengan yang direkomendasikan. Saat ini, semua mesin dialisis yang baru memiliki
kemampuan untuk menyaring dialisat melalui membran beraliran tinggi, yang
meningkatkan kemurnian mikrobiologi.

Pada hemodiafiltrasi yang menggunakan teknik on-line [24,25] dengan hasil produksi
langsung dari dialisat yang merupakan hasil hemofiltrasi dari cairan pengganti,
dialisat merupakan hasil dari ultrafiltrasi ganda, menghasilkan dialisat ultra murni
yang steril dan bebas endotoksin, setidaknya dalam level yang seharusnya terdeteksi.
Dialisat ultra murni ini seharususnya membatasi risiko yang berhubungan dengan
kontaminasi mikrobiologi, yaitu menginduksi proses inflamasi dan konsekuensinya
baik akut dan kronis [23]. Dialisat ultra murni memerlukan penggunaan membran
sintetik beraliran tinggi ketika atau terutama menggunakan hemodialisis konvensional
dengan cara konvensional. Dekontaminasi atau sterilisasi oleh agen kimia atau oleh
pemanasan harus dilakukan dalam air, sebelum dialisat akhir diproduksi oleh mesin
dialisis, dengan proses filtrasi dan instalasi osmosis dan distribusi air, tanpa ada jeda
antara sterilisasi dan produksi dialisat akhir. Pengendalian mutu air untuk dialisat
harus dilakukan secara teratur berkaitan dengan komposisi kimia (minimal sekali per
tahun), dan kemurnian dialisat akhir harus dinilai yang berhubungan dengan bakteri
dan endotoksin (lebih sering, tergantung pada cara dialisis, dan bisa mingguan jika
menggunakan membran beraliran tinggi) (Tabel 2) [23].

Pedoman 3: Mesin Dialisis

 Pengontrolan ultrafiltrasi volumetrik

 Pilhan dialisis baik dengan jarum tunggal atau ganda

Dalam dekade terakhir banyak inovasi telah dikembangkan dalam segi peralatan oleh
produsen yang berbeda [3]. Tapi relevansinya dengan hasil akhir pada anak tetap
tidak diketahui, karena dari tidak adanya hasil studi terkontrol yang cukup. Namun
demikian inovasi berikut tampak penting: produksi dialisat dengan pompa
pengenceran ganda menggunakan kontrol ultrafiltrasi volumetrik dan pompa darah
dengan jarum ganda dapat digunakan untuk dialisis tunggal pompa.

Inovasi "teknologi tinggi" lainnya disebutkan karena penggunaan yang terbatas pada
pusat-pusat "ahli " tertentu saja: dialisis berdasarkan individu dengan pemantauan
ultrafiltrasi dan konsentrasi larutan dialisat (sodium, bikarbonat); mesin polyvalensi
yang memungkinkan tidak hanya dilakukan dialisis konvensional tetapi juga
hemofiltration dan hemodiafiltration yang memberikan standar tertinggi dalam hal
toleransi dan efisiensi [24, 25]. Mesin dialisis baru menyediakan pemantauan variasi
hematokrit sebagai inovasi utama yang menjanjikan [9, 26] dan pemantauan langsung
kinetik urea [27]. Ada tawaran yang terbatas untuk pemantauan suhu darah untuk
menghindari hilangnya kalori pada dialisat atau jika memberikan dialisat yang
didinginkan [28].

Semua inovasi ini memungkinkan hemodialisis berdasarkan individu bagi anak-anak,


tetapi cara konvensional harus dipertimbangkan keseimbangannya antara manfaat dan
biaya. yang diharapkan.

Pedoman 4: Jalur darah

 Tersedia dalam ukuran bayi/infant

 Bahan yang biokompatibel

Tersedia berbagai jalur untuk dialisis bayi sampai yang terbesar untuk dialisis remaja.
Harus dipertimbangkan tentang biokompatibilitas mereka, jenis sterilisasi (bebas
etilena oksida), dan volume darah yang diperlukan [3].

Pedoman 5: Prinsip Pemurnian Darah

 Kliren zat terlarut kecil dan lebih, dari proses difusi (urea) hingga konveksi
(racun uremik lain " molekul sedang") transportasi missal

 hemodiafiltration adalah pilihan yang dipertimbangkan untuk memperoleh


efisiensi dialisis yang "maksimum".

Ekstraksi toksin uremic dalam dialisis [3, 24] terkait dengan kombinasi proses difusi
dan transportasi massa konveksi (Tabel 3). Dalam hemodialisis (HD), pemurnian
darah sangat tergantung pada proses difusi akibat adanya konsentrasi gradien, yang
menjamin proses eliminasi molekul kecil (urea) yang terbaik. Klirens HD (KHD)
berkorelasi langsung dengan laju aliran darah. Dalam hemofiltration (HF), ekstraksi
toksin uremik sebagian besar tergantung pada transportasi massa konveksi akibat
gradien tekanan, yang mengoptimalkan eliminasi senyawa dengan berat molekul
molekul rendah maupun menengah-berat. Klirens HF (KHF) berkorelasi secara
langsung dengan tingkat ultrafiltrasi aliran yang dibatasi oleh aliran darah. Pada mode
post dilution, yakni pengganti cairan pada ruang jalur vena yang terletak setelah
membran dializer, laju maksimum dari filtrasi kurang dari separuh laju aliran darah;
biasanya sepertiganya, untuk membatasi risiko hemokonsentrasi yang berlebihan.
Dalam mode predilution, yaitu penggantian cairan perfusi di ruang jalur arteri, yang
terletak sebelum membran dializer, laju maksimum filtrasi aliran harus dua pertiga
dari atau sama dengan darah laju aliran. Hemodiafiltrasi (HDF) menggabungkan HD
dan HF secara bersamaan, yang memungkinkan pemurnian darah oleh kedua proses
difusi dan transportasi massal konvektif. Klirens HDF (KHDF) dalam mode post-
dilution diukur dengan penggunaan rumus Granger [24]:

KHDF = KHD (1 – QUF x S/Qb) + KHF

Dengan penggantian QUF x S dengan KHF dan Qb dengan Kmax (klirens maksimum
yang dicapai) maka rumus KHDF menjadi:

