You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap hari melalui media informasi baik cetak ataupun elektronik,
selalu muncul berita kriminalitas, tragedi kekerasan dalam rumah tangga,
perkosaan, pelecehan seksual, prostitusi dan beragam bentuk kejahatan
yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan masyarakat
kita sedang sakit, masyarakat mengalami krisis identitas yang bermuara
pada krisis moral dan spiritual. Lebih menyesakkan lagi, fenomena krisis
moral dan spiritual yang marak akhir-akhir ini ternyata tidak hanya
menimpa orang dewasa tetapi telah melibatkan anak-anak ikut larut
dalam lingkaran krisis yang terjadi.
Kecenderungan krisis moral dan spiritual yang secara kongkrit
termanifestasikan dalam beragam bentuk merupakan ongkos mahal yang
harus dibayarkan oleh perubahan sosial menyeluruh dalam masyarakat
Indonesia sebagai akibat pembangunan dan modernisasi yang cepat
ditengah globalisasi kehidupan yang semakin terbuka.
Globalisasi telah menghilangkan sekat-sekat antar negara, kultur
budaya yang ada, melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan
teknologi informasi. Serbuan informasi dari berbagai negara dan kultur
budaya yang berbeda kenegeri kita telah menjadikan adanya proses
dialektika antara budaya baru dengan budaya lokal yang kadang
berhadapan secara diametral. Proses dialektika budaya yang terjadi
berpotensi memunculkan terjadinya krisis moral spiritual, yang berujung
kepada kegagapan generasi muda dalam melakukan adaptasi dengan
budaya baru. Keadaan semacam ini cenderung menjurus terjadinya
degradasi moral dikalangan mereka, jiwa atau mental mereka menjadi
tidak sehat sedangkan mental adalah pusat kontrol dari semua gerak,
sikap dan tindakan seseorang.
Krisis moral dan spiritual dalam apapun kemunculannya,
merupakan masalah mendasar dalam kehidupan masyarakat, maka dari

1
2

itu semua potensi dan komponen masyarakat harus mengambil peran


yang optimal sebagai usaha untuk mengatasi krisis yang terjadi. Potensi
besar yang dimiliki oleh bangsa kita dalam masalah ini adalah
masyarakat yang relegius, masyarakat yang menyandarkan diri pada
nilai-nilai agama. Agama seharusnya mampu memberikan alternative
untuk munculnya spiritualitas baru, maka apabila agama mampu
menyandang peran ini agama tidak saja menjadi alat terapi penyakit
kemanusiaan, lebih dari itu mampu membentuk masyarakat yang lebih
humanis.
Fenomena tersebut melatarbelakangi perlunya sebuah konstruk
pemikiran baru untuk mengatasi krisis moral spiritual , terutama dalam
rangka melakukan pembinaan kesehatan mental bagi anak didik, sebab
sebuah konstruk pemikiran mutlak diperlukan dalam mengawali sebuah
langkah.
Apabila pendidikan Islam sebagai alternatif penawaran maka
pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauhmana kemampuan
pendidikan Islam menjadi sebuah paradigma pembinaan kesehatan
mental anak ?.
Untuk itulah maka penulis membuat karya tulis ini dengan judul
“Pembinaan Mental Anak dalam Perspektif Islam”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yang menjadi bahasan dalam makalah ini,
diantaranya:
1. Bagaimanakah konsep pembinaan mental anak?
2. Bagaimanakah peran Pendidikan Islam dalam membina pendidikan
mental anak dalam perspektif Islam?
3. Bagaimanakah model pembinaan mental anak dalam perspektif
Islam?

1.1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep pembinaan mental anak.
3

2. Untuk lebih mengetahui peran Pendidikan Islam dalam membina


pendidikan mental anak dalam perspektif Islam.
3. Untuk dapat mengetahui model pembinaan mental anak dalam
perspektif Islam.

1.1. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini dapat dirasakan oleh beberapa
pihak, diantaranya :
1.1.1. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan penulis
khususnya yang berkaitan dengan materi makalah ini yaitu tentang
pembinaan mental anak dalam perspektif Islam.

1.1.2. Bagi Pembaca


Bagi pembaca, makalah ini bisa menambah wawasan, serta
meningkatkan pemahaman pembaca sekalian mengenai pembinaan
mental anak dalam perspektif Islam.

1.1.3. Bagi Institut Agama Islam Nurul Jadid


Karya tulis ini akan menjadi bagian pustaka yang akan menambah
koleksi perpustakaan STAI Nurul Jadid, sehingga mempermudah para
mahasiswanya dalam mencari informasi dan mendapatkan referensi
dalam melaksanakan studinya.
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Pembinaan Mental Anak


