You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Konflik telah menjadi subjek studi sejak peradaban kuno, dan beberapa pendapat
selalu mempertentangkan apakah konflik itu sebagai suatu proses social yang konstruktif
ataukah destruktif. 1
Manajemen konflik menggambarkan sebuah perubahan paradigma dari pendekatan
tradisional yang didasarkan bahwa konflik harus dihindari, dan ketika konflik muncul
maka lebih baik di pecahkan ataupun dihilangkan. Bahkan Porter-O Grady berpendapat
bahwa konflik sebaiknya dihadapi2 dari pada ditakuti. Manajeman konflik yang baik
adalah cara efektif untuk membuat sebuah keputusan. Manajemen konflik tidak hanya
menyelesaikan masalah, namun ia harus lebih proaktif.3
Konflik adalah satu phenomena yang akan selalu mewarnai interaksi sosial sehari-
hari dan menyertai kehidupan organisasi. Situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi
pemicu konflik, mulai dari ketidak cocokan pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan,
ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab, perbedaan fungsi, komunikasi
yang tidak “nyambung”, pertentangan kepentingan dan lain-lain. Semakin bertambah besar
sebuah organisasi, semakin banyak dan kompleks konflik yang akan dihadapi.
Terjadi evolusi pandangan manajemen terhadap masalahan konflik.. Ahli-ahli
scientific management berpendapat bahwa semua jenis konflik adalah ancaman terhadap
kekuasaan manajemen sehingga harus dihindarkan, atau secepatnya diatasi. Belakangan
para ahli menyadari bahwa konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan, sehingga
menyarankan agar para manajer belajar hidup bersama konflik, memahaminya,
mengendalikannya dan memanfaatkannya untuk kepentingan organisasi. Pandangan yang
muncul sejak tahun 1970-an menampilkan gagasan revolusioner tentang konflik yang
menyatakan : “Tidak ada organisasi tanpa konflik ; bukan hanya konflik itu tidak
abnormal, tetapi ketiadaan konflik dalam organisasi adalah abnormal”. Konflik adalah
suatu keniscayaan dalam organisasi.
Kejarangan terjadi konflik dalam sebuah organisasi justru perlu diwaspadai kerena
dapat berarti lampu kuning bagi organisasi tersebut. Pertama, pertanda para anggota
organisasi kehilangan motivasi, berkembangnya apatisme, turunnya kreativitas dan
1
Hill L. Eighteenth –century anticipations of the sociology of conflict: The case of Adam Ferguson.
Journal of the History of Ideas, 2001 April, Hal. 281-99.
2
Porter-O’Grady T, Embracing conflict: building a healthy community. Health Care Manage, 2004,
Hal. 181-7
3

1
turunnya komitmen terhadap organisasi. Kedua, manajemen organisasi kehilangan
kesempatan berlatih hidup bersama konflik dan mengelola konflik secara benar dan tepat
sasaran. Ketiga, dari banyak konflik yang bersifat destruktif, ada pula jenis-jenis konflik
yang justru menunjang akselerasi pencapaian tujuan organisasi dan meningkatkan kinerja
individu maupun kelompok dalam organisasi tersebut. Jenis-jenis konflik yang bersifat
destruktif perlu ditangani secara bijak, antara lain dengan cara negosiasi maupun mediasi,
sementara konflik konstruktif perlu dikembangkan sehingga memberikan manfaat
optimum bagi organisasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pendahuluan di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan
dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Pengertian konflik
2. Tipe-tipe konflik
3. Jenis konflik
4. Studi kasus

PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik merupakan aspek yang tak terhindarkan dalam kehidupan organisasi
modern. Perubahan yang berkelanjutan, karyawan yang makin beragam, semakin
banyaknya group/team, kurangnya komunikasi langsung/tatap muka dan ekonomi global
yang meningkatkan hubungan antar budaya merupakan penyebab-penyebab utama konflik
dalam organsiasi.
Konflik pada dasarnya adalah segala macam interaksi pertentangan atau
antagonistis antara dua atau lebih pihak. Robert C. North menyatakan “A conflict emerges
when two or more persons or group seek to possess the same object, occupy the same
space or the same exclusive position” 4
Menurut Kreitner, R & Kinicki, A: “ Conflict is a process in which one party
perceives that it’s interests are being opposed or negatively affected by another party” 5.

