You are on page 1of 31

1.

TEORI KONFLIK

Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memliki
fungsi positif, maka konflik menjadi dinamika sejarah manusia (karl marx 1880/2003; Ibnu
Khaldum, 1332-1406), selanjutnya konflik beralaih sampai pada bagian proses pemenuhan
kebutuhan manusia.
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat
dalam perbedaan, pertentang, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam proses
itulah terkadang kita diperhadapkan pada berbagai masalah baik itu menyangkut tentang diri
pribadi maupun dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam masyarakat tumbuh berbagai
kepentingan yang begitu komplekss dan memerlukan tindakan tertentu dalam pemenuhannya.
Keadaan yang saling berbenturan terkadang harus membutuhkan penyelesaian yang rumit dan
membutuhkan waktu yang lama. Timbulnya perbedaan pandangan dan paradigma dari masing-
masing kelompok yang ada memicu munculnya ertikaian dan sengketa dalam diri mereka.
Kejadian itulah yang di subut konflik.
Konflik selalu erat kaintannya dengan kehidupan manusia yang menganut paham sosialis.
Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya sering kali terjadi
salah penafsiran terhadap simbol atau makna yang disampaikan. Karena melalui komunikasi
yang kurang harmonis dari masing-masing anggota masyarakat itulah yang akan menjadi pemicu
terjadinya konflik. Sejarah menunjukan bahwa sejak mulai dari proses penciptaan manusia
pertama (Adam) konflik sudah mulai terjadi. Ketika itu iblis yang diperintah oleh sang Khalik
untuk dan patuh kepada adam dengan lantang dan jelas iblis menolak dan tidak mengakui bahwa
Adam adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa. Iblis dengan beraninya bersumpah selama manusia ada di muka bumi maka
selama itu pula ia akan menjadi musuh manusia yang nyata.

Toeri konflik dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam
masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat
membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang
berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bertanding.
Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan –kekuatan yang saling berlomba
dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social
disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan
kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama
(consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, consensus itu
merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai.

A. Sejarah Lahirnya Konflik

Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik
secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh
gerakan-gerakan sosial dari individu maupun kelompok sosial yang menjadi bagian dari
masryarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunis bisa munculdalam bermacam-
macam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan
hidup, dan kepentingan merebut kepentingan politik (kekuasaan). Sesungguhnya konflik itu
dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik
samapai masa kontemporer.
Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan
oleh Karl Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas. Antara
kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, Kepala serikat
pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang ditekan selalu bertentangan
(konflik) dan tidak terputus. (The Manifesto dikutip dari PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas
bersifat inheren dan terus menerus. Penekanan itu dapat berupa penindasan. Marx juga melihat
bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang
bersifat saling menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan
Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx
tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi
270). Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki
alat–alat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis. Penindasan
ini akhirnya menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan
melahirkan revolusi proletariat yang berujung pada lahirnya konflik.

