You are on page 1of 18

1.

Menurut 4 ahli mendefinisikan ilmu sbagai berikut :


a. ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil
tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)
b. konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat
disistematisasi (Shapere, 1974)
c. pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz,
1962)
d. ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu
metodologi
Dari empat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu
hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui
proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari
ilmu terkait

Sumber: http://id.shvoong.com/books/2083263-definisi-ilmu/#ixzz1KotZhQh1
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam
suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar),
maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).

--Mohammad Hatta--

Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan


-------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati
panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk
menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."

--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran--

Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap
pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya.
Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat
hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat
ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
1. Berdiri secara satu kesatuan,
2. Tersusun secara sistematis,
3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-
sebabnya yang meliputi fakta dan data),
4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami
maknanya.
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di
seluruh alam semesta ini.
7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-
penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang
dari sebelumnya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab,
definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas
panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada
keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?


Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi
di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh
sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi
ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?


Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal
dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap
pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?


Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan
meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.
Tentang Penulis: AsianBrain.com Content Team. Asian Brain adalah pusat pendidikan Internet Marketing
PERTAMA & TERBAIK di Indonesia. Didirikan oleh Anne Ahira yang kini menjadi ICON Internet
Marketing Indonesia. kunjungi pustaka anne di sidebar/ link list
Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal
dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap
pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia. “Ilmu” merupakan suatu istilah
yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu alima yang terdiri dari huruf ayn, lam dan mim. Al-Qur’an
sering menggunakan kata ini dalam berbagai sighat (pola), yaitu masdar, fi’il mudari, fi’il madi,
amr, isim fa’il,isim maful, dan isim tafdil. Antara lain, kata al-‘ilm terdapat dalam firman Allah :

Ingiatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya ; “Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menolong kamu sedikitpun?. Wahai
bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutlah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.
Kata “al-‘ilm” dalam ayat ini pengetahuan yang berisi risalah ilahi yang diterima Ibrahim
dari Allah. Risalah itu berisikan tauhid dan ketentuan-ketentuan Allah mesti yang dipatuhi
manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini juga menggambarkan tentang guna atau manfaat
suatu pengetahuan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat.
Secara harfiah “ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah ilmu
berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu itu. Saliba
mendefinisikan ilmu itu dengan “Memahami secara mutlak, baik tasawwur hakikat seperti yang
dikutip Jihami, ilmu adalah tasawwur hakikat sesuatu dan asalnya. Berdasarkan definisi ini. Ada
empat yang saling berkaitan dalam sistem perolehan ilmu yaitu subjek yang memahami, objek
yang dipahami, makna atau surah (form) yang berkaitan dengan objek yang dipahami, dan
berhasilnya makna atau surah (form) itu terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek
yang memahami itu adalah qalbu manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna
(konsep) yang ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek di sini adalah
sesuatu yang ada, baik bersifat empiris, maupun tidak. Ketika seorang ilmuwan mempelajari
system pernafasan, misalnya, segala daya (al-quwwah) yang dimilikinya – baik zahir maupun
batin – secara aktif mengamati alat-alat pernafasan tersebut. Kemudian setelah menganalisis, dia
mendapat suatu kesimpulan yang ditangkap dari objek yang sedang dikaji. Kesimpulan itu
merupakan surah (form) atau konsep objek yang telah sampai ke dalam jiwa dan tersimpan
padanya, yang selanjutnya itulah yang disebut dengan al-ma’lum (sesuatu yang diketahui
Postingan Terkait Lainnya :

Secara bahasa adalah lawan dari Al Jahl (kebodohan): yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti.

Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifat (pengetahuan) sebagai lawan dari al jahl

(ketidaktahuan). Menurut ulama yang lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, artinya adalah ilmu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya

berupa keterangan dan petunjuk. Maka ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu

yaitu ilmu yang diturunkan Allah saja. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa orang yang

dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan menajdikan dia faham tentang agamanya.”[1] Dalam hadis lainnya

beliau bersabda :” Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, hanyalah yang mereka wariskan

adalah ilmu , maka baranga siapa yang telah mengambil ilmu maka dia telah mengambil kebaikan yang banyak.”[2]

Satu hal yang sudah kita ma’lumi bahwa yang diwariskan oleh para nabi hanyalah ilmu tentang syariat Allah Azza

Wajalla dan bukan yang lainnya. Maka para nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada manusia atau yang

berkaitan dengannya, bahkan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam datang ke Madinah, beliau mendapatkan

bahwa manusia disana mengawinkan pohon kurma, berkatalah beliau kepada mereka bahwa hal itu tidak perlu, lalu

merekapun menurut dan tidak mengawinkannya akan tetapi pohon kurma itu rusak, maka berkatalah Nabi

Shalallahu ‘Alaihi wa Salam kepada mereka : Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”[3] Seandainya hal

ini termasuk ilmu yang terpuji maka pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam adalah orang yang paling

mengetahui tentang hal ini, karena orang yang paling terpuji karena ilmu dan amalnya adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi

wa Salam.

Dengan demikian maka ilmu syar’i adalah ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para

pemiliknya, akan tetapi sekalipun demikian saya tidak mengingkari bahwa ilmu yang lainnyapun mengandung faidah,

akan tetapi faidah itu memiliki dua batasan. Bila dia bisa membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan

membela agama-Nya dan bermanfaat bagi manusia maka ilmu itu merupakan ilmu yang baik dan maslahat.

Terkadang mempelajarinya menjadi wajib dalam kondisi tertentu apabila hal itu termasuk dalam firman Allah :” Dan

hendaklah kalian mempersiapkan kekuatan dalam menghadapi mereka semampu kalian berupa pasukan

berkuda….. “ (Al Anfal : 60).

Banyak ulama yang menerangkan bahwa mempelajari teknologi merupakan fardhu kifayah, hal itu disebabkan

karena manusia pasti mempunyai peralatan memasak, minum dan yang lainnya yang bermanfaat bagi mereka. Maka

apabila tidak ada orang yang menggarap industri di bidamg ini maka mempelajarinya jadi fardhu kifayah. Ini adalah

materi yang diperdebatkan oleh para ulama. Sekalipun demikian maka saya ingin katakan bahwa ilmu yang di

dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i yang merupakan pemahaman tentang kitab Allah dan

sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, adapun ilmu selain itu bisa menjadi alat kebaikan atau alat

kejelekan,maka hukumnya sesuai dengan pemanfaatannya.

Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin

Penerjemah Abu Haidar


Footnote

———————————————-

[1] Al Bukhari, kitab ilmu, bab : siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah. Muslim, kitab zakat,bab larangan

meminta.

[2] Abu Dawud, kitab ilmu, bab dorongan mencari ilmu. At Tirmidzi, kitab ilmu, bab penjelasan tentang keutamaan

ilmu dari ibadah

[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Al Fadhail, bab wajibnya melaksanakan apa yang beliau katakan berupa syariat

tanpa diteranghkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentyang kehidupan dunia berdasarkan ro’yu.

Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari
ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu
yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan
hendaknya bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk
mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki kearifan, kebenaran,
etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan
hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan
teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang
tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh
kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana
terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan
penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan
paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai
kebenaran. · Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6 SM):
materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran sangat kecil (atom). Atom
merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi, bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut
John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran
paradigma terjadi ketika ternyata dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J.
Thomson,1856–1940) dan proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu
mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan kismisnya, dimana elektron
dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford (1871-1937) disimpulkan bahwa elektron
mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang
terdiri dari nuklei, dan elektron-elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr
yang mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus disempurnakan.
Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada. Murray Gell-Mann (1964) mengatakan,
proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. · Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang
pewarisan sifat sudah ada sejak jaman dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang
merupakan bayangan dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.
Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan apa yang
mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan rata-rata dari sifat induknya. Sifat-
sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada.
Sementara menurut Darwin, keragamanlah yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan
mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan
yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika gemmule dibentuk dan
dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi, perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel
selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah. Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan
varietas yang berbeda, mulus dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang
diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur. Teori inilah yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. · Perkembangan teori tata surya Prediksi
peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi
Yunani (4SM) menyatakan bumi pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus
(1473-1543) yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak mengelinginya
dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan ilmu tentang tata surya. Seorang
ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge).
Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu
hendak-lah mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang
dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental.
Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang
disodorkannya. Seorang ilmuwan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada mayarakat
awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari. Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau
(bibit unggul, pestisida, pupuk kimia) dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki.
Tetapi, ketika akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya aplikasi
tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita perlu mempertanyakan
kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif
pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah?
Bagaimana kajian keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap
kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari dan dijawab oleh
ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu masalah. Sehingga tidak terjadi kasus
dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia,
lingkungan, sosial ataupun aspek lain dari kehidupan masyarakat.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1KoxFHotM

