You are on page 1of 19

Iman dan Taqwa landasan mencapai 

kesuksesan
Oktober 23, 2008

Oleh Kholid Syamhudi

Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-
senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:

‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة‬


ُ ‫ون إِ َّن هللاَ ه َُو ال َّر َّزا‬ ْ ‫ق َو َمآ أُ ِري ُد أَن ي‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ ْ ‫نس إِالَّ لِيَ ْعبُدُو ِن َمآأُ ِري ُد ِم ْنهُم ِّمن‬
ٍ ‫رِّز‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل‬
ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
ُ‫ْال َمتِين‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi
Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)

Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah
ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.

Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum
mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam
firmanNya :

َ ‫أَ َف َحسِ ْب ُت ْم أَ َّن َما َخلَ ْق َنا ُك ْم َع َب ًثا َوأَ َّن ُك ْم إِلَ ْي َنا الَ ُترْ َجع‬
‫ُون‬

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)

Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun
diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan
bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua
prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah
dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk
kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) syurga atau neraka.

Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proforsonal dalam
mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan
peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling
mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
‫إِنَّ أَ ْك َر َم ُك ْ)م ِعن َد هللاِ أَ ْتقَا ُك ْم إِنَّ هللاَ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.
49:13)

Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:

1, I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha merealisasikannya
dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun
tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;

2, I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon pertolongan
kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga
dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.

Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama,
pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari
rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.

Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada I’tishom billahi dan
I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini.
Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi melindungi
seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan) Allah seperti seorang yang
berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam
perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk)
menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan,
kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom
bi hablillah memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan
kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.

Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa
meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu
kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan
keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan takwa kita semua.

Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat
sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa
mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan
maha mengatur mereka.

Mudah-mudahan bermanfaat.
Pemantapan Iman dan Taqwa
By Buya Masoed Abidin

Pemantapan Iman dan Taqwa


Generasi Muda menghadapi Millenium Ketiga.

Oleh : H. Mas’oed Abidin.*

 
 
Generasi Pelopor
Masa depan ditentukan oleh umat yang memiliki kekuatan budaya yang dominan.[i]
 
Generasi pelopor penyumbang dibidang pemikiran (aqliyah), dan pembaruan (inovator),
perlu dibentuk di era pembangunan. [2]                
 
Keunggulan generasi pelopor akan di ukur ditengah masyarakat dengan pengetahuan dan
pemahaman (identifikasi) permasalahan yang dihadapi umat, dengan equalisasi mengarah
kepada kaderisasi (patah tumbuh hilang berganti). Keunggulan ini di iringi dengan kemampuan
penswadayaan kesempatan-kesempatan. Pentingnya menumbuhkan generasi pelopor menjadi
relevansi tuntutan agama dalam menatap kedepan.[3]
 
Mantapnya pemahaman agama dan adat budaya (tamaddun) dalam perilaku seharian
jadi landasan dasar kaderisasi re-generasi.
Usaha kearah pemantapan metodologi pengembangan melalui program pendidikan dan
pelatihan, pembinaan keluarga, institusi serta lingkungan mesti sejalin dan sejalan dengan
pemantapan Akidah Agama pada generasi mendatang [4].
 
Political action berkenaan pengamalan ajaran Agama menjadi sumber kekuatan besar
menopang proses pembangunan melalui integrasi aktif, dimana umat berperan sebagai subjek
dalam pembangunan bangsa itu sendiri.[5]
 
Pemberdayaan lembaga adat, agama, perguruan tinggi, untuk meraih keberhasilan, mesti
sejalan dengan kelompok umara’ yang adil (kena pada tempatnya).
 
Pertemuan pendapat ilmuan dan para pengamat melalui dialog, penekanan amanah
kepada pemegang kendali ekonomi, menyatukan gerak masyarakat disertai do’a (harapan)
sebagai perpaduan usaha, menjadi pekerjaan mendesak meniti pengembangan pembangunan
(development).  Peran da’i ilaa Allah [6] aktif menyokong mempertahankan nilai-nilai
ruhaniyah sebagai modal dalam menghasilkan yang belum dimiliki.
 
Generasi pelopor (inovator) pembangunan harus dipersiapkan supaya tidak lahir generasi
pengguna (konsumptif) yang tidak produktif, yang merupakan benalu bagi bangsa dan negara.
[7].
 

Melemahnya jati diri


Kelemahan mendasar ditengah perkembangan zaman adalah melemahnya jati diri, dan
kurangnya komitmen kepada nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa [8].
 
Isolasi diri karena tidak berkemampuan menguasai “bahasa dunia” (politik, ekonomi,
sosial, budaya, iptek), berujung dengan hilangnya percaya diri. Kurangnya kemampuan dalam
penguasaan teknologi dasar yang akan menopang perekonomian bangsa, dipertajam oleh
kurangnya minat menuntut ilmu, menjadikan isolasi diri masyarakat bertambah tertutup. Kondisi
ini akan menjauhkan peran serta di era-kesejagatan (globalisasi), dan akhirnya membuka
peluang menjadi anak jajahan di negeri sendiri.[9]
 
Sosialisasi pembinaan jati diri bangsa mesti disejalankan dengan pengokohan lembaga
keluarga (extended family), dan peran serta masyarakat pro aktif menjaga kelestarian adat
budaya (hidup beradat, di masyarakat Minangkabau adat bersendikan syarak, syarak
bersendikan Kitabullah).
 
