Professional Documents
Culture Documents
TEORI KONFLIK
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memliki
fungsi positif, maka konflik menjadi dinamika sejarah manusia (karl marx 1880/2003; Ibnu
Khaldum, 1332-1406), selanjutnya konflik beralaih sampai pada bagian proses pemenuhan
kebutuhan manusia.
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat
dalam perbedaan, pertentang, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam proses
itulah terkadang kita diperhadapkan pada berbagai masalah baik itu menyangkut tentang diri
pribadi maupun dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam masyarakat tumbuh berbagai
kepentingan yang begitu komplekss dan memerlukan tindakan tertentu dalam pemenuhannya.
Keadaan yang saling berbenturan terkadang harus membutuhkan penyelesaian yang rumit dan
membutuhkan waktu yang lama. Timbulnya perbedaan pandangan dan paradigma dari masing-
masing kelompok yang ada memicu munculnya ertikaian dan sengketa dalam diri mereka.
Kejadian itulah yang di subut konflik.
Konflik selalu erat kaintannya dengan kehidupan manusia yang menganut paham sosialis.
Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya sering kali terjadi
salah penafsiran terhadap simbol atau makna yang disampaikan. Karena melalui komunikasi
yang kurang harmonis dari masing-masing anggota masyarakat itulah yang akan menjadi pemicu
terjadinya konflik. Sejarah menunjukan bahwa sejak mulai dari proses penciptaan manusia
pertama (Adam) konflik sudah mulai terjadi. Ketika itu iblis yang diperintah oleh sang Khalik
untuk dan patuh kepada adam dengan lantang dan jelas iblis menolak dan tidak mengakui bahwa
Adam adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa. Iblis dengan beraninya bersumpah selama manusia ada di muka bumi maka
selama itu pula ia akan menjadi musuh manusia yang nyata.
Toeri konflik dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam
masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat
membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang
berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bertanding.
Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan –kekuatan yang saling berlomba
dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social
disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan
kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama
(consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, consensus itu
merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai.
Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik
secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh
gerakan-gerakan sosial dari individu maupun kelompok sosial yang menjadi bagian dari
masryarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunis bisa munculdalam bermacam-
macam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan
hidup, dan kepentingan merebut kepentingan politik (kekuasaan). Sesungguhnya konflik itu
dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik
samapai masa kontemporer.
Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan
oleh Karl Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas. Antara
kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, Kepala serikat
pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang ditekan selalu bertentangan
(konflik) dan tidak terputus. (The Manifesto dikutip dari PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas
bersifat inheren dan terus menerus. Penekanan itu dapat berupa penindasan. Marx juga melihat
bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang
bersifat saling menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan
Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx
tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi
270). Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki
alat–alat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis. Penindasan
ini akhirnya menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan
melahirkan revolusi proletariat yang berujung pada lahirnya konflik.
Studi konflik dalam perspektif konstruksi sosial merupakan langkah cukup menantag,
dan beresiko. Karena analisis proses sosial ini akan mengeksplor konflik dengan memasukkan
analisis proses sosial (historisme) dari kenyataan masyarakat atau proses dialektika kenyataan
sosial. Konstruksi sosial dalam sosiologi merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi
pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika kenyataan.
Perspektif konstruksi sosial dikembangkan secara khusus oleh seseorang sosiologi
perdamaian bernama John Paul Lederach. Lederach memusatkan analisis konfliknya pada
dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Ada tujuh asumsi yang ditulisnya dalam
Preparing fo rpeace conflict transformation across culture (1996:9-10) yaitu:
1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah: suatu pengalaman-pengalaman umum
yang hadir di setiap hubungan dan budaya
2. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial
3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan
makna bersama
4. Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi,
ekspresi dan niatan-niatan
5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu sosial
seperti situasi kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka
6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skem yang digunakan oleh
sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkn mengekspresikan dan merespons kenyataan
sosial disekitar mereka.
7. Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari
kesadaran.