Pengetahuan telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian


ilmu oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan ilmu
secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance yang ditandai
oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai dengan saat ini, logika
deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas dari pengalaman empirik.
Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari kesalahan ketika ia menyatakan beberapa
perkiraan yang mengandalkan logika belaka, dan kemudian ternyata salah.

Francis Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode


induktif karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan
argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik sekadar
untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan keterangan yang
cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu sekadar untuk
mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak efisien maupun efektif.
Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti akan cenderung tidak selektif dalam
mengumpulkan data. Perumusan masalah dan kejelasan formulasinya akan
membuahkan hipotesis yang membuat langkah pengumpulan data dan
eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode induktif pun tidak memuaskan pada
tingkat kemajuan ilmu sebagaimana diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia,
tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu
alam.

Dengan menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif


Bacon, Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern.
Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam langkah-
langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas untuk
pengembangan ilmu ynag kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan modern pada
umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan hipotesis dari
pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan yang telah ada
untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan alat konfirmasi terhadap
hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang
dihadapinya. Pendekatan ganda ini menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien
dan efektif, sesuai peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di
tengah-tengah).

George J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu


empiris dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap
perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis,
tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan
gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan
berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga kini masih berlangsung juga,
bahkan di negara-negara yang peradabannya telah sangat maju.

Observasi sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan


pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak dari
obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah paling penting
yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam
pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika manusia menyadari bahwa
gejala alam dapat diterangkan melalui telaah sebab-musabab alamiah.
Penemuan yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu
struktur yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang
terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan yang
saling bertautan:

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->tingkat empiris: ilmu terdiri dari


hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk
pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui alasan mengapa
hal itu terjadi;

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->tingkat teoritis: penjelasan yang


mengembangkan suatu struktur teoritis yang bukan hanya menerangkan
hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi juga mulai
mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.

Titik tolak ilmu adalah pengalaman. Ilmu mulai dengan suatu observasi dan
menggabungkannya dengan observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu
kesamaan atau perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat
digunakan untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian
pengalaman. Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus
direduksi sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk
menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan
secara lebih luas.

Maka, prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar
yang fungsional adalah klasifikasi. Dengan mengetahui kelas suatu gejala lewat
identifikasi sifat-sifatnya yang spesifik menurut tujuan penelitian, kemungkinan
terjadinya penumpukan koleksi data tanpa makna dapat diminimalisasi. Tetapi
observasi kualitatif saja kurang memadai. Kuantifikasi dapat memberikan ketelitian
yang diperlukan bagi klasifikasi yang matang. Melalui klasifikasi yang demikian itu
dapat diketahui adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek
komponennya. Hubungan fungsional antara berbagai gejala dapat diobservasi
antara lain lewat klasifikasi maupun urutan kejadian. Namun pencarian hubungan-
hubungan itu perlu dilaksanakan secara teliti karena adanya faktor kebetulan. Maka
analisis terhadap suatu hal atau peristiwa harus memperhatikan unsur-unsur
fundamental untuk menentukan secara lebih jelas hubungan-hubungan dari
berbagai aspek. Dengan cara itulah diperoleh perkiraan kebenaran yang cukup
untuk mendukung tujuan penelitian.

Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis yang menerangkan
hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris dengan dasar suatu
kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan
dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat
dicapai. Kelebihan ilmu teoritis dibandingkan ilmu empiris dapat dilihat dengan
memperhatikan keterbatasan ilmu empiris yang canggung, tidak mudah diterapkan
karena obyek/ subyek penelitian merupakan gejala yang terpisah-pisah. Ilmu
empiris sangat terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol yang merupakan
tujuan terakhir dari ilmu. Ilmu teoritis dapat memperpendek proses untuk sampai
pada pemecahan masalah. Kelebihan ilmu teoritis nyata dalam merangsang
penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang berharga sebagaimana terdapat
pada ilmu fisika. Bom atom tidak dibuat secara empiris kemudian diterangkan,
melainkan sebaliknya. Einstein dan para sejawatnya lebih dulu mengembangkannya
secara teoritis dan mengujinya secara empiris sekadar untuk meminimalisasi
kekurangan dalam pengoperasiannya.

Peralihan dari ilmu empiris ke ilmu teoritis adalah langkah yang sukar.
Menemukan jawaban tentang apa yang terjadi relatif lebih mudah dibandingkan
harus menjawab mengapa hal itu terjadi. Hingga kini ilmu empiris gagal menyusun
kerangka teoritis yang merupakan sintesis dari serangkaian penemuan empiris
(khususnya di bidang/ kajian ilmu sosial). Hal itu terjadi karena ilmu-ilmu sosial
terlalu menitikberatkan aspek empiris dan melalaikan aspek teoritis. Padahal
empirisme merupakan tahap keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan
orientasi yang lebih besar teradap teori.

Hampir seluruh ilmu pendidikan merupakan ilmu empiris. Namun kenyataannya


kita masih harus menemukan lebih banyak lagi hubungan empiris yang terdapat
dalam kelas. Pada ilmu-ilmu sosial masih sulit ditemukan penjelasan secara
keilmuan untuk sebagian besar masalah dari hal-hal yang paling elementer apa
yang yang terjadi ketika seorang anak belajar. Dalam psikologi, misalnya, telah
dikembangkan berbagai teori yang menerangkan sejumlah gejala psikologis, namun
tak satu pun dari teori-teori itu yang dapat diterima oleh semua orang dan tak
seorang pun mampu memberikan keterangan mengenai seluruh aspek kelakuan
manusia.

Tidak demikian dengan ilmu-ilmu alam yang tampak lebih maju. Kendati tak satu
pun dari ilmu-ilmu itu memiliki kesamaan pendapat dalam keseluruhan aspeknya,
tetapi dalam fisika, misalnya, gejala cahaya dapat dijelaskan dengan dua buah teori
yang bertentangan: teori gelombang dan teori partikel.

Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus
merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat
merupakan iPERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
oleh: anin Pengarang : Elvira Syamsir

• Summary ratin g: 2 stars (213 Tinjauan)


