You are on page 1of 4

TUGAS KELOMPOK SASTRA

Pendekatan Feminisme
Dosen: Dr. Kinayati Djojosuroto Anggota Kelompok:
Kelas: S2 PB / Non Reguler [408] 1. ASTI RAMADHANI
Hari/Tanggal: Selasa, 21 Desember 2010 2. CEMPAKA YULDANI
3. LAILA DJOEBAIDAH
Fokus Kajian Feminisme
Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Tujuan feminis menurut Ratna (2004:
184) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk
menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang
dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya. Pada dasarnya gerakan
feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama
ini seolah-olah perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Perempuan
merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan hanya dianggap sebagai ”bumbu penyedap” dalam
hidup laki-laki. Adanya pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang
keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia. Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakaan wanita
yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme ialah teori tentang persamaan
antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiataan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a) feminis liberal, memberikan intensitas
pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada akar
permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender,
c) feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada
kelas, d) feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara
alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras
dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).

Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik wanita, atau kritik
tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan
dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran membongkar
praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkal, yang sampai sekarang masih
menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, unsur karya dan
faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra.

Endraswara (2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang
difokuskan adalah:
a. kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
b. ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan
aktivitas kemasyarakatan,
c. memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap
emansipasi wanita dalam sastra.
Kolodny dalam Djajanegara (2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
a. dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh
karya sastra yang dihasilkan di abad silam;
b. membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis
perempuan.

Kuiper (Sugihastuti dan Suharto, 2002:68) juga mengungkapkan tujuan penelitian feminis sastra sebagai berikut:
1. Untuk mengkritik karya sastra kanon dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan
pada patriakhar;
2. Untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan;
3. Untuk mengokohkan gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk
mengokohkan kanon perempuan;
4. Untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas.

Sasaran penting dalam analisis feminism sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1
1. Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa
tertekan oleh tradisi. Dominasi budaya partikal harus terungkap secara jelas dalkam analisis.
2. Mengungkap tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria.
3. Mengungkapkan ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam
kehidupan nyata.
4. Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis
wanita akan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak.
5. Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih
suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang dan sebagainya.

Selden (Pradopo, 1991:137) menggolongkan lima fokus sasaran pengkajian sastra feminis:
1. Biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih inferior, lembut, lemah, dan rendah;
2. Pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi,
melahirkan, menyusui dan seterusnya;
3. Wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa sedangkan laki-laki memilki “tuntutan kuat”.
Akibat dari semua ini akan menimbulkan stereotip yang negatif pada diri wanita, wanita sekedar kanca
wingking;
4. Proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas
wanita besifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang
disadari oleh laki-laki.
5. Pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan social dan ekonomi yang berbeda denagn laki-
laki.

Teori Analisa Feminis


Dalam menilai karya sastra, cara yang sering dipakai adalah analisa secara tekstual. Salah satu bentuk yang lain
yang juga digunakan dalam memahami karya sastra adalah analisis tekstual feminis. Analisis tekstual feminis
mengandung dua hal yang penting yaitu analisis tekstual dan analisis feminis.
Perempuan menulis sendiri sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan penilaian, mempertanyakan
dan menolak pola pikir laki-laki yang selama ini ditanamkan kepada perempuan. Selain itu juga merupakan
keberanian dan kekuatan untuk mengambil pilihan sehingga mengubah kritik sastra dari ‘dialog yang tertutup’
menjadi ‘dialog yang aktif’. Menjadi kritisi feminis berarti mampu membaca dengan kesadaran atas dominasi
ideologi patriarki dan wacana laki-laki, dan dengan kesadaran serta keinginan untuk mendobrak dominasi
tersebut. Seorang feminis dalam karya sastra-nya dapat saja merupakan seorang yang pluralistik dalam pilihan
metode serta teori sastra yang dipergunakannya, karena pada dasarnya pendekatan apapun yang dimanfaatkan,
selama itu sesuai dengan tujuan politisnya.