Dalam hal ini konsep pembinaan keshatan mental anak yang akan
dipaparkan disini merupakan rumusan secara umum dari berbagai
pendapat. Pembinaan kesehatan mental anak dapat dilakukan melalui
pendidikan yang mengarahkan bagi terbentuknya karakter dan
internalisasi nilai moral, budi pekerti dan pencerdasan perasaan. Dengan
demikian ada tiga faktor pokok dalam pembinaan kesehatan mental anak
yaitu, pembentukan karakter dan internalisasi nilai moral, pembentukan
budi pekerti serta pencerdasan perasaan.
Pertama, pembentukan karakter dan internalisasi nilai moral.
Pembentukan karakter pribadi anak dan wataknya serta keberhasilannya
setelah besar dan dewasa dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam
keluarga sejak dini, bahkan sebelum menginjak bangku sekolah. Cara
yang dapat ditempuh dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai
moral anak adalah dengan metode dongeng dan metode anti kalah.
Dongeng, dalam kontek histories telah begitu dikenal dalam masyarakat
kita, dahulu banyak orang tua yang memberikan dongeng kepada anak-
anaknya menjelang tidur. Dongeng cukup berpengaruh positif terhadap
perkembangan jiwa, watak dan moral anak. Dongeng adalah sarana
komunikasi yang berfungsi sosial dan hiburan, dengan dongeng anak-
anak dapat berkumpul dan mengadakan interaksi, serta keseluruhan
anak bias terhibur dengan isi ceritanya. Secara paedagogik, dongeng
bisa sebagai sarana pembentukan karakter atau moral anak, membentuk
imajinasi dan membina kasih sayang. Dengan mencerna dongeng yang
berisi nasihat akan membuat anak berfikir lebih panjang tentang perilaku
dalam dongeng. Secara psikologis kondisi anak masih labil, sehingga
dengan dongeng mereka dapat terbina emosinya, dan moral anak dapat
dibentuk dengan penyajian cerita yang mengandung kebenaran.
Metode anti kalah, dalam konsep ini memaparkan bahwa perilaku
anak yang menyimpang karena terganggunya kesehatan mental. Anak
bandel, manja, kurang kreatif adalah diakibatkan kondisi buruk dalam
keluarga yang mengabaikan pendidikan anak. Akan tetapi dalam
mendidik anak hendaknya tidak selalu memaksakan kemauannya pada
anak, karena apabila hal ini dilakukan justru anak merasa tertekan yang
pada akhirnya anak melakukan penentangan bahkan lebih buruk yaitu
perlawanan. Pendekatan yang seharusnya digunakan adalah dengan
jalan orang tua mengalah, rendah hati, sopan dan menghargai anak
sehingga dapat lebih menumbuhkan kreativitas dan penghargaan anak
terhadap orang tua. Dengan demikian metode yang digunakan adalah
metode anti kalah dimana mencegah anak merasa kalah atau
dimenangkan. Segala permasalahan yang muncul selalu didialogkkan
dan didiskusikan sehingga semua tidak ada yang merasa disepelekan.
Hal ini dapat membina kesadaran anak terhadap hak dan kewajibannya
sehingga akan membentuk karakter anak dengan baik dan wajar.
Kedua, Pembentukan budi pekerti. Budi pekerti dalam format
kebudayaan adalah bagian dari system nilai, yaitu struktur nilai etik dan
moralitas. Dalam posisi sebagai system etik dan moral maka budi pekerti
bersifat membatasi (determinisme) terhadap perilaku masyarakat dan
juga mendorong masyarakat untuk melakukan sesuatu pada batasan
yang ada (kanalisasi) untuk mencapai kesempurnaan hidup. Aspek
dinamis dari system nilai dan moral maka budi pekerti merupakan
wawasan dan semangat yang mempengaruhi pembentukan dan
kecenderungan-kecenderungan serta perilaku-perilaku dasar masyarakat.
Dengan demikian persoalan budi pekerti sebagai pranata budaya,
sebagai moral, membentuk wawasan, perangai, kecenderungan konsep
psikologis yang cukup luas.
Demikian pentingnya budi pekerti dengan kaitan integral dari
berbagai sitem nilai yang akan mampu mengarahkan kehidupan manusia
kearah kesempurnaan hidup adalah hal yang mutlak diberikan dalam
pendidikan kita. Menukil pendapat Mencius seorang filosuf Cina, budi
pekerti merupakan pandangan optimistic bagi tumbuhnya pribadi agung.
Pandangan optimistic ini mengatakan bahwa setiap insane selalu
merangkum khazanah potensi kebaikan (duan). Pandangan ini menjadi
penting karena berkonsekuensi edukasional mendasar, dengan demikian
proses pendidikan terutama moral etis dalam penerapan pengaruh-
pengaruh secara konsisten maka pada nantinya akan muncul insan-insan
muda sebagai pribadi agung (the great person).
Pendidikan estetika sangat penting bagi perkembangan anak,
kekurangan pendidikan estetika sama dengan kekurangan mendapatkan
kasih sayang. Estetika mengandung hal yang halus, budi bahasa, bertutur
kata, tingkah laku. Semua serba halus sehingga kekurangan pendidikan
estetika akan menimbulkan dampak mengerikan. Unsur rasa kasih
sayang dan cinta adalah kebutuhan dasar naluriyah manusia yang
pencurahannya memerlukan estetika tersendiri. Metode pendidikan
estetika pada anak adalah dengan pemanfaatan seni yang diminati anak.
Esensi dari pendidikan estetika ini adalah adanya rasa penghargaan
kepada hasil karya orang lain, sehingga nilai kepercayaan akan timbul
terhadap kreativitas dan kreasi orang lain. Dengan demikian pendidikan
estetika diperlukan bagi tumbuhnya secara wajar (naluriyah) terhadap
rasa kasih sayang, perilaku yang halus juga saling menghargai sesama
sehingga akan mampu membentuk pribadi yang utuh.
Ketiga, Pencerdasan perasaan. Dalam diri manusia yang
memegang peranan penting dalam setiap tindakannya selain penalaran
adalah perasaan. Sehingga proses pendidikan yang utuh idealnya
mencakup competence, conscience dan compassion sehingga jangan
sampai terjebak dalam pencapaian keunggulan akademik saja.
Pendidikan yang tidak utuh cenderung mengabaikan tumbuhnya unsur-
unsur emosi, kreativitas dan estetis. Sementara kecerdasan perasaan
tidak dapat diraih dengan ketrampilan penalaran. Untuk mengasah
perasaan dan kepedulian, yang diberikan kepada anak adalah dengan
refleksi, anak diajak memanfaatkan daya ingat, pemahaman, khayalan
dan perasaannya untuk menangkap arti dan nilai yang dipelajari. Dengan
demikain anak diajak untuk menemukan hubungannya dengan segi-segi
lain dari pengetahuan dan memahami implikasi-implikasinya dalam
rangka mencari kebenaran dan kebebasan.
Senada dengan hal tersebut adalah pendapat Daniel Goleman
tentang perlunya kiat-kiat khusus membesarkan anak yaitu dengan
pencerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini menyangkut
kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan
motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Kerugian pribadi akibat
rendahnya kecerdasan emosional adalah terganggunya kesehatan
mental seseorang dan kecenderungan berbuat destruktif , seperti depresi,
gampang marah, agresif serta tindakan destruktif , seperti tindakan
perkosaan, vandalisme dan lain sebagainya.. Kecerdasan emosional ini
dilakukan dengan jalan pelatihan emosi, yaitu orang tua yang terlibat
dalam emosi anak. Orang tua tidak mudah marah menghadapi emosi,
kesedihan atau rasa takut. Mereka mampu menerima emosi-emosi
negatif itu sebagai fakta kehidupan dan menggunakan saat-saat
emosional itu sebagai peluang untuk mendidik anak-anak mereka tentang
kehidupan yang penting serta membina hubungan yang lebih erat dengan
mereka. Sangat mendesak untuk dikedepankan dalam upaya mendidik
anak yaitu pencerdasan perasaan daripada hanya terfokus pada
pencerdasan akal. Pencerdasan akal hanya sibuk dengan pengetahuan
kehidupan sedangkan pencerdasan perasaan justru menjawab kehidupan
secara pas dan manusiawi.

