You are on page 1of 122

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT

TERHADAP BANK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004


TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi

baik orang perorangan yang menjalankan perusahaan atau badan usaha yang

mempunyai kedudukan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Kegiatan

ekonomi pada hakekatnya adalah kegiatan menjalankan perusahaan yaitu, suatu

kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan yang dimaksud harus

dilakukan :

a. Secara terus menerus dalam pengertian tidak terputus putus

b. Secara terang terangan dalam pengertian yang sah (bukan ilegal);

c. Dan kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan baik

untuk diri sendiri atau orang lain.1

1
Sri Redjeki Hartono, Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum
Ekonomi, (Bandung : Mandarmaju, 2000), hal. 4.

1
Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya

merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam,

kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar perusahaan, antar

negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi

setiap saat di berbagai tempat. Peranan tersebut baik dalam hal mengumpulkan dana

dari masyarakat maupun menyalurkan dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan

perekonomian yang ada. Mengingat dengan semakin tinggi frekuensi kegiatan

ekonomi yang terjadi pada masyarakat tentunya semakin banyak pula kebutuhan akan

dana sebagai salah satu faktor pendorong dalam menggerakkan roda perekonomian.

Seiring pesatnya perkembangan ekonomi dunia telah berdampak pada meningkatnya

transaksi perdagangan antar pelaku usaha, dimana satu pelaku usaha melakukan

usaha atau investasi di beberapa negara berdasarkan hukum negara setempat.2

Sektor perbankan di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam

perekonomian, mengingat peranannya sebagai lembaga intermediasi dan penunjang

sistem pembayaran. Terlebih lagi perbankan masih mendominasi sektor keuangan

Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap

kebijakan pengaturan dan pengawasan bank, apalagi setelah terjadinya krisis

perbankan. Salah satu pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis perbankan

adalah bahwa kegagalan suatu bank, apalagi yang berdampak sistemik,

mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional

2
Mustafa Siregar, Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga Keuangan
Lainnya dengan Penelitian di Wilayah Kodya, (Medan : USU, 1990), hal. 1.

2
menjadi sangat menurun, selain itu berakibat pula pada terganggunya kegiatan

perekonomian.3

Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia,4 Bank Indonesia adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi:

menetapkan peraturan (power to regulate), memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank (power to license),5 melaksanakan

pengawasan bank (power to supervise) dan mengenakan sanksi terhadap bank (power

to impose sanction). Selaku otoritas perbankan, maka kebijakan pengaturan dan

pengawasan bank yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Bank Indonesia

bertujuan untuk mengupayakan terciptanya individual bank yang sehat yang pada

gilirannya mendukung sistem perbankan yang sehat.6 Dengan demikian, ada dua

dimensi yang harus tercakup dalam penyelenggaraan kebijakan perbankan, yaitu

fokus terhadap individu bank dan fokus terhadap sistem perbankan nasional. 7

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang memberi kewenangan tunggal kepada Bank Indonesia

3
Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan, ”Cetak Biru Edukasi
Masyarakat di Bidang Perbankan”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0906143C-163D-4A02-BC59-
C2D6C0E31AE9/903/CetakBiruEdukasiMasyarakatdiBidangKeuangan.pdf., diakses pada 12 Mei
2011.
4
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
5
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, op.cit.,
otoritas yang mempunyai power to license adalah Menteri Keuangan.
6
Bagian yang juga sangat penting dalam rangka mengupayakan terciptanya bank dan system
perbankan yang sehat adalah kualitas dan integritas pemegang saham pengendali, pengurus, dan
pegawai bank, serta iklim usaha yang kondusif. Dalam : Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan
Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005).
7
Sistem perbankan dapat diartikan sebagai kumpulan dari lembaga, kegiatan usaha, serta cara
dan proses pelaksanaan kegiatan usaha yang memungkinkan bank melaksanakan fungsinya dengan
baik. Dalam : Ibid.

3
8
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas bank sebagai debitor.

Pengaturan yang demikian ini menunjukkan bahwa pembuat peraturan kepailitan

memberikan perhatian tersendiri bagi bank sebagai debitor dalam pelaksanaan

kepailitan. 9

Di dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan, di

Penjelasannya, yaitu10 :

“Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia sedangkan bank yang dimaksud adalah bank
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan
permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan
dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu
dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan
permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia
terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran
badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan”.

Ketentuan bahwa terhadap permohonan Kepailitan bank ternyata tidak secara

serta merta dapat dilakukan oleh kreditor. Sebagai badan usaha yang mempunyai

karakteristik khusus, yaitu selaku intermediary institution yang bekerja dengan dana

8
Pasal 2 ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
9
W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa pailit artinya bangkrut; misal perusahaan itu
sudah bangkrut dan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan
sebagainya). Dalam : W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1999). Kemudian, John M. Echols dan Hassan Shadily mengatakan bahwa bankrupt artinya
bangkrut, pailit dan, bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Lihat juga : John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1979). Selanjutnya, David K. Linnan
menamakan kepailitan sebagai liquidation in bankcruptcy. Bandingkan : David K. Linnan, Indonesian
Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency and Economic Nationalism, (Singapura :
Institute of Southeast Asian Studies Singapore, September 1999), hal. 6., Sementara, J. Armour
menyebut kepailitan sebagai insolvency. Ia mengatakan: “insolvency means inability to pay creditors”.
J. Armour, “The Law and Economics of Corporate Insolvency : A Review”, (Cambridge : ESRC
Centre for Business Research University of Cambridge, Maret 2001), hal. 3.
10
Pasal 2 ayat (3) dan Penjelasannya, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Loc.cit.

4
masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan,11 maka prosedur

kepailitan terhadap bank oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dibedakan dari prosedur kepailitan

bagi badan usaha pada umumnya. Kreditor tidak dapat mengajukan permohonan

pailit secara langsung kepada Pengadilan Niaga terhadap debitor yang merupakan

bank. Kreditor tersebut harus mengajukan keinginannya kepada Bank Indonesia dan

hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap bank dimaksud ke pengadilan niaga.

Dalam Penelitian ini akan di analisis mengenai alasan dibuatnya prosedur

khusus kepailitan bank. Analisis akan difokuskan pada usaha bank karena

mempunyai karakteristik khusus, yaitu selaku intermediary institution,12 sehingga

terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang merupakan hal yang

sangat esensial bagi kelangsungan usaha bank harus benar-benar dijaga. Apabila bank

dengan mudah dapat dimohonkan pailit oleh setiap kreditur, maka risikonya sangat

tinggi, karena pengaturan kepailitan yang sederhana terhadap bank akan

mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank bisa menjadi hilang. Dapat

dibayangkan bahwa ketika terdengar kabar suatu bank diajukan untuk dimohonkan

pailit ke Pengadilan Niaga, maka nasabah penyimpan di bank tersebut akan segera

berbondong-bondong antri untuk mengambil simpanannya (rush). Bahkan dampak

lanjutan dari kondisi psikologis masyarakat ini dapat menimbulkan dampak berantai
11
Pasal 29 ayat (3), Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357. Lihat juga : Ross H. Mcleod,
Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in Indonesia’s Development, (Singapura &
Australia : Heng Mui Keng Terrace & Australian National University, 1994), hal. 132.
12
Ross H. Mcleod, Ibid.

5
kepada nasabah-nasabah bank lainnya, sehingga pada bank-bank lainnya juga dapat

terjadi rush (contagion effect).

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, penelitian ini menjadi penting

sebagai ide perspektif hukum dalam upaya pemikiran yakni menguraikan kekhususan

kepailitan terhadap Bank yang diatur dalam ketentuan kepailitan dikaitkan dengan

fungsi bank dan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan Bank

dalam rangka memajukan perekonomian nasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan

dari penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan permohonan

pailit terhadap bank?

2. Bagaimana permasalahan hukum yang dihadapi Bank Indonesia sebagai bank

sentral apabila menerapkan kepailitan pada Bank?

3. Bagaimana mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh Kreditor dalam

menyelesaikan piutangnya terhadap Bank?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

6
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar yuridis kedudukan bank berupa

prinsip-prinsip yang menyebabkan hanya Bank Indonesia yang dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis permasalahan hukum yang dihadapi

Bank Indonesia apabila menerapkan kepailitan pada Bank

3. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme hukum yang dapat digunakan

oleh kreditor dalam menyelesaikan piutangnya terhadap Bank.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu :

1. Kegunaan Teoritis :

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya hukum kepailitan

dan hukum perbankan.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai

kepailitan tentang permohonan pailit terhadap Bank yang hanya

dilakukan oleh Bank Indonesia yang masih sedikit.

2. Kegunaan Praktis :

a. Sebagai bahan masukan bagi kalangan terkait yaitu Akademisi, Praktisi

Hukum Bisnis, Lembaga Pemerintah, Institusi Peradilan, dan Bank

Indonesia dalam hal bersinergi dan berkolaborasi untuk menerapkan

dan menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum

7
kepailitan maupun peraturan lainnya yang memiliki relevansi dengan

hukum bisnis di Indonesia.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (sebagai nasabah) agar

memiliki pemahaman terhadap permohonan kepailitan oleh Bank

Indonesia terhadap Bank agar tidak merasa khawatir apabila terjadi

permohonan pailit kepada bank tempat masyarakat menyimpan

uangnya.

E. Keaslian Penelitian

Hasil dari pemeriksaan penulisan tesis dan disertasi di Universitas Sumatera

Utara terdapat 32 (tiga puluh dua) judul yang membahas Kepailitan, namun tidak

terdapat judul penelitian yang membahas Kepailitan terhadap Bank. Berdasarkan

pemeriksaan tersebut maka tesis dengan judul “Analisis Yuridis Permohonan

Pernyataan Pailit Terhadap Bank Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” belum pernah dilakukan

dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut asli sesuai

dengan asas-asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.

Adapun beberapa penelitian yang memiliki karakteristik serupa tapi tidak

sama, antara lain :

1. Berlian Napitupulu, “Analisis Juridis Likuidasi Bank di Indonesia (Studi

Kasus di Kota Medan)”, Tesis yang dibuat di Medan pada Program Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2004. Pada

8
tesis ini membahas mengenai akibat hukum yang timbul jika Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang jika diterapkan terhadap bank dan terhadap likuidasi bank;

2. Saraswati Jaya, “Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditor

Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan

Dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Tesis yang dibuat di Medan pada

Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun

2010. Pada tesis ini membahas mengenai eksekusi hak tanggungan,

kedudukan kreditur, dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan.

Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang

berbeda. Begitu juga dengan kajiannya berupa pengajuan permohonan pailit oleh

Bank Indonesia terhadap Bank, permasalahan hukum terhadap Bank Indonesia yang

menerapkan ketentuan kepailitan pada Bank, dan mekanisme hukum yang digunakan

oleh kreditor dalam menyelesaikan piutangnya terhadap bank. Pertanggung jawaban

tersebut dapat berupa isi dan kajian yang dipaparkan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kewangan Bank Indonesia sebagai institusi yang mempunyai kewenangan

dalam mengajukan kepailitan bank merupakan cerminan dari teori utilitarisme. Teori

9
tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham13 (1748-1832)

yang dalam karya tulisannya yang berjudul “An Introduction to the Principles of

Morals and Legislation” menjelaskan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan

dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat bagi orang sebanyak

mungkin. 14 Dalam hal ini, utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi

perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik

buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika

suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan

kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah

baik (the greatest good for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar di

definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa

yang berbahaya bagi kebanyakan orang.15 Jika perbuatan membawa lebih banyak

kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan

tersebut memang menentukan seluruh kualitas moralnya. Perbuatan yang memang

bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas

disebut baik. 16

13
Jeremy Bentham (1748-1832), karyanya Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus
classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum
Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam : Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom
Institute, 2006), hal. 13.
14
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998),
hal. 93-94.
15
Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, (Bandung : Alfabeta, 2007), hal. 93.
16
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hal. 67.

10
Moral biasanya mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Di

samping itu, moralisme hukum paling baik dipahami sebagai pola alami institusional,

yakni pola dari upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan

arahan bagi tingkah laku manusia. Moral dilegalisasi ketika ideal-ideal kebudayaan

diidentikkan dengan suatu gambaran pasti mengenai tatanan sosial. Sehingga

moralisme hukum bergerak ke arah hukum positif, yakni dengan memasukkan suatu

kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum.

Prinsip Utilitarian menyatakan bahwa : ”An action is right from an ethical

point of view if and only if the sum total of utilities produceed by that act is greater

than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have

performed in its place”. (Terjemahan bebas : Suatu tindakan dianggap benar dari

sudut pandang etis hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan

tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang

dilakukan). 17 Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi

manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat

sebagai keseluruhan. Jadi utilitarianisme tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis.

Dalam rangka pemikiran utilitarisme kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu

perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang

mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang

terbaik. 18 Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya kewengan kepada Bank

Indonesia untuk mengajukan kepailitan pada bank untuk melindungi kepentingan

17
Manuel G. Velasquez, Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), (New Jersey :
Pearson Education Inc., 2002), hal. 76
18
K. Bertens, Loc.cit, hal. 66.

11
ekonomi secara makro karena bank merupakan lembaga kepercayaan yang harus

dijaga stabilitasnya oleh Bank Indonesia .

Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank

sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem

keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas

moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang

tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank

Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu

diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan

akan bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga. 19 Dengan demikian, Bank

Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas moneter yang diatur secara

eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara simultan juga turut

menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula dikatakan bahwa tugas menjaga

stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas menjaga stabilitas sistem

moneter.20

Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank

Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan dalam misinya,

yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas moneter dan

19
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang
Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 349.
20
Ibid.

12
mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia yang

berkelanjutan.21 Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan

bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi.

Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas

keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter, menciptakan kinerja lembaga

keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

melakukan macroprudential surveillance dan mengembangkan riset untuk

pengembangan instrumen dan indicator macroprudential serta mendeteksi kerentanan

sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan fungsi lender

of the last resort. 22

Sebagai lender of the last resort, bank sentral memilik peranan yang sangat

besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Lender of the last of resort

merupakan instrumen pengawasan pada saat krisis, dimana bank sentral dapat

memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada

potensi terjadi resiko sistemik. 23 Hal ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan

sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut

terjaga.

21
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan Tugas
Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman
Sektor Keuangan”, (Jakarta : Bank Indonesia, Maret 2009).
22
Ibid.
23
Zulkarrnaen Sitompul, Op.cit., hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Legal Aspects of
Regulatory Treatment of Banks in Distress, (Washington DC : International Monetary Fund, 2001),
hal. 20.

13
Kita dapat juga mengelaborasi pendapat dari H.L.A. Hart yang membagi

hukum kedalam 2 bentuk. 24 Pertama, primary rule, yaitu aturan yang membebankan

kewajiban dan penegakannya tergantung pada penerimaan mayoritas masyarakat.

Kedua, secondary rule, yaitu aturan-aturan yang memberikan kekuasaan. Namun

primary rule memiliki kelemahan-kelemahan berupa ketidakpastian, statis dan tidak

efisien, dan untuk itu adalah menjadi fungsi dari secondary rule untuk menutupi

kekurangan dari primary rule. Secondary rule terdiri atas rules of recognition, rules

of change dan rules of adjudication. Rules of Recognition bertujuan untuk menilai

apakah suatu norma dapat diterima sebagai peraturan atau tidak dalam masyarakat.

Apabila tidak memenuhi rules of recognition ini, maka tidak dapat diterima sebagai

peraturan. Oleh Hart, salah satu kriteria bagi rules of recognition adalah kembali

menguji keabsahannya berdasarkan norma dasar yang berlaku. Apabila suatu norma

yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan norma dasar, maka melalui rules of

change, norma itu dapat dicabut dan dapat diganti dengan yang baru.25 Di Indonesia,

hal ini dapat diajukan dengan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.