B. TEORI KONFLIK KLASIK


Tokoh-tokoh sosiologi konflik klasik, seperti Ibnu Khladun (1332-1406), Karl Marx
(1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1964-1920), dan George Simmel
(1858-1981) mempunyai peran besar dalam meletakan mainstream teori sosial secar umum dan
memperngaruhi mempengaruhi konflik keontemporer pada khususnya. Berikut diuraian gagasan
pemikiran tokoh-tokoh tersebut.
Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuan sosial dari Afrika di abad ke-14. masa Khaldun
ditandai oleh dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup di
zaman itu. Masa itu ditandai kemunculan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan
dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering berada dalam keadan ketidakstabilan politik.
Kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khladun. Ibnu Khaldun
memperlihatkan bagaiman dinamika konflik dalamsejarah menusia sesungguhnya ditentukan
oleh keberadaan kelompok sosial yang berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal.
Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi
terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat manusia yang sama dengan hewan.
Nafsu adalah kekuatan hewani yang mempu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan
berbagai gerakan untuk memenangi (to win) dan menguasai (to rule) (Susan, 2009: 30).
Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam sosiologi konflik Marx, (1)
manusia secara alamiah memilki angka kepentingan, (2) konflik dalam sejarah dan masyarakat
kontemporer adalah akibat benturan kepentingan kelompok sosial, (3) marx melihat keterkaitan
ideologi dan kepentingan.
Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada kepentingan alamiah dalam
setiap diri manusia. kepentingan alamiah inilah yang menodorng manusai untuk terus bergerak
menciptakan tujuan-tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Turrner dalam Susan (2009: 35)
menyatakan bahwa perbedaan teoritis antara Weber dan Marx terlihat dari komitmen metodologi
Weber yang mengikuti individualisme, sosiologi sebagai perspektif interpretatif pada tindakan
sosial, sedangkan Marx mengacu pada epidemologi realis, strukturalisme, dan materialisme
sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari era produksi.
Weber menciptakan tipe idel tindakan sosial untuk memahami pola dalam sejarah dan
masyarakat kontemporer, ia menciptakan tipe ideal dan tindakan, hubungan sosial dan kekuasaan
(Power). Weber mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe ideal yaitu :
Zwecrational, Ini berkaitan dengan means, and ends, yaitu tujuan-tujuan dicapai dengan
menggunakan alat atau cara (means), perhitungan cepat dan bersifat matematis. Wertrational,
tindakan nilai yang berdasarkan pada alat atau caranya tetapi nilai atau moralitas
misalnya.Tindakan afektif, individu didominasi oleh sisi emotional. Dan yang terakhir Tindakan
traditional, traditional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi sebagai
system nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell, 1994)
Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial. Setiap staratifikasi adalah posisi
yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi
yang lebih tinggi. Untuk itulah relasi-relasi sosial diwarnai oleh usaha-usaha untuk meraih
posisi-posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha tersebut bisa dibaca sebagai bentuk dan
kombinasi berbagai tipe ideal tindakan. Weber berpendapat bahwa ada tiga tipe ideal relasi
hubungan sosial, yaitu hubungan sosial tradisonal-komunal, sosial konflik, dan asosialisasi.
(Susan, 2009: 36)
Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah unsur dasar dari setiap tipe
hubungan sosial, yaitu power. Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap unsur
stratifikasi sosial sehingga menciptakan dinamika konflik. Berikut diuraikan pokok-pokok
pikiran dari para tokoh yang melihat konflik sebagai tatanan kehidupan sosial.
Pemikiran Marx cenderung determinis ekonomi dan Weber masuk menimbang aspek
tindakan, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan
perhatian di luar pemikiran marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai fakta sosial
(social fact). Fakta sosial bersifat eksterioti, yang berada di luar atau eksternal, dan memaksa
terhadap tindakan individu-individu.
Konsep pemikiran Durkheim dapat dipahami melalui pembagian masyarakat ke dalam
masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience colletive,
kesadaran umum. Bentuk masyarakat yang berkesadaran kolektif ini seperti kelompok etnis
tradisonal dan kelompok tribal. Sedangakan kesadaran organik bersifat lebih kompleks dimana
individu-indivudu terhubung satu sama lain atas dasar fungsi kebutuhan. (Susan, 2009:38).

Secara umum pandangan-pandangan para ahli tentang fenomena konflik fdapat


disimpulka bahwa Ibnu Khaldun dan Karl Marx berhasil memperlihatkan konflik kelompok dan
kelas sosial. Konflik ini mempengaruhi dinamika masyarakat dalam sejarah perkembangan
masyarakat. Seperti pembagian struktur sosial Marx yang determinisme ekonomi. Max Webwer
berhasil memberi analisis mengenai startifikasi yang lebih luas dalam bidang ekonomi, status,
dan politik. Weber memperlihatkan konflik adalah manifestasi tindakan manusia yang ingi
meraih posisi-posisi dalam setiap stratifikasi sosial tersebut. Emile Durkheim memberi analisis
pada fakta sosial. Selanjutnya, Simmel bisa dikategorikan sebagai pelopor sosiologi konflik
melalui analisis akademisnya menganai sosialisasi dan fungsi konflik dalam masyarakat.

