Professional Documents
Culture Documents
kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya
dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia.
Visum et repertum kemudian digunakan bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban
penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah
memeriksa (korban). Khusus untuk perempuan visum et repertum termasuk juga pernyataan oleh dokter
apakah seseorang masih perawan atau tidak.
VeR jenazah
Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat
untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di
depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum[3] .
Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan
berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor
dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang
diperiksa.
Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan.
Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya
tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil
pemeriksaan, berisikan:
1. Jenis luka
2. Penyebab luka
3. Sebab kematian
4. Mayat
5. Luka
6. TKP
7. Penggalian jenazah
8. Barang bukti
9. Psikiatrik
Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini
saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai
dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/KUHAP".
1
Dasar hukum
Dalam KUHAP pasal 186 dan 187. (adopsi: Ordonansi tahun 1937 nomor 350 pasal 1)
Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.
Derajat luka
luka derajat satu: yang tidak menyebabkan gangguan pada pekerjaan luka derajat dua: yang menyebabkan
gangguan sementara pada pekerjaan luka derajat tiga: sesuai definisi luka berat pada KUHP
terdapat beberapa luka pada bagian tertentu. dan terdapat beberapa ciri khusus dalam bagian2 tertentu
korban. biasanya korban akan mengalami depresi atau tekanan jiwa.
2
Visum Et Repertum
Definisi : visum et repertum adalah laporan tertulis yang dibuat berdasarkan atas sumpah jabatan
yang di ketahui oleh dokter dengan sebaik-baiknya mengenai apa yang dilihat dan di temukan pada
korban
Objek Pemeriksaan :
Pengertian Penganiayaan : dengan sengaja meletakkan penderitaan (leed doer), jadi dengan
meletakkan penderitaan tersebut dikehendaki untuk menimbulkan penderitaan dan mengetahui
bahwa penderitaan telah ditimbulkan.Berikut ini beberapa arrest mengenai penganiayaan:
1. Arr HR tanggal 11 Nov 1918 dan 11 oktober 1920 :penganiayaan itu adalah meletakkan
penderitaan dengan itikad jahat;
2. Arr HR tanggal 4 Maret 1929,tentang orang yang tertabrak kendaraan;
3. Arr HR tanggal 9 Nov 1891 , luka yang membahayakan jiwa orang;
4. Arr HR tanggal 8 Januari 1918penganiayaan yang mengakibatkan jatuhnya gigi;
1. memuat Pro Justitia yang ditulis pada sebelah kiri atas tanpa keharusan untuk memberi materai,
maksud dari pro justitia ini adalah untuk kepentingan pengadilan;
2. memuat pendahuluan:memuat siapa yang melakukan pemeriksaan, apa yang harus diperiksa,
siapa yang meminta, serta tempat dan tanggal dilakukan pemeriksaan;
3. memuat pemberitaan , berisi laporan tentang hasil pemeriksaan mengenai apa yang di temukan
sebagai barang bukti;
4. memuat kesimpulan, berisi pendapat dari dokter pemeriksa,oleh karena itu bagian ini tidak
mempunyai kekuatan pembuktian;
5. memuat penutup,mencantumkan bahwa laporan tersebut di buat dengan sejujur-jujurnya dan
sebaik-baiknya dengan mengingat sumpah jabatan sebagai mana termasuk dalam Stb.1937
no.350
Visum et Repertum tidak boleh memasukkan anamnesa (riwayat penyakit korban), karena sifatnya
subjektif, dan pemeriksa harus melaporkan temuanya se objektif mungkin dengan kata-kata yang
baku.
Pemeriksaan terhadap korban yang mati dilakukan pemeriksaan bagian luar maupun dalam, hal ini
dilakukan untuk menjaga bila kemudian hari ada hal yang mencurigakan atas kematianya tidak perlu
menggali kuburannya dan memeriksa jenazah yang sudah rusak, hal ini berkaitan dengan pasal 222
KUHP,namun jarang diterapkan.
3
1. Visum et Repertum Seketika, dibuat secara kronologis dalam satu kali pemeriksaan dari awal
sampai akhir pada bagian kesimpulan di sebutkan apa yang menjadi penyebabnya;
2. visum et Repertum sementara, di buat pada saat itu tetapi secara keseluruhan pembuatan visum
itu belum selesai karena belum bisa mengetahui bagaimana akibat selanjutnya,contohnya :korban
yang terkena tusukan benda tajam memerlukan perawatan;
3. visum et repertum lanjutan, dibuat oleh ahli yang lain yang menyebutkan keadaan korban dan
akibatnya setelah melalui proses perawatan.
