You are on page 1of 86

LINGKUNGAN HIDUP, PENATAAN RUANG,

DAN PERTANAHAN
BAB XI

LINGKUNGAN HIDUP, PENATAAN RUANG,


DAN PERTANAHAN

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang 1945, pasal 33 ayat 3, mengamanatkan


bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan dasar itu, setiap upaya pengelolaan
sumber alam perlu dilakukan secara terencana, terkoordinasi dan
terpadu dengan sumber daya manusia serta sumber daya buatan
dalam pola pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan lingkungan hidup, penataan ruang dan


pertanahan adalah upaya kearah perwujudan amanah tersebut.
Tujuannya adalah agar pengelolaan dan pendayagunaan sumber
alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung
jawab serta sesuai dengan potensi dan kemampuan daya

XI/3
dukungnya. Pembangunan lingkungan hidup, penataan ruang, dan
pertanahan sesuai dengan amanah GBHN 1993 diselenggarakan
untuk meningkatkan penataan dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup sesuai daya dukung, potensi dan keseimbangan pemanfaatan
sumber daya alam, serta pengendalian yang handal dan konsisten
terhadap pemanfaatan ruang dan sumber daya alam. Dengan
demikian pembangunan dapat diselenggarakan secara berke-
lanjutan, tertib, efisien, dan efektif.

Pembangunan lingkungan hidup diarahkan pada terwujudnya


kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan
keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan dan
upaya pembangunan nasional untuk menjamin pembangunan yang
berkelanjutan.

Dalam Repelita VI pembangunan lingkungan hidup


mengupayakan meningkatnya kemampuan kelembagaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup mulai dari. tingkat pusat hingga
tingkat daerah, meluasnya kapasitas pengendalian dampak
lingkungan dan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi kawasan
yang rusak, serta berkembangnya kesadaran lingkungan di
masyarakat yang dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari yang
bersahabat dengan lingkungan hidup.

Dalam rangka memperoleh informasi tentang potensi sumber


daya alam dan lingkungan telah dilaksanakan serangkaian
inventarisasi dan evaluasi terhadap sumber daya alam penting.
Dalam rangka itu telah dibuat penetapan tata batas kawasan hutan
tetap sepanjang 62,4 ribu kilometer. Selanjutnya sampai dengan
tahun 1997/98 telah diselesaikan peta rupa bumi sebanyak 2.926
nomor lembar peta (n1p) pada berbagai skala. Informasi potensi

XI/4
sumberdaya alam yang terdapat dalam berbagai kawasan
memperlihatkan jumlah, mutu dan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup nasional. Dalam upaya pelestarian sumberdaya
alam telah ditetapkan kawasan seluas 12,5 juta hektare sebagai
kawasan konservasi darat dan laut.

Pada tahun keempat Repelita VI telah terbentuk Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Tingkat I
(BAPEDALDA Tk. I) di 24 propinsi dan Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Wilayah (BAPEDALWIL) di tiga wilayah
(Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, dan Indonesia Timur).

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan hidup


berbagai program aksi telah ditingkatkan seperti Program Kali
Bersih yang mencakup 17 propinsi dan 37 ruas sungai, Program
Langit Biru di beberapa kota besar (Bandung, Surabaya, Jakarta
dan Medan), serta Program Adipura yang meliputi kota-kota besar
dan kecil.

Untuk mempertahankan daya dukung dan aliran jasa fungsi


lingkungan hidup dalam Repelita VI sampai dengan tahun keempat
telah dilanjutkan rehabilitasi lahan . kritis dan penghijauan
mencakup lahan seluas masing-masing 156,1 ribu hektare dan 6,8
juta hektare.

Pelestarian fungsi kawasan pantai dan laut terus diupayakan


antara lain melalui kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem
terumbu karang yang melibatkan masyarakat pesisir di 10 propinsi,
penanaman kembali hutan mangrove, dan pengendalian pen-
cemaran melalui Program Pantai Lestari.

XI/5
Dalam rangka penataan ruang telah diselesaikan 2 (dua)
Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari Undang-Undang
Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Yang pertama
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Tata Cara dan Bentuk Peran
serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Yang kedua adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (PP RTRWN). RTRWN berisi: penetapan
kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu; norma
dan kriteria pemanfaatan ruang; dan, pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang. Di dalam RTRWN ditetapkan 111 Kawasan
Andalan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sampai
dengan tahun 1997/98, seluruh propinsi Daerah Tingkat I (Dati I)
telah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
(RTRWP) dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Seluruh kabupaten Daerah Tingkat II (Dati II) telah memiliki
rencana tata ruang wilayah namun baru sekitar 58% telah
ditetapkan menjadi Perda. Untuk Daerah Tingkat II Kotamadya,
seluruhnya juga telah memiliki rencana tata ruang wilayah dan 80%
telah ditetapkan dengan Perda.

Program penataan pertanahan dititikberatkan pada upaya


untuk meningkatkan dan menyempurnakan penyelenggaraan
pelayanan masyarakat akan pertanahan, terutama dalam kaitannya
dengan pengurusan hak serta pemberian status hukum atas tanah
dan penyediaan data dasar pertanahan yang konsisten. Dalam
rangka mendukung pembangunan di berbagai bidang yang
membutuhkan tanah, dilakukan kegiatan penatagunaan tanah untuk
menyediakan informasi tata guna dan kemampuan tanah yang
akurat dan cepat. Upaya ini bersifat lintas sektoral dan memper-

XI/6
hatikan prioritas pengembangan kawasan berdasarkan rencana tata
ruang masing-masing wilayah.

Dalam pengaturan penguasaan tanah, titik berat kegiatan


diletakkan pada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah
melalui redistribusi tanah obyek landreform dan konsolidasi tanah
yang mencakup penataan kembali penggunaan dan penguasaan
tanah di wilayah perkotaan maupun di perdesaan. Dalam upaya ini,
peranserta masyarakat dan dunia usaha terus ditingkatkan sehingga
pelaksanaan kegiatan redistribusi tersebut dapat dilakukan secara
swadaya.

Pada Repelita VI sampai dengan tahun keempat


dikembangkan sistem pensertifikasian tanah secara sistematis
(ajudikasi). Dengan sistem ini dapat diwujudkan biaya
pensertifikasian yang murah dan terjangkau oleh masyarakat serta
waktu yang jauh lebih singkat. Mekanisme ajudikasi ini
dioperasionalisasikan secara penuh mulai tahun 1996/97.
Dibandingkan dengan kapasitas tahun sebelumnya, terdapat
peningkatan yang luar biasa. Sampai dengan tahun keempat
Repelita VI, telah diselesaikan 510.000 sertifikat.

B. LINGKUNGAN HIDUP

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI


adalah (a) meningkatnya pengenalan terhadap jumlah dan mutu
sumber alam serta jasa lingkungan yang tersedia di alam,
pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan, dan kemungkinan

XI/7
pengembangannya; (b) terpeliharanya kawasan konservasi, hutan
lindung, keanekaragaman hayati, dan fungsi ekosistem khusus,
seperti wilayah DAS, terumbu karang, dan hutan bakau; (c)
terbentuknya sistem kelembagaan yang lebih efisien dan efektif
mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, baik dalam lingkungan
pemerintah, dunia usaha maupun organisasi masyarakat; (d)
terkendalinya pencemaran perairan dan udara; (e) pemulihan
potensi produksi lahan kritis; dan (f) terkendalinya kerusakan
pantai dan terpeliharanya mutu dan fungsi kawasan pantai.

Memperhatikan sasaran tersebut telah dirumuskan


kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi : (a)
pemilihan lokasi pembangunan; (b) rehabilitasi sumber daya alam
dan lingkungan hidup; (c) pengembangan kelembagaan, peran serta
masyarakat dan kemampuan sumber daya manusia; (d) penetapan
baku mutu lingkungan; (e) pengurangan produksi limbah; dan (f)
pengelolaan limbah.

Berbagai kebijaksanaan tersebut diwujudkan dalam 6 (enam)


program pokok Repelita VI, yaitu : (1) inventarisasi dan evaluasi
sumber daya alam dan lingkungan hidup; (2) penyelamatan hutan,
tanah dan air; (3) pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup;
(4) pengendalian pencemaran lingkungan hidup; (5) rehabilitasi
lahan kritis; dan (6) pembinaan daerah pantai.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Sampai Dengan Tahun


Keempat Repelita VI

Pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI telah


menghasilkan berbagai peningkatan kemampuan dalam sistem
pengelolaan lingkungan hidup nasional untuk mempertahankan

XI/8
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Peningkatan kemampuan
tersebut diperoleh melalui perluasan cakupan lokasi pemulihan
kualitas lingkungan kawasan-kawasan penting yang telah rusak
struktur ekosistemnya, perbaikan kualitas informasi yang berkaitan
dengan inventarisasi jumlah dan mutu jasa lingkungan yang
tersedia di alam, dan perluasan wilayah pengendalian pencemaran.
Selanjutnya secara khusus dalam Repelita VI telah dilakukan
pengembangan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup dari tingkat
pusat hingga tingkat daerah, yang disertai dengan meningkatnya
kapasitas kelembagaan dalam pemantauan dan pengendalian
dampak lingkungan.

a. Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Alam


dan Lingkungan Hidup

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengenalan


terhadap jumlah dan mutu sumber daya alam serta mengembangkan
neraca dan tata guna sumber alam dan lingkungan hidup untuk
mengetahui daya dukung dan menjamin ketersediaan sumber alam
yang berkelanjutan.

Kegiatan penting dalam program inventarisasi dan evaluasi


sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menonjol adalah
pemetaan rupa bumi yang merupakan informasi dasar bagi kegiatan
pemetaan maupun kegiatan inventarisasi potensi sumber alam.
Melalui kegiatan pemetaan rupa bumi, sampai dengan tahun
1997/98 telah diselesaikan produksi peta rupa bumi sebanyak 2.926
nomor lembar peta (nlp) pada berbagai Skala (Tabel XI-1 dan Tabel
XI-1 A). Dalam Repelita VI telah dihasilkan pertambahan jumlah
peta rupa bumi sebanyak 905 n1p, apabila dibandingkan dengan
tahun 1993/94. Selanjutnya untuk menunjang terlaksananya

XI/9
jaringan nasional sistem informasi geografi telah dilaksanakan
pemetaan rupa bumi digital skala 1:25.000 meliputi Jawa, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur,
yang sampai dengan tahun keempat Repelita VI telah menghasilkan
peta-peta digital sebanyak 1.580 nlp. Secara keseluruhan hasil
pemetaan rupa bumi wilayah darat telah meliputi 70 persen dari
seluruh wilayah nasional.

Dalam rangka pemetaan dasar kelautan telah dilaksanakan


pemetaan lingkungan laut dan pantai nasional. Sampai dengan
tahun keempat Repelita VI, telah dihasilkan Peta Lingkungan
Pantai Indonesia sebanyak 161 nlp dalam skala 1:50.000 untuk
berbagai perairan di Indonesia antara lain perairan Maluku, NTT,
NTB, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Bali,
Jawa Timur, Bali. Disamping itu, telah dilaksanakan pemetaan
tematik sumberdaya alam yang meliputi antara lain pemetaan
liputan lahan skala 1:250.000 dan skala 1:50.000 di seluruh wilayah
Indonesia, yang sampai dengan tahun 1997/98 telah tersedia
sebanyak 15 nlp.

Sejak pelaksanaan tahun ketiga Repelita VI (1996/97) telah


dilakukan pemetaan sumber daya alam pantai dan laut yang
ditujukan untuk pengenalan terhadap jumlah dan mutu sumber daya
perikanan, struktur geologi pantai terutama di daerah padat
pembangunan, tata guna lahan pantai dan ekosistemnya, dan
pendeteksian awal perubahan iklim. Secara keseluruhan, sampai
dengan tahun keempat pelaksanaan Repelita VI telah dihasilkan 38
nlp dari berbagai skala yang merupakan dasar pembentukan sistem
informasi pengelolaan lingkungan laut nasional.

XI/10
Selain itu dalam rangka inventarisasi potensi hutan, telah
dilakukan penetapan tata batas luar dan fungsi hutan yang
mencapai 36,9 ribu kilometer. Sampai dengan tahun 1997/98
inventarisasi hutan melalui penafsiran citra Landsat berikut
penyempurnaan (up-dating) katalogisasi datanya, telah mencapai
cakupan kawasan hutan seluas 326 juta hektare.

