You are on page 1of 31

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe

rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
Tugas Sejarah
Makalah G30S/PKI
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklz
DISUSUN OLEH:

AYU MEILIASARI
xcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
DEDED PERMANA
GEMALA PRADIPTA M
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
ROBBY KURNIAWAN

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
Guru Pembimbing:Mastitip Sailar

rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
Sejarah
SMA NEGERI 1 PADANG
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklz
2011

xcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopa
Sekilas Info tentang PKI……

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis.
Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah
kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta
dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal
dengan peristiwa G30S/PKI.

Latar belakang sejarah

Sebelum Revolusi Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia
Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis
Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis),
yang aktif di Hindia Belanda [1]

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije
Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan
warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal
dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan
kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok
reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat
Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di
Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-
tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah"
dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para
tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di
Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda,
termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi
ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader
Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam,
keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas
orang Indonesia.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang
semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan
Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya
mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja
membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk
partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi
ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional.
Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini
dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000
orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis
politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas
pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan
rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh
utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat
Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan
Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa
terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari
pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh
tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai
front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di
antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan
Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI [3].

Peristiwa Madiun 1948

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan
Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak
yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir
Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia
terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.

Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan
dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan
suatu perebutan kekuasaan.

Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh
lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.

Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di
Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-
kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-
jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada
18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.T ujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan
negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira
TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam.
Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan
pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak
cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan
Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI.
Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali

oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir
Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu
Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis
di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti
Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk
pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai
pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30
tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota
pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-
tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali
bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai
ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI
memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September
1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh
PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai
nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai
condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar
pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi
yang tidak merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera
dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi
ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung
upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-
Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian,
kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin
pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan
PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi
konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI
menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang
kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan
Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota
partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima
dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto,
diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres
partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan
tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi
Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal.
PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang
militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan
pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu
bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap
begitu tiba.

Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5
yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer
partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD
merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".

Perkembangan PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Manipol-Usdek dan Nasakom: Struktur Konstitusi dan Ideologi Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter,

dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik

Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an.2 Untuk menggantikan pertentangan antara partai-

partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan

oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada

tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa

keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong

kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari


kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau

tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU

yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin.

Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno,

mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.

Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari

Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-

tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga

negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi

dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan

dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia

menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang

sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim

(neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud

menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang

mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.

Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli

1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-

janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan

tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta

khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali.

Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.3 Demokrasi terpimpin
dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa sejak

pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terang-

terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyan baru. Pada paruh

kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini

yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959

dan selanjutnya hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis

dalil-dalil yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan

Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa

harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru

dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya

kembali Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya

itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik

Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun

oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu

mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting.4 Pertama, Undang-

Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat,

Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf

pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik

Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-

USDEK”.

Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik.

Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang selalu

ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional diatas


kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang

dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan

kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua,

bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat

keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik

kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang

berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas Indonesia,

terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai

skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar

Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah sekarang ini.

Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi

ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari

arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi

ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling

berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan

skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-

USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau

lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka

pembangunan Indonesia.

Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh

hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK

itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua
pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu

menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub

kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi

permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari

suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka

pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.

Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat

liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik.5 Menurut Soekarno, penerapan sistim

Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk

membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya

berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai

sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah

yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang

ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan.

Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil

dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan

sebagai penyeimbang.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.

Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan

kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat
lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik

tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi

Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan

karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan

olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang

tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk

NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala

kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan

doktrin presiden.6

Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi

Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk

melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak

dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia

dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih

mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan

umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum,

dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun

1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961

semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan,

dibubarkan pula.7

Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu

partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan

Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik

pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.

PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan

intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian

progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir

periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah

17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-

komunis, PKI merupakan partai terbesar.

Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat

dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk

mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur

hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya

dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara

PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan

Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk

menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi.

Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan

ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang

ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat,

membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian

mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.


Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin

mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan

cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember

1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:8

1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila.

2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.

3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah.

4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat

jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya

seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.

5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.

6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong

politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang

membantu pemberontakan.

Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi

prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI,

NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No.

129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng

Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440

tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam

(Perti).

Tambahan…….
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak
lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM
(Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi
Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui
G 30 S/PKI akhir September 1965).

Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin


Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat
liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim
Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk
membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya
berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai
sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah
yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang
ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan.
Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil
dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan
sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan
kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat
lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik
tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi
Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan
karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan
olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang
tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk
NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala
kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan
doktrin presiden.

