Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
baik orang perorangan yang menjalankan perusahaan atau badan usaha yang
mempunyai kedudukan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Kegiatan
dilakukan :
1
Sri Redjeki Hartono, Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum
Ekonomi, (Bandung : Mandarmaju, 2000), hal. 4.
1
Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya
merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam,
kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar perusahaan, antar
negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi
setiap saat di berbagai tempat. Peranan tersebut baik dalam hal mengumpulkan dana
dari masyarakat maupun menyalurkan dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan
ekonomi yang terjadi pada masyarakat tentunya semakin banyak pula kebutuhan akan
dana sebagai salah satu faktor pendorong dalam menggerakkan roda perekonomian.
transaksi perdagangan antar pelaku usaha, dimana satu pelaku usaha melakukan
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap
perbankan. Salah satu pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis perbankan
2
Mustafa Siregar, Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga Keuangan
Lainnya dengan Penelitian di Wilayah Kodya, (Medan : USU, 1990), hal. 1.
2
menjadi sangat menurun, selain itu berakibat pula pada terganggunya kegiatan
perekonomian.3
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank (power to license),5 melaksanakan
pengawasan bank (power to supervise) dan mengenakan sanksi terhadap bank (power
bertujuan untuk mengupayakan terciptanya individual bank yang sehat yang pada
gilirannya mendukung sistem perbankan yang sehat.6 Dengan demikian, ada dua
fokus terhadap individu bank dan fokus terhadap sistem perbankan nasional. 7
3
Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan, ”Cetak Biru Edukasi
Masyarakat di Bidang Perbankan”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0906143C-163D-4A02-BC59-
C2D6C0E31AE9/903/CetakBiruEdukasiMasyarakatdiBidangKeuangan.pdf., diakses pada 12 Mei
2011.
4
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
5
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, op.cit.,
otoritas yang mempunyai power to license adalah Menteri Keuangan.
6
Bagian yang juga sangat penting dalam rangka mengupayakan terciptanya bank dan system
perbankan yang sehat adalah kualitas dan integritas pemegang saham pengendali, pengurus, dan
pegawai bank, serta iklim usaha yang kondusif. Dalam : Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan
Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005).
7
Sistem perbankan dapat diartikan sebagai kumpulan dari lembaga, kegiatan usaha, serta cara
dan proses pelaksanaan kegiatan usaha yang memungkinkan bank melaksanakan fungsinya dengan
baik. Dalam : Ibid.
3
8
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas bank sebagai debitor.
kepailitan. 9
Penjelasannya, yaitu10 :
“Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia sedangkan bank yang dimaksud adalah bank
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan
permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu
dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan
permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia
terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran
badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan”.
serta merta dapat dilakukan oleh kreditor. Sebagai badan usaha yang mempunyai
karakteristik khusus, yaitu selaku intermediary institution yang bekerja dengan dana
8
Pasal 2 ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
9
W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa pailit artinya bangkrut; misal perusahaan itu
sudah bangkrut dan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan
sebagainya). Dalam : W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1999). Kemudian, John M. Echols dan Hassan Shadily mengatakan bahwa bankrupt artinya
bangkrut, pailit dan, bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Lihat juga : John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1979). Selanjutnya, David K. Linnan
menamakan kepailitan sebagai liquidation in bankcruptcy. Bandingkan : David K. Linnan, Indonesian
Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency and Economic Nationalism, (Singapura :
Institute of Southeast Asian Studies Singapore, September 1999), hal. 6., Sementara, J. Armour
menyebut kepailitan sebagai insolvency. Ia mengatakan: “insolvency means inability to pay creditors”.
J. Armour, “The Law and Economics of Corporate Insolvency : A Review”, (Cambridge : ESRC
Centre for Business Research University of Cambridge, Maret 2001), hal. 3.
10
Pasal 2 ayat (3) dan Penjelasannya, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Loc.cit.
4
masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan,11 maka prosedur
kepailitan terhadap bank oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
bagi badan usaha pada umumnya. Kreditor tidak dapat mengajukan permohonan
pailit secara langsung kepada Pengadilan Niaga terhadap debitor yang merupakan
bank. Kreditor tersebut harus mengajukan keinginannya kepada Bank Indonesia dan
khusus kepailitan bank. Analisis akan difokuskan pada usaha bank karena
sangat esensial bagi kelangsungan usaha bank harus benar-benar dijaga. Apabila bank
dengan mudah dapat dimohonkan pailit oleh setiap kreditur, maka risikonya sangat
dibayangkan bahwa ketika terdengar kabar suatu bank diajukan untuk dimohonkan
pailit ke Pengadilan Niaga, maka nasabah penyimpan di bank tersebut akan segera
lanjutan dari kondisi psikologis masyarakat ini dapat menimbulkan dampak berantai
11
Pasal 29 ayat (3), Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357. Lihat juga : Ross H. Mcleod,
Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in Indonesia’s Development, (Singapura &
Australia : Heng Mui Keng Terrace & Australian National University, 1994), hal. 132.
12
Ross H. Mcleod, Ibid.
5
kepada nasabah-nasabah bank lainnya, sehingga pada bank-bank lainnya juga dapat
sebagai ide perspektif hukum dalam upaya pemikiran yakni menguraikan kekhususan
kepailitan terhadap Bank yang diatur dalam ketentuan kepailitan dikaitkan dengan
fungsi bank dan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan Bank
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini
6
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar yuridis kedudukan bank berupa
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis :
2. Kegunaan Praktis :
7
kepailitan maupun peraturan lainnya yang memiliki relevansi dengan
uangnya.
E. Keaslian Penelitian
Utara terdapat 32 (tiga puluh dua) judul yang membahas Kepailitan, namun tidak
Pernyataan Pailit Terhadap Bank Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut asli sesuai
dengan asas-asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
Kasus di Kota Medan)”, Tesis yang dibuat di Medan pada Program Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2004. Pada
8
tesis ini membahas mengenai akibat hukum yang timbul jika Undang-Undang
Pembayaran Utang jika diterapkan terhadap bank dan terhadap likuidasi bank;
Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
berbeda. Begitu juga dengan kajiannya berupa pengajuan permohonan pailit oleh
Bank Indonesia terhadap Bank, permasalahan hukum terhadap Bank Indonesia yang
menerapkan ketentuan kepailitan pada Bank, dan mekanisme hukum yang digunakan
tersebut dapat berupa isi dan kajian yang dipaparkan dalam penelitian ini.
1. Kerangka Teori
dalam mengajukan kepailitan bank merupakan cerminan dari teori utilitarisme. Teori
9
tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham13 (1748-1832)
yang dalam karya tulisannya yang berjudul “An Introduction to the Principles of
dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat bagi orang sebanyak
perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik
buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika
baik (the greatest good for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar di
definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa
yang berbahaya bagi kebanyakan orang.15 Jika perbuatan membawa lebih banyak
kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan
bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas
disebut baik. 16
13
Jeremy Bentham (1748-1832), karyanya Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus
classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum
Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam : Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom
Institute, 2006), hal. 13.
14
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998),
hal. 93-94.
15
Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, (Bandung : Alfabeta, 2007), hal. 93.
16
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hal. 67.
10
Moral biasanya mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Di
samping itu, moralisme hukum paling baik dipahami sebagai pola alami institusional,
yakni pola dari upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan
arahan bagi tingkah laku manusia. Moral dilegalisasi ketika ideal-ideal kebudayaan
moralisme hukum bergerak ke arah hukum positif, yakni dengan memasukkan suatu
point of view if and only if the sum total of utilities produceed by that act is greater
than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have
performed in its place”. (Terjemahan bebas : Suatu tindakan dianggap benar dari
sudut pandang etis hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan
tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang
dilakukan). 17 Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan. Jadi utilitarianisme tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis.
Dalam rangka pemikiran utilitarisme kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang
mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang
terbaik. 18 Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya kewengan kepada Bank
17
Manuel G. Velasquez, Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), (New Jersey :
Pearson Education Inc., 2002), hal. 76
18
K. Bertens, Loc.cit, hal. 66.
11
ekonomi secara makro karena bank merupakan lembaga kepercayaan yang harus
sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem
keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas
tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank
Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu
diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan
akan bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga. 19 Dengan demikian, Bank
Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas moneter yang diatur secara
eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara simultan juga turut
menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula dikatakan bahwa tugas menjaga
stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas menjaga stabilitas sistem
moneter.20
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan dalam misinya,
yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas moneter dan
19
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang
Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 349.
20
Ibid.
12
mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia yang
sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan fungsi lender
Sebagai lender of the last resort, bank sentral memilik peranan yang sangat
besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Lender of the last of resort
merupakan instrumen pengawasan pada saat krisis, dimana bank sentral dapat
memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada
potensi terjadi resiko sistemik. 23 Hal ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan
terjaga.
21
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan Tugas
Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman
Sektor Keuangan”, (Jakarta : Bank Indonesia, Maret 2009).
22
Ibid.
23
Zulkarrnaen Sitompul, Op.cit., hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Legal Aspects of
Regulatory Treatment of Banks in Distress, (Washington DC : International Monetary Fund, 2001),
hal. 20.
13
Kita dapat juga mengelaborasi pendapat dari H.L.A. Hart yang membagi
hukum kedalam 2 bentuk. 24 Pertama, primary rule, yaitu aturan yang membebankan
efisien, dan untuk itu adalah menjadi fungsi dari secondary rule untuk menutupi
kekurangan dari primary rule. Secondary rule terdiri atas rules of recognition, rules
apakah suatu norma dapat diterima sebagai peraturan atau tidak dalam masyarakat.