C. TEORI KONFLIK KONTEMPORER

Teori konflik kontemporer adalah refkleksi dari ketidakpuasan terhadap fungsioanalisme


struktural Tallcot Parsons dan Robert K. Merton, yang berlebihan dalam menilai masyarakat
dengan paham konsesus dan integralistiknya.
Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam
masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial
maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu
kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol
bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain
merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang
menguntungkan kelompok-kelompok lainnya.
Menyadari beragamnya konlik yang timbul, maka konflik kontemporer dibagi menjadi
empat aliran, yakni mazhab positivis, mazhab humanis, mazhab kritis, dan mazhab
multidisipliner.
1. Mazhab Positivis
Mazhab positivis di sebut sebagai sosiologi konflik makro. Ada dua ciri utama dari
mazhab ini: (1) generalisasi teori bisa berlaku secara universal, (2) melihat konlik sebagi bagian
dari dinamika gerakan struktural.
A. Konflik Kekuasaan
Ralf Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi
(imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elite
dominan, dari pada pengaturan kelas dan managemen pekerja, dari pada modal dan buruh (Mc
quarie, 1995:66)
Bagi Dahrendorf konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap
individu atau kelompok yang tidak terhubung dengan sistem tidak akan mungkin terlibat dalam
konflik. Ia menyebutnya sebagai integrated into a common frame reference” lebih lanjut lagi ia
menyatakan bahwa unit analisis dalam sosiologi konflik karena keterpaksaan yang menciptakan
organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial (Dahrendorf 1959: 164-165).
Selanjutnya, Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi konflik dialektis
yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang diantara kelompok-
kelompok terkoordinasi. Sehingga kenyataan sosial bagi Dahendorf merupakan siklus tak
berakhir dari adanya wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari
sistem sosial.
B. Fungsi Positif konflik
Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural. Ia lahir dari keluarga
Yahudi di Jerman pada tahun 1913. Ia menjadi anggota gerakan mahasiswa sosialis di jerman
pada masa Hitler dan arena itulah ia harus meninggalkan Jerman. Ia tinggal di Perancis tanpa
pekerjaan dan selalu dalam kondisi kelaparan. Ia berinisiatif belajar studi komparatif di
Universitas Sorbonne Perancis yang kemudian menjadikannya seorang sosiolog terkemuka
Menurut Coser, koflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif
terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya. Pendapat ini
sesungguhnya berangkat dari sosiologi konflik Simmel,”…konflik itu sesunggunya menunjuk
dirinya sebagai suatu factor positif…” bisa disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah.
Coser dalam (Susan, 2009: 56) memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik
sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang
(Hostile feeling) tetapi Coser Hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka (over
conflict) sehingga ia menambahkan unsur perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku
permusuhan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.
Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu konflik realities dan non realistis.
Konflik realistis memiliki sumber yang kongkret atau bersifat material seperti perebutan
ekonomi dan wilayah sedangkan konflik non realistis adalah didorong oleh keinginan yang tidak
rasional dan cenderung bersifat ideologis.
2. Mazhab Humanis
Teori sosiolgi humanis secara umum berkembang sebagai respons terhadap analisis
makro fungsionalisme structural. Ritzer mentipekan aliran ini sebagai sosiologi mikro seperti
aliran etnometodologi di Granfikel dan interaksionisme simbolis oleh Jon Dewey, Herbert Mead,
dan Erving Goffman (Ritzer, 2000). Aliran ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk menganalisis
konflik masyarakat. Terutama konflik mikro atau konflik antar individu dan individu terhadap
kelompok. Hal ini tidak lepas dari kunci analisis interaksionisme simbolis menekankan pada
individu, simbol (bahasa dan makna), dan dunia sosial.