GERAKAN 30 S/PKI

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan
kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar belakang
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani
Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20
juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan
100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke
Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli
1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi
Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi
petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-
sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-
kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik
Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno
disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa
yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke
Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha
menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-
rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung
Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja
dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyaraka

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang
takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu
pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di
propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah
mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah
satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu ”


gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda
Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu
pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk
memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

“ Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin
mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin
menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin
menjadi boneka. ”

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah
hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk
konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-
bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal
ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa
tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan
hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa
faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan
mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari
hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak
dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal
yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili
oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal
tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad
Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist
beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan
bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen

Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang
ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang
dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa
yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita. EFERON
BATUBARA
Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut.
Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di
Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T.
McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA),
Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia,
1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F.
Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

• Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
• Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
• Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
• Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
• Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
• Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

• Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena) Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
• Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan
Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara
Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan


Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang
pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada
saat Suharto disumpah[5]:

“ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat


pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari
pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama
sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti,
yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip
Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan
negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan
daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca
Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-
baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau! ”

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet
berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-
usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan
dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah
orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti
kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim
sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-
pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu
sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga


pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di
mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-
daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-
galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-
an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan
Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Tambahan……………

1. Kondisi Politik Menjelang G 30 S/PKI


Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk
memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi
bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah
satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan
Angkatan Darat. Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi
sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI, mengambil alih tanah penduduk,
melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Untuk melancarkan kudeta, maka PKI membentuk
Biro Khusus yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman. Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-
tugas berikut.

a. Menyebarluaskan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.


b. Mengusahakan agar setiap anggota ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah
disumpah dapat membina anggota ABRI lainnya.
c. Mendata dan mencatat para anggota ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar
sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.

Memasuki tahun 1965 pertentangan antara PKI dengan Angkatan Darat semakin meningkat.
D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk
melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro Khusus PKI.

a. Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan


(konspirasi) menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.
b. Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya
menggulingkan Presiden Soekarno.
c. Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”.
d. Mengisolir komando AD dari angkatan-angkatan lain.
e. Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para
buruh dan petani yang dipersenjatai.

Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah tanggal 30 September
1965 dini hari, atau awal tanggal 1 Oktober 1965. Pada saat itu terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.
2. Seputar Penculikan Para Jenderal AD, Usaha Kudeta, dan Operasi Penumpasan
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira AD, kemudian dikenal Gerakan 30
S/PKI. Secara rinci para pimpinan TNI yang menjadi korban PKI ada 10 orang, yaitu 8 orang di
Jakarta dan 2 orang di Yogyakarta. Mereka diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.

a. Di Jakarta
1) Letjen Ahmad Yani, Men/Pangad.
2) Mayjen S.Parman, Asisten I Men/Pangad.
3) Mayjen R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.

4) Mayjen Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad.


5) Brigjen D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
6) Brigjen Sutoyo S, Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral TNI AD.
7) Lettu Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
8) Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J. Leimena.

b. Di Yogyakarta

1) Kolonel Katamso D, Komandan Korem 072 Yogyakarta.


2) Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta.

Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Akan tetapi putrinya Ade Irma Suryani tertembak
yang akhirnya meninggal tanggal 6 Oktober 1965, dan salah satu ajudannya ditangkap. Ajudan
Nasution (Lettu Pierre A. Tendean), mayat tiga jenderal, dan tiga jenderal lainnya yang masih
hidup dibawa menuju Halim. Di Halim, para jenderal yang masih hidup dibunuh secara kejam.
Sejumlah anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut.
Ketujuh mayat kemudian dimasukkan dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi di
Lubang Buaya. Untuk mengenang peristiwa yang mengerikan tersebut, di Lubang Buaya
dibangun Monumen Pancasila Sakti. Peristiwa pembunuhan juga terjadi di daerah Yogyakarta.
Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono
diculik dan dibunuh oleh kaum pemberontak di Desa Kentungan. Pagi hari sekitar jam 07.00
WIB Letkol Untung berpidato di RRI Jakarta. Dalam pidatonya, Letkol Untung mengatakan
bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk
melindungi Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan oleh suatu dewan yang
terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup yang menikmati penghasilan tinggi dan menjadi
kaki tangan CIA (Agen Rahasia Amerika).