Kegiatan inventarisasi potensi laut dan hutan juga diikuti


dengan penyempurnaan data dan statistik kualitas lingkungan hidup
dengan titik berat pada penyempurnaan metoda analisis dan
pemutakhiran statistik untuk penyusunan Neraca Kualitas
Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) Propinsi Daerah Tingkat I
hingga Dati II. Penyempurnaan ini berkembang terus hingga tahun
1997/98 sebanyak 10 propinsi telah mewajibkan daerah tingkat II
di wilayahnya untuk menyusun NKLD. Tersedianya katalogisasi
data kualitas lingkungan hidup dalam NKLD yang merupakan
pembentukan awal pangkalan data lingkungan hidup diharapkan
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sistem informasi
lingkungan hidup nasional yang sampai akhir Repelita VI masih
dalam uji coba penerapan sistemnya.

Kegiatan inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan


hidup akan dilanjutkan dalam pelaksanaan tahun akhir Repelita VI
(1998/99) terutama yang berkaitan dengan penyelesaian peta dasar
rupabumi nasional; pemetaan sumber daya alam hutan, tanah,
pantai, mineral, energi, geologi, dan keanekaragaman hayati secara
terpadu; dan penetapan tata batas luar kawasan hutan tetap
sepanjang 46 ribu kilometer yang disertai dengan pengembangan
dan penyempurnaan sistem informasi neraca sumber alam dan
Iingkungan hidup.

XI/11
b. Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air

Program ini bertujuan untuk melestarikan fungsi dan


kemampuan sumber alam hayati dan non hayati serta lingkungan
hidup melalui penyelamatan hutan, tanah dan air yang merupakan
sumber alam dan sekaligus pula lingkungan hidup. Oleh karena itu
pengelolaan secara terarah sumber-sumber alam ini akan sangat
menentukan keseimbangan sistem pengendalian tata air, laju erosi,
daya dukung lahan dan besaran akumulasi sedimentasinya.

Dalam program ini, kegiatan utamanya berkaitan dengan


peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam baik daratan maupun lautan termasuk
kegiatan pelestarian flora, fauna dan keunikan alamnya, untuk
melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati plasma nutfah
beserta ekosistemnya.

Dalam Repelita VI sampai tahun keempat penetapan jumlah,


luas dan lokasi kawasan konservasi terus meningkat. Dalam kurun
waktu tersebut telah dikembangkan kawasan konservasi darat dan
laut sebanyak 20 unit yang terdiri atas cagar alam, suaka
margasatwa, taman wisata, taman buru, dan taman laut. Secara
keseluruhan, sampai dengan tahun 1997/98 jumlah kawasan
konservasi sumber daya alam telah mencapai 337 unit dengan luas
12,1 juta hektare. Disamping itu, dalam Repelita VI telah
ditetapkan 11 taman nasional baru sehingga secara keseluruhannya
jumlah taman nasional menjadi 36 unit dengan luas 14,1 juta hektare
pada tahun 1997/98 atau bertambah seluas 8,5 juta hektare apabila
dibandingkan dengan tahun 1993/94.

XI/12
Dalam rangka pemantapan koordinasi pengelolaan taman
nasional dan peningkatan keterpaduan pengelolaannya dengan
pembangunan daerah, telah dibentuk berbagai forum komunikasi
pengelolaan taman-taman nasional untuk wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan taman nasional juga terus dilakukan antara lain
dengan telah ditetapkannya 210 desa penyangga dari sasaran
sebanyak 682 desa dan berbagai upaya untuk melibatkan kelompok
masyarakat di sekitar taman nasional dalam penyusunan rencana
pengelolaan taman nasional di 26 propinsi. Perlindungan ekosistem
hutan selain dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat
di sekitar kawasan hutan, juga dilaksanakan dengan mengadakan
pelatihan tenaga Jagawana sebanyak 7.100 orang atau telah
mencapai 50% dari sasaran pengadaan tenaga Jagawana sebanyak
15.000 orang selama Repelita VI.

Bencana kebakaran hutan dan lahan yang melanda sebagian


wilayah Indonesia pada akhir tahun 1997 merupakan bencana
lingkungan yang terburuk selama lima belas tahun terakhir. Sampai
dengan bulan Oktober 1997 tercatat sekitar 330.772 hektar hutan
dan lahan yang terbakar dan berakibat pada terganggunya
kehidupan bagi sekitar 20 juta orang. Dalam menghadapi bencana
kebakaran lahan dan hutan yang sering menyebabkan permasalahan
lingkungan antarnegara telah dilakukan berbagai usaha
pengendalian baik di lokasi kejadian maupun penyempurnaan
sistem pengendaliannya, antara lain melalui penyusunan perkiraan
daerah rawan kebakaran di 26 propinsi dengan menetapkan nilai
potensi terbakar secara kualitatif, penyusunan prosedur tetap
pengendalian kebakaran hutan dan lahan, penyusunan peta rawan
kebakaran wilayah Sumatera dan Kalimantan, dan penyempurnaan
sistem tanggap darurat untuk tiap unit pelaksana pembukaan lahan.

XI/13
Disamping itu telah dilakukan pelatihan pencegahan, pengendalian
dan mitigasi kebakaran hutan bagi masyarakat yang diikuti oleh
5.840 orang (537 regu).

Perlindungan dan pelestarian fungsi sumber alam lainnya


yang penting terutama sumber daya air untuk menjamin
keberlanjutan aliran manfaatnya diupayakan serasi dengan
penyusunan penataan ruang. Mulai tahun 1997/98 pengelolaan
kawasan lindung nasional seluas 34 juta hektare diserahkan
pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I melalui
Bantuan Pengelolaan Kawasan Lindung yang dilaksanakan dengan
mekanisme Inpres. Pengelolaan kawasan lindung yang dipadukan
dengan pengembangan daerah khususnya kawasan lindung yang
berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan, daerah resapan air,
danau, atau situ dilakukan dengan pendekatan pengelolaan
ekosistem wilayah aliran sungai yang melihat tata air secara
menyeluruh mulai dari sumber air di pegunungan sampai ke muara
sungai. Pendekatan ini diharapkan dapat menjamin sediaan air
secara berkelanjutan.

Pengelolaan sumber daya air juga dilaksanakan melalui


kegiatan penatagunaan sungai, yang terkait dengan pengembangan
wilayah dan upaya penanggulangan bencana alam. Tujuan
utamanya adalah untuk mengendalikan daya rusak dari aliran air
dalam suatu kawasan melalui berbagai upaya teknis dan sosial.
Sampai dengan tahun keempat Repelita VI, kegiatan perbaikan,
pengaturan, dan pemeliharaan sungai yang telah dilaksanakan di
seluruh wilayah tanah air telah mencapai areal seluas 2,3 juta
hektare. Apabila dibandingkan dengan pelaksanaan pada tahun
1993/94 terdapat perluasan sebesar 288,3 ribu hektare (Tabel XI-2).
Kemampuan dalam pemulihan kualitas lingkungan di tingkat

XI/14
regional ini menunjukkan peningkatan 8 kali lipat dibandingkan
dengan kondisi pada akhir Repelita I (Tabel XI-2.A).

Upaya konservasi untuk kawasan tertentu juga dilakukan


melalui penggunaan lahan yang hemat terutama pada daerah
resapan air. Penggunaan lahan yang tidak boros tersebut ditempuh
antara lain dengan penetapan keseimbangan yang serasi antara
koefisien dasar ruang terbuka hijau dan koefisien kerapatan dasar
bangunan dan lingkungan. Upaya pengaturan koefisien sebagai
persyaratan kawasan resapan air ditempuh terutama untuk penataan
ruang skala tapak. Dalam kaitan ini untuk meningkatkan mutu
kawasan resapan air, sampai dengan tahun 1997/98 telah disusun
rencana pengelolaan dan pengembangan Taman Hutan Raya yang
merupakan kawasan yang memiliki potensi resapan air besar di 11
lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk menjamin
pengelolaan Taman Hutan Raya yang terkait dengan
pengembangan wilayah, maka mulai tahun 1997/98 pengelolaannya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.

Perluasan cakupan kegiatan-kegiatan dalam program


penyelamatan hutan, tanah dan air akan terus berlangsung hingga
akhir Repelita VI. Diharapkan sampai dengan tahun 1998/99
sebesar 10 persen dari ekosistem alam dapat disisihkan untuk
keperluan pemeliharaan sumber alam dan lingkungan hidup yang
disertai dengan terpeliharanya kawasan konservasi, hutan lindung,
dan kawasan yang memiliki fungsi ekosistem khusus. Dalam tahun
1998/99 diharapkan leas kawasan konservasi alam akan bertambah
seluas 6,5 juta hektare diikuti penunjukan 4 taman nasional baru,
serta peningkatan koordinasi dalam penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

XI/ 15
c. Program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup

Program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


bertujuan terutama untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, kemampuan organisasi Pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam rangka pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup


telah diluncurkan beberapa buku rujukan utama yang memuat
informasi pengelolaan lingkungan hidup nasional yaitu Almanak
Lingkungan Hidup Indonesia, Agenda 21 dan Atlas
Keanekaragaman Hayati di Indonesia pada tahun 1997. Informasi
yang terkandung dalam buku rujukan tersebut diharapkan dapat
mendorong semua pihak untuk lebih memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup sekaligus memasyarakatkannya.

Kegiatan pemasyarakatan Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan (AMDAL) dilanjutkan disertai dengan Audit
Lingkungan. Pelaksanaannya secara bertahap mulai dari
penyempurnaan metodologi penyusunan AMDAL, pengkajian
prosedur pelaksanaan dan penetapan lingkup kegiatan tertentu yang
memerlukan AMDAL, dan penyusunan berbagai panduan AMDAL
untuk berbagai kegiatan penting di wilayah pesisir dan perairan
laut, metodologi penyusunan AMDAL bagi pengembangan kota
baru dan kawasan lahan basah serta pengembangan pola/sistem
manajemen lingkungan untuk pulau-pulau kecil.

Dalam Repelita VI telah dilakukan penyempurnaan terhadap


berbagai peraturan yang berkaitan dengan penyusunan AMDAL
bagi kegiatan wajib-AMDAL. Sampai dengan tahun keempat

XI/16
Repelita VI telah disusun penerapan teknik penyusunan AMDAL
untuk 86 jenis kegiatan wajib-AMDAL. Selain itu, sebagai tindak
lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1993, sampai
dengan tahun 1997/98 tercatat sebanyak 2.037 kegiatan
pembangunan utama yang telah memiliki dokumen AMDAL
termasuk diantaranya 6 (enam) dokumen AMDAL Kegiatan
Terpadu dan 7 (tujuh) dokumen AMDAL Regional yang sebagian
besar berkaitan dengan pembangunan perkotaan baru. Upaya-upaya
tersebut dilanjutkan dengan pengembangan tata laksana
penyusunan AMDAL, evaluasi pemantauan pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan
(RKL/RPL) serta pelaksanaan Audit Lingkungan terutama bagi
kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak penting yang
diperkirakan akan tuntas pada tahun 1998/99.

Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam


pengelolaan lingkungan hidup diupayakan antara lain melalui
kursus-kursus AMDAL, yang sampai dengan tahun 1997/98 telah
diikuti oleh 13.690 orang peserta Kursus Dasar-dasar AMDAL,
3.461 orang peserta Kursus Penyusunan AMDAL dan 3.029 orang
peserta Kursus Penilaian AMDAL. Dengan demikian dalam empat
tahun pelaksanaan Repelita VI telah dihasilkan sebanyak 20.180
orang lulusan peserta kursus AMDAL dari berbagai kategori, atau
bertambah sebesar 4.814 orang apabila dibandingkan dengan
pelaksanaan pada tahun 1993/94 (Tabel XI-3). Kegiatan pelatihan
AMDAL yang dimulai sejak awal Repelita III memperlihatkan
kecenderungan yang semakin meningkat terutama dalam jumlah
pesertanya (Tabel XI-3 A). Apabila dibandingkan dengan rencana
pelatihan AMDAL dalam Repelita VI yaitu sebesar 20.000 peserta
maka realisasinya sampai pada tahun 1997/98 telah melebihi

XI/17
sasaran. Hal tersebut menunjukkan adanya perhatian masyarakat
yang tinggi untuk ikut berperan serta dalam penerapan AMDAL.