C. Konstruksi sosial konflik

Studi konflik dalam perspektif konstruksi sosial merupakan langkah cukup menantag,
dan beresiko. Karena analisis proses sosial ini akan mengeksplor konflik dengan memasukkan
analisis proses sosial (historisme) dari kenyataan masyarakat atau proses dialektika kenyataan
sosial. Konstruksi sosial dalam sosiologi merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi
pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika kenyataan.
Perspektif konstruksi sosial dikembangkan secara khusus oleh seseorang sosiologi
perdamaian bernama John Paul Lederach. Lederach memusatkan analisis konfliknya pada
dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Ada tujuh asumsi yang ditulisnya dalam
Preparing fo rpeace conflict transformation across culture (1996:9-10) yaitu:
1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah: suatu pengalaman-pengalaman umum
yang hadir di setiap hubungan dan budaya
2. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial
3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan
makna bersama
4. Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi,
ekspresi dan niatan-niatan
5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu sosial
seperti situasi kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka
6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skem yang digunakan oleh
sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkn mengekspresikan dan merespons kenyataan
sosial disekitar mereka.
7. Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari
kesadaran.
D. Pendekatan Konflik Komunal
Menurut Giddes dalam (Susan, 2009: 84) menyatakan persoalan konflik dalam
masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat etnisitas dan ras sebagai satu
kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis disebut pendekatan
primodial yang melihat konflik sebgai akibat dari pergesaran kelompok kepentingan identitas,
seperti identitas berbasis etnis dan keagamaan. Teori ini memahami konflik sebagai akibat
bertemunya berbagai budaya, ras, dan geografis yang melahirkan identitas dan
ketidaksetiakawanan.
Menurut isaach pendekatan konflik primodial melihat identitas etnis, ras, agama, bahasa,
dan lain-lainnya adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah, yang terbetuk melalui proses yang
panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang lama pula. Kesadaran budaya yang
terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar seperti keluarga, keyakinan
kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya menjadi fondasi yang sangat kuat
dan sulit untuk dihilangkan.
E. JENIS DAN TIPE KONFLIK
Pada dasarnya ada dua jenis konflik, pertama, dimensi vertikal atau ”konflik atas”, yang
dimaksud adalah konflik antara elit dan massa (rakyat). Elite di sini bisa para pengambil
kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnin atau para militer. Hal yang menonjol dalam konflik
ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa.
Kedua, konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam
kurun waktu lima tahun terakhir (sejak pertengahan 90-an), setidak-tidaknya dirasakanada dua
jenis konflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya: (1) konflik antara agama, khususnya
antara kelompok agama Islam dan dan kelompok agama Nasrani (protestan dan katolik). Konflik
jenis mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, jakarta, dan beberapa daerah lainnya. (2)
konflik antara suku. Khususnya antara suku jawa dan di luar pulau jawa. Selain itu muncul pula
kasus seperti konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat, dan lain-
lain.
Selain jenis konflik kita perlu menganal istilah tipe konflik yang akan menggambarkan
persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik,
konflik laten, konflik terbuka, dan konflik dipermukaan (Fisher, 2001). Tanpa konflik
menggambarkan situasi yang tampak stabil, hubungan-hubungan antara kelompok bisa saing
memenuhi dan damai.
Konflik laten adalah suatu keadaan yang didalamnya terdapat banyak persoalaan, sifatnya
tersembunyi dan, perlu diangkat kepermukaan agar bisa ditangani. Kehiudpan masyarakat yang
tampak stabil belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tersebut tidak terdapat
permusuhan atau pertentangan. Kenyataan ini kita temukan dalam masyarakat Orde Baru.
Masyarkat Orba tampak harmonis, damai dan kecilnya tingkat pertentangan diantara angota-
anggota masyarakat baik dalam dimensi ekonomi, etnis, maupun agama. Akan tetapi, di balik
stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata tedapat konflik laten yang begitu
besar. Hal ini terbuktikan ketika Orba dan struktur kekuasaanya runtuh, berbagai konflik laten
dalam dimensi etnis, keaagamaan, dan separatisme merbak seperti jamur di musim hujan.
Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul kepermukaan yang
berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar
penyebab dan berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon (1999), di Kalimantan Barat (1999)
dan juga di Poso Sulawesi. Pada situasi konflik terbuka muncul pihak-pihak berkonflik yang
semakin banyak dan aspirasi yang berkembang cepat bagaikan epidemi.
Konflik dipermukaan: memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya
karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
(dialog terbuka). Contoh dari konflik dipermukaan ini bisa kita lihat perkelahian antar SMA,
kekerasan yang muncul sering kali hanya disebabkan kesalhpahaman komunikasi. Saling melirik
ketika mereka berpapasan di jalan bisa menjadi permasalahan yang berkembang ke tawuran
massal.
2. TEORI SISTEM

Teori merupakan seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis

berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan

proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas

fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel

dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan

bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan

cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu

benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi

teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara

konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus

terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-

definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.