Hubungan rahasia jabatan dengan visum -> keharusan memegang rahasia jabatan diatur dalam pasal
322 KUHP dan berlaku terus sampai yang bersangkutan pensiun ; dokter boleh menolak apabila
ditanyakan mengenai visum atas dasar jabatan
rahasia kedokteran => segala sesuatu yang diketahui tentang seorang pasien oleh dokter dalam
melakukan pekerjaanya/karena bidangnya sebagai dokter.
Daya paksa bersifat mutlak => apabila dihadapkan pada ancaman kekerasan yang tidak bisa
dihindarkan sehingga tidak bisa berbuat lain
daya paksa nisbi=> apabila kekerasan itu tidak bersifat fisik,sehingga dokter masih mempunyai
waktu untuk berpikir atau menghindar sehingga masih dapat memilih apakah mau melakukan
pelanggaran hukum atau tidak,jadi tekanan beruapa psikis.
kewajiban menyimpan rahasia jabatan akan hilang jika orang yang bersangkutan memberikan
persetujuanya.Untuk hal ini sebaiknya didiskusikan dengan kawan seprofesi untuk menghindarkan
tuntutan ganti kerugian bagi orang lain,karena terhadap orang yang bersalah melakukan pelanggaran
hak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain,mewajibkan orang yang bersalah menyebabkan
kerugian itu untuk mengganti kerugian
kejahatan terhadap tubuh manusia => ditujukan untuk mengganggu kesehatanya dengan cara
melakukan perbuatan yang menimbulkan rasa sakit/nyeri.
A. Latar Belakang
4
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik
pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana
dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini
sebagaimanaditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2
yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas,maka dalam proses penyelesaian
perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani
dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan
menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal
tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam
hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan
keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun
pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada
soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim
di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. Agar
tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi
kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan
didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang
5
menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180
ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,
hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada
pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan
pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang
berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus,
memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam
menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan
proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting
bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang
dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan
penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal
ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan
ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan
bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik
sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya.
Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik
membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis
tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus
tersebut. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli
dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang
menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman
kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini
6
yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan
dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah
dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan
telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan
semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga
Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak,
mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan
tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama
sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat
20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengaraibahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak
Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk
melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan,
hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang
seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat
ini semakin banyak terjadi pada anak-anak. Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan
serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya
membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan
peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan
upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak
pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan
medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk
kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang
dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa
penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah
hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan
hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh
7
sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena
menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban
robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada
hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh
Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan
bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut. Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan
sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak
Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat
dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan
yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya
dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami
perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus
perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar
dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada
kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan
berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam
visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana
perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan,
hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan
hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat
diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus
perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi
topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANANVISUM ET REPERTUM PADA TAHAP
PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Kota Malang) ”.
8
VISUM ET REPERTUM
Pertanyaan :
4. Apakah seorang korban bisa minta Visum et Repertum sendiri ke dokter untuk menuntut pelanggar
Jawaban :
Secara harafiah visum et repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang diketemukan. Tetapi pengertian peristilahan,
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap
seseorang yang luka atau meninggal dunia (mayat).
2. Permohonan ini harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti
kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Alasannya untuk dapat menyimpulkan hasil pemeriksaannya, dokter tidak
dapat melepaskan diri dari dengan yang lain. Artinya peranan alat bukti yang lain selain korban mutlak diperlukan.
Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman dalam kaitannya dengan persoalan hukum
yang hanya dapat dipecahkan dengan bantuan ilmu kedokteran kehakiman :
1. Hakim pidana, melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik;
9
2. Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran;
3. Hakim pada Pengadilan Agama;
4. Jaksa penuntut umum;
5. Penyidik
Pada prinsipnya visum merupakan hasil rekaman medis dapat diketahui oleh si pasien, keluarga, pengampu atau
pihak lain yang mempunyai keterkaitan dengan pasien secara ekonomi, apabila yang diperiksa tersebut
berkedudukan sebagai pasien dan bukan sebagai barang bukti, yang diserahkan oleh pihak penyidik kepada ahli
kedokteran kehakiman.
