Professional Documents
Culture Documents
Perencanaan Kota
dan Amerika serikat[1] tentunya memiliki berbagai konsekwensi yang lebih kompleks, apalagi
jika dihubungkan dengan permasalahan pembangunan kota sebagai bentuk indikator dari
kemajuan pembangunan itu sendiri. Melihat dari pengalaman yang telah terjadi dari beberapa
waktu yang lalu, dapat dikemukakan bahwa sistem pembangunan di Dunia umumnya dan
khususnya pembangunan di Indonesia belum memiliki wawasan lingkungan yang baik dan
perencanaannya masih belum memperhatikan keseimbangan ekologi, dan dalam hal ini ialah
perencanaan kota yang memadai. Beberapa permasalahan pokok yang mengemuka mengenai
1. Kemiskinan di Perkotaan
2. Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan
3. Keamanan dan Ketertiban Kota
4. Kapasitas Daerah dalam Pengembangan dan Pengelolaan Perkotaan (dalam hal ini ialah
pemerintah daerah dan perangkatnya)[2]
Hal tersebut kemudian memicu adanya konvensi PBB tentang pembangunan dan
lingkungan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 sebagai sebuah bentuk kritikan atas pembangunan
yang tak seimbang.[3]Maka dari hasil konvensi tersebut dihasilkanlah sebuah konsep yang
seimbang mengenai pembangunan dan ekologi, dan dalam hal ini ialah pembangunan kota yang
berada dalam tataran dinamis, namun tetap memperhatikan keseimbangan tata aturan dan isu
Demikian pula seiring dengan hal tersebut Indonesia mulai mengadopsi konsep-konsep
tersebut kedalam sistem pembangunannya hal ini tercernin dari konsep pembangunan yang
perubahan kelembagaan semuanya dalam keadaan selaras serta meningkatkan potensi masa kini
dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia, disamping juga memiliki dasar kajian strategis dan
terperinci. Seperti disinggung diatas bahwa kota sebagai salah satu pos pembangunan yang
utama berada pada wilayah administrasi pemerintah daerah sebagai pengelola dan perencana.
Perlu diketahui juga bahwa pengertian pemerintah daerah pada tulisan ini ialah satuan
pemerintah teritorial tingkat lebih rendah dari pemerintahan pusat dalam format negara kesatuan
Republik Indonesia.
Perkembangan kota di Indonesia dan berbagai permasalahannya sudah ada sejak dekade
1950 ketika terjadi masa transisi dalam membenahi kota sebagai ekses dari perang kemerdekaan,
sentra-sentra produksi dan industrialisasi terutama kota-kota besar di pulau Jawa mulai
menunjukan signifikansi pembanguna yang pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak yang
secara seksama harus segera ditanggulangi seperti masalah urbanisasi, perkembangan sosial
ekonomi dan budaya perkotaan, serta perkembangan fisik atau infrastruktur perkotaan yang
menjadi salah satu aspek indikator kemajuan kota.[4] Penelitian yang dilakukan oleh
Indonesia dari kurun waktu tahun 2000 hingga 2010 akan mencapai 76-100 juta, atau sekitan 36-
50% dari total jumlah penduduk, dengan begitu arus urbanisasi yang semakin pesat memerlukan
perimbangan yang proporsional dari pembangunan kota, tetapi pada realisasinya penyediaan
kebutuhan seperti infrastruktur yang memadai, sanitasi, air bersih, pemukiman yang sehat,
lingkungan, sektor lalu lintas, dan masalah lainnya belum terlaksana secara optimal, dan
di Indonesia dan dampak yang dihasilkan memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk
kemudian ditanggulangi, beberapa permasalahan seperti yang telah disinggung di atas dan
1. Kemiskinan di perkotaan: berbicara masalah kemiskinan maka kita akan dihadapkan
kepada suatu kompleksitas permasalahan yang rumit, begitu pun halnya dengan
kemiskinan dan perkotaan. Pada dasarnya pemerintah dan pemerintah daerah khususnya
telah berusaha untuk menangulangi masalah tersebut namun pada kenyataannya belum
memberikan hasil yang baik, sebenarnya masalah kemiskinan terkait erat dengan adanya
berbagai ketimpangan sosial, oleh akrena itu perlu strategi khusus yang tidak bisa
dilepaskan dari masalah sosial dan budaya.[7]begitu juga halnya dengan urbanisasi
sebagai akibat dari bergesernya orientasi Negara dari pertanian kepada industi, prosentase
yang dikemukakan oleh Hauser dan Gardner[8] menunjukan bahwa terdapat 53,7%
penduduk Asia pada tahun 2025 yang bermukim di kota dan 62,5 % penduduk Dunia
yang bermukim di kota. Fakta ini mengindikasikan bahwa urbanisasi pada masa