KHDF = KHD + KHF –

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hal pemurnian darah KHDF meningkatkan
pembersihan toksin uremik jika klirens HF atau HD lebih rendah dibandingkan Kmax
(sama dengan laju aliran darah). HDF dengan membran yang sangat permeabel
merupakan HD efisien untuk senyawa dengan dengan berat molekul rendah, tapi
lebih efisien daripada HF untuk senyawa berat molekul berat [29]. Selain efisiensinya
dalam pemurnian darah, HDF juga terkait dengan angka morbiditas yang lebih rendah
saat dilakukan dialisis [30, 31], seperti HF [3]. HDF On-line [24, 25], dimana dialisat
yang telah disaring bebas dari racun dan pirogen digunakan sebagai pengganti cairan,
yang memungkinkan peningkatan kecepatan konveksi cairan, terutama pada mode
predilution, dan menjadikan peningkatan dosis dialisis tanpa peningkatan biaya.
Penggunaan dialisat ultra murni, yaitu steril dan bebas pirogen, seperti yang
digunakan pada dialisat HDF on-line, menurunkan angka penyakit yang terkait
dengan peradangan kronis yang berhubungan dengan dialisat yang terkontaminasi
[23], misalnya amyloidosis mikroglobulin β2, hiperkatabolisme dengan hilangnya
massa tubuh, penurunan kecepatan pertumbuhan, fibrosis dan penyakit
kardiovaskuler. Sebuah membran aliran tinggi [32], dengan peningkatan koefisien
ultrafiltrasi permeabilitas memungkinkan filtrasi kembali dari dialisat ke
kompartemen darah, yang disebut retrofiltration, meningkatkan risiko di atas,
terutama dengan dialisat yang terkontaminasi [23].

Pedoman 6: Akses pembuluh darah dan sirkulasi ekstrakorporeal

 Akses vaskuler fistula lebih dipilih pada dialisis kronik jangka panjang

 Pada anak kecil, dengan berat kurang dari 15 kg, waktu yang dibtuhukan
untuk membuat fistula sebelum dapat digunakan mungkin dapat berbulan –
bulan.

 Teknik jarum ganda adalah standarnya, namun teknik jarum tunggal dengan
pompa ganda merupakan alternative.
 Kateter lumen tunggal dengan klem dapat digunakan pada anak kecil dengan
pertimbangan baik volume darah di luar tubuh yang minimal maupun efikasi
dialitik yang baik.

 Total volume darah ekstrakorporeal (jarum, tabung dan dializer) harus, kira-
kira, kurang dari 10% dari volume darah total pasien.

 Antikoagulasi pada sirkuit ekstrakorporeal didapat baik dengan menggunakan


heparin konvensional atau dengan heparin berat molekul rendah.

 Kecepatan rata – rata aliran darah ekstrakorporeal (QB) 150 – 200 mL/menit/m
atau 5 – 7 mL/menit/KgBB sudah cukup.

Keberhasilan hemodialisis kronis tergantung pada vaskular akses yang baik: fistula
arteriovenosa internal (AVF), shunt (AVS), graft (AVG) atau kateter vena sentral.
Jenis akses yang digunakan bervariasi tergantung pada faktor-faktor pada unit dan
negara masing - masing, misalnya pengalaman bedah, umur dan ukuran pasien, waktu
yang tersedia sebelum dialisis harus dimulai, dan dianggap sebagai waktu tunggu
sebelum transplantasi. Pilihan pasien sendiri memainkan peran yang besar, terutama
dengan remaja.

Kateter lebih umum digunakan di Amerika Serikat daripada di Eropa [7, 8]. Kateter
dapat menjadi akses utama khususnya pada gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis
dengan gambaran akut, pada anak-anak kecil dan dalam kasus dianggap periode
singkat pada hemodialisis kronis. Akses kateter internal vena jugular di superior dari
vena subclavian; dimana telah diakui ke depannya dapat melindungi fistula
arteriovenosa yang diimplantasi di lengan. Akses kateter harus femoral hanya
digunakan untuk akses "penyelamatan dan bersifat sementara" jika perawatan intensif
dibutuhkan: metode ini mudah untuk dilakukan tetapi dengan risiko infeksi dan
trombosis yang lebih tinggi. Sebuah kateter double lumen, setidaknya 8 French, lebih
banyak digunakan untuk anak-anak dan telah dilaporkan memiliki tingkat
kelangsungan hidup setinggi 60 sampai 85% dalam satu tahun pertama [33], atau
hanya serendah 30% [34]. Namun pada bayi kecil kateter lumen tunggal yang
digunakan dengan teknik klem alternatif dapat mengkompensasi resirkulasi dan
jumlah volume kedua darah ekstrakorporeal dan aliran darah yang telah dicapai [35].
Trombosis, merupakan penyebab utama kegagalan fungsi kateter, dilaporkan antara 9
dan 46% [34]. Trombosis yang menyebabkan aliran yang jelek dapat diperbaiki
dengan metode yang berbeda untuk menyelamatkan fungsi kateter: penggantian
kateter dengan kawat pemandu, antikoagulan oral sistemik dan urokinase lokal atau
pemberian aktivator plasminogen jaringan [36]. Kejadian hilangnya akses kateter
terkait dengan infeksi telah menurun selama dekade terakhir, penggunaan antibiotik
yang agresif dan beberapa terapi antibiotik, meskipun tidak diterima secara universal
menyebabkan infeksi yang terkait kateter menjadi lebih rendah [34, 36, 37].