4
Jandt, FE & Gillete, Win – win negotiation; turning conflict into agreement. USA : Jhon Wiley &
Sons, Inc., 1985, Hal.25
5
Kreitner, R & Kinicki, A, Organization Behavior. New York : The Mc Graw – Hill Companies,
Inc., 2001, Hal. 447

2
Situasi-situasi pemicu konflik antara lain : perbedaan kepribadian atau sistem nilai,
tumpang tindih atau rancunya batas-batas tugas dan tanggung jawab, perebutan sumber
daya yang terbatas, komunikasi yang tidak “nyambung”, saling ketergantungan antar tugas,
organisasi yang kompleks, pengambilan keputusan bersama dan lain-lain.
B. Tipe Konflik
Kreitner dan Kinicki6 membedakan empat tipe konflik :
a) Personality conflict yaitu konflik antar personal yang didorong oleh ketidak
senangan atau ketidak cocokan pribadi.
b) Value conflict adalah konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu.
c) Intergroup conflict merupakan pertentangan antar kelompok kerja, team dan
departemen.
d) Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang
berbeda.
C. Jenis-Jenis Konflik
Terdapat dua jenis konflik, yaitu :
a) Functional atau Constructive Conflict
Jenis konflik yang dapat mendorong dan menunjang tercapainya tujuan organisasi
dan meningkatkan kinerja individu maupun organisasi. Functional conflict dapat
distimulus, dikembangkan dan dimanfaatkan oleh manajemen untuk mempercepat
proses pencapaian sasaran organisasi.
Kreitner dan Kinicki7 mengemukakan bahwa menstimulasi functional conflict
dapat dilakukan dengan menggunakan “Programmed Conflict”, yaitu proses
penyelesaian konflik dengan cara mengangkat perbedaan-perbedaan pendapat atau
pandangan dengan mengabaikan perasaan pribadi, melalui keikut sertaan dan masukan-
masukan baik dari pihak yang mempertahankan gagasan maupun yang mengkritik
gagasan berdasarkan fakta-fakta yang relevan dan mengesampingkan pandangan
pribadi atau kepentingan politis.
Dua teknik Programmed Conflict yang banyak dimanfaatkan adalah :
1. Devil’s Advocacy, di mana seseorang ditunjuk untuk “menelanjangi”
kelemahan-kelemahan dari sebuah gagasan tertentu sehingga dapat
disempurnakan bersama. Devil’s Advocacy yang dilakukan secara periodik

6
Ibid
7
Op.Cit

3
merupakan latihan yang bagus untuk mengembangkan kemampuan analitis dan
komunikasi.
2. Dialectic method dilaksanakan dengan cara membuka forum
perdebatan di antara pandangan-pandangan yang berbeda untuk memahami issue
tertentu secara lebih baik. Manajemen dapat membentuk dua atau tiga tim untuk
mendiskusikan/memperdebatkan rencana kebijakan tertentu. Satu tim sebagai
pencetus rencana bertindak untuk mempertahankan rencana dan tim lain bertugas
untuk mengcounter/menyerang rencana tersebut dalam satu forum adu
argumentasi.
b) Dysfunctional atau Destructive Conflict
Dysfunctional atau Destructive Conflict merupakan Jenis konflik yang dapat
mengancam kepentingan organisasi dan menurunkan kinerja organisasi. Berbeda
dengan jenis konflik yang pertama, bahwa konflik jenis ini perlu dikendalikan untuk
meminimumkan dampak negatifnya, kalau perlu melalui proses negosiasi atau bahkan
mediasi.
1. Negosiasi
Kreitner dan Kinicki mendefinisikan negosiasi sebagai “Give-and-take process
between conflicting interdependent parties”8, sedangkan definisi negosiasi menurut
Cohen H adalah “negotiation is a field of knowledge and endeavor that focus on
gaining the favor of people from whom we want things”9.
Dapat dibedakan dua tipe negosiasi, yaitu : distributive negotiation dan
integrative negotiation10. Distributive negotiation biasanya menyangkut kepentingan
yang sama dari pihak yang bernegosiasi, di mana keuntungan satu pihak adalah
kerugian pihak lain. Dasar negosiasi adalah Win-lose thinking: “ what is good for the
other side must be bad for us”.
Integrative atau value–added negotiation lebih mengarah kepada progressive
win-win strategy. Dalam tipe negosiasi ini team-team negosiasi yang terlatih baik dapat
mencapai hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Keberhasilan negosiasi
integrasi sangat tergantung kepada kualitas dari informasi yang dipertukarkan.
Kebohongan, menyembunyikan data-data kunci dan taktik-taktik negosiasi yang tidak