Dapat disimpulkan bahwa apabila berbagai undang-undang yang mengatur

kewenangan yang sama dari berbagai badan, maka semua undang-undang tersebut

akan dapat diuji keabsahan dan validitasnya sesuai dengan norma dasar yang berlaku.

Dalam hal ini, pengaturan sektor keuangan misalnya, dilihat dari norma dasar, Bank

Indonesia memiliki kekuatan yang sangat kuat dibandingkan dengan badan-badan

24
M.R. Zafer, Jurisprudence: An Outline, (Kuala Lumpur : International Law Book Services,
1994), hal. 17-18. Lihat juga : Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur : International
Law Book Services, 1994), hal. 54.
25
Ibid.

14
pengawas sektor keuangan lain seperti Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-

LK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).26

Bank sentral yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian

dari cabang kekuasaan eksekutif, namun terpisah untuk menjalankan kebijakannya

yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur tangannya. Konsep ini dikenal

dengan teori the principal-agent.27 Independensi bank sentral terbatas pada kekuasaan

yang ditentukan oleh undang-undang atau disepakati oleh pemerintah dan parlemen

untuk didelegasikan kepada bank sentral. Dengan demikian, pemisahan adalah

pemisahan fungsi, bukan pemisahan dalam arti politis. 28 Namun dari konsep

independensi ini, terutama dengan pendekatan “principal-agent”, masih tersirat kesan

bahwa bank sentral dalam menjalankan tugasnya, dapat sangat dipengaruhi oleh

cabang eksekutif atau pemerintah sebagai principal.

Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank sentral dapat berarti 2

(dua) hal. Pertama, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana

untuk mencapai tujuannya. Kedua, keputusan-keputusan yang diambil olehnya sulit

untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau lembaga pemerintahan lainnya.29

Kebebasan dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan berarti

bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral

secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui

26
Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007).
27
Maqdir Ismail, Bank Indonesia : Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 1997), hal.142.
28
Ibid.
29
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge : The MIT Press,
1998), hal. 54.

15
suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah bahwa bank sentral memiliki

diskresi yang luas mengenai bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-undang. 30

Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi bank sentral

menjadi begitu penting. Kebijakan moneter menurut Blinder memerlukan yang ia

sebut sebagai long time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan.31 Hal ini karena,

pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu kebijakan moneter, seperti yang terkait

dengan inflasi baru dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para

decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja mereka. Kedua, kebijakan-

kebijakan moneter memiliki karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas

investasi, yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan mendapatkan hasil

secara berkala setelah sekian waktu. 32

Teori lain yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini

adalah teori yang dikemukakan oleh Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and

Economic Development” berpendapat ada 5 (lima) fungsi atau kualitas hukum dalam
33
pembangunan ekonomi yaitu :

1. “Predictability; kualitas hukum dapat menciptakan prediktabilitas terhadap


perubahan dengan adanya globalisasi dibidang ekonomi, sehingga menjamin
adanya kepastian hukum dalam dunia usaha khususnya pengembalian utang
atas pemberian pinjaman (investasi).
2. Stability; kualitas hukum untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan para kreditor dan debitor dalam rangka persaingan dalam
pengembangan dunia usaha.

30
Ibid.
31
Ibid., hal. 55.
32
Ibid.
33
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, dalam “Peranan Hukum dalam
Pembangunan Ekonomi 2”, dikumpulkan oleh : Erman Rajagukguk, (Jakarta : UI,1995), hal. 352

16
3. Fairness; kualitas hukum dalam mengatur prosedur yang menciptakan
perlakuan yangsama antara kepentingan pemerintah disatu pihak dan
kepentingan masyarakat dunia usaha di pihak lain, sehingga tercapai keadilan
atau perlakuan yang seimbang dibidang hukum publik dan bidang hukum
perdata.
4. Education; fungsi edukasi melalui program sosialisasi menjelaskan
perubahan/perkembangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.
5. Special development abilities of the lawyer; hukum dapat berperan bilamana
tersedia sarjana hukum yang memiliki kemampuan mlihat hubungan hukum
dan pembangunan dunia usaha untuk kesejahteraan masyarakat”.

Prediktabilitas (predictability) jika dikaitkan dengan penelitian ini adalah

bahwa Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam mengatur bank-bank yang

ada Indonesia harus mengeluarkan peraturan-peraturan yang dapat ditebak.

Maksudnya adalah pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia dilakukan karena

Bank Indonesia adalah bank sentral untuk Indonesia. Jadi, dengan begitu yang

mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan perbankan antar bank adalah bank

Indonesia. Dengan kata lain, yang dapat memailitkan sebuah bank adalah Bank

Indonesia saja.

Jadi, dari otoritas regulator lembaga perbankan yang mempunyai peraturan

yang bisa ditebak maka selanjutnya peraturan tersebut tidak boleh berubah-ubah.

Dengan demikian, bank-bank yang ada di Indonesia akan dengan mudah

memprediksikan bagaimana pengaturan perbankan ke depannya. Khususnya

mengenai pengaturan pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada Bank.

Tujuannya adalah agar nasabah tidak panik dalam hal ini jika bukan Bank Indonesia

yang mengajukan pailit terhadap bank yang ada, maka sudah dipastikan kondisi

keuangan bank tersebut akan collapse. Inilah yang dihindari oleh Bank Indonesia

sebagai penanggung jawab kelangsungan dunia perbankan.

17
Diharapkan kepada Bank Indonesia agar berlaku adil dalam mengawasi

contohnya dalam pencabutan izin-izin usaha pada Bank. Jika, keadilan hukum

terpenuhi maka dipastikan kepastian hukum akan tercapai. Karena tujuan kepastian

hukum adalah keadilan yang bermanfaat bagi Bank. Dengan perlakuan Bank

Indonesia yang adil maka akan dapat mengembangkan Bank yang ada. Seperti

perlakuan pemberian kredit pada setiap bank yang memohon kepada Bank Indonesia.

Bank Indonesia tidak boleh bersikap subjektif melainkan harus objektif dalam

pengambilan keputusan untuk pemberian kredit pada Bank.

Setelah perlakuan yang adil kepada Bank maka selanjutnya adalah pendidikan

hukum bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Bank Indonesia itu sendiri. Pada Bank

Indonesia pastilah memiliki staff karyawan yang bekerja pada institusi tersebut.

Dengan begitu pendidikan hukum kepada setiap staff karyawan dinilai sangat penting

untuk menunjang penerapan stability, predictability, dan fairness. Begitu juga dengan

pendidikan spesialis hukum, dalam hal ini untuk mendukung pendidikan hukum. Jika

pendidikan hukum sudah tercapai maka spesialisasi pendidikan hukum diharapkan

akan ikut tercapai juga. Setelah Sumber Daya Manusia (SDM) diberikan pendidikan

hukum maka pastilah akan menuntut pendalaman kajian hukum, yaitu spesialisasi

terhadap huum. Seperti mengenai spesialisasi hukum asuransi, hukum perbankan, dan

lain sebagainya.

Beralih ke pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia maka tujuan dari

kepailitan adalah untuk melakukan pembagian kekayaan milik debitor kepada para

kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan debitor dapat dibagikan

kepada kreditor sesuai dengan haknya. Berkaitan dengan ini berlaku ketentuan Pasal

18
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur dan

memberikan kedudukan para kreditor sebagai kreditor konkuren sehingga boedel

pailit akan dibagikan kepada para kreditor secara seimbang. Selain itu fungsi dari

hukum kepailitan adalah untuk mencegah kreditor melakukan kesewenang-wenangan

untuk memaksa debitor agar membayar utangnya.

Menurut Rudhi Prasetya, adanya lembaga kepailitan berfungsi untuk

mencegah kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan berbagai cara

agar debitor membayar utangnya.34 Menurut Radin, dalam bukunya The Nature of

Bankruptcy sebagaimana dikutip oleh Jordan, et.al., tujuan semua peraturan

perundangan tentang kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk

memilah-milah hak-hak dari beberapa penagih terhadap aset seorang debitor yang

tidak cukup nilainya.35

Kepailitan diatur melalui Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Azas yang terkandung

dalamnya, antara lain 36 :

1. Azas Keseimbangan adalah azas yang menentukan bahwa ketentuan tersebut

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik

oleh debitor yang tidak jujur maupun oleh oleh kreditor yang tidak beritikad

baik.

34
Rudhi Prasetya, Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar Hukum
Kebangkrutan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hal.
1-2.
35
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung :
Alumni, 2007), hal. 29.
36
Penjelasan Atas Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.

19
2. Azas Kelangsungan mengandung arti bahwa ketentuan tersebut mengatur

kemungkinan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Azas Keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan

dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Azas

keadilan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan

pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing

terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.

4. Azas Integritas mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan

hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata dan hukum acara perdata nasional.

2. Kerangka Konsep

Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di

bawah ini sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan. Hal ini

digunakan untuk menghindari kesalahan pemahaman terhadap konsep-konsep yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dipaparkan definisi operasional dari

konsepsi yang digunakan, yaitu :

1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Hakim Pengawas, sebagaimana diatur dalam undang-undang;37

2. Pailit adalah suatu keadaan yang tidak mampu untuk membayar atau dengan

kata lain “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas

37
Pasal 1 angka 1, Ibid.

20
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus

disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan ke pengadilan, baik

yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun atas permintaan

pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke

pengadilan; 38

3. Bank adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan

atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa

dalam lalu lintas pembayaran;39

4. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang

diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana masa

tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk

memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan

rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu

untuk merestrukturisasi hukum tersebut;40

5. Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu;41

6. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan;42

38
Henry Campbell Black and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard Edition),
Edisi Kesembilan, (Amerika Serikat : West Group, 2009).
39
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790.
40
Pasal 222-264, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
41
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Wewenang”,
http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang., diakses pada 12 Mei 2011.

21
7. Mekanisme Hukum adalah cara kerja peraturan perundang-undangan. Jika

yang satu bergerak maka yang lain ikut bergerak. Atau dengan kata lain

adalah tata cara dari ketentuan yang dibuat oleh penguasa atau otoritas

tertentu;43

8. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia atau badan hukum

sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan

Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara

tegas diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;44

9. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah sistem keuangan yang kuat dan

tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan

fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran, dan menyebar risiko secara

baik. Atau stabilitas keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber

dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah

gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Dengan kata lain,

dapat dikatakan suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan

harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan

mendukung pertumbuhan ekonomi;45

42
Pasal 1 ayat (2), Loc.cit.
43
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Mekanisme”,
http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011.
44
Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Op.cit.
45
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/., diakses
pada 12 Mei 2011.

22
10. Bank Bermasalah (problem bank troubled bank) adalah bank yang

mempunyai rasio atau nisbah kredit tidak lancar yang tinggi apabila

dibandingkan dengan modalnya. Arti lain dari bank bermasalah adalah bank

yang dari hasil pemeriksaan nilai CAMEL berada pada posisi empat (kurang

sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi bank; penilaian

tersebut tidak disebarluaskan ke masyarakat; bank bermasalah akan lebih

sering diperiksa daripada bank yang berkondisi sehat; 46

11. Bank Dalam Likuidasi adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena

tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud

dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank karena

dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai

upaya penyehatan (liquidated bank);47

12. Insolvensi adalah suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak

mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya

dengan hutangnya.48

46
Ralona M., Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta : Gorga Media, 2006), hal. 30.
47
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3659.
48
Penjelasan Pasal 57 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.

23
G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah,

selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh

pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang

dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan

suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat

melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang

menjadi induknya.49 Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu

hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka

penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.

Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah

kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan

menganalisanya.50 Maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan juridis normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah

norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh

pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang

terkait secara langsung dengan Bank Indonesia. Dalam penelitian hukum juga

dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk

49
Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1998), hal. 9.
50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986),
hal. 43.

24
selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan. Agar mendapat

hasil yang lebih maksimal maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan

mengunakan metode-metode sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian mengenai ”Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit

Terhadap Bank Dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang” merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif, yang ditujukan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang

Hukum Kepailitan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dapat memberikan

kejelasan mengenai permohonan pailit terhadap Bank. Selanjutnya karena

kekhususan kepailitan terhadap Bank maka akan dianalisis Undang-Undang No. 3

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis karena penelitian untuk

mengagambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis

penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif.

Deskriptif disini ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis

gejala-gejala hukum terkait dengan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada bank-

bank umum, konvensional maupun syariah.

25
2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menititikberatkan pada studi kepustakaan dan

berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat

dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

b. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

f. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

g. Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan;51

h. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;52

51
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4420.
52
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756.

26
i. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank;

j. Putusan Pengadilan Niaga mengenai perkara permohonan pailit

terhadap Bank.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena

dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya

dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library

research).53 Studi kepustakaan dipergunakan terutama untuk mengumpulkan data-

data berupa peraturan perundang undang dan kebijakan kebijakan yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia berupa Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan masalah

pengawasan bank.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat

53
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti
lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.

27
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data. 54 Analisa data yang akan

dilakukan secara kualitatif. 55 Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan

penulis dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian

menarik kesimpulan. Analisa kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan

dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau

modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang

dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam,

memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Analisis dilakukan secara holistik56 dan integral untuk menemukan hubungan

logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan

kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya

antara lain meliputi hubungan antara Bank Indonesia, Kepailitan, Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pengajuan Pernyataan Pailit, dan lain-lain yang

ditemukan dalam penelitian.

Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat

menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan

tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi

54
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisaikan ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang
memberikan arti yangsignifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari
hubungan diantara dimensi dimensi uraian. Dalam : Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian
Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 280
55
Ibid., hal. 281.
56
Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian
yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas
atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada
12 Mei 2011.

28
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya

akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita

dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.57

Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh

bagian dari Bank Indonesia dan permohonan pernyataan pailit agar menjadikan

sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.58

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak

langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah

dalam kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia. Teorisasi induktif adalah

menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format

induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal

yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan

didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang

didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian

ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori

yang ada; 2) apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami

perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang


57
Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No.
2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses
pada 12 Mei 2011.
58
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, “Integral”,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 12 Mei 2011.

29
berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori

yang digunakan tadi; 3) apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian

berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan

karena waktu, lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak

dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak

kebenarannya dengan menggunakan teori baru.59

59
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Edisi I, Cetakan 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 26-29.

30
BAB II

KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM HAL PENGAJUAN


PERMOHONAN PAILIT TERHADAP BANK

A. Ketentuan Kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank

sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem

keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas

moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang

tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank

Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu

diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan

bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga. 60

Dengan demikian, Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga

stabilitas moneter yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia, secara simultan juga turut menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula

dikatakan bahwa tugas menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas

menjaga stabilitas sistem moneter.61 Sejalan dengan berlakunya peraturan Bank

Indonesia, Bank Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan

dalam misinya, yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas

60
Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hal. 349.
61
Ibid.

31
moneter dan mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia

yang berkelanjutan.62

Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan

bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi. Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank

Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter,

menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran, melakukan macroprudential surveillance dan

mengembangkan riset untuk pengembangan instrumen dan indicator macroprudential

serta mendeteksi kerentanan sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya

adalah melakukan fungsi lender of the last resort.63 Sebagai lender of the last resort,

bank sentral memilik peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan. Lender of the last of resort merupakan instrumen pengawasan pada saat

krisis, dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami

krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. 64 Hal ini bertujuan untuk

memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas

keuangan juga turut terjaga.

Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama

Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem

keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam

menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan

62
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Op.cit.
63
Ibid.
64
Zulkarrnaen Sitompul, Op.Cit, hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Op.cit., hal. 20.