Apabila tidak memenuhi rules of recognition ini, maka tidak dapat diterima sebagai
peraturan. Oleh Hart, salah satu kriteria bagi rules of recognition adalah kembali
menguji keabsahannya berdasarkan norma dasar yang berlaku. Apabila suatu norma
yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan norma dasar, maka melalui rules of
change, norma itu dapat dicabut dan dapat diganti dengan yang baru.25 Di Indonesia,
hal ini dapat diajukan dengan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
kewenangan yang sama dari berbagai badan, maka semua undang-undang tersebut
akan dapat diuji keabsahan dan validitasnya sesuai dengan norma dasar yang berlaku.
Dalam hal ini, pengaturan sektor keuangan misalnya, dilihat dari norma dasar, Bank
24
M.R. Zafer, Jurisprudence: An Outline, (Kuala Lumpur : International Law Book Services,
1994), hal. 17-18. Lihat juga : Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur : International
Law Book Services, 1994), hal. 54.
25
Ibid.
14
pengawas sektor keuangan lain seperti Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-
Bank sentral yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian
yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur tangannya. Konsep ini dikenal
dengan teori the principal-agent.27 Independensi bank sentral terbatas pada kekuasaan
yang ditentukan oleh undang-undang atau disepakati oleh pemerintah dan parlemen
pemisahan fungsi, bukan pemisahan dalam arti politis. 28 Namun dari konsep
bahwa bank sentral dalam menjalankan tugasnya, dapat sangat dipengaruhi oleh
(dua) hal. Pertama, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana
bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral
secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui
26
Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007).
27
Maqdir Ismail, Bank Indonesia : Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 1997), hal.142.
28
Ibid.
29
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge : The MIT Press,
1998), hal. 54.
15
suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah bahwa bank sentral memiliki
sebut sebagai long time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan.31 Hal ini karena,
pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu kebijakan moneter, seperti yang terkait
dengan inflasi baru dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para
decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja mereka. Kedua, kebijakan-
investasi, yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan mendapatkan hasil
Teori lain yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori yang dikemukakan oleh Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and
Economic Development” berpendapat ada 5 (lima) fungsi atau kualitas hukum dalam
33
pembangunan ekonomi yaitu :
30
Ibid.
31
Ibid., hal. 55.
32
Ibid.
33
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, dalam “Peranan Hukum dalam
Pembangunan Ekonomi 2”, dikumpulkan oleh : Erman Rajagukguk, (Jakarta : UI,1995), hal. 352
16
3. Fairness; kualitas hukum dalam mengatur prosedur yang menciptakan
perlakuan yangsama antara kepentingan pemerintah disatu pihak dan
kepentingan masyarakat dunia usaha di pihak lain, sehingga tercapai keadilan
atau perlakuan yang seimbang dibidang hukum publik dan bidang hukum
perdata.
4. Education; fungsi edukasi melalui program sosialisasi menjelaskan
perubahan/perkembangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.
5. Special development abilities of the lawyer; hukum dapat berperan bilamana
tersedia sarjana hukum yang memiliki kemampuan mlihat hubungan hukum
dan pembangunan dunia usaha untuk kesejahteraan masyarakat”.
bahwa Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam mengatur bank-bank yang
Maksudnya adalah pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia dilakukan karena
Bank Indonesia adalah bank sentral untuk Indonesia. Jadi, dengan begitu yang
Indonesia. Dengan kata lain, yang dapat memailitkan sebuah bank adalah Bank
Indonesia saja.
yang bisa ditebak maka selanjutnya peraturan tersebut tidak boleh berubah-ubah.
mengenai pengaturan pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada Bank.
Tujuannya adalah agar nasabah tidak panik dalam hal ini jika bukan Bank Indonesia
yang mengajukan pailit terhadap bank yang ada, maka sudah dipastikan kondisi
keuangan bank tersebut akan collapse. Inilah yang dihindari oleh Bank Indonesia
17
Diharapkan kepada Bank Indonesia agar berlaku adil dalam mengawasi
contohnya dalam pencabutan izin-izin usaha pada Bank. Jika, keadilan hukum
terpenuhi maka dipastikan kepastian hukum akan tercapai. Karena tujuan kepastian
hukum adalah keadilan yang bermanfaat bagi Bank. Dengan perlakuan Bank
Indonesia yang adil maka akan dapat mengembangkan Bank yang ada. Seperti
perlakuan pemberian kredit pada setiap bank yang memohon kepada Bank Indonesia.
Bank Indonesia tidak boleh bersikap subjektif melainkan harus objektif dalam
Setelah perlakuan yang adil kepada Bank maka selanjutnya adalah pendidikan
hukum bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Bank Indonesia itu sendiri. Pada Bank
Indonesia pastilah memiliki staff karyawan yang bekerja pada institusi tersebut.
Dengan begitu pendidikan hukum kepada setiap staff karyawan dinilai sangat penting
untuk menunjang penerapan stability, predictability, dan fairness. Begitu juga dengan
pendidikan spesialis hukum, dalam hal ini untuk mendukung pendidikan hukum. Jika
akan ikut tercapai juga. Setelah Sumber Daya Manusia (SDM) diberikan pendidikan
hukum maka pastilah akan menuntut pendalaman kajian hukum, yaitu spesialisasi
terhadap huum. Seperti mengenai spesialisasi hukum asuransi, hukum perbankan, dan
lain sebagainya.
Beralih ke pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia maka tujuan dari
kepailitan adalah untuk melakukan pembagian kekayaan milik debitor kepada para
kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan debitor dapat dibagikan
kepada kreditor sesuai dengan haknya. Berkaitan dengan ini berlaku ketentuan Pasal
18
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur dan
pailit akan dibagikan kepada para kreditor secara seimbang. Selain itu fungsi dari
agar debitor membayar utangnya.34 Menurut Radin, dalam bukunya The Nature of
perundangan tentang kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk
memilah-milah hak-hak dari beberapa penagih terhadap aset seorang debitor yang
oleh debitor yang tidak jujur maupun oleh oleh kreditor yang tidak beritikad
baik.
34
Rudhi Prasetya, Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar Hukum
Kebangkrutan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hal.
1-2.
35
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung :
Alumni, 2007), hal. 29.
36
Penjelasan Atas Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
19
2. Azas Kelangsungan mengandung arti bahwa ketentuan tersebut mengatur
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Azas
hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
2. Kerangka Konsep
bawah ini sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan. Hal ini
dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dipaparkan definisi operasional dari
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
2. Pailit adalah suatu keadaan yang tidak mampu untuk membayar atau dengan
37
Pasal 1 angka 1, Ibid.
20
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus
yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun atas permintaan
pengadilan; 38
3. Bank adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
5. Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu;41
38
Henry Campbell Black and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard Edition),
Edisi Kesembilan, (Amerika Serikat : West Group, 2009).
39
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790.
40
Pasal 222-264, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
41
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Wewenang”,
http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang., diakses pada 12 Mei 2011.
21
7. Mekanisme Hukum adalah cara kerja peraturan perundang-undangan. Jika
yang satu bergerak maka yang lain ikut bergerak. Atau dengan kata lain
adalah tata cara dari ketentuan yang dibuat oleh penguasa atau otoritas
tertentu;43
8. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia atau badan hukum
Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara
9. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah sistem keuangan yang kuat dan
dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah
gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Dengan kata lain,
harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan
42
Pasal 1 ayat (2), Loc.cit.
43
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Mekanisme”,
http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011.
44
Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Op.cit.
45
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/., diakses
pada 12 Mei 2011.
22
10. Bank Bermasalah (problem bank troubled bank) adalah bank yang
mempunyai rasio atau nisbah kredit tidak lancar yang tinggi apabila
dibandingkan dengan modalnya. Arti lain dari bank bermasalah adalah bank
yang dari hasil pemeriksaan nilai CAMEL berada pada posisi empat (kurang
sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi bank; penilaian
11. Bank Dalam Likuidasi adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena
dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
12. Insolvensi adalah suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak
mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya
dengan hutangnya.48
46
Ralona M., Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta : Gorga Media, 2006), hal. 30.
47
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3659.
48
Penjelasan Pasal 57 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
23
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah,
selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan
suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat
menjadi induknya.49 Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu
hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan
norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
terkait secara langsung dengan Bank Indonesia. Dalam penelitian hukum juga
49
Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1998), hal. 9.
50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986),
hal. 43.
24
selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan. Agar mendapat
hasil yang lebih maksimal maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan
Terhadap Bank Dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
hukum normatif, yang ditujukan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang
tentang Perbankan.
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis karena penelitian untuk
mengagambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis
Deskriptif disini ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis
gejala-gejala hukum terkait dengan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada bank-
25
2. Sumber Bahan Hukum
berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat
Simpanan;51
51
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420.
52
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756.
26
i. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
terhadap Bank.
dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya
dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
data berupa peraturan perundang undang dan kebijakan kebijakan yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia berupa Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan masalah
pengawasan bank.
4. Analisis Data
dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat
53
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti
lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
27
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data. 54 Analisa data yang akan
dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam,
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
54
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisaikan ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang
memberikan arti yangsignifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari
hubungan diantara dimensi dimensi uraian. Dalam : Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian
Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 280
55
Ibid., hal. 281.
