You are on page 1of 25

PATOLOGI MANUSIA

“ANEMIA & LEUKEMIA”

Oleh

Rizkia Dara Febrina


1B

P2 31 31010093

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta II

JURUSAN GIZI

1
A. ANEMIA

a. Pengertian

Anemia adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah

hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di

bawah normal.

Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan

keadaan suatu penyakit atau akibat gangguan fungsi tubuh. Anemia

menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin

dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen

dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh .

b. Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau

kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan

sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor

atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah

dapat hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat

akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah

merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik

atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil

samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap

kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan

peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5

mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).

2
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi,

(pada kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma

(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas

haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk

mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan

kedalam urin (hemoglobinuria). Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia

pada pasien disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel

darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1.

hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah

merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang

terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan

hemoglobinemia.

Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung

3
c. Klasifikasi Anemia

Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:

1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah

merah disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:

a) Anemia aplastik

Penyebab:

 agen neoplastik/sitoplastik

 terapi radiasi

 antibiotic tertentu

 obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason

 benzene

 infeksi virus (khususnya hepatitis)

Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang

Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)

Hambatan humoral/seluler

Gangguan sel induk di sumsum tulang

Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai

Pansitopenia

Anemia aplastik

4
Gejala-gejala:

 Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)

 Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan

saluran cerna, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan

saraf pusat.

 Morfologis: anemia normositik normokromik

b) Anemia pada penyakit ginjal

Gejala-gejala:

 Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl

 Hematokrit turun 20-30%

 Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi

 Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah

merah maupun defisiensi eritopoitin

c) Anemia pada penyakit kronis

Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan

anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan

ukuran dan warna yang normal). Kelainan ini meliputi artristis

rematoid, abses paru, osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai

keganasan

d) Anemia Defisiensi Besi

Penyebab:

o Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil,

menstruasi

o Gangguan absorbsi (post gastrektomi)

5
o Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis,

varises oesophagus, hemoroid, dll.)

gangguan eritropoesis

Absorbsi besi dari usus kurang

sel darah merah sedikit (jumlah kurang) sel darah merah miskin hemoglobin

Anemia defisiensi besi

Gejala-gejalanya:

 Atropi papilla lidah

 Lidah pucat, merah, meradang

 Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut

 Morfologi: anemia mikrositik hipokromik

e) Anemia megaloblastik

Penyebab:

 Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat

 Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st

gastrektomi) infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen

kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang

terinfeksi, pecandu alkohol.

6
Sintesis DNA terganggu

Gangguan maturasi inti sel darah merah

Megaloblas (eritroblas yang besar)

Eritrosit immatur dan hipofungsi

2. Anemia hemolitika

Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah

merah disebabkan oleh destruksi sel darah merah:

- Pengaruh obat-obatan tertentu

- Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia

limfositik kronik

- Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase

- Proses autoimun

- Reaksi transfusi

- Malaria

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit



Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

7
d. Tanda dan Gejala

 Lemah, letih, lesu dan lelah

 Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang

 Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan

menjadi pucat.

e. Diagnosa

 Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih,

kadar Fe, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12,

hitung trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin, dan waktu

tromboplastin parsial.

 Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity

serum

 Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan

kronis serta sumber kehilangan darah kronis.

f. Terapi

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan

mengganti darah yang hilang:

1) Anemia aplastik:

 Transplantasi sumsum tulang

 Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)

2) Anemia pada penyakit ginjal

 Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam

folat

 Ketersediaan eritropoetin rekombinan

8
3) Anemia pada penyakit kronis

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan

penanganan untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan

yang mendasarinya, besi sumsum tulang dipergunakan untuk membuat

darah, sehingga Hb meningkat.

4) Anemia pada defisiensi besi

 Dicari penyebab defisiensi besi

 Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan

fumarat ferosus.

5) Anemia megaloblastik

 Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila

difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya

faktor intrinsik dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM.

 Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus

diteruskan selama hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa

atau malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi.

 Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan

penambahan asam folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan

gangguan absorbsi.

9
B. LEUKEMIA

a. Definisi

Leukemia adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan

jaringan getah bening. Semua kanker bermula di sel, yang membuat darah dan

jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh dan membelah diri untuk

membentuk sel-sel baru yang dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin tua, sel-

sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikannya.

Tapi, terkadang proses yang teratur ini berjalan menyimpang, Sel-sel

baru ini terbentuk meski tubuh tidak membutuhkannya, dan sel-sel lama tidak

mati seperti seharusnya. Kejanggalan ini disebut leukemia, di mana sumsum

tulang menghasilkan sel-sel darah putih abnormal yang akhirnya mendesak

sel-sel lain.

Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit neoplasma yang

dihasilkan mutasi somatik pada sel progenitor limfoid tunggal pada satu dari

beberapa tingkatan perkembangan. LLA merupakan penyakit keganasan yang

berasal dari progenitor limfosit B atau limfosit T tunggal yang proliferasi dan

akumulasi sel - sel blastnya di sum-sum tulang menyebabkan supresi

hematopoesis yaitu anemia, trombositopenia dan neutropenia. Lebih dari 80

% kasus sel - sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan

leukemia sel T. Akumulasi ekstramedular limfoblast dapat terjadi di berbagai

tempat, terutama meninges, gonad, timus, liver, limpa ataupun limfonodi. 4,5

b. Etiologi

10
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun predisposisi genetik

maupun faktor - faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan.

Dokterpun tidak selalu bisa menjelaskan mengapa ada orang yang mengidap

leukemia sedangkan orang lain terhindar dari penyakit itu. Namun, kita tahu

bahwa orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih besar

kemungkinannya terkena leukemia.

Penelitian menemukan bahwa orang yang terpapar radiasi sangat tinggi

dan zat kimia industri (misalnya benzena dan formaldehida) memiliki tingkat

risiko leukemia yang lebih besar.

Jarang ditemukan leukimia familial, tetapi kelihatannya terdapat insidensi

leukimia lebih tinggi dari saudara kandung anak - anak yang terserang, dengan

insidensi meningkat sampai 20 % pada anak kembar monozigot (identik).

Individu dengan sindrom down, mempunyai insiden leukimia yang meningkat

dua puluh kali lipat.

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca

natal. Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan

maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan

risiko leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga

menunjukkan hubungan yang signifikan. Radiasi dosis tinggi merupakan

leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan

bom atom. Meskipun demikian, paparan radiasi dosis tinggi in utero tidak

mengarah pada peningkatan insiden leukemia, demikan juga halnya dengan

radiasi dosis rendah. Namun hal ini masih merupakan perdebatan.

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak -

anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan

11
Greaves (Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi

pada sistem imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua

selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap

infeksi pada umumnya.

Beberapa kondisi perinatal merupakan risiko terjadinya leukemia pada

anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius (1995). Faktor-faktor

tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen,

asfiksia, berat badan lahir > 4500 gram dan hipertensi saat hamil. Sedangkan

Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol

meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA. 5

c. Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal

mula ”gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan

morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia

terhadap sel normal. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari

sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah

populasi sel yang dapat terdeteksi. Walaupun penyebab dari leukemia pada

manusia belum diketahui secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses

leukemogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya

(agent) mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA dan

kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu

seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini

menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang

mengakibatkan terbentuknya gugus (clone) abnormal.

12
Penelitian yang dilakukan pada leukimia limfoblastik akut menunjukan

bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan

sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi leukimia itu

berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi

LLA secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik,

sebagai berikut : 7,8

 L-1 terdiri dari sel-sel limpoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak

inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

Gambar 1. ALL tipe L1

 L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

Gambar 2. ALL tipe L2

13
 L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,

banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.

Gambar 3. ALL tipe L3

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin

banyak serta akibat infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh akan

menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi fisiologi

tubuh. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada

patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat

sedikit diketahui. Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya

diakibatkan penekanan sum - sum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi

dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh

pasien. 5,6

d. Manifestasi Klinis

Gejala yang khas adalah pucat, panas dan perdarahan disertai

splenomegali dan kadang - kadang hepatomegali dan limfodenopatia. Penderita

yang menunjukan gejala klinis lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis

14
dapat didiagnosa leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada

seorang anak terdapat pucat mendadak dan sebab terjadinya sukar

diterangkan, waspadalah terhadap leukemia. Perdarahan dapat berupa

ekimosis, petikie, epistaksis, perdarah gusi dan sebagainya. Pada stadium

permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali. 2,5

Gejala yang tidak khas adalah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat

disalahtafsirkan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai

akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit,

efusi pleura, kejang pada leukimia serebral dan sebagainya.

e. Diagnosis

Gejala klinis dan

pemeriksaan darah

lengkap dapat dipakai

untuk menegakkan

diagnosis leukemia.

Namun untuk

memastikannya harus

dilakukan pemeriksaan

aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada,

cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya. Cara ini

dapat mendiagnosis sekitar 90 % kasus, sedangkan sisanya memerlukan

pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi

molekuler.

Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat anemia, kelainan jumlah

hitung jenis leukosit dan trombositopenia juga bisa terdapat eosinofilia

15
reaktif. Pada pemeriksaan apus darah tepi didapatkan sel - sel blas.

Berdasarkan protokol WK -ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta),

pasien LLA dimasukkan dalam kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit >

50.000 il, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat

(SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan

deksametason lebih dari 1000 /mm3. Massa mediastinum tampak pada

radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan

aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan

sitologi.

Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi

sumsum tulang (BMA) secara morfologis, imunofenotip dan karakter genetik.

Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi,

perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi sebagai akibat leukostasis.

Jika Anda mempunyai gejala atau hasil skrining yang mengarah ke

penyakit leukemia, dokter harus mengetahui apakah gejala tersebut berasal

dari kanker atau dari kondisi kesehatan yang lain. Anda akan diminta untuk

menjalani tes darah dan prosedur diagnostik berikut ini:

 Pemeriksaan fisik – dokter akan memeriksa pembengkakan di kelenjar

getah bening, limfa, limpa dan hati.

 Tes darah – laboratorium akan memeriksa jumlah sel-sel darah. Leukemia

menyebabkan jumlah sel-sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan

jumlah trombosit dan hemoglobin dalam sel-sel darah merah menurun.

Pemeriksaan laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada

tidaknya tanda-tanda kelainan pada hati dan/atau ginjal.

16
 Biopsi – dokter akan mengangkat sumsum tulang dari tulang pinggul atau

tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa sampel di

bawah mikroskop, untuk mencari sel-sel kanker. Cara ini disebut biopsi,

yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah ada sel-sel

leukemia di dalam sumsum tulang.

 Sitogenetik – laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel

darah tepi, sumsum tulang, atau kelenjar getah bening.

 Processus Spinosus – dengan menggunakan jarum yang panjang dan tipis,

dokter perlahan-lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang

mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini

berlangsung sekitar 30 menit dan dilakukan dengan anestesi lokal. Pasien

harus berbaring selama beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing.

Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel-sel leukemia atau

tanda-tanda penyakit lainnya.

 Sinar X pada dada – sinar X ini dapat menguak tanda-tanda penyakit di

dada

f. Terapi

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan

suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan

pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi

darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan

granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan

aspek psikososial. Terapi kuratif atau spesifik bertujuan untuk

menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi,

profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan.

17
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol

kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim

digunakan untuk pasien ALL yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol

WK -ALL 2000. Klasifikasi risiko pada ALL didasarkan pada faktor

prognostik. 3,4,9

a) Terapi Induksi Remisi

Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit

hematologik (haematologic complete remission/CR ), yaitu eradikasi sel

leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sum - sum

tulang dan kembalinya hematopoesis normal. Keadaan ini didefinisikan sebagai

jumlah sel blas yang < 5 % dalam sumsum tulang dan bentuk eritroid, mieloid

dan elemen megakariotik normal, remisi komplit juga meliputi hitung darah

tepi yang normal, tidak ada blas, jumlah granulosit 1500 /ul, trombosit >

100.000 dan Hb ≥ 10 g/dl. Selain itu, pada cairan serebrospinal harus bebas

dari blas dan organomegali menjadi hilang.

Terapi induksi berlangsung selama 4 - 6 minggu dengan dasar 3 - 4 obat

yang berbeda (dexamethason, vinkristin, L-aspaginase, dan atau antrasiklin).

Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi partial,

atau gagal.

Terapi utama induksi remisi adalah prednison dan vinkristin, namun

biasanya terdiri dari prednison, vinkristin dan antrasiklin (pada umumnya

daunorubisin) dan L-asparaginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid,

sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada

beberapa regimen.

Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar

50% pasien ALL denovo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi 70-

18
85 %. Daunorubisin biasanya diberikan seminggu sekali, tetapi beberapa

penelitian memberikan dosis intensifikasi (30 – 60 mg/m 2 2 - 3 hari). Dosis

intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan

terapi supportif intensif dan pemberian faktor pertumbuhan ( granulocyte

colony - stimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi

mempersingkat lama neutropenia 5 - 6 hari dan menurunkan insiden infeksi.

b) Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi

Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi

(early intensification) yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual

untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini

juga dilakukan 6 bulan kemudian (late intensification). Studi Cancer and

Leukemia Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang

lebih baik pada pasien ALL yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi

intensifikasi (early dan late intensification) daripada pasien yang tidak

mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang

berbeda diberikan

c) Profilaksis SSP 3,4,9

Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi ALL. Sekitar 50 – 75 %

pasien ALL yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps

pada SSP. Profilaksis SSP dapat terjadi dari kombinasi kemoterapi

intratekal, radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai

bioavaliabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis

tinggi. Pemberian ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil

yang superior, sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi

sistemik dosis tinggi saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik.

Kemoterapi intratekal dengan radiasi kranial (antara 1800 - 2400 gGy)

19
memberikan angka relaps SSP yang sama dengan kemoterapi intratekal

ditambah dengan kemoterapi sistemik dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu

antara 0 - 11%.

d) Pemeliharaan Jangka Panjang 3,4,9

Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat

seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada ALL anak terapi ini memperpanjang

disease - free survivle, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.

Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 - 2 ½ tahun

dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika

secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor

konsentrasi obat selama terapi rumatan

Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam

kamar yang suci hama). Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang

terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (10 5

10 6) immunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dikerjakan

dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Coryne bacterium dan

dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan

tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukimia yang

telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan terbentuk antibodi yang spesifik

terhadap sel leukimia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan

sehingga diharapkan penderita leukimia dapat sembuh sempurna.

g. Akibat

 Proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sumsum

tulang, mengantikan elemen sunsum tulang normal.

 Juga terjadi prolifrasi di hati, limpa dan nodus limfatikus

20
 Terjadi invasi organ nonhematoligis, seperti meninges, traktus

gastrointestinal, ginjal dan kulit

h. Klasifikasi Leukemia

1) Leukemia Mielogenik Akut

- Mengenai stem sel hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke

semua sel mieloid:

a. monosit

b. granulosit (basofil, netrofil, eosinofil)

c. eritrosit

d. trombosit

- Mengenai semua umur

- Sering terjadi

Manifestasi Klinis

Tanda gejala terjadi akibat berkurangnya produksi sel darah normal

- Kepekaan terhadap infeksi : akibat granulositopenia (kekurangan

granulosit)

- Kelelahan dan kelemahan : akibat anemia

- Perdarahan : akibat trombositopenia (kekurangan

trombosit)

- Nyeri : akibat pembesaran hati dan limfe

- Sakit kepala akibat : akibat leukemia meningeal

- Nyeri tekan tulang/sternum : akibat penyebaran sumsum tulang

Terjadi tanpa peringatan. Dalam periode 1-6 bulan

- Hitung sel darah mengalami penurunan (pansitopenia) baik eritrosit

maupun trombosit

21
- Jumlah lekosit bisa rendah, normal, tinggi. Namun persentase sel

normal menurun

- Spesimen sumsum tulang menunjukkan adanya kelebihan sel blast

imatur

- Adanya batang Aur dalam sitoplasma

Penatalaksanaan

- Kemoterapi : Perbaikan terjadi sampai setahun atau lebih

- Obat yang digunakan :

a. Daunorubicin hydrochloride (Cerubidine)

b. Cytarabine (Cytosar-U)

c. Mercaptopurine (Purinethol)

- Asuhan pendukung:

a. Pemberian produk darah

b. Penanganan infeksi

- Transplantasi sumsum tulang

Prognosis

Kematian terjadi akibat perdarahan dan infeksi terjadi dalam jangka

waktu 1 tahun atau lebih.

2) Leukemia Limfositik Kronik

- Merupakan kelainan ringan

- Terjadi pada individu usia 50-70 tahun

Manifestasi Klinis

- Kepekaan terhadap infeksi : akibat granulositopenia (kekurangan

granulosit)

22
- Kelelahan dan kelemahan : akibat anemia

- Perdarahan : akibat trombositopenia (kekurangan

trombosit)

- Limfadenopati tanpa nyeri

- Hepatosplenomegali

- Hipersensitifitas

- Penurunan jumlah eritrosit dan trombosit (bisa juga normal)

- Limfositopenia : penurunan jumlah limfosit

Penatalaksanaan medis

- Jika ringan penanganan difokuskan pada penanganan gejala

- Jika berat:

a. kortikosteroid

b. chlorambucil (leukeran)

Pasien yang tidak berespon terhadap terapi ini mengalami perbaikan

dengan pemberian:

a. fludarabine monofosfat

b. 2-chorodeoxyadenosien (2-CDA)

c. pentostatin

Efek samping terapi:

- penekanan sumsum tulang : termanifestasi dengan adanya infeksi

(Pneumocystis carinii, listeria, mikobakteria, CMV, herpes)

- mual dan muntah

Prognosis

Ketahanan hidup rata-rata pasien dengan CLL adalah 7 tahun

23
Komplikasi

- Perdarahan

Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit

yang rendah ditandai dengan:

a. Memar (ekimosis)

b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar

ujung jarum dipermukaan kulit)

Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm 3 darah.

Demam dan infeksi dapat memperberat perdarahan

- Infeksi

Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai

derajat netropenia dan disfungsi imun.

- Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.

Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi

meningkatkan kadar asam urat. Perlu asupan cairan yang tinggi.

- Anemia

- Masalah gastrointestinal.

a. mual

b. muntah

c. anoreksia

d. diare

e. lesi mukosa mulut

Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain

akibat kemoterapi.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia

http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=552

http://www.scribd.com/doc/49541804/ANEMIA

http://www.parkwaycancercentre.com/bahasa-indonesia/education/leukemia

http://www.scribd.com/leukemia

25

You might also like