You are on page 1of 30

KLASIFIKASI STRATEGI BELAJAR MENGAJAR 1.

Konsep Dasar Strategi Belajar


Mengakjar 2. Sasaran kegiatan 3. Belajar mengajar sebagai suatu sistem 4. Hakekat
proses belajar 5. Entering behavior 6. Pola pola belajar siswa 7. Memilih sistem belajar
mengajar. 8. Pengorganisasian kelompok belajar9 9. Implementasi proses belajar
mengajar Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar Mengidentifikasi, menetapkan
spesifikasi perubahan tingkah [...]
POJOK HERMANTO
Senin, 19 Januari 2009
KARAKTERISTIK KTSP

KARAKTERISTIK

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

(KTSP)
A. Apakah KTSP itu?

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional


yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah)
dengan memperhatikan dan berdasarkan pada standar kompetensi serta kompetensi
dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

B. Mengapa KTSP Lahir?

Pada hakikatnya pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003, pasal 3). Berangkat dari idealisme pendidikan yang demikian itu, undang-
undang tersebut mengamanatkan agar proses pendidikan mengarah kepada
terbentuknya kualitas manusia Indonesia seutuhnya.

Keutuhan harus dimengerti sebagai utuh eksistensi (keberadaan) maupun potensi.


Dalam pengertian utuh eksistensi, kualitas manusia Indonesia yang diharapkan
adalah manusia yang berguna dalam kapasitasnya sebagai insan Tuhan, insan
pribadi, insan sosial, dan insan politik. Utuh dalam pengertian potensi, adalah
kemampuan produk pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikotor,
atau cerdas spiritual, emosional, dan intelektual. Selain itu, diperlukan produk
pendidikan yang berwawasan global yang berpijak lokal, memiliki kualitas
internasional tanpa meninggalkan wawasan kebangsaan: nasionalisme dan
patriotisme.

Penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa gerakan


refromasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi,
desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berpijak dari tuntutan tersebut, pendidikan harus mampu
menyesuaikan diri, yang diwujudkan dalam proses pendidikan yang aktif, kreatif,
dinamis, inovatif, dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan peserta didik dalam
konteks lokal, nasional, dan internasional.

Tuntutan reformasi dan demokratisasi tersebut berimplikasi pada pembaharuan


sistem pendidikan, salah satunya adalah kurikulum. Diperlukan diversifikasi
kurikulum untuk dapat melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam.
Dengan kata lain, diperlukan kurikulum yang kontekstual, dalam arti internasional,
nasional, dan lokal. Setiap daerah, bahkan setiap sekolah, mempunyai potensi,
kebutuhan, dan persoalan masing-masing, yang tidak bisa dengan mudah
diseragamkan. Bukan berarti meniadakan kurikulum nasional. Kurikulum lokal
disusun berdasarkan kerangka kurikulum nasional. Hal itu sejalan dengan UU
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 38 ayat (2), Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota untuk
pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah. Atas dasar itulah,
setiap sekolah/ kelompok sekolah dan komite sekolah wajib menyusun kurikulum,
yang digunakan sebagai acuan penyelenggaraan proses pendidikan di satuan
pendidikan tersebut, dengan tetap mengacu pada Standar Nasional Pendidikan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun untuk menyesuaikan


kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Mengingat
adanya keberagaman etnis, budaya, kemampuan, dan potensi daerah selama ini
belum terakomodir secara optimal dalam pengembangan kurikulum pendidikan
nasional. Padahal keberagaman tersebut merupakan aset yang dapat dikembangkan
menjadi nilai-nilai keunggulan nasional.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lahir dari semangat otonomi


daerah, di mana urusan pendidikan tidak semuanya tanggungjawab pusat, akan
tetapi sebagian menjadi tanggung jawab daerah. Oleh sebab itu dilihat dari pola dan
model pengembangannya KTSP merupakan salah satu model kurikulum yang
bersifat desentralistik.

C. Bagaimanakah Karakteristik KTSP?

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang disusun


di tingkat satuan pendidikan sehingga mempunyai karakteristik yang membedakan
dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Adapun karakteristik dari KTSP adalah :

1. KTSP merupakan kurikulum yang menggunakan empat desain kurikulum


sekaligus yaitu :

a. Desain Kurikulum Disiplin Ilmu

Desain kurikulum ini merupakan desain yang berpusat pada pengetahuan (the
knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin
ilmu(Anonim, 2008 : 41). Dilihat dari desainnya, KTSP adalah kurikulum
yang berorientasi pada disiplin ilmu. Hal ni dapat dilihat dari (1) struktur
program KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
oleh peserta didik dan mata pelajaran yang harus dipelajari itu selain sesuai
dengan nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam pelajarannya; (2)
kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari kemampuan siswa
menguasai materi pelajaran.

b. Desain Kurikulum Berorintasi pada Masyarakat

Asumsi yang mendasari desain kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari
sekolah yaitu melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena tu, kebutuhan
masyarakat harus dijadikan salah satu dasar dalam pengembangan
kurikulum(Anonim, 2008 : 43). KTSP merupakan kurikulum yang berorientasi
pada masyarakat. Hal itu terlihat dari :

1) Salah satu prinsip pengembangannya adalah relevan dengan kebutuhan


kehidupan. Pengembangan KTSP dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kebutuhan masyrakat, dunia
usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan
pribadi, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan
vokasional merupakan keniscayaan.

2) Acuan operasional penyusunan KTSP memperhatikan kondisi sosial budaya


masyarakat setempat dan kesetaraan gender. KTSP harus dikembangkan
dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat
dan menunjang pelestarian keragaman budaya serta harus diarahkan
kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan mendukung upaya
kesetaraan gender.

c. Desain Kurikulum Berorientasi pada Siswa

Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan


untuk membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas
dari kehidupan anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada siswa
menekankan siswa sebagai sumber isi kurikulum (Anonim, 2008 : 46). Hal itu
tampak pada salah satu prinsip pengembangan KTSP yaitu berpusat pada
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. KTSP dikembangkan berdasrkan prinsip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengebangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME, berakhlak mulia, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada
peserta didik.

d. Desain Kurikulum Teknologis

Model desain kurikulum teknologi difokuskan pada efektivitas program,


metode, dan bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Desain
instruksional menekankan pada pencapaian tujuan yang mudah diukur,
aktivitas, tes, dan pengembangan bahan ajar (Anonim 2008 : 48). KTSP
merupakan kurikulum teknologis, hal ini dapat dilihat dari adanya standar
kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan menjadi indikator
hasil belajar, yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penilain.

2. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu.

Prinsip-prinsip pembelajaran dalam KTSP menekankan pada aktivitas siswa


untuk mencari dan menemukan materi pelajaran melalui berbagai pendekatan dan
strategi pembelajaran yang disarankan misalnya pendekatan CTL yang salah satu
ciri utamanya adalah ikuiri. Demikian juga secara tegas dalam struktur kurikulum
terdapat komponen pengembangan diri, yakni komponen kurikulum yang
menekankan kepada aspek pengembangan minat dan bakat individu peserta
didik.

3. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah.

Salah satu acuan operasional penyusunan KTSP yaitu keragaman potensi dan
karakteristik daerah dan lingkungan. KTSP disusun dengan memperhatikan
bahwa daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman
karakteristik. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan
karakteristik daerah dan pengalman hidup sehari-hari. Oleh karena itu KTSP
disusun dengan memperhatikan keragaman tersebut unruk menghasilkan lulusan
yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.

4. KTSP merupakan kurikulum yang memberikan otonomi yang luas kepada


sekolah atau satuan pendidikan dalam penyusunan, pengembangan, serta
pelaksanaannya.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang


disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah)
dengan memperhatikan dan berdasarkan pada standar kompetensi serta
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Dilihat dari pengertian KTSP tersebut, terlihat jelas bahwa sekolah
(satuan pendidikan) mempunyai otonomi yang luas baik pada penyusunan,
pengembangan maupun pelaksanaannya. Hali ini diperkuat lagi dengan acuan
operasional penyusunan KTSP harus memperhatikan karakteristik satuan
pendidikan. KTSP harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan ciri
khas satuan pendidikan.

Dengan pemberian otonomi yang luas kepada masing-masing sekolah (satuan


pendidikan) dalam penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan KTSP,
seyogyanya pengembangan kurikulum yang dilakukan sekolah harus
mempertimbangkan SDM, sarana serta kearifan lokal yang dimiliki. Sekolah
berhak me-reformulasi ulang tatanan kurikulum yang sudah ada. Namun,
formulasi yang dibuat tetap harus mengacu pada standar yang telah ditetapkan
pemerintah, dalam hal ini adalah BSNP. Formulasi yang dibuat harus dapat
menonjolkan nilai jual atau nilai lebih dari sekolah penyusunnya. Atau dengan
kata lain formulasi tersebut dapat menjawab pertanyaan “Apakah yang dapat
dibanggakan dari sekolah tersebut?

Diposkan oleh POJOK HERMAN di 05:10

2 komentar:

akhlis mengatakan...

Terimakasih pak hermanto, artikelnya berguna sekali buat menyelesaikan tugas


ibu yg sdg kuliah di Univ terbuka...

6 November 2009 06:42

muyassaroh mengatakan...

Sangat membantu buat para calon guru sepertiku..

18 Maret 2011 05:28

Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut
Arsip Blog
• ▼ 2009 (9)
o ► Oktober (1)
o ► Agustus (1)
o ► April (2)
o ► Februari (1)
o ▼ Januari (4)
 KARAKTERISTIK KTSP
 MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
 ANALISIS KURIKULUM SMPN 2 KANDANGAN KAB.
TEMANGGUN...
 COOPERATIF LEARNING: SUATU PENDEKATAN
PEMBELAJARAN.
• Karakteristik KTSP
KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteks
desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, yang akan memberikan wawasan
baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat
membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja
sekolah, khususnya dalam meningkatkan peserta didik datang dari berbagai latar
belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus
ditunjukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun
politik. Disisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan
mutu, serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan
pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan
sumber belajar, profosionalsme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa karakteritik KTSP
sebagai berikut: pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan,
partisipasi masyarkat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang
demokaratis dan froposional, serta team-kerja yang kompak dan transparan.
Untuk lebih jelasnya, masing-masing karakteristik tersebut dideskripsikan
sebagaiman mestinya.
Dasar-dasar Strategi Belajar-Mengajar

1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar

Yang dimaksud dengan strategi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu garis
besar haluan bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Menurut
Newman dan Logan, dalam bukunya yang berjudul Strategy Policy and Central
Management(1971 : 8), strategi dasar dari setiap usaha akan mencakup keempat hal
sbb :

a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil seperti apa


yang harus dicapai dan menjadi sasaran usaha itu yang sesuai dengan aspirasi
dan selera masyarakat.

b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama manakah yang


dipandang paling efektif guna mencapai sasaran tersebut.

c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah apa saja yang akan


ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut.

d. Mempertimbangkan dan menetapkan kriteria dan patokan ukuran yang harus


dipergunakan untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan usaha tersebut.

2. Menetapkan Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar dalam Rangka


Mengidentifikasi Entering Behavior Siswa

a. Sasaran-Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar

Setiap kegiatan belajar mengajar pasti mempunyai tujuan tertentu. Tujuan


tersebut bertahap dan berjenjang mulai dari sangat operasional dan konkret
sampai yang bersifat universal. Tujuan itu pada akhirnya harus diterjemahkan
dalam ciri-ciri / sifat-sifat wujud perilaku dan pribadi dari manusia yang dicita-
citakan. Sistem pendidikan harus melahirkan para warga Negara yang memiliki
empat kemampuan, kecakapan dan sifat utama, yaitu :
v Self realization, maksudnya manusia harus mampu mewujudkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya seoptimal mungkin.

v Human relationship ( hubungan antarinsan )

v Economic efficiency (efisiensi ekonomi

v Civil responsibility, manusia harus memiliki tanggung jawab sebagai warga


Negara.

b. Entering Behavior Siswa

Meskipun terdapat keragaman dari berbagai paham dan teori tentang makna
perbuatan belajar, namun teori manapun pada akhirnya cenderung untuk sampai pada
konsensus bahwa hasil perbuatan belajar itu dimanifestasikan dalam perubahan perilaku
dan pribadi baik secara material-substansial, struktural-fungsional, maupun secara
behavioral. Tingkat dan jenis karakteristik perilaku siswa yang telah dimilikinya pada
saat akan memasuki kegiatan belajar mengajar inilah yang dimaksudkan dengan
Entering Behavior. Entering Behavior ini akan dapat kita identifikasikan dengan
berbagai cara, antara lain :

1. Secara tradisional, lazimnya para guru memulai dengan memberikan pertanyaan-


pertanyaan mengenai bahan-bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan
bahan baru.