2.2. Pendidikan Islam sebagai Pembangun Pemikiran Pembinaan


Kesehatan Mental Anak
1. Manusia sempurna sebagai tujuan paripurna pendidikan Islam.
Pendidikan Islam adalah proses aktualisasi dan internalisasi
nilai-nilai ajaran Islam dengan penyeimbangan potensi fitrah sehingga
terjaga derajad kemanusiaannya. Dalam hal ini pendidikan Islam
berupaya untuk melakukan pengaktualan dan internalisasi nilai
transenden Ilahiyat (kalimat tauhid), karena ketauhidan adalah esensi
pokok dari ajaran Islam.
Sebagaimana hadits Rasulullah berikut:

Artinya: “ Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak


disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan-Nya tidaklah
seorang hamba bertemu Allah dengan membawa kedua kalimat
tersebut tanpa keraguan sedikitpun lalu dihalangi dari surga” (HR
Muslim)

Dengan dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan maka segala


aktivitas akan lebih bermakna, karena berfungsi sebagai kontrol dan
landasan aktivitas tersebut. Aktualisasi, internalisasi nilai-nilai
transenden Ilahiyat tersebut akan berhasil secara maksimal tanpa
pengetahuan tentang hakekat manusia.
Pengetahuan tentang hakekat manusia dijadikan sebagai titik
pijak bagi proses internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai ketauhidan
tersebut. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam diri manusia
memiliki potensi-potensi, ahli pendidikan Islam menyebut potensi-
potensi ini dengan fitrah. Dengan demikian proses internalisasi dan
aktualisasi nilai-nilai transenden Ilahiyat ini melalui pembinaan dan
pengembangan potensi-potensinya. Perkembangan potensi-potensi
manusia yang bercorak dan bernuansa nilai-nilai ketauhidan akan
membawa kepada terjaganya derajat kemanusiaannya. Terjaga
derajat kemanusiaan dalam arti terbentuknya insan kamil.
Melalui pemahaman terhadap eksistensi manusia seharusnya
rumusan tujuan pendidikan Islam dioerientasikan, maka tujuan akhir
pendidikan Islam adalah pembangunan ideologi dan kebudayaan
masyarakat. Secara spesifik Abdur Rasyid Ibnu Abdil Azis
berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah adanya taqarub
kepada Allah melalui pendidikan akhlak dan menciptakan individu
untuk memiliki pola fikir yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu
pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dan ilmu serta
amal saleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai
dimensi kehidupan. Dari uraian tujuan pendidikan tersebut bahwa
insan kamil adalah berdimensi dua, yaitu dimensi ketauhidan (taqarub
kepada Allah) dan dimensi pengembangan potensi-potensi (pola pikir
ilmiah dan integrasi ilmu serta amal).
Ciri insan kamil adalah jasmani sehat dan kuat, mempunyai
ketrampilan, akal yang cerdas serta pandai dan hatinya penuh iman
kepada Allah (ruhaniyah tinggi). Berdasarkan ciri manusia sempurna
yang terpenting dalam pengembangan pribadi tidak hanya berdimensi
jasmaniyah akan tetapi juga ruhaniyah.
Dalam pendidikan menyatakan perlunya pengembangan
pribadi untuk meraih kualitas insan pripurna yang penuh dengan ilmu-
ilmu dalam otaknya dan bersemayam dalam hatinya iman dan takwa ,
sikap dan perilakunya adalah realisasi nilai-nilai ajaran Islam sehingga
terbentuk watak yang terpuji, kemandirian, kedamaian dan kasih
sayang. Insan yang demikian bisa dipastikan bahwa jiwanya sehat,
hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa dalam Islam
pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan
pribadi pada umumnya, dalam arti kondisi kejiwaan yang sehat
merupakan hasil sampingan (hy-product) dari kondisi yang matang
secara emosional, intelektual, sosial dan terutama matang pula
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Hal ini sesuai pula dengan
indikator sehatnya mental seseorang, bahwa secara operasional tolok
ukur dari kondisi mental yang sehat adalah bebas dari gangguan
penyakit kejiwaan, mampu secara luwes menyesuaikan diri,
mengembangkan potensi-potensi pribadi dan beriman bertakwa
kepada Tuhan, serta berupaya menerapkan tuntunan agama dalam
realitas kehidupan.
2. Implikasi konsep fitrah dalam kesehatan mental.
Untuk mengetahui keterkaitan antara konsep fitrah dengan
kesehatan mental adalah dengan memaparkan tentang konsep fitrah
yang membicarakan seputar hakekat manusia dengan segala potensi-
potensinya dan keterkaitannya dengan lingkungan.
Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah
agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah ekonomi, fitrah individu, fitrah
seni dan yang lain. Fitrah-fitrah tersebut haruslah mendapat tempat
dan perhatian, serta pengaruh dari faktor diluar dirinya sendiri atau
lingkungan untuk mengembangkan dan melestarikan potensi-
potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian
potensi-potensi negatif (an-nafsu ammarah bis suu’). Dengan
demikian manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah akan
penciptaan.
Dalam fitrah agama, manusia adalah makhluk etik relegius.
Berawal sejak dilahirkannya manusia adalah suci maka Tuhan akan
senantiasa membimbingnya dengan agama fitrah, yaitu agama yang
sesuai dengan manusia supaya kesucian yang disandangnya sejak
lahir akan tetap sampai akhir hayat. Dalam surat Ar-Rum ayat 30
mengandung pengertian bahwa fitrah adalah ciptaan Allah. Manusia
diciptakan Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid.
Karena itu jika manusia tidak beragama tauhid maka hal itu dianggap
tidak wajar, walaupun mungkin hal itu terjadi lantaran pengaruh
lingkungan.
Islam sebagai agama fitrah bukan hanya selaras dengan naluri
keberagamaan manusia tetapi juga sesuai dengan, bahkan
menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, sehingga akan
membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya.
Fitrah sosial, manusia adalah makhluk individu dan sosial.
Individu secara etimologi berasal dari bahasa latin yang berarti tidak
terbagi, menurut istilah sosiologi adalah manusia perorangan yang
dibedakan dari orang lain, sedang dalam istilah lain dikenal dengan
pribadi. Individu adalah seorang yang belum diketahui predikatnya
sedang pribadi sudah menggambarkan predikat seseorang, baik
mengenai sikap mental maupun perilakunya yang membedakan
dengan orang lain. Dalam garis besar Al-Qur’an menjelaskan
perbedaan masing-masing individu dengan menunjukkan adanya
kelebihan yang satu dengan yang lain. Dan paling ditekankan dalam
hal ini adalah adanya tanggung jawab individu baik terhadap Tuhan,
terhadap lingkungan maupun dirinya. Dengan demikian hak dan
kewajiban dalam Islam sangat diperhatikan, sehingga pendidikan
Islam dalam persoalan individu diarahkan untuk mengembangkan
fitrah manusia dan sumber daya insaninya untuk dipertanggung
jawabkan atas perbuatannya sebagai hamba Allah sekaligus khalifah
di bumi. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial berarti bahwa
tidak ada individu yang tidak bisa hidupsewajarnya tanpa terkait
dengan komunitas manusia yang lainnya. Sesuai konsep ta’aruf