8
Kreitner & Kinicki, Lop.Cit, Hal. 446
9
Cohen, H, You can negotiate anything. New York; Bantam Book, 1980, Hal. 15
10
Op.Cit, Hal. 446

4
etis dapat merongrong kepercayaan dan niat baik yang sangat penting dalam win-win
negotiation, yang dapat berakibat gagalnya penyelesaian masalah melalui negosiasi.
2. Mediasi
Untuk menghindarkan penanganan dysfunctional conflict berkepanjangan dan
biaya tinggi (misalnya melalui pengadilan) dapat dimanfaatkan model Alternative
Dispute Resolution (ADR) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui cara-cara informal.
Peranan Mediator dapat berbentuk :
a. Facilitation, di mana pihak ketiga mendesak dan membujuk pihak-
pihak yang bersengketa untuk berunding secara langsung dalam suasana yang
positif dan konstruktif.
b. Conciliation, di mana pihak ketiga yang netral bertindak sebagai
komunikator di antara pihak-pihak yang berselisih. Ini dilakukan bila pihak yang
berselisih menolak untuk bertemu muka dalam perundingan langsung.
c. Peer –review, yaitu sekelompok wakil-wakil karyawan (panel) yang
bisa dipercaya karena kemampuannya untuk tidak berpihak, mendengarkan
pandangan, pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang berselisih di dalam
pertemuan informal dan konfidensial. Keputusan-keputusan dari panel dapat
menjadi acuan untuk penyelesaian konflik.
d. Ombudsman : seseorang karyawan sebuah organisasi/perusahaan yang
secara luas dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan sekerjanya, mendengarkan
keluhan mereka secara konfidensial, dan berusaha mencari jalan keluar dengan
pihak manajemen.
e. Mediation : pihak ketiga yang netral dan terlatih secara aktif menuntun
pihak-pihak yang berselisih untuk menggali solusi-solusi inovatif untuk
menyelesaikan konflik.
f. Arbitration : pihak-pihak yang berselisih bersepakat menerima
keputusan dari arbitrator yang netral melalui proses seperti di pengadilan,
seringkali lengkap dengan bukti-bukti dan saksi-saksi.
D. Studi Kasus
Sebuah pondok pesantren (dalam contoh kasus ini disebut pondok pesantren X)
dalam jangka waktu sepuluh tahun telah berkembang dengan pesat; sekitar tiga ratus
santriwan dan santriwati aktif, lebih dari sepuluh ustadz lulusan timur tengah dan.

5
Didorong oleh ketidakpuasan terhadap beberapa kebijakan kepesantrenan, khususnya
dalam hal keberadaan bangunan yang berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah
santriwan dan santriwati, ketidaktegasan kebijakan yang diambil dalam mengatasi
kehilangan barang-barang berharga santri dan didukung oleh sistem pengajaran kuno yang
kurang dapat memahamkan bagi para santrinya. Maka sekelompok santriwan dan
santriwati muda membentuk sebuah Serikat Santri (dalam tulisan ini disebut SS-A) di
dalam pondok pesantren tersebut.
Sepak terjang SS-A menjurus kontroversial, provokatif terhadap sesama santriwan
dan santriwati lain dan konfrontatif terhadap pondok pesantren X, yang berdampak negatif
terhadap suasana ngaji (istilah ”belajar” bagi para santri), antara lain dalam bentuk
kegelisahan, was-was, saling curiga, tidak puas dan mengarah kepada perpecahan antar
santri, yang secara drastis menurunkan pruduktivitas santri dan pondok pesantren. Situasi
ini menimbulkan kekhawatiran sebagian besar para santri maupun para ustadz di pondok
pesantren tersebut. Apabila dibiarkan berlarut-larut dapat berakibat fatal terhadap
eksistensi pondok pesantren dan seluruh santriwan dan santriwati yang bernaung di
dalamnya.
Mengantisipasi kemungkinan tersebut kemudian sekelompok santriwan dan
santriwati senior yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pondok pesantren
membentuk sebuah Serikat Santri baru (dalam tulisan ini disebut SS-B).
Sasaran jangka pendek SS-B adalah : memulihkan kembali iklim ngaji yang
kondusif, meningkatkan kembali produktivitas, dan mengusahakan sistem ngaji yang
komunikatif. Langkah-langkahnya cenderung rasional, persuasif dan kooperatif baik
kepada pondok pesantren X, SS-A maupun sesama santri.
Uraian tersebut di atas secara jelas memperlihatkan situasi konflik yang dapat
digambarkan sebagai berikut :