Kata sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak hal. Namun secara garis

besarnya Shrode dan Voich (1974) melihat bahwa suatu sistem memiliki konotasi penting.

Pertama, menunjuk pada suatu benda (entitas) atau benda yang memiliki tata aturan atau

susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti mobil, lembaga pemerintahan. Kedua,

menunjuk pada suatu rencana, metode, alat, atau tata cara untuk mencapai sesuatu (Amrin,

1986). Shrode dan Voich (1974 : 122) mengemukakan pengertian sistem sebagai berikut: :

“a sistem is a set of interrelated parts, working independently and joinly, in pursuit of

common objectives of the whole , within a complexs environment”. (Amrin, 1974 : 11).
Suatu sistem adalah serangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan,

bekerja dengan bebas dan bersama-sama dalam pencapaian tujuan umum keseluruhan,

dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Pengertian yang dikemukakan oleh Shrode dan Voich ini merupakan pengetian yang

cukup lengkap, mengungkapkan unsur-unsur penting sebagai berikut: 1) Sistem merupakan

serangkaian bagian-bagian; 2) yang saling berhubungan: 3) bagian bagian tersebut bekerja

dengan bebas dan bersama-sama; 4) untuk mencapai tujuan bersama; 5) di dalam

lingkungan yang rumit.

Ciri-ciri penting sebuah sistem adalah:

1) Sistem terdiri dari subsistem;

2) Mempunyai tujuan atau sasaran;

3) Di antara subsistem mempunyai hubungan saling tergantung (saling membutuhkan) dan

merupakan satu kebulatan yang utuh;

4) Mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri sendiri; mempunyai batas

(boundaries) dengan lingkungannya. Batas ini tidak berarti bahwa sistem tersebut

tertutup dari pengaruh luar, melainkan untuk menunjukkan keberadaannya di antara

lingkungan.

A. Teori Sistem

Argument dari teori sistem adalah bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat

diperlakukan diluar konteks keseluruhan. Teoritisi sistem menolak ide bahwa masyarakat

atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus diperlakukan sebagai fakta sosial

yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari proses-proses pada

tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendefinisikan fokus tersebut: Jenis

sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan elemen-elemen
atau komponen-komponen secara langsung atau tidak langsung berkaitan didalam jaringan

kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan setidaknya

beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil didalam periode waktu

(Buckley, 1967:41).

Pengertian tentang sistem yang telah diuraikan sebelumnya diharapkan dapat

membantu untuk memahami teori sistem yang ada di dalam sosiologi, paling tidak

mengetahui tokoh-tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem. Tokoh-tokoh

sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem antara lain adalah Aguste Comte, Herbert

Spenser, Emile Durkheim, Karl Mark, Talcott Parsons, dan lain-lain. Berikut akan

dikemukakan beberapa tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem.

1. Auguste Comte.

Comte melihat sistem dalam hal adanya saling ketergantungan, kerjasama,

ikatan-ikatan sosial, misalnya yang terjadi di dalam pembagian kerja ekonomi. Semakin

luas pembagian kerja, maka semakin tinggi individualisme, tetapi juga semakin tinggi

saling ketergantungan. Di dalam analisis masyarakat, Comte mengatakan bahwa

masyarakat seperti organisme hidup. Ini dapat diartikan bahwa di dalam dinamika hidup,

tumbuh dan berkembangnya masyarakat itu berlaku konsep sistem sehingga

masyarakat itu terus berlangsung dan dapat bertahan sebagaimana kelangsungan hidup

organisme. Setiap bagian unsur akan saling mempengaruhi, saling memerlukan, saling

mengisi, saling melengkapi dalam satu kesatuannya. “Comte melihat masyarakat

sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah

bagian-bagian yang saling tergantung (Johnson, 1986: 82). Perspektif organik tersebut

berpendapat bahwa masyarakat sebagai suatu organisme hanya dapat dimengerti

secara totalitas bukan pada saat sebagai suatu kenyataan kumolan individu-individu.