memperlihatkan bahwa peran individu dalam masyarakatnya terletak
kepada tanggung jawabnya untuk menciptakan kehidupan komunal
yang harmonis demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam
ampunan dan naungan Ilahi.
Dalam persoalan potensi-potensi dasar yang dimiliki manusia,
Islam memandang bahwa manusia memiliki potensi-potensi positif
dan negatif. Potensi-potensi positif adalah adanya sifat-sifat
mahmudah dan potensi-potensi negatif adalah adanya sifat-sifat
mazmumah, sedang sifat-sifat mazmumah adalah sifat syaithoniyah.
Yang termasuk kategori sifat-sifat mazmumah adalah bakhil, aniaya,
dengki, ujub, nifak, ghadab dan yang lainnya, sedangkan yang
termasuk sifat mahmudah adalah sabar, amal salih, santun dan yang
lainnya. Dengan demikian pendidikan Islam memang diarahkan untuk
mengembangkan potensi-potensi positif yang berupa sifat-sifat
mahmudah dan meminimalisasi sifat-sifat mazmumah untuk perannya
dalam pribadi manusia, sehingga keimbangan jiwa akan tercapai serta
terjaga dari gangguan dan penyakit jiwa.
Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan daya
insani, serta bakat-bakat bawaan atau faktor keturunan, meskipun
semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai
kemungkinan. Akan tetapi karena masih merupakan potensi maka
fitrah itu belum berarti apa-apa bagi kehidupan sebelum
dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Dengan demikian berarti bahwa fitrah dengan segala
potensinya tidak akan berfungsi apabila tidak ada campur tangan
lingkungan yang membina dan mengembangkannya sehingga bisa
teraktualkan. Aktualisasi dari fitrah dengan segala potensinya adalah
mempunyai ketergantungan dengan lingkungan, hal ini sesuai dengan
apa yang diungkapkan Rasulullah, bahwa setiap anak yang dilahirkan
dalam keadaan fitrah, ayahnyalah yang menjadikan anak itu Yahudi,
Nasrani atau Majusi. Dalam hadits tersebut faktor ayah diartikan
sebagai lingkungan, dalam hal ini lebih spesifik dapat dimaksudkan
sebagai pendidikan. Berangkat dari asumsi, bahwa manusia dengan
fitrah dan segala potensinya tidak akan berarti apa-apa tanpa peran
lingkungan, maka dalam pengembangan dan pembinaan fitrah
dengan segala potensinya diperlukan pendidikan. Jelaslah bahwa
pendidikan Islam diorientasikan kepada aktualisasi fitrah manusia
yang masih perlu pemolesan dan pembentukkan.
Terbentuknya manusia sempurna atau insan kamil adalah
tujuan pendidikan Islam. Sedangkan insan kamil adalah insan yang
berdimensi ketauhidan dan berdimensi pengembangan potensi.
Dalam tujuan pendidikan Islam dan indikator tentang mental yang
sehat sebagaimana telah diuraikan terjadi adanya perjumpaan.
Dengan konsep fitrah dan segala potensi-potensinya dalam
pendidikan Islam bisa diimplementasikan dalam kesehatan mental,
karena dengan konsep fitrah itu pendidikan Islam diarahkan. Dengan
kata lain pendidikan Islam relevan dijadikan konstruk pemikiran dan
bentuk atau model bagi pembinaan kesehatan mental anak.
Pendidikan Islam dalam responnya terhadap fitrah beragama,
bahwa manusia adalah makhluk etik relegius mengarahkan bagi
terbinanya fitrah tersebut dalam agama yang lurus dengan jalan
internalisasi nilai-nilai ketauhidan. Hal ini menunjukkan adanya
pembinaan kesehatan mental, yaitu internalisasi iman dan takwa.
Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk individu dan sosial,
sedang dalam hal ini pendidikan Islam diarahkan untuk menciptakan
tata keharmonisan antara manusia sebagai makhluk individu dan
sosial. Kemampuan adaptasi diri hendak dibentuk, sedang
kemampuan ini merupakan indikator kesehatan mental, karena
kemampuan adaptasi diri merupakan keluwesan dalam pergaulan.
Potensi-potensi yang dimiliki manusia, baik potensi positif
atupun potensi negatif digarap secara arif dalam pendidikan Islam.
Dengan jalan mengembangkan potensi positif dan meminimalisasi
potensi negatif sehingga perkembangan anak akan berjalan wajar.
Wajar dalam hal ini adalah terhindarnya manusia dari dominasi
potensi negatif, sehingga terjadi goyahnya keseimbangan yang
mengakibatkan gangguan kejiwaan. Terhindar dari gangguan dan
penyakit kejiwaan adalah indikator akan sehatnya mental seseorang.
Dengan demikian pendidikan Islam secara langsung atau tidak sudah
merupakan pembinaan terhadap kesehatan mental anak.
3. Jiwa pendidikan Islam adalah budi pekerti.
Islam sebagai agama wahyu menuntun umat manusia yang
berakal sehat untuk berusaha keras mendapatkan kesejahteraan
hidup di dunia dan akherat sesuai dengan petunjuk wahyu. Agama
Islam yang ajarannya berorientasi kepada kesejahteraan hidup dunia
dan akherat sebagai kesinambungan tujuan hidup manusia,
meletakkan iman dan takwa kepada Allah sebagai landasan
kehidupan manusia dalam perjuangannya menuju cita-cita tersebut.
Karena orientasi kehidupan manusia adalah dunia dan akherat, maka
pendidikan Islam pun berlandaskan akan hal ini. Dengan demikian
pendidikan Islam diarahkan kepada pencapaian kebahagiaan dunia
dan akherat. Berdasarkan kepada pandangan tersebut maka
pendidikan Islam tidak hanya dilakukan untuk memenuhi akal dengan
segala ilmu pengetahuan, akan tetapi juga kepada pengasahan rasa,
yang lebih spesifik yaitu budi pekerti yang berlandaskan kepada nilai
transenden. Karena pendidikan budi pekerti dan akhlak mulia
berdasarkan niali transenden adalah akan menjiwai pola tingkah laku
berdasar rasio, sehingga aktivitas yang dilakukan adalah sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiyat.
Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam dan
Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak
adalah jiwa pendidikan Islam. Dengan demikian bahwa akhlak yang
sempurna adalah salah satu yang hendak dituju oleh aktivitas
pendidikan Islam. Namun dalam hal ini Islam tidak menafikan
pendidikan jasmani, karena antara jasmani dan rohani adalah sebuah
keterkaitan. Sehingga anak membutuhkan kekuatan dalam jasmani,
akal, ilmu dan juga pendidikan dalam jiwanya yaitu budi pekerti,
perasaan, kemauan, estetika dan kepribadian (pembentukan
karakter).
Pakar pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari
pendidikan dan pengajaran dalam Islam adalah tidak hanya menjejali
otak dengan berbagai ilmu akan tetapi lebih dari itu yaitu mendidik
akhlak dan jiwa mereka, menanamkan keutamaan membiasakan
mereka dengan kesopanan, untuk mempersiapkan mereka bagi
sebuah kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa pendidikan Islam
dengan konsep pembinaan kesehatan mental pada umumnya terjadi
perjumpaan. Dalam pendidikan Islam, pendidikan budi pekerti,
pembentukan watak atau karakter serta pencerdasan perasaan
melalui pendidikan akhlak adalah sangat dipentingkan, senada
dengan konsep pembinaan kesehatan mental secara umum.
Perbedaan yang terjadi diantara keduanya adalah pada landasan
yang mendasarinya, bila pendidikan Islam berlandaskan pada nilai
transenden ketauhidan (theo sentris) sedang konsep pembinaan
kesehatan mental secara umum berlandaskan terhadap pandangan
tentang manusia itu sendiri (Anthropo sentris).