Selain kursus AMDAL, telah dilaksanakan berbagai kursus


lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, antara
lain Kursus Penegakan Hukum Lingkungan Hidup yang diikuti 162
orang peserta, Kursus Pengelolaan Limbah Rumah Sakit yang
diikuti 60 orang peserta, Kursus Manajemen Lingkungan bagi 37
orang peserta, Kursus Pengendalian Pencemaran Pesisir dan Laut
yang diikuti 40 orang peserta, Kursus Peningkatan Peran Aparat
ABRI dalam Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup sebanyak 25
orang peserta, Kursus Inspeksi Industri diikuti oleh 18 orang
peserta, Kursus Penilaian dan Pengawasan Konservasi Lahan Basah
diikuti oleh 100 orang peserta, dan Kursus Patroli Jagawana yang
diikuti oleh 200 orang peserta.

Dalam rangka memantapkan organisasi dan tata kerja Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) serta untuk
menanggulangi masalah pengendalian dampak lingkungan di
berbagai wilayah, telah selesai disusun pokok-pokok rumusan
pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) sebagai instansi Pemerintah Dati I dan Dati II dan
berfungsi pendamping bagi Bapedal Wilayah (Bapedalwil) di 3
(tiga) wilayah yang berkedudukan di Pekanbaru, Denpasar, dan
Ujungpandang. Bapedalda Tingkat I telah terbentuk di 24 daerah
propinsi. Kehadiran Bapedalwil dan Bapedalda tersebut diharapkan
akan meningkatkan kemampuan pemantauan kualitas lingkungan,
penanggulangan pencemaran, pemulihan kerusakan lingkungan dan
bantuan bimbingan teknis bagi pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat setempat.

XI/18
Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan
hidup disertai dengan pembaharuan sistem hukum lingkungan.
Dalam rangka itu telah diselesaikan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perundangan
ini menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Melalui pembaharuan yang dilakukan dalam peraturan
perundangan tersebut diharapkan dapat diperoleh kepastian hukum
yang Lebih baik dalam penanganan berbagai permasalahan
lingkungan hidup yang muncul di masa mendatang.

Selain itu juga telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor


69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta
Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Penetapan peraturan-
peraturan ini sangat penting dalam memberikan arah dalam
perencanaan alokasi sumberdaya yang erat kaitannya dengan
kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Untuk meningkatkan kegiatan pemantauan kualitas


lingkungan, sejak tahun 1996/97 telah dilaksanakan rehabilitasi
fisik 60 laboratorium milik instansi sektoral (Departemen Pekerjaan
Umum, Departemen Kesehatan dan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan) melalui pengembangan instalasi penunjang,
pengadaan peralatan laboratorium, peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia dan penyempurnaan metoda analisis
laboratorium agar dapat berfungsi sebagai laboratorium lingkungan
di 27 propinsi. Pada tahun 1998/99 diharapkan seluruh
laboratorium tersebut telah dapat berfungsi sebagai laboratorium
lingkungan melalui pengembangan jaringan kerjasama antar

XI/19
laboratorium sektoral, pengembangan jaringan informasi antar
laboratorium, peningkatan sistem pelatihan teknis dan
pengembangan sistem akreditasinya. Kegiatan penting lain dalam
tahun 1998/99 adalah melanjutkan penyusunan berbagai pedoman
antara lain pedoman analisis contoh dalam lingkup uji
laboratorium, prosedur pengambilan contoh dan analisis parameter
lingkungan. Peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha
dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui pola kemitraan
terus dikembangkan melalui berbagai kerjasama antara pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat yang bersifat penggalangan misalnya
Program Peringkat (Proper), Program Kali Bersih (Prokasih) dan
Adipura.

Peningkatan kesadaran masyarakat perkotaan terhadap


pentingnya kelestarian fungsi lingkungan hidup didorong antara
lain melalui upaya menjaga kebersihan dan keindahan kota dalam
mencapai kualitas lingkungan yang baik serta dapat meningkatkan
kesehatan warganya. Penghargaan diwujudkan melalui pemberian
Adipura untuk kota yang berprestasi baik. Sampai dengan
pelaksanaan Repelita VI tahun keempat, jumlah kota penerima
sertifikat dan Adipura telah mencapai 264 kota, yang terdiri dari 24
kota penerima Adipura Kencana, 8 kota raya, 2 kota besar, 68 kota
sedang dan 162 kota kecil.

Peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan juga


dilakukan secara perorangan, dan untuk ini diberikan penghargaan
Kalpataru. Sejak tahun 1994/95 sampai dengan tahun 1996/97 telah
diberikan penghargaan Kalpataru kepada 5 orang Perintis
Lingkungan, 5 kelompok Penyelamat Lingkungan, 5 orang
Pengabdi Lingkungan, dan 2 orang Pembina Lingkungan.

XI/20
Peningkatan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup diikuti
dengan penyusunan baku mutu limbah berbagai media pencemaran.
Baku mutu limbah ini berisi penetapan baku mutu limbah bagi 23
jenis industri yang memiliki dampak penting bagi kelestarian fungsi
lingkungan hidup termasuk didalamnya baku mutu limbah cair
untuk pengelolaan minyak dan gas serta panas bumi. Disamping
itu, sampai dengan tahun 1997/98 telah ditetapkan baku mutu untuk
tingkat kebisingan, baku mutu tingkat getaran, baku mutu tingkat
kebauan, serta baku mutu limbah cair untuk kegiatan hotel dan
rumah sakit. Pengembangan baku mutu limbah udara juga semakin
diperhatikan antara lain melalui penetapan Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak yang diikuti dengan penyusunan panduan
teknis pemantauan kualitas emisi industri semen, besi baja, pulp
dan kertas. Selanjutnya dalam rangka pengembangan Sistem
Pemantauan Lingkungan Hidup Nasional penetapan baku mutu
lingkungan termasuk baku mutu limbah baik untuk tingkat
nasional, wilayah atau propinsi diharapkan akan tuntas pada akhir
Repelita VI (1998/99).

Sebagai perwujudan kepedulian terhadap menurunnya


kualitas lingkungan global telah diikuti berbagai kerjasama
internasional dalam berbagai bentuk pengendalian bersama yang
meliputi pengendalian kerusakan sistem atmosfer yang dapat
menyebabkan perubahan iklim dan penipisan lapisan ozon,
pelestarian keanekaragaman hayati dan pengendalian pencemaran
laut lintas batas negara. Untuk itu telah dibentuk beberapa forum
antara lain Komite Nasional Perlindungan Lapisan Ozon yang
bertugas untuk melaksanakan Program Nasional Perlindungan
Lapisan Ozon. Komite ini juga melakukan kegiatan
pemasyarakatan kebijaksanaan penghapusan ODS (ozone depleting
substances) secara bertahap serta membantu dunia usaha dalam

XI/21
persiapan menghadapi penghapusan penggunaan metil bromida
yang banyak dipergunakan dalam bidang pertanian. Sebagai
antisipasi terhadap dampak perubahan iklim akibat peningkatan
volume gas rumah kaca, Indonesia juga telah ikutserta dalam
berbagai kerjasama internasional antara lain melalui Konperensi
Antarpihak dalam Pengendalian Perubahan Iklim Akibat Gas
Rumah Kaca di Jenewa pada tahun 1996 yang diikuti dengan
kegiatan inventarisasi sumber dan jumlah emisi gas metan serta
karbon dioksida, serta penyusunan evaluasi dampaknya. Dengan
dihasilkannya Protokol Kyoto pada bulan Desember 1997, maka
penyusunan National Action Plan on Dealing with Global
Warming, Climate Change and Sea Level Rise di Indonesia yang
sudah dirintis, menjadi makin penting untuk pengelolaan
lingkungan yang memiliki dampak terhadap perubahan iklim
global.

d. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan


Hidup

Program ini bertujuan untuk mengurangi kemerosotan mutu


dan fungsi lingkungan hidup perairan darat dan laut, tanah, dan
udara yang disebabkan oleh makin meningkatnya kegiatan
pembangunan.

Dalam program ini terdapat bermacam-macam program aksi.


Salah satunya yang penting, Program Kali Bersih (Prokasih) yang
pertama kali dicanangkan pada tahun 1989/1990 bertujuan untuk
meningkatkan kualitas air sungai, melalui penurunan beban
pencemaran, dan peningkatan kapasitas kelembagaan
pengendaliannya hingga tingkat daerah. Sampai dengan tahun
1997/98 lingkup kegiatan Prokasih sebanyak 37 ruas sungai telah

XI/22
melampaui sasaran Repelita VI sebanyak 35 ruas sungai di 17
propinsi yang meliputi Propinsi DI Aceh, Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara dan Bali. Hasil terpenting dari pelaksanaan
Prokasih ini adalah menurunnya beban pencemaran buangan limbah
cair pada badan air sungai yang menunjukkan adanya peningkatan
kesadaran masyarakat khususnya dunia usaha untuk ikut berperan
serta dalam pengendalian pencemaran air sungai.

Disamping itu dalam usaha minimisasi limbah dilanjutkan


pembinaan terhadap pengelolaan limbah industri kecil. Sampai
dengan tahun keempat pelaksanaan Repelita VI telah dibangun
Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) Terpadu di 3 (tiga) lokasi
yaitu sentra penyamakan kulit di Garut, sentra pengolahan tapioka
di Pati dan sentra produksi tempe di Sidoarjo.

Mulai tahun 1994/95 diterapkan strategi baru pengendalian


pencemaran melalui pendekatan penaatan dan penegakan hukum
dalam rangka meningkatkan kinerja pelaksanaan Prokasih, yaitu
dengan memasyarakatkan hasil penilaian kinerja pengolahan
limbah di tiap unit industri sebagai informasi publik. Hal tersebut
dilaksanakan dengan penyebarluasan informasi kinerja pengelolaan
limbah dari 270 unit industri melalui Program Peringkat (Proper)
pada tahun 1996/97. Penentuan peringkat kinerja tersebut selain
bertujuan untuk memperbesar pengurangan limbah, juga membantu
industri dalam meningkatkan daya saingnya di dunia internasional.
Upaya-upaya tersebut telah meningkatkan kesadaran dunia usaha
untuk melakukan pengelolaan limbah industrinya secara lebih baik
terutama dalam memenuhi baku mutu limbah yang ditetapkan. Atas

XI/23
keberhasilan program ini, dalam tahun 1996/97 Indonesia
memperoleh penghargaan Leadership Award on Zero Emissions
dari Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam rangka pengendalian pencemaran udara, sejak tahun


1996/97 telah dilaksanakan Program Langit Biru. Dalam rangka itu,
terutama untuk kegiatan pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak, telah dilaksanakan pemantauan emisi gas buang
kendaraan bermotor di empat kota besar yaitu Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Yogyakarta, yang disertai upaya untuk mendorong
pemakaian bahan bakar gas dan bahan bakar minyak tanpa timah
hitam (Pb). Untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber
tidak bergerak telah ditetapkan baku mutu emisi bagi empat jenis
industri yaitu industri baja, industri semen, industri kertas dan pulp,
serta pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batubara.
Sampai dengan tahun 1997/98 jumlah industri yang dipantau
mencapai 54 industri. Upaya ini akan terus ditingkatkan utamanya
pada kawasan perkotaan dan padat pembangunan.

Pengendalian pencemaran lainnya terns ditingkatkan terutama


untuk mengendalikan dampak merugikan dari limbah Bahan
Beracun dan Berbahaya (B3) yang makin besar jumlahnya. Secara
keseluruhannya, sampai dengan tahun 1997/98, Pusat Pengolahan
Limbah Industri-B3 (PPLI-B3) di Cileungsi Bogor telah mengolah
sebanyak 68.362 ton limbah B3. Selain itu mulai tahun 1995/96
telah dilaksanakan kegiatan pemantauan terhadap penaatan
pengelolaan limbah B3 melalui Program Kemitraan dalam
Pengelolaan Limbah B3 (Kendali B3). Dalam empat tahun
pelaksanaan Repelita VI sebanyak 199 industri di DKI Jaya, Jawa
Barat, dan Jawa Timur telah menjadi peserta program tersebut.
Selanjutnya dalam upaya untuk mengurangi perpindahan bahan

XI/24
pencemar B3 antar negara telah dikembangkan kerjasama
internasional. Lokasi pendidikan dan pelatihan di Indonesia
pengelolaannya dilaksanakan bersama dengan Cina untuk
selanjutnya berfungsi sebagai Pusat Regional untuk Pelatihan dan
Transfer Teknologi bagi kawasan Asia Pasifik. Tujuannya adalah
untuk membantu negara-negara di kawasan ini agar dapat
menerapkan Konvensi Basel tentang kegiatan minimisasi limbah
dan pengawasan perpindahan limas batas limbah B3. Selain itu
dikembangkan pula jaringan pemantauan aliran limbah B3 berikut
pembangunan jaringan sistem tanggap daruratnya.