mendatang akan semakin besar pada tataran jumlah dan tentunya harus diimbangi dengan
penyediaan lapangan pekerjaan, perumahan yang layak, dan sarana prasaranan yang
memadai, namun apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka tidak mustahil akan
2. Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan: lingkungan dalam beberapa dekade terakhir
membangun konsep perkotaan yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan lingkungan hidup
tidak terpisahakan dari penataan ruang kota, penataaan ruang kota itu sendiri akan
meliputi penataan berbagai media lingkungan dan kawasan seperti ruang Terbuka Hijau
(RTH) serta tata guna tanah, lebih lanjut menurut Ateng Syafrudin[9] penataan tersebut
tidak berkutat pada fisik atau infrastruktur semata, melainkan terkait juga terkait dengan
masalah sosial, budaya, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya. Namun pada tataran
faktual keadaan lingkungan di berbagai kota besar di Indonesia saat ini memiliki
daerah kumuh (Slums) yang diakibatkan oleh sumberdaya manusia yang tiadk produktif,
kebijakan yang responsif terhadap pembinaan sumber daya manusia dalam konteks
perkotaan akan berdampak terhadap penyediaan lengkungan yang baik bagi perkotaan itu
sendiri.
3. Keamanan dan Ketertiban Kota: sebenarnya masalah kemanan dan ketertiban kota
sangat berkaitan dengan masalah kemiskinan dan sumber daya manusia kompeten,
artinya bahwa dengan adanya kemiskinan yang semakin besar jumlahnya akan
menimbulkan tindakan kriminalitas, oleh karena itu perlu adanya optimalisasi kebijakan
pemerintah dalam bidang tersebut dan juga partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
kapasitas daerah untuk mengelola dan mengembangkan kota, maka seperti telah
disinggung di atas bahwa dengan adanya paradigma desentralisasi dan otonomi daerah
maka kesiapan daerah harus terpenuhi dengan beberapa pembaharuan baik dalam bidang
pemerintahan yang terkait dengan sumber daya manusia, masalah kelembagaan dan
beberapa hal penunjang lainnya. Terdapat beberapa strategi sebenarnya yang dapat
pembangunan kota seperti intellectual and social capital (terkait dengan sumber daya
pemerintah daerah memiliki tugas dan peran yang baru untuk menyusun rencana lebih seskasama
dalam pembangunan kota yang lebih efisien dan terencana. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka porsi yang lebih besar justru terletak pada tanggung
jawab pemerintah lokal, hal ini lebih lanjut tertuang dalam Pasal 13 Ayat (1):
“Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
i. Fasilitasi pengembangan, koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
kabupaten/kota;
Penegasan pasal dari UU tersebut merupakan sebuah legitimasi terhadap pemerintah daerah
(dalam hal ini adalah pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten) untuk lebih leluasa
mengatur daerahnya, disamping itu juga momentum ini (desentralisasi dan otonomi daerah)
adalah sebuah titik awal untuk membuat kebijakan perkotaan yang bersifat explisit, yaitu
kebijakan yang langsung dan eksplisit menyebutkan tujuan dan fokus kebijakan pada
pembangunan daerah atau kota,[12]sementara itu saat ini kebijakan kota lebih mengarah kepada
sifatnya yang implisit atau kebijakan pemerintah yang tidak langsung namun mempengaruhi
terhadap struktur dan tata kota seperti halnya kebijakan perpajakan, tarif, transportasi, dan
sebagainya. Intensitas kebijakan yang berorientasi kepada makna implisit akan membuat sistem
sentralisasi dan terpusat pada kota utama dan beberapa kota saja, oleh karena itu pemerintah
daerah sebagai pemegang kebijakan yang utama di daerahnya perlu memikirkan perencanaan
yang matang dan seksama untuk membangun tata kota yang lebih baik sesuai dengan alur
pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu pemerintah daerah dalam konteks
pembangunan kota berkelanjutan tidak hanya memperhatikan aspek fisik dari kota saja,
melainkan juga aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat kota itu sendiri yang kesemuanya
Lahirnya Undang-undang No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang yang kemudian
diubah dengan Undang-undang No.26 Tahun 2007 merupakan rumusan dasar dan pedoman yang
termasuk juga di dalamnya pengaturan tata ruang kota yang berkelanjutan sepert disebutkan
a. Keterpaduan;
c. Keberlanjutan;
e. Ketrebukaan;
i. Akuntabilitas.
