You are on page 1of 18

PEMBENTUKAN TERNAK TRANSGENIK

Makalah yang diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reproduksi Hewan

Disusun Oleh :

Marliana Setyo P 140410070075

Nita Oktavia W 140410080018

Yunia Risma 140410080023

Dewi Purwanti 140410080050

Farida Syafitri 140410080052

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

JATINANGOR

2011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah reproduksi repwan ini yang berjudul
“Pembentukan Ternak Transgenik” sebagaimana mestinya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen reproduksi hewan yang telah
membimbing serta memberi wawasan ilmu pengetahuan dan teman-teman yang
membantu dalam kelancaran pembuatan makalah reproduksi hewan ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Jatinangor, April 2011

Penyusun
PENDAHULUAN

Perkembangan IPTEK dibidang reproduksi ternak dapat dimanfaatkan untuk


mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsektor peternakan
terutama dalam meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara
kualitas maupun kuantitas.

Perkembangkan teknologi di bidang reproduksi ternak diawali dengan


pemanfaatan teknologi inseminsi buatan (IB), kemudian transfer embrio (TE), dan
saat ini telah dikembangkan teknologi prosessing semen, fertilisasi in vitro, teknologi
criopreservasi gamet, pembentukan ternak transgenik, cloning dan pembentukan
ternak chimera. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pembentukan hewan
transgenik.

Hewan transgenik merupakan hewan yang diinjeksi dengan DNA dari hewan
lain. Transformasi gen tersebut yang umumnya berasal dari spesies yang sama, tapi
dapat juga berasal dari spesies berbeda yang dilakukan terhadap embrio sebelum
hewan transgenik tersebut dilahirkan. Transformasi genetik diharapkan menyebabkan
mutasi spontan sehingga genetik dari hewan yang ditransformasi termodifikasi sesuai
dengan gen yang diharapkan muncul sebagai performans.

Hewan transgenik dikembangkan dengan 3 cara, yaitu mikroinjeksi DNA,


transfer gen dengan media retrovirus dan transfer gen dengan media sel cangkokan
embrionik. Mikroinjeksi DNA dilakukan dengan melakukan injeksi langsung gen
terpilih yang diambil dari anggota lain dalam spesies yang sama ataupun berbeda ke
dalam pronukleus ovum yang telah dibuahi. Transfer gen dengan media retrovirus
menggunakan retrovirus sebagai vector, kemudian menginjeksikan DNA ke dalam sel
inang. DNA dari retrovirus berintegrasi ke dalam germ untuk bekerja. Transfer gen
dengan media sel cangkokan embrionik diaplikasikan dengan menggunakan
sequence DNA yang diharapkan muncul ke dalam kultur in vitro sel cangkokan
embrionik. Sel cangkokan dapat menjadi organisme lengkap. Sel kemudian berikatan
dalam embrio pada tahap perkembangan blastosit (Priyono, 2008).

Hewan transgenik dapat dijadikan sebagai potensi dalam memajukan dunia


peternakan. Berawal dari mencit sampai pengembangan ke ternak-ternak seperti
domba, sapi, kelinci dan babi. Salah satu hewan transgenik yang menggunakan
rekayasa genetika cloning yang telah berhasil adalah domba Dolly. Dengan
berhasilnya domba Dolly, terdapat harapan besar untuk menghasilkan ternak unggul
yang bermanfaat bagi manusia. Kemudian muncul kekhawatiran terhadap
kelangsungan hewan transgenik untuk ke depannya. Bagaimana masa depan hewan
transgenik dan dampak negatifnya baik bagi hewan transgeniknya sendiri maupun
bagi manusia. Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadi kenyataan setelah munculnya
penyakit pada domba Dolly setelah kurang lebih enam tahun kemudian (Priyono,
2008).