Adanya saling ketergantungan dan interaksi menghasilkan fenomena-fenomena dan arti


yang lebih tinggi karena individu-individu yang berkumpul menjadi lebur dalam kesatuan

kelompok masyarakat.

Tentang stabilitas sosial, Comte berpendapat bahwa saling ketergantungan yang

harmonis diantara bagian-bagian yang terdapat dimasyarakat memberikan sumbangan

pada stabilitas sosial. Keteraturan sosial akan terancam oleh berbagai hal seperti

anarkhi sosial, moral, intelektual, akan tetapi stabilitas sosial akan selalu diperkuat

kembali. Dasar utama keteraturan sosial menurut Comte adalah keluarga, bukan

individu. Sebab, individu-individu tersebut terisolasi sejak kecil didalam keluarga

sehingga keluargalah yang memberikan pengaruh nilai-nilai yang paling besar.

2. Spenser

Spenser didalam bahasannya tentang evolusi masyarakat, menganalogikan

masyarakat dengan suatu organisme. Menurut Spenser, sistem pemerintahan ibarat

urat nadi yang mempunyai fungsi koordinasi (penyelarasan) dan pemersatuan.

Pemerintahan sebagai suatu sistem organisme berdiri sendiri serta berevolusi dibawah

suatu hukum. Masyarakat didalam suatu pemerintahan sebagai suatu organisme

menghasilkan kebutuhan-kebutuhannya untuk memelihara, menjaga, dan

mempertahankan kehidupannya. Dalam hal ini masyarakat mempunyai ekonomi untuk

mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Untuk itu masyarakat juga mempunyai

sistem didtribusi seperti fungsi pembuluh, atau seperti infrastruktu jaringan komunikasi-

komunikasi.

Menurut spenser perubahan pada suatu bagian di masyarakat maupun

organisme akan membawa dampak secara keseluruhan. Perubahan ekonomi, atau

perubahan politik Negara yang cukup drastis akan merubah kesejahteraan keluarga,

sistem pendidikan, lembaga sosial yang ada, dan lain-lain.


Analogi organisme Spenser terhadap masyarakat diatas menurut Spenser

sendiri bukan suatu yang dapat diterima bigitu saja. Namun dapat diakui bahwa

masyarakat mempunyai berbagai aspek yang dapat dianalogikan dengan organisme.

3. Karl Mark

Mark menggunakan konsep sistem antara lain dalam pandangannya tentang

masyarakat dan kapitalis yang mempunyai hubungan antar kelas. Tentang stuktur

sosial, Mark menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan

kondisi material dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan

memenuhi berbagai kebutuhannya, (Johnson, 1986 : 162).

Mark memandang kemungkinan terjadinya konflik antar kelas yang

mengakibatkan perubahan sosial. Kepentingan-kepentingan kelas berbeda,

sertakontradiksi antara kekuatan-kekuatan produksi material dan hubungan-hubungan

produksi adalah kontradiksi-kontradiksi internal yang terdapat didalam masyarakat yang

selanjutnya membawa perubahan sosial. Adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi

di masyarakat merupakan sumber pertentangan antara kepentingan-kepentingan

material dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Konflik-konflik yang terjadi tersebut

tidak dapat dihilangkan didalam suatu sitem. Akan tetapi sesuai dengan pandangan

pendekatan sistem, masing-masing bagian akan mampu menyesuaikan diri kembali,

meskipun dapat berlangsung ada kalanya dalam waktu yang panjang.