Begitu juga dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah No.26
Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan semakin
menegaskan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi masalah yang ada dalam perkotaan.
Adanya peraturan perundang-undangan yang lahir dengan tujuan membenahi perkotaan
tersebut apabila dilihat dari sudut pandang yang komprefensif ternyata harus diikuti dengan
penjelasan yang bersifat pedoman teknis, meskipun pedoman tersebut lahir melalui Peraturan
Menteri No.1 Tahun 2008 tetapi perlu ada penjelasan yang konkrit dan bersifat teknis yang
kemudian akan dimasukan dalam kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk dan sifatnya yang
[1]Forbes, Dean K. “Republic of Indonesia.” Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA:
Microsoft Corporation, 2005.
[2]Gita Chandrika Napitupulu, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan: Bunga
Rampai Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Buku I, Urban and Regional Development Institute (URDI) dan
Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005, hlm. 10
[3]Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (termasuk perlindungan)
Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, makalah pada seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII, Denpasar ,Bali, Hlm.3
[4]Djoko Sujarto, Masa Depan Kota dan Reorientasi Perencanaan Tata Ruang Kota Indonesia Dalam
Pembangunan Perkotaan: Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Buku II, Urban and Regional
Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005, hlm.2
[5]Departemen Pekerjaan Umum, Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Cipta Karya Tahunan 1987/1988,
Jakarta, September 1988, hlm.7
[6] Tommy Firman, Seratus Juta Penduduk Perkotaan, Harian Suara Pembaruan, Rabu, 30 Maret 2005
[7]Wahyu Susilo, Jujurlah Terhadap Realitas Kemiskinan! , Harian Kompas, Kamis, 15 September 2005
[8]Janet L. Abu Lughod, Changing Cities: Urban Sociology, Harper Collins Publisher, New York, 1991,
hlm.58
[9]Ateng Syafrudin, Perencanaan Tata Ruang di Nederland: Penelitian di Zuid Holland, 1989, hlm.i-vii
[10] Cities Alliance, Guide to City Development Strategies: Improving Urban Performance, The Cities
Alliance, Washington D.C, 2006, hlm.29
[11]PricewaterhouseCoopers, Cities of The Futures: Global Competition, Local Leadership,
http://www.pwc.com/government, tertanggal 20 Juli 2008
[12]L.S Bourne & J.W Simmons, “System of Cities”, Oxford Univ. Press, 1978, hlm.490
[13]Kebijakan grass root atau responsif di utarakan oleh Jerome Frank seorang penganut paham realisme
yang mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk bersifat aktif dan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.
Untuk lebih lanjut lihat Jerome Frank,Mr.Justice Holmes and Non Euclidian Legal Thinking, Cornell Law
Quarterly, New York, 1932, hlm.568
Ideologi Jerman
Pada tahun 1999 orang Jerman telah mempunyai pengalaman setengah abad
dengan Undang-Undang Dasar mereka yaitu Grundgesetz. Pada jubileum ke-40 dari
Republik Federal Jerman pada tahun 1989, Grundgesetz telah dinyatakan sebagai undang-
undang dasar yang terbaik dan paling liberal yang pernah terdapat di bumi Jerman.
Penerimaan rakyat terhadapnya melebihi sikap terhadap konstitusi Jerman yang
manapun sebelumnya. Dengan Grundgesetz telah diciptakan sebuah negara, yang sejauh
ini belum pernah dilanda krisis konstitusional yang serius.
Kategori hak individu lain yang tercantum dalam Grundgesetz adalah hak-hak
warga. Berbeda dengan hak-hak asasi di atas, hak warga hanya berlaku untuk warga
negara Jerman. Hak ini terutama menyangkut partisipasi politik dan kebebasan
melaksanakan pekerjaan. Intinya mencakup kebebasan berkumpul, hak mendirikan
perkumpulan dan organisasi, kebebasan bergerak dan menentukan tempat tinggal di
wilayah Republik Federal (termasuk memasukinya), kemerdekaan memilik dan
melaksanakan pekerjaan, larangan ekstradisi dan hak ikut dalam pemilihan umum.