2. secara inovatif, guru-guru sudah mulai mengembangkan instrumen pengukuran


prestasi belajar dengan cara melakukan pre-test sebelum memulai kegiatan belajar
mengajar.

Dengan mengetahui gambaran tentang entering behavior, siswa akan memberikan


banyak sekali bantuan kepada guru, antara lain :

1) Untuk mengetahui seberapa jauh kesamaan individual antarsiswa dalam taraf


kesiapannya, kematangannya, serta tingkat penguasaan dari pengetahuan dan
keterampilan dasar sebagai landasan bahan baru.
2) Dengan mengetahui disposisi perilaku siswa tersebut, guru akan dapat
mempertimbangkan dan memilih bahan, metode, teknik, dan alat bantu belajar
mengajar yang sesuai.

3) Dengan membandingkan nilai hasil pre-test dengan nilai hasil akhir, guru akan
memperoleh indikator yang menunjukkan seberapa banyak perubahan perilaku
yang terjadi pada siswa.

Mengingat hakikat perubahan perilaku itu dapat berupa penambahan, peningkatan


hal-hal baru terhadap hal lama yang telah dikuasai, atau bahkan berupa pengurangan
terhadap perilaku lama yang tidak diinginkan (merokok, mencontek, dsb) , maka
sekurang-kurangnya ada tiga dimensi dari entering behavior itu yang perlu diketahui
guru adalah :

a. Batas-batas cangkupan ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan
dikuasai siswa.

b. Tingkatan dan urutan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola


sambutan atau kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor yang telah dicapai dan
dikuasai siswa.

c. Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikomorik, proses-proses kognitif,


pengalaman, mengingat, berpikir, afektif, emosional, motivasi, dan kebiasaan.

Sebelum merencanakan dan melaksanakan kegiatan mengajar, guru harus dapat


menjawab pertanyaan :

a) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah dikuasai dan diketahui oleh
siswa yang akan diajar.

b) Tingkat dan tahap serta jenis kemamupuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai
siswa yang bersangkutan.

c) Apakah siswa sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola
perilaku yang akan diajarkan.
d) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki oleh siswa sebelum belajar
dimulai.

3. Pola-pola Belajar Siswa

a. Mengidentifikasi pola-pola belajar siswa

Gagne (Lefrancois 1975:114-120) mengkategorikan pola-pola belajar siswa ke


dalam 8 tipe dimana yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya/yang lebih tinggi
hierarkinya. Kedelapan tipe belajar itu ialah:

· Tipe I:Signal Learning (belajar signal atau tanda, isyarat)

Tipe belajar ini menduduki tahapan hierarki (yang paling dasar). Signal learning
dapat didefinisikan sebagai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat
involunter (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya tipe belajar ini ialah diberikan stimulus secara serempak perangsang-
perangsang tertentu dengan berulang-ulang.

· Tipe II:Stimulus-Respons Learning (belajar stimulus-respons, sambut rangsang)

Tipe belajar II ini termasuk ke dalam operant or instrumental condition


(Kible,1961) atau belajar dengan trial and error (Thorndike). Kondisi yang diperlukan
untuk dapat berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor reinforcement.

· Tipe III:Chaining (mempertautkan) dan tipe IV:Verbal Association (asosiasi


verbal)

Kedua tipe belajar ini setaraf, ialah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang
satu dengan yang lainnya. Tipe III berkenaan dengan aspek-aspek perilau psikomotorik
dan tipe IV berkenaan dengan aspek-aspek belajar verbal. Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya proses belajar ini antara lain secara internal terdapat pada diri siswa
harus sudah terkuasai sejumlah satuan-satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun
verbal. Di samping itu, prinsip contiguity, repetition, dan reinforcement masih tetap
memegang peranan penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association
tersebut.

· Tipe V:Discrimination Learning (belajar mengadakan perbedaan)

Dalam tahap belajar ini, siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pengujian)
di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya kemudian memilih
pola-pola sambutan yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat
berlangsungnya proses belajar ini ialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan
chaining dan association serta memiliki kekayaan pengalaman (pola-pola satuan S-R)

· Tipe VI:Concept Learning (belajar konsep, pengertian)

Berdasarkan pesamaan cirri-ciri adari sekumpulan stimulus dan juga objek-


objeknya ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep. Kondisi utama yang
diperlukan bagi proses berlangsungnya belajar tipe ini ialah terkuasainya kemahiran
diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.

· Tipe VII:Rule Learning (belajar membuat generalisasi, hukum-hukum)

Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep
(pengertian) dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal sehingga siswa dapat
membuat konklusi tertentu.

· Tipe VIII:Problem Solving (belajar memecahkan masalah)

Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah


(memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan
situasi problematik) dengan menggunakan berbagai rule yang telah dikuasainya.
Menurut John Dewey (Loree,1970:438-439) dalam bukunya How We Think, proses
belajar pemecahan masalah itu berlangsung sebagai berikut:

ü Become aware of the problem (menyadari adanya masalah)

ü Clarifying and defining the problem (menegaskan dan merumuskan masalahnya)


ü Searching for facts and formulating hypotheses (mencari fakta pendukung dan
merumuskan hipotesis)

ü Evaluating proposed solution (mengevaluasi alternatif pemecahan yang


dikembangkan)

ü Experimental verification (mengadakan pengujian atau verifikasi secara


eksperimental, uji coba)

b. Memilih system belajar mengajar (pengajaran)

Dewasa ini, para ahli teori belajar telah mencoba mengambarkan cara
pendekatan atau system pengajaran atau proses belajar-mengajar. Diantara berbagai
system pengajaran yang banyak menarik perhatian orang akhir-akhir ini ialah:

· Enquiry-Discovery Learning (belajar mencari dan menemukan sendiri)

Dalam system belajar-mengajar ini, guru menyajikan bahan pelajaran yang


tidak dalam bentuknya yang final. Siswalah yang diberikan kesempatan untuk mencari
dan menemukannnya sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan
masalah. Secara garis besar prosedurnya yaitu stimulasi-perumusan masalah-
pengumpulan data-analisis data-verifikasi-generalisasi.