2.1. Model Pembinaan Mental Anak dalam Perspektif Islam


1. Penanaman nilai keimanan (aqidah).
Diperlukannya penanaman nilai keimanan adalag
berlandaskan kepada asumsi bahwa hakekat fungsi manusia adalah
beribadah kepada Allah atau dengan kata lain hakekat fungsi manusia
adalah hamba Allah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya :“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-
orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)

Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan


nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,“Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang
besar”.
Setiap hamba selalu tunduk kepada penciptanya, ia tidak
dapat dioperasikan dengan cara berbeda, apalagi bertentangan
dengan kehendak Allah sebagai khaliqnya. Sedangkan maksud
diciptakannya manusia antara lain agar dia mengabdi kepada Allah,
maka dari itu fungsi manusia adalah hamba Allah. Berlandaskan
maksud penciptaan manusia inilah nilai keimanan harus ditanamkan,
karena tanpa keimanan dahulu ibadah yang dilakukan tanpa makna.
Disisi lain fitrah agama yang dimiliki manusia juga melandasi
perlunya penanaman nilai keimanan ini. Dalam fitrah agama ini
manusia adalah makhluk etik relegius, sehingga sebagai rangkaian
wujudnya yang suci pada saat lahir, Tuhan akan selalu memberi
bimbingan dengan agama fitrah, agama yang sesuai dengan fitrah
manusia adalah agama tauhid. Dengan demikian penanaman nilai
keimanan atau mempercayai keesaan Allah harus diutamakan,
karena perasaan ke-Tuhanan yang secara sempurna hadir dalam jiwa
anak akan berperan sebagai dasar dalam berbagai aspek
kehidupannya.
Nilai keimanan yang tertanam kokoh dalam jiwa anak akan
memberikan warna dan corak dalam kehdupan mereka sehari-hari,
dikarenakan adanya pengakuan dalam dirinya tentang kekuatan yang
menguasai dan melindunginya, yaitu Allah. Pengakuan ini diharapkan
mampu mendorong anak untuk berbuat sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah, maka dari itu semakin matang perasaan
ketuhanannya akan semakin baik perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam tahap selanjutnya anak selalu diarahkan untuk
mentaati hukum-hukum Allah, serta diimbangi pengetahuan tentang
ibadah, yang dalam sistem etika Islam termasuk akhlak terhadap
Allah.
Anak juga senantiasa dingatkan bahwa iman selalu
diformulasikan dalam amal salih, iman yang dipegang teguh haruslah
direalisasikan dalam realitas kehidupan dengan amal salih. Orang
yang dengan keimanannya mampu merealisasikan nilai-nilai
keimanannya dalam kehidupan sehari-hari telah menunjukan akan
sehatnya mental dari orang tersebut. Penanaman keimanan
mempunyai nilai penting untuk diberikan, sebab dengan nilai itulah
pembinaan kesehatan mental didasarkan sehingga akan terwujud
pribadi yang sehat mentalnya.

2. Penanaman nilai akhlak.


Pembentukan moral tertinggi adalah tujuan utama pendidikan
Islam. Dengan demikian harus diusahakan terhadap penanaman
akhlak mulia, meresapkan fadhilah di dalam jiwa para siswa,
membiasakan berpegang kepada moral yang tinggi serta menghindari
hal-hal tercela, berfikir secara ruhaniyah dan insaniyah serta
mempergunakan waktu untuk belajar ilmu keduniaan dan agama
dengan tanpa memandang keuntungan materi.
Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah


yang paling baik akhlaqnya” (HR. Muslim)