Bedah mikro memungkinkan penggunaan aVF fungsional di pergelangan tangan pada


kebanyakan anak, bahkan anak kecil [8] tetapi hanya dilakukan beberapa ahli bedah
yang dilatih untuk bedah mikro vaskular, yang oleh karena itu jarang digunakan.
Membuat fistula di siku adalah akses vaskuler pilihan kedua. Dengan vena cephalic
yang sudah tidak fungsional, dapat dilakukan transposisi vena basilika, yaitu dibuat
lebih superfisial[38]. Cangkok sintetis seharusnya disediakan untuk anak-anak yang
telah kehabisan pembuluh darah vena autologous dan seharusnya digunakan pada
anak-anak walaupun sangat jarang. Untuk semua alasan di atas maka evaluasi
preoperatif terhadap pembuluh darah untuk menentukan pilihan pembuluh darah yang
tepat sebelum operasi adalah wajib. Lengan yang non-dominan harus dipilih sebagai
pilihan utama implantasi fistula. Tingkat kelangsungan hidup aVF lebih tinggi dari
angka kelangsungan hidup kateter, dengan lebih dari dua pertiga dari anak-anak
dengan AVF dapat mempertahankan fungsunya selama empat tahun [8].
Menggunakan fistula vena basilika yang dibuat superfisial tidak boleh digunakan
sebelum terjadi penyembuhan penuh (2 untuk 6 minggu) untuk menghindari
hematoma saat pembedahan. Waktu yang diperlukan untuk kematangan vena
sebelum digunakan tergantung pada umur pasien dan lokasi AVF (distal atau
proksimal). Pada anak-anak kecil ini jangka waktu ini sering terlambat beberapa
bulan. Sebelum operasi sangat penting untuk menghindari tusukan pada vena di
lengan yang dipilih dalam beberapa minggu sebelum dibuat AVF. Ini sangat penting
untuk melindungi lengan dominan sejak awal perawatan anak dengan "risiko dialisis
kronis" untuk mengaktifkanimplantasi dari fistula jika perlu. Perlindungan terhadap
vena tidak boleh dilupakan untuk anak-anak saat dialisis peritoneal, bahkan pada
bayi/infant. Untuk jangka waktu tertentu sebelum operasi, terutama untuk anak-anak
kecil, [8] dilatasi pembuluh darah dengan cara mencelupkan lengan bawah dalam air
panas sangat menguntungkan, manuver ini ditingkatkan dengan pemasangan
tourniquet. Sebuah AVF proksimal dengan aliran darah tinggi, biasanya sekitar 1000
mL/min/m2, merupakan faktor risiko untuk terjadi gagal jantung. Namun demikian,
komplikasi utamanya adalah trombosis, sebuah konsekuen untuk stenosis lokal. Oleh
karena itu, tindak lanjut dari aliran akses sangat penting, di satu sisi klinis: auskultasi
(suara AVF maksimum di lokasi pembedahan dan menurun menjauh dari fistula
tersebut), pengamatan (Elevasi lengan bawah akan mendorong pengosongan
pembuluh darah yang melebar sebelumnya, atau dengan Doppler USG atau
pemantauan akses aliran pembuluh darah) [9]. Pemantauan aliran akses yang teratur
dapat digunakan untuk mendeteksi stenosis pembuluh darah sebelum trombosis AVF
total[9]. Tetapi harus diingat bahwa pemantauan aliran akses "Transonik" hanya
dapat dilakukan dengan dialisis yang menggunakan pompa ganda yang tidak tersedia
untuk ukuran pembuluh darah anak.

Tingkat aliran darah ekstrakorporeal dicapai melalui tusukan vena, paling sering
melalui dua jarum, satu untuk aspirasi darah yang disebut jarum arteri, satu untuk
reinjeksi vena yang disebut jarum vena. Jarak antara jarum harus cukup untuk
membatasi resirkulasi, dimana cara yang terbaik dicegah dengan arah jarum yang
berlawanan: satu arteri menuju fistula tersebut, vena satu pada arah yang berlawanan.
Biasanya ukuran jarum adalah 17-gauge pada awal dialisis; setelah
mempertimbangkan kebutuhan pasien dan perkembangan fistula jarum 16 atau 14-
gauge, terutama pada remaja, dapat digunakan untuk mencapai tingkat aliran darah
yang cukup tinggi. Nyeri berhubungan dengan tusukan harus dicegah dengan krim
anestesi (EMLA atau Amelop); hal ini penting untuk kedua anak-anak dan perawat
[39].

Kecepatan aliran darah ektrakorporeal (QB) antara 150 - 200 mL/menit/m2, 5 – 7 mL/
menit/kgBB, seringkali cukup untuk mencapai target dengan dialisis menggunakan
jarum ganda; pada anak kecil QB ditentukan menggunakan berat tubuh (BB, kg): (BB
+10) x 2,5 = QB (mL/menit). Tekanan darah arteri saat aspirasi harus dipantau jika
memungkinkan dan dipertahankan antara 150 – 200 mmHg untuk mencegah trauma
endotel.

Untuk dialisis jarum tunggal pada anak-anak maka laju aliran darah tertinggi
diperoleh dengan sistem pompa ganda (aliran vena lebih tinggi dibanding aliran
arteri) yang dipantau dengan tekanan, disebut sistem pengaturan waktu tekanan.
Risiko resirkulasi penting pada jangka panjang; beberapa mesin membatasi risiko ini
lebih baik dari yang lain, terutama dengan penambahan klem. Sebaliknya pada bayi
kecil penggunaan kateter satu lumen dapat digunakan dengan teknik klem alternatif
yaitu gabungan antara resirkulasi dengan baik volume darah ekstrakorporeal maupun
aliran darah yang sudah didapat[35].

Volume darah ekstrakorporeal total (jarum, tabung, dan dializer) sebaiknya kurang
dari 10% dari total volume darah pasien. Hal ini penting untuk kecil anak-anak,
namun kadar hemoglobin relatif normal diperoleh dengan terapi eritropoetin yang
memungkinkan volume ini dilampaui sedikit tanpa resiko hipotensi yang signifikan
pada akhir sesi dialisis ketika pasien mencapai berat badan kering. Namun demikian,
harus diingat bahwa semakin tinggi volume ekstrakorporeal darah, semakin tinggi
volume cairan kembali, yang akan membuat pasien kelebihan cairan pada akhir sesi
dialisis. (Pada anak-anak sangat kecil penggantian dengan udara di satu sisi mungkin
diperlukan untuk membatasi kehilangan darah dan pada sisi lain membatasi
penggantian volume yang berlebih, tapi sangat berbahaya dan harus benar-benar
dipantau) Sistem priming dengan garam, albumin, dan. kadang-kadang darah harus
diterapkan dalam dialisis sesi pertama pada bayi atau infant.

Antikoagulasi dari volume darah ekstrakorporeal dapat dilakukan dengan cara


konvensional, yaitu pemberian infus heparin kontinu 20 sampai 30 IU/kgBB/jam,
atau dengan heparin berat molekul ringan sebanyak 1 mg/kgBB sebagai bolus diawal
sesi dialisis. Jika hematokrit di atas 35%, risiko pembekuan meningkat. Pemberian
antikoagulan sitrat regional kadang-kadang digunakan terutama ketika diperlukan
dialisis mendadak[2]. Pengobatan predelusi, dapat dilakukan baik pada hemofiltrasi
atau hemodiafiltrasi, mengurangi risiko dari pembekuan dan bahkan dalam beberapa
keadaan memungkinkan dialisis tanpa antikoagulasi. Dalam keadaan thrombopenia
harus dicurigai terjadi toksisitas heparin.