Ada beberapa macam pendekatan analisis sastra (teks) yaitu:


1. Kritisisme dengan perskriptif (perscriptive criticism) menawarkan sebuah cara untuk menentukan
peran pembebasan yang dapat dimainkan kesusasteraan dan kritik feminis. Menurut Cheri Register (1975),
untuk menjadi feminis, sebuah teks atau karya sastra/tekstual harus memenuhi satu atau lebih fungsi di bawah
ini:
a. Sebagai suatu forum bagi perempuan. Artinya perempuan dibiarkan bebas berbicara dan
menceritakan pengalamannya dan perasaannya tanpa harus berusaha untuk memenuhi standar
yang ditetapkan oleh laki-laki.
b. Membantu tercapainya androginitas budaya. Pada dasarnya gerakan feminisme ingin
menciptakan tatanan sosial yang lebih menghargai nilai-nilai perempuan yang selama ini tidak
cukup dihargai. Penciptaan karakter perempuan yang terlalu macho atau kejam dan
mengagungkan kekuatan fisik tidaklah berarti feminis karena hal ini berarti masih berangkat dari
sifat kemaskulinan.
c. Menyediakan metode contoh teks yang feminis menyediakan ruang bagi perempuan untuk
melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dan mengevaluasi alternatif yang terbuka
bagi dirinya, dan pada saat yang sama menunjukkan bahwa pembebasan merupakan
pengetahuan yang berat, yang dimulai dari diri sendiri dan diakhiri dari diri sendiri.

d. Mempromosikan persaudaraan perempuan (sisterhood) teks, atau kritik feminisme harus


memungkinkan perempuan untuk menyadari perbedaan dirinya dengan perempuan lain, dan
daripada saat yang sama menghargai persaman pengalaman dengan perempuan lain dan untuk
memutuskan suatu tindakan ‘politis’.
2. Kritik sastra gynocritics adalah mengkonstruksi suatu suatu bingkai kerja yang akan menganalisa
perempuan dalam karya sastra (atau teks) berdasarkan pengalaman perempuan, dan bukan
mengadaptasi model serta teori laki-laki. Cara ini dimulai dengan membebaskan diri dari cara
pandang laki-laki, menggantikannya dengan cara pandang perempuan dan mengartikulasikannya
dalam budaya perempuan. Tokoh yang memperkenalkan ini adalah Elaine Showalter. Teori ini

2
didasarkan pada pemikiran bahwa laki-laki lah yang selama ini berusaha mendefinisikan perempuan
dalam budaya.
3. Kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh
pertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat;
4. Kritik sastra gynesis, teori ini dilandaskan pada pemikiran bahwa perempuan bisa sangat patriarkal
dan laki-laki pun bisa memberikan efek feminis dan seksis; atau menunjukkan bahwa pengalaman
perempuan adalah milik perempuan namun seorang laki-laki sebenarnya dapat
menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap perempuan.
5. Kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan
perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena para feminis percaya bahwa
pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang
dibacanya; kritik sastra feminis ini berbeda dengan kritik-kritik yang lain; masalah kritik sastra
feminis berkembang dari berbagai sumber. Untuk menerapkan diperlukan pandangan luas dalam
bacaan-bacaan tentang wanita. Bantuan ilmu lain seperti sejarah, psikologi, dan antropologi
misalnya sangat diperlukan, disamping perlu dikuasai teori kritik yang sudah dimiliki sejak awal oleh
kritikus feminis itu.

Menurut Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya
dengan analisis kaum perempuan. Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231) feminis termasuk teori sosial kritis,
teori yang melibatkan diri dalam persoalan pokok dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang
sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada dalam kondisi tertindas.

Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama,
kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan
menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari jawaban apakah penulis perempuan itu
merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok
feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya, bahwa perempuan itu faktanya tertindas
karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya,
perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis yang diambil dari
Sigmund Freud. Bagi kelompok feminis ini, perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.

Nukilan Prosa para Feminis


Jika ingin melihat jauh ke belakang lagi, R.A. Kartini (1899) sudah memulainya lebih dahulu: “Adikku harus
merangkak, bila hendak berlalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah ia turun duduk
di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tak terlihat lagi. Mereka hanya boleh menegurku dengan bahasa
kromo inggil. Tiap kalimat haruslah diakhiri dengan “sembah”. [...]. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami
(Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada tatacara itu lagi. Perasaan kami sendirilah yang akan menunjukkan
atau menentukan sampai batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.” (surat Kartini kepada Stella dalam Habis
Gelap Terbitlah Terang).
Di era 70-an, Marjanne Katoppo menulis Raumanen. Karya yang cukup fenomenal pada masanya ini,
mengisahkan romansa Manen dan Monang. Manen yang hamil tidak juga mendapat kepastian dari Monang untuk
menikahinya, malah Monang hendak menikahi gadis lain pilihan keluarganya. Manen tidak sanggup menerima
malu dari lingkungannya, akhirnya bunuh diri.
Perhatikan nukilan prosa liris karya Linus Suryadi AG (1978-1980) berikut, yang ditulis di era yang hampir sama
dengan Raumanen:
“Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-hari
Wonosari di Gunung Kidul
pada mulanya dan pada akhirnya
sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
Di nDalem Suryamentraman Ngayogyakarta
Kini patutan satu sama putranya
Hidungnya bangir, matanya tajem
Persis, jan plek
sama Den Baguse Ario Atmojo”
(Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, hal. 178 )