Meskipun banyak potensi dan manfaat yang dapat diambil dari hewan
transgenik, akan tetapi proses yang dilibatkan dalam pengembangan hewan
transgenik di laboratorium berpotensi atau memiliki dampak yang buruk terhadap
masa depan hewan yang dilibatkan. Proses yang terjadi dalam pengembangan galur
transgenik baik di laboratorium maupun di hewan ternak secara potensial memiliki
dampak utama terhadap hewan yang diamati. Area tertentu dimana masalah dapat
terjadi adalah pada proses eksperimental yang berhubungan dengan produksi in vitro
dan transfer embrio serta selama gestasi dan kelahiran hewan yang dimanipulasi.
Pada hewan ternak, dibandingkan dengan IB, prosedur yang digunakan sebelum dan
sesudah mikroinjeksi (contohnya kultur in vitro dan transfer embrio) mungkin
memperpanjang gestasi/kehamilan, meningkatkan bobot lahir dan menyebabkan
insiden kesulitan lahir dan kehilangan perinatal yang lebih tinggi (Priyono, 2008).
TINJAUAN PUSTAKA

Hewan transgenik merupakan hasil transformasi suatu gen asing (dapat berasal
dari spesies yang sama sampai divisio yang berbeda) yang dikerjakan terhadap
embrio sebelum hewan transgenik tersebut dilahirkan. Hewan transgenik merupakan
terobosan baru dalam dunia peternakan. Pemanfaatan teknologi yaitu melalui hewan
transgenik diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ternak
maupun produk-produk ternak dan tidak memberikan efek negatif pada ternak
ataupun produk ternak.

Berbagai rekayasa genetika untuk menghasilkan hewan transgenik yang


bermanfaat saat ini telah banyak dilakukan. Hewan transgenik tersebut diharapkan
dapat memberikan kontribusi yang tinggi pada bidang peternakan pada khususnya
atau pertanian pada umumnya.

A. Tujuan Produksi Ternak Transgenik

Hewan transgenik berpotensi berkontribusi pada manusia melalui tiga kategori


sebagai berikut:
1. Pengembangan bibit ternak (breeding)
Petani ternak tidak pernah berhenti menyeleksi dan mengembangkan bibit
ternak yang memiliki sifat-sifat unggul seperti menghasilkan air susu yang banyak,
tumbuh cepat dan memiliki rasio daging yang tinggi. Apabila hal ini dilakukan
dengan cara pembibitan tradisional, banyak biaya, waktu dan tenaga yang
dikeluarkan serta sulit dalam pelaksanaannya. Dengan berkembangnya ilmu rekayasa
genetika dan biologi molekuler, memungkinkan menghasilkan tujuan ini dalam waktu
yang lebih singkat dan lebih terarah.

2. Perbaikan kualitas produk ternak


Zaman modern saat ini banyak menuntut perbaikan kuantitas dan kualitas dari
produk yang sudah ada, misalnya susu. Peternak berharap dapat memproduksi susu
dalam jumlah yang meningkat, juga perbaikan kualitasnya untuk kesehatan, misalnya
susu yang berkurang kandungan laktosa dan kolesterolnya. Sedangkan untuk hewan
pedaging, diinginkan yang lebih tinggi jumlah dagingnya dibagian karkas. Begitu
juga dengan domba wool diinginkan lebih banyak menghasilkan bulu. Berdasarkan
hal tersebut diatas ada tanda-tanda hewan transgenik mampu memenuhi keperluan
tersebut (Priyono, 2008).

Saat ini medically human proteins diproduksi dalam jumlah besar dalam susu
domba transgenik. Di bidang peternakan tranfer gen bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas ternak seperti konversi pakan, rataan pertambahan berat badan,
mereduksi kandungan lemak, meningkatkan kualitas daging, susu, wool secara cepat
sehingga dapat mengurangi biaya produksi yang harus ditanggung konsumen (Pursel
dan Rexroad, 1993). Karakter dari produktivitas ternak dikontrol oleh sejumlah gen
yang dapat dipisahkan dari genom. Hasil pemetaan genom dari suatu spesies ternak
membantu dalam pemilihan satu atau beberapa gen yang diinginkan dan
menguntungkan secara ekonomi. Beberapa gen yang mempunyai potensi untuk
pembentukan ternak transgenik, antara lain:

a. Growth Hormon (GH)

b. Growth Hormon Releasing Factor (GRF)

c. Stimulation of muscle development

d. Insulin like Growth Factor I (IGF I)