Setiap generasi yang di lahirkan dalam satu rumpun bangsa wajar tumbuh menjadi
kekuatan yang peduli dan pro-aktif menopang pembangunan bangsa.
 
Melibatkan generasi muda secara aktif menguatkan jalinan hubungan timbal balik antara
masyarakat serumpun di desa dalam tata kehidupan sehari-hari.
Aktifitas ini mendorong lahirnya generasi penyumbang yang bertanggung jawab, di
samping antisipasi lahirnya generasi lemah. [10]
 
Yang diperlukan adalah generasi yang handal, dengan daya kreatif, innovatif, kritis, dinamis,
tidak mudah terbawa arus, memahami nilai- nilai budaya luhur, siap bersaing dalam knowledge based
society, punya jati diri yang jelas, memahami dan mengamalkan nilai- nilai ajaran Islam sebagai
kekuatan spritual.

Kekuatan yang memberikan motivasi emansipatoris dalam mewujudkan sebuah kemajuan


fisik-material, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

 
 

Arus Globalisasi
Kearifan Menangkap Ruh Perubahan Zaman
Menjelang berakhirnya alaf kedua memasuki millenium ketiga, abad dua puluh satu ditemui
lonjakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat.[11]
Globalisasi sebenarnya dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau proses menjadikan sesuatu
mendunia (universal), baik dalam lingkup maupun aplikasinya. [12]

Era globalisasi adalah era perubahan cepat.

Dunia akan transparan, terasa sempit seakan tanpa batas. Hubungan komunikasi, informasi,
transportasi menjadikan jarak satu sama lain menjadi dekat, sebagai akibat dari revolusi industri, hasil
dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Arus globalisasi juga menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional
menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern.[13]

Arus kesejagatan (globalisasi) secara dinamik memerlukan penyesuaian kadar agar


arus kesejagatan tidak mencabut generasi dari akar budaya bangsanya. Sebaliknya arus
kesejagatan mesti di rancang bisa merobah apa yang tidak di kehendaki [14].
Membiarkan diri terbawa arus deras perubahan sejagat tanpa memperhitungkan
jati diri akan menyisakan malapetaka.
         

Globalisasi menyisakan banyak tantangan (sosial, budaya, ekonomi, politik, tatanan, sistim,
perebutan kesempatan menyangkut banyak aspek kehidupan kemanusiaan.[15]

Globalisasi juga menjanjikan harapan dan kemajuan.

Setiap Muslim harus ‘arif dalam menangkap setiap pergeseran dan tanda-tanda perubahan
zaman. Kejelian dalam menangkap ruh zaman (zeitgeist) mampu men- jaring peluang-peluang yang ada,
sehingga memiliki visi jauh ke depan.[16]

Diantara yang menjanjikan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadi alat untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.[17]

Sungguh nikmat yang wajib disyukuri. “Lain syakartum la adzidannakum“. Yang mampu menjaga
nikmat Allah (syukur), secara ekonomis dan politis mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dan
memelihara stabilitas kawasan, maka nikmat itu akan ditambah.

 
Bila tindakan tidak terpuji menjadi kenyataan, korupsi, kolusi, pemeliharaan lingkungan
dilupakan, nikmat akan diubah menjadi bencana seperti krisis moneter (krismon) berkembang menjadi
krisis ekonomi (krisek) seterusnya menjadi krisis total (kristal), yang telah melanda kawasan Asia
Tenggara termasuk Indonesia sejak tahun 1998.

Namun di kawasan ini masih tersimpan potensi besar, berbentuk natural resource, dengan
jumlah populasi penduduk yang besar dan menjanjikan tersedianya human power resources yang tinngi
dimasa depan. Apa artinya semua ini? Kita akan menjadi pasar raksasa.[18]

Pertanyaan perlu jawaban segera, “sudahkah kita siap menghadapi perubahan zaman yang
cepat dan penuh tantangan ini?” Jawabannya segera melaksanakan kewajiban mempersiapkan generasi
baru yang siap bersaing dalam era global tersebut dengan memadukan seluruh potensi yang ada.

 
Karena itu, perlu sekali penjalinan kerja sama lembaga-akademik dengan penggunaan
fasilitas akan mendorong penelitian terhadap perubahan yang terjadi dan memberikan petunjuk
dalam menggali ekoteknologi yang memiliki kearifan ramah lingkungan.
Konsekwensinya wajib ditanamkan keyakinan bahwa apa yang ada sekarang, sebenarnya
menjadi milik generasi mendatang. Generasi kini berkewajiban memelihara secara utuh nilai-
warisan yang akan diserahkan secara estafeta kepada generasi pengganti, secara yang lebih baik
dan lebih sempurna.
 