Jalur vena memiliki ukuran anak dengan ruang hampa udara untuk membatasi
volume darah ekstrakorporeal. Membran dialisis ini dilindungi oleh ekspansi ruang
arteri yang pada anak kecil sering dimasukkan dengan tidak sejalan untuk
mengurangi volume darah ekstrakorporeal. Pencegahan atau pengobatan alergi etilen
oksida mungkin dengan menggunakan sterilisasi jarum, selang, dan membran dengan
uap dimana menjadi pilihan yang lebih disukai seluruh Eropa.

Pedoman 7: membran dialisis mana yang akan dipilih

 Membran sintetis, beraliran rendah, konfigurasi kapiler

 Penggunaan membran beraliran tingi membutuhkan penggunaan


dialisat ultra murni
 Harus dipertimbangkan pembuangan urea dan racun uremik lainnya
pada dialisis, terutama dalam kondisi kronis, dan dialisis jangka panjang

Saat ini terdapat tiga jenis membran yang umum[32]: selulosa yang tidak
dimodifikasi (fluks rendah dan apa yang disebut membran bioinkompatibel),
dimodifikasi / selulosa yang diregenerasi (fluks rendah atau fluksi tinggi; disebut
relatif biokompatibel), sintetis (flux rendah atau fluks tinggi; yang disebut relatif
biokompatibel). Pilihan membran dializer harus memperhatikan pertimbangan berikut
(Tabel 4):

 biokompatibilitas material terhadap leukosit dan aktivasi komplemen

 kebutuhan volume darah saat priming, yang berhubungan dengan area


membran

 Permeabilitas, ditentukan dengan cara yang paling sederhana oleh dua


karakteristik:

 Permeabilitas hidrolik (CUF) diukur dalam tekanan mL per mmHg dari dicapai
per jam, yakni baik permeabilitas rendah, CUF bawah 5 mL/mmHg/jam
(membran fluks rendah), maupun permeabilitas tinggi, CUF lebih dari 15
sampai 20 mmHg/mL/jam (membran fluks tinggi)

 Permeabilitas molekul ditentukan setidaknya oleh berat molekul yang


dipertimbangkan, biasanya 0,8 hingga 0,9 untuk urea dan lebih rendah untuk
racun uremik yang lainnya dengan cut off nol untuk albumin. Dalam praktek
cut off ini sering berada di bawah berat molekul dari 20.000 Dalton. Profil
permeabilitas molekul ini [40, 41] merupakan karakteristik khusus masing-
masing membran dialisis yang diproduksi. Secara teoritis membran yang
sangat permeabel memberikan potensi mengeluarkan racun uremik dengan
berat molekul sedang (teori Babb; 500 sampai 2.000 Dalton) selama dialisis.
Pada dialisis pasien dewasa manfaat klinis dari eliminasi senyawa berat
molekul sedang oleh fluks tinggi, pori – pori yang besar, membran
biokompatibel, kurang atau lebih stabil, adalah [41]: pengurangan uremia
terkait amyloidosis, pemeliharaan atau fungsi residual ginjal, dan
pengurangan peradangan, kekurangan gizi, anemia, dislipidemia, dan
mortalitas

 Kapasitas penyerapan terhadap membran (IL1, TNF, IL6, b2 mikroglobulin):


karakteristik membran sintetik.

Membran flux rendah cocok untuk dialisis konvensional, tetapi untuk mencapai
hemofiltrasi atau hemodiafiltrasi diperlukan membran flux tinggi. Semakin tinggi
permeabilitas hidroliknya, semakin tinggi pula risiko backfiltration-nya; proses ini
dapat dibatasi baik dengan aliran konvektif permanen yang mengalir dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat, sebagai ultrafiltrasi (HF, HDF, atau
setidaknya berkurangnya berat badan) maupun dengan penggunaan dialisat ultra
murni. Membran sintetis tampaknya merupakan pilihan terbaik secara teoritis tetapi
dari pengalaman klinis biayanya relatif lebih tinggi [32]. Pembenaran untuk
menggunakan membran sintetik fluks tinggi, seperti yang digunakan pada HDF on-
line, untuk anak-anak dengan dialisis dalam jangka waktu yang singkat sambil
menunggu untuk transplantasi ginjal, tetap menjadi perdebatan.

 Penggunaan membran kembali tidak diterapkan dalam praktek untuk


anak-anak.

Pedoman 8: dialisat

 buffer bikarbonat,

 kalsium kadar rendah (1,25 mmol/L) merupakan standar,


 konsentrasi glukosa pada tingkat fisiologis,

 diperlukan kontrol kualitas dialisat (kuman dan endotoksin)

Dialisat disiapkan dengan konsentrat dialisat yang diencerkan dengan air, idealnya
dengan air ultra murni. Komposisi dialisat telah berubah selama dua dekade terakhir
[42]. Asetat sebagai buffer telah diganti dengan bikarbonat, dengan pengembangan
mesin dengan dua pompa cairan yang terpisah, satu untuk konsentrat bikarbonat yang
bebas dari kalsium, yang sering berbentuk bubuk, dan satu untuk konsentrat asam
yang mengandung sisa asetat dan elektrolit (Na, K, Cl, Ca). Penggunaan kalsium oral
karbonat saat ini sebagai bahan pengikat fosfat telah menurunkan kebutuhan
konsentrasi kalsium dari dialisat, biasanya pada kadar rendah, 1,25 mmol/L Ca2+,
jarang pada kadar normal, 1,5 mmol/L, menghindari riwayat kadar yang tinggi yaitu
1,75 mmol/L Ca2+. Bahkan, penggunaan kalsium karbonat yang dikombinasikan
dengan kalsium konsentrasi tinggi dalam dialisat, sering menyebabkan peningkatan
produk serum Ca X P, dibandingkan dengan rekomendasi saat ini dari suatu produk
yaitu kurang dari 5 mmol2m2 (60mg2dL2) [43, 44]. Produk serum CaxP ini tampaknya
menjadi faktor penting yang terlibat dalam kalsifikasi vaskuler yang terlihat pada
pasien yang dilakukan dialisis [43], bahkan mempengaruhi anak-anak yang didialisis
[44, 45]. Kebutuhan glukosa dalam dialisat sangatlah penting [46] dan harus dekat
dengan konsentrasi fisiologis. Konsentrasi glukosa yang lebih tinggi atau pemberian
nutrisi parenteral selama dialisis akan mendorong kalium ke dalam sel, yang
menyebabkan ekstraksi kalium yang tidak efektif [41]