4. Talcott Parson

Parson dan pengikutnya merupakan orang-orang yang telah berhasil membawa

pendekatan fungsionalisme struktural kedalam petumbuhan teori-teori sosiologi. Dipihak

lain, Parson menerima banyak kritik pula atas teori fungsionalismenya tersebut. Parson

dipandang tidak proporsional didalam membahas masyarakat. Dia terlalu berpusat pada

peran bagi unsur-unsur normatif yang akan mengatur perilaku sosial.individu yang akan

menjamin stabilitas sosial. Parson terlalu percaya bahwa sistem sosial memiliki
kecenderungan mencapai stabilitas sosial (equilibrium) melalui consensus-konsensus

yang dicapai anggota. Disfungsi dan penyimpangan-penyimpangan terjadi karena faktor

luar. Pandangan seperti ini telah mengabaikan pandangan bahwa disfungsi, konflik, dan

penyimpangan-penyimpangan yang bersifat internal juga terjadi.

Penggunaan pendekatan sistem oleh Parsons yang lainnya antara lain mengenai

pendapatnya tentang realitas sosial. Pada mulanya Parsons berpendapat bahwa realitas

sosial adalah “action” yang berarti tindakan manusia yang disertai adanya kesadaran,

kemauan. Ini berbeda dari arti “behavior” yang hanya mengandung satu gerak fisik saja.

Kemudian parsons mengubah pandangannya. Dia mengemukakan bahwa “perilaku

sosial” seseorang bukan merupakan satu-satunya realitas dalam kehidupan sosial. Akan

tetapi ”situasi sosial” pelaku (aktor) , yakni seluruh variabel-variabel bebas seperti umur,

jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, nilai-nilai dan sebagainya menjadi sasaran

analisis. Pendapat ini menunjukan bahwa konsep relasional, yaitu sistem sosial berlaku.

Parsons berpandangan bahwa setiap kehidupan bersama atau masyarakat merupakan

jaringan dari peranan-peranan sosial yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat

seperti peran dokter, ibu rumah tangga, petani, dosen, dan lain-lainnya. Dengan

mengambil bagan masyarakat sebagai sistem sosial dari Cannon yang mengemukakan

bahwa tiap-tiap sistem biologis bersifat homeostatis. Parsons mengintrodusir kedalam

sosiologinya dua cirri khas: a) konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan

kepada keselamatan dan ketahanan sistem sosial. Dan b) konsep pemeliharaan

keseimbangan, adalah cirri utama dari tiap-tiap sistem sosial, (Veeger, 1990: 202).
3. TEORI INTRAKSI SIMBOLIK

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi
dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”
(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya
nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap
individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial
masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan
pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap
individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang
perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam
konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung
ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96),
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan
tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam
Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk
makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain,
(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut
pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang
dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan
karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96),
dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan
untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
`Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat
disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer
(1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-
Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep
diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.
Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-
Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang
ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-
asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer


• Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada
mereka,
• Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
• Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
• Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
• Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
• Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
• Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
4. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,
dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte
dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert
Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,
hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana
ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini,

Studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim


mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian
– bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing –
masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu
sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak
keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons
dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan
Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran
Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

 Visi substantif mengenai tindakan sosial dan


 Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons
dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam
kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya
kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri
pengamat.

Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan


hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme
yang diadopsi dari ilmu alam khusunya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-
cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang
berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut
pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada
prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan
konsep struktur.

Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan


kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan
hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi
dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.

Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu
menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut,
sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada
predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain
termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai
Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah
tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.

Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi


sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang
diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam
mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak
hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan
menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai
sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan
fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain
melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam
melaksanakan fungsinya tersebut.

Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya
manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan
usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari
suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem
politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan
bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur
menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-
fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat
dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group),
dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.

Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta
pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara
struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari
infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi
sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus
dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi
komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik
menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam
sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli
sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai
keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang
menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu
tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai
contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan
mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu
depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan
menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem
dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya
sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut
keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan
patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
5. TEORI PERTUKARAN SOSIAL

Teori  Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar
dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan
orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan
selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada bagaimana
kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan
menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.

Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian
mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini
juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal,
kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini, selain menjelaskan
mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan mengenai hubungan dalam komunikasi.

Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, “asumsi
dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki dan
tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan merupakan empat
konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121).