D. Pendekatan Konflik Komunal
Menurut Giddes dalam (Susan, 2009: 84) menyatakan persoalan konflik dalam
masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat etnisitas dan ras sebagai satu
kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis disebut pendekatan
primodial yang melihat konflik sebgai akibat dari pergesaran kelompok kepentingan identitas,
seperti identitas berbasis etnis dan keagamaan. Teori ini memahami konflik sebagai akibat
bertemunya berbagai budaya, ras, dan geografis yang melahirkan identitas dan
ketidaksetiakawanan.
Menurut isaach pendekatan konflik primodial melihat identitas etnis, ras, agama, bahasa,
dan lain-lainnya adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah, yang terbetuk melalui proses yang
panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang lama pula. Kesadaran budaya yang
terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar seperti keluarga, keyakinan
kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya menjadi fondasi yang sangat kuat
dan sulit untuk dihilangkan.
E. JENIS DAN TIPE KONFLIK
Pada dasarnya ada dua jenis konflik, pertama, dimensi vertikal atau ”konflik atas”, yang
dimaksud adalah konflik antara elit dan massa (rakyat). Elite di sini bisa para pengambil
kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnin atau para militer. Hal yang menonjol dalam konflik
ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa.
Kedua, konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam
kurun waktu lima tahun terakhir (sejak pertengahan 90-an), setidak-tidaknya dirasakanada dua
jenis konflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya: (1) konflik antara agama, khususnya
antara kelompok agama Islam dan dan kelompok agama Nasrani (protestan dan katolik). Konflik
jenis mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, jakarta, dan beberapa daerah lainnya. (2)
konflik antara suku. Khususnya antara suku jawa dan di luar pulau jawa. Selain itu muncul pula
kasus seperti konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat, dan lain-
lain.
Selain jenis konflik kita perlu menganal istilah tipe konflik yang akan menggambarkan
persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik,
konflik laten, konflik terbuka, dan konflik dipermukaan (Fisher, 2001). Tanpa konflik
menggambarkan situasi yang tampak stabil, hubungan-hubungan antara kelompok bisa saing
memenuhi dan damai.
Konflik laten adalah suatu keadaan yang didalamnya terdapat banyak persoalaan, sifatnya
tersembunyi dan, perlu diangkat kepermukaan agar bisa ditangani. Kehiudpan masyarakat yang
tampak stabil belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tersebut tidak terdapat
permusuhan atau pertentangan. Kenyataan ini kita temukan dalam masyarakat Orde Baru.
Masyarkat Orba tampak harmonis, damai dan kecilnya tingkat pertentangan diantara angota-
anggota masyarakat baik dalam dimensi ekonomi, etnis, maupun agama. Akan tetapi, di balik
stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata tedapat konflik laten yang begitu
besar. Hal ini terbuktikan ketika Orba dan struktur kekuasaanya runtuh, berbagai konflik laten
dalam dimensi etnis, keaagamaan, dan separatisme merbak seperti jamur di musim hujan.
Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul kepermukaan yang
berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar
penyebab dan berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon (1999), di Kalimantan Barat (1999)
dan juga di Poso Sulawesi. Pada situasi konflik terbuka muncul pihak-pihak berkonflik yang
semakin banyak dan aspirasi yang berkembang cepat bagaikan epidemi.
Konflik dipermukaan: memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya
karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
(dialog terbuka). Contoh dari konflik dipermukaan ini bisa kita lihat perkelahian antar SMA,
kekerasan yang muncul sering kali hanya disebabkan kesalhpahaman komunikasi. Saling melirik
ketika mereka berpapasan di jalan bisa menjadi permasalahan yang berkembang ke tawuran
massal.
2. TEORI SISTEM
berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan
proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas
fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel
dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan
bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan
cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu
benda.
Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi
teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara
konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus
terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-
definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.
Kata sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak hal. Namun secara garis
besarnya Shrode dan Voich (1974) melihat bahwa suatu sistem memiliki konotasi penting.