Dialisat bebas kalium jarang digunakan karena secara teori berisiko terjadi
hipokalemia [42]. Oleh karena itu dialisat kalium " rendah" (1 - 1,5 mmol/L),
"Normal" (2-2.5 mmol/L), dan "tinggi" (3 - 3,5 L/mmol) memungkinkan individu
beradaptasi dan mencegah arithmogenik potensial akibat dialisis [42]. Namun
demikian perhatian khusus harus dicurahkan untuk menghindari kerancuan yang
disebabkan dialisat dengan "beban kalium". Konsentrasi natrium telah meningkat dari
sebelumnya level 132 mmol/L ke level yang lebih fisiologis yaitu 138 – 144 mmol/L.
Kemampuan mesin yang lebih baru memungkinkan profil dialisat diubah profil
natrium dan ultrafiltratnya selama dialisis berlangsung [47, 48] untuk meningkatkan
toleransi berat badan yang berkurang, dan profil bikarbonat [49], untuk meningkatkan
eliminasi fosfat. Laju ultrafiltrasi yang intermiten, yang memungkinkan pengisian
ulang plasma yang lebih baik adalah profil yang paling sering digunakan. Demikian
pula, laju aliran dialisat dapat disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya berkisar antara
300 sampai 800 mL/min. Dalam praktek secara umum, digunakan kecepatan 500
menit/mL. Aliran dialisat biasanya berlawanan arah dari aliran darah, yang
dipisahkan oleh membran dializer tersebut. Penggantian suhu dialitik tampaknya
penting terutama untuk bayi dan atau pada penggunaan dialisat aliran tinggi, dimana
pasien berisiko untuk menjadi hipotermia. Oleh karena itu, pengendalian pertukaran
panas selama sesi dialisis tersedia pada mesin baru [3, 28].

Pedoman 9: Penilaian dan penyesuaian berat badan kering pasca dialisis

 sangat sulit untuk menentukannya pada anak-anak yang masih


berkembang

 tidak ada metode "unik" yang optimal, tergantung pengalaman klinis


pada "pediatri"

 diperlukan untuk penilaian rutin pada anak yang sedang tumbuh

 berhubungan erat dengan dengan ahli gizi pediatrik yang terkait ginjal
Berat kering pasien didefinisikan sebagai berat pasien pada akhir dari sesi dialisis
reguler, di mana pasien tidak ada gejala hipotensi. Salah perkiraan berat kering akan
menyebabkan baik jumlah cairan berlebih yang kronis mapun dehidrasi kronis.
Estimasi berat kering sulit dilakukan terutama pada anak-anak karena berbagai
alasan. Pertama, kecenderungan hipotensi selama sesi dialysis multifaktorial dan
tidak hanya terkait dengan laju ultrafiltrasi tetapi juga terkait dengan kapasitas laju
perngisian ulang plasma [47, 48]. Kedua, komposisi tubuh, yaitu rasio berat air dalam
badan total dengan massa tubuh, bervariasi tergantung usia, khususnya pada infant
dan anak masa pubertas. Pada infant dan remaja berat kering harus dinilai hampir
setiap bulan untuk mengikuti perubahan komposisi tubuh yang cepat selama masa
pertumbuhan yang juga cepat. Hal ini juga penting pada kondisi anabolik seperti pada
terapi hormon pertumbuhan, dan sebaliknya pada keadaan katabolik seperti anak
yang sakit dengan infeksi berulang atau asupan makanan yang kurang.

Kriteria klinis yang digunakan untuk menilai status hidrasi penting namun tidak
selalu dapat diandalkan. Oleh karena itu, pendekatan yang berbeda telah diusulkan:
penilaian total air dalam tubuh dengan analisis impedansi bioelektrik [50],
pengukuran hematokrit yang terus – menerus oleh metode non-invasif selama dialisis
berlangsung [9, 26], penentuan plasma peptida natri-uretik atrial atau guanosin cyclic
monophosphate [51], dan, terakhir, oleh ekokardiografi melalui vena cava inferior
(IVC) [52, 53, 54, 55]. Pengukuran diameter IVC (IVCD) oleh USG, dinyatakan
sebagai indeks luas permukaan tubuh dalam mm/m2, dan pengurangan saat inspirasi
dalam, disebut indeks kolaps, yang diukur dalam persentase (%) tampaknya menjadi
metode noninvasif akurat yang mudah dilakukan secara serial. IVCD antara 8,0
hingga 11,5 mm/m2 dan indeks kolpas antara 40 hingga 75% dianggap sebagai
normovolemia [52, 53, 54, 55]. Namun, tidak seperti impedansi tubuh, volume
interstisial dan keseimbangan natrium tidak tercermin pada IVCD [55]. Pada
kenyataannya semua pendekatan ini harus diimbangi dengan penilaian klinis dan
pengalaman dan dikombinasikan dengan asupan gizi.
Pencapaian berat kering selama ultrafiltrasi terkait dengan penurunan kadar
hematokrit. Ultrafiltrasi dapat ditoleransi dengan baik sampai kadar hematokrit awal
turun pada level tertentu, yang disebut "hematokrit crash" yang tergantung
karakteristik masing - masing individu, biasanya lebih dari 10% volume darah
berkurang setelah sesi berlangsung selama 3 jam [56]. Jika kurva hematokrit
membentuk garis lurus dari waktu ke waktu selama sesi dialisis, maka dapat dianggap
melebihi kemampuan optimal kering berat pasien [9, 56]. Dalam prakteknya,
pemantauan hematokrit (atau volume darah) dan ultrafiltrasi harus menghindari baik
cairan yang berlebihan maupun hipotensi "hematokrit crash" dan karenanya
diperlukan pendekatan yang lebih tepat tentang berat kering pasien [9, 56].

Pedoman 10:

Urea model kinetik (UKM) telah diterima secara luas sebagai metode penilaian dosis
dialisis meskipun memiliki keterbatasan sebagai pengukur kecukupanan dialisis.
Apakah klirens zat kecil terlarut benar-benar penting? [11]. Pada pasien dewasa,
penelitian Hemo menunjukkan bahwa peningkatan klirens urea di atas target yang
berlaku saat ini tidak meningkatkan hasil akhir pada pasien [11]. Meskipun urea tidak
beracun dalam konsentrasi normal pada pasien yang menjalani dialisis, mungkin
senyawa ini berfungsi sebagai penanda terhadap racun uremia, yang disebut racun
uremik dengan “berat molekul sedang” [11, 41].