32
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas

keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang

mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur

transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan

maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,

ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem

keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar

belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan

tanggung jawab Bank Indonesia.

Secara konsep istilah ”sentral” dalam ”bank sentral” mengandung pengertian

bahwa bank tersebut mengemban tugas sebagai pelayan publik yang bersifat

memenuhi kepentingan umum (Public Purpose).65 Hal ini memberikan indikasi

bahwa bank sentral tersebut tidak mencari keuntungan, tetapi mempengaruhi pasar

uang dan memberi efek terhadap struktur perbankan pada umumnya.66 Sebagai suatu

lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam

merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana

ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri

pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk

65
Satjipto Rahardjo, et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, (Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 1995), hal. 21.
66
Hendra Nurtjahjo, et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara
(Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), (Depok : Pusat
Studi Hukum Tata Negara, 2002), hal. 27.

33
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.

Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat

melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan

efisien.

Sebagai lembaga yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi

penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Secara struktural Bank Indonesia berada diluar

pemerintah sehingga dapat mengeliminir adanya intervensi terhadap pelaksanaan

tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.67

Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu

kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata

uang negara lain.68 Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi,

sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap

mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk

memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung

jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak

akan dapat diukur dengan mudah.

67
Barno Sudarwanto, “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15 Desember
2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender”,
http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-indonesia-sebagai-last.html., diakses
pada 13 Mei 2011.
68
Bank Indonesia, ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”,
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/., diakses pada
13 Mei 2011.

34
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang

merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini, antara lain 69 :

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan

3. Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia”.

Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang untuk70 :

1. ”Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk


menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian
izin oleh Bank Indonesia meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha
bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank,
pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian
izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu;

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk


menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan
dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa
perbankan yang diinginkan masyarakat;

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan


melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langasung (on-site
supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision).
Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan
khusus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan
keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap
peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-
praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank.
Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti
laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan
informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi

69
Pasal 8, Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Op.cit.
70
Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujua
n+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011.

35
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
bank. Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan tugas pemeriksaan;

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu


kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi
ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi
sesuai dengan azas perbankan yang sehat”.

Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan

ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.

Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan

secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk

pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak

langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan

evaluasi laporan bank. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain

memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan

izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan

atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk

menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Selanjutnya adalah peranan Bank Indonesia dalam memelihara Stabilitas

Sistem Keuangan (SSK). Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki 5 (lima)

peran utama dalam menjaga Stabitas Sistem Keuangan (SSK). Kelima peran utama

36
tersebut mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan itu, antara lain 71 :

1. ”Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain
melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak
langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui
penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan
kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu
kebijakan yang disebut inflation targeting framework;

2. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga


keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga
perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi.
Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang
dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat
menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian.
Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan
kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin
pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta
penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki
stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan
hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan
stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem
keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara
berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan
Indonesia dan rencana implementasi Basel II;

3. Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga


kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada
salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko
potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran.
Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular
(contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik.
Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk
mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin
meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat

71
Bank Indonesia, “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+
BI/., diakses pada 13 Mei 2011.

37
real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem
pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia
memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial
dalam sistem pembayaran;

4. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat


mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat
memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan
(potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui
riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator
macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset
dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas
terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam
gangguan dalam sektor keuangan;

5. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan


melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi
LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem
keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi
normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang
menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang
bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada
bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki
kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh
karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus
diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut”.

B. Kewenangan Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku

yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi

mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan

memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan

38
menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang

diambil dari berbagai sumber.72

Menurut Sutton dan Tosovsky, mengatakan bahwa Stabilitas Keuangan

yaitu73 :

”Situasi dimana sistem keuangan dapat : (i) mengalokasikan sumber daya


secara efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang berbeda-beda; (ii)
memprediksi dan mengukur risiko finansial; dan (iii) menyerap shock.
Maksud dari ketiga poin tersebut adalah Stabilitas Sistem Keuangan meliputi
efisiensi dan ketahanan sistem keuangan yang notabene merupakan suatu
konsep yang kompleks. Stabil tidaknya sistem keuangan tidak hanya
bergantung pada interaksi yang kompleks antara lembaga keuangan, sektor riil
dan pasar keuangan”.

Menurut Crocket, dalam membahas stabilitas keuangan dibedakan menjadi

financial stability dari monetary stability yang mengacu pada stabilitas harga-harga

secara umum (no excessive inflation), yaitu74 :

”Ketidakstabilan keuangan (financial instability) akan memberi dampak


negatif pada efektivitas kebijakan moneter (monetary stability) apabila
perbankan tidak dapat mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik.
Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter memiliki kaitan erat
dengan stabilitas keuangan, terutama karena kebijakan moneter yang baik
dapat meredam gangguan terhadap ekonomi dan sistem keuangan. Namun
dalam perekonomian terbuka, keterkaitan antara stabilitas keuangan dan
kebijakan moneter menjadi semakin longgar, terutama karena perekonomian
yang terbuka cenderung lebih rentan terhadap berbagai gangguan eksternal.

Gangguan tersebut dapat berupa perubahan terms of trade yang menghantam


aggregat supply jangka panjang ataupun berupa pembalikan arah arus modal
(capital flow reversal) secara besar-besaran yang menghantam sektor
finansial. Walaupun demikian, kebijkan moneter yang mampu menunjang
stabilitas ekonomi makro dalam suatu perekonomian terbuka kerap kali juga
mampu menunjang stabilitas keuangan secara terbatas. Oleh karenanya, upaya
yang dilakukan oleh setiap negara untuk mencapai kestabilan makro pada

72
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit.
73
Sjamsul Arifin, et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan Kritis,
(Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 13.
74
Ibid.

39
hakikatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara kestabilan
moneter dan kestabilan finansial”.

Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian

terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan.

Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan

gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena

faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari

eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai

kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar

dan risiko operasional. 75

Kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh

perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi

tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin

dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai

perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu

ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat

mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut.76

Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih

bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui

potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan

mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis

75
Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit.
76
Ibid.

40
sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan

bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.77

Gambar 1
Hubungan Stabilitas Sistem Kuangan dan Stabilitas Moneter

Sumber : Website Resmi Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,


http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SS
K/., diakses pada 13 Mei 2011.

Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit

usaha bisnis yang tidak terlepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena

persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber

bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati khususnya

dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik

dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang bermuara

bank mengalami kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan

77
Ibid.

41
lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang mendera tahun

2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja usaha debitor bank

yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok kredit mereka. Gagal

bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank dari bunga kredit (fee based

income) dan memaksa bank untuk menyisihkan pencadangan yang menguras

likuiditas hingga struktur permodalan pun terancam melorot.78

Masih banyak faktor eksternal lainnya sangat berpotensi mempengaruhi

kinerja bank. Sebut misalnya, perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan

yang tak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit debitur bank

sehingga mempengaruhi likuiditas bank. Ambil contoh kebijakan Pemerintah

mengurangi pagu ekspor minyak kelapa sawit untuk setiap industri pengolahan

minyak sawit di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kenyataan

ini sudah barang tentu berpotensi memukul industri sawit dan mengancam kelancaran

pembayaran angsuran kredit ke perbankan. Sebab lain bisa juga karena faktor

perubahan situasi politik dan tingkat persaingan antar bank itu sendiri. 79

Masih panjang daftar risiko-risiko yang mesti dipikul perbankan. Sebuah bank

dikatakan bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi

memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada

persoalan likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana

78
Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3.,
diakses pada 13 Mei 2011.
79
Ibid.

42
masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka

waktu pendek (kurang dari setahun).80

Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk membiayai kredit

korporasi atau penempatan pada instrumen-instrumen investasi lain yang umumnya

berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara alamiah menghadapi apa

yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya. Maksudnya, antara kewajiban

membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh temponya tidaklah sama. Sekali

bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan, reputasi bank itu sedang

dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin akan mengalami rush oleh nasabah.81

Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan collapse. Dalam

menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika itu. Bila ada

bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah dikaji tidak

berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan terang benderang

seperti likuidasi. Selanjutnya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk

membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja ketika

Bank Indonesia menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada

krisis, penutupan bank-bank tersebut berjalan secara alamiah tanpa menimbulkan

goncangan psikologi massa nasabah bank.82

Namun sebaliknya, ketika ada bank bermasalah dalam situasi krisis (moneter

atau ekonomi), jelaslah pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Hal itu arena

ada krisis yang berpotensi mengoyak psikologi pasar yang berdampak ikut (baca :

80
Ibid.
81
Ibid.
82
Ibid.

43
sistemik) merontokkan bank-bank lainnya, misalnya penyelamatan Bank Century.

Selanjutnya Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini

dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi karena kecil saja peran bank

ini terhadap totalitas sistem perbankan. Dalam kondisi yang sedang tak normal didera

krisis, bukan lagi faktor-faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan

pertimbangan mengambil keputusan (judgement). Tapi unsur kualitatif atau

judgement yang mempertimbangkan dengan cermat dampak psikologi pasar.

Memang haruslah diakui, wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis

moneter tahun 1997/1998, bukankah faktor psikologi pasar yang merontokkan

perbankan nasional hingga harus direkapitalisasi dana triliunan rupiah.83

C. Kriteria Tingkat Kesehatan Bank

Dalam rangka menjalankan tugas pengawasannya, Bank Indonesia

menetapkan beberapa jenis pengawasan yang didasarkan atas analisis terhadap

kondisi suatu bank tertentu, yaitu84 :

1. Pengawasan Normal (Rutin)

2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervision)

3. Pengawasan Khusus (Special Surveillance).

Dalam prakteknya, Bank Indonesia juga tetap mengawasi Bank Dalam

Penyehatan (BDP), dan memantau penyelesaian kewajiban dari Bank Beku Kegiatan

83
Ibid.
84
Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/., diakses pada 13 Mei
2011.

44
Usaha (BBKU), serta Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang ditetapkan oleh peraturan

dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan strategi pengawasan

tersebut di atas, pendekatan pengawasan yang dilakukan terbagi atas 2 (dua) jenis

kegiatan yaitu pengawasan tidak langsung (off site supervision) dan pengawasan

langsung (on site examination). Secara ringkas, pengawasan tidak langsung

merupakan tindakan pengawasan dan analisis yang dilakukan berdasarkan laporan

berkala (regulatory reports) yang disampaikan oleh Bank, informasi dalam bentuk

komunikasi lain serta informasi dari pihak lain. Sementara itu, pengawasan langsung

dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada Bank untuk meneliti dan

mengevaluasi tingkat kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku. Termasuk

dalam kedua jenis pengawasan tersebut di atas analisis kondisi Bank, saat ini dan di

waktu yang akan datang (forward looking).85

1. Bank Dalam Pengawasan Normal

Pengawasan intensif terhadap Bank yang memenuhi kriteria tidak memiliki

potensi atau tidak membahayakan kelangsungan usahanya. Umumnya, frekuensi

pengawasan dan pemantauan kondisi Bank dilakukan secara normal sedangkan

pemeriksaan terhadap jenis Bank ini dilakukan secara berkala atau sekurang-

kurangnya setahun sekali. 86

85
Ibid.
86
Ibid.

45
2. Bank Dalam Pengawasan Intensif

Pengawasan intensif ini dilakukan Bank yang memenuhi dan memiliki potensi

kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. Langkah-langkah yang

dilakukan Bank Indonesia pada Bank dengan status ini, antara lain 87 :

1. Meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia;

2. Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja

dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai;

3. Meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan

permasalahan yang dihadapi;

4. Menempatkan pengawasan dan atau pemeriksaan Bank Indonesia pada

Bank, apabila diperlukan.

Bagi Bank dalam Pengawasan Intensif yang tidak menghasilkan perbaikan

kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis Bank Indonesia diketahui

bahwa Bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Bank yang memiliki kesulitan

yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut ditetapkan

sebagai Bank dengan status Pengawasan Khusus. Di samping itu, apabila diperlukan,

intensitas pemeriksaan langsung pada Bank pada umumnya meningkat terutama

dalam rangka memantau perkembangan kinerja berdasarkan komitmen dan rencana

perbaikan yang disampaikan manajemen Bank kepada Bank Indonesia.88

87
Ibid.
88
Ibid.

46
2. Bank Dalam Pengawasan Khusus

Pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya. Terhadap Bank dengan status Pengawasan

Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil, antara lain 89 :

1. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan

rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis

kepada Bank Indonesia.

2. Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan

perbaikan (mandatory supervisory actions).

3. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan

tindakan antara lain:

a. mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;

b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian

Bank dengan modal Bank;

c. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

d. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih

seluruh kewajiban Bank;

e. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank

kepada pihak lain;

f. menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank

kepada bank atau pihak lain; dan atau

89
Ibid.

47
g. membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.

Adapun larangan dan pembatasan bagi Bank dalam Pengawasan Khusus,

antara lain 90 :

1. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal (pembagian

deviden atau pemberian bonus);

2. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

3. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset;

4. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi; dan

5. Bank dikenakan pembatasan kompensasi kepada pihak terkait.

Selain tindakan perbaikan Bank yang diwajibkan tersebut, Bank Indonesia

juga Bank yang telah ditetapkan dengan status Bank dalam Pengawasan Khusus pada

homepage Bank Indonesia. Sebaliknya, dalam rangka keseimbangan informasi

kepada publik, maka apabila kondisi Bank membaik dan tidak terkategori sebagai

Bank dalam Pengawasan Khusus, maka Bank Indonesia juga akan

mengumumkannya. Jangka waktu Bank dengan status Pengawasan Khusus adalah

paling lama tiga bulan bagi Bank yang tidak terdaftar pada Pasar Modal atau enam

bulan bagi Bank yang terdaftar pada Pasar Modal (listed Banks). Jangka waktu

tersebut dapat diperpanjang dan perpanjangan dapat diberikan maksimal satu kali dan

paling lama tiga bulan. Pertimbangan perpanjangan tersebut terutama yang berkaitan

dengan proses hukum yang diperlukan antara lain perubahan anggaran dasar,

90
Ibid.

48
pengalihan hak kepemilikan, proses perizinan, dan proses kaji tuntas oleh investor

baru (due diligence).91

Pada umumnya frekuensi dan intensitas pengawasan dan pemeriksaan

meningkat terutama dalam rangka memantau perkembangan kinerja dan komitmen

serta kewajiban Bank yang diperintahkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya

berdasarkan analisis dan pemantauan dimaksud, apabila diketahui bahwa kondisi

Bank semakin memburuk, maka terdapat dua alternatif resolusi Bank dimaksud, yaitu

Bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) atau

Bank Beku Kegiatan Usaha.

a. Bank Dalam Penyehatan (BDP)

Bank dapat ditetapkan dengan status Bank Dalam Penyehatan apabila Bank

tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek

permodalan. Selama proses penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama

antara Bank Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan

dengan perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja permodalan,

rasio likuiditas (Giro Wajib Minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial

(BMPK, PDN, PPAP), dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila kondisi

membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau dinyatakan berhasil,

maka status BDP dicabut dan Bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk

91
Ibid.

49
dilakukan pengawasan yang diperlukan. Sebaliknya, apabila kondisi Bank semakin

memburuk, status BDP dapat berubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha.92

b. Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)

Bank ditetapkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha apabila Bank

memenuhi persyaratan bahwa kondisi Bank menurun sangat tajam atau program

penyehatan BPPN atas Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak dapat diselesaikan oleh

Bank dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN,

program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang

disepakati belum terlampaui. Selanjutnya dalam hal BPPN telah selesai

melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan

status BBKU, penyelesaian berikutnya dilakukan tahapan-tahapan pencabutan izin

usaha, pembubaran badan hukum, serta likuidasi Bank. 93

4. Penanganan Bank Gagal

Kegagalan sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang

terukur dan rasional. Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya

suatu bank harus diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat

dilakukan pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih

terorganisir dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Tentunya sulit diterima

oleh semua pihak kalau dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan

92
Ibid.
93
Ibid.

50
dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab

itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus

juga.94

Disinilah dikeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004 atas dasar persetujuan

bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. LPS adalah sebuah lembaga

yang independen diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.