Tujuan yang hendak dicapai adalah terwujudnya kesejahteraan dengan adil melalui
program pembangunan merata yang perlu disertai prinsip jelas, equiti berkesinambungan,
sehingga partisipasi tumbuh dari bawah sehingga setiap individu di dorong maju, aman dan
terjamin kesejahteraan [19].
Perancangan pembangunan arus bawah di hidupkan dengan pendekatan holistik (holistic
approach). Sasaran berikut pemantapan jati diri bangsa dan bernegara untuk memperkuat
interaksi kesejagatan.[20]
Pemberdayaan institusi (lembaga) kemasyarakatan yang ada (adat, agama, perguruan
tinggi), dalam meraih keberhasilan, mesti disejalankan dengan kelompok umara’, penguasa
yang adil (kena pada tempatnya. Dari sini akan dirasakan spitrit reformasi.
 
Mengantisipasi perkembangan kedepan melahirkan keharusan memelihara gerak
pertumbuhan dari bawah (bottom-up). Usaha nyata di kembangkan melalui ekonomi keluarga
dengan memfungsikan kekuatan ekonomi pasar dimulai dari pedesaan.
Yang akan memimpin orang banyak adalah yang bisa berbuat banyak untuk orang
banyak itu.
 
Ada pula kewajiban untuk membentuk Sumber Daya Umat (SDU) yang bercirikan kebersamaan
dengan nilai asas “gotong royong”, berat sepikul ringan sejinjing, atau prinsip ta’awunitas.

 
Betapapun krisis tengah melanda Indonesia sebagai bahagian dari kawasan Asia
Tenggara, namun sebagai bangsa yang besar semestinya bersikap optimis dengan dorongan
semangat besar bahwa bangsa (kawasan) ini akan menjadi pusat kegiatan di masa datang, dalam
penguasaan ekonomi ataupun intelektual menghadapi percaturan abad ke duapuluh satu.
 
Suatu kenyataan selama ini instalasi kekuatan ekonomi terpegang jumlah terkecil
(selected minority) dari pelaku ekonomi dan menguasai kebutuhan mayoritas penduduk di
pedesaan.
Apabila masyarakat pedesaan dengan kekuatan kecil ini mampu dibangkitkan peran
sertanya dalam penguasaan kebutuhan primer terbesar masyarakat, maka adalah suatu
keniscayaan semata bangsa ini akan dapat bergerak secara pasti menjadi umat yang di
perhitungkan.
 
Upaya intensif ini semestinya menjadi penggiring Sumber Daya Umat dengan tetap bertumpu
kepada science dengan nilai agama dan budaya, dan secara tegas tidak terjatuh kepada sikap-sikap non-
science. Tugas ini perlu di emban secara terpadu.

Dzurriyatan dhi’aafan
The Loses Generation
Kecemasan di tengah perkembangan zaman (era globalisasi) tampilnya generasi yang
belum siap memerankan tugas di masa depan. Gejala itu terlihat dari banyaknya generasi bangsa
yang terdidik menjadi ikut pengembang prilaku non-science seperti kecenderungan kepada hal-
hal yang berbau mistik, paranormal, pedukunan, penguasaan kekuatan jin, budaya lucah,
pergaulan bebas, free sex, kecanduan ectacy (XTC), menjadi konsumen setia penanyangan
pornografi (VCD,Internet,booklet,majalah), ditengah-tengah berkembangnya iptek.
Gejala ini tampil kepermukaan pergaulan dan tidak jarang telah dipermudah oleh
kemajuan teknologi informasi dan produk cyber space.
 
Kecemasan lain adalah tumbuhnya pemenuhan keinginan non- selektif (mubazir.,
wasted), peniruan gaya hidup tidak berukuran. Tindakan non-ekonomis ini jangka pendek
berdampak menghambat kesiapan menatap masa depan.
Kondisi ini terjadi lebih banyak dikarenakan kurangnya interest terhadap agama dan
karena mulai meninggalkan puncak-puncak budaya yang diwarisi. Situasi masyarakat yang
mulai kehilangan ukuran pantas dan patut, diperberat oleh tindakan para pemimpin formal
dan non-formal yang seringkali banyak terpaut pada pengamalan tradisional  dan non-science
tersebut.
Problematika sosial dan prilaku ini hanya bisa diatasi dengan memelihara kemurnian Akidah
(paradigma tauhid) agar tidak terjadi pemahaman agama yang campur aduk, dan tidak pula terjerumus
kepada pengamalan kehidupan materialis yang berakhir dengan hedonistik.

Kecemasan lain ada sebahagian generasi yang bangkit kurang menyadari tempat berpijak.
Pada kawasan yang tengah berkembang memang lazim ditemui pemeranan kolektivitas
lebih mengedepan daripada aktivitas individu. Solusinya dapat diatasi dengan menyatukan
gerak langkah tetap memelihara sikap harmonis guna menghindari eksploitasi dalam hubungan
bermasyarakat. Implementasi konsep aktual sangat penting dikembangkan melalui research
untuk membentuk kondisi.
 
 
Paradigma Tauhid
Paradigma tauhid, laa ilaaha illa Allah, mencetak manusia menjadi ‘abid, hamba yang
mengabdi kepada Allah dalam arti luas,  berkemampuan melaksanakan ajaran syar’iy mengikuti
perintah Allah dan sunnah Rasul Allah, untuk menjadi manusia mandiri (self help), sesuai
dengan eksistensi manusia itu di jadikan.[21]
 
Manusia pengabdi (‘abid) adalah manusia yang tumbuh dengan Akidah Islamiah
yang kokoh. Akidah Islamiah merupakan sendi fundamental dari dinul Islam, dan titik dasar
paling awal untuk menjadikan seorang muslim.
 