56
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada
12 Mei 2011.
28
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.57
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh
bagian dari Bank Indonesia dan permohonan pernyataan pailit agar menjadikan
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia. Teorisasi induktif adalah
menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format
induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal
yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan
didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang
ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori
yang ada; 2) apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami
29
berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori
yang digunakan tadi; 3) apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian
berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan
karena waktu, lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak
dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak
59
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Edisi I, Cetakan 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 26-29.
30
BAB II
sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem
keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas
tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank
Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu
diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan
stabilitas moneter yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, secara simultan juga turut menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula
dikatakan bahwa tugas menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas
Indonesia, Bank Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan
dalam misinya, yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas
60
Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hal. 349.
61
Ibid.
31
moneter dan mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia
yang berkelanjutan.62
bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi. Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank
Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter,
serta mendeteksi kerentanan sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya
adalah melakukan fungsi lender of the last resort.63 Sebagai lender of the last resort,
bank sentral memilik peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Lender of the last of resort merupakan instrumen pengawasan pada saat
krisis, dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami
krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. 64 Hal ini bertujuan untuk
Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem
menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan
62
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Op.cit.
63
Ibid.
64
Zulkarrnaen Sitompul, Op.Cit, hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Op.cit., hal. 20.
32
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur
maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar
belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan
bahwa bank tersebut mengemban tugas sebagai pelayan publik yang bersifat
bahwa bank sentral tersebut tidak mencari keuntungan, tetapi mempengaruhi pasar
uang dan memberi efek terhadap struktur perbankan pada umumnya.66 Sebagai suatu
lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk
65
Satjipto Rahardjo, et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, (Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 1995), hal. 21.
66
Hendra Nurtjahjo, et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara
(Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), (Depok : Pusat
Studi Hukum Tata Negara, 2002), hal. 27.
33
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan
efisien.
penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Secara struktural Bank Indonesia berada diluar
tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.67
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata
uang negara lain.68 Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi,
sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk
memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung
jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
67
Barno Sudarwanto, “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15 Desember
2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender”,
http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-indonesia-sebagai-last.html., diakses
pada 13 Mei 2011.
68
Bank Indonesia, ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”,
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/., diakses pada
13 Mei 2011.
34
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini, antara lain 69 :
nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka menetapkan dan
69
Pasal 8, Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Op.cit.
70
Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujua
n+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011.
35
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
bank. Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan tugas pemeriksaan;
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan
secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk
langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan
memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan
atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk
Sistem Keuangan (SSK). Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki 5 (lima)
peran utama dalam menjaga Stabitas Sistem Keuangan (SSK). Kelima peran utama
36
tersebut mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem
1. ”Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain
melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak
langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui
penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan
kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu
kebijakan yang disebut inflation targeting framework;
71
Bank Indonesia, “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+
BI/., diakses pada 13 Mei 2011.
37
real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem
pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia
memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial
dalam sistem pembayaran;
yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi
mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan
memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan
38
menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang
yaitu73 :
financial stability dari monetary stability yang mengacu pada stabilitas harga-harga
72
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit.
73
Sjamsul Arifin, et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan Kritis,
(Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 13.
74
Ibid.
39
hakikatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara kestabilan
moneter dan kestabilan finansial”.
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena
faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari
kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar
tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin
bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan
75
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit.
76
Ibid.
40
sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan
Gambar 1
Hubungan Stabilitas Sistem Kuangan dan Stabilitas Moneter
Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit
usaha bisnis yang tidak terlepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena
persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber
bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati khususnya
dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang bermuara
77
Ibid.
41
lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang mendera tahun
2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja usaha debitor bank
yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok kredit mereka. Gagal
bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank dari bunga kredit (fee based
yang tak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit debitur bank
mengurangi pagu ekspor minyak kelapa sawit untuk setiap industri pengolahan
minyak sawit di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kenyataan
ini sudah barang tentu berpotensi memukul industri sawit dan mengancam kelancaran
pembayaran angsuran kredit ke perbankan. Sebab lain bisa juga karena faktor
perubahan situasi politik dan tingkat persaingan antar bank itu sendiri. 79
Masih panjang daftar risiko-risiko yang mesti dipikul perbankan. Sebuah bank
dikatakan bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada
persoalan likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana
78
Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3.,
diakses pada 13 Mei 2011.
79
Ibid.
42
masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka
Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk membiayai kredit
berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara alamiah menghadapi apa
yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya. Maksudnya, antara kewajiban
membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh temponya tidaklah sama. Sekali
bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan, reputasi bank itu sedang
Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan collapse. Dalam
menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika itu. Bila ada
bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah dikaji tidak
berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan terang benderang
membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja ketika
Bank Indonesia menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada
Namun sebaliknya, ketika ada bank bermasalah dalam situasi krisis (moneter
atau ekonomi), jelaslah pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Hal itu arena
ada krisis yang berpotensi mengoyak psikologi pasar yang berdampak ikut (baca :
80
Ibid.
81
Ibid.
82
Ibid.
43
sistemik) merontokkan bank-bank lainnya, misalnya penyelamatan Bank Century.
Selanjutnya Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini
dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi karena kecil saja peran bank
ini terhadap totalitas sistem perbankan. Dalam kondisi yang sedang tak normal didera
krisis, bukan lagi faktor-faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan
Memang haruslah diakui, wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis
Penyehatan (BDP), dan memantau penyelesaian kewajiban dari Bank Beku Kegiatan
83
Ibid.
84
Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/., diakses pada 13 Mei
2011.
44
Usaha (BBKU), serta Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang ditetapkan oleh peraturan
tersebut di atas, pendekatan pengawasan yang dilakukan terbagi atas 2 (dua) jenis
kegiatan yaitu pengawasan tidak langsung (off site supervision) dan pengawasan
berkala (regulatory reports) yang disampaikan oleh Bank, informasi dalam bentuk
komunikasi lain serta informasi dari pihak lain. Sementara itu, pengawasan langsung
dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada Bank untuk meneliti dan
dalam kedua jenis pengawasan tersebut di atas analisis kondisi Bank, saat ini dan di
pemeriksaan terhadap jenis Bank ini dilakukan secara berkala atau sekurang-
85
Ibid.
86
Ibid.
45
2. Bank Dalam Pengawasan Intensif
Pengawasan intensif ini dilakukan Bank yang memenuhi dan memiliki potensi
dilakukan Bank Indonesia pada Bank dengan status ini, antara lain 87 :
kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis Bank Indonesia diketahui
bahwa Bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Bank yang memiliki kesulitan
sebagai Bank dengan status Pengawasan Khusus. Di samping itu, apabila diperlukan,
87
Ibid.
88
Ibid.
46
2. Bank Dalam Pengawasan Khusus
Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil, antara lain 89 :
89
Ibid.
47
g. membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
antara lain 90 :
2. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain
juga Bank yang telah ditetapkan dengan status Bank dalam Pengawasan Khusus pada
kepada publik, maka apabila kondisi Bank membaik dan tidak terkategori sebagai
paling lama tiga bulan bagi Bank yang tidak terdaftar pada Pasar Modal atau enam
bulan bagi Bank yang terdaftar pada Pasar Modal (listed Banks). Jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang dan perpanjangan dapat diberikan maksimal satu kali dan
paling lama tiga bulan. Pertimbangan perpanjangan tersebut terutama yang berkaitan
dengan proses hukum yang diperlukan antara lain perubahan anggaran dasar,
90
Ibid.
48
pengalihan hak kepemilikan, proses perizinan, dan proses kaji tuntas oleh investor
Bank semakin memburuk, maka terdapat dua alternatif resolusi Bank dimaksud, yaitu
Bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) atau
Bank dapat ditetapkan dengan status Bank Dalam Penyehatan apabila Bank
tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek
permodalan. Selama proses penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama
antara Bank Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan
dengan perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja permodalan,
(BMPK, PDN, PPAP), dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila kondisi
membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau dinyatakan berhasil,
maka status BDP dicabut dan Bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk
91
Ibid.
49
dilakukan pengawasan yang diperlukan. Sebaliknya, apabila kondisi Bank semakin
memburuk, status BDP dapat berubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha.92
Bank ditetapkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha apabila Bank
memenuhi persyaratan bahwa kondisi Bank menurun sangat tajam atau program
penyehatan BPPN atas Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak dapat diselesaikan oleh
Bank dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN,
Kegagalan sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang
terukur dan rasional. Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya
suatu bank harus diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat
dilakukan pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih
terorganisir dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Tentunya sulit diterima
oleh semua pihak kalau dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan
92
Ibid.
93
Ibid.
50
dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab
itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus
juga.94
Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004 atas dasar persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. LPS adalah sebuah lembaga
yang independen diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.
dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang
fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan penyelesaian
atau penanganan bank gagal (likuidasi bank). Penjaminan simpanan nasabah Bank
kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan
ketahanan sektor keuangan Indonesia atau disebut : Indonesia Financial Safety Net
94
Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada 13 Mei 2011.
95
Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on Funding and Liability Management, (Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2008), hal. 201.