Empat konsep tersebut antara lain:

1.  Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu
hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang
dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan
berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.

2.  Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat
berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain
yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang
tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang
yang terlibat didalamnya.
3.  Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu
merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang
mendatangkan laba.

4.  Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria
dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka
baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat
perbandingannya menurun.

Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam teori ini adalah:

1.  Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards

2.  Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek
psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.

3.  Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan terbaik untuk bersaing dalam
situasi menguntungkan.

4.  Individu berorientasi pada tujuan dalam system kompetisi bebas.

5. Pertukaran norma budaya.


6. Teori Fenomenologi

1. Perspektif Fenomenologi

Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan
menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan
rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang
menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan
dibanding teori-teori melulu.

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau


pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa
pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar
fenomenologi adalah:

(a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu
bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa
diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek
inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-
kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan
akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values
free.

Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah


generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa
kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan
sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara
peneliti budaya dengan informan.

Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas
harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam
perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a)
fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya
pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan,
penyaringan untuk menentukan keberadaan, penggambaran gejala (refleksi), (c)
fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas


ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap
suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala
budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu
itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.

Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomenologi tidak


dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam
pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir,
1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual),
melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan,
dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian
dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan
parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar
linier kausal.

Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik


budaya itu sendiri.Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran,
yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan
kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi
menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.

Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami


menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8)
bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam
merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan
adalah aspek subyek dari perilaku orang.

Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya
sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang
mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari. Makhluk hidup
tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan
orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari perilaku
budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa
sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam
hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan
pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara
mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk
memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas.

Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah


fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan
berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun.
Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku
budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang
dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di
antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri.

Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para
ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan
kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan
kebudayaan yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh
perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya
seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut
benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3)
menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda
kriterianya.

Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya
memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to
life to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan
pendekatan etnosains sebagai salah satu alternatif.

Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model


linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemaknaan
kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini pendefinisian kebudayaan
merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah “makna” yang
diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan.

Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat


digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat
bahwa kebudayaan merupakan “forms of things that people have mind”, yang dalam hal ini
ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial
yang dihadapi.

Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan.
Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui
seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat
diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan,
khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial.

Tujuan utamanya adalah mencari prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam
undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan.

Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan
sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”,
yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini,
para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai
macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku
manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka
peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si
peneliti kemudian mencari tema budaya.

Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan


itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat
`tergantung’ siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka
lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap
budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus
tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu
sendiri.

2. Sebagai Tonggak Arah Baru


Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah menghasilkan arahan-arahan
baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson
ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan
fenomenologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James,
naturalis John Dewey, dan fenomenolog MarleauPcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan
beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan
etnografinya.

Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomenologi bagi penelitian


budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih
menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh
ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi
karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai
subjek penelitian.

Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk
menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kaitannya dengan penyakit
pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihubungkan dengan pengalaman pasien sehingga
akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga
dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’
dikenal dengan peneliti budaya kesehatan.

Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan


“dunia moral lokal” terhadap masalah “ekologi”. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre,
seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan
lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan
membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan
terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya
menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett,
1971:24).

Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap
pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan
jaringan hubungan dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut
kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat
mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan
mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka.

Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli
peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai
sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang
istimewa.

Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana


ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di
dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena
itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan
aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial.

Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena


dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu
penelitian terhadap sejarah petani di India.

Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis


sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya
yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas’ yang
selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan
melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya.

Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana


ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana,
permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera
naratif yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan
lahir seperti halnya novel.

Dari arah-arahan baru fenomenologi tersebut, penelitian budaya semakin


menunjukkan kecerahan. Penelitian budaya dapat memanfaatkan- pendekatan
fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut
peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti.
Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu
budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh,
1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenome-
nologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua,
fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran.

Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini


berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan
persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu,
baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu
merupakan tonggak terjadinya penafsiran.

Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi
penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana
adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan
maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman.

Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya,
sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough
(Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan
hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan.
Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan
partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang
kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.

You might also like