Akidah adalah keyakinan bulat tanpa ragu, tidak sumbing dengan kebimbangan,
membentuk manusia dengan watak patuh dan ketaatan yang menjadi bukti penyerahan
total kepada Allah.
         

Akidah menuntun hati manusia kepada pembenaran  kekuasaan Allah secara absolut. Tuntunan
Akidah membimbing hati manusia merasakan nikmat rasa aman dan tentram dalam mencapai Nafsul
Mutmainnah dengan segala sifat-sifat utama.[22]

          Manusia berjiwa bersih (muthmainnah) selalu memenuhi janjinya terhadap Allah (Yang Maha
Menjadikan), dan tidak pernah merusak perjanjian dengan Allah dalam melaksanakan semua perintah
Allah secara konsekwen, serta berupaya membina diri untuk tidak mencampurkan iman dengan
kedzaliman (syirik).[23]

          Konsistensi istiqamah adalah sikap yang tidak mencampur-baur keimanan dan
kemusyrikan dalam mengamalkan syari’at Islam secara tidak terputus ibarat akar dengan
pohonnya.[24]
          Karena itu, sangat mustahil bagi muslim untuk hidup dengan tidak memiliki iman
(Akidah) secara benar. Hakikinya tanpa Akidah tidak ada artinya seorang muslim.
          Akidah Islamiah ialah Iman kepada Allah dengan mengakui eksistensiNya (wujudNya).
Akidah adalah landasan utama (dasar) Dinul Islam yang bersifat Abadi dan Universal (tidak
berubah sepanjang masa).

 Konsekwensi misi risalah, menempatkan Allah pada titik Centris atau pusat dari segala-galanya,
mewajibkan semua makhluk untuk menempatkan kepatuhan, mono loyalitas kepada Allah semata. [25]

Dengan paradigma tauhid secara mudah dapat dipahami posisi ibadah dalam spirit
penghambaan kepada Allah bukan dalam pengertian sempit semata-mata tetapi secara konsisten
penuh keikhlasan melaksanakan semua perintah-perintah Allah tanpa reserve dengan penuh
disipilin diri mencari redha Allah.
Sikap tawakkal merupakan konsekwensi dari ikhtiar dan usaha  yang keduanya berjalin
berkulindan merupakan mekanisme terpadu dalam kerangka kekuasaan Allah Yang Maha
Kuasa dan Agung. Keyakinan tauhid mengajarkan kesadaran mendalam bahwa Allah selalu ada
disamping manusia. Karena itu keyakinan iman dan taqwa mampu menepis rasa takut untuk
berbuat dan gentar menghadapi resiko hidup. Apabila Akidah tauhid telah hilang, dapat
dipastikan akan lahir prilaku fatalistis dengan hanya menyerah kepada nasib sambil bersikap
apatis dan pesimis. Sikap negatif ini adalah virus berbahaya bagi individu pelopor penggerak
pembangunan.
Keyakinan tauhid secara hakiki menyimpan kekuatan besar berbentuk energi ruhaniah
yang mampu mendorong manusia untuk hidup inovatif. ***
Menuju Masyarakat Madani
          Salah sekali anggapan bahwa agama Islam hanya sebatas ritual pada hari-hari tertentu.
Sesat sekali pendapat beragama hanya di batasi ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majlis
ta’lim semata. Terlalu sesat memahami agama yang tidak kena mengena (relevan) dengan gerak
kehidupan riil, tatanan politik pemerintahan, sosial ekonomi, budaya, hubungan hak asasi
manusia, atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agama Islam berdasar al Quran berperan multifungsi, “mengeluarkan manusia dari sisi gelap
kealam terang cahaya (nur)”[26].
          Bila Islam tidak diamalkan dari inti nilai-nilai dasar (basic of value) Dinul Islam, atau hanya sebatas
kulit luar berupa ritual ceremonial, maka umat ini tidak akan berkemampuan bertarung di tengah
perkembangan dunia global pada abad keduapuluh satu mendatang.
          Masyarakat yang lalai senang menerima, suka menampung dan menagih apa-apa yang tidak
diberikan orang, cenderung menjadi bangsa pengemis yang kesudahannya membawa bangsa ini
bertungkus lumus (terjerumus) kepada penggadaian menjual diri, dan tampillah pelecehan nilai-nilai
bangsa.
          Dinul Islam menyimpan rahasia besar “gerakkan tanganmu, Allah akan menurunkan untukmu
rezeki” [27].
          Nilai ajaran dinul Islam melahirkan masyarakat proaktif menghadapi berbagai keadaan sebagai
suatu realitas perbaikan kearah peningkatan mutu masyarakat.
Abad kedepan akan banyak berperan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge base
society), berbasis budaya (culture base sociaty) dan berbasis agama (religious base society). Peran
terbesar para intelektual aktif menata ulang masyarakat dengan nilai-nilai kehidupan berketuhanan dan
bertamaddun sebagai mata rantai tadhamun al Islami (modernisasi, pengenalan Islam ketengah
peradaban manusia). Peran ini penting untuk menggiring masyarakat Indonesia ini menuju masyarakat
madaniyah (maju, beradab). [28]
 