6
Negosiasi dan Mediasi

Telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik di antara ketiga pihak yang


terlibat melalui negosiasi-negosiasi langsung, namun tidak membawa hasil, sehingga
kemudian SS–A membawa permasalahannya kepada pihak ketiga (yaitu Pekapontren
Propinsi Jawa Tengah) untuk bertindak sebagai mediator.
Gambaran proses mediasi antara mediator dengan pihak-pihak yang terlibat konflik
adalah sebagai berikut :

MEDIATOR

4. 1. 2. 3.

SS – A PONDOK PESANTREN SS – B
X

Gambar 2

Keterangan :
1. Mediasi langsung antara Mediator dengan SS–A, tanpa melibatkan Pondok
pesantren X dan SS–B.
2. Mediasi langsung antara Mediator dengan Pondok pesantren X, tanpa melibatkan SS–
A dan SS–B.
3. Mediasi langsung antara Mediator dengan SS–B, tanpa melibatkan SS–A dan Pondok
pesantren X.

7
4. Mediasi langsung antara Mediator dengan ketiga pihak yang terlibat konflik secara
bersama-sama.
Melalui pendekatan-pendekatan intensif, oleh mediator kepada SS–A dan Pondok
pesantren X melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal, diperoleh hasil sebagai
berikut :
 Pengurus dan anggota SS–A yang tetap bersikap keras satu persatu
mengundurkan diri, sedangkan anggota-anggota yang masih ingin belajar di Pondok
pesantren X sebagian bergabung dengan SS–B dan sebagian kecil tetap di SS–A.
 SS–B menjadi semakin eksis karena misinya yang searah dengan misi
Pondok pesantren X : bekerja sama dengan Pondok pesantren X untuk
mensejahterakan santiwan dan santriwati melalui peningkatan produktivitas, serta
strateginya yang tepat : rasional, persuasif dan koordinatif kepada SS–A, Pondok
pesantren X maupun Mediator.
 Terjangkaunya pengawasan oleh pengurus terhadap pada santri.
 Suasana belajar mengajar berangsur-angsur pulih dan lebih kondusif
 Motivasi ngaji kembali meningkat
 Produktivitas santriwan, santriwati meningkat
 Peraturan kepesantrenan dibakukan dalam bentuk Perjanjian Ngaji Bersama
(PNB) sesuai dengan arahan dari Departemen Agama, sehingga ada kejelasan sasaran
sistem belajar mengajar yang dapat di pegang oleh Pondok pesantren X maupun
santriwan dan santriwati SS-A dan SS-B.

Ketika dikaitkan dengan dasar teori di atas maka keadaan dan penyelesaiannya
dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Pondok pesantren X
Selama sekitar sepuluh tahun sejak berdirinya pondok pesantren “X” jarang
mengalami konflik internal. Secara teoritis ini pertanda apatisme dan kurangnya kreativitas
personil di dalam pondok pesantren ini. Fenomena yang muncul sebagai akibat dari
kondisi ini antara lain :
 Kurangnya dorongan untuk merubah model manajemen kebijakan dan sistem belajar
mengajar tradisional dengan pola yang kurang atau bahkan tidak komunikatif, ke model
manajemen modern yang berorientasi kepada desentralisasi dan berfokus kepada
strategi.