UKM memfasilitasi identifikasi kecukupan diet dan pada pasien yang underdialyze.
Langkah-langkah paling banyak digunakan untuk mengukur pengobatan dializer
adalah Kt/V, yaitu klirens dializer urea (K) dikalikan dengan durasi sesi dialisis (t)
dan dibagi dengan distribusi volume urea (V), dan kecepatan katabolic protein yang
normal (nPCR) [57, 58, 59]. Kecepatan reduksi dialitik urea (URR) ditentukan dari
kadar serum urea sebelum dan sesudah dialisis dan mewakili jumlah urea yang
dibuang selama proses dialisis. URR dinyatakan rasio pasca/pre dialisis setidaknya
sama dengan atau lebih rendah dari 0,35 dan ketika dinyatakan sebagai perbandingan
antara kadar urea pre dan pasca, dibagi dengan kadar sebelum dialisis, setidaknya
harus sama atau lebih tinggi dari 0,60 [60]. URR sebanding dengan efisiensi dialisis,
dan demikian juga untuk klirens dialitik urea. URR berbanding terbalik dengan
kecepatan kembalinya urea dalam darah dan perpindahan dari ruang intraselular (IC)
ke ekstraselular ruang (EC), yang disebut koefisien perpindahan transelular massa
urea (Kie). URR juga berkorelasi dengan jumlah pemindahan urea dialitik (Kt)
dibandingkan dengan jumlah urea tubuh konten (V) dan dengan demikian juga
terhadap Kt/V. Biasanya klirens urea dialitik pada anak lebih rendah dibandingkan
dengan Kie yang tinggi yaitu antara 200 – 1000 menit/mL (6 – 12 mL/min/kgBB)
[58, 61]. Namun demikian, setelah dialisis konsentrasi urea dalam plasma meningkat
ke kadar semula dengan cepat, biasanya sampai 60 menit setelah dialisis[62].
Peningkatan urea post dialitik (PDUR) secara cepat ini multifaktorial [63, 64]. Akses
vaskuler dan resirkulasi kardiopulmoner terjadi dalam 2 – 3 menit pertama dari
penghentian hemodialisis dan terhitung 60 sampai 70% dari total PDUR. Selanjutnya,
terjadi petumbuhan jaringan yang cepat karena ketidakseimbangan urea diantara
kompartmen, yaitu IC versus EC, dan keseimbangan jaringan terjadi satu jam setelah
dialisis, yang sama dengan keseimbangan konsentrasi plasma urea setelah dialisis.
Untuk zat yang sangat mudah terdifusi seperti urea, distribusi dalam total air tubuh
(TBW) tampaknya dibatasi oleh aliran kardiovaskular daripada proses difusi [64].
Model IC-EC dua kutub yang jelas mungkin hasil dari sistem distribusi aliran darah
regional di mana sekitar 80% dari TBW (dan dengan demikian urea) terletak di otot,
tulang, dan kulit, dengan organ-organ menerima hanya 20 sampai 30% dari cardiac
output, pada sistem aliran rendah. Organ yang tersisa mengandung hanya 20% dari
TBW (maka urea) tetapi menerima 70-80% dari cardiac output, pada sistem aliran
tinggi. Orang akan berharap konsentrasi urea di organ-organ ini turun cukup pesat
selama dialisis. Sistem aliran rendah, dan resistensi pembuluh darah bisa menjelaskan
variabilitas yang besar dari PDUR antara pasien dengan model IC-EC dua kutub yang
tidak akurat. Apakah beberapa pasien memiliki dinding sel yang lebih tebal dari yang
lain? Sebaliknya kemungkinan penyebab variabilitas resistensi vaskuler, seperti
hipovolemia, hipertensi, gagal jantung, hematokrit, alkalosis atau asidosis, dialisat
suhu rendah, dapat menjelaskan variabilitas PDUR. Variabilitas URR juga bisa
dijelaskan dengan resistensi pembuluh darah perubahan selama sesi dialisis,
setidaknya untuk urea [64].

Perhitungan Kt/V berdasarkan model urea kutub tunggal mengabaikan distribusi urea
pada kompartemen dalam tubuh, maka PDUR, akhirnya terjadi estimasi yang terlalu
tinggi dari Kt/V. Oleh karena itu, diterapkan model dua kutub harus, tidak dengan
menggunakan konsentrasi urea plasma pada akhir dialisis, namun dengan
ketidakseimbangan urea, yaitu 60 menit postdialysis [65, 66]. Perkembangan lain dari
formula awal diusulkan untuk memberikan perhitungan Kt/V yang lebih akurat:
pengurangan berat badan (UF/BW) dan kenaikan urea selama sesi dialisis (0.008td),
mengarah ke rumus Daugirdas dan Schwartz yang diusulkan pada tahun 1994 [60]:

dimana td adalah waktu dialisis (h), Cpre dan Ceq adalah, masing-masing,
konsentrasi urea predialysis dan postdialysis yang diequilibrasi, dan UF/BW adalah
rasio ultrafiltrate dengan berat badan(L/kg)

Harus dilakukan pengambilan sampel darah arterial sebelum dilakukan dialisis,


sebelum ada perubahan. Karena dalam prakteknya biasanya kesulitan untuk
mendapatkan data kadar urea yang diequilibrasi 60 menit pasca dialisis , cara lain
telah ditemukan untuk mengestimasi Ceq, seperti pengambilan sampel pada menit ke-
6 [67] dan menit ke-15 [68,69] setelah pengobatan. Hal yang paling penting yang
harus diperhatikan dalam pengambilan sampel urea dan dialisis adalah harus dengan
menggunakan ‘metode aliran dialisat yang berhenti’ [67], pengukuran urea 6 menit
setelah akses pembuluh darah dicabut dan telah terjadi sirkulasi kardiopulmoner yang
sempurna.
Kesalahan utama lain dalam pengukuran Kt/V adalah penentuan V. V, sehingga TBW,
dapat dihitung dengan rumus (table 5) [71] atau ditentukan dengan pengukuran
bioompedansi [50].

Pedoman 11: dosis dialisis dan hasil akhir

 hanya diberikan "klirens urea kecil terlarut"?

 kadar urea minimum Kt/V 1,2-1,4 adalah kadar yang diinginkan; tes
kecukupan harus dilakukan tiap bulan

 dialisis dan klirens ginjal terhadap zat kecil sisia terlarut tidak
seimbang.

