You are on page 1of 11

ANALISA TERHADAP PERTENTANGAN ANTARA HUKUM ADAT SUKU

BETAWI TERHADAP HUKUM POSITIF NEGARA


MAKALAH
Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah
Antropologi Budaya

OLEH :
091.0611.093 Tri Candra Pamungkas
091.0611.047 Sandy Muslim
091.0611.052 Hery Purnomo
091.0611.064 Herdiany Saputri
091.0611.069 Muchammat Farchan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL


”VETERAN” JAKARTA
2009/2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari makalah ini adalah
”Makalah: Analisa Terhadap Pertentangan Antara Hukum Adat Suku Betawi Terhadap
Hukum Positif Negara”. Penulisan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu
kriteria penilaian dalam mata kuliah Antropologi Budaya semester ganjil di Universitas
Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta.
Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam
pembuatan makalah ini.
2. Bapak Drs.Subakdi, MM , selaku dosen Anropologi Budaya.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah ini,
yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Namun, makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat diperlukannya
kritik dan saran yang dapat membangun makalah ini sehingga menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata, penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang
mungkin ada didalam makalah ini.

Jakarta, Oktober 2009

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ...........ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
BAB II ASAL MULA PENGGUNAAN PETASAN DALAM UPACARA ADAT SUKU
BETAWI..............................................................................................................................2
BAB III HUKUM POSITIF INDONESIA MENGENAI PENGGUNAAN
PETASAN...........................................................................................................................4
BAB IV ANALISA TERHADAP MASALAH..................................................................5
KESIMPULAN...................................................................................................................6
PENUTUP...........................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dari adat istiadat. Hal
itu disebabkan karena nilai budaya merupaka konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada
dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga,
dan penting dalam hidup. Sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.
Walaupun niali budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum,
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu,
maka nilai-nilai budaya dalam satu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam
jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan.
Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya
yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama berakar dalam
alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam satu kebudayaan tidak dapat
diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat.

1
BAB II
ASAL MULA PENGGUNAAN PETASAN DALAM UPACARA ADAT
SUKU BETAWI

Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1740 yang menceritakan tentang


kerusuhan etnis Tionghoa di Batavia. Pada tahun ini terjadi pembantaian 10.000 orang
dari etnis Tiong Hoa yang tidak berdosa di Ommelanden, derah pinggiran atau pedalam
Batavia. Pembantaian ini dilatarbelakangi persaingan dagang. Pedagang Belanda, Inggris,
Spanyol, Portugis kalah bersaing dengan pedagang Tiong Hoa.
Sehingga mereka menghasut penduduk kota Batavia untuk membantai etnis Tiong
Hoa. Meski demikian, ada versi lain yang menyebutkan adanya keterkaitan dengan
kerawanan sosial. Karena banyaknya penduduk Tiong Hoa yang menjadi pengangguran.
Dengan alasan inilah pemerintah Belanda mebantai mereka.
Tidak jelas memang motif yang melatarbelakangi pembantaian etnis Tiong Hoa
tahun 1740. Tapi, satu hal yang jelas, etnis Tiong Hoa sangat ketakutan setelah peristiwa
pembantaian itu. Mereka melarikan diri ke daerah-daerah pinggiran di Batavia seperti,
Tanggerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga, dan Balaraja,
masyarakat Tiong Hoa berbaur dengan masyarakat suku Betawi. Mereka lantas disebut
Cina Benteng. Mereka ini ternyata membawa terus adat kebiasaan mereka seperti
menyalakan petasan menjelang perayaan Peh Cun atau perayaan tradisi Cina lainnya.
Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang
betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Arti simbolis
petasan adalah sebagai alat untuk berkomunikasi, pada jaman dahulu jarak antara rumah
satu dengan rumah yang lain saling berjauhan. Untuk memberitahu bahwa ada pesta
pernikahan atau khitanan, orang-orang menyalakan petasan.
Selain itu, petasan juga dipakai sebagai sarana untuk memberitahu para undangan
dan khalayak ramai bahwa pesta segera dimulai, dan juga banyaknya petasan yang
dibunyikan pada saat mengadakan sebuah pesta menandakan status sosial orang tersebut.
Kebudayan Betawi tidak statis, tetapi dinamis dan berkembang sepanjang waktu.
2
Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi
bagian dari tradisi.
Makna petasan dari waktu ke waktu terus mengalami sekularisasi. Pada kebudayaan Cina
ada unsur mistisnya yaitu mengusir roh-roh jahat, dan pada kebudayaan Betawi
berkembang menjadi sarana komunikasi.

3
BAB III
HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP PENGGUNAAN
PETASAN

Petasan adalah salah satu bahan peledak kimia berdaya ledak rendah (low
explosive). Bahan peledak ini berdaya ledak rendah dan punya kecepatan detonasi antara
400-800 meter per detik. Bandingkan dengan bahan peledak berdaya kuat (high
explosive) yang punya kecepatan detonasi antara 1.000-8.500 meter per detik.
Masalah petasan telah dilarang pemerintah. UU Darurat No 12 Tahun 1951, dan Pasal
187 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengancam orang-orang yang
melanggar seperti membuat, menjual, menyimpan, mengangkut petasan yang tidak sesuai
standar. Dapat dikenakan sanksi kurungan maksimal 12 tahun.

4
BAB IV
ANALISA TERHADAP MASALAH

Petasan dalam upacara adat betawi digunakan pada saat-saat tertentu, misalnya
pada upacara perkawinan dan khitanan. Petasan tersebut memiliki arti simbolis sebagai
alat berkomunikasi. Dimana petasan dibunyikan sebagai tanda bahwa, upacara adat akan
segera dimulai dan juga memberi tahu masyarakat banyak bahwa ada sebuah pesta
perkawinan atau khitanan yang diadakan oleh sebuah keluarga betawi. Pada masa lalu
jarak antar rumah satu dengan rumah yang lain berjauhan. Sehingga masyarakat betawi
menggunakan petasan sebagai alat komunikasi yang cepat. Banyaknya petasan yang
dibunyikan dalam sebuah pesta juga menunjukkan status sosial seseorang didalam
masyarakat betawi.
Menurut analisa kami, penggunaan petasan dalam upacara adat masyarakat betawi
dapat diperbolehkan. Selama penggunaannya sesuai dengan aturan yang berlaku dalam
hukum adat betawi dan tidak disalahgunakan sehingga membahayakan orang lain.
Apabila penggunaannya disalahgunakan, maka pelaku dapat dijerat hukum yang berlaku
di negara Republik Indonesia.
Peran masyarakat pada umumnya juga diharapkan dapat turut mengontrol
peredaran petasan. Sehingga petasan itu tidak disalahgunakan. Pada dasarnya nilai-nilai
budaya dalam sebuah masyarakat adat, tidak dapat dengan mudah dihapuskan. Sebab
nilai budaya itu telah ditanamkan sejak kecil, dari satu generasi ke generasi yang lain.

5
KESIMPULAN

6
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan manfaat, khususnya untuk kami sebagai penulis dan kita semua pada
umumnya. Namun makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk itu dibutuhkan
kritik serta saran yang dapat membangun makalah ini sehingga dapat lebih baik lagi di
kemudian hari. Akhir kata, kami memohon maaf atas kesalahan yang mungkin terdapat
dalam makalah ini.

7
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta: hal. 153
http://www.kampungbetawi.com/sohibul.php

You might also like