Rentetan dari iman, islam dan ihsan adalah tiga unsur pokok,
bila terintegrasikan dalam diri, hal inilah yang dimaksud berakhlak
mulia. Islam bersumber kepada norma-norma pokok yang terdapat
dalam Al-Qur’an sedang Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik,
yang memberi contoh realisasi Al-qur’an menjelaskan dalam realitas
kehidupan sebagai sunnah Rasul.
Akhlak manusia ideal kemungkinan dapat dicapai dengan
proses pendidikan dan pembinaan yang sungguh-sungguh, yaitu
terwujudnya keseimbangan dan iffah. Namun tak ada manusia yang
dapat mencapai keseimbangan yang sempurna dalam akhlaknya
kecuali Rasulullah karena beliaulah yang ditugaskan oleh Allah untuk
menyempurnakan akhlak manusia dan secara logis beliau telah
sempurna lebih dahulu.
Salah satu bagian yang terpenting dalam masalah akhlak
adalah tentang hak dan kewajiban. Dalam upaya penanaman akhlak
ini terbatasi dalam pembahasan tentang kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Allah (akhlak kepada Allah), kewajiban terhadap
diri sendiri dan sesamanya (akhlak individual dan sosial) serta
kewajiban terhadap alam (akhlak terhadap alam). Dalam masa anak-
anak dan menginjak remaja adalah terpenting bagi penanaman akhlak
dengan pembatasan terhadap kewajiban-kewajibannya sebagai
manusia sehingga akan sampai kepada pemahaman akan eksistensi
dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai pribadi yang tak mungkin
tercerabut dari akar komunitasnya. Karena dalam fase ini anak telah
mampu menggunakan logika untuk merenungkan segala persoalan.
Kesadaran akan eksistensi dirinya inilah yang akan membuat
keseimbangan yang harmonis bagi kehidupannya. Keharmonisan
adalah merupakan sarat bagi ketenangan jiwa dan ketentraman hati,
bila keharmonisan ini terguncang maka yang terjadi adalah gangguan
kejiwaan.
Pendidikan akhlak terbagi dalam dua kategori, yaitu akhlak
kepada Allah dan akhlak individual, sosial serta alam. Akhlak kepada
Allah, seperti telah disebutkan sebelumnya ahklak kepada Allah
antara lain berisikan tentang kewajiban-kewajiban manusia kepada
Allah. Kewajiban manusia kepada Allah adalah merupakan rangkaian
hak dan kewajiban manusia dalam hidupnya sebagai sesuatu yang
eksistensial.
Dalam kehidupannya manusia mempunyai pola hubungan dan
ketergantungan, yang memunculkan hak dan kewajiban. Hubungan
manusia dengan Allah adalah hubungan antara Khaliq dengan
makhluknya, dalam kehidupan ketergantungan paling pokok manusia
afalah kepada Allah Tuhan semesta alam.
Esensi dari kehidupan beragama adalah meyakini dan
mempercayai adanya dzat yang maha kuasa, yang maha segala-
galanya, disanalah semua mempunyai pola ketergantungan. Maka
dari itu hanya kepada Allah manusai menyembah dan memohon
pertolongan.[35] Mentauhidkan Allah adalah meyakinkan dengan
iman tentang keesaan Allah dan beraktivitas karena dan untuk Allah.
Meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah itu maha Esa, Esa
dzatnya, sifat-sifatnya dan segala perbuatannya.
Kewajiban mentauhidkan Allah ini harus ditanamkan kepada
diri anak, sebagai akhlak yang mulia dan pada akhirnya dapat
membentuk karakter pribadinya. Karena dengan pemahaman
terhadap nilai tauhid akan menimbulkan sebuah kesadaran pada
keterhambaan yang ikhlas dan kepasrahan total terhadap Allah,
dengan nilai tauhid ini akan membuat jiwa anak menjadi tenang.
Ketenangan jiwa terwujud karena tertanam dalam kalbunya bahwa
segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Hal
ini merupakan sesuatu yang penting, dikarenakan nilai-nilai tauhid ini
diharapkan akan mampu menjiwai, memberi corak dan nuansa dalam
setiap aktivitas pribadi anak.
Kewajiban setelah mentauhidkan Allah adalah beribadah
kepada Nya. Sudah seharusnya, karena beribadah kepada Allah
adalah konsekuensi logis dari beriman kepada Nya. Pengakuan akan
keesaan, keperkasaan dan segala kesempurnaanNya, sebagai
tempat bergantung dan meminta pertolongan maka akan muncul
kesadaran apa yang harus diberikan kepada Allah. Secara logis suatu
aktivitas yang harus dibangun dari keimanan adalah beribadah dan
menyembah Allah.
Dari uraian diatas dapat dipahami akan pentingnya
penanaman nilai akhlak kepada Allah yang berupa pelaksanaan
kewajiban-kewajiban terhadapNya. Dalam penanaman nilai tauhid
akan membuat anak menjadi takwa dan mampu merealisasikan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai amal salih. Dengan ibadah