Menghidupi Masyarakat  Desa
(Kaum Dhu’afak)
Mengangkat taraf hidup kelompok lemah, akar serabut (grass root) dari masyarakat alas
terbawah piramida, bukan usaha mustahil dikerjakan. Asal saja dapat merasakan nilai kepentingan,
mempunyai daya inisiatif dan imagination (daya cipta) mengangkatnya, tentu akan dapat memulainya.
[29]

         

Kepandaian-kepandaian betapapun sederhananya, seperti membuat tempe, tahu dan kecap, membibitkan buah-buahan, menanam sayur
mayur, merangkai dan mengatur bunga, menganyam tikar, beternak itik ataupun ayam buras, dengan jumlah kecil, dizaman jet supersonic
dan satelit-satelit mengitari bumi seperti sekarang ini, tidak dapat dikatakan apalah artinya. Tidak dapat dianggap rendah usaha-usaha
kecil yang mungkin oleh banyak kalangan dianggap kurang bermakna.
Proses mempertinggi kesejahteraan hidup dhu’afak, adalah rangkaian gerbong yang erat
terkait dengan proses pembangunan ekonomi bangsa.
Proces geraknya bisa dipercepat. Ada undang-undang bajanya sendiri, yang tak dapat
tidak, harus dijalani, yang umumnya bersifat natuurlijk (alami dan sunnatullah), yaitu faktor
manusia yang terikat erat dengan adat kebiasaan. Karena sering dilupakan, akhir kesudahannya
menanggung akibat-akibat yang mengecewakan.
Andai kata faktor kebiasaan masyarakat sengaja dilupakan maka nasibnya tak ubah dari
nasib induk ayam menetaskan telor itik. Akibat langsung adakalanya program tidak jalan,
pemborosan disegala sektor, malah didapati tindakan yang wasted (mubazir).
Dalam setiap proses pembangunan keumatan (umatisasi) tidak selalu harus ditilik dari sudut efisiensi dan rendemen ekonomis semata,
tetapi perlu ada pemahaman mendalam kedalam lubuk hati serta kemauan pada diri umat secara individu ataupun kelompok yang akan
dibawa serta dalam proses pembangunan itu..
          Daerah kita terkenal sebagai daerah yang kaya dengan sumber alam. Sumber Daya Alam (natural
resources) belum seluruhnya di olah. Dapat dikatakan bisa mendukung suatu pertumbuhan ekonomi
yang sehat. Tetapi kecenderungan penduduknya dibidang ekonomi baru kepada mencari nafkah
dengan memindah-mindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat yang lain saja.

Adapun menghasilkan barang belum cukup mendapat perhatian. Padahal sumber kemakmuran
yang asasi adalah produksi, yakni menghasilkan barang.  Peran ini seringkali “dilupakan”. Latar
belakang  usaha sebenarnya adalah merombak tradisi dengan membuka pikiran masyarakat dan
merintis jalan baru, memulai dari urat masyarakat dengan cara-cara yang praktis.

          Melalui amaliyah yang sepadan dengan kekuatan yang tersedia dalam tubuh masyarakat
mestinya disertai serentak membangun jiwa dan  pribadi untuk menjadi umat yang sadar.
Umat perlu dihidupkan jiwanya menjadi satu umat yang mempunyai falsafah dan tujuan hidup
(wijhah) yang nyata, memiliki identitas (shibgah), bercorak kepribadian terang (transparan)
untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Suatu bentuk dan susunan hidup
berjama’ah yang diredhai Allah yang dituntut oleh “syari’at” Islam. sesuai dengan Adat
basandi Syara’ dan Syara’ nan basandi Kitabullah. Upaya ini secara luas merupakan “satu
aspek dari Social Reform”, yang tidak dapat diabaikan. Memang begitulah hakekatnya. Karena
pekerjaan ini akan menafaskan jiwa lain, yaitu berusaha di urat masyarakat.
         
Menumbuhkan kekuatan yang terpendam dikalangan yang lemah (kaum dhu’afak), di
awali oleh memerankan hubungan kepedulian terhadap kebiasaan hidup melalui program
silaturrahmi yang saling memahami dan bukan dalam bentuk sekedar “meminta atau membagi
nasi bungkus”.
Pembinaan dhu’afak di dukung oleh cita-cita hendak menjelmakan tata-cara hidup
kemasyarakatan berdasarkan

(a).  hidup dan memberi hidup, (ta’awun) bukan falsafah berebut hidup,

(b).  menanam tanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin dari tiap anggota masyarakat
sebagai suatu kesatuan menyeluruh secara timbal balik (takaful dan tadhamun);

(c).  mengajarkan keragaman serta ketertiban  dan disiplin jiwa dari dalam, bukan penggembalaan
dari luar;

(d).  menumbuhkan ukhuwwah yang ikhlas, bersendikan Iman dan Taqwa;

(e).  mengajarkan hidup seimbang (tawazun) antara kecerdasan otak dan ketangkasan otot tangan,
antara ketajaman akal dan ketinggian akhlak, antara amal dan ibadah, antara ikhtiar dan do’a.