Disamping hak-hak kemerdekaan tersebut masih terdapat hak-hak kesamaan. Prinsip
umum, bahwa setiap manusia adalah sama di hadapan hukum diuraikan secara kongkret
dalam Grundgesetz. Tak seorang pun boleh dirugikan atau diuntungkan berdasarkan jenis
kelamin, keturunan, ras, bahasa, tanah air maupun asal-usul, kepercayaan, agama atau
keyakinan politiknya. Juga dengan jelas diatur persamaan hak lelaki dan perempuan.
Grundgesetz juga menjamin hak setiap warga negara jerman untuk diperlakukan sama
dalam hal penempatan jabatan publik.
Hak asasi yang tidak bisa lain hanya berlaku untuk warga asing dan yang pertama
kali tercantum dalam UUD Jerman adalah hak suaka. Hak ini menjain pemberian suaka
di Jerman bagi warga asing yang ditindas karena alasan politik di negara asal. Beberapa
saat yang lalu kedatangan ratursan ribu pemohon suaka ke Jerman yang telah
berlangsung selama bertahun-tahun dan akhirnya hampir tidak terkontrol lagi
menimbulkan keadaan genting. Sebagaian besar pemohon suaka ternyata datang bukan
karena penindasan politik, tetapi umumnya berdasarkan alasan ekonomi. Hal ini
mengancam keberadaan hak suaka bagi mereka yang benar-benar tertindas.
Ada lima prinsip yang menjadi acuan ketatanegaraan dalam Grundgesetz; Jerman
adalah negara republik dan demokrasi, negara federal, negara hukum dan negara sosial.
Grundgesetz memilik konsep ?demokrasi yang berani melawan?. Sikap ini berasal dari
pengalaman pada saat Republik Weimar, yang diruntuhkan oleh partai-partai radikal dan
memusuhi konstitusi. Dasar pemikiran demokrasi berlawanan adalah bahwa kebebasan
semua kekuatan dalam percaturan politik menemui batasnya, bila ada usaha meniadakan
demokrasi itu sendiri melalui prosedur demokrastis. Itulah alasan mengapa Grundgesetz
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusional Federal untuk melarang
partai politik yang bertujuan menghambat atau meniadakan tata negara demokratis.
Ditetapkan bentuk negara federal dalam UUD berarti bahwa tidak hanya federasi,
tetapi juga ke-16 negara bagian mempunyai status setara negara. Untuk bidang-bidang
tertentu, negara-negara bagian tersebut memiliki kedaulatan atas wilayahnya, yang
diwujudkan melalui legislasi, penegakan hukum dan yurisdiksi sendiri. Setelah
ditetapkannya pebagian tugas dan kewenangan antara federasi dan negara bagian, titik
berat kegiatan legislatif ternyata memang terletak pada negara pusat atau federasi.
Bukanlah pada negara bagian seperti yang diinginkan oleh konstitusi. Negara bagian
terutama bertugas menyelenggarakan administrasi negara, artinya melaksanakan undang-
undang. Pembagian tugas ini adalah unsur penting dalam sistem pembagian kewenangan
dan keseimbangan keuasaan yang digariskan oleh Grundgesetz.
Inti dari prinsip negara hukum yang tertuang dalam Grundgesetz adalah pebagian
kekuasaan. Fungsi-fungsi kekuasaan negara dipercayakan kepada badan legislatif, badan
eksekutif dan badan yudikatif yang masing-masing bediri sendiri. Arti penting pembagian
kewenangan dini terletak pada pembentukan kekuasaan negara melalui pengawasan dan
pembatasan timbal balik yang membuahkan perlindungan bagi kebebasan seitap warga.
Elemen penting yang kedua dalam prinsip negara hukum adalah berlakunya hukum
secara mutlak pada semua perbuatan negara. Prinsip pemerintahan atas dasar hukum ini
berarti, bahwa badan eksekutif alias pemerintah tidak boleh melanggar hukum yang
berlaku, terutama konstitusi dan undang-undang (keutamaan undang-undang);
selanjutnya untuk segala bentuk interfensi ke dalam ruang hukum dan ruang
kemerdekaan individu dibutuhkan suatu dasar hukum formal (persyaratan adanya
undang-undang). Semua tindakan alat negara dapat diperiksa kesesuaian hukumnya oleh
hakim yang independen, bila ada pengaduan hak yang tersangkut.