System belajar-mengajar ini dikembangkan oleh Bruner (Lefrancois,1975:121-


126). Pendekatan belajar ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif.
Kelemahannya, antara lain memakan waktu yang banyak dan kalau kurang terpimpin
dan terarah, dapat menjurus kepada kekaburan atau materi yang dipelajarinya.

· Expository Learning

Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah
dipersiapkan secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingg asiswa tingal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib. Secara garis besar prosedurnya ialah periapan-
petautan-penyajian-evaluasi. Ausubel berpendapat bahwa pada tingkat-tingkat belajar
yang lebih tinggi, siswa tidak selau harus mengalami sendiri. Siswa akan mampu dan
lebih efisien memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-
singkatnya. Yang penting siswa dikembangkan penguasaannya atas kerangka konsep-
konsep dasar atau pla-pola pengertian dasar tentang sesuatu hal sehingga dapat
mengorganisasikan data, informasi, dan pengalaman yang bertalian dengan hal tersebut.

· Mastery learning (belajar tuntas)

Proses belajar yang berorientasi pada prinsip mastery learning ini harus dimulai
dengan penguasaan bagian terkecil untuk kemudian baru dapat melanjutkan ke dalam
satuan (modul) atau unit berikutnya. Atas dasar itu maka dewasa ini telah
dikembangkan system pengajaran berprogram dan juga system pengajaran modul,
bahkan Computer Assisted Instruction (CAI). Dengan tercapainya tingkat penguasaan
hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada
siswa yang bersangkutan.

· Humanistic Education

Teori belajar ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup
mencapai perwujudan diri (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan
keunikan yang dimilikinya. Karakteristik utama metode ini, antara lain bahwa guru
hendaknya tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa. Sasaran akhir
dari proses belajar mengajar menurut paham ini ialah self actualization yang seoptimal
mungkin dari setiap siswa.

c. Pengorganisasian satuan kelompok belajar siswa

Gage dan Barliner (1975:447-450), juga Norman MacKenzie dan rekan-rekannya


(UNESCO,1972:126) menyarankan pengorganisasian kelompok belajar siswa ke dalam
susunan sebagai berikut:

· N=1. Pada situasi ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas seorang siswa
atau seorang siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa disebut dengan
tutorial, pengajaran berprogram, studi individual, atau independent study,
· N=2-20. Kelompok belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Mtode
belajar seperti ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.

· N=2-40. Kelompok besar mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini disebut
metode belajar mengajar kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai dengan
kesenangan dan kemampuan guru unuk mengelolanya.

· N=40 lebih besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar
lazim disebut (ceramah) atau the lecture.

4. Beberapa metode dan Teknik Mengajar

Sejak ratusan tahun yang lalu, orang telah mengembangkan berbagai metode dan
teknik mengajar untuk dapat membantu siswa dalam proses menerima materi pelajaran.

Menurut Joice dan Weil (Gage and Barliner, 1975:444-447) telah


mengelompokkan model-model belajar ke dalam empat orientasi, yaitu :

(1) information processing orientation

(2) social-interaction orientation

(3) person orientation

(4) behavior-modification orientation

Beberapa metode mengajar yang banyak digunakan oleh para guru antara lain:

(1) Metode Ceramah

Ceramah atau kuliah merupakan metode belajar tradisional dimana bahan disajikan oleh
guru secara monologue sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah. Peran guru lebih
banyak dalam hal keaktifannya untuk memberikan materi pelajaran, sementara siswa
mendengarkan dengan teliti serta mencatat yang pokok-pokok dari pernyataan yang
dikemukakan oleh guru.
(2) Metode Diskusi

Metode diskusi merupakan cara lain dalam belajar-mengajar dimana guru dan
siswa, bahkan antarsiswa terlibat dalam suatu proses interaksi secara aktif dan timbal
balik dari dua arah.

5. Menetapkan Strategi Evaluasi Belajar Mengajar

Tujuan akhir dari tindakan evaluasi, serta bagaimana mengembangkan dan memilih
instrumennya yang memenuhi syarat telah kita bahas dalam unit-unit terdahulu. Yang
menjadi persoalan sekarang, kapan pengukuran dan evaluasi itu dilakukan, serta
bagaimana menafsirkan hasilnya bagi pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya.

a. Beberapa Model Desain Pelaksanaan Evaluasi Belajar

Berdasarkan maksud atau fungsinya, terdapat beberapa model desain pelaksanaan


evaluasi belajar-mengajar. Di antaranya ialah evaluasi; sumatif, formatif, refleksi, dan
kombinasi dari ketiganya.

Evaluasi sumatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah berakhirnya
kegiatan belajar-mengajar, atau sering juga kita kenal dengan istilah lain, yaitu post test.
Pola evaluasi ini dilakukan kalau kita hanya bermaksud mengetahui tahap
perkembangan terakhir dari tingkat pengetahuan atau penguasaan belajar (mastery
learning) yang telah dicapai oleh siswa. Asumsi yang mendasarinya ialah bahwa hasl
belajar itu merupakan totalitas sejak awal sampai akhir, sehingga hasil akhir itu dapat
kita asumsikan dengan hasil. Hasil penilaian ini merupakan indikator mengenai taraf
keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut. Atas dasar itu, kita dapat menentukan
apakah dapat dilanjutkan kepada program baru atau harus diadakan pelajaran ulangan
seperlunya.