8
 Santriwan dan santriwati kurang diajak terlibat dalam proses penetapan kebijakan
Pondok pesantren; tidak ada rangsangan kreativitas santriwan dan santriwati, bahkan
mengarah kepada apatisme.
 Banyak kelemahan dari peraturan-peraturan Pondok pesantren, terutama yang
menyangkut kebijakan yang diambil : kuantitas santriwan dan santriwati tidak
sebanding dengan keberadaan bangunan pondok pesantren (sebagian santriwan dan
santriwati ditempatkan di sebuah kontrakan masyarakat sekitar pondok, sehingga
jangkauan pengurus dalam pengawasan menjadi berkurang), kurang tegasnya kebijakan
yang diambil (sehingga sering terjadi pencurian barang-barang yang berharga, seperti
laptop, HP dan uang), kurang berkembangnya kemampuan santriwan dan santriwati
dalam membaca kitab kuning.
 Manajemen Pondok pesantren kurang terlatih mengatasi konflik internal, yang jelas
telihat saat muncul konflik dengan SS–A.
Saat-saat awal menghadapi konflik dengan SS–A yang kontroversial, provokatif
dan konfrontatif, manajemen Pondok pesantren sempat mengalami kesulitan. Negosiasi-
negosiasi langsung dengan SS–A yang dilandasi oleh win – lose thinking (distributive
negotiation) mengalami jalan buntu. Oleh sebab itu Pondok pesantren X kemudian tidak
lagi bersedia bernegosiasi langsung dengan SS–A, namun pendekatan-pendekatan informal
kepada individu-individu pengurus dan anggota SS–A diintensifkan dengan tujuan
mencapai kesadaran untuk merubah sistem aturan kepesantrenan yang lebih
mengutamakan kenyamanan para santrinya dan merubah sistem belajar-mengajar yang
lebih komunikatif, sedangkan sebagian anggota SS–A memilih pindah pondok dan yang
masih ingin belajar di Pondok pesantren X dipersilahkan tetap tinggal, tetapi tidak
melakukan kegiatan-kegiatan negatif. Pendekatan ini cukup berhasil; semua santri
mendapat pengawasan yang cukup dari pengurusnya karena pengerucutan pondok
pesantren dan sistem belajar mengajar menjadi lebih komunikatif.
Serikat Pekerja A
SS–A lahir karena beberapa sebab yag merupakan pemicu konflik :
 Adanya perbedaan pandangan tentang Pondok pesantren X atas tata nilai tertentu,
misalnya tentang masalah tempat tinggal yang disediakan untuk bermukim, ketegasan
dalam penaganan kehilangan barang berharga dan kesenjangan social (value conflict).

9
 Adanya dorongan dari pihak luar (teman seuniversitas dari pondok yang berbeda) yang
berbagi cerita tentang kenyamanan sistem pondok pesantren yang ditempati (intra
group conflict).
Sepak terjang SS–A cenderung konroversial, provokatif dan konfrontatif baik
kepada Organsiasi X maupun SS–B (yang lahir sebagai ekses dari SS–A). Langkah-
langkah ini menimbulkan dampak negatif atas suasana mengaji, hubungan antar santriwan
dan santriwati dengan pondok pesantren, dengan akibat turunnya produktivitas individu
dan Pondok pesantren (disebut dysfunctional atau destructive conflict).
SS–B yang didirikan belakangan oleh beberapa santriwan dan santriwati senior
untuk memulihkan kembali suasana mengaji yang kondusif dan produktivitas mendapat
sambutan negatif dari SS–A, dinilai sebagai “ alat ” dari manajemen Pondok pesantren
untuk menghadapi SS–A.
Serikat Pekerja B
Serikat Pekerja B (SS–B) lahir sebagai ekses dari dysfunctional atau destructive
conflict antara SS–A dengan pihak Pondok pesantren (perpecahan antar santriwan dan
santriwati, was-was, curiga,ketidakpastian masa depan dan turunnya produktivitas).
Beberapa santriwan dan santriwati senior yang prihatin atas ekses dari destructive conflict
tersebut mendirikan SS–B dengan tujuan : memulihkan suasana ngaji yang kondusif untuk
meningkatkan produktivitas dan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan santriwan
dan santriwati. Strategi yang diterapkan dalam langkah-langkahnya adalah : merangkul
SS–A dan berjalan seiring dengan Pondok pesantren X dengan prinsip rasional, persuasif
dan kooperatif.
Intergrative negotiation (win-win strategy) dari SS–B ditanggapi dengan
distributive negotiation (win-lose thinking) oleh SS–A. Secara institusional SS–B tidak
berhasil merangkul SS–A untuk bekerja sama, namun secara individual banyak anggota
SS–A yang kemudian bergabung ke SS–B.
Tujuan yang pararel dengan tujuan Pondok pesantren X dan strategi pencapaian
tujuan yang konstruktif, sementara Pondok pesantren X sudah belajar dari pengalaman
dysfunctional conflict dengan SS–A, menyebabkan Pondok pesantren X menyambut positif
kehadiran SS–B dan menganggap konflik Pondok pesantren X – SS–B adalah functional
conflict dan bersedia melaksanakan integrative negotiation dengan dasar win-win solution.

