You are on page 1of 13

Hukum administrasi negara - OTONOMI DAERAH

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat strategis dalam lalu lintas

ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan

penduduknya yang lumayan besar 13.677 pulau bukanlah suatu daerah yang ringan untuk

ditangani ditambah lagi macam ragam budaya yang beraneka. Oleh karena itu perlu

kiranya suatu sistem pengorganisasian yang sistematik dalam pengaturan wilayah-

wilayah dalam ruang lingkup negara kesatuan Republik Indonesia .

Hukum administrasi negara merupakan hukum secara khusus mengenai seluk

beluk daripada administrasi negara. Untuk sebagian hukum administrasi negara

merupakan pembatasan terhadap pembebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi

mereka yang harus taat kepada pemerintah, akan tetapi untuk sebagian besar hukum

administrasi mengandung arti pula bahwa mereka yang taat kepada pemerintah menjadi

dibebani berbagai kewajiban tugas bagaimana dan sampai dimana batasnya dan

berhubung itu berarti juga bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.

Sejalan dengan perkembangan zaman hukum administrasi negara yang berfungsi

mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat dan

mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian

administrasi negara tersebut tidak lagi dapat memenuhi keinginan rakyat dimana dalam

administrasi negara eksekutiflah yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam


penyelenggaraan pemerintah administrasi negara. Dalam kehidupan kenegaraan peran

pihak eksekutif dengan seluruh jenjang dan biro kratisasinya sangat-sangat besar,

sedemikian besarnya sehingga ada kalanya administrasi negara diidentikkan dengan

administrasi pemerintah negara.

Di era reformasi ini hukum administrasi negara diharapkan benar-benar dapat

memenuhi keinginan rakyat. Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik

Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah disamping harus menekankan pada

prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, potensi dan keanekaragaman

daerah seyogyanya disertai pula dengan berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan

yang baik.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu meliputi:

1. Asas kejujuran

2. Asas kecermatan

3. Asas kemurnian dalam tujuan

4. Asas keseimbangan

5. Asas kepastian hukum

Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah

dalam penyelenggaraan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional

yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai

dengan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan

sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas

pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas

dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada

undang-undang nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara

dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU

no. 32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung

otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu

menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU no. 25 tahun

1999.

1.2. Perumusan Masalah

Terkait dengan pengelolaan program dan proyek pembangunan yang ada di

daerah, maka prinsip-prinsip demokrasi mendorong peran serta masyarakat dan

transparansi serta mengedepankan pemerataan dan keadilan dalam melaksanakan

otonomi daerah menjadi sangat strategis. Artinya, peran masyarakat di daerah menjadi

faktor utama di dalam proses pembangunan karena lebih banyak berfungsi sebagai

“subyek” ketimbang sebagai “obyek”.

Banyak program dan proyek yang ada di daerah dengan biaya yang sangat besar

dirumuskan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pusat sedangkan daerah hanya sekedar
dilihat sebagai tempat (lokasi) dari proyek tersebut sehingga daerah tidak diberi

kesempatan untuk mengolah sendiri sumber daya yang ada di daerah tersebut.

Dengan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong masyarakat daerah

berperan aktif dalam pemanfaatan sumber daya yang ada serta pengontrol bagi pejabat

daerah dalam mengatur proyek pembangunan daerah.

Godaan untuk melakukan sentralisasi dengan asumsi bahwa daerah mempunyai

kemampuan yang terbatas sehingga pemusatan kekuasaan merupakan satu-satunya jalan

pengamanan terbaik perlu segera dihindari. Apalagi jika pembangunan diartikan sekedar

sebagai redistribusi kekuasaan dan sumber daya dan mengasumsikan bahwa hanya

otoritas yang mempunyai landasan luaslah yang mampu melaksanakan perubahan dengan

hasil baik.

Sehingga dapat kita rumuskan dari uraian diatas adalah: “sejauh mana

kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide-ide praktis dari pejabat daerah untuk

mencapai administratif dan ekonomis dalam pelaksanaan otonomi daerah.