 Pemberian dialisis adekuat untuk menjadi optimal, tidak hanya " dosis
dialisis urea"

Meskipun kadar optimum Kt/V yang diperlukan masih dalam perdebatan, sekarang
lebih cenderung kadar minimum Kt/V sebesar 1,2-1,4 [11]. Secara keseluruhan, Kt/V
sebagai indeks untuk menentukan dosis dialisis harus dianalisis yang dibandingkan
dengan yang nPCR, begitu juga diet, protein dan asupan kalori (Gbr. 1). Karena
hubungan matematis antara Kt / V dan nPCR [72, 73], dampak nyata dari variabel ini
bagi pasien akan menentukan " dosis urea dialisis" yang diperlukan pasien. Namun
demikian peningkatan dosis dialisis tampaknya memiliki dampak langsung pada gizi
[74] , kombinasi antara dosis dialisis yang meningkat dengan gizi yang cukup dapat
menunjang pertumbuhan normal pada anak dengan hemodialisis dalam jangka
panjang [75]. Oleh karena itu gizi buruk harus dihindari [76] dengan menggunakan
penilaian diet, pengukuran antropometri, dan mungkin penentuan IGF1 [77].

Apakah klirens zat kecil terlarut, yaitu urea, benar-benar penting? [11]. Karena
terbatasnya jumlah anak-anak yang menjalani dialisis kronis maka hubungan antara
dosis optimal dialisis urea dengan hasil akhir pasien akan "sulit" ditentukan. Namun
demikian, diketahui bahwa pemurnian darah, dialisis dan pembersihan ginjal terhadap
zat sisa kecil terlarut, tidak seimbang[11, 78sehingga lebih penting untuk
mengeliminasi racun uremik, yang eliminasinya ditingkatkan menggunakan dializer
membran flux tinggi dengan hemodiafiltrasi on-line [3, 24, 32, 41].

Walaupun data tentang anak-anak tampaknya khas pada tiap pusat penelitian, dosis
dialisis urea yang lebih besar [12] berkorelasi dengan peningkatan laju pertumbuhan
[12, 13, 19, 78] dan fungsi jantung yang membaik [14, 19]. Durasi setiap sesi
hemodialisis juga masih diperdebatkan, dimana durasi yang panjang bisa
menginduksi regresi hipertrofi ventrikel kiri pada pasien dewasa [16] dan mampu
untuk menunjang pertumbuhan dan kesejahteraan pada anak-anak [13]. Pada dialisis
dengan cara yang sama yang dilakukan setiap hari tampaknya memberikan hasil
klinis yang lebih baik pada orang dewasa [17, 18, 77, 79] dan pada remaja [19].

Pemberian dialisis harus memadai untuk mencapai dosis optimum (Tabel 6) [80].
Pada anak dengan dialisis kronis jangka panjang maka penentuannya dosis yang
berdasarkan individual harus mempertimbangkan semua strategi baru yang tersedia
untuk sepenuhnya memberikan "kesempatan hidup" yang terbaik[13, 14, 19].

Pedoman 12: Sesi dialisis, pemberian, dan pengawasan


 Pemberian berdasarkan individu diperlukan pada: bayi / infant/ anak-
anak dengan kondisi khusus

 Penilaian dan penyesuaian diperlukan secara berkala pada anak kecil /


yang sedang dalam masas pertumbuhan

 Diperlukan persiapan psikologis anak dan keluarganya, pencegahan


rasa sakit sangatlah penting.

Dialisis sesi pertama sangatlah penting untuk mendorong kepercayaan anak dan
orang tua, sehingga diperlukan persiapan yang tepat. Lokasi pembuatan fistula ang
sebagian besar dengan menggunakan jarum ganda, ukuran 17 gauge, harus dipilih dan
ditentukan dengan hati – hati sehinggai jarum tersebut cukup terpisah untuk
membatasi resirkulasi. Pencegahan nyeri sangatlah penting dengan pemberian salep
xylocaine (EMLA) satu jam sebelum penetrasi jarum [39]. Persiapan psikologis anak
dan keluarga juga diperlukan untuk membatasi "stres cemas" [22]. Prosedur aseptis
sangatlah penting. Jika diukur dengan mesin, sirkulasi ekstrakorporeal disesuaikan
dengan level tekanan aspirasi arteri untuk mencegah trauma endotel vaskular (tidak
kurang dari - 150 mmHg). Tekanan venous return tidak boleh lebih dari +200 mmHg
untuk mencegah trauma endotel vaskuler.

Selama dialisis sesi pertama, laju aliran darah dipertahankan pada tingkat yang
rendah untuk mencegah sidroma disequilibrium yang merupakan akibat dari
penghapusan zat terlarut yang terlalu efisien selama sesi pertama ini. Oleh karena itu,
laju aliran darah harus kira-kira 3 mL/ kgBB (atau 90 mL/ m2), atau bahkan kurang,
sehingga klirens urea akan berjumlah kurang dari 3 mL/menit/kgBB, yang biasanya
ditoleransi dengan baik, bahkan pada anak-anak kecil dan akan membatasi
perkembangan sindrom disequilibrium. Durasi dialisis pertama sesi harus pendek,
tidak lebih dari 3 jam, atau disesuaikan dengan kebutuhan ultrafiltrasi. Gejala
sindrom disequilibrium paling sering timbul setelah 1-2 jam dialisis, dengan gejala
yang bervariasi seperti sakit kepala atau kejang, muntah, kelelahan, mengantuk, atau
kecenderungan hipertensi dengan rentang tekanan antara sistolik dan diastolik yang
sempit. Infus manitol (1 g/kgBB selama 1 sampai 2 jam selama dialisis) efektif
mencegah sindrom, jika diperlukan. Gejala biasanya menghilang dalam beberapa jam
setelah dialisis berakhir.

Kecepatan aliran darah ekstrakorporeal, durasi sesi, dan jumlah sesi semakin
meningkat dengan progresif dalam seminggu tergantung kebutuhan individu tekanan
nilai. Biasanya laju aliran darah 150 sampai 200 ml/menit/m2 dan tiga sesi per
minggu selama 3 sampai 4 jam per sesi sudah mencapai target pengobatan minimal
yaitu 1,2-1,4 Kt/V [11].