51
(IFSN) bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Pengawas Perbankan
berbagai tindakan lain oleh Bank Indonesia dan LPP sesuai peraturan perundang-
antara lain berupa tindakan agar pemilik Bank menambah modal atau menjual Bank,
atau agar Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain. Apabila
penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini,
penyelesaian dan penanganan Bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja
penting, LPS harus independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan
96
Ibid., hal. 201-202.
97
Ibid., hal. 202.
52
lain, diatur sercara jelas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum
mengetahui bahwa salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan
adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi
bank. Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak
sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan
berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran
Dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak pihak LPS akan
melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya
dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. Apabila LPS
penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak
biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi disediakan oleh pihak LPS. 100
98
Ibid.
99
Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, Op.cit.
100
Ibid.
53
Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang
saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama (open bank
assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan,
maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti
bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS. Untuk penanganan
bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.24/2004 diberikan
kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal
lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk
lain. 101
“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan
waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3
tahun sejak penyelamatan dilakukan. Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus
dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara
prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum
mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham
lama. 102
101
Ibid.
102
Ibid.
54
Tabel 1.
Mekanisme Pengambilan Keputusan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sumber : Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indon
esia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.
Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah diuraikan
diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara sistem telah
ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur. Disamping itu ada
sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang mengakibatkan banknya
gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu perlindungan yang lebih
memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Sekalipun demikian harus tetap
disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab
apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta
surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada
55
pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan
Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling
ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang
Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang
menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. Sebagai
langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih
sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada
pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada
pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga
pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur. 104
adalah suatu bank yang berperan sebagai sumber pinjaman terakhir bagi bank-bank
(lender of the last resort) dan untuk mendukung peranan tersebut, bank sentral juga
harus mempunyai hak untuk menerbitkan uang kertas bank sebagai sumber dari
perolehan dana bank sentral itu dalam pemberian jaminan.105 Vera Smith (Rational of
Central Banking, 1936) menyatakan bahwa suatu bank dikatakan sebagai bank sentral
apabila bank tersebut berperan sebagai pencetak dan pengedar uang kertas dengan
103
Ibid.
104
Ibid.
105
R.G. Hawtrey, The Art of Central Banking, 2nd Edition, (Amerika Serikat : Frank Cass
Publisher, 1970).
56
hak monopoli dari pemerintah (the bank of issue). Kisch dan Elkin berpendapat
bahwa bank sentral adalah suatu bank yang memiliki ciri yang paling hakiki, yaitu
sebagai pemelihara stabilitas moneter yang baku yang mendukung kontrol terhadap
peredaran moneter.106
Salah satu fungsi Bank Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-
umum di bawah pengendalian dan pengawasan Bank Indonesia, beserta dengan Bank
Indonesia itu sendiri, membentuk sistem moneter nasional. Sistem moneter ini juga
kewajiban untuk menjaga kestabilan sistem moneter nasional. Bank Indonesia dalam
Dalam hal ini bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah
ini bisa berupa uang kertas maupun surat berharga. Bank Indonesia juga berwenang
adalah sarana perhitungan market antar bank yang dilaksanakan oleh bank sentral
guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dalam suatu
106
Vera Constance Smith, The Rationale of Central Banking and the Free Banking
Alternative, (London : PS King and Sons, 1936).
107
Pamela Romauli Tampubolon, “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan Penyaluran Kredit Bank”, (Tesis :
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
108
Ibid.
57
Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk
peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank
(the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan
(lender of the last resort). Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan
manakala suatu bank gagal untuk memenuhi Giro wajib Minimum (GWM).
Semua fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh Bank Indonesia dalam
rangka menjami terciptanya kondisi perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat
menurut Manuel Guitian hanya dapat tercipta melalui pengawsan dan pengaturan
yang ketat. Isu kesehatan perbankan menjadi isu sentral manakala krisis perbankan
kesehatan suatu bank dapat diukur dari Cash Ratio (CAR).110 Aset yang dimiliki oleh
solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Bank juga
109
Satjipto Rahardjo, et.al, Op.cit, hal. 21.
110
Cash Ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun dan harus
segera dibayar oleh pihak bank. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam
membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik menggunakan alat likuid yang dimilkinya. Alat
likuid, menurut ketentuan Bank Indonesia, terdiri dari uang kas ditambah dengan rekening giro bank
yang disimpan di Bank Indonesia. Dalam : Steven M. Bragg, Business Ratios and Formulas : A
Comprehensive Guide, Second Edition, (Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010).
58
diwajibkan untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan cara melaksanakan kegiatan
Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat
Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan ini telah merampas hak kreditur dari suatu bank.
Kreditur bank justru pada umumnya adalah juga bank, bahkan sering terdiri dari
banyak sekali bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank
money market. Bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non bank adalah
apabila bank sebagai kreditur menghadapi debitur yang merupakan bank, haknya
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit itu hilang karena ketentuan Undang-
111
Manuel Guitián, and Discretion in International Economic Policy, Occasional Paper,
(Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992).
112
Sutan Remy Syahdeini, Undang-Undang Kepailitan : Dalam Persfektif Hukum, Politik
dan Ekonomi, Makalah disajikan pada 7 Mei 1998 di Jakarta, hal. 6., sebagaimana dikutip Habiba
Hanum, “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”, (Tesis : Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 48.
113
Ibid, hal. 48.
59
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa untuk mengajukan
suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia
masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank dengan cara-cara
persuasif akan diakhiri oleh Bank Indonesia dengan cara melakukan likuidasi tanpa
perlu pernyataan pailit terhadap bank. Sutan Remy Syahdeini menyatakan bahwa
keadaan pailit atau bangkrut hanya akan dirasakan oleh kreditur. Krediturlah yang
mengalami ingkar janji (in default) sehubungan dengan perjanjian utang piutang
(perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Bank Indonesia tidak pernah menjadi
Kenyataan bahwa debitur bukanlah debitur biasa, tetapi suatu bank, tidak
mengubah keadaan bahwa Bank Indonesia bukan pihak dalam perjanjian kredit antara
debitur dan kreditur. Bank Indonesia hanya akan menjadi pihak dalam perjanjian
114
Menteri Kehakiman, “Jawaban Pemerintah atas Tanggapan Fraksi-fraksi terhadap
Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan”, hal. 3., dalam Laporan Lima
Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan AusAID, 2009).
115
Habiba Hanum, Op.cit., hal. 48.
60
antara kreditur dan debitur, apabila kredit yang diterima oleh debitur yang merupakan
bank diberikan oleh Bank Indonesia berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
atau berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam hal Bank Indonesia yang menjadi
kreditur, maka seyogyanya Bank Indonesia, baik sendiri maupun bersama dengan
Bank Indonesia dapat pula mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa diminta
oleh debitur atau kreditur atau kejaksaan, apabila Bank Indonesia (bukan sebagai
kreditur tetapi sebagai otoritas moneter yang bertugas dan bertanggung jawab
bahwa bank yang bersangkutan telah membahayakan sistem perbankan. Hal ini tidak
pailit suatu bank dalam kedudukan Bank Indonesia selaku kreditur Bank itu. 116
ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur yang diajukan pailit tersebut
merupakan bank”, pada satu sisi dapat dibenarkan. Hal ini untuk menjaga
tanpa melalui Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat Bank akan senantiasa
maka jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan
116
Ibid.
61
berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya
masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap dana masyarakat luas
ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Perkara yang berkaitan dengan
diajukannya permohonan pailit terhadap Bank adalah perkara Bank IFI sebagai
pemohon terhadap Bank Danamon sebagai termohon. Dalam perkara ini Bank
karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti selama Bank Indonesia
tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar utangnya yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut tidak dapat dipailitkan. 118
the greatest happines is the greatest number. Maka peraturan mengenai pengajuan
permohonan pailit terhadap Bank adalah Bank Indonesia saja maka dalam hal ini
117
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, (Jakarta : Pustaka Utama Grafika, 2009).
118
Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit
PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, (Tesis : Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, 2005).
62
BAB III
piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian
masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Penyelesaian perkara
kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu badan
hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip. Pertama, peran utama kepailitan
perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu yang cukup, cukup bagi
dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah
119
Kelik Pramudya, “Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia”, http://click-
gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html., diakses pada 14 Mei 2011.
63
beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya
likuidasi premature.120
debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder
yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang
telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji yang terutang. Akan tetapi
bagaimana dengan hak-hak lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit
ekonomi yang buruk. Singkat kata, kepailitan adalah ultimum remedium, upaya
terakhir. 121
perbankan agar sektor perbankan dapat tetap menjalankan fungsinya secara dinamis
dan mandiri. Likuidasi bank harus tetap menjamin terpeliharanya hak para pihak
Pelaksanaan likuidasi harus dilakukan oleh suatu tim yang profesional yang
kepentingan berbagai pihak dapat terwakili dan terpelihara. 122 Bank Indonesia
120
Zulkarnain Sitompul, “Perlukah PT DI Dipailitkan”, http://zulsitompul.wordpress.com/isu-
sentral/., diakses pada 14 Mei 2011.
121
Ibid.
122
Pasal 7 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit.
64
bertindak sebagai pengawas pelaksanaan likuidasi. 123 Likuidasi perusahaan yang
bernama “bank” diatur prosedur di luar ketentuan kepailitan yang ada, karena
kharateristik bank memang jauh berbeda dengan perusahaan biasa. Hal tersebut
misalnya dapat dilihat bahwa bank merupakan lembaga kepercayaan, karena bank
kepailitan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) tidak dapat diterapkan karena dapat
Dari segi aset, aset perbankan adalah dana masyarakat, sementara porsi modal
bank tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan aset secara keseluruhan.
