You are on page 1of 9

TUGAS BAHASA INDONESIA

IRA ANJANI X-4

Hikayat abu nawas – Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya
sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah
itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih
kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya
dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang
untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa
memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi
abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi
kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah


si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan
betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan
rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari
rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam
rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau
dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak
sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang
didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau


sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani
membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai
masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam
rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”

si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama
aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya
bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang


didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada
cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai
yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia
membuatkan kandang didalam rumahnya.

3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2
menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya
abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak
sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau


kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa
maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali
kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang
berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah
abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak
terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”

abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”

si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang
berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan
kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak
rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas
padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah
banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak
melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih
banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah
tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak
mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh
dan mengucap terima kasih pada abunawas…
Hikayat Seorang kakek dan Seekor Ular

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada
Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan
selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga
terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap
mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya
(sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap
waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian
datang menyusulnya) membawa tongkat.

“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah
saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia
pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau
membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi
ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”

“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk
ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-
jangan kamu malah mencelakai saya.”

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular
mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan
ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya
dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun
pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah
dari mulutku, aga raku dapat pergi sekarang.”

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah
mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik,
mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu
bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”

“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia
ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu
memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama
membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali
bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah
Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu
tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya
berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada
sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke
suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati
di sana supaya jauh dari keluargaku.”

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai
Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang,
silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu
inginkan.”

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:


“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya,
ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam
tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau
pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa
membantumu.”

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah
menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam
hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar
sehingga saya dapat selamat?”

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati
mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan
Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:


“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat
mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena
berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari
lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya
kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai
menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku
menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak.
Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala
kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga
memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku
menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali
bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku.
Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara
ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta
kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera
melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak
saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang
agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia
dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan
yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang
disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama
matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah
menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah
pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah
berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
TUGAS BAHASA INDONESIA
IRA ANJANI X - 4

Hikayat Hang Tuah, Antara Sejarah dan Mitos

Judul: Hikajat Hang Tuah


Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (Cetakan ke-3, 1956)
Tebal: 511 halaman
***

NAMA Hang Tuah bisa dipastikan tak asing di telinga banyak orang. Sama halnya dengan
banyak tokoh yang dianggap berperan dalam sejarah bangsa ini, nama Hang Tuah pun
diabadikan pada ruas-ruas jalan di Jakarta dan di beberapa daerah lain lagi. Bahkan, nama Hang
Tuah juga diabadikan pada kapal perang pertama milik Indonesia. Pemberian nama itu untuk
mengenang kejayaan Hang Tuah yang selalu mencapai kemenangan di laut. Namun, tidak seperti
tokoh-tokoh bersejarah lainnya, tak banyak yang tahu siapa Hang Tuah yang diabadikan
namanya itu? Apa perannya dalam sejarah negeri ini?

Memang, bisa dikatakan, keterangan tentang siapa dan apa kiprah Hang Tuah tidak ditemukan
dalam literatur-literatur sejarah. Beberapa waktu lalu pernah diangkat kisah-kisah tokoh melayu,
termasuk Hang Tuah ini, dalam berbagai versi seperti sandiwara radio maupun tayangan sinema
di televisi. Tetap saja, Hang Tuah hanya dikenal sebatas tokoh terkenal dari daerah Melayu.

Tak banyak yang tahu kisah Hang Tuah yang dituliskan dalam sebuah buku berjudul Hikajat
Hang Tuah tercatat sebagai karya sastra melayu klasik yang paling panjang. Salah satu versi
Hikajat Hang Tuah adalah setebal 593 halaman. Buku berisikan Hang Tuah ini dikenal sejak
abad ke-18, dan sejak saat itu disebutkan sangat menarik perhatian para peneliti barat. Hikajat
Hang Tuah kemudian sangat terkenal, terbit dalam berbagai versi, dan sekitar 20 buku tersimpan
di berbagai perpustakaan di dunia.

PADA buku Hikajat Hang Tuah terbitan Balai Pustaka, kisah tokoh yang di Malaysia dianggap
sebagai salah satu pahlawan nasional ini diuraikan dalam 24 bab panjang. Pada pengantar
disebutkan, buku tersebut disalin dari salah satu naskah tulis tangan huruf Arab. Pada sampul
bagian dalam tertulis: "Inilah hikajat Hang Tuah jang amat setiawan kepada tuannja dan terlalu
sangat berbuat kebadjikan kepada tuannja".

Kisah dimulai dengan bab yang menguraikan asal muasal raja-raja di Malaka atau Melayu.
Dengan diantar oleh kata-kata: "Sekali peristiwa...", diceritakan tentang seorang raja keinderaan
(kayangan-Red) Sang Pertala Dewa, yang akan mempunyai seorang anak dan dia akan menjadi
raja di Bukit Seguntang. Keturunan-keturunan sang dewa inilah dengan segala kemuliaan yang
dimiliki kemudian menjadi raja-raja di tanah Melayu.

Hang Tuah diceritakan sebagai anak Hang Mahmud. Dikisahkan, setelah mendengar kabar
gembira tentang negeri Bintan sudah mempunyai seorang raja yang tak lain adalah cucu dari
Sang Pertala Dewa, Hang Mahmud pun bergegas mengajak istri dan anaknya pindah ke sana. Di
Bintan, Hang Tuah muda bertemu dan bersahabat dengan Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir,
dan Hang Lekiu. Kelima pemuda itu diceritakan selalu bersama-sama, seperti lima orang
bersaudara.