Demikian pandangan hidup dan identitas  umat yang hendak di pancangkan.

Tentu tidak seorangpun yang berpikiran sehat di negeri ini yang akan keberatan terhadap
penjelmaan masyarakat semacam itu dengan cara dan alat-alat sederhana tetapi dengan api cita-cita
yang berkobar-kobar dalam dada masing-masing, dengan nawaitu tertanam sejak semula. Yang perlu
dijaga adalah agar api nawaitu jangan padam atau berubah di tengah jalan.

Besar kecilnya nilai amal terletak dalam niat yang menjadi motif untuk melakukannya. Tinggi
atau rendahnya nilai hasil yang dicapai sesuai dengan tinggi rendahnya mutu niat dari yang mengejar
hasil itu.

          Amal akan kering dan hampa, tatkala kulit luarnya di lakukan, tetapi tujuan nawaitu-nya hilang di
tengah jalan. Bila kondisi ini kelihatan tanda-tanda akan kehilangan nawaitu-nya, maka kewajiban social
control (nahyun ‘anil munkar) harus lekas-lekas dilaksanakan, agar masyarakat jangan berserak dan
terseret hanyut oleh arus pengejaran benda-benda yang bertebaran semata, perlu pula lekas-lekas
dipintasi dengan mengemukakan social support (amar makruf) secara jelas. Insya Allah masyarakat
lemah (dhu’afak) akan kuat dan masuk shaf kembali. Itulah inti kesatuan dan persaudaraan (ukhuwah
dan badunsanak ) itu.

Sebenarnya seorang pemimpin pelopor penggerak pembangunan memikul beban


menghidupkan dapur masyarakatnya dengan sungguh-sungguh.

Kebahagiaan tertinggi seorang pemimpin tatkala dapat menghidupkan salah satu dari ribuan
dapur yang senantiasa berasap karena usahanya. Tak ada bahagia dalam kekenyangan sepanjang
malam, bila si-jiran setiap akan tidur diiringi lapar  (al Hadist).
Semestinya di pahami apa yang terkandung dalam kalimat-kalimat sederhana, menyesuaikan
ikrar dengan ucapan, menyelaraskan perencanaan dengan pelaksanaan, menyamakan harapan
dengan kenyataan, memerlukan kesungguhan gerak disamping gagasan. Apa yang diucapkan oleh lidah
dan tergores dalam hati dapat dijadikan bimbingan untuk menerjemahkan kesetiaan kepada kalangan
bawah (dhu’afak) kaum lemah melalaui perlakuan nyata dalam amal perbuatan.

Tujuan akhir yang lebih mulia adalah mencari keridhaan Allah jua, Moga-moga, Amin. ***

         

Perankan Aktivitas Kembali Masjid

Tatkala orang partai dan masyarakat sibuk berpolitik, berorganisasi, dan berlambang maka
kalimat ajakan “Makmurkan Masjid kembali, Tegakkan Jamaah dari sana”, sering disambut dengan
sikap skeptis dan dingin.

Sipongang seruan itu kurang menarik. Masalahnya dirasakan kurang aktuil. Program ini dianggap
tidak vital bila di banding dengan nafas “demam perjuangan politik” atau “spirit reformasi”.

            Sikap ini sebenarnya lahir karena sudah lama terkurung tanpa sadar dalam kerangka cara
berpikir konvensional dan statis. Pada hal “Masjid sebagai pusat pembinaan potensi umat” adalah
warisan tak ternilai yang diterima umat Islam dari Rasulullah SAW. [30]

         
Masjid bukan semata-mata tempat shalat.[31]
          Masjid adalah untuk menegakkan ibadah dan menyusun umat. Islam tidak dapat tegak tanpa
jamaah. Ajaran-ajaran Islam adalah jalinan ibadah dan muamalah. Yang satu “mu’amalah dengan Khaliq
(hablum min Allah)”, yang lainnya “mu’amalah dengan makhluk (hablum min an-naas)”. Ini kaji, yang
sudah terang perintah wajibnya. Masyarakat Islam memikul kewajiban membina masyarakat (jamaah)
karena beban langsung dari agamanya. Masjid dalam warisan Risalah Islam berfungsi sebagai pangkalan
Umat tempat membina jamaah, menambah pengertian dan wawasan, mempertinggi kecerdasan,
menanamkan akhlaq, memelihara budi pekerti, mendinamika jiwa, memberikan pegangan hidup bagi
para anggota masyarakat (jamaahnya), guna menghadapi masalah pokok dalam persoalan hidup.

         

Masjid dan Langgar (surau) yang hidup dan dinamis, berperan sebagai pusat bimbingan untuk
menaikkan jiwa umat (mendinamisirnya) untuk mencapai taraf kemakmuran hidup lebih baik.[32]

          Masjid yang hidup sebagai pusat pembinaan umat, akan meng- hidupkan jiwa jamaahnya supaya
terpelihara “Izzah”, kepribadian umat yang sedang berkecimpung dalam masyarakat ramai dari berbagai
corak,, ibarat ikan ditengah air laut yang hidup, tetap dapat memelihara dagingnya tetap segar dan
tawar walaupun terus menerus berendam dalam air asin.
 