Operasional bank mempunyai resiko sistemik, dalam arti kejatuhan pada suatu bank
dapat menyebabkan kejatuhan bank lain, yang pada akhirnya akan menghancurkan
sistem yang telah dibangun. Oleh sebab itu terhadap bank perlu diatur prosedur yang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
suatu bank debitur, namun dalam praktiknya pasal ini tidak pernah digunakan.126
Alasan yang paling mendasar mengenai tidak digunakannya pasal ini oleh
Bank Indonesia adalah karena usaha bank memiliki kharekteristik kegiatan usaha
123
Pasal 1 ayat (4), Ibid.
124
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Op.cit.
125
Bagian Menimbang huruf b. dan c., Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit.
126
Sylvia Janisriwati, “Disertasi Sylvia Janisriwati : Kewenangan Bank Indonesia dalam
Menyatakan Pailit”, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Sylvia-Janisriwati--Kewenangan-Bank-
Indonesia-dalam-Menyatakan-Pailit-1583-id.html., diakses pada 14 Mei 2011.
65
yang berbeda dari perusahaan pada umumnya, yaitu sebagai intermediary institution,
sehingga aset bank pada dasarnya adalah milik para deposan selain juga milik
kreditur bank lainnya. Selain itu mengingat bank adalah usaha yang hanya dapat
berjalan atas dasar kepercayaan masyarakat, sehingga usaha bank harus dilindungi
dari kemungkinan tindakan kreditur tertentu untuk serta merta mengajukan gugatan
pailit ke Pengadilan. Oleh karena itu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
yang boleh mengajukan gugatan kepailitan terhadap bank melalui debitur, yaitu Bank
sementara permasalahan yang dihadapi bank itu menganggu usahanya atau sistem
perbankan, maka bank bermasalah itu harus keluar dari sistem perbankan (exit policy)
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha Pembubaran dan Likuidasi Bank dan
bukan melalui proses kepailitan sebagaimana disediakan jalannya oleh Pasal 1 ayat
127
Ibid.
128
Ibid.
66
Bank yang sudah dilikuidasi dianggap sudah tidak eksis lagi, oleh karena itu
tidak berhak melakukan kegiatan hukum seperti membayar utang. Ini berbeda dengan
perusahaan itu tetap eksis. Kepailitan tidak menyebabkan matinya suatu Perseroan
Terbatas, tetapi hanya berakibat terhadap ketidak mampuan perusahaan itu untuk
tetap eksis/aktif, namun diwakili oleh Kurator. Dalam proses rehabilitasi ternyata
berbentuk badan hukum tidak bubar. Bubarnya perusahaan yang berbentuk badan
hukum hanya terjadi apabila memang dengan sengaja dibubarkan, bagi perusahaan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal setelah
tindakan pemberesan ternyata utang-utang debitur kepada kreditur masih tersisa atau
belum lunas seluruhnya maka Debitur tetap berkewajiban untuk melunasi utang itu.
Para Kreditur memperoleh kembali hak mereka untuk menagih dan memperoleh
pembayaran atas piutang mereka yang belum dilunasi oleh Debitur (Pasal 190
129
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press., 2009).
67
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
setiap pendapatan yang diperolehnya dari bisnisnya itu harus dipakai untuk
membayar utang-utang yang belum lunas. Sebaliknya apabila Debitur tersebut tidak
kadaluwarsa yaitu setelah lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak terakhir Debitur
ditagih oleh krediturnya yang dapat membebaskan Debitur dari kewajiban membayar
utang-utangnya.131
yang membelit Bank tersebut. Bank dalam kondisi pailit lebih memberikan
keuntungan, salah satunya bagi nasabah penyimpan dana. Pengajuan pernyataan pailit
pada Bank bisa melindungi Kreditor Bank sehingga Bank dapat segera
menyelesaikan utangnya kepada para Kreditor. Posisi Bank Indonesia dalam hal ini
sangatlah krusial karena sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yang mengatur bahwa dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit
Hal ini terjadi pada kasus Bank IFI yang tidak berhasil mengajukan pailit
130
Ibid.
131
Ibid.
132
Sylvia Janisriwati, Op.cit.
68
pailit terhadap Bank sebagai kelanjutan permohonan yang diajukan oleh Kreditur
secara absolut akan menutup kesempatan dari Kreditur tersebut untuk mempailitkan
Bank debiturnya walaupun telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan
Dalam hal terjadi likuidasi bank, nasabah penyimpan dan Kreditur lainnya
berada dalam posisi yang lemah. Berbeda dengan perjanjian kredit yang lebih
menjamin posisi Bank sebagai Kreditur, karena Debitur wajib menyerahkan jaminan,
sehingga apabila Debitur wanprestasi, Bank memiliki kepastian hukum bahwa dana
yang dipinjamkannya akan kembali. Sedangkan dalam hubungan antara Bank dengan
nasabah penyimpan, ketika nasabah menyimpan sejumlah dananya pada Bank, Bank
tidak menyerahkan jaminan yang dapat memberi kepastian kepada nasabah bahwa
dana yang disimpannya pasti dapat diterima kembali, bahkan oleh hukum nasabah
bank yang dianggap harus menanggung risiko hilangnya sebagian dana yang
disimpan di bank yang dipilih sendiri. Demikian pula kedudukan Kreditur bank yang
untuk menuntaskan proses likuidasi bank yang disebabkan karena beberapa hal antara
lain ketentuan tentang lukuidasi bank yang belum sempurna, peraturan yang belum
133
Ibid., Lihat juga : Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan
Pernyataan Pailit PT. Bank IFI terhadap PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, Op.cit.
134
Suwono, “Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Nasabah Bank”,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/19/o2.htm., diakses pada 14 Mei 2011.
69
lengkap, misalnya dalam hal eksekusi aset bank terlikuidasi, dalam hal pembuktian,
masalah aset atas nama pihak lain dan lain sebagainya. Pelaksanaan penegakan
hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pencabutan izin
perbankan yang sehat dan kuat, karena perizinan merupakan salah satu sarana untuk
menyeleksi agar hanya badan hukum yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia yang dapat menjalankan usaha perbankan. Disamping itu, perizinan
juga digunakan oleh otoritas perbankan sebagai alat untuk memaksa bank untuk
mematuhi segala ketentuan dari otoritas perbankan dengan ancaman pencabutan izin
Pencabutan izin usaha Bank dilakukan oleh Pimpinan Bank Indonesia apabila
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank,
atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank dapat membahayakan
sistem perbankan atau terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank
Pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di Luar
Negeri dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila memenuhi alasan sebagaimana
135
Zulkarnain Sitompul, “Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank”, Majalah Pilars
No. 28, periode 12-18 Juli 2004.
136
Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank, Op.cit.
137
Pasal 3 ayat (3), Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.
70
diuraikan di atas atau terdapat permintaan kantor pusat Bank yang berkedudukan di
Luar Negeri atau izin usaha kantor pusat Bank yang berkedudukan di Luar Negeri
dicabut dan/atau kantor pusat dimaksud likuidasi oleh otoritas yang berwenang di
kesulitan yang dihadapi Bank dan/atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan
suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat
mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
Konsekuensi dari pencabutan izin usaha tersebut adalah bank wajib menutup
dan membubarkan badan hukum bank tersebut. Berkenaan dengan itu bank harus
pada bank tersebut maupun dana kreditur lainnya kepada yang berhak. Sebaliknya
kepada bank agar piutang bank tsb segera masuk ke dalam boedel. Bank yang dicabut
izin usahanya berubah bentuk menjadi perseroan biasa pada umumnya, dalam hal ini
pengajuan kepailitan terbuka untuk seluruh Kreditur bank tersebut. Karena pada
pendirian Bank pertama sekali adalah menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, lalu selanjutnya pada bidang usahanya diatur dalam
ketentuan perbankan. Setelah dicabut izin usahanya, Bank tidak bergerak dalam
138
Pasal 22, Ibid.
139
Pasal 5 ayat (1), Ibid.
71
bidang perbankan lagi sehingga karenanya mengacu kepada ketentuan Pasal 1 angka
Pembayaran Utang bahwa badan hukum tersebut dapat dimohonkan pailit oleh setiap
Krediturnya, tidak lagi harus Bank Indonesia yang memohonkan pailit. 140
Debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
bahwa :
”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. 141
tersebut di atas, yang terdiri dari : 1. adanya dua Kreditor atau lebih; 2. adanya utang;
3. adanya satu utang yang telah jatuh tempo; dan 4. persyaratan permohonan pailit.
140
Erman Radjagukguk sebagai saksi ahli dalam Kasus Bank Global., dalam Andi Pangeran
Hamzah, “Proses Kepailitan Bank Dalam Likuidasi : Studi Mengenai Bank Global (Dalam
Likuidasi)”, (Tesis : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 87.
141
Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
72
1. Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (Concursus Creditorium)
kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda Debitor untuk kemudian
accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda Debitor untuk kemudian
kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila Debitor hanya memiliki satu Kreditor,
maka seluruh harta kekayaan Debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang
Debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte,
dan terhadap Debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu
Kreditor. 143 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
bahwa Debitor mempunyai dua Kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam
hukum kepailitan berlaku pula Hukum Acara Perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku
dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa
beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk
142
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64.