Di dalam ketentuan ini ditetapkan penjaminan simpanan nasabah Bank yang

diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhaap industri perbankan

dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang

menimbulkan moral hazard.95

Penjaminan simpanan nasabah Bank tersebut diselenggarakan oleh LPS,

fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan penyelesaian

atau penanganan bank gagal (likuidasi bank). Penjaminan simpanan nasabah Bank

yang dilakukan LPS bersifat terbatas, tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya

nasabah. Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk

menjadi peserta yang membayar premi penjaminan. LPS melakukan tindakan

penyelesaian atau penanganan Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam

kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan

ketahanan sektor keuangan Indonesia atau disebut : Indonesia Financial Safety Net

94
Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada 13 Mei 2011.
95
Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on Funding and Liability Management, (Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2008), hal. 201.

51
(IFSN) bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Pengawas Perbankan

(LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi. 96

Tindakan penyelesaian atau penanganan Bank gagal oleh LPS didahului

berbagai tindakan lain oleh Bank Indonesia dan LPP sesuai peraturan perundang-

undangan. Bank Indonesia melalui mekanisme sistem pembayaran, akan mendeteksi

kesulitan tersebut dan berupaya mengatasi dan menjalankan fungsi pengawasannya,

antara lain berupa tindakan agar pemilik Bank menambah modal atau menjual Bank,

atau agar Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain. Apabila

kondisi Bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk,

antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas Bank, tindakan

penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini,

penyelesaian dan penanganan Bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja

setelah terlebih dahulu mempertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha

Bank terhadap perekonomian nasional.97

Dalam hal pencabutan izin usaha Bank diperkirakan memiliki dampak

terhadap perekonomian nasional, tindakan penagangan yang dilakukan LPS yang

didasarkan pada keputusan Komite Koordinasi. Mengingat fungsinya yang sangat

penting, LPS harus independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan

kewajiban pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi

96
Ibid., hal. 201-202.
97
Ibid., hal. 202.

52
lain, diatur sercara jelas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjaminan Simpanan (LPS). 98

Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi

penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum

mengetahui bahwa salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan

adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi

bank. Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak

sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan

berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran

dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya

apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas. 99

Dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak pihak LPS akan

melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya

penyelamatan jauh lebih mahal dari pada dengan menglikuidasi, maka

penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan dicabut ijin usahanya, kemudian

dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. Apabila LPS

memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan antara

penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak

sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala

biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi disediakan oleh pihak LPS. 100

98
Ibid.
99
Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, Op.cit.
100
Ibid.

53
Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang

saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama (open bank

assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan,

maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti

bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS. Untuk penanganan

bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.24/2004 diberikan

kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal

sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan

lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk

melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank

lain. 101

Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana

“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan

penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka

waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3

tahun sejak penyelamatan dilakukan. Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus

dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara

prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya

yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum

mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham

lama. 102

101
Ibid.
102
Ibid.

54
Tabel 1.
Mekanisme Pengambilan Keputusan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis

Sumber : Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indon
esia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.

Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah diuraikan

diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara sistem telah

ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur. Disamping itu ada

sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang mengakibatkan banknya

gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu perlindungan yang lebih

memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Sekalipun demikian harus tetap

disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab

apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta

surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada

55
pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan

dewa penyelamat yang handal.103

Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling

ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang

berpendapat gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya.

Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang

menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. Sebagai

langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih

komprhensif dalam rangka menumbuh-kembangkan perbankan yang kuat sekaligus

sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada

pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada

pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga

pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur. 104

R. G. Hawtrey (The Art of Central Banking, 1932) berpendapat bank sentral

adalah suatu bank yang berperan sebagai sumber pinjaman terakhir bagi bank-bank

(lender of the last resort) dan untuk mendukung peranan tersebut, bank sentral juga

harus mempunyai hak untuk menerbitkan uang kertas bank sebagai sumber dari

perolehan dana bank sentral itu dalam pemberian jaminan.105 Vera Smith (Rational of

Central Banking, 1936) menyatakan bahwa suatu bank dikatakan sebagai bank sentral

apabila bank tersebut berperan sebagai pencetak dan pengedar uang kertas dengan

103
Ibid.
104
Ibid.
105
R.G. Hawtrey, The Art of Central Banking, 2nd Edition, (Amerika Serikat : Frank Cass
Publisher, 1970).

56
hak monopoli dari pemerintah (the bank of issue). Kisch dan Elkin berpendapat

bahwa bank sentral adalah suatu bank yang memiliki ciri yang paling hakiki, yaitu

sebagai pemelihara stabilitas moneter yang baku yang mendukung kontrol terhadap

peredaran moneter.106

Salah satu fungsi Bank Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan adalah mengatur dan mengawasi bank umum di Indonesia. Bank-bank

umum di bawah pengendalian dan pengawasan Bank Indonesia, beserta dengan Bank

Indonesia itu sendiri, membentuk sistem moneter nasional. Sistem moneter ini juga

melibatkan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Bank Indonesia mempunyai

kewajiban untuk menjaga kestabilan sistem moneter nasional. Bank Indonesia dalam

menjaga kestabilan moneter nasional berwenang untuk menjaga dan memelihara

cadangan kas-kas bank komersial. 107

Dalam hal ini bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah

minimum tertentu (reserve requirement) pada bank sentral. Penyimpanan cadangan

ini bisa berupa uang kertas maupun surat berharga. Bank Indonesia juga berwenang

untuk Menyelenggarakan kegiatan kliring di antara bank-bank. Kliring (clearing)

adalah sarana perhitungan market antar bank yang dilaksanakan oleh bank sentral

guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dalam suatu

wilayah kliring. 108

106
Vera Constance Smith, The Rationale of Central Banking and the Free Banking
Alternative, (London : PS King and Sons, 1936).
107
Pamela Romauli Tampubolon, “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan Penyaluran Kredit Bank”, (Tesis :
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
108
Ibid.

57
Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk

membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan

(financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai

peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank

(the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan

pinjaman ketika bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likiuiditas

(lender of the last resort). Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan

dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat.109 Bank Indonesia membantu

manakala suatu bank gagal untuk memenuhi Giro wajib Minimum (GWM).

Semua fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh Bank Indonesia dalam

rangka menjami terciptanya kondisi perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat

menurut Manuel Guitian hanya dapat tercipta melalui pengawsan dan pengaturan

yang ketat. Isu kesehatan perbankan menjadi isu sentral manakala krisis perbankan

melanda dunia. Perbaikan sistem pembayaran dan restrukturisasi perbankan menjadi

permasalahan utama dalam menjaga fungsi perbankan pada umumnya. Tingkat

kesehatan suatu bank dapat diukur dari Cash Ratio (CAR).110 Aset yang dimiliki oleh

bank tersebut, pengelolaan bank, pendapatan, dan tingkat likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Bank juga

109
Satjipto Rahardjo, et.al, Op.cit, hal. 21.
110
Cash Ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun dan harus
segera dibayar oleh pihak bank. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam
membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik menggunakan alat likuid yang dimilkinya. Alat
likuid, menurut ketentuan Bank Indonesia, terdiri dari uang kas ditambah dengan rekening giro bank
yang disimpan di Bank Indonesia. Dalam : Steven M. Bragg, Business Ratios and Formulas : A
Comprehensive Guide, Second Edition, (Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010).

58
diwajibkan untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan cara melaksanakan kegiatan

usahanya dengan prinsip kehati-hatian.111

D. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Bank

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat

mengajukan permohonan pailit terhadap debitur yang merupakan Bank, menurut

Sutan Remy Sjahdeini merupakan standard ganda (double standard).112 Menurut

Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan ini telah merampas hak kreditur dari suatu bank.

Kreditur bank justru pada umumnya adalah juga bank, bahkan sering terdiri dari

banyak sekali bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank

money market. Bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non bank adalah

mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi

apabila bank sebagai kreditur menghadapi debitur yang merupakan bank, haknya

untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit itu hilang karena ketentuan Undang-

Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang

Kepailitan Menjadi Undang-Undang tersebut.113

111
Manuel Guitián, and Discretion in International Economic Policy, Occasional Paper,
(Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992).
112
Sutan Remy Syahdeini, Undang-Undang Kepailitan : Dalam Persfektif Hukum, Politik
dan Ekonomi, Makalah disajikan pada 7 Mei 1998 di Jakarta, hal. 6., sebagaimana dikutip Habiba
Hanum, “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”, (Tesis : Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 48.
113
Ibid, hal. 48.

59
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit

suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia

merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang

mempunyai kewenangan untuk memberikan izin usaha berdasarkan Undang-Undang

No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemerintah berpendapat bahwa

kewenangan Bank Indonesia ini berhubungan dengan tugas pengawasan dan

pembinaan terhadap dunia perbankan nasional.114

Pembinaan terhadap perbankan ditekankan pada aspek ekonomi dan politik.

Konsekwensinya segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan insolvensi atau

masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank dengan cara-cara

persuasif akan diakhiri oleh Bank Indonesia dengan cara melakukan likuidasi tanpa

perlu pernyataan pailit terhadap bank. Sutan Remy Syahdeini menyatakan bahwa

keadaan pailit atau bangkrut hanya akan dirasakan oleh kreditur. Krediturlah yang

mengalami ingkar janji (in default) sehubungan dengan perjanjian utang piutang

(perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Bank Indonesia tidak pernah menjadi

pihak dalam perjanjian antara kreditur dan debitur. 115

Kenyataan bahwa debitur bukanlah debitur biasa, tetapi suatu bank, tidak

mengubah keadaan bahwa Bank Indonesia bukan pihak dalam perjanjian kredit antara

debitur dan kreditur. Bank Indonesia hanya akan menjadi pihak dalam perjanjian

114
Menteri Kehakiman, “Jawaban Pemerintah atas Tanggapan Fraksi-fraksi terhadap
Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan”, hal. 3., dalam Laporan Lima
Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan AusAID, 2009).
115
Habiba Hanum, Op.cit., hal. 48.

60
antara kreditur dan debitur, apabila kredit yang diterima oleh debitur yang merupakan

bank diberikan oleh Bank Indonesia berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)

atau berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam hal Bank Indonesia yang menjadi

kreditur, maka seyogyanya Bank Indonesia, baik sendiri maupun bersama dengan

kreditur-kreditur lain, yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Selain itu

Bank Indonesia dapat pula mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa diminta

oleh debitur atau kreditur atau kejaksaan, apabila Bank Indonesia (bukan sebagai

kreditur tetapi sebagai otoritas moneter yang bertugas dan bertanggung jawab

terhadap pembinaan dan pengawasan bank-bank serta stabilitas moneter) menilai

bahwa bank yang bersangkutan telah membahayakan sistem perbankan. Hal ini tidak

mengurangi kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit suatu bank dalam kedudukan Bank Indonesia selaku kreditur Bank itu. 116

Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menyebutkan ketentuan dalam Pasal 1

ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa : “Bank Indonesia dapat

mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur yang diajukan pailit tersebut

merupakan bank”, pada satu sisi dapat dibenarkan. Hal ini untuk menjaga

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Apabila kreditur dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitur yang merupakan bank

tanpa melalui Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat Bank akan senantiasa

dibayang-bayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila kondisi ini terjadi

maka jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan

116
Ibid.

61
berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya

adalah akan mengganggu perekonomian nasional. Karena sebagaimana diketahui

bahwa bank merupakan agent of modernitation.117

Pemberian hak-hak khusus kepada Bank Indonesia yang mewakili

kepentingan orang banyak harus mendapat dukungan karena berkaitan dana

masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap dana masyarakat luas

ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Perkara yang berkaitan dengan

diajukannya permohonan pailit terhadap Bank adalah perkara Bank IFI sebagai

pemohon terhadap Bank Danamon sebagai termohon. Dalam perkara ini Bank

Indonesia menolak untuk mempailitkan Bank Danamon dan akhirnya Pengadilan

Niaga menolak untuk memeriksa dan memutuskan permohonan kepailitan bank

karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti selama Bank Indonesia

tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar utangnya yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut tidak dapat dipailitkan. 118

Jika dikaitkan dengan teori Jeremy Bentham (Utilitarian Theory) mengenai

the greatest happines is the greatest number. Maka peraturan mengenai pengajuan

permohonan pailit terhadap Bank adalah Bank Indonesia saja maka dalam hal ini

demi menyelamatkan sistem perbankan nasional. Keuntungan terbesar adalah

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang terjamin.

117
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, (Jakarta : Pustaka Utama Grafika, 2009).
118
Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit
PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, (Tesis : Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, 2005).

62
BAB III

MASALAH BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM


PENGAJUAN KEPAILITAN BANK

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No.

4 tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan

perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang

piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian

masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Penyelesaian perkara

kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu badan

peradilan khusus yakni Pengadilan Niaga. 119

Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul,

hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip. Pertama, peran utama kepailitan

dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi

perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu yang cukup, cukup bagi

perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Kedua, meskipun tidak

dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah

berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik

diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan

sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan

119
Kelik Pramudya, “Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia”, http://click-
gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html., diakses pada 14 Mei 2011.

63
beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya

likuidasi premature.120

Ketiga, hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan

debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder

yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang

telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji yang terutang. Akan tetapi

bagaimana dengan hak-hak lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit

menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi

ekonomi yang buruk. Singkat kata, kepailitan adalah ultimum remedium, upaya

terakhir. 121

Likuidasi bank merupakan salah satu instrumen pembinaan di dalam dunia

perbankan agar sektor perbankan dapat tetap menjalankan fungsinya secara dinamis

dan mandiri. Likuidasi bank harus tetap menjamin terpeliharanya hak para pihak

terkait, khususnya nasabah penyimpan dana.

A. Terbukanya Peluang Kreditor Lain dalam Pengajuan Pailit Bank

Pelaksanaan likuidasi harus dilakukan oleh suatu tim yang profesional yang

beranggotakan berbagai unsur yang terkait dengan aktifitas perbankan sehingga

kepentingan berbagai pihak dapat terwakili dan terpelihara. 122 Bank Indonesia

120
Zulkarnain Sitompul, “Perlukah PT DI Dipailitkan”, http://zulsitompul.wordpress.com/isu-
sentral/., diakses pada 14 Mei 2011.
121
Ibid.
122
Pasal 7 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit.

64
bertindak sebagai pengawas pelaksanaan likuidasi. 123 Likuidasi perusahaan yang

bernama “bank” diatur prosedur di luar ketentuan kepailitan yang ada, karena

kharateristik bank memang jauh berbeda dengan perusahaan biasa. Hal tersebut

misalnya dapat dilihat bahwa bank merupakan lembaga kepercayaan, karena bank

dapat bekerja atas dasar kepercayaan nasabah/masyarakat, sehingga kaidah

kepailitan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) tidak dapat diterapkan karena dapat

menggoyahkan kepercayaan masyarakat.124

Dari segi aset, aset perbankan adalah dana masyarakat, sementara porsi modal

bank tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan aset secara keseluruhan.