1.3. Kerangka Teori

Hal – hal yang akan kita bahas meliputi beberapa hal yaitu, meliputi:

1. Kesiapan daerah dalam menghadapi era otonomi

2. Ketimpangan yang harus dihadapi pada era otonomi

3. Upaya pejabat daerah dalam menghadapi ketimpangan yang terjadi


4. Kemampuan pejabat daerah dalam mengatur perimbangan keuangan daerah

dengan keuangan pusat

PEMBAHASAN

2.1. Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Era Otonomi

Sebelumnya otonomi daerah telah dipraktikkan sejak dekade 50-an. Namun pada waktu

itu tujuan politis dari desentralisasi lebih diutamakan dibandingkan dengan tujuan

administratif atau ekonomi misalnya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pejabat

daerah pada waktu itu kurang mempunyai kemampuan (skill) untuk mencapai tujuan-

tujuan administratif dan ekonomis dari keberadaan pemerintah tersebut. Jadi otonomi

dimaksudkan oleh pusat sebagai strategi untuk mengikat daerah agar tidak menunjukkan

resistensi untuk keluar dari negara kesatuan RI.

Wujud dari kesiapan daerah dalam menghadapi era otonomi adalah

1. Kemampuan dalam menggali PAD guna memenuhi kebutuhan sendiri.

2. Subsidi

Pengalaman empirik selama ini menunjukkan bahwa pihak daerah cenderung bermanja

terhadap pihak pusat. Ini tampak dari besarnya peningkatan anggaran dari pusat yang

dikucurkan bagi darah. Pada tahun 1969/1970 pusat mengalokasikan dana Rp 334 miliar

bagi daerah. Sebelas tahun berikutnya jumlah itu meningkat menjadi Rp 11.634 miliar

(1980/1981) atau naik rata-rata 38 persen per tahun.


Akan tetapi kenaikan bantuan dari pusat ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pengeluaran daerahnya. Oleh karena itu daerah

harus siap dengan berbagai terobosan untuk mengatasi masalah penurunan PAD tentunya

penggalian PAD harus dilakukan dalam para digma dan rasionalitas tertentu agar tidak

justru menjadi kontraproduktif.

Kemampuan pusat untuk memberikan subsidi bagi daerah pun bukannya tak

terbatas. Karena besaran subsidi daerah otonomi selalu berfluktuasi tergantung pada

kemampuan anggaran pemerintah pusat. Ketika pemerintah mulai sulit mengucurkan

subsidi untuk daerah otonomi, seharusnya dapat diantisipasi oleh daerah.

2.2. Ketimpangan yang Harus Dihadapi Pada Era Otonomi

Artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek Finansial belaka tanpa

pemahaman substantive yang cukup terhadap hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi

boomerang baik bagi pusat maupun bagi daerah. Maka terdapat ketimpangan-

ketimpangan atau titik rawan keberhasilan implementasi kebijakan otonomi

1. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi

daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”

2. High Cost Economic dalam bentuk KKN

3. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan

4. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD

yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset,
melainkan melalui katebetje penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran

pimpinan BUMD

5. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian

berkelanjutan

6. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya

7. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan

8. Bangkitnya egosentrisme

9. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial

pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.

10. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.

2.3. Upaya Pejabat Daerah Dalam Mengatasi Ketimpangan yang Terjadi

Seperti halnya kita pernah menggebu-gebu menyongsong era globalisasi dan

liberalisasi, otonomi daerah diterima daerah dengan antusiasme serupa. Diberbagai

daerah, “daemam otonomi melanda”. Respon terhadap UU no. 22/1999 berikut petunjuk

pelaksanaannya, akan tetapi ada perbedaan pendapat terhadap otonomi daerah. Pihak

yang sumber dayanya melipah optimis terhadap adanya otonomi daerah yang minus

sumber daya pesimis dengan diterapkannya kebijakan otonomi.

Dibalik antusiasme daerah, terdapat juga anggapan yang penuh kepercayaan diri

bahwa daerah memiliki kemampuan yang tidak kalah dibandingkan pusat, tetapi fakta
menunjukkan bahwa sebagian besar SDM berkualitas yang berasal dari daerah berada di

pusat, sebab di pusat terdapat kebijakan yang dirancang dan diputuskan di pusat.