Setelah mendengar pidato Letkol Untung di RRI, timbul kebingungan di dalam masyarakat.
Presiden Soekarno berangkat menuju Halim. Presiden mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat
Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga persatuan. Diumumkan
pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung di tangan
presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu melaksanakan tugas seharihari ditunjuk
Mayjen Pranoto. Namun, di saat yang sama, tanpa sepengetahuan presiden Mayjen Soeharto
mengangkat dirinya sebagai pimpinan AD.

3. Penumpasan G 30 S/PKI

Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana
Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengemukakan masalah penyelesaian
peristiwa G 30 S/PKI. Dalam rangka penjelasan G 30 S/PKI, presiden menetapkan kebijaksanaan
berikut.

a. Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.


b. Penyelesaian aspek militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto
c. Penyelesaian militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto

4. Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI


Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.
c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI
atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif
banyak.

Dampak sosial politik dari peristiwa G 30 S/PKI di dalam masyarakat

Pemberontakan G 30 S / PKI membawa Indonesia ke dalam kresis pemerintah dan sosial


politik. Sidang Kabinet Dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965 telah menetapakan bahwa
penyelesaian aspek politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 akan ditangani secara
langsung oleh Presiden Soekarno. Akan tetapi, pada pelaksaannya krisis politik muncul karena
rakyat melihat bahwa penyelesaian masalah G 30 S / PKI ini tidak kunjung membawa perubahan
seperti yang telah diamanatkan kepada Presiden Soekarno dalam siang Kabinet Dwikora.
Akibatnya krisis politik ini membuat rakyat khawatir akan munculnya kembali potensi teror yang
pernah dilakukan oleh PKI pada masa sebelumnya. Peristiwa pemberontakan PKI di Madiun
tahun 1948, serta pemberontakan G 30 S / PKI telah menjadi bukti serjarah kejamnya potensi
teror dan anacaman keamanan yang dapat dihindarkan oleh kekuatan PKI.

Kekhawatiran rakyat Indonesia terhadap praktek pembebasan PKI yang telah terlaksan
secara optimal makin meningkat dengan adanya kondisi ekonomi makin merosot pada masa itu.
Tingginya tingkat inflasi yang mencapai 650 %, diterapkannya kebijakan devaluasi nilai rupiah
mencapai skala 1 : 10, serta meningkatnya harga minyak dunia pada tanggal 3 Januari 1966
membuat kondisi sosial politik Indonesia mulai begejolak. Berbagai tuntutan masyarakat
terhadap pemerintah pun bermunculan.

Pemerintah Indonesiabernisiatif untuk membentuk paniatia ad hoc yang bertugas untuk


menyelidiki akibat dan kenaikan harga – harga barang, jasa, dan harga minyak dunia.
Selanjutnya, pemerintah membentuk sebuah badan yuang dinamakan Fact Finding

Commission KOTI. Anggotanya terdiri atas parapemimpin atau tokoh partai polotik dan pejabat
– pejabat pemerintah. Tugas badan ini adalah mengumpulkan segala data, keterangan, dan fakta
mengenai peristiwa G 30 S /PKI di berbagai daerah di Indonesia. Badan ini bekerja selama
sekitar 1 bulan dari 27 Desember 1965 sampai 6 Januari 1966. mulai survei, badan ini
menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia menginginkan agar Presiden Soekarno mengambil
tindakan yang jitu untuk menyelesaikan permasalahan G 30 S / PKI dan ekses – ekses politiknya.
Hasil kerja badan ini disampaikan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari 1966.

Tri Tuntutan Rakyat ( TRITURA ) - 10 Januari 1966


Pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30 September 1965
telah menimbulkan krisis kepemimpinan nasional yang berdampak buruk terhadap segala aspek
kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya gelombang
ketidakpercayaan masyarakat, terutama gerakan-gerakan mahasiswa terhadap kebijakan-
kebijakan yang dilaksanakan Presiden Ir. Sukarno dalam menangani persoalan-persoalan politik,
keamanan dan ekonomi pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia).
Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah membuat kebijakan mendevaluasikan rupiah dan
menaikkan harga minyak bumi. Kebijakan tersebut menyulut demontrasi besar-besaran
dikalangan mahasiswa. Pada tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa melancarkan tuntutan yang
dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) meliputi:

1.Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI);


2.Retooling Kabinet;
3.Penurunan Harga/Perbaikan Ekonomi.