Operasional bank mempunyai resiko sistemik, dalam arti kejatuhan pada suatu bank

dapat menyebabkan kejatuhan bank lain, yang pada akhirnya akan menghancurkan

sistem yang telah dibangun. Oleh sebab itu terhadap bank perlu diatur prosedur yang

sangat khusus untuk ‘pembubarannya’.125 Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk memohonkan pailit terhadap

suatu bank debitur, namun dalam praktiknya pasal ini tidak pernah digunakan.126

Alasan yang paling mendasar mengenai tidak digunakannya pasal ini oleh

Bank Indonesia adalah karena usaha bank memiliki kharekteristik kegiatan usaha

123
Pasal 1 ayat (4), Ibid.
124
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Op.cit.
125
Bagian Menimbang huruf b. dan c., Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit.
126
Sylvia Janisriwati, “Disertasi Sylvia Janisriwati : Kewenangan Bank Indonesia dalam
Menyatakan Pailit”, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Sylvia-Janisriwati--Kewenangan-Bank-
Indonesia-dalam-Menyatakan-Pailit-1583-id.html., diakses pada 14 Mei 2011.

65
yang berbeda dari perusahaan pada umumnya, yaitu sebagai intermediary institution,

sehingga aset bank pada dasarnya adalah milik para deposan selain juga milik

kreditur bank lainnya. Selain itu mengingat bank adalah usaha yang hanya dapat

berjalan atas dasar kepercayaan masyarakat, sehingga usaha bank harus dilindungi

dari kemungkinan tindakan kreditur tertentu untuk serta merta mengajukan gugatan

pailit ke Pengadilan. Oleh karena itu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat membatasi pihak

yang boleh mengajukan gugatan kepailitan terhadap bank melalui debitur, yaitu Bank

Indonesia (selaku otoritas perbankan). 127

Namun, mengingat karakteristik usaha bank sebagaimana diuraikan di atas,

maka terhadap bank yang mengalami permasalahan keuangan, pertama-tama

dilakukan upaya penyelamatan. Apabila upaya penyelamatan itu tidak berhasil,

sementara permasalahan yang dihadapi bank itu menganggu usahanya atau sistem

perbankan, maka bank bermasalah itu harus keluar dari sistem perbankan (exit policy)

melalui proses likuidasi bank sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 37 Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Peraturan Pemerintah No. 25

Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha Pembubaran dan Likuidasi Bank dan

bukan melalui proses kepailitan sebagaimana disediakan jalannya oleh Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang. 128

127
Ibid.
128
Ibid.

66
Bank yang sudah dilikuidasi dianggap sudah tidak eksis lagi, oleh karena itu

tidak berhak melakukan kegiatan hukum seperti membayar utang. Ini berbeda dengan

proses kepailitan. Perusahaan yang dipailitkan wajib melakukan proses kepailitan.

Perusahaan yang dipailitkan wajib melakukan proses rehabilitasi sehingga

perusahaan itu tetap eksis. Kepailitan tidak menyebabkan matinya suatu Perseroan

Terbatas, tetapi hanya berakibat terhadap ketidak mampuan perusahaan itu untuk

melakukan tindakan hukum terhadap harta kekayaan Pemegang Saham perusahaan

tetap eksis/aktif, namun diwakili oleh Kurator. Dalam proses rehabilitasi ternyata

perusahaan tersebut mampu survive, maka perusahaan tersebut dapat berubah

statusnya menjadi perusahaan biasa lagi yang tidak di bawah pengampuan.129

Status Debitur setelah selesainya tindakan pemberesan, Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

menyatakan bahwa setelah tindakan pemberesan selesai dilakukan, Debitur yang

berbentuk badan hukum tidak bubar. Bubarnya perusahaan yang berbentuk badan

hukum hanya terjadi apabila memang dengan sengaja dibubarkan, bagi perusahaan

yang berbentuk Perseroan Terbatas maka pembubarannya mengikuti ketentuan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal setelah

tindakan pemberesan ternyata utang-utang debitur kepada kreditur masih tersisa atau

belum lunas seluruhnya maka Debitur tetap berkewajiban untuk melunasi utang itu.

Para Kreditur memperoleh kembali hak mereka untuk menagih dan memperoleh

pembayaran atas piutang mereka yang belum dilunasi oleh Debitur (Pasal 190

129
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press., 2009).

67
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang). 130

Sebagai konsekuensinya, apabila Debitur memulai kembali untuk berbisnis

setiap pendapatan yang diperolehnya dari bisnisnya itu harus dipakai untuk

membayar utang-utang yang belum lunas. Sebaliknya apabila Debitur tersebut tidak

lagi menjalankan kegiatan usahanya, sehingga dengan demikian tidak memperoleh

pendapatan sebagai sumber pelunasan utang-utangnya maka hanya lewatnya masa

kadaluwarsa yaitu setelah lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak terakhir Debitur

ditagih oleh krediturnya yang dapat membebaskan Debitur dari kewajiban membayar

utang-utangnya.131

Kembali ke permasalahan likuidasi Bank, untuk menyelesaikan permasalahan

yang membelit Bank tersebut. Bank dalam kondisi pailit lebih memberikan

keuntungan, salah satunya bagi nasabah penyimpan dana. Pengajuan pernyataan pailit

pada Bank bisa melindungi Kreditor Bank sehingga Bank dapat segera

menyelesaikan utangnya kepada para Kreditor. Posisi Bank Indonesia dalam hal ini

sangatlah krusial karena sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

yang mengatur bahwa dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit

hanya bisa diajukan oleh Bank Indonesia. 132

Hal ini terjadi pada kasus Bank IFI yang tidak berhasil mengajukan pailit

karena ketidakbersediaan otoritas untuk mengambil langkah mengajukan permohonan

130
Ibid.
131
Ibid.
132
Sylvia Janisriwati, Op.cit.

68
pailit terhadap Bank sebagai kelanjutan permohonan yang diajukan oleh Kreditur

secara absolut akan menutup kesempatan dari Kreditur tersebut untuk mempailitkan

Bank debiturnya walaupun telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih. 133

Dalam hal terjadi likuidasi bank, nasabah penyimpan dan Kreditur lainnya

berada dalam posisi yang lemah. Berbeda dengan perjanjian kredit yang lebih

menjamin posisi Bank sebagai Kreditur, karena Debitur wajib menyerahkan jaminan,

sehingga apabila Debitur wanprestasi, Bank memiliki kepastian hukum bahwa dana

yang dipinjamkannya akan kembali. Sedangkan dalam hubungan antara Bank dengan

nasabah penyimpan, ketika nasabah menyimpan sejumlah dananya pada Bank, Bank

tidak menyerahkan jaminan yang dapat memberi kepastian kepada nasabah bahwa

dana yang disimpannya pasti dapat diterima kembali, bahkan oleh hukum nasabah

bank yang dianggap harus menanggung risiko hilangnya sebagian dana yang

disimpan di bank yang dipilih sendiri. Demikian pula kedudukan Kreditur bank yang

bukan merupakan Kreditur Preferen. 134

Likuidasi bank terjadi antara lain karena kelalaian maupun kurangnya

kepatuhan pengurus bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kinerja Tim Likuidasi harus memperlihatkan efektifitas seperti yang diharapkan

untuk menuntaskan proses likuidasi bank yang disebabkan karena beberapa hal antara

lain ketentuan tentang lukuidasi bank yang belum sempurna, peraturan yang belum

133
Ibid., Lihat juga : Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan
Pernyataan Pailit PT. Bank IFI terhadap PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, Op.cit.
134
Suwono, “Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Nasabah Bank”,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/19/o2.htm., diakses pada 14 Mei 2011.

69
lengkap, misalnya dalam hal eksekusi aset bank terlikuidasi, dalam hal pembuktian,

masalah aset atas nama pihak lain dan lain sebagainya. Pelaksanaan penegakan

hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pencabutan izin

usaha bank belum sepenuhnya efektif. 135

Perizinan merupakan sub yang sangat penting dalam pembangunan sistem

perbankan yang sehat dan kuat, karena perizinan merupakan salah satu sarana untuk

menyeleksi agar hanya badan hukum yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia yang dapat menjalankan usaha perbankan. Disamping itu, perizinan

juga digunakan oleh otoritas perbankan sebagai alat untuk memaksa bank untuk

mematuhi segala ketentuan dari otoritas perbankan dengan ancaman pencabutan izin

usaha bila terjadi pelanggaran dan penyimpangan dalam pengelolaan bank.136

Pencabutan izin usaha Bank dilakukan oleh Pimpinan Bank Indonesia apabila

tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank,

atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank dapat membahayakan

sistem perbankan atau terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank

atau bank melanggar peraturan perundang-undangan.137

Pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di Luar

Negeri dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila memenuhi alasan sebagaimana
135
Zulkarnain Sitompul, “Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank”, Majalah Pilars
No. 28, periode 12-18 Juli 2004.
136
Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank, Op.cit.
137
Pasal 3 ayat (3), Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.

70
diuraikan di atas atau terdapat permintaan kantor pusat Bank yang berkedudukan di

Luar Negeri atau izin usaha kantor pusat Bank yang berkedudukan di Luar Negeri

dicabut dan/atau kantor pusat dimaksud likuidasi oleh otoritas yang berwenang di

negara setempat.138 Apabila tindakan penyelamatan belum cukup, untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi Bank dan/atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan

suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat

mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan

badan hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi. 139

Konsekuensi dari pencabutan izin usaha tersebut adalah bank wajib menutup

seluruh kantor-kantornya untuk umum dan menghentikan segala kegiatan perbankan

dan membubarkan badan hukum bank tersebut. Berkenaan dengan itu bank harus

berupaya mengembalikan dana masyarakat yang telah dipercayakan untuk disimpan

pada bank tersebut maupun dana kreditur lainnya kepada yang berhak. Sebaliknya

debitur bank harus segera menyelesaikan kewajibannya untuk membayar kembali

kepada bank agar piutang bank tsb segera masuk ke dalam boedel. Bank yang dicabut

izin usahanya berubah bentuk menjadi perseroan biasa pada umumnya, dalam hal ini

pengajuan kepailitan terbuka untuk seluruh Kreditur bank tersebut. Karena pada

pendirian Bank pertama sekali adalah menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas, lalu selanjutnya pada bidang usahanya diatur dalam

ketentuan perbankan. Setelah dicabut izin usahanya, Bank tidak bergerak dalam

138
Pasal 22, Ibid.
139
Pasal 5 ayat (1), Ibid.

71
bidang perbankan lagi sehingga karenanya mengacu kepada ketentuan Pasal 1 angka

11 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang bahwa badan hukum tersebut dapat dimohonkan pailit oleh setiap

Krediturnya, tidak lagi harus Bank Indonesia yang memohonkan pailit. 140

B. Aspek Hukum Permohonan Pernyataan Pailit

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap

Debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi

bahwa :

”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. 141

Untuk lebih lanjutnya akan dibahas mengenai unsur-unsur dari ketentuan

tersebut di atas, yang terdiri dari : 1. adanya dua Kreditor atau lebih; 2. adanya utang;

3. adanya satu utang yang telah jatuh tempo; dan 4. persyaratan permohonan pailit.

Hal ini akan dibahas pada sub-bab selanjutnya di bawah ini.

140
Erman Radjagukguk sebagai saksi ahli dalam Kasus Bank Global., dalam Andi Pangeran
Hamzah, “Proses Kepailitan Bank Dalam Likuidasi : Studi Mengenai Bank Global (Dalam
Likuidasi)”, (Tesis : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 87.
141
Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.

72
1. Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (Concursus Creditorium)

Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk

konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio

kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda Debitor untuk kemudian

setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau

accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda Debitor untuk kemudian

dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua Kreditor sesuai urutan tingkat

Kreditor yang telah diatur oleh undang-undang.142

Jika Debitor hanya memiliki satu Kreditor, maka eksistensi ketentuan

kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila Debitor hanya memiliki satu Kreditor,

maka seluruh harta kekayaan Debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang

Debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte,

dan terhadap Debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu

Kreditor. 143 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian

bahwa Debitor mempunyai dua Kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam

hukum kepailitan berlaku pula Hukum Acara Perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku

dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa

beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk

membuktikan diri (posita) gugatannya,144 maka sesuai dengan prinsip pembebanan

142
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64.
143
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 5.
144
Pasal 116 HIR dan Pasal 1865, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847
Nomor 23.

73
wajib bukti di atas, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa

Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh

undang-undang kepailitan. 145

Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih Kreditor di dalam

permohonan pernyataan pailit, maka terhadap definisi mengenai Kreditor harus

diketahui terlebih dahulu. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan

tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “Kreditor”. Menurut Sutan Remy

Sjahdeini, harus dibedakan pengertian Kreditor dalam kalimat “...mempunyai dua

atau lebih Kreditor…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih kreditornya...”.146

Dalam kalimat pertama, yang dimaksud Kreditor adalah sembarang Kreditor, baik

Kreditor Separatis, Kreditor Preferen, maupun Kreditor Konkuren. Sedangkan dalam

kalimat kedua, kata “Kreditor” disini dimaksudkan untuk Kreditor Konkuren.

Kreditor Konkuren berlaku dalam definisi Kreditor pada kalimat kedua dikarenakan

seorang Kreditor Separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak

mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor Separatis telah

terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani

dengan hak jaminan.147

Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia No. 07.K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang

mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Kreditor Separatis yang tidak

melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai Kreditor Separatis, bukanlah Kreditor

145
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64-65.
146
Ibid.
147
Ibid.

74
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998

tentang Kepailitan.148

Disahkannya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka telah didapat pengertian “Kreditor”

sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan ini. Berkaitan

dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan Kreditor Separatis terhadap pengajuan

permohonan pailit, terhadap Kreditor telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138

ketentuan ini.149 Berdasarkan ketentuan kepailitan yang baru ini, maka Kreditor

Separatis dan Kreditor Preferen dapat tampil sebagai Kreditor Konkuren tanpa harus

melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas

piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen

dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi

utangnya Debitor pailit. 150

2. Syarat Harus Adanya Utang

Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesia mengikuti

setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Di dalam Faillissementsverordening

tidak diatur tentang pengertian utang. Faillissementsverordening menentukan bahwa

148
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 65.
149
Pasal 138, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit., menyatakan bahwa : ”Kreditor yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebandaan lainnya, atau yang
mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat
membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil
penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor
konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang
menjadi agunan atas piutangnya”.
150
Jono, Op.cit., hal. 10.

75
putusan pernyataan pailit dikenakan terhadap “de schuldenaar, die in en toestand

verkeert daj hij heft apgehouden te betalen”. Dari ketentuan ini, dapat diterjemahkan

dalam beberapa versi, yaitu151 :

1. “Setiap Debitor (orang yang berutang) yang tidak mampu membayar


utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang
tersebut
2. Setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar
utang-utangnya
3. Setiap Debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-
utangnya”.

Siti Soemarti Hartono meyatakan bahwa dalam yurisprudensi ternyata bahwa

membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang. Oleh karenanya di dalam

Faillissementsverordening dapat dilihat adanya konsep utang dalam arti luas.

Menurut putusan H. R. 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini

diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barangnya.152

Sama halnya dengan Faillissementsverordening, Undang-Undang No. 4

Tahun 1998 tentang Kepailitan juga tidak mengatur pengertian utang. Ketentuan ini

menentukan Debitor dapat dinyatakan pailit apabila “tidak membayar sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada kreditor”. Ketentuan ini hanya

menentukan utang yang tidak dibayar oleh Debitor adalah utang pokok atau bunga.

Hal ini berarti permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dapat dilakukan

151
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia : Studi Putusan-Putusan Pengadilan, (Yogjakarta : Total Media, 2008), hal. 44.
152
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogjakarta : Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1981).