3. Ketahanan ternak terhadap penyakit

Aplikasi dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki


kesehatan ternak. Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi
ternak terhadap suatu penyakit dan pembentukan antibodi. Mengingat cukup
banyaknya jenis penyakit yang berbahaya seperti antrax, penyakit mulut dan kuku, flu
burung dan sebagainya, maka ada usaha-usaha untuk menciptakan sistem kekebalan
pada ternak secara genetik. Kelemahannya adalah masih sedikit jenis gen yang
diketahui bertanggung jawab terhadap ketahanan hewan pada penyakit-penyakit
tersebut (Priyono, 2008).

Hewan pioneer yang telah berhasil dikembangkan menjadi hewan transgenik


adalah mencit. Saat ini telah dikembangkan ke tikus, kelinci, domba, sapi dan babi.
Salah satu tujuan dilakukan manipulasi genetik adalah untuk menghasilkan hewan
yang memiliki karakter yang diharapkan (breeding). Hasil dari hewan transgenik
dapat berupa daging, susu, telur, bulu, rambut, wool, tanduk, kuku, kulit, tulang,
sperma, dan madu (Pudjiatmoko, 2010).

4. Bioreaktor untuk produk-produk biomedis

Ternak transgenik memegang peran panting dalam menghasilkan produk-


produk untuk pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil keuntungan dari
produk-produk biomedik yang dihasilkan dari ternak transgenik, Contoh: insulin
untuk pengobatan penyakit diabetes dan oksitoksin untuk merangsang kelahiran.
Beberapa produk biomedik yang dapat diproduksi dari temak transgenik antara lain:
a. Human alpha 1 anti tripsin (haAT)

Wright et.al., (1991) melaporkan tingginya konsentrasi hαAT pada susu


domba transgenik. Konsentrasinya berkisar 1.5-37.5 g/l. Aktivitas dari hαAT
yang telah dipurifikasi dari susu domba menghasilkan transgenik sama dengan
hαAT pada plasma darah manusia. Bila manusia defisiensi hαAT maka akan
menderita emphysema. hαAT dapat diekstraksi dari plasma darah manusia, tetapi
karena kebutuhan untuk pasien cukup besar (200 g per tahun) menjadi tidak
mencukupi dan mahal.
b. Human Lactoferin (hLF)

c. Human Protein C

Velander et.al (1992) menginduksikan cDNA protein C mammae (hPC)


kedalam WAP untuk memproduksi babi transgenik. Babi ini menghasilkan susu
yang mengandung lebih dari 1 g hPC/liter susu. Aktivitas biologi dari hPC
rekombinan ekuivalen dengan protein C dari plasma manusia. Protein C
mengandung peran dalam regulasi hemostasis. Bila tubuh defisiensi protein C
akan mengalami trombosit (intravaskular blood clots). Protein C berperan dalam
mencegah pembekuan darah. Kebutuhan setiap tahun 96 kg dan menjadi proyek
di Amerika.

d. Tissue Plasminogen Activator (TPA)

Promotor WAr tikus digunakan untuk mengespresikan beberapa hTPA


cDNA pada kambing transgenik. Ebert et.al.,(1991) mengemukakan bahwa TPA
merupakan agen anti pembekuan darah, digunakan untuk pasien yang mengalami
serangan jantung. Konsentrasinya sangat rendah dijumpai pada susu dan ekspresi
hTPA tidak berpengaruh pada produksi susu dan kesehatan kambing transgenik.

e. Human Haemoglobin

Haemoglobin merupakan protein biomedik yang tidak dapat disintesa oleh


kelenjar mammae tetapi dapat diproduksi oleh jaringan lain dari ternak transgenik
dan berada dalam darah. Hasil menunjukan 15% dari sel darah merah
mengandung hHG pada hemoglobin babi. Hemoglobin dapat diekstraksi dari sel-
sel darah merah baik dari manusia maupun babi kemudian dipisahkan dengan
kromatografi. Hemoglobin murni dapat dimodifikasi secara kimia yaitu dengan
cara polimerisasi. Produksi hH dari ternak transgenik digunakan untuk transfusi
darah.
B. Teknik Transfer Gen