Prinsip negara sosial adalah pemikiran baru yang melengkapi gagasan tradisional
tentang negara hukum. Negara diwajibkan melindungi kelompok-kelompok masyarkat
yang lemah dan senantiasa mengusahkan keadilan sosial. Banyak sekali undang-undang
dan keputusan pengadilan yang telah menghidupi prinsip ini. Negara sosial diwujudkan
dalam asuransi wajib kesejahteraan sosial yang meliputi tunjangan purnakarya (pensiun),
tunjangan bagi orang cacat, biaya perawatan dan pemulihan kesehatan serta tunjangan
bagi penganggur. Negara juga, untuk menyebut beberapa contoh lagi, memberi bantuan
sosial kepada yang membutuhkan, tunjangan tempat tinggal dan tunjangan anak, serta
menjaga keadilan sosial melalui perundangan yang menyangkut lindungan pekerjaan dan
waktu kerja
4. Sistem Pemerintahan
A. Umum
Republik Federal Jerman terdiri atas 16 negara bagian. Negara bagian bukanlah
provinsi, tetapi negara dengan kewenangan bernegara sendiri. Setiap negara bagian
mempuyai undang-undang dasar sendiri, yag harus sesuai dengan prinsip negara hukum
berbentuk republik yang demokratis dan sosial menurut norma Grundgesetz. Di luar itu,
negara bagian tersebut memiliki kebebasan menentukan sendiri undag-undang dasarnya.
Bentuk negara federal termasuk di antara prinsip-prinsip konstitusi yang tidak bisa
diubah. Akan tetapi keberadaan negara bagia yang ada sekarang bukan tidak bisa
berubah. Untuk penyusunan kembali RFJ terdapat aturan dalam Grundgesetz.
Sistem federasi mempunyai tradisi konstitusional yang panjang, yang hanya pernah
diselingi oleh sistem negara kesatuan di bawah rezim Nazi (1933-1945). Jerman termasuk
contoh negara federal yang klasik. Federalisme telah terbukti tangguh: baik keistimewaan
maupun masalah-masalah regional dapat diperhatikan dan teratasi dengan lebih baik
melalui sistem ini dibandingkan melalui sistem pemerintahan terpusat.
Selain itu, sistem federasi mampu memberi kesempatan sesuai dengan perbedaan
regional dalam pembagian kekuatan politik. Partai yang beroposisi pada tingkat federal,
bisa saja memiliki mayoritas dan memegang pemerintahan di salah satu negara bagian.
Ada tiga macam tugas yang diemban pemerintahan negara bagian: pertama tugas
yang semata-mata menjadi urusan sendiri (misalnya sekolah, kepolisian dan perencanaan
regional). Kemudian tugas melaksanakan hukum federal sebagai urusan dan tanggung
jawab sendiri (misalnya undang-undang perencanaan bangunan, perizinan usaha,
pelestarian lingkungan), dan terakhir tugas melaksanakan peraturan hukum federal atas
mandat federasi (umpamanya pembangunan jalan negara, bantuan pendidikan).
Dengan demikian tata negara yang digariskan oleh konstitusi Republik Federal
Jerman dalam kenyataannya telah berkembang menjadi tatanan yang bersifat sentral
dalam bidang legislatif dan yang lebih menonjol ciri federalnya dalam pelaksanaan
administrasi pemerintahan
C. Swapraja Komunal
Pemerintahan kota dan desa yang otonom adalah pencerminan kemerdekaan warga
yang menjadi tradisi di Jerman. Hal ini berakar pada hak-hak istimewa kota-kota
berdaulat pada abad pertengahan. Pada masa itu orang yang memperoleh hak sebagai
warga kota berdaulat terbebaskan dari belenggu perhambaan tuan tanah feodal. (?Udara
kota membebaskan,? demikianlah semboyan saat itu). Di zaman modern, otonomi
pemerintahan komunal erat berhubungan dengan pembaruan yang dilaksanakan Freiherr
vom Stein, terutama dalam tata Kotapraja Prusia yang diberlakukan tahun 1808.