Upaya lain dalam pengendalian pencemaran lingkungan yang


bersifat tidak langsung adalah kampanye produksi bersih
(Produksih) dengan tujuan mengurangi atau mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan langsung dari sumbernya. Dalam kaitan
dengan pendekatan produksi bersih, mulai tahun 1996 telah
dikembangkan pendekatan nir emisi bagi industri pulp dan kertas,
tekstil, dan pengolahan bahan kimia. Pendekatan yang bersifat
sukarela ini berupaya untuk mengubah model linier dalam proses
produksi suatu industri menjadi model terpadu, dengan
menitikberatkan bahwa secara keseluruhan sumberdaya dalam
proses produksi dapat memberikan manfaat dan tidak menghasilkan
limbah (produksi bersih).

Sejalan dengan pengembangan produksi bersih juga


dilaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penerapan
ekolabel. Pembentukan Lembaga Ekolabel Indonesia, penyusunan
konsep standar dan kriteria ekolabel untuk produk kertas tisu dan
kertas kemasan merupakan langkah awal dalam mendukung
berkembangnya industri yang berwawasan lingkungan. Pada tahun
1996/97 telah dibentuk Komite Tenaga Ahli Ekolabel Indonesia

XI/25
yang bertugas merumuskan pokok-pokok kegiatan dan produk
barang/ jasa yang diatur dalam program Ekolabel. Hal ini juga
dilaksanakan sebagai antisipasi terhadap penerapan ISO seri 14000
oleh dunia usaha.

Upaya lain dalam pengendalian pencemaran juga


dilaksanakan melalui sistem insentif. Pengembangan sistem insentif
ini dilakukan melalui pemberian pinjaman lunak untuk
pembangunan infrastruktur pengolahan limbah khususnya bagi
industri berskala besar. Sistem insentif tersebut diharapkan dapat
mendorong dunia usaha untuk Lebih mentaati baku mutu limbah
dan emisi yang telah ditetapkan.

Dalam tahun 1998/99 upaya pengendalian pencemaran akan


ditingkatkan dengan mengembangkan kapasitas pemerintah daerah
dalam pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan prasarana
pendukung pengendalian pencemaran terutama pencemaran udara,
serta peningkatan upaya pengendalian kerusakan lingkungan dalam
kawasan hutan dan dalam pembukaan lahan-lahan baru untuk
kepentingan perkebunan maupun transmigrasi.

e. Program Rehabilitasi Lahan Kritis

Program ini bertujuan untuk memulihkan kemampuan hutan


dan tanah yang rusak agar dapat berfungsi produktif kembali dan
pada akhirnya meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hal yang penting dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis adalah
meningkatnya pendapatan dan produktivitas masyarakat terutama
yang berada dalam wilayah kegiatan rehabilitasi lahan kritis dari
suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

XI/26
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis yang dilakukan
dalam kawasan lindung, meliputi berbagai kegiatan yang dilakukan
di sempadan sungai, kawasan pantai berhutan bakau dan hutan
lindung. Program ini bertujuan untuk meningkatkan daya dukung
DAS yang telah rusak agar dapat berfungsi dalam sistem produksi
dan terpeliharanya kelestarian jasa-jasa lingkungan hidup. Upaya
tersebut mencakup kegiatan penghijauan, reboisasi, dan konservasi
tanah dan air.

Memperhatikan kepentingan tersebut, dalam kurun waktu


Repelita VI telah dilaksanakan penghijauan lahan kritis seluas 1,98
juta hektare, sehingga secara keseluruhannya sampai dengan tahun
1997/98 telah dilaksanakan penghijauan tanah kritis di lahan kering
seluas 6,8 juta hektare di 26 propinsi (Tabel XI-4). Kegiatan
penghijauan tanah kritis yang dilakukan sejak awal PJP I
merupakan upaya terpadu antara perbaikan teknologi pengolahan
lahan dengan peningkatan pendapatan petani. Upaya tersebut yang
terus ditingkatkan dalam setiap tahap pembangunan berlangsung
yang bertujuan untuk memulihkan fungsi produksi lahan serta
mempertahankan pertanian secara berkelanjutan (Tabel XI-4 A).
Selain itu, dilakukan pula pengembangan pengelolaan 39 DAS
dengan penyiapan data dasar dan penyusunan Rencana Teknik
Lapangan RLKT (RTL-RLKT) pada 27 sub DAS seluas 4,8 juta
hektare. Selain itu telah dilaksanakan pula pembinaan konservasi
tanah terhadap 437 unit HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Dalam kurun waktu empat tahun pelaksanaan Repelita VI,


kegiatan penanaman hutan rakyat yang dilaksanakan di 26 propinsi
telah menghasilkan hutan rakyat seluas 391,2 ribu hektare (Tabel
XI-5). Pengembangan hutan rakyat yang dimulai sejak Repelita III
terus ditingkatkan untuk melindungi ekosistem hutan dan manfaat

XI/27
pengusahaan hutan secara lestari. Secara keseluruhan sampai
dengan tahun 1997/98 luas penanaman hutan rakyat telah mencapai
910,8 ribu hektare (Tabel XI-5 dan XI-5 A). Dibandingkan dengan
pelaksanaan tahun 1993/94 terdapat peningkatan seluas 474,4 ribu
hektare dui luas semula 436,4 ribu hektare. Kegiatan rehabilitasi
lahan pada hutan rakyat merupakan usaha yang terpadu untuk
mencegah meluasnya tanah kritis dan memperbaiki fungsi hidro-
orologis DAS. Fungsi hutan rakyat selanjutnya dikembangkan
sebagai hutan serba guna yang dapat digunakan untuk percontohan
pengawetan tanah.

Kegiatan rehabilitasi lahan lainnya adalah pembuatan petak


percontohan/demplot pengawetan tanah. Sampai dengan tahun
keempat Repelita VI telah dilaksanakan pembuatan petak
percontohan/demplot pengawetan tanah sebanyak 12.419 unit, atau
meningkat sebesar 3.501 unit apabila dibandingkan dengan tahun
1993/94 (Tabel XI-6 dan Tabel XI-6 A). Petak-petak percontohan
tersebut merupakan wahana penyuluhan yang bermuatan teknologi
dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat untuk
memperbaiki kesuburan tanah dan produktivitas lahan.

Selain itu juga telah dilakukan pembuatan dam pengendali


yang dimaksudkan untuk mengurangi limpasan erosi dan
sedimentasi dari kawasan lahan kritis. Hingga pelaksanaan Repelita
VI tahun 1997/98 telah dibangun sebanyak 7.396 buah dam
pengendali, yang berarti telah terjadi pertambahan sebanyak 1.094
dam pengendali apabila dibandingkan dengan keadaan pada tahun
1993/94 (Tabel XI-7). Pembuatan dam pengendali yang
dilaksanakan secara terpadu dengan rehabilitasi lahan kritis dimulai
sejak Repelita II dan terus ditingkatkan untuk menekan laju erosi
(Tabel XI-7 A).

XI/28
Selama Repelita VI telah dilaksanakan reboisasi pada
kawasan hutan lindung seluas 128,4 ribu hektare. Sampai dengan
tahun keempat Repelita VI (1997/98) apabila dibandingkan dengan
tahun 1993/94 telah dilakukan kegiatan reboisasi pada kawasan
hutan lindung yang meliputi pemulihan kualitas lahan kritis seluas
156,6 ribu hektare (label Xl-8 dan Tabel XI-8 A). Kegiatan
reboisasi yang dilakukan sejak awal PJP I bertujuan untuk
mempertahankan mutu hutan lindung dan diharapkan dapat
meningkatkan daya pulih fungsi ekosistem hutan lindung. Upaya
rehabilitasi lahan kritis juga dilakukan dengan melibatkan peladang
berpindah sebanyak 123.071 KK di 21 propinsi melalui pembinaan
tanpa memindahkan penduduk. Untuk lebih meningkatkan
pengendalian perladangan berpindah dan perambah hutan telah
disusun Petunjuk Teknis Pengendalian Perladangan Berpindah dan
Perambahan Hutan Melalui Pola Pembinaan In-situ dan Ex-situ.
Disamping itu telah dilaksanakan pula pembinaan usaha tani
menetap terhadap 55 ribu KK melalui kegiatan HPH Bina Desa.

Dalam pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi


diperlukan petugas-petugas lapangan yang berfungsi membantu
pelaksanaan teknis di lapangan. Sampai dengan tahun keempat
Repelita VI telah dipekerjakan sejumlah 7.248 orang Petugas
Lapangan Penghijauan (PLP) dan 994 Petugas Lapangan Reboisasi
(PLR) (Tabel XI-9 dan label XI-9 A). Petugas Khusus
Penghijauan, sejak tahun 1994/95 pelaksanaan tugasnya telah
dialihkan kepada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah/Dinas
Kehutanan yang merupakan aparat Pemerintah Daerah.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan penghijauan akan


dilanjutkan pada tahun akhir Repelita VI (1998/99) dengan titik

XI/29
berat pada penataan kembali pengelolaan 49 Daerah Aliran Sungai
(DAS) kritis sebagai prioritas utama.

f. Program Pembinaan Daerah Pantai

Pembinaan daerah pantai bertujuan untuk meningkatkan


pelestarian fungsi ekosistem pantai dan laut, mengendalikan
kerusakan lingkungan pesisir, serta meningkatkan kemampuan
masyarakat pantai dalam pengelolaan pantai dan laut.

Sampai dengan tahun keempat pelaksanaan Repelita VI telah


dilaksanakan penyusunan pola tata ruang daerah pantai di 15
propinsi yang bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk
perencanaan pembangunan kawasan pesisir. Disamping itu untuk
mendukung pelaksanaan pelestarian sumber daya pantai dan laut
telah diupayakan peningkatan koordinasi melalui pengembangan
Sistem Pengawasan, Pengendalian, Pengamatan Lapangan dan
Evaluasi (P3LE) pesisir dan perairan laut. Mekanisme P3LE laut,
yang telah diuji-cobakan di Kepulauan Seribu, Pulau Batam dan
Bintan, kawasan Barelang, Teluk Bintuni, dan Kepulauan
Takabonerate, telah meningkatkan peran serta semua pihak
terutama Pemerintah Daerah Tingkat I dan II dalam menjaga
kelestarian ekosistem pesisir dan laut.

Dalam tahun keempat Repelita VI telah dihasilkan prototipe


sistem informasi geografis sumber daya pesisir dan laut di selat
Makassar dan selat Lombok, peta sensitivitas lingkungan pesisir
dan laut di selat Makassar dan selat Lombok sebagai upaya
pengendalian cegah-awal pencemaran, disertai tersusunnya konsep
desain kajian analisis resiko dampak Iingkungan pesisir dan laut di
selat Makassar dan selat Lombok. Disamping itu untuk memantau

XI/30
kualitas fisik perairan laut Indonesia telah dikembangkan Sistem
Informasi Potensi Kelautan. Sistem ini berbasiskan prosedur
pemantauan perairan laut Seawatch yang menghasilkan data real
time yang dapat digunakan untuk pemantauan perubahan cuaca dan
iklim bagi kegiatan lalu lintas pelayaran, pemantauan pencemaran
laut, dan dukungan analisis sebaran bahan pencemar.

Dalam upaya pelestarian dan rehabilitasi ekosistem terumbu


karang dan pantai telah dicanangkan Gerakan Pembudidayaan
Mangrove dan Pemasangan Rumpon (GPMPR) di 7 (tujuh)
propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur. Selain itu, juga
dilaksanakan pemasangan penambat kapal di Taman Nasional Bali
Barat dan Taman Nasional Bunaken guna menghindari penggunaan
jangkar yang dapat merusak kawasan terumbu karang. Dalam
upaya pelestarian fungsi lingkungan pesisir telah dilakukan
rehabilitasi ekosistem bakau seluas 105.600 hektare. Selanjutnya
untuk meningkatkan kemampuan pengendalian dampak merugikan
di lingkungan pesisir telah disusun konsep Program Pantai Lestari
yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan II Bali.