143
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 5.
144
Pasal 116 HIR dan Pasal 1865, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847
Nomor 23.
73
wajib bukti di atas, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa
Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh
tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “Kreditor”. Menurut Sutan Remy
atau lebih Kreditor…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih kreditornya...”.146
Dalam kalimat pertama, yang dimaksud Kreditor adalah sembarang Kreditor, baik
Kreditor Konkuren berlaku dalam definisi Kreditor pada kalimat kedua dikarenakan
terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani
Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah
145
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64-65.
146
Ibid.
147
Ibid.
74
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan.148
sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan ini. Berkaitan
dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan Kreditor Separatis terhadap pengajuan
permohonan pailit, terhadap Kreditor telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138
ketentuan ini.149 Berdasarkan ketentuan kepailitan yang baru ini, maka Kreditor
Separatis dan Kreditor Preferen dapat tampil sebagai Kreditor Konkuren tanpa harus
melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen
dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi
148
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 65.
149
Pasal 138, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit., menyatakan bahwa : ”Kreditor yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebandaan lainnya, atau yang
mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat
membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil
penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor
konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang
menjadi agunan atas piutangnya”.
150
Jono, Op.cit., hal. 10.
75
putusan pernyataan pailit dikenakan terhadap “de schuldenaar, die in en toestand
verkeert daj hij heft apgehouden te betalen”. Dari ketentuan ini, dapat diterjemahkan
membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang. Oleh karenanya di dalam
Menurut putusan H. R. 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini
Tahun 1998 tentang Kepailitan juga tidak mengatur pengertian utang. Ketentuan ini
menentukan Debitor dapat dinyatakan pailit apabila “tidak membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada kreditor”. Ketentuan ini hanya
menentukan utang yang tidak dibayar oleh Debitor adalah utang pokok atau bunga.
Hal ini berarti permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dapat dilakukan
151
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia : Studi Putusan-Putusan Pengadilan, (Yogjakarta : Total Media, 2008), hal. 44.
152
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogjakarta : Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1981).
76
apabila ia dalam keadaan berhenti membayar utang atau ketika ia tidak membayar
bunganya saja.153
Menurut Jerry Hoff, istilah hukum “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menunjuk kepada hukum kewajiban
dalam hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari perjanjian
sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.154 Dalam Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena
perjanjian atau,undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
dikabulkan apabila “Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
153
Siti Anisah, Loc.cit., hal. 53.
154
Pasal 1233 dan Pasal 1234, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit.
155
Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
156
Pasal 2 ayat (1), Ibid.
77
undang-undang ini ternyata dianggap belum mampu mengakomodasi ketentuan
negara lain, seperti misalnya mengenai batasan minimal nominal utang yang dapat
diajukan pailit. Batasan minimal nominal utang yang dimiliki oleh Debitor sebagai
untuk mencegah Kreditor dengan piutang sangat kecil dibandingkan dengan aset yang
hakim. 157
untuk menentukan pembatasan persentase harta Debitor yang tersisa sebagai syarat
Dalam pasal ini mengatur mengenai pailit dan kebangkrutan berlaku terhadap Debitor
yang sudah tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya, dan harta yang tersisa
adalah hanya 25% dari seluruh kekayaan Debitor. 159 Adanya kelemahan berupa tidak
diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat
157
Siti Anisah, Op.cit., hal. 71.
158
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta :
Kencana, 2008), hal. 93.
159
Siti Anisah, Loc.cit., hal. 72.
78
dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum
penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat
unlawful execution dari para kreditornya, kepailitan hanya menjadi alat tagih semata
Singapura mengatur jumlah minimal utang yang dapat diajukan pailit adalah sebesar
US$. 2,000,- atau jumlah lain akan ditentukan di masa depan, sedangkan di
Hongkong, perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk jumlah utang
Menurut The Philippine Act, tiga orang Kreditor atau lebih yang merupakan
penduduk Filipina dan memiliki tagihan terhadap debitor hingga mencapai nilai
voluntary petition tidak mensyaratkan besaran jumlah utang yang dimiliki, sedangkan
79
pengadilan) dilakukan apabila Debitor memiliki utang tidak kurang dari
perjanjian.162
dalam jangka waktu enam bulan dari saat debitor mengajukan permohonan pailit
permohonan pernyataan pailit untuk involuntary petition dapat diajukan jika debitor
memiliki tagihan utang yang tidak berjaminan (unsecured debt) sebesar US$. 5,000,-.
3. Syarat Adanya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
162
Siti Anisah, Op.cit., hal. 72-73.
163
Di Kanada, kreditor berjaminan dapat mengajukan permohonan pailit hanya jika ia
bersedia melepaskan jaminannya.
164
Siti Anisah, Loc.cit.
165
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Op.cit.
80
Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa Kreditor sudah
mempunyai hak untuk menuntut Debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono,
hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu
166
adanya schuld dan haftung. Schuld yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap
debitor untuk menyerahkan prestasi kepada Kreditor, dan karena itu Debitor
kewajiban Debitor yang lain yaitu Debitor berkewajiban untuk membiarkan harta
kekayaannya diambil oleh Kreditor sebanyak utang Debitor guna pelunasan utang
Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
menurut Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan
kejadian yang berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu
atau utang yang expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang
telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan
utang yang telah jatuh waktu.168 Di sisi lain, suatu utang dikatakan jatuh tempo dan
dapat ditagih yaitu apabila utang itu sudah waktunya untuk dibayar. Penggunaan
istilah jatuh tempo merupakan terjemahan dari istilah “date of maturity”.169 Date of
maturity atau tanggal jatuh tempo adalah tanggal yang ditetapkan sebagai batas waktu
166
Jono, op.cit., hlm. 11.
167
Menurut pakar hukum dan yurisprudensi, schuld dan haftung dapat dibedakan tetapi pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok haftung terdapat dalam Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek.
Lihat : Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001), hal. 8-9.
168
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 68-71.
169
Siti Anisah, Op.cit., hal. 87.
81
maksimal terhadap utang atau kewajiban.170 Tidak dipergunakannya istilah jatuh
waktu disini karena istilah ini tidak ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Pengertian jatuh tempo itu sendiri ditemukan di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau
Pengertian tempo mempunyai arti waktu, batas waktu, janji (waktu yang
dijanjikan). 172
Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi
dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam
perjanjian. Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran
utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga
sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian.173 Jika di dalam perjanjian tidak
mengatur tentang jatuh tempo, maka Debitor dianggap lalai apabila dengan surat
teguran Debitor telah dinyatakan lalai dan dalam surat itu Debitor diberi waktu
Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
170
Date of maturity dapat diartikan tanggal saat utang atau kewajiban tertentu harus dibayar
atau dilunasi. Lihat : HRA Rivai Wirasasmita, et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, (Bandung : Pionir
Jaya, 2002), hal. 111.
171
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 404.
172
Ibid., hal. 1033.
173
Default adalah kelalaian untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam kontrak. dapat
diartikan pula sebagai kelalaian pihak debitor dalam menepati janji dan kewajiban yang dilakuan
terhadap pihak kreditor. Lihat : HRA. Rivai Wirasasmita, et.al, Op.cit., hal. 117.
174
Pasal 1238, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit.
82
baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. 175 Implementasi
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan kepailitan ini lebih banyak terjadi ketika
Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
Ketentuan yang menyatakan adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, menurut Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan bukan hanya
mengatur kepailitan Debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah
satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven
(insolvent). Seorang Debitor berada dalam keadaan insolven hanyalah apabila Debitor
itu tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian
besar para kreditornya. 177 Istilah “toestand” secara etimologi berarti keadaan
penghentian kewajiban membayar yang pada umumnya baru ada jika orang
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Debitor tidak membayar utang-
benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang atau karena tidak mau
175
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
176
Siti Anisah, Op.cit., hal. 92.
177
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71-72.
178
Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (1) Faiilissementsverordening, Siti
Anisah, Op.cit., hal. 74., Lihat juga : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71.
83
membayar kendati Debitor memiliki kemampuan.179 Dalam praktik pengadilan niaga
muncul beberapa kriteria Debitor tidak membayar utangnya, antara lain 180 :
dalamnya.
beberapa putusan pengadilan niaga yang mendalilkan debitor tidak membayar utang,
terhadap puluhan Kreditor sementara harta yang dimiliki Debitor makin hari
179
Siti Anisah, Op.cit., hal. 78.
180
Ibid., hal. 78-83.
181
Ibid., hal. 83-84.
84
makin berkurang dan nilainya menjadi lebih kecil dari utang-utang Kreditor;
dan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun
bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang
Menurut Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan menyatakan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada
182
Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
183
Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
85
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah Bank;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah
Perusahaan Efek”.
Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan
LK) di dalam mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak
hanya semata-mata perusahaan efek saja, melainkan juga lembaga-lembaga lain yang
Beberapa pihak di atas yang dapat mengajukan permohonan pailit, pihak yang
paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak Debitor dan Kreditor.
Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh Debitor disebut dengan voluntary
petition. Voluntary petition adalah permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh
Debitor, yang tidak mensyaratkan berapa besar jumlah utang yang dimilikinya.