Grundgesetz meneruskan tradisi ini dan dengan jelas menjamin pemerintahan komunal
yang otonom pada tingkat kota komune (Gemeinde) dan kabupaten (Kreis). Dengan
demikian mereka berhak untuk mengatur segala urusanmasyarakat setempat secara
mandiri dalam kerangka hukum nasional. Pemerintah kota, komune dan kabupaten harus
dilaksanakan secara demokratis. Perundang-undangan komunal menjadi kewengan
negara bagian. Berdasarkan alasan historis, undang-undang pokok di bidang ini berbeda
dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Namun praktik administrasi komunal pada
umumnya hampir sama di semua negara bagaian.
Sistem swapraja komunal memberi peluang bagi masyarakat untuk turut serta
dalam pelaksanaan politik dan dalam pengawasan. Dalam rapat terbuka untuk warga
setempat, setiap warga dapat berbicara langsug dengan wakil-wakil rakyat yang dipilih, ia
dapat memeriksa anggaran pendapatan dan belanja, atau ikut dalam diskusi mengenai
rencana pembangunan. Kota dan Gemeinde adalah sel-sel kebersamaan politik
masyarakat yang terkecil. Sel-sel itu harus senantiasa berkembang dan memperbarui diri,
agar kemerdekaan dan demokrasi dalam negara dan masyarakat tetap terpelihara.
6. Lembaga Pemerintahan
Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, RFJ berupaya keras untuk tidak
mengulangi politik yang pernah diterapkan dan terjadi sesaat Hitler memegang
kekuasaan. Oleh karena itu diupayakan adanya pembagian kekuasaan dan kewenangan
yang jelas sehingga tidak dapat terulang lagi penyalahgunaan kekuasaan.
1) Lembaga Legislatif :
a) Bundestag (DPR)
Bundestag Jerman adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Federal Jerman. Parlemen
ini dipilih oleh rakyat setiap empat tahun. Pembubarannya (sebelum masa jabatan
berakhir) hanya dapat dilakukan dalam situasi khusus dan menjadi kewenangan Presiden
Federal. Tugas Bundestag yang utama adalah menetapakan undang-undang, memilih
Kanselir dan mengawasi pemerintah.
Sidang pleno Bundestag adalah forum perdebatan besar di parlemen, terutama dalam
diskusi mengenai masalah penting politik dalam negeri dan luar negeri. Pekerjaan awal
mempersiapaan perundangan dilaksanakan dalam rapat-rapat komisi yang biasanya
bersifat tertutup. Disini aspirasi politik harus dipertemukan dengan pandangan para ahli
dari bidangnya masing-masing.
Dalam lingkup tugas komisi terletak juga titik berat pengawasan parlemen atas perilaku
pemerintah. Tanpa pembidangan itu, penyelesaian begitu banyak masalah yang beraneka
ragam tak mungkin tercapai. Bundestag menentukan komisi-komisi sesuai dengan
pembagian bidang tugas yang berlaku pada pemerintah. Ini mencakup Komisi Luar
Negeri, Komisi Sosial sampai Komisi Anggaran Belanja Negara, yang juga memainkan
peranan penting, karena mewujudkan kewenangan parlemen atas pendapatan dan belanja
negara. Kepada Komisi Petisi setiap warga dapat mengajukan permohonan maupun
keluhannya.
Dari tahun 1949 sampai akhir periode legistalif 1990, 6700 rancangan undang-
undang (RUU) diajukan kepada parlemen dan 4400 telah diputuskan. Kebanyakan RUU
tersebut berasal dari pihak pemerintah, bagian lebih kecil dari parlemen sendiri maupun
dari Bundesrat. RUU dibacakan dan dibahas tiga kali kepada komisi yang bersangkutan.
Pada pembacaan ketiga diadakan pemungutan sura. Suatu undang-undang (kecuali
perubahan terhadap konstitusi) diterima, apabila disetujui mayoritas dari jumlah suara
yang diberikan. Untuk udang-undang yang menyangkut kewenangan negara bagian masih
diperlukan persetujuan dari Bundesrat.
Ketua Bundesrat dipilih secara bergilir dari antara negara bagian yang terwakili di
dalamnya untuk masa jabatan setahun. Ketua Bundesrat mewakili Presiden Federal, bila
yang terakhir berhalangan.