Program Pantai Lestari mencakup pengendalian pencemaran


dan pemulihan kerusakan lingkungan pada daerah sempadan pantai.
Program ini dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan utama, yaitu
Pantai Wisata Bersih, Bandar Indah dan Terumbu
Karang/Mangrove Lestari (Teman Lestari). Mulai tahun ketiga
Repelita VI daerah kerja Program Pantai Lestari diperluas meliputi
17 propinsi. Hal ini merupakan persiapan bagi Indonesia untuk
menjadi penyelenggara World Summit of the Sea dan International
Coral Reef Symposium pada tahun 2000. Termasuk dalam kegiatan
Pa nt a i Le s t ar i i ni a dal a h pe m a nt a pa n 2, 7 jut a h e kt a r e a r ea l

XI/31
konservasi perairan. Kegiatan Pantai Lestari juga meliputi
pembinaan masyarakat wilayah pantai, pelestarian ekosistem pantai
seperti hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun, serta
pengamanan daerah pantai dari kegiatan yang menimbulkan
dampak merugikan. Berkaitan dengan hal tersebut maka telah
dilakukan persiapan untuk pengelolaan terumbu karang nasional
secara lebih terpadu (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program/COREMAP) yang dilakukan sejak tahun 1996/97
mencakup kawasan terumbu karang di 10 propinsi.

Kegiatan pengendalian kerusakan pantai pada tahun akhir


Repelita VI (1998/99) akan melanjutkan upaya peningkatan
kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pantai
padat pembangunan, perluasan penanaman hutan bakau seluas
150.000 hektare, serta perluasan cakupan wilayah dalam
pencegahan, penanggulangan dan pengamanan pantai dan
rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak.

C. PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Pembangunan


dalam Repelita VI

Sasaran khusus program penataan ruang dalam Repelita VI


adalah (1) tersedianya strategi dan rencana tata ruang nasional dan
daerah, khususnya bagi kawasan yang cepat berkembang/
andalan/strategis, yang mencakup pola tata ruang daratan, pola tata
ruang lautan, pola tata ruang udara, dan pola tata guna sumber daya
alam lainnya secara terpadu; (2) makin mantapnya kegiatan
pelaksanaan penataan ruang nasional dan daerah, sejak dari proses

XI/32
perencanaan tata ruang yang ditunjang dengan penegakan hukum
yang berwibawa; (3) terbentuknya mekanisme peranserta
masyarakat dan dunia usaha yang efektif dalam pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang secara aktif dan bertanggung
jawab; (4) mantapnya sistem pengelolaan tata ruang yang meliputi
mekanisme, prosedur, standar, dan format pengelolaan tata ruang;
serta (5) terbentuknya sistem pemantauan dan evaluasi penataan
ruang khususnya di kawasan yang cepat dan kawasan
andalan/strategis, termasuk wilayah perbatasan dengan negara lain.

Dalam rangka mewujudkan sasaran-sasaran penataan ruang


dalam Repelita VI, kebijaksanaan pokok yang ditempuh meliputi
upaya (I) pemantapan dan pengembangan pola tata ruang nasional
dan daerah khususnya pada kawasan yang cepat
berkembang/andalan/strategis; (2) pemantapan proses penyusunan
tata guna lahan, air, dan sumber daya alam lainnya secara terpadu;
(3) pengembangan pola pemanfaatan ruang laut dan ruang udara;
(4) penyempurnaan kelembagaan dan peningkatan kemampuan
aparatur penataan ruang; (5) peningkatan peranserta masyarakat
dan dunia usaha dalam penataan ruang; dan, (6) peningkatan
penegakan hukum dalam penataan ruang.

Dalam penataan pertanahan, sasaran khusus program ini


adalah (1) tertibnya sistem administrasi pertanahan yang meliputi
penataan penguasaan, penataan penggunaan tanah, pemilikan dan
pengalihan hak atas tanah sesuai dengan kebutuhan pembangunan
yang menjamin keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat; (2) terciptanya sistem administrasi pertanahan yang
ditunjang oleh perangkat analisis dan perangkat informasi yang
baik dalam proses pemberian perijinan, evaluasi, dan pemantauan
penataan pertanahan; (3) tersedianya data/informasi pertanahan

XI/33
untuk mendukung kegiatan pembangunan; serta (4) meningkatnya
kemampuan kelembagaan pertanahan untuk mewujudkan sistem
pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien.

Dalam rangka mewujudkan sasaran penataan pertanahan,


kebijaksanaan pokok yang ditempuh dalam Repelita VI meliputi
upaya (1) pengembangan sistem penataan penguasaan, pemilikan
dan pengalihan hak atas tanah; (2) sistem penataan penggunaan
tanah secara berencana; (3) penyempurnaan kelembagaan penataan
pertanahan; (4) pengembangan sistem administrasi pertanahan; dan,
(5) penataan tanah hutan sesuai dengan fungsinya serta
pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk mencapai sasaran dan melaksanakan berbagai


kebijaksanaan penataan ruang seperti tersebut di atas, dalam
Repelita VI dilaksanakan program penataan ruang sebagai program
pokok. Program ini bertujuan untuk mengembangkan pola tata
ruang dan mekanisme pengelolaan serta meningkatkan keterpaduan
penyelenggaraan tata guna air, tata guna lahan, dan tata guna
hutan. Di samping program pokok dilaksanakan beberapa program
penunjang yang bertujuan untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan program pokok penataan ruang. Program penunjang
tersebut adalah: (a) program inventarisasi dan evaluasi sumber daya
alam dan Iingkungan hidup; (b) program pemanfaatan sumber daya
kelautan dan kedirgantaraan; (c) program penataan pertanahan; (d)
program penerapan dan penegakan hukum; serta (e) program
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tata ruang.

Dalam rangka pencapaian sasaran pengembangan sistem


pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien,
ditetapkan beberapa program pokok dan program penunjang.

XI/34
Program pokok adalah penataan pertanahan yang terdiri atas
kegiatan: penataan penguasaan tanah, penataan penggunaan tanah,
serta penyempurnaan kelembagaan dan pengembangan administrasi
pertanahan. Sedangkan program penunjang meliputi: (a) Program
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanahan; (b) Program
penataan ruang; (c) Program pengembangan informasi pertanahan;
serta (d) Program penerapan dan pengembangan hukum.

2. Pelaksanaan dan Hasil-Hasil Pembangunan Sampai


Dengan Tahun Keempat Repelita VI

a. Penataan Ruang

Upaya-upaya pembangunan dalam Repelita VI dalam


program penataan ruang adalah sebagai berikut.

1) Program Pokok

a) Program Penataan Ruang

Program penataan ruang bertujuan untuk menyempurnakan


dan menjabarkan rencana tata ruang nasional, daerah, dan kawasan
serta pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor


24 tahun 1992, sejak awal Repelita VI sampai dengan tahun
1997/98 telah disusun beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) menyangkut penataan ruang, antara lain: (1) RPP tentang
penataan ruang kawasan perkotaan, (2) RPP tentang penataan ruang
kawasan perdesaan, (3) RPP tentang penataan ruang kawasan
tertentu, (4) RPP tentang ketelitian peta, dan (5) RPP tentang

XI/35
penatagunaan tanah. Di samping itu, telah pula dilakukan
perumusan beberapa pedoman teknis, yaitu antara lain (1) pedoman
teknis penyempurnaan dan peninjauan kembali evaluasi Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II (RTRWK), (2) pedoman teknis penyusunan rencana rinci
tata ruang kawasan, dan (3) pedoman perumusan indikasi program
terpadu jangka menengah untuk wilayah kabupaten/kotamadya.

Pada tahun 1996/97 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah


(PP) Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Tatacara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang (PP Peran Serta). Materi PP Peran Serta
tersebut berisi: penetapan lingkup dan batasan dari hak dan
kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, serta berbagai bentuk
mekanisme penyelenggaraannya dalam setiap tahapan penataan
ruang (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan
ruang). Pada tahun 1997/98 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (PP RTRWN). Materi PP RTRWN tersebut berisi:
penetapan secara nasional kawasan lindung, kawasan budidaya, dan
kawasan tertentu; norma dan kriteria secara nasional dalam
pemanfaatan ruang; serta, pedoman umum pengendalian
pemanfaatan ruang. Di dalam PP RTRWN tersebut juga ditetapkan
111 Kawasan Andalan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk lebih meningkatkan keterkaitan pelaksanaan


pembangunan antarpropinsi dalam satu wilayah regional dan untuk
menjembatani strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan
ruang yang tertuang dalam RTRWN dan RTRWP, sejak tahun
1996/97 telah dilakukan penyusunan materi rencana tata ruang

XI/36
pulau untuk lima wilayah besar di Indonesia. Pada tahun 1997/98
telah diselesaikan materi pendahuluan Rencana Tata Ruang Pulau
untuk lima wilayah besar di Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di Kawasan Timur
Indonesia.

Dalam periode empat tahun Repelita VI telah diupayakan


inventarisasi, pemantauan dan penyelesaian berbagai permasalahan
dalam konflik penataan ruang. Di antara kegiatan penanganan
konflik penataan ruang yang paling menonjol adalah penyelesaian
konflik penggunaan lahan menyangkut sawah beririgasi teknis
untuk kegiatan non-pertanian, penyelesaian konflik antara RTRWP
dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), dan penyelesaian
konflik penetapan kawasan dalam proses perencanaan, dan
penertiban pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang. Sebagian
besar masalah tata ruang terjadi di Pulau Jawa, oleh karena tingkat
peralihan dan perkembangan pemanfaatan lahannya relatif cepat,
seperti yang terjadi di kawasan Puncak atau Bogor-Puncak-Cianjur
(Bopunjur), kawasan Bandung Utara, wilayah Kabupaten Bekasi
dan Tangerang, serta di kawasan Gresik-Surabaya-Malang-
Situbondo. Dalam rangka penataan ruang juga telah selesai disusun
rencana tata ruang dan strategi pengembangan untuk kawasan
reklamasi Pantai Mara Jakarta dan Kapuk Naga Tangerang yang
pengelolaannya dipaduserasikan dengan strategi pengembangan
wilayah Jabotabek secara keseluruhan.

Sampai dengan akhir Repelita V (tahun 1993/94), baru 10


propinsi yang materi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsinya
(RTRWP) telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah atau Perda
(status D) dan hanya 6 propinsi yang Perda RTRWP-nya telah
mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri (status E). Dalam

XI/37
Repelita VI seluruh daerah tingkat I telah memiliki RTRWP yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) dan mendapat
pengesahan Menteri Dalam Negeri (status E). Status kemajuan
pengesahan RTRWP dari sejak dimulainya kegiatan ini pada awal
Repelita ke-V (tahun 1989/90) dapat dilihat dalam Tabel XI-10.

Untuk kabupaten daerah tingkat II (dati II), sampai dengan


tahun terakhir Repelita V (1993/94), jumlah kabupaten yang
memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
adalah 229 kabupaten. Dalam Repelita VI, sampai dengan tahun
1997/98, seluruh kabupaten telah memiliki RTRWK. Status
kemajuannya adalah 74 RTRWK masih dalam tahap
penyempurnaan materi rencana tata ruangnya, 22 RTRWK dalam
pengajuan konsep Perda-nya ke DPRD Tk.II, 8 RTRWK dalam
tahap pembahasan materi Perda-nya di DPRD Tk. II, dan 145
RTRWK telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) Tk. II.
Di antara 145 RTRWK yang telah ditetapkan sebagai Peraturan
Daerah (Perda Tk.11), terdapat 77 RTRWK yang materinya telah
mendapat pengesahan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Secara rinci, status kemajuan penyelesaian rencana tata ruang
wilayah kabupaten seluruh Indonesia sejak dimulainya kegiatan ini
pada awal Repelita V (tahun 1989/90) dapat dilihat dalam Tabel
XI-11.