selain merupakan realisasi nilai-nilai tauhid akan tetapi juga untuk
menguatkan nilai-nilai tauhid itu sendiri dalam diri anak. Ibadah yang
mensyaratkan keikhlasan dan prosedural akan mengarahkan anak
untuk bertindak sesuai jalan yang dikehendaki Allah, sehingga akan
memunculkan dalam jiwa anak rasa ketenangan dan kebahagiaan.
Iman dan takwa yang teguh dan mampu direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari merupakan salah satu ciri mental yang sehat.
Akhlak individual, sosial serta alam. Dalam hal ini yang
dimaksudkan akhlak sosial adalah kewajiban terhadap diri sendiri,
akhlak sosial adalah kewajiban terhadap sesama manusia sedangkan
akhlak terhadap alam adalah kewajiban manusia terhadap alam
sekitarnya.
Secara spesifik kewajiban terhadap diri sendiri adalah
pengembangan dan pemeliharaan seluruh potensi yang dimiliki
manusia baik jasmani atau rohani. Setiap unsur mempunyai hak, yang
satu dengan yang lain mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan
bagi pemenuhan hak masing-masing. Sehingga keseluruhan manusia
mempunyai kewajiban terhadap keseluruhan kemanusiaannya.[38]
Dengan demikian unsur jasmani dan rohani adalah merupakan bagian
yang integral yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kewajiban
terhadap kemanusiaannya sendiri.. Kewajiban manusia terhadap diri
sendiri secara fisik adalah pemenuhan kebutuhan primer seperti
sandang, pangan dan papan. Kewajiban terhadap kebutuhan rohani
adalah dengan pembinaan rasio, rasa dan karsa.
Akhlak sosial berisikan tentang kewajiban manusia sebagai
pribadi dengan manusia lain. Kewajiban sosial antara lain adalah
tolong menolong dalam kebaikan, adanya saling pengertian dan
saling menghormati. Dengan demikian pendidikan akhlak sosial ini
diharapkan membuat anak menjadi peka perasaannya atau dengan
kata lain mempunyai kecerdasan perasaan.
Akhlak manusia terhadap alam adalah pendayagunaan alam
semesta secara bijak. Dengan akal fikiran yang dimiliki oleh manusia
sudah seharusnya mampu menjaga amanat Allah, yaitu pemanfaatan
alam secara proporsional. Pemanfaatan alam tidak hanya bersifat
eksploitatif, namun juga dimanfaatkan sebagai bahan pengambilan
pelajaran untuk mendekati Allah dalam rangka membina keserasian
antar makhluk. Dengan demikian hubungan manusia dengan alam
harus diserai sikap rendah hati.
Pendidikan akhlak individual berdampak kepada sampainya
pemahaman anak terhadap dirinya dan potensi-potensi yang
dimilikinya, sehingga mempunyai rasa tanggung jawab untuk
mengembangkannya. Pendidikan akhlak sosial dalam diri anak akan
mampu mengasah perasaan (roso pangroso) dengan memahami hak
dan kewajibannya terhadap lingkungan komunalnya, serta mampu
beradaptasi dalam rangka mewujudkan eksistensi dirinya dalam pola
pergaulan yang menyenangkan dan bermanfaat. Kemampuan
memahami diri sendiri dengan mengembangkan potensi-potensinya,
serta pengetahuan tentang lingkungan komunalnya sehungga tercipta
pola kehidupan bersama yang harmonis adalah sebagai tanda
sehatnya mental seorang anak. Penanaman akhlak individual dan
sosial ini mampu membuka kalbu akan pentingnya keharmonisan
hidup baik mikro kosmos ataupun makro kosmos.
Internalisasi nilai-nilai akhlak terhadap alam sekitar, akan
berdampak terhadap kesadaran anak akan pentingnya menjaga
keharmonisan alam demi kesejahteraan seluruh makhluk. Melalui
internalisasi akhlak terhadap alam ini diharapkan juga dapat
menghantarkan anak kepada penguasa tunggal alam semesta , yaitu
Allah.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa
konsep pembinaan mental anak dalam perspektif pendidikan Islam
adalah tertuang dalam bentuk penanaman nilai-nilai tauhid dan akhlak.
Dengan nilai keimanan, anak akan menjadi takwa dengan sebuah
kesadaran Allah adalah asal dan segala tujuan. Akhlak terhadap Allah
dengan mentauhidkan dan beribadah kepada Nya merupakan
konsekuensi logis yang harus disadari oleh anak karena keimanan
mereka. Akhlak individual dan sosial menjadikan anak mampu
membentuk pola hubungan dari dan antar pribadi serta lingkungan
komunalnya secara harmonis.
Dengan nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai akhlak akan membentuk
pribadi yang berkarakter, berbudi pekerti, serta cerdas secara emosional
yang semua itu dilandaskan kepada satu nilai transenden , yaitu Allah
Tuhan semesta alam.