Dari hal-hal diatas muncul berbagai ketimpangan akibat otonomi di daerah. Oleh

karena itu pejabat daerah harus memiliki kemampuan yang lebih untuk mengatasinya.

Adapun upaya yang harus dilakukan pejabat daerah yaitu

1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat

dapat terdistribusi ke daerah

2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui

pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan

lainnya.

3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur

4. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat

5. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip

otonomi daerah.

Adapun prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah adalah:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah


2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung

jawab

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan

daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan

legislatif daerah

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya

sebagai daerah administrasi

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai

pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan

bertanggung jawab kepada yang menugaskan

2.4. Kemampuan Pejabat Daerah Dalam mengatur Perimbangan Keuangan Daerah

Dengan Pusat

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan

yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah. Kewenangan tersebut secara

profesional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya

nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal agama, serta
kewajiban pengembalian pinjaman pemerintah pusat.[1]

Agar pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dapat terlaksana maka pemerintah daerah perlu memperhatikan

sumber-sumber penerimaan daerah serta pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

Adapun sumber penerimaan daerah meliputi:

a. Pendapatan asli daerah

b. Dana pembangunan

c. Pinjaman daerah

d. Lain-lain penerimaan yang syah

Pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sedangkan dana perimbangan terdiri dari

bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah

dan bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, dana alokasi umum, dana alokasi

khusus.

Adapun perimbangan ditetapkan sebagai berikut:

- Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi imbang 10% untuk pemerintah

pusat dan 90% untuk pemerintah daerah.


- Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan

imbang 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah.

- 10% dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan menjadi bagian dari pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh kabupaten

dan kota.

- Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak

sesuai yang berlaku 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah.

- Penerimaan gas alam 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk pemerintah daerah.

Mengenai tentang pinjaman daerah terdapat ketentuan bahwa daerah tidak dapat

melakukan pinjaman tanpa persetujuan dari DPRD serta tidak boleh melakukan pinjaman

melampaui batas yang ditentukan dan daerah dilarang melakukan pinjaman.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Pemberian otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan baik

yang terjadi di dalam negara maupun di luar negara.

2. pemberian subsidi yang tak terbatas dari pusat mengakibatkan daerah malas dan selalu

bermanja kepada pusat sehingga terjadi penurunan pendapatan daerah.


3. artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial belaka tanpa pemahaman

substantive yang cukup terhadap hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi

boomerang baik bagi pusat maupun bagi daerah.

4. kebutuhan pembiayaan diperlukan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi

tanggung jawab pemerintah pusat.

3.2. Saran-saran

Upaya yang didapat dilakukan pejabat daerah agar dapat membangun wilayah

secara mandiri dapat dilakukan melalui beberapa alternatif optimalisasi aset dan sumber

daya yaitu penggalian pendapatan asli daerah yang dapat di peroleh dari pendapatan asli

daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah (Dana

Darurat; penerimaan lainnya).

Pemerintah pusat seyogyanya secara ketat mewajibkan daerah untuk

mensosialisasikan setiap peraturan di level daerah agar sebanyak mungkin diketahui oleh

masyarakat. Peran serta masyarakat lebih diutamakan dalam format yang demokratis.

Peningkatan kinerja pejabat daerah berdasarkan asas profesional dan integritas

yang tinggi serta diperlukannya reorientasi paradigma.


DAFTAR PUSTAKA

Indra Lesmana, “Ranjau-Ranjau Otonomi Daerah”, Pondok Edukasi, Solo, 2002.

Bachsan Mustafa, SH., “Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara”, Alumni, Bandung,


1985.

Philipus M. Hadzon, R. Sri Soemantri, Bagir Manan, “Pengantar Hukum Administrasi


Indonesia”, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, 1995.

Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagaimana


[1]
dijelaskan dalam UU No. 25 tahun 1999. (Indra Lesmana, Ranjau-ranjau Otonomi
daerah, Padat Edukasi 2003, hal 86).

Dari Catatan Sekolah

You might also like