Dikisahkan tokoh Pariyem yang seorang babu, mengandung anak putra juragannya. Dia rela disetubuhi oleh Den
Bagus Ario Atmojo hingga hamil. Pariyem tak menuntut apa-apa. Untungnya, dikisahkan saat sidang keluarga
karena kehamilan Pariyem, keluarga besar Cokro Sentono mau menerima. Bayangkan bagaimana jika cerita yang
terjadi sebaliknya? Seperti kisah-kisah serupa yang nyata ada di lingkungan kita, babu yang bersangkutan malah
dipecat dan diusir jauh-jauh agar tidak mempermalukan nama keluarga. Bayi Pariyem dipelihara di desa asalnya,
di Gunung Kidul. Tanpa dinikahi ia kembali bekerja di nDalem Suryametraman Ngayogyakarta sebagai babu,
3
tanpa diangkat sebagai selir sekalipun. Di banyak bagian dalam prosa ini, dituliskan Pariyem kerap bertutur “saya
lega lila” (Bahasa Jawa = saya rela iklas).

Kini, bandingkan prosa liris tersebut dengan nukilan Menyusu Ayah (2004) dan Permainan Tempat Tidur (2003)
berikut.
Perhatikan kalimat ini: “Dengan cepat kutikam pisau itu ke perut lelaki itu. Ia sangat kaget sekaligus menahan
sakit. Sprei yang berwarna putih kini menjelma merah darah. Aku mencium lelaki itu dengan lembut.” (cerpen
“Permainan Tempat Tidur”, Maya Wulan). Dalam cerpen tersebut Maya Wulan menggambarkan adegan ranjang
nyaris secara detil sebanyak tiga halaman.

Perhatikan pula kalimat ini: “Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki.
Karena, saya tidak mengisap puting payudara ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu
Ibu. Saya menyedot mani Ayah.” (cerpen “Menyusu Ayah”, Djenar Maesa Ayu). Itu hanyalah nukilan dari sekian
banyak karya Djenar yang berbau-bau seks. Ada persamaan dalam kedua karya tersebut, di akhir cerita tokoh
utama sama-sama membunuh laki-lakinya karena telah menyakiti tokoh secara seksual.

Harus diakui, ada perbedaan mendasar di antara nukilan karya tersebut. Pertama; karya tersebut ditulis dalam
masa yang berbeda. Kedua; perbedaan gender penulisnya. Tidak ada pemberontakan sedikitpun dalam tokoh
Pariyem, sedang Nayla dan tokoh aku (perempuan) dalam karya Maya Wulan, sangatlah melawan, bahkan berani
membunuh laki-lakinya.

Marjanne Katoppo mungkin belum seberani Djenar ataupun Maya Wulan ketika menulis Raumanen, maka ia
memutuskan Manen membunuh dirinya sendiri daripada membunuh Monang dan masuk penjara. Keberanian
yang timbul sangat terasa berkembang dari masa ke masa, yang pasti gender penulis berpengaruh kuat terhadap
karya yang ditulisnya. Jika Pengakuan Pariyem ditulis oleh penulis yang berbeda gender (baik dalam masa 70-an,
apalagi dalam masa sekarang), maka kami yakin tidak begitu jalan ceritanya.

Seorang laki-laki bisa saja menulis sastra feminis, tetapi belum tentu ia bisa mendapat esensi keinginan kesetaraan
gender, sekalipun ia seorang feminis. Ada banyak hal yang tidak dialami laki-laki yang terjadi pada perempuan,
dimulai dari perubahan tubuhnya sendiri seumur hidup, reaksi masyarakat terhadap status dirinya, reaksi diri
perempuan terhadap adat budaya, juga pencarian pengakuan terhadap karya-karyanya. Bagaimana cerita diakhiri
adalah bentuk perlawanan dan tuntutan kesetaraan gender yang dilakukan oleh tokoh perempuan.

¥ Terima Kasih ¥

You might also like