2) Lembaga eksekutif :
Pemerintah Federal Jerman, disebut juga kabinet, terdiri atas Kanselir dan para
menteri. Kanselir Federal mempunyai posisi istimewa dan mandiri dalam pemerintah dan
dihadapan para menteri. Ia mengepalai kabinet federal, ia saja yang berhak membentuk
kabinet; Kanselir memilih menteri dan mengajukan usulan mengikat kepada Presiden
Federal untuk mengangkat maupun memberhentikan mereka. Selain itu, Kanselir juga
menentukan jumlah menteri dan bidang tugas mereka. Beberapa kementrian disebutkdan
dalam Grundgesetz; Kementerian Luar Negeri, Kementerian-kementerian Federal Dalam
Negeri, Kehakiman, Keuangan dan Pertahanan. Pengadaan ketiga kementerian yang
disebutkan terakhir merupakan persyaratan konstitusional. Posisi Kanselir yang kuat
bertumpu pada kewenangannya : ia menentukan garis besar kebijakan pemerintah. Para
menteri federal mengepalai bidang tugas masing-masing dengan menjalankan garis besar
tersebut secara mandiri dan atas tanggung jawab sendiri. Dalam politik praktis, Kanselir
harus juga mematuhi kesepakatan dengan partner koalisinya dan menghormati
kepentingan mereka.
Tidaklah salah bila sistem pemerintahan Jerman juga dijuluki sebagai ?demokrasi
Kanselir?. Kanselir Federal adalah satu-satunya orang dalam kabinet yang dipilih oleh
parlemen, hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertanggungjawaban ini dapat berwujud ?mosi tidak percaya konstruktif?. Prosedur mosi
ini sengaja dicantumkan dalam Grundgesetz sebagai perbaikan terhadap UUD Republik
Weimar. Maksud mosi konstruktif ini untuk menghindari jatuhnya pemerintah atas ulah
kelompok-kelompok oposisi yang hanya sepakat menolak pemerintah, tetapi tidak
memiliki program alternatif bersama. Dalam sistem ini, Bundestag yang megnajukan mosi
tidak percaya terhadap anselir, sekaligus harus memilih Kanselir baru. Percobaan
menjatuhkan Kanselir melalui mosi ini telah dua kali dilakukan, tetapi baru satu kali
berhasil : Pada bulan Oktober 1982 melalui mosi tidak percaya terhadap Kanselir Helmut
Schmidt dipilihlah Helmut Kohl sebagai Kanselir baru. Grundgesetz tidak mengenal mosi
tidak percaya terhadap menteri.
Presiden Federal mewakili negara Jerman secara hukum antar bangsa. Ia mengikat
peranjian atas nama Jerman dengan negara lain serta mengakreditasi dan menerima para
duta besar. Namun kewenangan politik luar negeri tetap pada Pemerintah Federal.
3) Lembaga Yudikatif :
a. Umum
Dalam kurun waktu keterpisahan selama empat dekade, tata hukum RFJ dan RDJ
berkembang jauh berbeda. Setelah bergabungnya RDJ ke dalam Republik Federal pada
tahun 1990, diputuskan untuk mengambil tindakan cepat untuk sejauh mungkin
mempersamakan kedua tata hukum agar tercapai kesatuan hukum di seluruh wilayah
Jerman. Hal ini menjadi sangat penting mengingat perluya pengembangan ekonomi di
negara-negara bagian baru. Dengan memperhatikan situasi khusus dan perkembangan
Jerman Timur selama ini, diberlakukan aturan-aturan penyesuaian secara meluas pada
hampir setiap bidang hukum. Proses penyesuaian struktur peradilan, dengan beberapa
pengecualian, saat ini telah dirampungkan.
b. Negara Hukum
Menurut sejarahnya, sistem hukum RFJ berasal dari tata hukum Romawi yang
sebagian diambil alih, dan dari banyak sumber lain di daerah-daerah. Pada abad ke-19
untuk pertama kalinya disusun hukum sipil yang seragam untuk seluruh wilayah Reich
Jerman. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Niaga
sampai sekarang masih bernafaskan semangat liberalisme para penyusunnya. Prinsip yang
mendasari kedua kitab ini adalah kebebasan mengikat perjanjian.
Pihak kepolisian memang dapat menahan seseorang untuk sementara, tetapi tanpa
perintah penangkapan orang tersebut hanya dapat ditahan paling lama sampai akhir hari
penangkapan. Setiap orang mempunyai hak untuk didengar di pengadilan. Hal ini pun
termasuk unsur prinsip negara hukum yang tercantum dalam UUD. Penyelenggaraan
hukum dipercayakan kepada hakim-hakim yang independen dan hanya tunduk kepada
hukum. Mereka sama sekali tidak dapat dipecat, juga tidak dapat dimutasikan tanpa
persetujuan mereka. Peradilan istimewa dilarang.
