You are on page 1of 26

BAB.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional


dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,
widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003
Pasal 1 Ayat 6). Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwa
semua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas dan
ekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikan
konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama
dengan guru. Hal ini mengandung implikasi bahwa untuk
masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perlu
disusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi berdasar
kepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.

Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan serta


pemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayanan
ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselor
berada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yang

1
bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan
hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan
termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih
serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan
yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga
masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui
pendidikan”.

Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu


pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh
motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang
empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan
kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan
selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari
tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan,
sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan
“the reflective practitioner”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka persoalan


mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah
bagaimana Standar Profesi Konselor dalam Bimbingan
dan Konseling.

2
C. Tujuan

a) Mengkaji dan memahami standar profesi konselor dalam


bimbingan dan konseling.
b) Memberi pemahaman tentang standar profesi konselor
dalam bimbingan dan konseling..
c) Sebagai landasan dasar standar profesi konselor dalam
bimbingan dan konseling yang baik.

D . Manfaat

1. Mengetahui dengan jelas tentang standar profesi


konselor.

2.Memeberikan Pemahaman tentang standar-standar


profesi konselor.

3
BAB. II

KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

Tugas Guru BK dan Pengawas BK

1. Tugas Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor

Guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas,


tanggungjawab, wewenang dalam pelaksanaan pelayanan
bimbingan dan konseling terhadap peserta didik. Tugas guru
bimbingan dan konseling/konselor terkait dengan
pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian peserta didik
di sekolah/madrasah.

Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor yaitu membantu


peserta didik dalam:

a. Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang


pelayanan yang membantu peserta didik dalam
memahami, menilai bakat dan minat.
b. Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan
yang membantu peserta didik dalam memahami dan

4
menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan
sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan
dan bermartabat.
c. Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang
pelayanan yang membantu peserta didik
mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti
pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri.
d. Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang
membantu peserta didik dalam memahami dan menilai
informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

a. Jenis layanan adalah sebagai berikut:

1. Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta


didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan
sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari,
untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan
memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang
baru.
2. Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta
didik menerima dan memahami berbagai informasi diri,
sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
3. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang
membantu peserta didik memperoleh penempatan dan
penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar,
jurusan/program studi, program latihan, magang, dan
kegiatan ekstra kurikuler.

5
4. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang
membantu peserta didik menguasai konten tertentu,
terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna
dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri
dan masyarakat.
5. Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah
pribadinya.
6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi,
kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar,
karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta
melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dalam pembahasan dan
pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
8. Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu
peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh
wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu
dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah
peserta didik
9. Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta
didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki
hubungan antar mereka.

6
b. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh:

1. Aplikasi instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data


tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui
aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun nontes.
2. Himpunan data, yaitu kegiatan menghimpun data yang
relevan dengan pengembangan peserta didik, yang
diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis,
komprehensif, terpadu dan bersifat rahasia.
3. Konferensi kasus, yaitu kegiatan membahas
permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus
yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan
data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya
masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan
tertutup.
4. Kunjungan rumah, yaitu kegiatan memperoleh data,
kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah
peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua atau
keluarganya.
5. Tampilan kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan
berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta
didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial,
kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
6. Alih tangan kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan
penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai
keahlian dan kewenangannya.

7
C. Beban Kerja Minimum Guru Bimbingan dan Konseling/
Konselor

Beban kerja guru bimbingan dan konseling/konselor adalah


mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus
lima puluh) peserta didik dan paling banyak 250 (dua ratus lima
puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan
pendidikan yang dilaksanakan dalam bentuk layanan tatap
muka terjadwal di kelas untuk layanan klasikal dan/atau di luar
kelas untuk layanan perorangan atau kelompok bagi yang
dianggap perlu dan yang memerlukan. Sedangkan beban kerja
guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala
sekolah/madrasah membimbing 40 (empat puluh) peserta didik
dan guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala
sekolah/madrasah membimbing 80 (delapan puluh) peserta

2. Tugas Pengawas Bimbingan dan Konseling

Lingkup kerja pengawas bimbingan dan konseling untuk


melaksanakan tugas pokok diatur sebagai berikut:

a. Ekuivalensi kegiatan kerja pengawas bimbingan dan


konseling terhadap 24 (dua puluh empat) jam tatap muka
menggunakan pendekatan jumlah guru yang dibina di
satu atau beberapa sekolah pada jenjang pendidikan
yang sama atau jenjang pendidikan yang berbeda.