Evaluasi formatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan selama masih
berjalannya proses kegiatan belajar-mengajar. Mungkin kita baru menyelesaikan
bagian-bagian atau unit-unit tertentu dari keseluruhan program atau bahan yang harus
diselesaikan. Tujuannya ialah apabila kita menghendaki umpan-balik yang secara
(immediate feedback), kelemahan-kelemahan dari proses belajar itu dapat segera
diperbaiki sebelum terlanjur dengan kegiatan lebih lanjut yang mungkin akan lebih
merugikan, baik bagi siswa maupun bagi guru sendiri. Bila dibiarkan kesalahan akan
berlarut-larut. Dengan kata lain, evaluasi formatif ini lebih bersifat diagnostik untuk
keperluan penyembuhan kesulitan-kesulitan atau kelemahan belajar-mengajar (remedial
teaching and learning), sedangkan reevaluasi sumatif (EBTA) biasanya lebih berfungsi
informatif bagi keperluan pengambilan keputusan, seperti penentuan nilai (grading), dan
kelulusan.

Evaluasi reflektif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan sebelum proses
belajar-menagjar dilakukan atau sering kita kenal dengan sebutan pre-test. Sasaran
utama dari evaluasi reflektif ini ialah untuk mendapatkan indikator atau informasi awal
tentang kesiapan (readliness) siswa dan disposisi (keadaan taraf penguasaan) bahan atau
pola-pola perilaku siswa sebagai dasar penyusunan rencana kegiatan belajar-menagjar
dan peramalan tingkat keberhasilan yang mungkin dapat dicapainya setelah menjalani
proses belajar-menagjar nantinya. Jadi, evaluasi reflektif lebih bersifat prediktif.

Pengguanaan teknik pelaksanaan evaluasi itu secara kombinasi dapat dan sering
juga dilakukan terutama antara reflektif dan sumatif atau model pre-post test design.
Tujuan penggunaan model dilaksanakan evaluasi ini ialah apabila kita ingin mengetahui
taraf keefektivan proses belajar-mengajar yang bersangkutan. Dengan cara demikian,
kita akan mungkin mendeteksi seberapa jauh konstribusi dari komponen-komponen
yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Sudah barang tentu model ini pun
lebih bersifat diagnostik, tetapi lebih komprehensif.

b. Beberapa Cara untuk Menginterprestasikan Hasil Penilaian

Untuk dapat menafsirkan hasil penilaian dari evaluasi yang dilaksanakan, kita
perlu patokan atau ukuran baku atau norma. Dalam evaluasi, kita mengenal dua norma
yang lazim dipergunakan untuk menumbang taraf keberhasilan belajar-menagjar, yaitu
apa yang disebut (1) criterion referenced dan (2) norm referenced, seperti telah
disinggung di atas.

Criterion referenced evaluation ( PAP = Penilaian Acuan Patokan ) merupakan


cara mempertimbangkan taraf keberhasilan siswa dengan memperbandingkan prestasi
yang dicapainya dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu (preestabilished
criterion).

Norm referenced evaluation ( PAN = Penilaian Acua Norma) merupakan cara


memertimbangkan taraf keberhasilan belajar siswa, dengan jalan memperbandingkan
prestasi individual siswa dengan rata-rata prestasi temannya, lazimnya kelompoknya.

Atas dasar kedua norma itulah seseorang dinyatakan lulus atau tidak lulus, atau
berhasil atau tidak berhasil (pass-fail). Norma kelulusan itu biasanya disebut batas lulus
(passing grade).

Dalam criterion referenced evaluation ( PAP ) angka batas lulus itu lazimnya
dipergunakan angka nilai 6 dalam skala 10 atau 60 dalam skala 100, atau 2+ slaam skala
-4, atau C dalam skala A-E. adapaun filosofi yang melandasi sistem penilaian ini ialah
teory mastery learning, dimana seseorang dapat dianggap memenuhi syarat
kecakapannya (qualified) kalau menguasai minimal 60% dari hasil yang diharapkan.
Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia persayaratan ini dikenakan terutama
terhadap mata pelajaran dasar yang penting yaitu PMP, agama, bahasa Indonesia dan
sebaginya, yang berarti bahwa sistem pendidikan di Indonesia sangat mengutamakan
pembinaan warga negara yang baik, beragama dan berdasarkan kebudayaan bangsanya.

Dalam norm referenced evaluation ( PAN ), norma itu dapat dipergunakan dengan
berbagai cara, misalnya (1) ukuran rata-rata prestasi kelompoknya, (2) ukuran
penyebaran nilai prestasi kelasnya, dan (3) ukuran penyimpangan dari ukuran rata-rata
prestasi kelompoknya (mean,range, and standard deviation).
PENGERTIAN STRATEGI, METODE DAN TEKNIK BELAJAR MENGAJAR

Strategi belajar-mengajar adalah cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi


pelajaran dalam lingkungan pengajaran tertentu, yang meliputi sifat, lingkup dan urutan
kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa (Gerlach dan Ely).
Strategi belajar-mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur kegiatan, melainkan juga
termasuk di dalamnya materi atau paket pengajarannya (Dick dan Carey). Strategi
belajar-mengajar terdiri atas semua komponen materi pengajaran dan prosedur yang
akan digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pengajaran tertentu dengan
kata lain strategi belajar-mengajar juga merupakan pemilihan jenis latihan tertentu yang
cocok dengan tujuan yang akan dicapai (Gropper). Tiap tingkah laku yang harus
dipelajari perlu dipraktekkan. Karena setiap materi dan tujuan pengajaran berbeda satu
sama lain, makajenis kegiatan yang harus dipraktekkan oleh siswa memerlukan
persyaratan yang berbeda pula.

Menurut Gropper sesuai dengan Ely bahwa perlu adanya kaitan antara strategi belajar
mengajar dengan tujuan pengajaran, agar diperoleh langkah-langkah kegiatan belajar-
mengajar yang efektif dan efisien. Ia mengatakan bahwa strategi belajar-mengajar ialah
suatu rencana untuk pencapaian tujuan. Strategi belajar-mengajar terdiri dari metode
dan teknik (prosedur) yang akan menjamin siswa betul-betul akan mencapai tujuan,
strategi lebih luas daripada metode atau teknik pengajaran.