Pertama, menunjuk pada suatu benda (entitas) atau benda yang memiliki tata aturan atau
menunjuk pada suatu rencana, metode, alat, atau tata cara untuk mencapai sesuatu (Amrin,
1986). Shrode dan Voich (1974 : 122) mengemukakan pengertian sistem sebagai berikut: :
common objectives of the whole , within a complexs environment”. (Amrin, 1974 : 11).
Suatu sistem adalah serangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan,
bekerja dengan bebas dan bersama-sama dalam pencapaian tujuan umum keseluruhan,
Pengertian yang dikemukakan oleh Shrode dan Voich ini merupakan pengetian yang
(boundaries) dengan lingkungannya. Batas ini tidak berarti bahwa sistem tersebut
lingkungan.
A. Teori Sistem
Argument dari teori sistem adalah bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat
diperlakukan diluar konteks keseluruhan. Teoritisi sistem menolak ide bahwa masyarakat
atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus diperlakukan sebagai fakta sosial
yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari proses-proses pada
tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendefinisikan fokus tersebut: Jenis
sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan elemen-elemen
atau komponen-komponen secara langsung atau tidak langsung berkaitan didalam jaringan
beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil didalam periode waktu
(Buckley, 1967:41).
membantu untuk memahami teori sistem yang ada di dalam sosiologi, paling tidak
sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem antara lain adalah Aguste Comte, Herbert
Spenser, Emile Durkheim, Karl Mark, Talcott Parsons, dan lain-lain. Berikut akan
1. Auguste Comte.
ikatan-ikatan sosial, misalnya yang terjadi di dalam pembagian kerja ekonomi. Semakin
luas pembagian kerja, maka semakin tinggi individualisme, tetapi juga semakin tinggi
masyarakat seperti organisme hidup. Ini dapat diartikan bahwa di dalam dinamika hidup,
masyarakat itu terus berlangsung dan dapat bertahan sebagaimana kelangsungan hidup
organisme. Setiap bagian unsur akan saling mempengaruhi, saling memerlukan, saling
sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah
bagian-bagian yang saling tergantung (Johnson, 1986: 82). Perspektif organik tersebut
secara totalitas bukan pada saat sebagai suatu kenyataan kumolan individu-individu.
kelompok masyarakat.
pada stabilitas sosial. Keteraturan sosial akan terancam oleh berbagai hal seperti
anarkhi sosial, moral, intelektual, akan tetapi stabilitas sosial akan selalu diperkuat
kembali. Dasar utama keteraturan sosial menurut Comte adalah keluarga, bukan
2. Spenser
Pemerintahan sebagai suatu sistem organisme berdiri sendiri serta berevolusi dibawah
sistem didtribusi seperti fungsi pembuluh, atau seperti infrastruktu jaringan komunikasi-
komunikasi.
perubahan politik Negara yang cukup drastis akan merubah kesejahteraan keluarga,
sendiri bukan suatu yang dapat diterima bigitu saja. Namun dapat diakui bahwa
3. Karl Mark
masyarakat dan kapitalis yang mempunyai hubungan antar kelas. Tentang stuktur
sosial, Mark menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan
kondisi material dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan
selanjutnya membawa perubahan sosial. Adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi
material dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Konflik-konflik yang terjadi tersebut
tidak dapat dihilangkan didalam suatu sitem. Akan tetapi sesuai dengan pandangan
4. Talcott Parson
lain, Parson menerima banyak kritik pula atas teori fungsionalismenya tersebut. Parson
dipandang tidak proporsional didalam membahas masyarakat. Dia terlalu berpusat pada
peran bagi unsur-unsur normatif yang akan mengatur perilaku sosial.individu yang akan
menjamin stabilitas sosial. Parson terlalu percaya bahwa sistem sosial memiliki
kecenderungan mencapai stabilitas sosial (equilibrium) melalui consensus-konsensus
luar. Pandangan seperti ini telah mengabaikan pandangan bahwa disfungsi, konflik, dan
Penggunaan pendekatan sistem oleh Parsons yang lainnya antara lain mengenai
pendapatnya tentang realitas sosial. Pada mulanya Parsons berpendapat bahwa realitas
sosial adalah “action” yang berarti tindakan manusia yang disertai adanya kesadaran,
kemauan. Ini berbeda dari arti “behavior” yang hanya mengandung satu gerak fisik saja.