1. Spermatozoa sebagai pembawa gen.

Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk


mentransfer DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser gen
ditemukan oleh Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat peneliti
dari Italia (Gandolfi et. al., 1989). Mereka mendemonstrasikan sel sperma tikus yang
berasal dari epididimis sebagai vektor untuk membawa gen asing kedalam oosit.
Pengikatan gen oleh sperma secara optimal terjadi bila sperma dalam keadaan motil
dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989) melaporkan penelitian
transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan seekor tikus transgenik dari
1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand, Peternon et. al.,(1990) mengemukakan
waktu yang tepat untuk resorpsi DNA yaitu setelah dilakukan kapasitasi terhadap
sperma. Di Canada Gagne et. al 1991 dengan menggunakan elektroporasi
menunjukkan DNA asing dapat stabil didalam sperma dan lebih menguntungkan
karena dapat mengurangi trauma akibat mikro injeksi. Di Australia, Arkinson et. al.,
(1991) mendemonstrasikan sperma sapi dapat mengikat DNA asing meskipun
keberhasilannya cukup rendah.

Yang sangat menarik adalah pengikatan antara sperma dan DNA tidak terjadi
secara acak. Dalam beberapa spesies molekul DNA melekat pada satu lokasi dibagian
belakang akrosom kepala spermatozoa. Sepertinya terdapat suatu reseptor pada
bagian belakang akrosom yang berfungsi sebagai media interaksi antara DNA dengan
sel sperma.

Cairan spermatozoa diduga menghambat permiabilitas membran sel sperma


dengan DNA. Berdasarkan pengamatan sperma hasil ejakulasi lebih permiabel
dibanding sperma dari epididimis (Pinkert, 1994) . Didukung oleh penelitian pada
mammalia menunjukkan bahwa spermatozoa yang diejakulasikan memiliki sifat
impermiabel terhadap DNA asing kecuali jika seminal plasma dihilangkan.
2. Mikroinjeksi pada pronukleus

Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi melalui


pembedahan mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama sekali
metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan
menginjeksikan sitoplasma kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh pada
perkembangan embrio selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara menginjeksi
mRNA pada oosit amphibi, ternyata mampu mengkode peptida. Penelitian-penelitian
lain mulai menyusul dengan menggunakan hewan laboratorium terutama embrio
mencit dan selanjuynya berkembang pada embrio mamalia (Pinkert, 1994).

Pada mamalia dilaporkan oleh Sreenan dan Mc Evoy et. al., (1989) dari 11
resipien dilahirkan dua puluh sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi
molekul DNA kedalam pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan
kontrol translasi selama perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pada embrio stadium awal mampu mentranskrip gen baru yang diinjeksikan
kedalam pronukleus ( Hill, et. al, 1992). DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus
jantan dengan kandungan 200 - 500 copi susunan gen.

Kemudahan mikroinjeksi pada beberapa spesies sangat bervariasi : pada tikus


relatif lebih mudah dibanding pada embrio sapi karena oosit mengandung lemak.
Pada embrio sapi mikroinjeksi DNA pada inti sulit dilakukan bila tidak dilakukan
dibawah mikroskop : Differential Interference contrast mycroscopy (DIG). Zygot
harus disentrifugasi pada tube 2 ml mikrosentrifus selama 8 menit dengan kecepatan
15.000 9 (Bremel et. al, 1996). Selama sentrifugasi granula lemak akan migrasi pada
satu sisi embrio satu sel dan pronukleus menempati pada posisi ditengah embrio.
Keberhasilan pemisahan komponen selular ditandai dengan visualisasi pronukleus
(Karl, 1989). Han et. al (1996) melakukan penelitian dengan konsentrasi DNA 4
/μg/ml dalam buffer 10 mM trisHCI (pH 8) dan 0,1 mM EDTA. Visualisasi
pronukleus dilakukan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 15.000 g (Eppendorf
microcentrifuge). Materi DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus dengan selang
waktu 21 -25 jam setelah fertilisasi, hasil penelitian menunujkkan 4.4% (131/2931)
embrio yang diinjeksi dapat berkembang menjadi blastosit.