Metode, adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu
tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode
belajar). Makin baik metode yang dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan
(Winamo Surakhmad)

Kadang-kadang metode juga dibedakan dengan teknik. Metode bersifat prosedural,


sedangkan teknik lebih bersifat implementatif. Maksudnya merupakan pelaksanaan apa
yang sesungguhnya terjadi (dilakukan guru) untuk mencapai tujuan. Contoh: Guru A
dengan guru B sama-sama menggunakan metode ceramah. Keduanya telah mengetahui
bagaimana prosedur pelaksanaan metode ceramah yang efektif, tetapi hasilnya guru A
berbeda dengan guru B karena teknik pelaksanaannya yang berbeda. Jadi tiap guru
mungakui mempunyai teknik yang berbeda dalam melaksanakan metode yang sama.

Dapat disimpulkan bahwa strategi terdiri dan metode dan teknik atau prosedur yang
menjamin siswa mencapai tujuan. Strategi lebih luas dari metode atau teknik
pengajaran. Metode atau teknik pengajaran merupakan bagian dari strategi pengajaran.
Untuk lebih memperjelas perbedaan tersebut, ikutilah contoh berikut:

Dalam suatu Satuan Acara Perkuliahan (SAP) untuk mata kuliah Metode-metode
mengajar bagi para mahasiswa program Akta IV, terdapat suatu rumusan tujuan khusus
pengajaran sebagai benikut: “Para mahasiswa calon guru diharapkan dapat
mengidentifikasi minimal empat jenis (bentuk) diskusi sebagai metode mengajar”.
Strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut misalnya:
1. Mahasiswa diminta mengemukakan empat bentuk diskusi yang pernah dilihatnya,
secara kelompok.
2. Mahasiswa diminta membaca dua buah buku tentang jenis-jenis diskusi dari Winamo
Surakhmad dan Raka Joni.
3. Mahasiswa diminta mendemonstrasikan cara-cara berdiskusi sesuai dengan jenis
yang dipelajari, sedangkan kelompok yang lain mengamati sambil mencatat
kekurangan-kekurangannya untuk didiskusikan setelah demonstrasi itu selesai.
4. Mahasiswa diharapkan mencatat hasil diskusi kelas.
Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa teknik pengajaran adalah kegiatan no 3 dan
4, yaitu dengan menggunakan metode demonstrasi dan diskusi. Sedangkan seluruh
kegiatan tersebut di atas merupakan strategi yang disusun guru untuk mencapai tujuan
pengajaran. Dalam mengatur strategi, guru dapat memilih berbagai metode seperti
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan sebagainya. Sedangkan berbagai media
seperti film, kaset video, kaset audio, gambar dan lain-lain dapat digunakan sebagai
bagian dan teknik teknik yang dipilih.

KLASIFIKASI STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR


Klasifikasi strategi belajar-mengajar, berdasarkan bentuk dan pendekatan:
1. Expository dan Discovery/Inquiry :
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa
teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya
menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru
sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi
yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery
(penemuan). Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub
strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan
metode campuran.

Suatu saat guru dapat menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik
juga. Begitu pula dengan discovery/inquiry. Sehingga suatu ketika ekspositorik –
discovery/inquiry dapat berfungsi sebagai strategi belajar-mengajar, tetapi suatu ketika
juga berfungsi sebagai metode belajar-mengajar.

Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut
sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa
secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan digunakan oleh guru tampak pada
contoh berikut:

Pada Taman kanak-kanak, guru menjelaskan kepada anak-anak, aturan untuk


menyeberang jalan dengan menggunakan gambar untuk menunjukkan aturan : Berdiri
pada jalur penyeberangan, menanti lampu lintas sesuai dengan urutan wama, dan
sebagainya.

Dalam contoh tersebut, guru menggunakan strategi ekspositorik. Ia merigemukakan


aturan umum dan mengharap anak-anak akan mengikuti/mentaati aturan tersebut.

Dengan menunjukkan sebuah media film yang berjudul “Pengamanan jalan menuju
sekolah guru ingin membantu siswa untuk merencanakan jalan yang terbaik dan sekolah
ke rumah masing-masing dan menetapkan peraturan untuk perjalanan yang aman dari
dan ke sekolah.
Dengan film sebagai media tersebut, akan merupakan strategi ekspositori bila
direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat,
mereka diharapkan menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Akan
tetapi strategi itu dapat menjadi discovery atau inquiry bila guru menyuruh anak-anak
kecil itu merencanakan sendiri jalan dari rumah masing masing. Strategi ini akan
menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi
dirinya masing-masing. Tugas tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan
pertanyaan sebelum mereka sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya
terbaik. Mungkin mereka perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari
jalan lain kalau dianggap kurang baik.

Dan contoh sederhana tersebut dapat kita lihat bahwa suatu strategi yang diterapkan
guru, tidak selalu mutlak ekspositorik atau discovery. Guru dapat mengkombinasikan
berbagai metode yang dianggapnya paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Discovery dan Inquiry :


Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry
(penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa
mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya; mengamati,
menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan sebagainya. Sedangkan
konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi dan sebagai. Prinsip misalnya
“Setiap logam bila dipanaskan memuai”

Inquiry, merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih


mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya.
Misalnya; merumuskan problema, merancang eksperi men, melaksanakan eksperimen,
melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.

Selanjutnya Sund mengatakan bahwa penggunaan discovery dalam batas-batas tertentu


adalah baik untuk kelas-kelas rendah, sedangkan inquiry adalah baik untuk siswa-siswa
di kelas yang lebih tinggi. DR. J. Richard Suchman mencoba mengalihkan kegiatan
belajar-mengajar dari situasi yang didominasi. guru ke situasi yang melibatkan siswa
dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar dan
sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson, (pelajaran dengan
penemuan terpimpin) yang langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Adanya problema yang akan dipecahkan, yang dinyatakan dengan pernyataan atau
pertanyaan
2. Jelas tingkat/kelasnya (dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi
pelajaran, misalnya SMP kelas III)
3. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa melalui keglatan tersebut perlu
ditulis dengan jelas.
4. Alat/bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan
kegiatan
5. Diskusi sebagai pengarahan sebelum siswa melaksanakan kegiatan.
6. Kegiatan metode penemuan oleh siswa berupa penyelidikan/percobaan untuk
menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
7. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental operasional
siswa, yang diharapkan dalam kegiatan.
8. Perlu dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, yang mengarah
pada kegiatan yang dilakukan siswa.
9. Ada catatan guru yang meliputi penjelasan tentang hal-hal yang sulit dan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil terutama kalau penyelidikan mengalami
kegagalan atau tak berjalan Sebagaimana mestinya.
Sedangkan langkah-langkah inquiry menurut dia meliputi:
1. Menemukan masalah
2. Pengumpulan data untuk memperoleh kejelasan
3. Pengumpulan data untuk mengadakan percobaan
4. Perumusan keterangan yang diperoleh
5. Analisis proses inquiry.

3. Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa
arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan
kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan
benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat
ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan
mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis
kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal
suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu
hasil belajar yang dinamakan “konsep”.

Kita harus memperhatikan pengertian yang paling mendasar dari istilah “konsep”, yang
ditunjukkan melalui tingkah laku individu dalam mengemukakan sifat-sifat suatu obyek
seperti : bundar, merah, halus, rangkap, atau obyek-obyek yang kita kenal seperti
rambut, kucing, pohon dan rumah. Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang
nyata (concrete concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa
kita pelajari melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui definisi/batasan,
karena merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya iklim, massa, bahasa atau konsep
matematis. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang telah
diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di
dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang
satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif

4. Pendekatan Cara Belajar Stswa Aktif (CBSA)


Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam kelas mesti
terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa (melibatkan siswa secara aktif).
Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru
lebih banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini
dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-
mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student centered).

Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara
jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan
potensi itu, betapapun sederhananya. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-
keterampilan pada iswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka
memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses
perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendin fakta dan kosep
serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti
inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.

Hakekat dad CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam


kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan
intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki
potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu
aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional
sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan
sistem pengajaran yang efektif dan efisien.

Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkani menjadi bagian-
bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah
laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa
yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar karena memang sengaja dirancang
untuk itu.

Prinsip-prinsip CBSA:

Dan uraian di atas kita ketahui bahwa prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang
mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat
keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun
fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:

a. Dimensi subjek didik :


o Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang
ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena
memang direnca nakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi
kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
o Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun
tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses
belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai
suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang olch guru.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai
suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
o Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun
termasuk guru.
b. Dimensi Guru
o Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta
partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
o Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
o Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
o Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara, mama serta
tingkat kemampuan masing-masing.
o Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta
penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang
merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
o Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat
serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
o Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep mau pun aktivitas
siswa dalam proses belajar-mengajar.
o Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
o Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara
guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
o Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
Rambu-rambu CBSA :
Yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA
yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah sampai pada rentangan yang paling
tinggi, yang berguna untuk menentukan tingkat CBSA dan suatu proses belajar-
mengajar. Rambu-rambu tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu
tersebut dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses
belajar-mengajar memiliki kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan
menentukan ada atau tidak adanya kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar.
Bagaimanapun lemahnya seorang guru, namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun
rendah.
a. Berdasarkan pengelompokan siswa :
Strategi belajar-mengajar yang dipilih oleh guru hams disesuaikan dengan tujuan
pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses belajar secara
individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk proses belajar secara kelompok.
Ditinjau dari segi waktu, keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran
yang berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.

b. Berdasarkan kecepatan nzasing-rnasing siswa :


Pada saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi pelajaran
dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat bagi mereka yang mampu,
sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya.
Contoh untuk strategi belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran
modul.

c. Pengelompokan berdasarkan kemampuan :


Pengelompokan yang homogin han didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada
pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan
satukelompok maka hal mi mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan
potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir sama tingkat
perkembangan intelektualnya.

d. Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat :


Pada suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok
berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas kesamaan
minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang akan dikerjakan.

e. Berdasarkan domein-domein tujuan :


Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah: 1) Domein kognitif, yang
menitik beratkan aspek cipta. 2) Domein afektif, aspek sikap. 3) Dornein psikomotor,
untuk aspek gerak.

Gagne mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah: 1) Keterampilan intelektual. 2)


Strategi kognitif. 3) Informasi verbal. 4) Keterampilan motorik. 5) Sikap dan nilai.
Di samping pengelompokan (klasifikasi) tersebut di atas, masih ada pengelompokkan
yang lebih komprehensif dalam arti meninjau beberapa faktor sekaligus seperti,
wawasan tentang manusia dan dunianya, tujuan serta lingkungan belajar. Pendapat ini
dikemukakan oleh Bruce Joyce dan Marsha Well dengan mengemukakan rumpun
model-model mengajar sebagai berikut :
a. Rumpun model interaksi sosial
b. Rumpun model pengelola informasi Rumpun model personal-humanistik
c. Rumpun model modifikasi tingkah laku.
T. Raka Joni mengemukakan suatu kerangka acuan yang dapat digunakan untuk
memahami strategi belajar-mengajar, sebagai berikut:
1. Pengaturan guru-siswa :
o Dari segi pengaturan guru dapat dibedakan antara : Pengajaran yang diberikan oleh
seorang guru atau oleh tim
o Hubungan guru-siswa, dapat dibedakan : Hubungan guru-siswa melalui tatap muka
secara langsung ataukah melalui media cetak maupun media audio visual.
o Dari segi siswa, dibedakan antara : Pengajaran klasikal (kelompok besar) dan
kelompok kecil
(antara 5 – 7 orang) atau pengajaran Individual (perorangan).

2. Struktur peristiwa belajar-mengajar :


Struktur peristiwa belajar, dapat bersifat tertutup dalam arti segala sesuatunya telah
ditentukan secara ketat, misalnya guru tidak boleh menyimpang dari persiapan mengajar
yang telah direncanakan. Akan tetapi dapat terjadi sebaliknya, bahwa tujuan khusus
pengajaran, materi serta prosedur yang ditempuh ditentukan selama pelajaran
berlangsung. Struktur yang disebut terakhir ini memberi kesempatan kepada siswa
untuk ikut berperan dalam menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah
langkah yang akan ditempuh.