Kitab undang-undang Jerman telah pula menjadi contoh untuk negara-negara lain:
Kiatab Undang-Undang Hukum Perdata misalnya menjadi acuan untuk penyusunan
kitab-kitab hukum sipil di Jepang dan Yunani.
RDJ tidak mengenal pengadilan tata usaha; tetapi kini pengawasan menyeluruh
terhadap adminstrasi negara juga berlaku di negara-negara bagian baru. Perlindungan
hukum melalui pengadilan khusus masih dilengkapi kemungkinan yang dipunyai setiap
warga untuk mengajukan pengaduan ke Mahkamah Konstitusional Federal. Pengaduan
seperti itu merupakan sarana hukum luar biasa dalam menghadapi pelanggaran hak-hak
asasi oleh alat negara.
Ciri sistem peradilan Jerman adalah perlindungan hukum yang menyeluruh dan
spesialisasi pengadilan yang luas. Terdapat lima jenis pengadilan:
Selain itu, masih ada Mahkamah Konstitusional Federal yang berdiri di luar kelima
bidang peradilan yang diuraikan di atas. Lembaga ini tidak hanya merupakan pengadilan
tertinggi RFJ, melainkan juga lembaga negara yang keberadaannya ditetapkan oleh
konstitusi. Fungsinya memutuskan perkara yang berkaitan dengan Undang-Undang
Dasar.
Sistem sarana hukum yang sangat beragam dan membuka kemungkinan luas untuk
memeriksa kembali keputusan pengadilan. Melalui naik banding dilancarkan kontrol
putusan tersebut dari segi hukum dan dari segi fakta. Jadi dalam proses naik banding
dapat juga dihadapkan fakta-fakta baru. Sementara dalam proses naik banding tahap dua
(revisi) hanya diadakan pemeriksaan yuridis. Diselidiki apakah pengadilan menerapkan
norma hukum primer secara tepat serta memperhatikan hukum acara yang berlaku.
Mahkamah Konstitusional federal Karlsruhe mengawasi ditaatinya Grundgesetz.
Pengadilan ini misalnya memutuskan dakan persengketaan antara federasi dan negara
bagian, ataupun antara lembaga-lembaga pemerintah federal. Hanya mahkamah inilah
yang berwenang memutuskan, apakah suatu partai mengancam pokok tata negara yang
demokratis dan merdeka dan karena itu melanggar konstirusi. Partai yang melanggar
konstitusi juga menyelidiki apakah undang-undang federal dan undang-undang negara
bagian tidak bertentangan dengan UUD; bila dinyatakan bertentangan maka undang-
undang tersebut dicabut kembali. Berkenaan dengan undang-undang, pengadilan tertinggi
ini hanya akan bertindak atas permohonan dari badan-badan tertentu seperti pemerintah
federal, pemerintah negara bagian, sedikitnya sepertiga anggota parlemen atau
pengadilan-pengadilan lain.
Sampai saat ini, Mahkamah Konstitusional Federal telah memutuskan lebih dari
114000 perkara. Sekitar 109640 diantaranya adalah pengaduan atas dasar konstitusi,
tetapi hanya sekitar 2900 yang berhasil. Selalu saja diperkarakan masalah yang
mempunyai jangkauan politis luas di dalam maupun di luar negeri dan menjadi pusat
perhatian publik. Misalnya pernah diperiksa apakah ikut sertanya tentara Jerman dalam
misi-misi PBB bertentangan dengan Grundgesetz. Selama ini sudah beberapa pemerintah
pusat dari berbagai aliran politik harus tunduk di bawah keputusan dari Karlsruhe ini.
Walaupun demikian Mahkamah Konstitusional Federal juga menekankan, bahwa
tugasnya memang memiliki dampak politk, tetapi lembaga itu sendiri bukan suatu badan
politik. Satu-satunya patokan adalah Grundgesetz, yang menentukan kerangka
konstitusional bagi ruang gerak pengambilan keputusan politis. Mahkamah Konstitusional
Federal terdiri dari dua senat, masing-masing beranggotakan delapan hakim yang dipilih
setengahnya oleh Bundestag dan sisanya oleh Bundesrat untuk masa jabatan dua belas
tahun. Pemilihan kembali tidak diperbolehkan.
Singapur