Tuntutan mahasiswa mendapat sambutan positif dari Team Pelaksana Musyawarah Exponen
Angkatan ’45. Berita Antara 14 Januari 1966 memberitakan bahwa Team tersebut telah
mengemukakan pandangannya, bahwa tuntutan para mahasiswa akhir-akhir ini melalui
demonstrasi-demonstrasi perlu mendapat sambutan baik atas dasar factor-faktor obyektif serta
situasi kongrit dewasa ini. Tuntutan mahasiswa yang tercermin dalam demonstrasi terus-menerus
setiap hari dan dipimpin oleh Kesatuan Aksi Mahsiswa Indonesia (KAMI) berpokok pada soal
pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, retooling Kabinet Dwikora dan penurunan kenaikan tarif-
harga.

Mengenai tuntutan melakukan retooling cabinet yang sekarang ini, Musyawarah Exponen
Angkatan ’45 dalam pernyataan tersebut yang telah diedarkan menyatakan dukungannya.
Musyawarah Exponen Angkatan ’45 juga menandaskan hendak membantu Wakil Perdana
Menteri III, Chaerul Saleh, salah seorang tokoh angkatan ’45, untuk mengadakan konsultasi atas
dasar musjawarah dan mufakat dengan segenap pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu
diingatkan pentingnya mempertahankan gotong royong dan persatuan progresif revolusioner
guna mengatasi situasi tanah air dari ancaman G-30-S/PKI, terutama di bidang ekonomi.

Dalam menunjukkan keinginan membantu Wakil Perdana Menteri III untuk mengadakan
konsultasi dengan segenap pihak yang bersangkutan, Musyawarah Exponen Angkatan ’45
menyarankan agar kebijakan ekonomi menekankan pada pendekatan produksi dalam rangka
memberantas inflasi. Gaji pegawai, buruh dan prajurit setiap bulan minimal harus berada di atas
kebutuhan fisik minimum keluarga mereka. Dikemukakan selanjutnya bahwa sementara
menunggu perkembangan produksi sebagai alat satu-satunya mencegah inflasi, maka kebutuhan
barang-barang pokok harus dicukupi jumlahnya dengan cara apa pun. Segenap alat distribusi
harus diawasi secara ketat hingga seluruhnya dikuasai oleh pemerintah sambil melaksanakan
Keputusan MPRS tentang pelaksanaan alat-alat distribusi yang dipegang oleh koperasi rakyat.
Pernyataan dari Musyawarah Exponen Angkatan ’45 ditandatangani oleh Mayor Jenderal
Djamin Gintings, Brigadir Jenderal Djuhartono, Brigadir Jenderal Pol. Sujono, SH, Letnan
Kolonel Chandra Hasan, Letnan Kolonel Dominggus Nanlohy, Drosek Zakaria Raib, Alizar
Thaib, Ishak Djanggawirana, Armansyah, Herman Wanggamihardja, Ismael Agung Witono dan
Soekandja.
Masih terkait dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), di Bandung hari kamis tanggal 13 Januari
1966 terjadi demonstrasi yang diikuti kurang lebih 2.000 mahasiswa dan pelajar untuk menuntut
penurunan harga dan pembubaran PKI. Awalnya demonstrasi tersebut nyaris tidak terkendali,
akhirnya pihak keamanan dapat membubarkan demonstrasi mahasiswa dan pelajar itu. Dalam
demonstrasi tersebut mahasiswa dan pelajar meneriakan yel-yel “turunkan harga”, “kita tidak
perlu monumen-monumen lagi”, “kita perlu industri”, “hancurkan gestapu”, “bubarkan PKI”.

Dalam kesempatan itu, Walikota Priatnakusumah tidak bisa menyampaikan pendiriannya


sewaktu menghadapi demonstrasi tersebut, karena setiap ia akan berbicara, teriakan “kita bosan
dengan pidato” menyebabkan pidato Walikota Priatnakusumah tidak terdengar sampai jauh,
karena kabel pengeras suara yang digunakan Walikota berbicara, diputuskan orang.

Kurang lebih tiga jam mahasiswa-mahasiswa dan pelajar-pelajar Bandung berdemonstrasi di


halaman kotapraja. Mereka dikoordinasi oleh KAMI, dan dalam kesempatan itu seorang
pimpinannya membacakan petisi dan resolusi yang akan mereka sampaikan pula kepada
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Dijelaskan dalam petisi dan resolusi tersebut
bahwa tuntutan para mahasiswa dan pelajar Bandung ini adalah mengingat penderitaan rakyat
dewasa ini. Disebutkan pula bahwa mahasiswa dan pelajar Bandung solider dengan aksi yang
telah dilaksanakan mahasiswa-mahasiswa Ibukota baru-baru ini di Jakarta dalam membela
kepentingan rakyat.