3. Peranan guru-siswa dalam mengolah pesan :


Tiap peristiwa belajar-mengajar bertujuan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, ingin
menyampaikan pesan, informasi, pengetahuan dan keterampilan tertentu kepada siswa.
Pesan tersebut dapat diolah sendiri secara tuntas oleh guru sebelum disampaikan kepada
siswa, namun dapat juga siswa sendid yang diharapkan kepada siswa, namun dapat juga
siswa sendid yang diharapkan mengolah dengan bantuan sedikit atau banyak dan guru.
Pengajaran yang disampaikan dalam keadaan siap untuk ditedma siswa, disebut strategi
ekspositorik, sedangkan yang masih harus diolah oleh siswa dinamakan heudstik atau
hipotetik. Dan strategi heuristik dapat dibedakan menjadi dua jenis ialah penemuan
(discovery) dan penyelidikan (inquiry), yang keduanya telah diterangkan pada awal bab
ini.

4. Proses pengolahan pesan :


Dalam peristiwa belajar-mengajar, dapat terjadi bahwa proses pengolahan pesan
bertolak dari contoh-contoh konkret atau peristiwa-peristiwa khusus kemudian diambil
suatu kesimpulan (generalisasi atau pnnsip-pnnsip yang bersifat umum). Strategi
belajar-mengajar yang dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke umum tersebut,
dinamakan strategi yang bersifat induktif.

Pemilihan strategi belajar-mengajar


Titik tolak untuk penentuan strategi belajar-mengajar tersebut adalah perumusan tujuan
pengajaran secara jelas. Agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar
secara optimal, selanjutnya guru harus memikirkan pertanyaan berikut : “Strategi
manakah yang paling efektif dan efisien untuk membantu tiap siswa dalam pencapaian
tujuan yang telah dirumuskan?” Pertanyaan ini sangat sederhana namun sukar untuk
dijawab, karena tiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi
memang harus dipilih untuk membantu siswa mencapai tujuan secara efektif dan
produktif.

Langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut; Pertama menentukan tujuan
dalam arti merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang
diharapkan dapat dilakukan siswa, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat
keberhasilan yang diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab, sebab selain
setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun mempunyai kemampuan dan kwalifikasi yang
berbeda pula. Disamping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan,
lebih sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif
biasanya lebih mudah. Strategi yang dipilih guru untuk aspek ini didasarkan pada
perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaimana besar siswa
untuk mencapai hasil yang optimal.

Namun guru tidak boleh berhenti sampai disitu, dengan kemajuan teknologi, guru dapat
mengatasi perbedaan kemampuan siswa melalui berbagai jenis media instruksional.
Misalnya, sekelompok siswa belajar melalui modul atau kaset audio, sementara guru
membimbing kelompok lain yang dianggap masih lemah.

Kriteria Pemilihan Strategi Belajar-mengajar, menurut Gerlach dan Ely adalah:


1. Efisiensi :
Seorang guru biologi akan mengajar insekta (serangga). Tujuan pengajarannya berbunyi
: Diberikan lima belas jenis gambar binatang, yang belum diberi nama, siswa dapat
menunjukkan delapan jenis binatang yang termasuk jenis serangga. Untuk mencapai
tujuan tersebut, strategi yang paling efisien ialah menunjukkan gambar jenis-jenis
serangga itu dan diberi nama, kemudian siswa diminta memperhatikan ciri-cirinya.
Selanjutnya para siswa diminta mempelajari di rumah untuk dihafal cirinya, sehingga
waktu diadakan tes mereka dapat menjawab dengan betul. Dengan kata lain mereka
dianggap telah mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan Strategi ekspository
tersebut memang merupakan strategi yang efisien untuk pencapaian tujuan yang bersifat
hafalan. Untuk mencapai tujuan tersebut dengan strategi inquiry mungkin oleh suatu
konsep, bukan hanya sekedar menghafal.

Strategi ini lebih tepat. Guru dapat menunjukkan berbagai jenis binatang, dengan sketsa
atau slide kemudian siswa diminta membedakan manakah yang termasuk serangga; ciri-
cirinya, bentuk dan susunan tubuhnya, dan sebagainya. Guru menjawab pertanyaan
siswa dengan jawaban pelajari lebih jauh. Mereka dapat mencari data tersebut dari
buku-buku di perpustakaan atau melihat kembali gambar (sketsa) yang ditunjukkan
guru kemudian mencocokkannya. Dengan menunjuk beberapa gambar, guru memberi
pertanyaan tentang beberapa spesies tertentu yang akhirnya siswa dapat membedakan
mana yang termasuk serangga dan mana yang bukan serangga. Kegiatan ini sampai
pada perolehan konsep tentang serangga.

Metode terakhir ini memang membawa siswa pada suatu pengertian yang sama dengan
yang dicapai melalui ekspository, tetapi pencapaiannya jauh lebih lama. Namun inquiry
membawa siswa untuk mempelajari konsep atau pnnsip yang berguna untuk
mengembangkan kemampuan menyelidiki.

2. Efektifitas :
Strategi yang paling efisien tidak selalu merupakan strategi yang efektif. Jadi efisiensi
akan merupakan pemborosan bila tujuan akhir tidak tercapai. Bila tujuan tercapai, masih
harus dipertanyakan seberapa jauh efektifitasnya. Suatu cara untuk mengukur efektifitas
ialah dengan jalan menentukan transferbilitas (kemampuan memindahkan) prinsip-
prinsip yang dipelajari. Kalau tujuan dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat
dengan suatu strategi tertentu dari pada strategi yang lain, maka strategi itu efisien.
Kalau kemampuan mentransfer informasi atau skill yang dipelajari lebih besar dicapai
melalui suatu strategi tertentu dibandingkan strategi yang lain, maka strategi tersebut
lebih efektif untuk pencapaian tujuan.

3. Kriteria lain :
Pertimbangan lain yang cukup penting dalam penentuan strategi maupun metode adalah
tingkat keterlibatan siswa. (Ely. P. 186). Strategi inquiry biasanya memberikan
tantangan yang lebih intensif dalam hal keterlibatan siswa. Sedangkan pada strategi
ekspository siswa cenderung lebih pasif. Biasanya guru tidak secara murni
menggunakan ekspository maupun discovery, melainkan campuran. Guru yang kreatif
akan melihat tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dimiliki siswa, kemudian
memilih strategi yang lain efektif dan efisien untuk mencapainya.

You might also like