8
b. Jumlah guru yang harus dibina untuk pengawas
bimbingan dan konseling paling sedikit 40 (empat puluh)
dan paling banyak 60 guru BK.
c. Uraian lingkup kerja pengawas bimbingan dan konseling
adalah sebagai berikut.

a. Penyusunan Program Pengawasan Bimbingan dan


Konseling

• Setiap pengawas baik secara berkelompok maupun


secara perorangan wajib menyusun rencana program
pengawasan. Program pengawasan terdiri atas (1)
program pengawasan tahunan, (2) program pengawasan
semester, dan (3) rencana kepengawasan akademik
(RKA).
• Program pengawasan tahunan pengawas disusun oleh
kelompok pengawas di kabupaten/kota melalui diskusi
terprogram. Kegiatan penyusunan program tahunan ini
diperkirakan berlangsung selama 1 (satu) minggu.
• Program pengawasan semester adalah perencanaan
teknis operasional kegiatan yang dilakukan oleh setiap
pengawas pada setiap sekolah tempat guru binaannya
berada. Program tersebut disusun sebagai penjabaran
atas program pengawasan tahunan di tingkat
kabupaten/kota. Kegiatan penyusunan program semester
oleh setiap pengawas ini diperkirakan berlangsung
selama 1 (satu) minggu.

9
• Rencana Kepengawasan Bimbingan dan Konseling
(RKBK) merupakan penjabaran dari program semester
yang lebih rinci dan sistematis sesuai dengan
aspek/masalah prioritas yang harus segera dilakukan
kegiatan supervisi. Penyusunan RKBK ini diperkirakan
berlangsung 1 (satu) minggu.
• Program tahunan, program semester, dan RKBK
sekurang-kurangnya memuat aspek/masalah, tujuan,
indikator keberhasilan, strategi/metode kerja (teknik
supervisi), skenario kegiatan, sumberdaya yang
diperlukan, penilaian dan instrumen pengawasan.

b. Melaksanakan Pembinaan, Pemantauan dan Penilaian

• Kegiatan supervisi bimbingan dan konseling meliputi


pembinaan dan pemantauan pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah merupakan kegiatan dimana terjadi
interaksi langsung antara pengawas dengan guru
binaanya,
• Melaksanakan penilaian adalah menilai kinerja guru
dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai proses
pembimbingan.
• Kegiatan ini dilakukan di sekolah binaan, sesuai dengan
uraian kegiatan dan jadwal yang tercantum dalam RKBK
yang telah disusun.

10
c. Menyusun Laporan Pelaksanaan Program Pengawasan

• Setiap pengawas membuat laporan dalam bentuk laporan


per sekolah dari seluruh sekolah binaan. Laporan ini lebih
ditekankan kepada pencapaian tujuan dari setiap butir
kegiatan pengawasan sekolah yang telah dilaksanakan
pada setiap sekolah binaan,
• Penyusunan laporan oleh pengawas merupakan upaya
untuk mengkomunikasikan hasil kegiatan atau
keterlaksanaan program yang telah direncanakan,
• Menyusun laporan pelaksanaan program pengawasan
dilakukan oleh setiap pengawas sekolah dengan segera
setelah melaksanakan pembinaan, pemantauan atau
penilaian.

d. Melaksanakan pembimbingan dan pelatihan


profesionalitas guru BK.

• Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalitas


guru BK dilaksanakan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam
satu semester secara berkelompok di Musyawarah Guru
Pembimbing (MGP).
• Kegiatan dilaksanakan terjadwal baik waktu maupun
jumlah jam yang diperlukan untuk setiap kegiatan sesuai
dengan tema atau jenis keterampilan dan kompetensi
yang akan ditingkatkan.

11
• Dalam pelatihan diperkenalkan kepada guru cara-cara
baru yang lebih sesuai dalam melaksanakan suatu proses
pembimbingan. Kegiatan pembimbingan dan pelatihan
profesionalitas guru BK ini dapat dilakukan melalui
workshop, seminar, observasi, individual dan group
conference.

Program Bimbingan dan Konseling

1. Program Bimbingan dan Konseling

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah


disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need
assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi,
dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat
bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format
kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas
konselor.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-


masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan
memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program
antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan
program pelayanan Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan
pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler,
serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas
sekolah/ madrasah.

12
Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5
(lima) jenis program, yaitu:

a. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan


dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu
tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
b. Program Semesteran, yaitu program pelayanan
Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan
selama satu semester yang merupakan jabaran program
tahunan.
c. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan
dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu
bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
d. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan
dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu
minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
e. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan
Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu
dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran
dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan
(SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung
(SATKUNG) >Bimbingan dan Konseling.

2. Manajemen Bimbingan dan Konseling

Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling


mencakup tiga kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan; (2)
pelaksanaan, dan (3)penilaian

13
a. Perencanaan

Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling


mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke
dalam program semesteran, bulanan serta mingguan.
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
harian yang merupakan penjabaran dari program mingguan
disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-
masing memuat: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b)
substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis
layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan;
(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak
yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat.

Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling


mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas
untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi
tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau
kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot
ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu
minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor
di sekolah/ madrasah.

b. Pelaksanaan Kegiatan

Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya,


konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan

14
keteladanan. Program pelayanan Bimbingan dan Konseling
yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG
dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan,
waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling


dapat dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur
oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.

Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di


dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk:
(1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non
tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan
peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi,
penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan
instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan
di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2
(dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara
terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka dengan peserta
didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan
konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah,
pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.

Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam


pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan
tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik,
untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling
perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan
mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar

15
kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan
Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen
dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas.
Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam
pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan
dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. Setiap
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam
laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..

3. Penilaian Kegiatan

Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis


yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian
hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan
melalui:

a. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir


setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan
dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik
yang dilayani.
b. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian
dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu
bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan
pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan
untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap
peserta didik.
c. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian
dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu

16
semester) setelah satu atau beberapa layanan dan
kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling
diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak
layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan
Konseling terhadap peserta didik.

Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis


terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di
dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas
dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.

Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling


dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan
Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu
semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

A. Konferensi Kasus untuk


Membantu Mengatasi Masalah Siswa

1. Pengertian

Konferensi kasus merupakan kegiatan pendukung atau


pelengkap dalam Bimbingan dan Konseling untuk membahas
permasalahan siswa (konseli) dalam suatu pertemuan, yang
dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan,
kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan
siswa (konseli).
17
Memang, tidak semua masalah yang dihadapi siswa (konseli)
harus dilakukan konferensi kasus. Tetapi untuk masalah-
masalah yang tergolong pelik dan perlu keterlibatan pihak lain
tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk
dilaksanakan. Melalui konferensi kasus, proses penyelesaian
masalah siswa (konseli) dilakukan tidak hanya mengandalkan
pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara
kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pihak yang dianggap
kompeten dan memiliki kepentingan dengan permasalahan
yang dihadapi siswa (konseli).

Kendati demikian, pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas


dan tertutup. Artinya, tidak semua pihak bisa disertakan dalam
konferensi kasus, hanya mereka yang dianggap memiliki
pengaruh dan kepentingan langsung dengan permasalahan
siswa (konseli) yang boleh dilibatkan dalam konferensi kasus.
Begitu juga, setiap pembicaraan yang muncul dalam konferensi
kasus bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh para
peserta konferensi.

Konferensi kasus bukanlah sejenis “sidang pengadilan” yang


akan menentukan hukuman bagi siswa. Misalkan, konferensi
kasus untuk membahas kasus narkoba yang dialami siswa X.
Keputusan yang diambil dalam konferensi bukan bersifat
“mengadili” siswa yang bersangkutan, yang ujung-ujungnya
siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi
konferensi kasus harus bisa menghasilkan keputusan

18
bagaimana cara terbaik agar siswa tersebut bisa sembuh dari
ketergantungan narkoba.

2. Tujuan

Secara umum, tujuan diadakan konferensi kasus yaitu untuk


mengusahakan cara yang terbaik bagi pemecahan masalah
yang dialami siswa (konseli) dan secara khusus konferensi
kasus bertujuan untuk:

a. mendapatkan konsistensi, kalau guru atau konselor


ternyata menemukan berbagai data/informasi yang
dipandang saling bertentangan atau kurang serasi satu
sama lain (cross check data)
b. mendapatkan konsensus dari para peserta konferensi
dalam menafsirkan data yang cukup komprehensif dan
pelik yang menyangkut diri siswa (konseli) guna
memudahkan pengambilan keputusan
c. mendapatkan pengertian, penerimaan, persetujuan dari
komitmen peran dari para peserta konferensi tentang
permasalahan yang dihadapi siswa (konseli) beserta
upaya pengentasannya.

3. Prosedur

Konferensi kasus dapat ditempuh melalui langkah-langkah


sebagai berikut:

a. Kepala sekolah atau Koordinator BK/Konselor


mengundang para peserta konferensi kasus, baik atas

19
insiatif guru, wali kelas atau konselor itu sendiri. Mereka
yang diundang adalah orang-orang yang memiliki
pengaruh kuat atas permasalahan dihadapi siswa
(konseli) dan mereka yang dipandang memiliki keahlian
tertentu terkait dengan permasalahan yang dihadapi
siswa (konseli), seperti: orang tua, wakil kepala sekolah,
guru tertentu yang memiliki kepentingan dengan masalah
siswa (konseli), wali kelas, dan bila perlu dapat
menghadirkan ahli dari luar yang berkepentingan dengan
masalah siswa (konseli), seperti: psikolog, dokter, polisi,
dan ahli lain yang terkait.
b. Pada saat awal pertemuan konferensi kasus, kepala
sekolah atau konselor membuka acara pertemuan
dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakan
konferensi kasus dan permintaan komitmen dari para
peserta untuk membantu mengentaskan masalah yang
dihadapi siswa (konseli), serta menyampaikan pentingnya
pemenuhan asas–asas dalam bimbingan dan konseling,
khususnya asas kerahasiaan.
c. Guru atau konselor menampilkan dan mendekripsikan
permasalahan yang dihadapi siswa (konseli). Dalam
mendekripsikan masalah siswa (konseli), seyogyanya
terlebih dahulu disampaikan tentang hal-hal positif dari
siswa (konseli), misalkan tentang potensi, sikap, dan
perilaku positif yang dimiliki siswa (konseli), sehingga
para peserta bisa melihat hal-hal positif dari siswa
(konseli) yang bersangkutan. Selanjutnya, disampaikan
berbagai gejala dan permasalahan siswa (konseli) dan

20
data/informasi lainnya tentang siswa (konseli) yang sudah
terindentifikasi/terinventarisasi, serta upaya-upaya
pengentasan yang telah dilakukan sebelumnya.
d. Setelah pemaparan masalah siswa (konseli), selanjutnya
para peserta lain mendiskusikan dan dimintai tanggapan,
masukan, dan konstribusi persetujuan atau penerimaan
tugas dan peran masing-masing dalam rangka
pengentasan/remedial atas masalah yang dihadapi siswa
(konseli)
e. Setelah berdiskusi atau mungkin juga berdebat, maka
selanjutnya konferensi menyimpulkan beberapa
rekomendas/keputusan berupa alternatif-alternatif untuk
dipertimbangkan oleh konselor, para peserta, dan siswa
(konseli) yang bersangkutan, untuk mengambil langkah-
langkah penting berikutnya dalam rangka pengentasan
masalah siswa (konseli).

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam


menyelenggarakan konferensi kasus, antara lain:

a. Diusahakan sedapat mungkin kegiatan konferensi kasus


yang hendak dilaksanakan mendapat persetujuan dari
kasus atau siswa (konseli) yang bersangkutan
b. Siswa (konseli) yang bersangkutan boleh dihadirkan
kalau dipandang perlu, boleh juga tidak, bergantung pada
permasalahan dan kondisinya.
c. Diusahakan sedapat mungkin pada saat mendeskripsikan
dan mendikusikan masalah siswa (konseli) tidak

21
menyebut nama siswa (konseli) yang bersangkutan,
tetapi dengan menggunakan kode yang dipahami
bersama.
d. Dalam kondisi apa pun, kepentingan siswa (konseli)
harus diletakkan di atas segala kepentingan lainnya.
e. Peserta konferensi kasus menyadari akan tugas dan
peran serta batas-batas kewenangan profesionalnya.
f. Keputusan yang diambil dalam konferensi kasus
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional,
dengan tetap tidak melupakan aspek-aspek emosional,
terutama hal-hal yang berkenaan dengan orang tua siswa
(konseli) yang bersangkutan
g. Setiap proses dan hasil konferensi kasus dicatat dan
diadminsitrasikan secara tertib.

Contoh Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit


Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga
petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa
pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama
semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya
melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya
berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan
sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat
pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya
melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia

22
terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga
wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU
favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa
diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-
temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola
pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia
menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai
orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang
sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama
perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan
mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk
dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua
dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak
ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak
miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri
sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu
dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin
lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan
makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau
tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF


Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki
kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak
rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar
biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala
sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama
sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila

23
tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya
berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi)
seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar
biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku
yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai
kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan
orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak
sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan
cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang
diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan
satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan
sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan
atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku
rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat
mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang
kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun
irasional.

Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya,


memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi,
mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap
goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman
(seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu
jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan
menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan
mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak
berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk
pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang

24
dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang
tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya.
Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti
orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena
semuanya itu.

Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan


potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya
dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah
menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah
yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung,
peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak
di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri
dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya
sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara
tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan
dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu,
penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak
yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

25
BAB. III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut:

Guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas,


tanggungjawab, wewenang dalam pelaksanaan pelayanan
bimbingan dan konseling terhadap peserta didik.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah


disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need
assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi,

Konferensi kasus merupakan kegiatan pendukung atau


pelengkap dalam Bimbingan dan Konseling untuk membahas
permasalahan siswa (konseli) dalam suatu pertemuan, yang
dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan,
kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan
siswa (konseli).

26

You might also like