3.2.Saran
Dari kesimpulan diatas, maka untuk membina mental anak agar
lebih baik disusulkan beberapa saran diantaranya:
○ Pembentukan mental anak haruslah dimulai sejak dini, maka kita
harus menanamkan nilai-nilai tauhid dan akhlaq anak sejak dini.
○ Pembentukan mental anak juga harus dilakukan tidak hanya di
sekolah tetapi juga utamanya di rumahnya. Karena itu orang tua
haruslah berperan aktif dalam pembinaan mental anak.
○ Untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada vandalisme, kenakalan
remaja, dan sebagainya maka pembinaan mental anak harus
didukung oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan-kebijakan
pendidikan seperti kurikulum dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasy, M.Athiyah, 1993, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan


Bintang: Jakarta.
Achmadi, 1992, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media:
Yogyakarta.
Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Rosda Karya:
Bandung.
Abdul Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Dasar
Operasionalisasinya, Trigenda Karya : Bandung.
Arifin HM., Kapita Selecta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara : Jakarta.
Departemen Agama RI, 1983, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur’an : Jakarta.
Hanna Djumhana Bastaman, 1995, Integrasi Psikologi Islami, Pustaka Pelajar :
Yogyakarta.
MAKALAH

PEMBINAAN MENTAL ANAK


DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dosen Pembina: Misbahul Munir, M.Pd.

Oleh

SUNALIS
NIM : 093304705

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL JADID
(IAINJ)
PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI GURU MADIN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2011
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang, atas limpahan Taufiq dan Hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Selesainya penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan beberapa


pihak yang berupa saran-saran, motivasi, bimbingan dan sebagainya sangat
dibutuhkan oleh penulis, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, karena itu semua merupakan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis. Untuk itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun
selalu dibuka lebar-lebar demi kesempurnaan penulisan karya-karya ilmiyah
selanjutnya.

Semoga Allah SWT tetap memberikan rahmat-Nya kepada kita semua


Amin Ya Robbal Alamin.

Probolinggo, April 2011

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................2
1.3. Tujuan.........................................................................................2
1.4. Manfaat.......................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
2.1. Konsep Pembinaan Mental Anak.....................................................4
2.2. Pendidikan Islam sebagai Pembangun Pemikiran Pembinaan Kesehatan
Mental Anak.................................................................................7
2.3. Model Pembinaan Mental Anak dalam Perspektif Islam....................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................20
3.1. Kesimpulan................................................................................20
3.2. Saran........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

You might also like