76
apabila ia dalam keadaan berhenti membayar utang atau ketika ia tidak membayar

bunganya saja.153

Menurut Jerry Hoff, istilah hukum “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menunjuk kepada hukum kewajiban

dalam hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari perjanjian

maupun undang-undang dimana hal tersebut terdapat kewajiban untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.154 Dalam Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang

dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia

maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena

perjanjian atau,undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta

kekayaan debitor. 155

Berdasarkan pengertian utang di atas, permohonan pernyataan pailit

dikabulkan apabila “Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar

lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permintaan satu atau lebih kreditornya”.156 Namun telah diaturnya pengertian

mengenai utang dan syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit di dalam

153
Siti Anisah, Loc.cit., hal. 53.
154
Pasal 1233 dan Pasal 1234, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit.
155
Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
156
Pasal 2 ayat (1), Ibid.

77
undang-undang ini ternyata dianggap belum mampu mengakomodasi ketentuan

tentang persyaratan permohonan pernyataan pailit yang banyak diterapkan oleh

negara lain, seperti misalnya mengenai batasan minimal nominal utang yang dapat

diajukan pailit. Batasan minimal nominal utang yang dimiliki oleh Debitor sebagai

syarat permohonan pernyataan pailit dianggap penting untuk membatasi jumlah

permohonan pernyataan pailit. Pembatasan ini sebagai bentuk perlindungan hukum

terhadap Kreditor Mayoritas dari kesewenangwenangan Kreditor Minoritas, dan

untuk mencegah Kreditor dengan piutang sangat kecil dibandingkan dengan aset yang

dimiliki Debitor, mengabulkan permohonan pernyataan pailit, dan dikabulkan oleh

hakim. 157

Tidak terdapatnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam pengajuan

permohonan pernyataan pailit, menurut M. Hadi Subhan dianggap sebagai

kekurangan dan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia.158 Padahal ide

untuk menentukan pembatasan persentase harta Debitor yang tersisa sebagai syarat

permohonan pernyataan pailit sebenarnya telah ada sebagaimana terdapat di dalam

Pasal 1 Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Undang-Undang Kepailitan.

Dalam pasal ini mengatur mengenai pailit dan kebangkrutan berlaku terhadap Debitor

yang sudah tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya, dan harta yang tersisa

adalah hanya 25% dari seluruh kekayaan Debitor. 159 Adanya kelemahan berupa tidak

diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat

157
Siti Anisah, Op.cit., hal. 71.
158
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta :
Kencana, 2008), hal. 93.
159
Siti Anisah, Loc.cit., hal. 72.

78
dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum

utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi

penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat

terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran

utangutangnya kepada para kreditormya, sehingga untuk mencegah terjadinya

unlawful execution dari para kreditornya, kepailitan hanya menjadi alat tagih semata

(debt collection tool). 160

Apabila dilihat dari komparasi hukum, pembatasan jumlah nilai nominal

utang di dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit merupakan suatu kelaziman

sebagaimana yang dianut di beberapa negara lainnya seperti Singapura, Hongkong,

Filipina, Australia, Kanada, dan bahkan Amerika Serikat. Undang-Undang Kepailitan

Singapura mengatur jumlah minimal utang yang dapat diajukan pailit adalah sebesar

US$. 2,000,- atau jumlah lain akan ditentukan di masa depan, sedangkan di

Hongkong, perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk jumlah utang

yang lebih dari HK$. 5,000,-. 161

Menurut The Philippine Act, tiga orang Kreditor atau lebih yang merupakan

penduduk Filipina dan memiliki tagihan terhadap debitor hingga mencapai nilai

sebesar 1,000 pesos dapat mengajukan involuntary petition. Di Australia pengajuan

voluntary petition tidak mensyaratkan besaran jumlah utang yang dimiliki, sedangkan

pengajuan involuntary petition atau sequestration (penitipan barang atas perintah


160
M. Hadi Subhan, Loc.cit.
161
Nilai nominal jumlah minimal utang di Singapura di dalam undang-undang kepailitan
mengalami peningkatan dari US$. 500,- menjadi US$. 2,000,- dan hal ini didasarkan pada The
Bankruptcy Act 1995 yang disahkan parlemen pada 23 Maret 1995 dan disetujui Presiden pada 12
April 1995. Sedangkan pengaturan batasan minimal utang di Hongkong, diatur di dalam §.178 (a) (1)
of The Companies Ordinance.

79
pengadilan) dilakukan apabila Debitor memiliki utang tidak kurang dari

AUS$.2,000,- dalam bentuk utang yang jumlahnya telah ditentukan dalam

perjanjian.162

Di Kanada, Kreditor tidak berjaminan atau Kreditor berjaminan yang

mempunyai piutang senilai CDN$. 1,000,- dapat mengajukan permohonan pailit

dalam jangka waktu enam bulan dari saat debitor mengajukan permohonan pailit

kepada The Official Receiver.163 Bankruptcy Code Amerika Serikat mensyaratkan

permohonan pernyataan pailit untuk involuntary petition dapat diajukan jika debitor

memiliki tagihan utang yang tidak berjaminan (unsecured debt) sebesar US$. 5,000,-.

Tiga kreditor harus bersama-sama mengajukan permohonan pailit apabila Debitor

memiliki 12 Kreditor atau lebih Kreditor, sebaliknya seorang Kreditor dapat

mengajukan permohonan pailit sepanjang tagihannya minimal US$. 5,000,-. 164

3. Syarat Adanya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk dinyatakan

pailit melalui putusan pengadilan, yaitu165 :

1. ”Terdapat minimal 2 (dua) orang Kreditor


2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dan
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih”.

162
Siti Anisah, Op.cit., hal. 72-73.
163
Di Kanada, kreditor berjaminan dapat mengajukan permohonan pailit hanya jika ia
bersedia melepaskan jaminannya.
164
Siti Anisah, Loc.cit.
165
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Op.cit.

80
Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa Kreditor sudah

mempunyai hak untuk menuntut Debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono,

hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu
166
adanya schuld dan haftung. Schuld yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap

debitor untuk menyerahkan prestasi kepada Kreditor, dan karena itu Debitor

mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan haftung adalah bentuk

kewajiban Debitor yang lain yaitu Debitor berkewajiban untuk membiarkan harta

kekayaannya diambil oleh Kreditor sebanyak utang Debitor guna pelunasan utang

tadi, apabila Debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.167

Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

menurut Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan

kejadian yang berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu

atau utang yang expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang

telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan

utang yang telah jatuh waktu.168 Di sisi lain, suatu utang dikatakan jatuh tempo dan

dapat ditagih yaitu apabila utang itu sudah waktunya untuk dibayar. Penggunaan

istilah jatuh tempo merupakan terjemahan dari istilah “date of maturity”.169 Date of

maturity atau tanggal jatuh tempo adalah tanggal yang ditetapkan sebagai batas waktu

166
Jono, op.cit., hlm. 11.
167
Menurut pakar hukum dan yurisprudensi, schuld dan haftung dapat dibedakan tetapi pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok haftung terdapat dalam Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek.
Lihat : Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001), hal. 8-9.
168
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 68-71.
169
Siti Anisah, Op.cit., hal. 87.

81
maksimal terhadap utang atau kewajiban.170 Tidak dipergunakannya istilah jatuh

waktu disini karena istilah ini tidak ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Pengertian jatuh tempo itu sendiri ditemukan di dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau

penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan; sudah lewat waktunya; kadaluarsa.171

Pengertian tempo mempunyai arti waktu, batas waktu, janji (waktu yang

dijanjikan). 172

Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi

dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam

perjanjian. Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran

utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga

sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian.173 Jika di dalam perjanjian tidak

mengatur tentang jatuh tempo, maka Debitor dianggap lalai apabila dengan surat

teguran Debitor telah dinyatakan lalai dan dalam surat itu Debitor diberi waktu

tertentu untuk melunasi utangnya.174

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu

dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu

170
Date of maturity dapat diartikan tanggal saat utang atau kewajiban tertentu harus dibayar
atau dilunasi. Lihat : HRA Rivai Wirasasmita, et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, (Bandung : Pionir
Jaya, 2002), hal. 111.
171
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 404.
172
Ibid., hal. 1033.
173
Default adalah kelalaian untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam kontrak. dapat
diartikan pula sebagai kelalaian pihak debitor dalam menepati janji dan kewajiban yang dilakuan
terhadap pihak kreditor. Lihat : HRA. Rivai Wirasasmita, et.al, Op.cit., hal. 117.
174
Pasal 1238, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit.

82
baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang

maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. 175 Implementasi

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan kepailitan ini lebih banyak terjadi ketika

Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu

sebagaimana yang telah diperjanjikan.176

Ketentuan yang menyatakan adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih, menurut Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan bukan hanya

mengatur kepailitan Debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah

satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven

(insolvent). Seorang Debitor berada dalam keadaan insolven hanyalah apabila Debitor

itu tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian

besar para kreditornya. 177 Istilah “toestand” secara etimologi berarti keadaan

penghentian kewajiban membayar yang pada umumnya baru ada jika orang

membiarkan Debitor tidak membayar lebih dari satu utang. 178

Kata “keadaan berhenti membayar” dalam Pasal 1 ayat (1)

Faillissementsverordening berubah menjadi “tidak membayar” dalam Undang-

Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Debitor tidak membayar utang-

utangnya kepada para kreditornya tidak memerlukan klasifikasi apakah Debitor

benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang atau karena tidak mau
175
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
176
Siti Anisah, Op.cit., hal. 92.
177
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71-72.
178
Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (1) Faiilissementsverordening, Siti
Anisah, Op.cit., hal. 74., Lihat juga : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71.

83
membayar kendati Debitor memiliki kemampuan.179 Dalam praktik pengadilan niaga

muncul beberapa kriteria Debitor tidak membayar utangnya, antara lain 180 :

a. Ketika Debitor tidak membayar utang karena berhenti membayar utangnya;

b. Debitor tidak membayar utang ketika Debitor tidak membayar dengan

seketika dan sekaligus lunas kepada para kreditornya;

c. Debitor tidak membayar utang ketika Debitor berhenti melakukan

pembayaran terhadap angsuran yang telah disepakati sehingga Debitor dapat

dikatakan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana telah diperjanjikan;

d. Debitor tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap

perjanjian awal telah dilakukan amandemen. Tindakan ini menunjukkan

bahwa Debitor bersikap ingkar janji kepada kreditornya; dan

e. Debitor tidak pernah membayar utangnya yang terakhir meskipun tersebut di

dalamnya.

Penegakan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di dalam perjalanannya menghasilkan

beberapa putusan pengadilan niaga yang mendalilkan debitor tidak membayar utang,

antara lain 181 :

a. Debitor tidak membayar utang ketika debitor berhenti membayar utang

terhadap puluhan Kreditor sementara harta yang dimiliki Debitor makin hari

179
Siti Anisah, Op.cit., hal. 78.
180
Ibid., hal. 78-83.
181
Ibid., hal. 83-84.

84
makin berkurang dan nilainya menjadi lebih kecil dari utang-utang Kreditor;

dan

b. Debitor tidak membayar utangnya ketika Debitor tidak melunasi

pembayarannya kepada Kreditor pada saat yang telah ditentukan dan

mengakui utangnya tersebut.

4. Syarat Permohonan Pailit

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menunjukkan

bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang

Debitor adalah 182 :

a. ”Debitor yang bersangkutan;


b. Kreditor atau para kreditor;
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah bank;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
f. Menteri Keuangan apabila debitornya adalah Perusahaan Asuransi;
g. Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik”.

Menurut Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998

tentang Kepailitan menyatakan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada

seorang Debitor adalah 183 :

a. “Debitor yang bersangkutan;


b. Kreditor atau Para Kreditor;

182
Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
183
Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

85
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah Bank;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah
Perusahaan Efek”.

Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditambahkan Menteri

Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan

kegiatan perasuransian dan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-

LK) di dalam mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak

hanya semata-mata perusahaan efek saja, melainkan juga lembaga-lembaga lain yang

terlibat di dalam kegiatan pasar modal. 184

Beberapa pihak di atas yang dapat mengajukan permohonan pailit, pihak yang

paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak Debitor dan Kreditor.

Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh Debitor disebut dengan voluntary

petition. Voluntary petition adalah permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

Debitor, yang tidak mensyaratkan berapa besar jumlah utang yang dimilikinya.

Sebaliknya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh pihak Kreditor disebut

dengan involuntary petition. Involuntary petition adalah pengajuan permohonan

pernyataan pailit yang dilakukan Kreditor apabila Debitor memiliki utang yang

jumlah nilai utangnya dan bentuk utangnya telah ditentukan di dalam perjanjian. 185

Ketentuan bahwa Debitor adalah salah satu pihak yang dapat mengajukan

permohonan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan yang dianut di banyak

184
Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung : Alumni, 2006), hal. 92.
185
Siti Anisah, Op.cit., hal. 72.

86
negara. Namun ketentuan ini memberi kesempatan bagi Debitor nakal untuk

melakukan rekayasa demi kepentingannya. Oleh karenanya, sekalipun mungkin saja

permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dikabulkan oleh pengadilan, baik

yang diajukan oleh Debitor sendiri atau oleh Kreditor teman kolusi Debitor atau

sekongkolnya, namun Debitor tidak seharusnya lepas dari jerat pidana.186 Sedangkan

ketentuan Kreditor di dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit mengacu

pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ketentuan ini juga telah

mengatur pula kewenangan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas

kebendaan yang dimilikinya terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.187

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang kepailitan

diantaranya Faillissementsverordening, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang

Kepailitan, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa permohonan pernyataan

pailit dapat dilakukan atas permintaan Debitor maupun atas permintaan kreditornya.

Namun ketiga undang-undang kepailitan ini tidak membedakan permohonan

pernyataan pailit terhadap debitor individu atau perusahaan.188 Padahal tujuan dan

manfaat hukum kepailitan perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat

hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit Debitor di

186
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 122-124.
187
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
188
Siti Anisah, Op.cit., hal. 126-127.

87
antara para kreditornya dan memberi kesempatan bagi Debitor Insolven untuk

memperoleh fresh start.189

Di sisi lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah

memperbaiki atau memulihkan perusahaan guna memperoleh keuntungan dalam

perdagangan, memaksimalkan pengembalian tagihan para Kreditor, menyusun

tagihan Kreditor, dan identifikasi penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan

sanksi terhadap manajemen yang menyebabkan kepailitan. 190 Ketiadaaan perbedaan

permohonan pailit terhadap Debitor perseorangan dan perusahaan menjadikan

undang-undang kepailitan di Indonesia berbeda dengan undang-undang kepailitan di

negara lain. 191

Menurut H.L.A. Hart mengenai yang membagi hukum dalam dua bentuk,

yaitu primary rule dan secondary rule, terkait pengajuan kepailitan oleh Bank

Indonesia terhadap Bank adalah bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (sebagai primary rule)

sudah tepat menentukan Bank Indonesia yang dapat mengajukan pailit terhadap

Bank. Karena terkait dengan yang dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa ada

yang diselamatkan jika Bank Indonesia yang mengajukan permohonan tersebut yaitu

rush, semua itu demi menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil.

Namun pada, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin

189
Fresh start adalah kesempatan bagi debitor dimana debitor tidak diwajibkan untuk
melunasi utang-utangnya dan dapat melakukan bisnis tanpa dibebani utang yang menggantung dari
masa lalu. Lihat : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. .39.
190
Siti Anisah, Op.cit., hal. 127.
191
Misalnya saja di Belanda terdapat Netherlands Bankruptcy Act untuk penjatuhan kepailitan
terhadap perusahaan dan Debt Restructuring Act For Private Individual untuk kepailitan konsumen
atau individual.