Visum et repertum berfungsi sebagai alat bukti yang berupa keterangan dokter atas hasil pemeriksaan terhadap
seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau mati, yang diduga sebagai akibat kejahatan, yang
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dokter akan membuat kesimpulan tentang perbuatan dan akibat
perbuataannya itu.
Visum Et Repertum
PENDAHULUAN
Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap
pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana
sebagaimana yang didakwakan penuntut umum.
Oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut
terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.
Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.
Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru
boleh dijatuhkan oleh hakim apabila:
1. Terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah
2. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana
3. Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa
Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat 1, Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 adalah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Keterangan terdakwa
PENGERTIAN
Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan
sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan
ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Meskipun tidak ada keseragaman format, namun pada umumnya Visum et Repertum memuat hal-hal
sebagai berikut:
Visum et Repertum terbagi dalam 5 bagian:
1. Pembukaan:
• Kata “Pro justisia” untuk peradilan
• Tidak dikenakan materai
• Kerahasiaan
2. Pendahuluan: berisi landasan operasional ialah obyektif administrasi:
• Identitas penyidik (peminta Visum et Repertum, minimal berpangkat LETDA)
• Identitas korban yang diperiksa, kasus dan barang bukti
• Identitas TKP dan saat/sifat peristiwa
10
• Identitas pemeriksa (Tim Kedokteran Forensik)
• Identitas saat/waktu dan tempat pemeriksaan
3. Pelaporan/inti isi:
• Dasarnya obyektif medis (tanpa disertai pendapat pemeriksa)
• Semua pemeriksaan medis segala sesuatu/setiap bentuk kelainan yang terlihat dan diketahui langsung
ditulis apa adanya (A-Z)
4. Kesimpulan: landasannya subyektif medis (memuat pendapat pemeriksa sesuai dengan pengetahuannya)
dan hasil pemeriksaan medis (poin 3)
• Ilmu kedokteran forensik
• Tanggung jawab medis
5. Penutup: landasannya Undang-Undang/Peraturan yaitu UU no.8 tahun 1981 dan LN no.350 tahun 1937
serta Sumpah Jabatan/Dokter yang berisi kesungguhan dan kejujuran tentang apa yang diuraikan pemeriksa
dalam Visum et Repertum tersebut.
Dalam operasional penyidikan, dapat dilaporkan berbagai penemuan dalam pemeriksaan barang bukti/kasus,
diungkapkan dalam:
• Visum et Repertum sementara, atau
• Visum et Repertum sambungan/lanjutan, atau
• Surat keterangan medis
Untuk dapat mengisi Visum et Repertum dengan baik, diharapkan mahasiswa sudah memahami istilah-
istilah khusus yang menyangkut keadaan jenazah, misal kaku jenazah, derik tulang, lebam mayat, hematoma
(darah beku dalam subkutan), bercak jenazah dan lain-lain. Semua istilah-istilah tersebut digunakan untuk
menyamakan persepsi dengan istilah-istilah yang biasa dipakai dan dipahami oleh orang-orang nonmedis
(saksi, polisi, hakim dan lain-lain pihak yang berkepentingan) sehingga memperlancar acara persidangan.
Jangan sekali-kali menggunakan istilah yang sekiranya belum dipahami oleh masyarakat umum dalam
menulis Visum et Repertum. Bila memang ada istilah khusus yang belum terdapat istilah tersebut dalam
istilah sehari-hari, tulislah istilah kedokteran tersebut dengan ditambahi keterangan dalam tanda kurung
seperlunya.
Berikut ini adalah contoh format Visum et Repertum yang sudah diisi.
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. SARDJITO
Jln. Kesehatan Sekip- Yogyakarta Telp. 587333 psw. 351-352
_________________________________________________________________________
VISUM ET REPERTUM
Nomor:.165…/Tahun..2005…………..
()()()()
11
Disetujui diketik/ tidak
Tgl………………………………. Tgl…………………………..
DOKTER KONSULTAN DOKTER
NIP.