Penelitian lain dilakukan oleh Jura et.al.,(1994), materi DNA yang


diinjeksikan bGH-M8 pada 639 zygot. Penampakan pronukleus dilakukan dengan
sentrifugasi 14.000 g selama 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan persentase
embrio yang berkembang menjadi blastosit vs kontrol ( 69,6 vs 34,5). .
Krimpenford et. al., 1991 menghasilkan duo sapi transgenik dari 2470 oosit
yang dikoleksi. Hanya 1154 yang menunjukan pronukleus dan diinjeksi dengan
DNA. 287 embryo hatching (28%) don 129 embrio ditransfer pada 99 resipien, 19
ekor anak sapi lahir dan hanya 2 ekor sapi yang berhasil (1,55% dari embrio yang
ditransfer).
Pinkert (1994) mengemukakan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi
keberhasilan mekroinjeksi DNA pada pronukleus antara lain:
1. Integrasi fragmen DNA linier lebih efisien dibandingkan DNA yang super coil.
2. Buffer untuk mikroinjeksi terutama pH (disarankan 10 mM Tris, pH 7.4
dengan 0.1 0.3 mM EDTA.
3. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus jantan lebih efisien dibandingkan dengan
pronukleus betina.
4. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus lebih efisien dibandingkan dengan injeksi
pada sitoplasma.

3. Injeksi gen pada germinal vesikel

Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu pertakuan khusus
yaitu sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal vesikel meski agak sulit
menentukan waktunya tapi penelitian di Polandia berhasil dilakukan oleh Jura et. al.
(1990) dengan dimana DNA dilarutkan dalam larutan buffer dan diinjeksikan pada
mature oesit. Injeksi pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif bila ditemukan
waktu yang tepat untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies.
4. Injeksi gen pada sitoplama

Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam


sitoplasma. Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi yaitu
injeksi DNA pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil yang
diperoleh sangat rendah persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak dilakukan
pada ikan.

5. Particle gun

Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada
suatu mikropartikel. Metode ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji viabilitas
sperma dan pengaruhnya akibat adanya mikropartikel (Hough dan Foote, 1990 dalam
Gordon 1994). Transfer gen dengan metode ini mempunyai banyak keuntungan yaitu
mudah ditangani dengan satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran ,
partikel dapat mencapai sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai
macam jaringan (Potrykus, 1996).

6. Virus sebagai media

Seperti pada mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada virus lebih cepat karena
kemampuannnya mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah dicoba pada
embrio tikus pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al., (1993) dengan
Murine Leukemia Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada tryphectoderm tapi sampai
ICM. Kubisch et. al., (1995) menginduksikan materi DNA yang mengandung
promotor SV40 atao pb ActinLacZ yang dikendalikan oleh bakteri beta galatosidase.
Pada sapi perah induksi gen bGH terbukti dapat meningkatkan produksi susu
sebanyak 18% (Kar1, 1989). Transkripsi jaringan spesifik mammae dari Mouse
Mammary Tumor Virus (MMTV) dapat menghasilkan susunan Long Terminal
Repeat (LTR) pada genom. Gen dengan struktur c-myc yang berikatan dengan
promotor MMTV dan diinduksikan pada embrio tikus menghasilkan tikus transgenik
yang mengalami adenocarcinoma pada mammae.
C. Permasalahan

Permasalahan pada ternak transgenik adalah rendahnya keturunan (offspring)


dari ternak trangenik yang dihasilkan baik pada hewan penelitian maupun pada ternak
mamalia (sekitar 1-4%) yang nantinya menjadi prioritas peningkatan produksi ternak
dibidang peternakan.