sosial” seseorang bukan merupakan satu-satunya realitas dalam kehidupan sosial. Akan
tetapi ”situasi sosial” pelaku (aktor) , yakni seluruh variabel-variabel bebas seperti umur,
jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, nilai-nilai dan sebagainya menjadi sasaran
analisis. Pendapat ini menunjukan bahwa konsep relasional, yaitu sistem sosial berlaku.
jaringan dari peranan-peranan sosial yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat
seperti peran dokter, ibu rumah tangga, petani, dosen, dan lain-lainnya. Dengan
mengambil bagan masyarakat sebagai sistem sosial dari Cannon yang mengemukakan
sosiologinya dua cirri khas: a) konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan
keseimbangan, adalah cirri utama dari tiap-tiap sistem sosial, (Veeger, 1990: 202).
3. TEORI INTRAKSI SIMBOLIK
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi
dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”
(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya
nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap
individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial
masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan
pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap
individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang
perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam
konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung
ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96),
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan
tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam
Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk
makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain,
(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut
pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang
dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam
perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan
karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96),
dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan
untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
`Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat
disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer
(1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-
Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep
diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.
Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-
Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang
ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-
asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,
dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte
dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert
Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,
hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana
ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini,
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran
Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam
kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya
kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri
pengamat.
Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu
menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut,
sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada
predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain
termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai
Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah
tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.
Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya
manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan
usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari
suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem
politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan
bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur
menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-
fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat
dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group),
dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.
Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta
pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara
struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari
infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi
sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus
dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi
komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik
menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam
sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli
sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai
keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang
menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu
tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai
contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan
mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu
depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan
menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem
dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya
sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut
keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan
patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
5. TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Teori Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar
dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan
orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan
selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada bagaimana
kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan
menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.
Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian
mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini
juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal,
kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini, selain menjelaskan
mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan mengenai hubungan dalam komunikasi.
Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, “asumsi
dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki dan
tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan merupakan empat
konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121).
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu
hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang
dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan
berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat
berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain
yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang
tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang
yang terlibat didalamnya.
3. Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu
merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang
mendatangkan laba.
4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria
dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka
baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat
perbandingannya menurun.
2. Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek
psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.
3. Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan terbaik untuk bersaing dalam
situasi menguntungkan.
1. Perspektif Fenomenologi
Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan
menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan
rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang
menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan
dibanding teori-teori melulu.
(a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu
bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa
diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek
inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-
kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan
akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values
free.
Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas
harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam
perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a)
fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya
pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan,
penyaringan untuk menentukan keberadaan, penggambaran gejala (refleksi), (c)
fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.
Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam
merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan
adalah aspek subyek dari perilaku orang.
Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya
sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang
mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari. Makhluk hidup
tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan
orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.
Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari perilaku
budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa
sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam
hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan
pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara
mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk
memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas.
Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para
ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan
kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan
kebudayaan yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh
perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya
seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut
benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3)
menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda
kriterianya.
Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya
memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to
life to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan
pendekatan etnosains sebagai salah satu alternatif.
Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan.
Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui
seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat
diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan,
khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial.
Tujuan utamanya adalah mencari prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam
undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan.
Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan
sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”,
yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini,
para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai
macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku
manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka
peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si
peneliti kemudian mencari tema budaya.
Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk
menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kaitannya dengan penyakit
pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihubungkan dengan pengalaman pasien sehingga
akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga
dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’
dikenal dengan peneliti budaya kesehatan.
Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap
pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan
jaringan hubungan dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut
kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat
mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan
mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka.
Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli
peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai
sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang
istimewa.
Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi
penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana
adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan
maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman.
Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya,
sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough
(Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan
hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan.
Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan
partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang
kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.