Sebaliknya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh pihak Kreditor disebut
pernyataan pailit yang dilakukan Kreditor apabila Debitor memiliki utang yang
jumlah nilai utangnya dan bentuk utangnya telah ditentukan di dalam perjanjian. 185
Ketentuan bahwa Debitor adalah salah satu pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan yang dianut di banyak
184
Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung : Alumni, 2006), hal. 92.
185
Siti Anisah, Op.cit., hal. 72.
86
negara. Namun ketentuan ini memberi kesempatan bagi Debitor nakal untuk
yang diajukan oleh Debitor sendiri atau oleh Kreditor teman kolusi Debitor atau
sekongkolnya, namun Debitor tidak seharusnya lepas dari jerat pidana.186 Sedangkan
pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ketentuan ini juga telah
kebendaan yang dimilikinya terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.187
pailit dapat dilakukan atas permintaan Debitor maupun atas permintaan kreditornya.
pernyataan pailit terhadap debitor individu atau perusahaan.188 Padahal tujuan dan
manfaat hukum kepailitan perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat
hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit Debitor di
186
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 122-124.
187
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
188
Siti Anisah, Op.cit., hal. 126-127.
87
antara para kreditornya dan memberi kesempatan bagi Debitor Insolven untuk
Menurut H.L.A. Hart mengenai yang membagi hukum dalam dua bentuk,
yaitu primary rule dan secondary rule, terkait pengajuan kepailitan oleh Bank
Indonesia terhadap Bank adalah bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
sudah tepat menentukan Bank Indonesia yang dapat mengajukan pailit terhadap
Bank. Karena terkait dengan yang dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa ada
yang diselamatkan jika Bank Indonesia yang mengajukan permohonan tersebut yaitu
rush, semua itu demi menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil.
Namun pada, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
189
Fresh start adalah kesempatan bagi debitor dimana debitor tidak diwajibkan untuk
melunasi utang-utangnya dan dapat melakukan bisnis tanpa dibebani utang yang menggantung dari
masa lalu. Lihat : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. .39.
190
Siti Anisah, Op.cit., hal. 127.
191
Misalnya saja di Belanda terdapat Netherlands Bankruptcy Act untuk penjatuhan kepailitan
terhadap perusahaan dan Debt Restructuring Act For Private Individual untuk kepailitan konsumen
atau individual.
88
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (sebagai secondary rule) yang mengatur
mengenai likuidasi Bank adalah kurang tepat karena menurut Erman Radjagukguk
bahwa status Bank Umum yang sudah dicabut izinnya akan berubah menjadi
Perseroan Terbatas biasa yang tidak lagi bergerak dalam bidang perbankan. Jadi,
Kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat mengajukan permohonan pailit
terhadap bank dalam likuidasi terkait pencabutan izin oleh Bank Indonesia.
89
BAB IV
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan dalam hal Debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Bank
kepailitan ini sebenarnya perlu diatur dengan tegas dalam kondisi bagaimana Bank
Niaga.192
Oleh karena pengaturan dimaksud tidak ada maka kondisi itu sebaiknya
didasarkan pada ukuran yang terdapat Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu keadaan suatu bank mengalami kesulitan yang
Indonesia keadaan usaha Bank semakin memburuk antara lain ditandai dengan
Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan
yang sehat. Dengan adanya ukuran yang jelas ini maka Bank Indonesia akan aman
192
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”,
Volume 2 Nomor 2, (Jakarta : Bank Indonesia, Agustus 2004), hal. 9.
90
dalam menggunakan kewenangan tunggalnya mengajukan permohonan pernyataan
dihadapi Bank atau menurut Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
izin usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan
membentuk Tim Likuidasi. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS,
penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan Tim Likuidasi,
193
Ibid.
194
Pasal 37 ayat (1), Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Op.cit.
91
yang berlaku. 195 Dalam rangka kepailitan ini, sebaiknya Bank Indonesia mengajukan
penyelamatan bank (bank rescue) sebagaimana pada Pasal 37 ayat (1) huruf a hingga
seketika. Ketepatan waktu ini penting karena upaya kepailitan itu sebenarnya adalah
juga merupakan upaya penyelamatan Bank melalui jalur Pengadilan Niaga. Dalam
kepailitan, penetapan putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga tidak perlu
didahului dengan pencabutan izin usaha bank oleh Bank Indonesia dan pembubaran
badan hukum bank oleh RUPS mengingat dalam kepailitan selalu diupayakan
kesepakatan antara Debitor dan para Kreditur (Kreditur Konkuren). Bila perdamaian
tersebut dapat diwujudkan dan setelah disahkan oleh Pengadilan Niaga maka
kepailitan diangkat (dicabut) dan bank sebagai Debitor dapat kembali berbisnis
seperti biasa. Namun, jika perdamaian tidak terwujud maka harta pailit Bank
195
Pasal 37 ayat (2) dan (3), Ibid.
196
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”,
Op.cit., hal. 10.
92
dinyatakan berada dalam keadaan insolvensi dan Kurator mulai membereskan dengan
ukuran atas ‘jumlah Kreditur’ dan ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
dimiliki debitor minimal dua. Bagi Bank sebagai Debitor terlalu riskan diberlakukan
kriteria kepemilikan minimal dua Kreditur tersebut. Suatu hal yang tidak wajar bagi
Bank sebagai Debitor jika hanya karena dengan memiliki minimal dua Kreditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
berbeda dengan perusahaan pada umumnya, dimana bank memiliki banyak Kreditur.
sekedar kepentingan dua atau tiga Kreditur saja. Selain kepentingan para Kreditur
Bank, maka kepentingan para nasabah Debitor dan nasabah pengguna jasa Bank juga
industri perbankan perlu mendapat perhatian dalam mempailitkan bank. Oleh karena
197
Ibid.
198
Daniel Djoko Tarliman, et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia Dalam
Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary Hasil Penelitian : Kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan Bank Indonesia, 2004), hal. 35.
93
itu, adalah suatu pengaturan yang tepat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa atas Bank
sebagai Debitor permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Debitor maka ukuran nilai atas ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’ juga
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menetapkan besarnya nilai utang
Debitor sebagai dasar untuk melaksanakan kepailitan. Artinya, berapapun nilai utang
Debitor kepailitan tetap dapat dilaksanakan asal utang tersebut tidak dibayar pada saat
jatuh tempo. Bagi Bank sebagai Debitor, ukuran nilai utang menjadi penting karena
utang Bank hanya relatif sedikit maka adalah suatu tindakan yang keliru untuk
kepercayaan masyarakat. Pihak yang menentukan ukuran nilai utang tersebut adalah
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
199
Ibid.
200
Direktorat Hukum Bank Indonesia, Op.cit., hal. 11.
94
B. Jaring Pengaman Sistem Keuangan Sebagai Kebijakan Dalam
Kepailitan Bank
fasilitas pembiayaan darurat oleh Bank Sentral (lender of last resort), serta kebijakan
penyelesaian krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis,
namun demikian kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis
demikian, sasaran JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor
keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap
Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah
kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab
Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada
undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis.
201
Bagian Menimbang huruf a., Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907.
95
pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk
JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK
kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang
ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan.
Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1)
pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim
asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang
efektif. 203
pengawasan dan pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan
guiding principles bahwa pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar
keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan, serta harus berpedoman kepada best practices dan standar yang
berlaku. 204
202
Bank Indonesia, “Jaring Pengaman Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+Krisis/Jaring+Penga
man+Sistem+Keuangan/., diakses pada 15 Mei 2011.
203
Ibid.
204
Ibid.
96
2. Lender of Last Resort
Kebijakan Lender of Last Resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu
alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, Bank
Indonesia telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan The Lender of Last Resort
(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis)
mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal
hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid
dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi
disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender
of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
No. 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)
205
Ibid.
206
Ibid.
97
3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang Memadai
merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan krisis dalam
jangka panjang.207
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam ketentuan tersebut, LPS nantinya
memiliki dua tanggung jawab pokok yakni: (i) untuk menjamin simpanan nasabah
bank; dan (ii) untuk menangani (resolusi) bank bermasalah. Untuk menghindari
dampak negatif terhadap stabilitas keuangan, penerapan skim LPS tersebut akan
dibatasi sampai dengan Rp100 juta per rekening mulai Maret 2007. 208
kebijakan JPSK agar krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban
yang berat bagi perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan
207
Ibid.
208
Ibid.
98
lembaga memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian,
krisis dapat ditangani secara efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan
otoritas terkait. Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri
Penjamin Simpanan (LPS). Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah
Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai
dalam perekonomian suatu negara. Krisis pada 1997-1998 telah memberi pelajaran
yang berharga bahwa kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan itu
sangat mahal harganya. Berawal dari penutupan 16 bank umum, krisis menimbulkan
209
Ibid.
210
Ibid.
211
Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Sejarah Pendirian Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS)”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.
99
(bank run / Bank Rush). Dana yang ditarik nasabah tersebut sebagian dilarikan ke luar
negeri dan menyebabkan capital flight, sebagian dibelikan valuta asing, serta
melonjak drastis. Hal itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok hingga
Untuk mengatasi dampak buruk dari penarikan dana tersebut serta sebagai
pembayaran bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (blanket guarantee) melalui
Keppres No. 26 dan No. 193 Tahun 1998. 213 Di samping kebijakan tersebut, dalam
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Akan tetapi, di sisi lain dapat
membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi
212
Lepi T. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni
1998, hal. 3.
213
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29., dan
Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185.