Menindaklanjuti demonstrasi mahasiswa yang semakin gencar di berbagai daerah Presidium


Pusat KAMI telah menginstruksikan mahasiswa Indonesia khususnya yang berada di Jakarta dan
yang bernaung di bawah panji KAMI untuk mempertinggi kewaspadaan dan jangan bertindak
sendiri-sendiri. Instruksi itu diberikan berhubung dengan terjadinya insiden antara unsur-unsur
Front Marhaenis (Ali-Surachman) dengan mahasiswa-mahasiswa dari kalangan KAMI ketika
mereka sedang mendengar amanat Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di Istana
Merdeka. Insiden Istana Merdeka ini telah membawa korban, beberapa orang mahasiswi
terpaksa diangkut ke rumah sakit karena terluka.

Kepada pimpinan organisasi-organisasi mahasiswa seperti PMII, PMKRI, GMKI, GMNI,


IMADA, HMI, SEMMI, GERMAHII, MAPANTJAS, PELMASI, GMD, IMABA, CSB, GMS,
GMRI, KAMI Universitas-Universitas, KAMI Akademi-Akademi, Dewan-Dewan Mahasiswa
dan seluruh rakyat Indonesia diserukan oleh Presidium Pusat KAMI agar tetap siaga menghadapi
kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kasar seperti yang terjadi pada demonstrasi
mahasiswa sebelumnya. Diserukan agar mahasiswa itu merapatkan barisan dan menyelamatkan
revolusi Indonesia di bawah komando Presiden Sukarno dari rongrongan “nekolim” dan antek-
antek “gestapu”/PKI.

Ketua Umum Presidium Pusat KAMI, Cosmas Batubara, dalam penjelasannya mengenai insiden
di Istana Merdeka menerangkan antara lain bahwa beberapa rombongan mahasiswa yang
tergabung dalam KAMI ketika sedang khidmatnya mendengarkan amanat Presiden Sukarno
“telah dicegat dan dan diprovokasi dan akhirnya dikeroyok oleh segerombolan orang-orang yang
bertindak liar dan mata gelap”. Terjadinya insiden tertsebut yang menurut Cosmas Batubara
telah ditimbulkan oleh golongan Front Marhaenis yang menurut keyakinannya disusupi oleh
anasir-anasir CGMI, telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Menurut pendapat anggota
pimpinan KAMI tersebut, tindakan liar yang mengakibatkan terjadinya insiden tersebut telah
menodai barisan Sukarno yang dikomandokan oleh Pemimpin Besar Revolusi untuk
mempersatukan segenap kekuatan rakyat yang progresif revolusioner dalam menghancurkan
nekolim dan “Gestapu”/PKI.

Dalam hubungan ini, pada tanggal 21 Januari 1966 ketua KAMI Pusat tersebut menginstruksikan
kepada segenap mahasiswa yang tergabung dalam KAMI Pusat di seluruh kota-kota Universitas
dan perguruan tinggi di Indonesia harus bersikap sebagai berikut:

1. Tetap merapatkan barisan perjuangan mahasiswa, tetap berdiri di belakang Pemimpin


Besar Revolusi Bung Karno;

2. Menggalang kekompakan kesatuan segenap potensi mahasiswa dengan semangat rela


berkorban, berdisiplin, serta ikhlas mengabdi menjadi satu front yang bisa diuji
kemampuannya oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;

3. Terus meningkatkan penghayatan tritunggal Bung Karno-Rakyat-ABRI dalam satu


front demi kepentingan rakyat, nusa dan bangsa menghadapi rongrongan nekolim dan
unsur-unsur Gestapu/PKI;

4. Mendaftarkan dengan segera pada barisan pendukung Bung Karno pada Gabungan V
KOTI untuk tingkat pusat dan Pepelrada setempat untuk tingkat daerah;

5. Tetap waspada akan usaha pecah belah, intrik, adu-domba serta pancingan-pancingan
dari pihak nekolim ataupun antek-antek Gestapu/PKI.

Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Sukarno mengumumkan reshuffle cabinet. Dalam
kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa
meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan
menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Cakrabirawa, Pasukan
Pengawal Presiden Sukarno, seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim Gugur. Pada tanggal 25
Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa
untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Akhirnya, Tujuan dari Tri Tuntutan Rakyat dapat terwujud dengan keluarnya Surat Perintah 11
Maret 1966 (Supersemar) yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Suharto untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya. Selain itu, Supersemar juga
mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud
kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak
terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi
keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara


para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan
Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak
dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel,
ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang
melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat
emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan
ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal
sejak saat itu diterapkan.

You might also like