IDENTITAS JENAZAH
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Warga negara :
Agama :
Alamat :
IDENTITAS PENYIDIK
Nama :
Pangkat :
NRP :
Jabatan :
Asal :
Surat nomor :
Tanggal :
Peristiwa kasus :
TIM PEMERIKSA
1. Pemimpin :
2. Obduktor I :
3. Obduktor II :
4. Obduktor III :
5. Protokol I :
6. Protokol II :
7. Wartawan I :
8. Wartawan II :
9. Laboran I :
10. Laboran II :
Saksi
1. Penegak Hukum I :
Penegak Hukum II :
2. Yang lain :
TIM LABORAN:
1. 4.
2. 5.
3. 6.
KETERANGAN
12
LABORAN : Dokter/muda yang memeriksa/menganalisa laboratorium dari
sampel jenazah untuk membantu identifikasi
KETERANGAN
KETERANGAN
KETERANGAN
14
pertanyaan-pertanyaan dari para praktisi hukum ialah: Hakim, Jaksa, Pembela atau Penasihat Hukum,
Penyidik atau bahkan dari Terdakwa.
5) Maka dalam menyusun laporan dan kesimpulan harus hati-hati, selalu dikembalikan kepada dirinya
sendiri sebagai pertanyaan dapatkah mempertanggungjawabkan?
6) Dokter yang dipanggil sebagai saksi ahli di pengadilan harus mengucapkan sumpah/janji lagi sesuai
agama dan kepercayaannya masing-masing dokter (Sanksi pasal 161 KUHAP).
Tatacara urutan kesimpulan:
1. Tiap baris kesimpulan diakhiri kalimat diisi nomor penunjuk sebagai alasan, ditulis dalam kurung
2. Kelainan-kelainan yang bersifat fatal/berat disebut lebih dulu sebagai alasan penyebab kematian
3. Kelainan-kelainan yang sifatnya ringan dan tidak ada hubungan dengan penyebab kematian disebut
sebelum akhir kesimpulan
4. Untuk jenazah tidak dikenal, identitas korban disebut pada awal (no.1) kesimpulan
5. Untuk jenazah dikenal, identitas dan saat kematian disebut pada akhir kesimpulan (kalau diperlukan)
6. Untuk kasus kematian mendadak, pada awal kesimpulan, tidak ada kelainan akibat kekerasan
7. Untuk kasus jenazah orok, ada hal-hal khusus yang harus dijelaskan:
a) Umur dalam kandungan
b) Ada/ tidak ada cacat
c) Sudah/ belum ada perawatan normatif
d) Identitas orok-jenis kelamin, golongan darah dan DNA
e) Lahir hidup atau lahir mati (belum/ sudah bernafas)
f) Sebab kematian diluar kandungan
g) Cara kematian
h) Lain-lain yang perlu diinformasikan
8. Untuk kasus gelandangan tidak ada kelainan akibat kekerasan, sebab kematian akibat penyakit/
kelemasan. Selanjutnya jenazah dikirim ke Fakultas Kedokteran UGM atas ijin penyidik dan Pemda
setempat (tertulis) untuk kadaver (bila jenazah masih baik)
9. Untuk jenazah membusuk atau tinggal tulang-tulang perlu disebutkan dalam awal kesimpulan
VI. PENUTUP
Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan dan
berdasarkan Lembaran Negara No. 350 tahun 1937 serta Undang-undang No. 8 tahun 1981.