214
Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Peran LPS Dalam Mendukung Stabilitas
Sistem Perbankan”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=147., diakses pada 15
Mei 2011.
100
bankir atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar dikarenakan adanya
menetapkan untuk secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan hanya akan
guarantee).215
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998, yang mengatur bahwa setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana
LPS dirancang sebagai suatu unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan
(financial safety net) yang merupakan praktik terbaik di banyak negara. 216
Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk Tim Likuidasi untuk
215
Ibid.
216
Ibid.
101
membereskan aset dan kewajiban bank tersebut, sedangkan fungsi turut aktif
menyelamatkan atau penyehatan terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistemik
pada penghitungan biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan
Komite Koordinasi (KK) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia (BI), dan Ketua Dewan Komisioner. Setelah itu, LPS bertindak sebagai
sistemik. 218
kewenangan, antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling
lama 4 tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal
217
Ibid.
218
Ibid.
102
yang berdampak sistemik. Selanjutnya, LPS harus menjual seluruh saham bank yang
diperoleh dari Penyertaan Modal Sementara (PMS) secara terbuka dan transparan.219
dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan
Krisis perbankan nasional telah memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa
kegagalan suatu bank pada akhirnya menjadi beban Negara. Rekapitalisasi melalui
Negara (APBN) secara berkepanjangan. Oleh karena itu, wajar kalau dikatakan
bahwa kegagalan sebuah bank pada akhirnya menjadi beban masyarakat. Kegagalan
sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang terukur dan rasional.
Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya suatu bank harus
pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih terorganisir
219
Ibid.
220
Ibid.
221
Krisna Wijaya, Op.cit.
103
Tentunya sulit diterima oleh semua pihak kalau dalam APBN akan
dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab
itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus
Simpanan (LPS) yang telah beroperasi sejak tanggal 22 September 2005. Keberadaan
masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa
salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank
Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak
sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan
berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran
apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas. Dalam menangani bank gagal yang
sistemik maupun tidak, pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah
akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada
ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan
masyarakat.223
perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik.
222
Ibid.
223
Ibid.
104
Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang
saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi
disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa
melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham
lama (open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam
Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan
kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal
lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk
“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan
waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3
Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan
aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan
224
Ibid.
225
Ibid.
105
pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap
menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama. Dari skim penanganan bank gagal
oleh LPS sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila
terjadi kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih
pasti dan terstruktur. Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang
saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan
suatu perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah.226
Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa
membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari modal,
akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka
kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang handal. Pada
akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling ampuh dan
mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat
gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya. Kesan itu tidak
salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat
perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji
226
Ibid.
227
Ibid.
106
lebih lanjut. Biarkan Bank Indonesia fokus pada pengelolaan moneter dan regulator,
lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada pengawasan dan LPS dalam
penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional
dan pendidikan spesialis hukum bagi penegak hukum. Mengenai mekanisme hukum
yang harus dilalui oleh Kreditor Bank (Nasabah) untuk pengajuan klaim dana
1. Proses kepailitan itu sendiri pada saat Bank tersebut dicabut izin usahanya
Terbatas biasa, jadi dapat dimohonkan pailit agar dana Nasabah Bank dapat
kembali (dalam hal ini, dilakukan jika dana nasabah lebih dari Rp. 100 juta);
yang menjamin dana Rp. 100 juta setiap rekening kepada Nasabah Bank;
klaim pembayaran atas dana simpanannya pada lembaga tersebut jika Bank
Maksud keterprediksian disini adalah bahwa setiap Nasabah Bank tidak perlu
228
Ibid.
107
dilikuidasi. Dalam hal stabilitas peraturan pelaksananya adalah terkait dengan
dengan begitu maka Nasabah akan terbiasa dan mengerti proses birokrasi. Keadilan
menyangkut kepercayaan yang diberikan oleh Nasabah kepada Bank, dalam hal ini
jika Nasabah sudah percaya kepada Bank sebaiknya pihak pengurus Bank
mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan usaha Bank itu, bukan untuk
harus melek terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Bank. Antara Nasabah
dan Bank juga harus mengetahui perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat,
seperti kondisi dari Bank tersebut apakah sehat atau tidak dapat diketahui melalui
Bank Indonesia. Pendidikan bagi penegak hukum adalah pengetahuan terhadap Bank,
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maupun Bank Indonesia itu sendiri. LPS
tersebut tidak lain adalah sebagai skim perlindungan terhadap Nasabah Bank.
108
BAB V
A. Kesimpulan
Pernyataan Pailit Terhadap Bank dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Bank adalah sebagai Bank Sentral yang mengontrol seluruh tindakan dari
peranan yang sangat besar dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
krisis, dimana Bank Sentral dapat memberikan bantuan kepada Bank yang
mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. Hal ini
109
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas
Bank adalah terbukanya peluang bagi Kreditor Bank (Nasabah Bank) selain
Bank Indonesia itu sendiri dalam pengajuan pailit terhadap Bank. Peraturan
dan Likuidasi Bank bahwa pada saat Bank dicabut izinnya oleh Pimpinan
Bank Indonesia maka status Bank berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa
tidak dalam bentuk Bank lagi karena sudah tidak bergerak dalam sektor
pencabutan izin oleh Bank Indonesia. Kasusnya dapat dilihat pada pengajuan
a. Melalui permohonan pailit yang diajukan oleh Nasabah Bank itu sendiri
Utang;
110
c. Melalui mekanisme pengajuan klaim kepada Lembaga Penjamin
demikian setiap Kreditor memiliki kesempatan yang sama dalam hal menuntut
kreditornya.
B. Saran
Bank Sentral dalam hal pengajuan pailit terhadap Bank maka perlu untuk
Bank tidak dapat dipailitkan oleh karena mempunyai dampak yang sangat
besar terhadap perekonomian negara dalam hal Bank itu dipailitkan, maka
111
kepailitan seperti di Amerika Serikat dimana Bankruptcy Code mengecualikan
2. Dalam hal pengajuan pailit Bank, terbukanya peluang bagi Kreditor Lain
badan hukum Bank tetap dijadikan sebagai salah satu subjek hukum dalam
proses kepailitan maka perlu diatur lebih detail lagi mengenai proses
kepailitan terhadap suatu Bank itu sendiri oleh karena apabila tidak diatur
timbul jika dana yang dijaminkan tidak lebih besar dari angka jaminan itu
sendiri. Namun, jika dana Nasabah Bank (Kreditor Bank) lebih besar dari
angka jaminan (Rp. 100 juta) itu maka proses kepailitan yang lebih menjamin
adanya Kepastian Hukum oleh karena telah ditetapkan jangka waktu hingga
Indonesia.
112
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arifin, Sjamsul., et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan
Kritis, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004.
Black, Henry Campbell and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard
Edition), Edisi Kesembilan, Amerika Serikat : West Group, 2009.
Blinder, Alan S., Central Banking in Theory and Practice, Cambridge : The MIT
Press, 1998.
Bragg, Steven M., Business Ratios and Formulas : A Comprehensive Guide, Second
Edition, Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010.
113
Chand, Hari., Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur : International Law Book
Services, 1994.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia,
1979.
Ernawan, Erni R., Business Ethics : Etika Bisnis, Bandung : Alfabeta, 2007.
114
Hanum, Habiba., “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum
Kepailitan”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007.
Hartono, Sri Redjeki., Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum
Ekonomi, Bandung : Mandarmaju, 2000.
Hawtrey, R.G., The Art of Central Banking, 2nd Edition, Amerika Serikat : Frank Cass
Publisher, 1970.
Judisseno, Rimsky K., Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Ceetakan Kedua,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Laporan Lima Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan
AusAID, 2009).
Linnan, David K., Indonesian Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency
and Economic Nationalism, Singapura : Institute of Southeast Asian Studies
Singapore, September 1999.
115
Mcleod, Ross H., Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in
Indonesia’s Development, Singapura & Australia : Heng Mui Keng Terrace
& Australian National University, 1994.
Nasution, Bismar., “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007).
Nurtjahjo, Hendra., et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara
(Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata
Negara), Depok : Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002.
Rahardjo, Satjipto., et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia, 1995.
Saphiro, Ian., Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom
Institute, 2006.
116
Sjahdeini, Sutan Remy., Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, Jakarta :
Pustaka Utama Grafika, 2009.
Smith, Vera Constance., The Rationale of Central Banking and the Free Banking
Alternative, London : PS King and Sons, 1936.
Tampubolon, Pamela Romauli., “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada
Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan
Penyaluran Kredit Bank”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, 2009.
Tarliman, Daniel Djoko., et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia
Dalam Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary
Hasil Penelitian : Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan
Bank Indonesia, 2004.
117
Tarmidi, Lepi T., “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni 1998.
Velasquez, Manuel G., Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), New
Jersey : Pearson Education Inc., 2002.
Wirasasmita, HRA Rivai., et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, Bandung : Pionir Jaya,
2002.
ARTIKEL INTERNET
118
--------------------., “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+B
ank+Indonesia/Peran+ BI/., diakses pada 13 Mei 2011.
-----------------------------------------------., “ M e k a n i s m e ”,
http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011.
-----------------------------------------------., “ I n t e g r a l ”,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 12 Mei 2011.
119
K, Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
120
-----------------------------------------------------------., “Sejarah Pendirian Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS)”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 185.
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3659.
121
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4907.
122