Untuk wilayah kotamadya daerah tingkat II, sampai dengan


akhir Repelita V, jumlah kotamadya yang telah memiliki Rencana
Tata Ruang Wilayah Kotamadya (RTRWK) adalah 55 kotamadya.
Dalam Repelita VI, sampai dengan tahun 1997/98, seluruh 63
Kotamadya telah memiliki RTRWK. Dari sejumlah itu, 2 RTRWK
sedang dalam proses penyempurnaan materi rencana tata ruangnya,
1 RTRWK dalam tahap proses pengesahan Peraturan Daerah

XI/38
(Perda) Tk.II di DPRD Tk.II, 5 RTRWK dalam tahap telah
ditetapkan sebagai Perda Tk.II, dan 55 RTRWK telah mendapat
pengesahan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Secara rinci,
kemajuan dan status penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah
Kotamadya dari sejak Repelita I dapat dilihat dalam Tabel XI-12
dan Tabel XI-12A.

Selain dua produk rencana tata ruang seperti yang telah


disebutkan di atas, terdapat pula produk rencana tata ruang untuk
kawasan-kawasan perkotaan non-status (seperti kota administratif,
ibukota kabupaten, dan ibukota kecamatan) yang telah disusun
sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 tentang
Penataan Ruang. Mengingat kebutuhannya yang mendesak, rencana
tata ruang untuk kota-kota tersebut masih diperlukan bagi acuan
kegiatan pembangunan di kawasannya. Dari 1.729 kota non-status,
sampai dengan akhir Repelita V, jumlah kota yang telah memiliki
rencana tata ruang adalah 617 kota. Dalam Repelita VI, terdapat
tambahan sebanyak 615 kota yang telah memiliki rencana tata
ruangnya. Dari sejumlah itu, sampai dengan 1997/98 telah
ditetapkan 312 RTRW sebagai Perda Tk.II dan sebanyak 303
RTRW yang telah di-Perda-kan telah mendapatkan pengesahan dari
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Secara rinci, kemajuan dan
status penyelesaian rencana tata ruang untuk kota-kota non-status
sejak Repelita I dapat dilihat pada Tabel XI-13 dan Tabel XI-13A.

Dalam rangka percepatan pembangunan di Kawasan Timur


Indonesia (KTI), pada tahun 1996/97 telah diselesaikan strategi
pengembangan untuk 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET), yaitu Kawasan Sanggau (Kalimantan Barat),
Kawasan Batulicin (Kalimantan Selatan), Kawasan Kapuas-
Ka h a y a n- Ba r it o Sel a t a n a ta u Ka ka b ( Ka l im a n ta n Te n g a h) ,

XI/39
Kawasan Samarinda-Sangasanga-Balikpapan atau Sasamba
(Kalimantan Timur), Kawasan Manado-Bitung (Sulawesi Utara),
Kawasan Batui (Sulawesi Tengah), Kawasan Buton-Kolaka-
Kendari atau Bukari (Sulawesi Tenggara), Kawasan Pare-Pare
(Sulawesi Selatan), Kawasan Bima (Nusa Tenggara Barat),
Kawasan Mbay (Nusa Tenggara Timur), Kawasan Betano-
Natarbora-Viqueque dan sekitarnya (Timor Timur), Kawasan
Seram (Maluku), dan Kawasan Biak (Irian Jaya). Selain itu, telah
diselesaikan pula strategi pengembangan untuk 5 Kawasan Andalan
(yaitu di Sorong dan Merauke di Irian Jaya, Mataram di NTB,
Tenau Bolok di NTT, dan Sula di Maluku).

Di Kawasan Barat Indonesia, telah diselesaikan strategi


pengembangan untuk 10 Kawasan Andalan (yaitu Pidi Bireun dan
Sabang di DI Aceh, Nias di Sumatera Utara, Mentawai dan Kuala
Enok di Sumatera Barat, Turi Dumai Rupat di Riau, Lampung
Tengah, Pantura Jawa Barat, dan Pantura Jawa Tengah).

Dalam RTRWN, poly dan struktur tata ruang dikembangkan


dalam hubungan dengan alokasi ruang dan infrastruktur beserta
hierarkinya. Pola dan struktur tata ruang yang telah dikembangkan
dalam dimensi spasial tertuang dalam Peta Prasarana Indonesia
pada Lampiran Pidato Pertanggung Jawaban ini.

Di samping itu, sebagai tindak lanjut penyusunan RTRWP


atau RTRWK, sampai dengan tahun 1997/98 telah diselenggarakan
studi percontohan untuk penyusunan konsep tata ruang kawasan
pantai, pengkajian kebutuhan investasi pembangunan prasarana
kota jangka panjang, penentuan dan strategi pengembangan Desa
Pusat Pertumbuhan (DPP) di beberapa propinsi (Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan

XI/40
Sumatera Barat). Sesuai dengan amanat UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang khususnya pasal 13, telah disusun Pedoman
Peninjauan Kembali RTRW Dati I dan Dati II yang merupakan
implikasi dari perubahan-perubahan pemanfaatan ruang yang terjadi
akibat adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baru seiring dengan
pesatnya laju pembangunan. Peninjauan kembali terhadap RTRWP
dilakukan baik bagi RTRW yang sudah di-Perda-kan maupun yang
belum. Naskah Konsep Pedoman Peninjauan Kembali RTRW Dati
I dan Dati II telah melalui proses ujicoba di 26 propinsi.

2) Program Penunjang

a) Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumber


Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Program ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan


kualitas informasi sumber daya alam serta mengembangkan neraca
dan tata guna sumber alam dan Lingkungan hidup untuk mengetahui
daya dukung dan menjamin ketersediaan sumber alam yang
berkelanjutan.

Sampai dengan tahun keempat Repelita VI kegiatan evaluasi


sumber daya alam dan tanah di 18 propinsi (meliputi seluruh
propinsi di luar propinsi-propinsi di Pulau Sumatera dan Bali) telah
mendekati tahap penyelesaian.

Dalam rangka peningkatan kualitas penyusunan dan evaluasi


rencana tata ruang wilayah dan rencana rind tata ruang kawasan, telah
diselesaikan pemetaan digital dengan skala 1 : 250.000 dan 1 :
100.000 untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemetaan digital seluruh

XI/41
wilayah Indonesia dengan skala 1 : 50.000 telah meliput seluruh
propinsi di Sumatera, Jawa dan Bali, NTB, NTT, Sulawesi,
Kalimantan dan sebagian perbatasan Indonesia-Papua New Guinea.
Prioritas pemetaan dilakukan di dalam kawasan-kawasan yang
diandalkan pengembangannya dalam masing-masing wilayah
tersebut. Sementara itu untuk skala 1 : 25.000 telah diselesaikan
sebagian wilayah di propinsi-propinsi Jawa dan Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Timur, Timor Timur, dan perbatasan RI-
Malaysia. Pemetaan dengan skala 1 : 5.000 telah dilakukan untuk
kawasan yang diprioritaskan penyusunan rencana rincinya seperti
sebagian kawasan Bandung Utara dan kawasan Puncak atau Bogor-
Puncak-Cianjur (Bopunjur).

b)Program Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan


Kedirgantaraan

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dalam


mendayagunakan dan memanfaatkan potensi kekayaan laut dan
pemanfaatan dirgantara secara seimbang bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat dan keperluan pertahanan keamanan.

Dalam Repelita VI, kegiatan program ini dititikberatkan


untuk menunjang pemantapan penyusunan RTRWN dan RTR
Pulau dalam kaitannya dengan penyediaan informasi matra laut dan
matra udara. Upaya tersebut dilakukan melalui pemanfaatan
evaluasi sumber daya laut yang telah dilakukan di 27 propinsi
guna memperkaya informasi mengenai sumber daya laut dan
pesisir pantai. Kegiatan ini telah membantu menyediakan data dan
informasi yang dibutuhkan bagi perencanaan tata ruang nasional,
khususnya yang menyangkut pemanfaatan dan pelestarian sumber
daya alam.

XI/42
Sampai dengan tahun 1997/98, telah dilaksanakan
serangkaian upaya untuk menyusun Rancangan Undang-Undang
tentang Penataan Ruang Lautan dan Ruang Udara di Luar Wilayah
Propinsi Dati I dan Wilayah Kabupaten/ Kotamadya Dati II. Pada
saat ini, tahap penyusunannya telah sampai pada pematangan
materi akademis. Selain itu juga sedang disusun Rancangan
Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Tata Guna Udara
sebagai pelaksanaan dari pasal 16 ayat 2 UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang. Penyusunan konsep RPP tersebut
dikoordinasikan oleh Departemen Pertahanan Keamanan.

c) Program Penataan Pertanahan

Program ini mengupayakan peningkatan dan pengembangan


sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan
efisien sehingga pemanfaatan ruang dapat terkendali. Permasalahan
konflik penataan ruang yang terjadi saat ini banyak berkaitan
dengan masalah pertanahan. Dengan demikian, kebutuhan akan
adanya informasi yang lengkap menyangkut aspek penguasaan dan
penggunaan di dalam areal-areal yang konflik menjadi sangat
penting perannya.

Dalam Repelita VI, berbagai upaya dalam program ini masih


berkaitan dengan penyediaan data pendukung penyelesaian konflik
penataan ruang. Kegiatan-kegiatannya antara lain meliputi
pemetaan topografi untuk menunjang penyusunan rencana rinci tata
ruang di kawasan yang bermasalah (Kabupaten/Kotamadya Bekasi
dan Tangerang, Kawasan Bopunjur, dan kawasan-kawasan lain)
serta pengembangan sistem informasi pertanahan yang menunjang
kegiatan penataan ruang di kawasan dan wilayah-wilayah yang
disebutkan di atas.

XI/43
d) Program Penerapan dan Penegakan Hukum

Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan


kepastian hukum dalam hubungannya dengan penataan ruang. Hal
tersebut sangat esensial bagi penggalangan peranserta masyarakat
secara bertanggung-jawab dan juga agar masyarakat merasa
mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya.

Dalam rangka menindaklanjuti Undang-Undang No. 24


Tahun 1992 tentang Penataan Ruang berbagai peraturan
perundangan perlu ditetapkan. Diantaranya adalah 2 Rancangan
Undang-Undang (RUU) dan 12 Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP). Sampai dengan tahun 1997/98, telah selesai disusun 2 (dua)
Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Tata Cara dan Bentuk Peranserta Masyarakat
dalam Penataan Ruang (PP Nomor 69 tahun 1996) dan PP tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Nomor 47 tahun 1997).

Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan-


kawasan yang cepat berkembang seperti kawasan Bogor-Puncak-
Cianjur (Bopunjur), kawasan-kawasan pinggiran wilayah
Jabotabek, dan kawasan-kawasan lain sepanjang jalur-jalur
ekonomis di Pulau Jawa, diupayakan penyelesaian konflik
penggunaan ruang melalui koordinasi penanganan atau
pemaduserasian rencana tata ruang kawasan terkait. Upaya tersebut
di atas termasuk pengendalian pengalihan sawah irigasi teknis
menjadi lokasi-lokasi kegiatan industri atau permukiman dalam
skala besar. Mekanismenya adalah melalui mengendalikan secara
dini proses perijinan lokasinya, penegakan tertib prosedur
pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku, atau koordinasi dalam memadu-serasikan proses evaluasi

XI/44
perencanaan dan pembangunan diantara instansi-instansi terkait,
baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam mendukung upaya koordinasi di semua tingkatan


pemerintahan, di tingkat pusat telah dikeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan
Tata Ruang Nasional dan Keputusan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 176/KET/9/
1994 tentang Kelompok Kerja Tata Ruang Nasional. Di tingkat
daerah, telah dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri
(Inmendagri) Nomor 19 tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan
Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Tingkat I dan
Daerah Tingkat 11.

Berdasarkan ketentuan Inmendagri tersebut, secara fungsional


ditetapkan bahwa Gubernur KDH Tingkat I merupakan Ketua
TKPRD Tingkat I dan Bupati/Walikomadya KDH Tingkat II
merupakan Ketua TKPRD Tingkat II. Tugas utama TKPRD
meliputi (1) membantu kepala daerah Tk I (TKPRD TK I) dan TK
II (TKPRD Tk II) dalam menyiapkan kebijaksanaan penataan
ruang; (2) sebagai tim ad-hoc yang merumuskan berbagai
kebijaksanaan penataan ruang dan memecahkan masalah-masalah
yang terjadi; (3) meningkatkan keterpaduan, koordinasi, keterkaitan
antar instansi pusat dan daerah. Hingga saat ini 15 propinsi telah
membentuk TKPRD Tingkat I dan 44 daerah tingkat II telah
membentuk TKPRD Tingkat II.