Suatu hari, Hang Tuah mengusulkan pada keempat sahabatnya untuk pergi berlayar dan
merantau bersama-sama. Empat sahabatnya pun setuju, dan mereka berangkat berlayar. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu dan menundukkan tiga perahu yang ternyata adalah musuh
Bintan dari Siantan. Kawanan tersebut tak lain adalah kaki tangan Patih Gajah Mada dari
Majapahit yang ingin memperluas kekuasaan dengan merompak di Tanah Palembang. Akhirnya,
lima sekawan itu diangkat menjadi abdi salah seorang pemimpin di negeri Bintan, yang
dipanggil Bendahara Paduka Raja. Dari sinilah kisah perjuangan Hang Tuah yang akhirnya
justru mendapat gelar laksamana dari Raja Majapahit dimulai.

Dalam buku, terutama melalui tokoh Hang Tuah dan Patih Gajah Mada, dikisahkan adanya
persaingan kejayaan antara Malaka dan Majapahit. Gajah Mada tidak digambarkan sebagai tokoh
yang mulia ataupun bijaksana. Ia digambarkan dalam sosok yang begitu berkuasa dan ambisius.
Beberapa kali ia menyusun rencana untuk menghabisi Hang Tuah yang dianggap sebagai batu
penghalang rencananya untuk menguasai Malaka. Berbicara soal musuh, dalam menjalankan
tugas sebagai abdi yang setia dan disegani, Hang Tuah pun di negerinya sendiri beberapa kali
harus dibuang bahkan hendak dibunuh akibat fitnah. Fitnah itu sebegitu rupa sehingga salah
seorang sahabatnya, yaitu Hang Jebat, pun berkhianat.

Hang Tuah memang membawa Malaka pada kejayaan. Tidak hanya ia berhasil membendung
serangan dari Majapahit. Ke mana saja ia diutus dan apa pun tugas yang diemban, selalu
membuahkan hasil. Namun, dengan masuknya orang-orang dari Eropa, terutama Belanda,
akhirnya kejayaan Malaka dihancurleburkan. Pada bagian akhir dikisahkan, Malaka jatuh ke
tangan orang-orang dari Johor dan Belanda. Hang Tuah sendiri dikisahkan masih hidup dan
tinggal di negeri Batak, menjadi wali agama dan raja.

DEMIKIAN cuplikan kisah tokoh bernama Hang Tuah dari salah satu versi terbitan Balai
Pustaka. Tak ada yang tahu, siapa sesungguhnya pengarang Hikajat Hang Tuah. Tahun persis
kapan pertama kali kisah ini muncul pun hingga kini tak bisa dipastikan. Tak ubahnya karya-
karya sastra kuno umumnya, kisah Hang Tuah ini pun diduga pertama kali dikenal berupa cerita
lisan. Kemudian, dalam bentuk naskah tertulis, Hikajat Hang Tuah diduga pertama kali ditulis
pada abad ke-16.

Menurut Prof Dr Sulastin Sutrisno (lihat Ketika Hang Tuah Menjadi Disertasi) yang pernah
mengangkat Hikajat Hang Tuah menjadi sebuah disertasi, siapa pengarang sesungguhnya
memang sulit dipastikan. Namun, yang jelas, karya tersebut mengundang kekaguman sendiri.
Sebagai sebuah kisah fiktif, Hikajat Hang Tuah sarat dengan muatan sejarah. Nama-nama
kerajaan dan tokoh memang lekat dengan apa yang tercantum dalam catatan-catatan sejarah.
Bahkan ada dugaan, pengarang Hang Tuah tidak hanya berpengetahuan luas karena sarat dengan
muatan sejarah, namun juga banyak menggunakan sumber sastra lain. Dugaan ini muncul karena
pada beberapa bagian, terdapat kemiripan dengan cerita-cerita klasik lain seperti Kisah Panji,
Hikajat Sri Rama, dan sebagainya.

Salah seorang ahli sastra, Sir Richard Windstedt, menyebutkan, karya sastra klasik seperti
Hikajat Hang Tuah ini identik dengan syair-syair bermuatan kisah kepahlawanan yang banyak
dihasilkan di Jawa pada abad ke-11. Karya-karya ini dikatakan mengubah sejarah menjadi mitos,
atau sebaliknya mengubah mitos menjadi sejarah. Dalam Hikajat Hang Tuah, nuansa fiktif
maupun mitos di antaranya terwakili melalui ketiadaan keterangan waktu dalam setiap peristiwa,
kehadiran negeri kayangan yang dipimpin Sang Pertala Dewa maupun perubahan wujud Hang
Tuah menjadi harimau dalam sebuah perkelahian (hal 164).

Tokoh Hang Tuah sendiri pun tak bisa dipastikan sebagai tokoh mitos atau sejarah, meskipun
dalam Sejarah Melayu (Malay Annals) disebutkan Hang Tuah mati di abad ke-15. Kitab tersebut,
Sejarah Melayu-disusun oleh Mansur Shah salah seorang penguasa di Malaka-yang
mencantumkan riwayat Hang Tuah pun diragukan oleh berbagai kalangan. Sir Richard Winstedt
menyebutkan, Mansur Shah, dalam Sejarah Melayu, mampu mengangkat legenda tentang
seorang pejuang bernama Hang Tuah yang tumbuh saat terjadi perang antara Jawa dan Tamil.
Akan tetapi, seperti dikatakan di atas, hampir tidak dapat dibedakan yang mana sejarah dan yang
mana mitos. Namun, untuk tokoh seperti Hang Tuah, siapa lagi yang peduli bahwa itu mitos atau
sejarah selama dia menjadi ilham etika publik?

You might also like