Tanda tangan,
NIP:
KETERANGAN
15
A. Landasan
1. Ada surat penyerahan jenazah forensik, ditandai dengan serah-terima barang bukti jenazah forensik
2. Ada surat permintaan sementara dari pihak penyidik untuk korban jenazah forensik dengan atau dilampiri
surat persetujuan keluarga untuk dilakukan:
a. pemeriksaan luar saja atau
b. pemeriksaan luar dan dalam
untuk menghindari materai 6000,00 surat pernyataan dengan kode di kiri atas “PRO JUSTISIA”
3. Ada surat permintaan Visum et Repertum definitif, dilampiri surat pernyataan pihak keluarga untuk
dilakukan
a. pemeriksaan luar saja atau
b. pemeriksaan luar dan dalam
4. Setiap pemeriksaan jenazah forensik hanya luar saja:
a. diambil darah untuk golongan darah, deteksi alkohol dan narkoba (untuk identifikasi)
b. ditampung cairan dari hidung dan mulut bila ada praduga keracunan
c. diambil jaringan pada tempat luka untuk pemeriksaan Patologi Anatomi, adanya tanda-tanda intravital
d. diambil Odontologi bila jenazah tidak dikenal
5. Untuk pemeriksaan otopsi disamping dilakukan pemeriksaan luar tersebut di atas, dilakukan otopsi
dimana irisan median tergantung dari:
a. agama
b. jenis kelamin
c. umur (bayi dan tidak bayi/anak)
d. peristiwa
pemeriksaan penunjang:
a. Odontologi bila tak dikenal, koordinasi dengan dokter gigi
b. Sidik jari (daktiloskop), kerjasama dengan dokter anthropolog
c. Patologi anatomi
d. Toksikologi bila:
• Dugaan, cukup lambung dan isinya
• Indikasi keracunan, yang diambil:
• Lambung dan usus
• Hepar, lien, ginjal
• Paru, otak, lidah
• Rambut, kuku, kulit( keracunan kronis)
Pemeriksaan penunjang mempergunakan formulir yang tersedia dengan pengiriman (surat ini):
a. Golongan darah deteksi alkohol dan narkoba
b. PA ke Instalasi PA RSUP Dr. Sardjito
c. Toksikologi sederhana ke BLK (Balai Laboratorium Kesehatan) DIY
d. Toksikologi luas ke Labkrim (Laboratorium Kriminal) Polda Jateng
e. Larva ke Laboratorium Parasitologi untuk kasus membusuk dengan ditemukannya lalat (menentukan
umur lalat dan penunjang saat kematian)
f. Mikrobiologi berupa sampel darah dari ruang jantung bila ada dugaan sepsis
g. Anthropologi berupa sampel tulang-tulang untuk identifikasi (umur, jenis kelamin,ras)
B. Surat-Surat
1. Surat-surat sementara dari pihak penyidik, tetapi segera ditanyakan surat definitifnya
2. Bila korban sudah dirawat di Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter, supaya membuat surat permintaan
informasi data medik sesuai kebutuhan untuk kelengkapan data pembuatan Visum et Repertum
3. Kasus-kasus kecelakaan yang dicurigai adanya praduga kriminal, supaya minta informasi data dari pihak
penyidik yang mengirim yaitu hasil pemeriksaan TKP dan keterangan saksi atau keluarga
4. Semua kasus, tugas wartawan forensik merupakan kunci, terutama kasus-kasus kriminal
5. Semua data terkumpul di TU (Tata Usaha), tidak boleh dibawa pulang oleh siapapun supaya jangan
sampai dituduh menghilangkan barang bukti
6. Surat-surat pelayanan kedokteran forensik termasuk surat pemeriksaan penunjang/ laboratorium
16
toksikologi dalam status Visum et Repertum
7. Surat-surat pemeriksaan keluarga korban dan surat-surat lain dari pihak penegak hukum.
Lakukan secara simulasi prosedur pembuatan Visum et Repertum berikut ini berdasarkan kasus yang
disediakan oleh instruktur.
1. Mengumpulkan data dari anggota tim otopsi forensik (protokol, wartawan dan laboran forensik) dan surat
permintaan otopsi dari pihak penyidik/kepolisian
2. Mencermati data dengan teliti dari hasil visum dan konfirmasi atas data yang kurang jelas (umumnya
masih dalam tulisan tangan/manuskrip) dan surat permintaan visum penyidik.
3. Mengisi blangko formulir Visum et Repertum sesuai dengan data yang telah dihimpun sebelumnya
dengan lengkap (dari A-Z) secara teliti dan hati-hati, meliputi pembukaan, pendahuluan, inti/isi, kesimpulan
dan penutup
4. Melakukan konsultasi dan pengesahan kepada Dokter Konsultan Forensik
DAFTAR PUSTAKA
Guntur, P.J.L.,2000. Penerapan Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Peradilan Pidana. HUT FK-
UGM ke-54 RSUP Dr Sardjito ke-18, Yogyakarta.
Soegandhi, R., 2001. Arti Dan Makna Bagian-Bagian Visum Et Repertum. Ed.2 Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik FK-UGM, Yogyakarta
Soegandhi, R., 2001. Pedoman Pemeriksaan Jenazah Forensik dan Kesimpulan Visum et Repertum di RSUP
Dr. Sardjito, Ed.2. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FK-UGM, Yogyakarta
X. PENUTUP
Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan dan
berdasarkan Lembaran Negara No. 350 tahun 1937 serta Undang-undang No. 8 tahun 1981.
17