XI/45
e) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Tata
Ruang

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan


dalam melaksanakan tugas penataan ruang bagi aparat pemerintah
dan dunia usaha serta pemahaman masyarakat mengenai tata ruang
sehingga dapat berkembang kesadaran, tanggungjawab, serta
peranserta aktif masyarakat dalam penataan ruang.

Dalam periode 1993/94 sampai dengan 1997/98 telah


dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut, yaitu: (1) pelatihan
penataan ruang daerah dan pembinaan pengaturan teknis penataan
ruang bagi aparat pemerintah daerah di Propinsi Sumatera Utara,
Propinsi Jawa Barat, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Propinsi Sulawesi Selatan, dan Propinsi Bali; (2) pelatihan
penataan ruang perdesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta; (3)
pemantapan dan diseminasi materi training penataan ruang
kabupaten Dati II; (4) pemutahiran Data Dasar Perkotaan (Urban
Data Base); (5) pengembangan sistem informasi kawasan cepat
berkembang; pelatihan penataan ruang untuk para konsultan, (6)
penyiapan pedoman penyusunan rencana rinci tata ruang kabupaten
Dati II; (7) kegiatan penasihatan (advisory) pemantauan dan
pengendalian penataan ruang wilayah di 26 propinsi; dan (8)
pelatihan penataan ruang Dati II.

b. Penataan Pertanahan

Pembangunan pertanahan dalam Repelita VI dititikberatkan


pada upaya pemberian manfaat atas tanah yang sebesar-besarnya
bagi pembangunan nasional dan kemakmuran rakyat serta
peningkatan pemerataan, partisipasi masyarakat, dan penang-

XI/46
gulangan kemiskinan. Upaya tersebut dilaksanakan melalui program
pokok penataan pertanahan dan program-program penunjangnya.

1) Program Pokok

Program Penataan Pertanahan

Program ini meliputi kegiatan penataan penguasaan tanah,


penataan penggunaan tanah, penertiban dan peningkatan
pengurusan hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah,
pemberian hak atas tanah di areal permukiman transmigrasi, serta
pensertifikatan tanah secara masal melalui PRONA atau Proyek
Operasi Nasional Pertanahan (untuk masyarakat golongan ekonomi
rendah) dan ajudikasi. Kegiatan-kegiatan tersebut diselenggarakan
dalam rangka meningkatkan catur tertib pertanahan untuk
meningkatkan dan mengembangkan sistem pengelolaan pertanahan
yang terpadu, serasi, efektif, dan efisien.

Kegiatan pengembangan pengaturan penguasaan tanah


dimaksudkan untuk menyelenggarakan penataan aspek
hukum/pemilikan tanah guna mewujudkan tertib hukum dan tertib
administrasi pertanahan dalam rangka memberikan kepastian
hukum hak atas tanah secara adil. Dalam kegiatan ini, pada akhir
Repelita V (tahun 1993/94) telah dilakukan penyiapan redistribusi
tanah obyek landreform untuk 10.264 hektare dan penertiban
administrasi landreform untuk 5.800 KK. Dalam empat tahun
Repelita VI (sampai dengan tahun 1997/98), kegiatan landreform
Lebih dititikberatkan pada penertiban administrasi landreform.
Selama kurun waktu tersebut telah diselesaikan redistribusi tanah
obyek landreform seluas 2.943 hektare dan penertiban administrasi

XI/47
landreform untuk 31.880 KK. Dalam kurun waktu yang sama telah
diselenggarakan pendataan pemilikan/penguasaan tanah kawasan
pedesaan untuk 359 kecamatan dan kawasan perkotaan untuk 593
desa/kelurahan, identifikasi penegasan tanah negara seluas 18.940
hektare, dan penyiapan konsolidasi tanah perkotaan untuk 22.700
bidang, pembinaan konsolidasi tanah perkotaan untuk 18.000
bidang, dan konsolidasi tanah pertanian irigasi teknis (melalui
kegiatan PIADP atau Provincial Irrigated Agriculture Development
Program) untuk 20.257 hektare.

Kegiatan penatagunaan tanah dimaksudkan untuk


mengembangkan perencanaan penatagunaan tanah dan
pengendalian penggunaan tanah dalam rangka mendukung upaya-
upaya penataan ruang dan pembangunan pada umumnya. Dalam
Repelita VI telah diselenggarakan kegiatan antara lain sebagai
berikut: pemetaan dan revisi peta penggunaan tanah detail untuk
30.343.000 hektare; pemetaan kemampuan tanah untuk areal luas
22.030.000 hektare; pemetaan penggunaan tanah perkotaan (baik
kota kabupaten maupun kota kecamatan) untuk 163 kota dan
meliputi sekitar 250.000 hektare; pengendalian penggunaan tanah
untuk areal seluas 2.840.000 hektare; pemetaan tanah khusus untuk
kawasan Puncak seluas 25.000 hektare; penyusunan rencana
persediaan tanah untuk 98 dati II; pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanahan untuk 327 orang; dan pemetaan
wilayah pengembangan lahan gambut I juta hektare seluas 26.000
hektare.

Dalam rangka penertiban dan peningkatan pengurusan hak


atas tanah, pada tahun 1993/94 telah diterbitkan Surat Keputusan
Hak Atas Tanah sebanyak 20.153 SK, Surat Keputusan Hak Atas
Tanah (melalui PIADP) untuk 7.580 bidang, dan Surat Keputusan

XI/48
Hak Guna Usaha sebanyak 51 SK. Dalam empat tahun Repelita VI
(sampai dengan 1997/98), dalam kegiatan yang sama telah
diterbitkan Surat Keputusan Hak Atas Tanah sebanyak 99.324 SK,
Surat Keputusan melalui PIADP sebanyak 185.607 SK atau bidang,
dan Surat Keputusan Hak Guna Usaha sebanyak 161 SK.

Melalui proyek peningkatan administrasi pertanahan, sejak


tahun 1995/96 dikembangkan mekanisme pelaksanaan pendaftaran
tanah secara sistematis dengan cara pembentukan tim ajudikasi
yang bertugas dan langsung didatangkan ke lapangan untuk
percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah. Mekanisme ini dapat
dioperasikan secara penuh dalam tahun 1996/97. Dengan
mekanisme ini, dalam periode 1993/94 sampai dengan 1997/98
telah diterbitkan sertifikat untuk 515.837 bidang tanah.
Dibandingkan dengan kapasitas sampai dengan tahun 1995/96,
sistem ajudikasi tersebut menghasilkan peningkatan yang luar
biasa.

Kegiatan lain dalam rangka program penataan pertanahan


yang diselenggarakan dalam Repelita VI adalah pemetaan
fotogrametri yang berupa pemotretan udara untuk 944.000 hektare
dan pembuatan peta dasar pendaftaran tanah untuk areal lebih dari
398.480 hektare. Selain itu untuk masyarakat miskin dan golongan
rendah, terus ditingkatkan pelaksanaan Proyek Operasi Nasional
Pertanahan (PRONA). Pada tahun 1993/94 telah diterbitkan 83.490
sertipikat melalui PRONA. Dalam kurun waktu empat tahun
Repelita VI (tahun 1997/98), telah diselesaikan sejumlah 333.030
sertifikat. Ragam kegiatan pertanahan telah berkembang pesat sejak
Repelita I. Uraian secara lengkap rincian kegiatan-kegiatan
penataan pertanahan sejak Repelita I dapat dilihat dalam Tabel XI-
14 dan Tabel XI-14A.

XI/49
Di dalam areal permukiman transmigrasi, dalam tahun
1993/94 telah dilaksanakan dilaksanakan pengukuran dan pemetaan
kapling seluas 93.423 hektare, serta diterbitkan Surat Keputusan
hak pakai/milik untuk 115.752 persil. Dalam periode empat tahun
Repelita VI (sampai dengan tahun 1997/98), telah dilaksanakan
pengukuran dan pemetaan kapling seluas 326.223 hektare,
penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan atas tanah seluas 172.807 ha,
penerbitan SK hak pakai/hak milik untuk 280.185 persil, dan ralat
Surat Keputusan untuk 54.866 persil. Dalam kurun waktu yang
sama juga telah dilakukan penerbitan sertifikat sebanyak 396.904
buah, dan penyelesaian masalah perubahan status hak pakai
menjadi hak milik untuk 138.524 Persil. Uraian lebih rinci
perkembangan kegiatan pertanahan dalam lingkungan permukiman
transmigrasi sejak Repelita II dapat dilihat dalam Tabel XI-15 dan
Tabel XI- 15A.

Dalam rangka penyempurnaan kelembagaan dan


pengembangan administrasi pertanahan untuk menunjang
peningkatan kemampuan kelembagaan pertanahan, baik yang ada
di tingkat pusat maupun di daerah, selama periode empat tahun
Repelita VI (sampai dengan 1997/98) telah dilakukan renovasi 27
gedung kantor pertanahan dan pembangunan barn untuk 25 gedung
kantor pertanahan yang prioritas utamanya adalah untuk bangunan
kantor lingkup kabupaten Dati II.

2) Program Penunjang

Dalam rangka mendukung program pokok dilaksanakan


berbagai program penunjang sebagai berikut.

XI/50
a) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan
Pertanahan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan


dalam melaksanakan tugas penataan pertanahan bagi aparat
pemerintah dan pemahaman masyarakat mengenai masalah-
masalah pertanahan serta ketentuan-ketentuan yang berlaku di
bidang pertanahan. Dalam Repelita VI telah dilaksanakan
penyuluhan langsung di 142 kabupaten dan penyuluhan tidak
langsung (melalui penerbitan tulisan-tulisan mengenai pertanahan)
sebanyak 13 judul. Di samping itu, telah pula dilakukan pembinaan
terhadap 934 petugas penyuluh bidang hukum dan pembinaan
terhadap 1220 juru penerang. Rincian perkembangan kegiatannya
dapat dilihat dalam Tabel XI-16.

b) Program Penataan Ruang

Penataan ruang merupakan dasar bagi penataan pertanahan.


Sehubungan dengan itu program ini berupaya untuk menyusun dan
mengembangkan mekanisme pengelolaan yang menyerasikan
berbagai kegiatan pemanfaatan air, tanah, dan sumber daya alam
lainnya serta untuk meningkatkan kerterpaduan penyelenggaraan
tata guna air, tata guna lahan serta kehutanan yang akan
mendukung penyelenggaraan kegiatan pertanahan. Dalam tahun
1996/97 sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penatagunaan Tanah, yang pada dasarnya merupakan tindak lanjut
dari Undang-Undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang pada
tahun 1992.

Dalam kaitannya dengan program penataan ruang ini,


kegiatan penatagunaan tanah berupaya untuk meningkatkan

XI/51
penyediaan informasi penggunaan tanah berupa data dan peta untuk
berbagai kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Kawasan-kawasan yang diprioritaskan
pemetaannya adalah kawasan-kawasan andalan yang diprioritaskan
di Kawasan Timur Indonesia (KTI), kawasan-kawasan yang cepat
berkembang dan bermasalah di Pulau Jawa seperti Kawasan
Bopunjur, Kawasan Cekungan Bandung, dan sebagainya.

c) Program Pengembangan Informasi Pertanahan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi,


produktivitas, dan efektivitas pembangunan melalui pengembangan
informasi pertanahan yang berkualitas dan andal. Program tersebut
menyediakan data dasar dan informasi pertanahan yang akurat,
lengkap, dan mutakhir untuk penataan pertanahan.

Dalam Repelita VI telah dilaksanakan kegiatan di bidang


sistem informasi geografi yang meliputi: I) pembangunan sistem
komputerisasi pendaftaran tanah di 30 kantor pertanahan,
Pengembangan sistem informasi geografi di 62 lokasi, 3)
peningkatan kapasitas perangkat keras dan lunak di pusat dan 27
propinsi. Dalam tahun kelima Repelita VI, pengembangan
informasi pertanahan dilanjutkan untuk meningkatkan pelayanan di
bidang pertanahan melalui pengembangan komputerisasi
pendaftaran tanah di 10 kantor pertanahan.

d) Program Penerapan dan Pengembangan Hukum

Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan


kepastian hukum pertanahan dalam masyarakat sehingga
masyarakat mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-

XI/52
haknya atas tanah. Dalam program ini dilaksanakan pula
pengembanan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Dalam Repelita VI telah diselesaikan berbagai penelitian hukum
antara lain untuk perancangan dan penerapan sistem informasi
bidang hukum pertanahan, penelitian mengenai hukum/hak adat
pertanahan, penelitian pelaksanaan landreform perdesaan,
penelitian pelaksanaan Proyek Operasi Nasional Pertanahan
(PRONA), penelitian pelaksanaan pengawasan melekat (waskat)
pada kantor pertanahan, penelitian yurisprudensi pertanahan, dan
penelitian kerangka dasar ilmu pertanahan di Indonesia, serta
inventarisasi dan dokumentasi berbagai peraturan di bidang
pertanahan.