Durasi sesi dialisis sering diberikan untuk mencapai berat kering pada akhir sesi yang
sudah diperkirakan sebelumnya. Jumlah total dan laju ultrafiltrasi yang diperlukan
harus dapat ditoleransi. Penurunan berat badan sebanyak 1,5 sampai 2% per jam dari
BB masih dikatakan standar [3, 80] dan masih dapat ditoleransi dengan baik pada
sebagian besar anak. Beberapa ‘trik’ yang sering digunakan untuk meningkatkan
toleransi terhadap ultradialisat adalah ultrafiltrasi intermiten dengan dialisat buffer
bikarbonat yang tidak terlalu hangat (yang disebut "dialisat didinginkan"), kadar
natrium normal yang "tinggi" (140 sampai 144 mmol/L), dimana tidak melebihi
konsentrasi normal natrium per liter air plasma, normal hematokrit lebih dari 30%
dan yang optimal mendekati 35% tetapi tidak tinggi [78], dan dialisis berdasarkan
hemofiltration, yaitu (optimal HDF) [3, 48]. Intoleransi penurunan berat badan
biasanya muncul gejala pada akhir sesi dialisis, ketika pasien sudah mendekati berat
kering. Pemantauan volume darah secara terus-menerus selama sesi dialisis
merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengoptimalkan toleransi ultrafiltrasi
(pengertian hematokrit crash) [26, 56]. Informasi ini hanya terbatas pada perubahan
kompartemen darah. Spasium interstisial, yang kebanyakan tergantung-natrium,
diperkirakan lebih baik secara klinis dengan penilaian berat badan atau edema [54,
55]. Timbangan tidur yang digunakan untuk menilai berat badan lebih tepat
menentukan perubahan berat selama sesi dialisis.

Pada sebagian besar bayi dan anak-anak dengan berat kurang dari 10 kg yang
menjalani sesi lebih dari tiga seminggu bisa diberikan nutrisi, yaitu susu yang "cair",
maka sering diberikan 4 sampai 5 sesi seminggu [3, 11]. Jumlah yang memadai dan
durasi setiap sesi harus menghindari puasa parsial untuk mencapai berat yang
diperlukan untuk dilakukan dialisis durasi pendek [7, 21, 80]. Volume cairan yang
digunakan untuk menggantikan darah ekstrakorporeal pada akhir sesi harus dibatasi,
dan lebih suka digunakan larutan glukosa daripada larutan garam, terutama pada
infant tanpa fungsi residual ginjal [3].

Pada awal sesi dialisis, manifestasi klinis dari bioinkompatibilitas mungkin dapat
terjadi. Reaksi pertama kali ini terkait dengan biokompatibilitas dari bahan di sirkuit
ekstrakorporeal, membran yaitu, selang atau bahkan jarum baik selama sesi pertama,
kontak pertama dengan yang materi "ekstrakorporeal" atau misalnya, dialisis di pusat
dialisis lain saat melakukan liburan. Kriteria diagnostik utama yang positif adalah
timbulnya reaksi dalam waktu 20 menit sejak dialisis dimulai, dengan gejala utama
dispnea, panas membakar pada seluruh tubuh atau lokasi suntikan, angioedema,
vascular yang memerah atau kolaps, atau dengan gejala ringan seperti gatal,
rhinorrhea, lakrimasi, urtikaria, atau kram perut. Walaupun kejadian ini jarang, atau
meremehkan gejala minor yang hanya berselang selama 1 jam pertama sesi dialisis,
risikonya bisa menjadi besar. Membran biokompatibel, bahan yang disterilkan
dengan uap, pembilasan yang cukup dari selang sebelum diidi dengan darah, adalah
beberapa faktor pencegahan yang paling penting [32].

Dialisis sendiri harus dianggap sebagai bagian dari strategi keseluruhan dalam
merawat termasuk kecukupan makanan dan terapi interdialitik [1, 21]. Penambahan
berat badan lebih dari 10% dari BB kering selama interval dua sesi sering berkorelasi
dengan global non-compliance[3, 80]. Dalam kasus ini, hasil yang dapat terjadi:
pertama akut, yaitu hiperkalemia atau edema paru, kedua kronis, yaitu
hiperparatiroidisme, dan ketiga jangka panjang, yaitu keterlibatan jantung dan
koroner [44, 45].

Kesimpulan

Hemodialisis diuntungkan dengan kemajuan yang progresif dalam 20 terakhir. Angka


morbiditas selama sesi dialisis telah menurun, bahkan menghilang, begitu juga
kejang, jarang ditemukan hipotensi yang episodik dan nyeri kepala, nyeri yang
diakibatkan oleh tusukan jarum sudah diatasi oleh xylocaine oinment. Penemuan
model urea kinetik memungkinkan penghitungan dosis dialisis dan merupakan
penilaian tidak langsung terhadap intake protein, nPCR. Walaupun validitas dari nilai
tersebut masih diragukan, analisis dari kombinasi tersebut dapat membuat suatu
penilaian dan itu merupakan ‘hal yang bagus’. Pasien juga diuntungkan dengan
revolusi teknologi. mesin yang lebih baru memungkinkan untuk mengontrol penilaian
ultrafiltrasi volumetrik dengan baik dan pemantauan volume darah saat sesi dialisis
sedang berlangsung secara berkala, buffer bikrbonat merupakan teknik standar,
membrane sintetik lebih biokompitabel, dan material spesifik untuk bayi dan infant
telah tersedia. Intervensi non invasif, seperti ultrafiltrasi dengan memantau volume
darah membuat sesi dialisis menjadi lebih adekuat dan memberikan penilaian tentang
BB tubuh kering[81]. Terakhir, tersedianya eritropoetin [82] dan hormone
pertumbuhan dan hasil yang menjanjikan dari peningkatan dosis dialisis pada
pertumbuhan dan fungsi jantung [13,20], semua itu memberikan peningkatan dari
kualitas hidup bagi anak. Secara teori, pengurangan dosis dialisis pada dialsisi urea
yang dicapai dengan 3 sesi dialisis pendek (3 jam), harus dihindari pada anak yang
menjalani dialisis jangka panjang dan digantikan dengan dialisis yang optimal yaitu
dengan sesi yang lebih panjang ( 4 jam atau lebih) dan atau sesi yang lebih sering (5
– 6 perhari) [13, 20, 79, 80]. Namun untuk dialisis yang dilakukan tiap hari harus
memperhatikan semua keruagiannya. Di sisi lain, faktor biaya tidak dapat diabaikan.
Untuk pasien yang kurang mampu, namun di sisi lain, harus menjalani dialisis yang
intensif sebagai bagian dari terapi yang berkesinambungan, dilakukan program
dialisis-transplantasi (HD, PD) sebagai pencegahan terhadap kalsifikasi vaskuler [83].
Untuk mencapai pemurnian fosfat, hemodialisis harian merupakan salah satu
pendekatan yang mungkin dilakukan, atau mungkin hanya satu – satunya [16, 18, 19,
20], dan sehingga harus mempertahankan kadar pruduk kalsiumXfosfor pada rentang
yang optimal yaitu 3.3 sampai 4.4 mmol2/mL2[43].

You might also like