88
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (sebagai secondary rule) yang mengatur

mengenai likuidasi Bank adalah kurang tepat karena menurut Erman Radjagukguk

bahwa status Bank Umum yang sudah dicabut izinnya akan berubah menjadi

Perseroan Terbatas biasa yang tidak lagi bergerak dalam bidang perbankan. Jadi,

Kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat mengajukan permohonan pailit

terhadap bank dalam likuidasi terkait pencabutan izin oleh Bank Indonesia.

89
BAB IV

MEKANISME HUKUM YANG DAPAT DIGUNAKAN OLEH KREDITOR


DALAM MENYELESAIKAN PIUTANGNYA TERHADAP BANK

A. Mekanisme Hukum Penyelesaian Piutang Terhadap Bank Melalui


Permohonan Pailit

Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan dalam hal Debitor adalah bank,

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Bank

Indonesia sudah sewajarnya melaksanakan kewenangannya dalam kepailitan untuk

menunjang perekonomian nasional. Sehubungan dengan itu, dalam ketentuan

kepailitan ini sebenarnya perlu diatur dengan tegas dalam kondisi bagaimana Bank

Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan

Niaga.192

Oleh karena pengaturan dimaksud tidak ada maka kondisi itu sebaiknya

didasarkan pada ukuran yang terdapat Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 10

Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu keadaan suatu bank mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya. Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan

yang membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasarkan penilaian Bank

Indonesia keadaan usaha Bank semakin memburuk antara lain ditandai dengan

menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan

Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan

yang sehat. Dengan adanya ukuran yang jelas ini maka Bank Indonesia akan aman

192
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”,
Volume 2 Nomor 2, (Jakarta : Bank Indonesia, Agustus 2004), hal. 9.

90
dalam menggunakan kewenangan tunggalnya mengajukan permohonan pernyataan

pailit ke Pengadilan Niaga. 193

Selanjutnya menurut penilaian Bank Indonesia suatu Bank mengalami

kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat

melakukan tindakan agar 194 :

a. “Pemegang saham menambah modal;


b. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan
modalnya;
d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban;
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank
kepada pihak lain;
g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajibannya kepada
bank atau pihak lain”.

Apabila tindakan di atas belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang

dihadapi Bank atau menurut Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat

membahayakan sistem perbankan, maka Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut

izin usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan

membentuk Tim Likuidasi. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS,

Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan

penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan Tim Likuidasi,

dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan

193
Ibid.
194
Pasal 37 ayat (1), Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Op.cit.

91
yang berlaku. 195 Dalam rangka kepailitan ini, sebaiknya Bank Indonesia mengajukan

permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga ketika tindakan tindakan

penyelamatan bank (bank rescue) sebagaimana pada Pasal 37 ayat (1) huruf a hingga

g. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum berhasil untuk

mengatasi kesulitan yang dihadapi bank. 196

Sebaiknya Bank Indonesia tidak menunggu hingga kesulitan Bank tersebut

dapat membahayakan sistem perbankan. Bila keadaan suatu Bank telah

membahayakan sistem perbankan maka sebenarnya adalah suatu keterlambatan untuk

melakukan kepailitan, kecuali keadaan membahayakan sistem perbankan itu terjadi

seketika. Ketepatan waktu ini penting karena upaya kepailitan itu sebenarnya adalah

juga merupakan upaya penyelamatan Bank melalui jalur Pengadilan Niaga. Dalam

kepailitan, penetapan putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga tidak perlu

didahului dengan pencabutan izin usaha bank oleh Bank Indonesia dan pembubaran

badan hukum bank oleh RUPS mengingat dalam kepailitan selalu diupayakan

terwujudnya perdamaian yang merupakan tindakan penyelamatan bank berdasarkan

kesepakatan antara Debitor dan para Kreditur (Kreditur Konkuren). Bila perdamaian

tersebut dapat diwujudkan dan setelah disahkan oleh Pengadilan Niaga maka

kepailitan diangkat (dicabut) dan bank sebagai Debitor dapat kembali berbisnis

seperti biasa. Namun, jika perdamaian tidak terwujud maka harta pailit Bank

195
Pasal 37 ayat (2) dan (3), Ibid.
196
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”,
Op.cit., hal. 10.

92
dinyatakan berada dalam keadaan insolvensi dan Kurator mulai membereskan dengan

menjual harta pailit tanpa memerlukan persetujuan Debitor.197

Setelah ada kejelasan ukuran bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan

kewenangannya atas Bank sebagai Debitor, selanjutnya diperlukan juga kejelasan

ukuran atas ‘jumlah Kreditur’ dan ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa agar dapat diajukan

permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga maka jumlah kreditur yang

dimiliki debitor minimal dua. Bagi Bank sebagai Debitor terlalu riskan diberlakukan

kriteria kepemilikan minimal dua Kreditur tersebut. Suatu hal yang tidak wajar bagi

Bank sebagai Debitor jika hanya karena dengan memiliki minimal dua Kreditur dan

tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

menjadi dapat dipailitkan oleh Pengadilan Niaga, mengingat ketidakwajaran ini

berbeda dengan perusahaan pada umumnya, dimana bank memiliki banyak Kreditur.

Kepentingan seluruh Kreditur sudah sewajarnya menjadi pertimbangan bukan hanya

sekedar kepentingan dua atau tiga Kreditur saja. Selain kepentingan para Kreditur

Bank, maka kepentingan para nasabah Debitor dan nasabah pengguna jasa Bank juga

perlu menjadi pertimbangan.198

Dengan kata lain, implikasi kepailitan bagi kepercayaan masyarakat terhadap

industri perbankan perlu mendapat perhatian dalam mempailitkan bank. Oleh karena

197
Ibid.
198
Daniel Djoko Tarliman, et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia Dalam
Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary Hasil Penelitian : Kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan Bank Indonesia, 2004), hal. 35.

93
itu, adalah suatu pengaturan yang tepat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa atas Bank

sebagai Debitor permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank

Indonesia. Dalam pelaksanaan kepailitan, Bank Indonesia sudah seharusnya

mengabaikan ukuran kepemilikan minimal dua Kreditur tersebut.199

Selanjutnya, untuk menghindari kesan bahwa mudah untuk mempailitkan

Debitor maka ukuran nilai atas ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’ juga

perlu menjadi pertimbangan. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menetapkan besarnya nilai utang

Debitor sebagai dasar untuk melaksanakan kepailitan. Artinya, berapapun nilai utang

Debitor kepailitan tetap dapat dilaksanakan asal utang tersebut tidak dibayar pada saat

jatuh tempo. Bagi Bank sebagai Debitor, ukuran nilai utang menjadi penting karena

kaitannya dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Bila nilai

utang Bank hanya relatif sedikit maka adalah suatu tindakan yang keliru untuk

mempailitkan Bank, mempertimbangkan dampak kepailitan itu bagi pemeliharaan

kepercayaan masyarakat. Pihak yang menentukan ukuran nilai utang tersebut adalah

Bank Indonesia sendiri sejalan dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

kepadanya sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit atas Bank sebagai Debitor. 200

199
Ibid.
200
Direktorat Hukum Bank Indonesia, Op.cit., hal. 11.

94
B. Jaring Pengaman Sistem Keuangan Sebagai Kebijakan Dalam
Kepailitan Bank

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang

melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian

fasilitas pembiayaan darurat oleh Bank Sentral (lender of last resort), serta kebijakan

penyelesaian krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis,

namun demikian kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis

sehingga tidak menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian. Dengan

demikian, sasaran JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor

keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap

pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.201

Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka

Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah

Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam

kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab

lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada

prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-

undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis.

Bank Indonesia sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas

moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem

201
Bagian Menimbang huruf a., Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907.

95
pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk

menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.202

Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang

JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK

kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang

ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan.

Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1)

pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim

asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang

efektif. 203

1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang Efektif

Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif merupakan jarring pengaman

pertama dalam JPSK (First Line of Defense). Mengingat pentingnya fungsi

pengawasan dan pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan

guiding principles bahwa pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar

keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas

sistem keuangan, serta harus berpedoman kepada best practices dan standar yang

berlaku. 204

202
Bank Indonesia, “Jaring Pengaman Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+Krisis/Jaring+Penga
man+Sistem+Keuangan/., diakses pada 15 Mei 2011.
203
Ibid.
204
Ibid.

96
2. Lender of Last Resort

Kebijakan Lender of Last Resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu

alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, Bank

Indonesia telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan The Lender of Last Resort

(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis)

mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal

hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid

dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi

dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap mensyaratkan

solvensi dan agunan.205

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank

Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan

darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah

berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2004 yang telah

disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender

of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.

136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No. 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 206

205
Ibid.
206
Ibid.

97
3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang Memadai

Pengalaman menunjukkan bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.

Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan akibat krisis

sejak tahun 1998 memang telah berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat

terhadap sektor perbankan. Namun penelitian menunjukkan bahwa blanket guarantee

tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan krisis dalam

jangka panjang.207

Sejalan dengan itu, telah diberlakukan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam ketentuan tersebut, LPS nantinya

memiliki dua tanggung jawab pokok yakni: (i) untuk menjamin simpanan nasabah

bank; dan (ii) untuk menangani (resolusi) bank bermasalah. Untuk menghindari

dampak negatif terhadap stabilitas keuangan, penerapan skim LPS tersebut akan

dilakukan secara bertahap. Selanjutnya, jaminan simpanan nasabah bank akan

dibatasi sampai dengan Rp100 juta per rekening mulai Maret 2007. 208

4. Kebijakan Resolusi Krisis yang Efektif

Kebijakan penyelesaian krisis yang efektif dituangkan dalam kerangka

kebijakan JPSK agar krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban

yang berat bagi perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan

masing-masing otoritas dalam penanganan dan penyelesaian krisis, sehingga setiap

207
Ibid.
208
Ibid.

98
lembaga memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian,

krisis dapat ditangani secara efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan

biaya ekonomi yang tinggi. 209

Dalam pelaksanaannya, JPSK memerlukan koordinasi yang efektif antar

otoritas terkait. Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri

Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS). Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah

dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan

Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai

wadah koordinasi bagi Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan Lembaga

Penjamin Simpanan dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.210

C. Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Mengembalikan Dana


Nasabah pada Bank yang Pailit

Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting

dalam perekonomian suatu negara. Krisis pada 1997-1998 telah memberi pelajaran

yang berharga bahwa kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan itu

sangat mahal harganya. Berawal dari penutupan 16 bank umum, krisis menimbulkan

keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keamanan menempatkan

dananya pada sistem perbankan.211 Ketidakpercayaan tersebut kemudian mendorong

masyarakat untuk menarik simpanannya secara besar-besaran dari sistem perbankan

209
Ibid.
210
Ibid.
211
Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Sejarah Pendirian Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS)”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.

99
(bank run / Bank Rush). Dana yang ditarik nasabah tersebut sebagian dilarikan ke luar

negeri dan menyebabkan capital flight, sebagian dibelikan valuta asing, serta

sebagian dibelanjakan untuk keperluan konsumtif yang mengakibatkan tingkat inflasi

melonjak drastis. Hal itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok hingga

Rp.16.000,- terhadap US$. 212

Untuk mengatasi dampak buruk dari penarikan dana tersebut serta sebagai

upaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan,

pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban

pembayaran bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (blanket guarantee) melalui

Keppres No. 26 dan No. 193 Tahun 1998. 213 Di samping kebijakan tersebut, dalam

rangka memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank,

pemerintah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan yang seluruhnya

menelan biaya yang luar biasa besarnya.214

1. Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Kebijakan blanket guarantee telah terbukti menumbuhkan kembali

kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Akan tetapi, di sisi lain dapat

membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi

212
Lepi T. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni
1998, hal. 3.
213
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29., dan
Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185.
214
Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Peran LPS Dalam Mendukung Stabilitas
Sistem Perbankan”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=147., diakses pada 15
Mei 2011.

100
bankir atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar dikarenakan adanya

penjaminan simpanan. Dengan pertimbangan perlunya menjaga kepercayaan

masyarakat dan meminimalkan dampak negatif dari blanket guarantee, pemerintah

menetapkan untuk secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan hanya akan

memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas (limited

guarantee).215

Kebijakan tersebut dituangkan dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang

No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998, yang mengatur bahwa setiap bank wajib menjamin dana

masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana

masyarakat tersebut, pemerintah membentuk suatu Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS). Sebagai implementasinya, pada tanggal 22 September 2004 ditetapkan

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

LPS dirancang sebagai suatu unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan

(financial safety net) yang merupakan praktik terbaik di banyak negara. 216

2. Fungsi dan Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif

dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi

penjaminan diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan atas

simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk Tim Likuidasi untuk

215
Ibid.
216
Ibid.

101
membereskan aset dan kewajiban bank tersebut, sedangkan fungsi turut aktif

memelihara stabilitas sistem perbankan diwujudkan dalam bentuk upaya

menyelamatkan atau penyehatan terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistemik

maupun bank gagal yang terdampak sistemik (Bank Resolution).217

Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak

berdampak sistemik ditetapkan oleh LPS. Salah satu pertimbangannya didasarkan

pada penghitungan biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan

bank tersebut dengan membayar klaim penjaminan. Sedangkan, keputusan untuk

menyelamatkan gagal yang berdampak sistemik ditetapkan dan diserahkan oleh

Komite Koordinasi (KK) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank

Indonesia (BI), dan Ketua Dewan Komisioner. Setelah itu, LPS bertindak sebagai

pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak

sistemik. 218

Dalam upaya dalam menyelamatkan bank gagal, LPS mempunyai

kewenangan, antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang

Pemegang Saham, termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/mengalihkan

aset bank; melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS); serta mengalihkan

manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling

lama 4 tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal

217
Ibid.
218
Ibid.

102
yang berdampak sistemik. Selanjutnya, LPS harus menjual seluruh saham bank yang

diperoleh dari Penyertaan Modal Sementara (PMS) secara terbuka dan transparan.219

Mengenai pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang

dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan

tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian

kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan

(recovery rate) bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan

dapat terus dijaga. 220

D. Penanganan Dana Nasabah Bank yang Pailit

Krisis perbankan nasional telah memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa

kegagalan suatu bank pada akhirnya menjadi beban Negara. Rekapitalisasi melalui

penerbitan obligasi pada akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) secara berkepanjangan. Oleh karena itu, wajar kalau dikatakan

bahwa kegagalan sebuah bank pada akhirnya menjadi beban masyarakat. Kegagalan

sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang terukur dan rasional.

Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya suatu bank harus

diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat dilakukan

pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih terorganisir

dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan.221

219
Ibid.
220
Ibid.
221
Krisna Wijaya, Op.cit.

103
Tentunya sulit diterima oleh semua pihak kalau dalam APBN akan

dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab

itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus

juga. Bersyukurlah kalau pada akhirnya kita mempunyai Lembaga Penjaminan

Simpanan (LPS) yang telah beroperasi sejak tanggal 22 September 2005. Keberadaan

LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan

masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa

salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank

gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank. 222

Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak

sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan

berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran

dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya

apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas. Dalam menangani bank gagal yang

sistemik maupun tidak, pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah

akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada

dengan menglikuidasi, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan dicabut

ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan

masyarakat.223

Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada

perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik.

222
Ibid.
223
Ibid.

104
Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang

saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi

disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa

melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham

lama (open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam

penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya

penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan

ditangani LPS. 224

Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, diberikan

kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal

sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan

lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk

melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank

lain. Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana

“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan

penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka

waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3

tahun sejak penyelamatan dilakukan.225

Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan

aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan

224
Ibid.
225
Ibid.

105
pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh

LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap

menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama. Dari skim penanganan bank gagal

oleh LPS sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila

terjadi kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih

pasti dan terstruktur. Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang

saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan

suatu perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah.226

Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa

membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari modal,

akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka

kekurangannya akan tetap dimintakan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa

kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang handal. Pada

akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling ampuh dan

mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat

gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya. Kesan itu tidak

salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat

tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. 227

Sebagai langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu

pendekatan yang lebih komprehensif dalam rangka menumbuh-kembangkan

perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji

226
Ibid.
227
Ibid.

106
lebih lanjut. Biarkan Bank Indonesia fokus pada pengelolaan moneter dan regulator,

lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada pengawasan dan LPS dalam

penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional

yang lebih terstruktur sekaligus terukur. 228

Terkait dengan Teori Hukum ”Law and Economic Development” (Leonard J.