Pada tahun 1996/97, telah diterbitkan Undang-Undang


Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-Undang
tersebut memberikan jaminan hukum atas mobilisasi dana
masyarakat untuk kepentingan perekonomian yang menyangkut
pertanahan khususnya menyangkut permodalan.

Program ini juga telah melaksanakan kegiatan penelitian


dalam penegakan hukum pertanahan bagi tanah-tanah terlantar,
tanah-tanah tidur (tanah yang telah memiliki ijin lokasi tetapi tidak
dimanfaatkan), tanah-tanah kritis dan tanah-tanah absente (tanah
yang ditelantarkan karena pemiliknya berada di luar wilayah
administrasi lokasi tanah tersebut) dalam rangka peningkatan
efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang untuk kepentingan
nasional.

XI/53
D. PENUTUP

Pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI telah


memperkukuh landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan
pada tahap-tahap selanjutnya.

Pembangunan lingkungan hidup dalam Repelita VI telah


meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam perencanaan,
pengelolaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan-kegiatan dalam
pembangunan lingkungan hidup. Hal tersebut diupayakan melalui
peningkatan kemampuan kelembagaan di tingkat pusat serta
pengembangan kelembagaan BAPEDALWIL di tingkat wilayah
dan BAPEDALDA Tk. I untuk tingkat daerah. Di samping itu
telah diupayakan pula pengembangan kelembagaan masyarakat,
termasuk dunia usaha, dalam rangka meningkatkan peransertanya
dalam pembangunan lingkungan hidup.

Aspek lingkungan hidup telah menjadi isu global yang


penting. Dalam Repelita VI Indonesia telah turut berperan aktif
pada berbagai fora internasional dalam upaya mengatasi
permasalahan lingkungan hidup global. Indonesia memiliki potensi
besar untuk menarik manfaat dari perkembangan yang terjadi
secara global antara lain dalam fungsi menyerap gas-gas rumah
kaca.

Kegiatan penataan ruang dalam Repelita VI, telah mencatat


kemajuan cukup berarti. Dalam Repelita VI, penataan ruang telah
membangun landasan yang lebih kukuh untuk peningkatan kualitas
dan koordinasi penataan ruang tahap selanjutnya. Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (PP RTRWN), telah menegaskan arah penataan

XI/54
ruang nasional sampai dengan akhir PJP II. Peraturan Pemerintah
Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Serta Tata Cara dan Bentuk Peranserta Masyarakat Dalam Penataan
Ruang (PP Peran Serta), memberikan kepastian hukum dalam
peranserta masyarakat pada tiap tahapan kegiatan penataan ruang
yang juga menunjukkan upaya untuk menjamin transparansi dan
demokratisasi dalam penataan ruang.

Peningkatan koordinasi telah diupayakan melalui Badan


Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dan Kelompok Tata
Ruang Nasional (Pokja TRN) di tingkat pusat serta Tim Koordinasi
Tata Ruang Daerah di tingkat propinsi dan kabupaten/ kotamadya.

Pembangunan pertanahan dalam Repelita VI telah


mengembangkan sistem administrasi dan komputerisasi informasi
pertanahan. Pengembangan dalam sistem administrasi pertanahan
menyangkut penyempurnaan proses pensertifikasian tanah dengan
pendekatan sistematis (ajudikasi). Dengan sistem ini biaya
pensertifikasian menjadi lebih murah dan terjangkau oleh
masyarakat serta waktu penyelesaiannya jauh lebih singkat.

Dalam kawasan-kawasan prioritas, dikembangkan data-data


digital tata guna tanah dengan ketelitian cukup rinci sehingga
meningkatkan ketersediaan dan kualitas informasi tata guna tanah.

Pembangunan lingkungan hidup, pertanahan, dan penataan


ruang amat penting, mengingat bahwa sumber daya alam,
khususnya tanah, air dan udara semakin langka ketersediaan
maupun kualitasnya, oleh karena penggunaan yang makin intensif
yang acap kali tidak disertai dengan kaidah-kaidah yang menjamin
pembangunan yang berkelanjutan. Konflik-konflik ruang terutama

XI/55
konflik-konflik pertanahan yang menyangkut rakyat kecil harus
dapat diatasi secara tepat. Selain memperhatikan kebutuhan sekarang
segenap upaya pembangunan juga harus memperhatikan kebutuhan
kehidupan manusia di masa depan. Karena itu kegiatan penataan
ruang, lingkungan hidup dan pertanahan harus mendapat perhatian
dan penanganan yang arif.

XI/56
TABEL XI – 1
PETA RUPA BUMI NASIONAL YANG SUDAH TERSEDIA 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam nomor lembar peta)

1) Angka kumulatif
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/57
TABEL XI – 1.A
PETA RUPA BUMI NASIONAL YANG SUDAH TERSEDIA 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam nomor lembar peta)

1) Angka kumulatif
2) Angka diperbaiki

XI/58
TABEL XI – 2
HASIL PELAKSANAAN USAHA PENGENDALIAN SUNGAI
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70


2) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/59
TABEL XI – 2.A
HASIL PELAKSANAAN USAHA PENGENDALIAN SUNGAI
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70

XI/60
TABEL XI – 3
JUMLAH PENGIKUT KURSUS-KURSUS AMDAL 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(orang)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1983/84


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/61
TABEL XI – 3.A
JUMLAH PENGIKUT KURSUS-KURSUS AMDAL 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(orang)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1983/84

XI/62
TABEL XI – 4
HASIL PELAKSANAAN PENGHIJAUAN
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/63
TABEL XI – 4.A
HASIL PELAKSANAAN PENGHIJAUAN
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70

XI/64
TABEL XI – 5
HASIL PENANAMAN HUTAN RAKYAT 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1979/80


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/65
TABEL XI – 5.A
HASIL PENANAMAN HUTAN RAKYAT 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1979/80

XI/66
TABEL XI – 6
KEADAAN HASIL PEMBUATAN
PETAK PERCONTOHAN/DEMPLOT PENGAWETAN TANAH 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam buah)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1979/80


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/67
TABEL XI – 6.A
KEADAAN HASIL PEMBUATAN
PETAK PERCONTOHAN/DEMPLOT PENGAWETAN TANAH 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam buah)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1979/80

XI/68
TABEL XI – 7
PEMBUATAN DAN PENGENDALI
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam unit)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/75


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/69
TABEL XI – 7.A
PEMBUATAN DAN PENGENDALI
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam unit)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/75

XI/70
TABEL XI – 8
KEADAAN HASIL REBOISASI 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70


2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/71
TABEL XI – 8.A
KEADAAN HASIL REBOISASI 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89
(dalam ha)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1969/70

XI/72
TABEL XI – 9
JUMLAH PETUGAS LAPANGAN PENGHIJAUAN (PLP), PETUGAS
LAPANGAN REBOISASI (PLR), PETUGAS KHUSUS PENGHIJAUAN (PKP)
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98
(dalam orang)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1978/79


2) Sejak tahun 1994/95, penugasannya telah dialihkan kepada Dinas Perhutanan dan Konversi Tanah/Dinas Kehutanan Dati II
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

XI/71
TABEL XI – 9.A
JUMLAH PETUGAS LAPANGAN PENGHIJAUAN (PLP), PETUGAS
LAPANGAN REBOISASI (PLR), PETUGAS KHUSUS PENGHIJAUAN (PKP)
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89

1) Angka kumulatif sejak tahun 1978/79

XI/74
TABEL XI – 10
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI
DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka diperbaiki

Keterangan:
Kegiatan penyusunan rencana tata ruang propinsi (RSTRP = Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi) baru
Diselenggarakan sejak Repelita V (1989/90). Pada tahun 1989/90, disusun RSTRP untuk 2 propinsi, tahun
1990/91 disusun RSTRP untuk 6 propinsi, dan tahun 1991/92 disusun RSTRP untuk 17 propinsi.

A = Materi rencana tata ruang dalam penyempurnaan


B = Rancangan Perda siap diajukan ke DPRD Tk. I
C = Rancangan Perda sedang dibahas di DPRD Tk. I
D = Telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda)
E = Sudah disiapkan oleh Menteri Dalam Negeri

XI/75
TABEL XI – 11
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN
DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

Keterangan:
1. Jumlah kabupaten ini termasuk 1 Kab. Administratif di DI Aceh dan 3 Kab. Administratif di Irian Jaya
2. Kegiatan penyusunan rencana tata ruang kabupaten (RUTRD = Rencana Umum Tata Ruang Daerah) secara sistematis baru dimulai sejak Repelita V (1989/90). Pada tahun 1989/90, disusun
RUTRD untuk 21 kabupaten. Pada tahun 1990/91 disusun RUTRD untuk 48 kabupaten, dan pada tahun 1991/92 disusun RUTRD untuk 112 kabupaten.

A = Materi rencana tata ruang dalam penyempurnaan


B = Rancangan Perda siap diajukan ke DPRD Tk. II
C = Rancangan Perda sedang dibahas di DPRD Tk. II
D = Telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda)
E = Sudah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

XI/76
TABEL XI – 12
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTAMADYA
DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

Keterangan:
1. Jumlah kotamadya ini termasuk 1 Kotamadya Administratif di Riau dan 5 Kotamadya Administratif di DKI Jakarta
2. Kegiatan penyusunan rencana tata ruang kotamadya (RUTRK = Rencana Umum Tata Ruang Kota) secara sistematis baru dimulai sejak Repelita III.

A = Materi rencana tata ruang dalam penyempurnaan


B = Rancangan Perda siap diajukan ke DPRD Tk. II
C = Rancangan Perda sedang dibahas di DPRD Tk. II
D = Telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda)
E = Sudah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
XI/77
TABEL XI – 12.A
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTAMADYA
DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89

1) Angka kumulatif
.. = Tidak ada data
-- = Tidak ada kegiatan

Keterangan:
Jumlah kotamadya ini termasuk 1 Kotamadya Administratif di Riau dan 5 Kotamadya
Administratif di DKI Jakarta

XI/78
TABEL XI – 13
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA NON-STATUS
DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka diperbaiki
2) Angka kumulatif dari Repelita I
3) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

Keterangan:
A = Materi rencana tata ruang dalam penyempurnaan
B = Rancangan Perda siap diajukan ke DPRD Tk. II
C = Rancangan Perda sedang dibahas di DPRD Tk. II
D = Telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda)
E = Sudah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

XI/79
TABEL XI – 12.A
PENYELESAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA NON-STATUS
DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89

1) Angka diperbaiki
2) Angka kumulatif dari Repelita I

XI/80
TABEL XI – 14
REALISASI KEGIATAN PROGRAM PENATAAN PERTANAHAN
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara sampai dengan Desember 1997
.. = Tidak ada data
-- = Tidak ada kegiatan

XI/81
TABEL XI – 14.A
REALISASI KEGIATAN PROGRAM PENATAAN PERTANAHAN
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89

XI/82
(Lanjutan TABEL XI – 14.A)

1) Angka kumulatif dari Repelita I


.. = Tidak ada data
-- = Tidak ada kegiatan

XI/83
TABEL XI – 15
REALISASI KEGIATAN PROGRAM PERMUKIMAN DAN LINGKUNGAN TRANSMIGRASI
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka sementara sampai dengan Desember 1997


.. = Tidak ada data
-- = Tidak ada kegiatan

XI/84
TABEL XI – 15.A
REALISASI KEGIATAN PROGRAM PERMUKIMAN DAN LINGKUNGAN TRANSMIGRASI
1968, 1973/74, 1978/79, 1983/84, 1988/89

1) Angka kumulatif dari Repelita II

XI/85
TABEL XI – 16
REALISASI KEGIATAN PROGRAM PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM,
PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERTANAHAN
1992/93, 1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara sampai dengan Desember 1997

Keterangan:
Kegiatan penyuluhan dan pengembangan hukum serta penelitian dan pendidikan pertanahan secara sistematis baru dimulai pada Repelita V.

XI/86

You might also like