• Kunjungan : 17742
• kata:900

More About : perkembangan ilmu

PERKEMBANGAN

Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-
unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam
memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya
bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan hendaknya bukan
sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk
mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki
kearifan, kebenaran, etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi
dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang
menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah
yang tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan
berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset
berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma
adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya
peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu
dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori
atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu
kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus
dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran. ·
Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6
SM): materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran
sangat kecil (atom). Atom merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi,
bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia
dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran paradigma terjadi ketika ternyata
dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J. Thomson,1856–1940) dan
proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu
mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan
kismisnya, dimana elektron dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford
(1871-1937) disimpulkan bahwa elektron mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki
oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang terdiri dari nuklei, dan elektron-
elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr yang
mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus
disempurnakan. Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada.
Murray Gell-Mann (1964) mengatakan, proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. ·
Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang pewarisan sifat sudah ada sejak jaman
dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang merupakan bayangan
dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.
Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan
apa yang mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan
rata-rata dari sifat induknya. Sifat-sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-
rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada. Sementara menurut Darwin, keragamanlah
yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan mengapa keragaman
tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan
yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika
gemmule dibentuk dan dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi,
perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah.
Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan varietas yang berbeda, mulus
dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang
diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur.
Teori inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. ·
Perkembangan teori tata surya Prediksi peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah
dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi Yunani (4SM) menyatakan bumi
pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus (1473-1543)
yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak
mengelinginya dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan
ilmu tentang tata surya. Seorang ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan
yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge). Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa
menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu hendak-lah
mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau
kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan
pencarian kebenaran fundamental. Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran
fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang disodorkannya. Seorang ilmuwan
juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar terhadap suatu
masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada
mayarakat awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari.
Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau (bibit unggul, pestisida, pupuk kimia)
dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki. Tetapi, ketika
akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya
aplikasi tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita
perlu mempertanyakan kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab
masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif
yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah? Bagaimana kajian
keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap
kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari
dan dijawab oleh ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu
masalah. Sehingga tidak terjadi kasus dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata
pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia, lingkungan, sosial ataupun aspek
lain dari kehidupan masyarakat.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1Kp3DfWiN

nduk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek material fils

A
sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada p
r
Zaman Islam Klasik
2
1
,

'
0
7
1
0
:
4
3

A
M

f
o
r

e
v
e
r
y
o
n
e

sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada


Zaman Islam Klasik
M. Nagib
04-07-2005

Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang
terkandung dalam Al-Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai
wahyu tersebut. Al-'ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT.
Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan
'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah
salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang
komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah
SWT.

Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-
Qur'an yang paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran
Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat
penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang ilmu antara
lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu
tersebut.

Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam


Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin
terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi di mana mereka hidup, dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, generasi pada
masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan
oleh Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru
menampakkan dampak yang amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi
SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai
pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-
persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.

Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan
turunnya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke
dalam diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat
wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru yang lebih
bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-
tabi'in) karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal
kemudian, bahkan sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari
generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan
kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya langsung, jelas,
dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat
dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh.
Metode yang lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.

Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling
awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk
keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan
hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan
alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam
muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik,
khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu
kalam semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika
serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai
alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu
keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.

Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin
bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-
bangsa yang mereka taklukkan. Perkembangan tersebut semakin jelas sejak
permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan
ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad
yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang
tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat
picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.

Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu
pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang
naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu
pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan
bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta
berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti
mesopotamia dan mesir.

Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu


pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti
orang persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid,
misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut
Halaqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al
Riyadiyat, Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai
suku bangsa yang datang ke pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan


formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal
yang disebut Ma’ahid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid
didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian
dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak
melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan
Daulah Abbasiyah dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh
sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa
puas-puasnya.
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis.
Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan
keluarganya; untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu
falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi,
motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan
selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi
terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk
keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri.
Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh
kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.

Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah:
ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang
biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-
nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu 'aqli atau ilmu rasional,
yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu
sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.

Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab
maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk
pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan
pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-
Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-
Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang
mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam
Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi (wafat 925M) sebagai seorang
dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu kimia dan ahli
matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di
bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M),
dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu
bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah.
Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu
lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.

Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim


pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-
nama pakar muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga
pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan.
Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah
melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang
sangat besar dari pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada
masa itu.

sumber rujukan : -Qardhawi, Yusuf. Sistem


Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
- Murodi, dkk. 2003.Sejarah Kebudayaan Islam.
PT. Toha Putra: Semarang
afat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan
objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.

Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri


dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus
menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini
menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan
kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-
masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan
suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang
luas.

Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah
filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila
pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat
menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang
sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan
dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).

Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai


induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri,
yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak
mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat
agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan
filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu.
Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan
untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).

Diposkan oleh Monalia Sakwati di 04:51

Label: Tugas Kuliah

You might also like