Theberge), yang mengatakan bahwa hukum berperan untuk pembangunan ekonomi

harus memiliki keterprediksian, stabilitas, keadilan, pendidikan & sosialisasi hukum,

dan pendidikan spesialis hukum bagi penegak hukum. Mengenai mekanisme hukum

yang harus dilalui oleh Kreditor Bank (Nasabah) untuk pengajuan klaim dana

simpanannya maka dapat dilakukan melalui :

1. Proses kepailitan itu sendiri pada saat Bank tersebut dicabut izin usahanya

oleh Bank Indonesia dengan begitu status hukumnya adalah Perseroan

Terbatas biasa, jadi dapat dimohonkan pailit agar dana Nasabah Bank dapat

kembali (dalam hal ini, dilakukan jika dana nasabah lebih dari Rp. 100 juta);

2. Bank Indonesia dengan program Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

yang menjamin dana Rp. 100 juta setiap rekening kepada Nasabah Bank;

3. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kreditor (Nasabah) dapat mengajukan

klaim pembayaran atas dana simpanannya pada lembaga tersebut jika Bank

tempat nasabah menyimpan dananya dilikuidasi.

Maksud keterprediksian disini adalah bahwa setiap Nasabah Bank tidak perlu

takut kehilangan dananya apabila Bank tempat Nasabah menyimpan uangnya

228
Ibid.

107
dilikuidasi. Dalam hal stabilitas peraturan pelaksananya adalah terkait dengan

perubahan ketentuan mengenai pengajuan klaim tersebut agar tidak berubah-ubah

dengan begitu maka Nasabah akan terbiasa dan mengerti proses birokrasi. Keadilan

menyangkut kepercayaan yang diberikan oleh Nasabah kepada Bank, dalam hal ini

jika Nasabah sudah percaya kepada Bank sebaiknya pihak pengurus Bank

mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan usaha Bank itu, bukan untuk

kepentingan pengurus atau pribadi atau golongan tertentu.

Dalam hal pendidikan hukum mengenai proses kepailitan Bank, Nasabah

harus melek terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Bank. Antara Nasabah

dan Bank juga harus mengetahui perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat,

seperti kondisi dari Bank tersebut apakah sehat atau tidak dapat diketahui melalui

Bank Indonesia. Pendidikan bagi penegak hukum adalah pengetahuan terhadap Bank,

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maupun Bank Indonesia itu sendiri. LPS

tersebut tidak lain adalah sebagai skim perlindungan terhadap Nasabah Bank.

108
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai “Analisis Yuridis Permohonan

Pernyataan Pailit Terhadap Bank dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, maka kesimpulan yang

didapat, sebagai berikut :

1. Kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan permohonan pailit terhadap

Bank adalah sebagai Bank Sentral yang mengontrol seluruh tindakan dari

Bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Bank sepenuhnya

merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas

penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh

karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia

untuk mengajukan permohonan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan

Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha

Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai peraturan

perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena Bank Indonesia memiliki

peranan yang sangat besar dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).

Lender of the Last of Resort merupakan instrumen pengawasan pada saat

krisis, dimana Bank Sentral dapat memberikan bantuan kepada Bank yang

mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. Hal ini

109
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas

bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut terjaga.

2. Masalah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam pengajuan kepailitan

Bank adalah terbukanya peluang bagi Kreditor Bank (Nasabah Bank) selain

Bank Indonesia itu sendiri dalam pengajuan pailit terhadap Bank. Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran

dan Likuidasi Bank bahwa pada saat Bank dicabut izinnya oleh Pimpinan

Bank Indonesia maka status Bank berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa

tidak dalam bentuk Bank lagi karena sudah tidak bergerak dalam sektor

perbankan. Jadi, kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat

mengajukan permohonan pailit terhadap Bank dalam likuidasi terkait

pencabutan izin oleh Bank Indonesia. Kasusnya dapat dilihat pada pengajuan

pailit Bank Global.

3. Mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh Kreditor dalam menyelesaikan

piutangnya terhadap Bank, antara lain :

a. Melalui permohonan pailit yang diajukan oleh Nasabah Bank itu sendiri

(Kreditor Bank). Pengajuan pailit ini berdasarkan Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang;

b. Melalui Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang dilakukan oleh

Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia;

110
c. Melalui mekanisme pengajuan klaim kepada Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Proses kepailitan lebih menjamin pembagian harta kekayaan debitur secara

parri passu (membagi secara proporsional harta kekayaan Debitor). Dengan

demikian setiap Kreditor memiliki kesempatan yang sama dalam hal menuntut

hak-hak mereka oleh karena pembagian harta Debitor dibagi secara

proporsional sehingga dengan demikian lebih melindungi kreditor-

kreditornya.

B. Saran

Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan hal-

hal sebagai berikut sebagai pemecahan masalah :

1. Bertolak dari kesimpulan pertama, kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai

Bank Sentral dalam hal pengajuan pailit terhadap Bank maka perlu untuk

segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sehingga

polemik yang timbul di masyarakat dapat diselesaikan khususnya di dunia

bisnis sehingga tercipta Kepastian Hukum, Kemanfaatan Hukum, dan

Keadilan Hukum. Apabila Bank Indonesia tetap berpendirian bahwa sebuah

Bank tidak dapat dipailitkan oleh karena mempunyai dampak yang sangat

besar terhadap perekonomian negara dalam hal Bank itu dipailitkan, maka

sebaiknya dalam hal kepailitan Bank diatur tersendiri di luar ketentuan

111
kepailitan seperti di Amerika Serikat dimana Bankruptcy Code mengecualikan

Bank sebagai salah satu subjek hukum kepailitan.

2. Dalam hal pengajuan pailit Bank, terbukanya peluang bagi Kreditor Lain

(Nasabah Bank) untuk mengajukan pailit maka sebaiknya apabila sebuah

badan hukum Bank tetap dijadikan sebagai salah satu subjek hukum dalam

proses kepailitan maka perlu diatur lebih detail lagi mengenai proses

kepailitan terhadap suatu Bank itu sendiri oleh karena apabila tidak diatur

secara detail untuk kedepannya tidak menutup kemungkinan masalah-masalah

mengenai kepailitan suatu Bank akan menjadi perdebatan kembali.

3. Untuk mekanisme pengajuan klaim pembayaran tidak ada masalah yang

timbul jika dana yang dijaminkan tidak lebih besar dari angka jaminan itu

sendiri. Namun, jika dana Nasabah Bank (Kreditor Bank) lebih besar dari

angka jaminan (Rp. 100 juta) itu maka proses kepailitan yang lebih menjamin

adanya Kepastian Hukum oleh karena telah ditetapkan jangka waktu hingga

adanya putusan pailit.

Demikianlah saran yang diajukan agar kiranya dapat menjadi pertimbangan di

kemudian hari, baik untuk memperkaya khasanah kepustakaan maupun untuk

penelitian lanjutan mengenai pengajuan kepailitan terhadap Bank oleh Bank

Indonesia.

112
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anisah, Siti., Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum


Kepailitan di Indonesia : Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Yogjakarta :
Total Media, 2008.

Armour, J., “The Law and Economics of Corporate Insolvency : A Review”,


Cambridge : ESRC Centre for Business Research University of Cambridge,
Maret 2001.

Arifin, Sjamsul., et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan
Kritis, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004.

Asser, Tobias M.C., Legal Aspects of Regulatory Treatment of Banks in Distress,


Washington DC : International Monetary Fund, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus., et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra


Aditya Bakti, 2001.

Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius, 2000.

Black, Henry Campbell and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard
Edition), Edisi Kesembilan, Amerika Serikat : West Group, 2009.

Blinder, Alan S., Central Banking in Theory and Practice, Cambridge : The MIT
Press, 1998.

Bragg, Steven M., Business Ratios and Formulas : A Comprehensive Guide, Second
Edition, Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010.

Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan


Ilmu Sosial Lainnya, Edisi I, Cetakan 3, Jakarta : Kencana, 2009.

113
Chand, Hari., Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur : International Law Book
Services, 1994.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi


Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, 1996.

Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan


Kebanksentralan”, Volume 2 Nomor 2, Jakarta : Bank Indonesia, Agustus
2004.

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan


Tugas Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem
Keuangan dan Jaring Pengaman Sektor Keuangan”, Jakarta : Bank Indonesia,
Maret 2009.

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan,


“Booklet Stabilitas Sistem Keuangan”, Jakarta : Bank Indonesia, 2007.

Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia,
1979.

Ernawan, Erni R., Business Ethics : Etika Bisnis, Bandung : Alfabeta, 2007.

Guitián, Manuel., Rules and Discretion in International Economic Policy, Occasional


Paper, (Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992).

Hadinoto, Soetanto., Bank Strategy on Funding and Liability Management, Jakarta :


Elex Media Komputindo, 2008.

Hanintijo, Soemitro Ronny., Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta :


Ghalia Indonesia, 1998.

114
Hanum, Habiba., “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum
Kepailitan”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007.

Hartono, Sri Redjeki., Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum
Ekonomi, Bandung : Mandarmaju, 2000.

Hartono, Siti Soemarti., Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,


Yogjakarta : Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1981.

Hawtrey, R.G., The Art of Central Banking, 2nd Edition, Amerika Serikat : Frank Cass
Publisher, 1970.

Irawan, Bagus., Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi,


Bandung : Alumni, 2007.

Ismail, Maqdir., Bank Indonesia: Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi,


Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 1997.

Judisseno, Rimsky K., Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Ceetakan Kedua,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Keraf, A. Sonny., Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta : Kanisius,


1998.

Laporan Lima Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan
AusAID, 2009).

Linnan, David K., Indonesian Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency
and Economic Nationalism, Singapura : Institute of Southeast Asian Studies
Singapore, September 1999.

M. Ralona., Kamus Istilah Ekonomi Populer, Jakarta : Gorga Media, 2006.

115
Mcleod, Ross H., Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in
Indonesia’s Development, Singapura & Australia : Heng Mui Keng Terrace
& Australian National University, 1994.

Moleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,


2004.

Nasution, Bismar., “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007).

Nurtjahjo, Hendra., et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara
(Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata
Negara), Depok : Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,


1999.

Prasetya, Rudhi., Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar


Hukum Kebangkrutan, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, 1996.

Rahardjo, Satjipto., et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia, 1995.

Rajagukguk, Erman., “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, Jilid 2,


Jakarta : Universitas Indonesia, 1995.

Saphiro, Ian., Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom
Institute, 2006.

Sastrawidjaja, Man. S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang, Bandung : Alumni, 2006.

116
Sjahdeini, Sutan Remy., Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, Jakarta :
Pustaka Utama Grafika, 2009.

Smith, Vera Constance., The Rationale of Central Banking and the Free Banking
Alternative, London : PS King and Sons, 1936.

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia,


1986.

Siregar, Mustafa., Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga


Keuangan Lainnya dengan Penelitian di Wilayah Kodya, Medan : USU, 1990.

Sitompul, Zulkarnain., Perlindungan Dana Nasabah Bank : Suatu Gagasan tentang


Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, Jakarta : Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Subhan, M. Hadi., Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,


Jakarta : Kencana, 2008.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan : USU Press., 2009.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.

Tampubolon, Pamela Romauli., “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada
Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan
Penyaluran Kredit Bank”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, 2009.

Tarliman, Daniel Djoko., et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia
Dalam Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary
Hasil Penelitian : Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan
Bank Indonesia, 2004.

117
Tarmidi, Lepi T., “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni 1998.

Timothy, Andreas., “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit


PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, Tesis : Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.

Usman, Rachmadi., Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua,


Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Desember 2003.

Velasquez, Manuel G., Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), New
Jersey : Pearson Education Inc., 2002.

Wirasasmita, HRA Rivai., et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, Bandung : Pionir Jaya,
2002.

Zafer, M.R., Jurisprudence: An Outline, Kuala Lumpur : International Law Book


Services, 1994.

ARTIKEL INTERNET

Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”,


http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/.,
diakses pada 13 Mei 2011.

--------------------., “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,


http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/
Definisi+SSK/., diakses pada 12 Mei 2011.

--------------------., “Jaring Pengaman Sistem Keuangan”,


http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajem
en+Krisis/Jaring+Pengaman+Sistem+Keuangan/., diakses pada 15 Mei 2011.

118
--------------------., “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+B
ank+Indonesia/Peran+ BI/., diakses pada 13 Mei 2011.

--------------------., ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”,


http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan
+Tugas/., diakses pada 13 Mei 2011.

--------------------., “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”,


http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+P
engawasan+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011.

Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,


http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-
antropologi.html., diakses pada 12 Mei 2011.

Faraby, Reza., ”Masalah Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terhadap


Hierarki Perundang-Undangan (Implikasi dari Kedudukan dan Peran Bank
Indonesia yang Indpenden)”,
http://stasiunhukum.wordpress.com/2009/10/22/masalah-kedudukan-
peraturan-bank-indonesia-pbi-terhadap-hierarki-perundang-undangan-
implikasi-dari-kedudukan-dan-peran-bank-indonesia-yang-independen/.,
diakses 13 Mei 2011.

Janisriwati, Sylvia., “Disertasi Sylvia Janisriwati : Kewenangan Bank Indonesia


dalam Menyatakan Pailit”, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Sylvia-
Janisriwati--Kewenangan-Bank-Indonesia-dalam-Menyatakan-Pailit-1583-
id.html., diakses pada 14 Mei 2011.

Kamus Bahasa Indonesia Online, “ W e w e n a n g ”,


http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang., diakses pada 12 Mei 2011.

-----------------------------------------------., “ M e k a n i s m e ”,
http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011.

-----------------------------------------------., “ I n t e g r a l ”,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 12 Mei 2011.

119
K, Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,
http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-
pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.

Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan, ”Cetak Biru Edukasi


Masyarakat d i B i d a n g P e r b a n k a n”,
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0906143C-163D-4A02-BC59-
C2D6C0E31AE9/903/CetakBiruEdukasiMasyarakatdiBidangKeuangan.pdf.,
diakses pada 12 Mei 2011.

Pramudya, Kelik., “Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia”, http://click-


gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html.,
diakses pada 14 Mei 2011.

Sitompul, Zulkarnain., “Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank”, Majalah


Pilars No. 28, periode 12-18 Juli 2004.

--------------------------., “Perlukah PT DI Dipailitkan”,


http://zulsitompul.wordpress.com/isu-sentral/., diakses pada 14 Mei 2011.

Sudarwanto, Barno., “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15


Desember 2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money
Lender”, http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-
indonesia-sebagai-last.html., diakses pada 13 Mei 2011.

Suwono, “Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Nasabah Bank”,


http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/19/o2.htm., diakses pada 14
Mei 2011.

Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Peran LPS Dalam Mendukung


Stabilitas Sistem Perbankan”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=147., diakses pada
15 Mei 2011.

120
-----------------------------------------------------------., “Sejarah Pendirian Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS)”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.

Wijaya, Krisna., “Penanganan Bank Gagal”,


http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada
13 Mei 2011.

Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,


http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perba
nkan_Indonesia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban


Pembayaran Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 29.

Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 185.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 Nomor 23.

Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3659.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,


Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3831.

121
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4907.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 ttg Perubahan Atas Undang-Undang No. 23


Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4443.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756.

122

You might also like