10
Kematangan berpikir dari pengurus SS–B yang terdiri dari santriwan dan
santriwati- senior, menyebabkan hubungan negosiasi dengan pihak Mediator (dalam hal ini
Pekapontren Propinsi Jawa Tengah) berjalan lancar dan kondusif.
Mediator
Kehadiran mediator (Pekapontren Propinsi Jawa Tengah) untuk mengatasi konflik
segitiga antara Pondok pesantren X–SS-A–SS-B adalah atas permintaan dari SS-A yang
mengalami kegagalan dalam beberapa kali negosiasi langsung dengan Pondok pesantren X
dan SS-B, disamping memang tanggung jawabnya untuk membantu penyelesaian
permasalahan kepondokpesantrenan yang terjadi di Indonesia.
Dalam perannya sebagai mediator untuk memperoleh “Alternative Dispute
Resolution/ADR “ (yaitu upaya menyelesaikan konflik secara informal tanpa melalui
proses hukum yang panjang dan mahal atau melalui mediasi atau arbitrasi), mula-mula
Depnaker melakukan tehnik “Facilitation” dengan membujuk secara informal pihak-pihak
yang bertikai untuk bernegosiasi langsung dalam suasana positif dan konstruktif. Namun
karena penolakan dari Pondok pesantren X untuk bertemu muka langsung dengan SS-A
(sementara SS-B bersedia bernegosiasi langsung), maka Pekapontren Propinsi Jawa
Tengah merubah tehnik ke arah “Conciliation” yaitu secara informal menjadi jembatan
komunikasi antara pihak-pihak yang bertikai (Pondok pesantren X, SS-A dan SS-B).
Setelah tehnik conciliation mulai berhasil di mana para pihak, setelah masing-
masing mendapatkan informasi yang cukup lengkap, siap untuk negosiasi langsung, tehnik
ditambah lagi kearah “mediation” di mana Pekapontren Propinsi Jawa Tengah secara aktif
menuntun/mengarahkan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk bersama-sama mencari
innovasi-innvovasi penyelesaian konflik.
Hasil utama dari seluruh proses mediasi Pekapontren Propinsi Jawa Tengah untuk
menyelesaikan konflik segitiga tersebut di atas adalah ditandatanganinya “Perjanjian Ngaji
Bersama (PNB) antara Pondok pesantren “X” dengan SS–A dan SS–B “. PNB ini akan
menjadi acuan dasar untuk penyelesaian konflik dari ke tiga pihak tersebut di atas dalam
mengatasi masalah-masalah kepegawaian di masa-masa mendatang.

11
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal penting dalam
menangani konflik organisasi :
a. Berbagai jenis konflik tidak mungkin dihindarkan karena dipicu oleh berbagai variasi
penyebab.
b. Terlalu sedikit konflik pertanda besarnya kondisi kontra -produktif dalam organisasi.
c. Tidak ada satu jalan terbaik untuk mengatasi konflik.
Dengan dasar itu para ahli penanganan konflik merekomendasikan pendekatan
kontingensi (contingency approach) untuk mengelola konflik. Penyebab konflik dan
konflik yang terjadi harus dimonitor. Kalau muncul pertanda terlalu sedikit konflik karena
apatisme atau kurangnya kreativitas, maka functional conflict perlu distimulasi melalui
“Programmed Conflict”, baik menggunakan devil’s advocacy ataupun dialectic method.
Kalau konflik menjurus menjadi dysfunctional, cara penanganan konflik yang tepat
perlu dilakukan adalah para manajer dapat dilatih melalui pengalaman penanganan konflik.
Intervensi pihak ketiga dibutuhkan apabila pihak-pihak yang berselisih tidak mau atau
tidak mampu mengatasi konflik. Integrative atau value-added negotiation paling tepat
untuk mengatasi konflik antar group atau antar organisasi.

12
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, H, You can negotiate anything. 1980, New York; Bantam Book Stephen

Jandt, FE & Gillete, Win – win negotiation; turning conflict into agreement,

1985, USA : Jhon Wiley & Sons

Kreitner, R & Kinicki, A, Organization Behavior, 2001, New York : The Mc

Graw – Hill Companies

L, Hill, Eighteenth –century anticipations of the sociology of conflict: The case

of Adam Ferguson. Journal of the History of Ideas, 2001 April

P. Robbins, Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi, terj. Jusuf Udaya,

Lic., Ec., 1994, Jakarta: Penerbit Arcan

T, Porter-O’Grady, Embracing conflict: building a healthy community. Health

Care Manage, 2004

13

You might also like