Jamaah umat Islam dapat saling berlomba dengan masyarakat lainnya dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan secara bersama-sama guna menyuburkan kebajikan untuk masyarakat umum.
Begitulah fungsi Masjid secara hakiki.

Kewajiban Umat “Membina Jamaah melalui Masjid” ini tidak boleh dilalaikan (di kucawaikan)
dalam keadaan bagaimanapun. Hidupkan Masjid kembali. Dari masjid yang hidup akan terpancar jiwa
yang memancarkan cahaya hidup kepada umat disekelilingnya. Inilah program umatisasi.

          Masjid adalah sumber kekuatan umat Islam masa lalu, sekarang dan di masa depan.[33]

          Alangkah meruginya Umat Islam, bila mereka tidak kunjung mengenal dan
mempergunakan modal kekayaan tak ternilai jumlahnya yang dapat dijadikan sumber
kekuatannya ini.
 

Kepada Umat Muhammad SAW, di amanatkan, Masjid yang hidup berfungsi untuk “mencetak”
manusia yang hidup yang tidak kenal gentar selain hanya kepada Allah..

Apakah kita sudah lupa bahwa, hanya yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah :

“ orang-orang yang beriman kepada Allah,

“ dan kepada hari kemudian,

“ serta menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat,

“ dan tidak takut melainkan (hanya) kepada Allah,

          “ maka mudah-mudahan, mereka termasuk orang yang terpimpin” (QS..9,at-Taubah:18).

          Ini tuntutan yang mesti di terima Umat Islam dari Syariat Islam yang tidak dapat disangkal
wajib berlakunya atas pemeluknya di negeri ini. Kembali ke Masjid.
 

Wallahu a’lam.**

Iman dan Taqwa Landasan Mencapai Kesuksesan


Posted by abu ubaidillah
Kita diciptakan di dunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-
senang dan bermain-main. Tujuan dan hikmah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman
Allah ta’ala:

‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة‬


ُ ‫ون إِ َّن هَّللا َ هُ َو ال َّر َّزا‬ ْ ‫ق َو َما أُ ِري ُد أَ ْن ي‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ ٍ ‫ُون َما أُ ِري ُد ِم ْنهُ ْم ِم ْن ِر ْز‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َواإل ْن‬
ِ ‫س إِال لِيَ ْعبُد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
ُ‫ْال َمتِين‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi
Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh. (QS. Adz Dzariyaat:56-58)

Allah ta’ala telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia
adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.
Sehingga Allah ta’ala pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia
yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan
tertentu dalam firmanNya :

َ‫أَفَ َح ِس ْبتُ ْم أَنَّ َما َخلَ ْقنَا ُك ْم َعبَثًا َوأَنَّ ُك ْم إِلَ ْينَا ال تُرْ َجعُون‬

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. Al Mu’minuun : 115)

Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun
diciptakan untuk satu hikmah. Allah ta’ala tidak menjadikan manusia hanya untuk makan,
minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, kemudian tidak dimintai 
pertanggungjawaban atas semua perilakunya di dunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita
semua diciptakan untuk satu hikmah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan,
kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa
atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) surga atau neraka.

Adapun orang-orang kafir dan musyrik dan sejenis mereka adalah orang yang berkeyakinan
bahwa mereka diciptakan di kehidupan dunia ini seperti di ciptakannya binatang ternak dan agar
meninkmati kehidupan ini seperti kehidupan binatang ternak. Keadaan dan pernyataan mereka
menyatakan, seperti yang Allah ta’ala ceritakan:

ُ ‫َوقَالُوا َما ِه َي إِال َحيَاتُنَا ال ُّد ْنيَا نَ ُم‬


‫وت َونَحْ يَا َو َما يُ ْهلِ ُكنَا إِال ال َّد ْه ُر‬

Dan mereka berkata:”Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan
kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (Al Jaatsiyah. :24).

Lalu Allah menghukumi mereka dengan firmanNya:

َ‫ك ِم ْن ِع ْل ٍم إِ ْن هُ ْم إِال يَظُنُّون‬


َ ِ‫َو َما لَهُ ْم بِ َذل‬
Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja. (QS. Al Jaatsiyah :24)

Allah ta’ala juga mengancam mereka dengan api neraka sebagai tempat kembali mereka dengan
sebab keyakinan tersebut, dalam firmanNya:

‫َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا يَتَ َمتَّعُونَ َويَأْ ُكلُونَ َك َما تَأْ ُك ُل األ ْن َعا ُم َوالنَّا ُر َم ْث ًوى لَهُ ْم‬

Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti
makannya binatang-binatang.Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (QS. Muhammad : 12)

Karena mereka tidak beriman kepada kebangkitan dan hari pembalasan dan tidak juga beriman
kepada negeri akherat! Sehingga mereka seperti orang-orang kafir dan munafiq yang Allah
ta’ala sifatkan dengan firmanNya:

????? ?????? ??????? ?????? ??? ???????????

Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. Al
Baqarah : 18)

Sedangkan orang kafir Allah ta’ala nyatakan:

َ‫ص ٌّم بُ ْك ٌم ُع ْم ٌي فَهُ ْم ال يَرْ ِجعُون‬


ُ

Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS. Al Baqarah : 171)

Maknanya mereka tidak mau mendengarkan kebenaran, dan seandainya mau mendengarkan pun
mereka tidak mau menerimanya. Mereka tidak berbicara dengan kebenaran, seandainyapun
mereka berbicara tentu tidak akan dikerjakan dan diamalkan. Bahkan mereka memperturutkan
kemauan hawa nafsunya sehingga jadilah mereka seperti kedudukan hewan!.
Kemudian Allah ta’ala membuat permisalan lain dalam firmanNya:

ُ ‫َو َمثَ ُل الَّ ِذينَ َكفَرُوا َك َمثَ ِل الَّ ِذي يَ ْن ِع‬


‫ق بِ َما ال يَ ْس َم ُع إِال ُدعَا ًء َونِدَا ًء‬

Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang
memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. (QS. Al Baqarah :
171)

Allah ta’ala jadikan mereka seperti onta dan kambing yang dipanggil penggembalanya, namun
hewan-hewan tersebut tidak bisa memahami panggilannya, dan mereka hanyalah mendengar
suara dan mengikuti sumbernya. Ini adalah permisalan buruk untuk mereka.

Sepatutnya seorang muslim mengambil pelajaran dan menjauhkan diri dari meniru mereka, itu
dengan memiliki pandangan jauh, pendengaran yang dapat mengambil manfaat dan akal yang
berfikir tentang hal-hal yang bemanfaat.
Demikianlah, seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan
proporsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia
adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah ta’ala dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu,
orang yang paling sukses dan paling mulia di sisi Allah ta’ala adalah yang paling taqwa,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ta’ala:

‫إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ أَ ْتقَا ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al
Hujuraat:13)

Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:

1.  I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah ta’ala dan berusaha
merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari
kesesatan. Namun hal ini pun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;

2.  I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon
pertolongan kepada Allah ta’ala dari seluruh rintangan dan halangan dalam mewujudkan yang
pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.

Sebab, seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama,
pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari
rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.

Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada I’tishom
billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen
dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan
I’tishom billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai
(keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan di atas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti
membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan
tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan
dari kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata
menjadi alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan.  I’tishom bi hablillah
memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan kesiapan,
kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.[ Pernyataan beliau
diambil dari kitab Bada’i Al Tafasir Al Jaami’ Litafsir imam Ibni Qayyim Al Jauziyah, karya
Yasri Al Sayyid Muhammad, terbitan Dar Ibnul Jauzi 1/506-507.]

Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya
tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang
merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut
dengan menjadikan keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah  dan peningkatan iman
dan takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita  untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat
sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah ta’ala anugerahkan. Semua itu agar mereka
mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb
yang maha pencipta dan maha mengatur mereka.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Ust. Kholid Syamhudi, Lc

Oct 27, '08 4:44 AM


iman dan takwa
untuk

Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-
senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:

‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة‬


ُ ‫ون إِ َّن هللاَ ه َُو ال َّر َّزا‬ ْ ‫ق َو َمآ أُ ِري ُد أَن ي‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ ْ ‫نس إِالَّ لِيَ ْعبُدُو ِن َمآأُ ِري ُد ِم ْنهُم ِّمن‬
ٍ ‫رِّز‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل‬
ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
ُ‫ْال َمتِين‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi
Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)

Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah
ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.

Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum
mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam
firmanNy                                                                

َ ‫أَ َف َحسِ ْب ُت ْم أَ َّن َما َخلَ ْق َنا ُك ْم َع َب ًثا َوأَ َّن ُك ْم إِلَ ْي َنا الَ ُترْ َجع‬
‫ُون‬

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)

Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun
diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan
bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua
prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah
dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk
kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia amalkan)
serta (mendapatkan) syurga atau neraka.

Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proforsonal dalam
mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan
peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan paling
mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

‫إِنَّ أَ ْك َر َم ُك ْ)م ِعن َد هللاِ أَ ْتقَا ُك ْم إِنَّ هللاَ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.
49:13)

Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:

1, I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan berusaha
merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini kita selamat dari
kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang berikutnya, yaitu;

2, I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta memohon
pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan yang pertama
tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan mengamalkannya.

Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan dua hal, pertama,
pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari
rintangan yang menghalangi terwujudnya tujuan tersebut.

Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi ada pada I’tishom
billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen
dengan dua hal ini. Sedangkan I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan
I’tishom billahi melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai
(keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia pasti
membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga tidak mencapai tujuan
tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari
kesesatan dan menunjukinya kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi
alat keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah memberikan
hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan kesiapan, kekuatan dan
senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di perjalanan.

Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga menjadi ahlinya
tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang
merupakan satu kewajiban pokok setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut
dengan menjadikan keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman
dan takwa kita semua.

Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan pengetahuan tantang syariat
sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui
bahwa mereka adalah makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha
pencipta dan maha mengatur mereka.

Mudah-mudahan bermanfaat

You might also like