Ternak Transgenik Penghasil Obat Bagi Manusia

Setidaknya ada enam macam penyakit manusia yang dapat dikarakterisasi


proses kejadiannya dengan baik melalui observasi mendalam dengan memanfaatkan
tikus transgenik. Keenam penyakit tersebut adalah cardio-vascular, kanker,
autoimmune, AIDS, sickle cell anemia, dan neurologik. Sampai saat ini setidaknya
terdapat delapan macam obat yang diproduksi oleh ternak transgenik, sebagaimana
disajikan pada Tabel di bawah ini:

Protein Uraian Ternak transgenik

AAT Alpha-1-antitrypsin Domba

TPA Tissue plasminogen activator Kambing

(treatment untuk pembekuan

darah)

Factor VIII Faktor pembeku darah (treatment Domba

untuk hemophilia

Factor IX

Hemoglobin Substitusi darah untuk transfusi Babi

Manusia

Lactoferrin Suplemen untuk bay Sapi Perah

CFTR Cystic fibrosis transmembrane Domba dan Tikus


conductance regulator (treatment

untuk Cystic Fibrosis)

Human Anticoagulant (treatment untuk Babi

Protein C pembekuan darah)

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Hewan Transgenik. http://www.google.co.id/search?q=hewan+
transgenik&hl=id&biw=1366&bih=641&prmd=ivns&tbm=isch&tbo=u&so
urce=univ&sa=X&ei=Dcu7TYLfCYqgvQPFn_3SBQ&ved=0CDUQsAQ.
Diakses tanggal 22 april 2011.

Bremel, RD. 1996. Potential Role of Transgenesis in Dairy Production and Related
Areas. Theriogenology., 45 : 51 - 56.
Ebert, K, M. [et.al]. 1991. Transgenic production of a variant of human tissue type
plasminogen activator in goat milk. Biol. Technology. 9 : 835.
Galli.,C D.J. Powel dan RM. Moor. 1991. Stability of DNA injected in oocyte and
embryos of domestic animal. Proc. Abstr. 6: 24.
Gordon I. 1994. Laboratory Production of cattle embryos. Cab International
Walingford.
Han, Y.M.[et.al] 1996. Factors affecting in vivo viability of DNA injected Bovine
Blastocysts Produced in vitro. Theriogenology. 46 : 764 – 778
Handarini. 2004. Produksi Ternak Transgenik Sebagai Upaya Peningkatan Mutu
Genetik Ternak. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/802 /
1/ternak-ristika.pdf. Diakses tanggal 22 april 2011.

HiII, K. G.[et.al]. 1992. Production of transgenic cattle by pronuclear injection.


Theriogenology. 37 : 222.
Jura, J. [et.al] 1990. In vitro maturation of bovine oocyte following buffer
microinjection into germinal vesicle or cytoplasm. Theriogenology.
Karl, M.E., 1989. Gene transfer through embryo microinjection in Animal
Biotechnology. Oxford. pp: 233-249.
Pinkert, CA, 1994. Transgenic Animal Technology. A Laboratory Handbook.
Academic Press. San Diego. pp : 339 - 354.

Priyono. 2008. Potensi Hewan Transgenik. http://www.ilmupeternakan.co.cc /


2009/04/potensi-hewan-transgenik.html. Diakses tanggal 22 april 2011.
Potrykus, I. 1996. Gene transfer to plants: Assesment and Prepectives. Physiol. Plant.
79: 125-134.
Pudjiatmoko. 2010. Istilah penting dalam keamanan hayati.
http://atanitokyo.blogspot.com/2010_05_01_archive.html. Diakses
tanggal 2011.

Velander, W[et.al]1992. High level expression in the milk of transgenic swine using
the cDNA encoding human protein C. Proc. 89 : 2003.
Wright, G[et.al]1991. High level expression of active human alpha 1 antitripsin in
the milk of transgenic sheep. Bio. Thecnology. 9 : 830.

LAMPIRAN
(Anonim, 2011).

You might also like