Professional Documents
Culture Documents
1. Input
Berdasarkan pengalaman pembelajaran Al Quran terdapat fakta bahwa tingkat
kemampuan murid sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya bimbingan orangtua, lingkungan, dan tingkat kecerdasan murid. Pencapaian
prestasi murid dalam kurun waktu tertentu dalam satu kelompok pembelajaran berbeda-
beda. Sebagian murid mencapai prestasi cepat, sebagian sedang dan sebagian lagi lambat.
Murid yang mencapai prestasi lambat bukan berarti murid tersebut tidak mampu untuk
membaca Al Quran dengan baik dan benar. Murid tersebut hanya membutuhkan
pembiasaan dan waktu yang lebih.
2. Kompeksitas Materi
Metode Tartili telah disusun sedemikian rupa agar memberikan kemudahan bagi anak
untuk belajar membaca Al Quran. Materi yang terdapat dalam setiap jilid disusun dengan
sistematika dari materi yang sederhana, meningkat materi yang sedang, disusul materi
yang kompleks. Penulis tidak menggunakan istilah mudah, sedang, dan sulit karena
keyakinan tidak ada yang sulit dalam mempelajari Al Quran. Sistematika ini
menunjukkan adanya peningkatan kompleksitas materi di setiap jilid Tartili. Semakin
tinggi jilid Tartili, materi yang disajikan semakin kompleks dengan banyak konsep,
hukum bacaan dan tadribat (latihan).
3. Sarana Prasarana
Situasi dan kondisi kelompok pembelajaran Al Quran sangat beragam. Hal ini
disesbabkan adanya perbadaan sarana prasarana yang ada. Perbedaan ini menuntut
penyesuaian metode yang digunakan oleh guru dalam setiap kelompok. Kondisi setiap
kelompok tidak bisa disamaratakan dan mempengaruhi prestasi yang dicapai oleh murid.
Berdasarkan latar belakang dan evaluasi di atas, maka perlu disusun Program Semester
yang memperhatikan kemampuan anak yang beragam, kompleksitas materi dan kondisi
kelompok. Kelompok yang disusun pada awal semester memiliki pencapaian prestasi
yang beragam. Apabila program semesternya diseragamkan/disamaratakan maka ada
sebagian kelompok yang telah melewati program semester, ada yang sesuai, dan ada
sebagian yang lain kurang dari program semester. Berarti program semester tidak bisa
mengakomodir kemampuan murid yang lebih dan akan menyulitkan bagi murid yang
memiliki prestasi lebih lambat.
Solusi yang ditawarkan adalah dengan menyusun program semester dalam tiga tingkatan
yaitu :
Program pembelajaran yang disusun dalam program semester disusun bersama oleh tim.
Program ini diturunkan menjadi program semester kelompok yang disusun oleh
pengampu masing-masing kelompok. Mekanisme ini memungkinkan setiap kelompok
memiliki program sesuai dengan situasi dan kondisi kelompoknya dengan pencapaian
prestasi yang jelas dan realistis bagi anggota kelompok tersebut.
1. Program Reguler
2. Program Bimbingan Belajar
A. PENDAHULUAN
Program Pembinaan Al Quran Intensif adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang
terarah, sistematis, dan berjenjang untuk membantu murid mencapai kemampuan
membaca dan menghafal Al Quran yang berkualitas.
Kegiatan pembelajaran yang terarah berarti kegiatan pembelajaran Al Quran yang
memiliki tujuan dan terget yang jelas sesuai dengan kemampuan murid. Sistematis berarti
memiliki alur pembelajaran yang terstruktur dan terorganisir dengan administrasi yang
rapi. Berjenjang berarti murid mengikuti pembelajaran yang bertahap agar mengalami
peningkatan kemampuan dan kualitas.
B. TUJUAN
1. Murid mampu membaca Al Quran dengan baik dan benar
2. Murid menguasai ilmu tajwid
3. Murid terbiasa membaca Al Quran dan memiliki rutinitas tadarus baik di rumah
maupun di sekolah
4. Murid mampu menghafal Al Quran dengan mudah melalui proses tahsin.
C. PESERTA
1. Murid kelas III semester 1 Tahun Pelajaran 2010/2011 yang telah lulus Tartili jilid 6.
2. Murid kelas II semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011 yang telah lulus Tartili jilid 6
3. Murid kelas I Tahun Pelajaran 2010/2011 sebagai calon peserta
D. BENTUK KEGIATAN
1. Khotmil Quran
a. Kelompok Tahsin Tadarus Reguler untuk murid dengan kemampuan membaca Al
Quran dengan kriteria B.
b. Kelompok Tadarrus Mandiri untuk murid dengan kemampuan membaca Al Quran
dengan kriteria A.
Kriteria A : Murid mampu membetulkan bacaan sendiri setelah ditegur
Kriteria B : Murid mampu membetulkan bacaan sendiri setelah diingatkan
konsep
2. Tahfidul Quran juz 30-29
a. Kelompok tahfidz juz 30
b. Kelompok tahfidz juz 29 + muroja’ah juz 30
E. ALUR PROGRAM/SISTEMATIKA
1. Kelompok Khotmil Quran
Kelas III Tahun Pelajaran 2010/2011
Gambar 1
Gambar 3
F. STRATEGI
a. Tartili
1. Pemahaman konsep Tartili dan percepatan waktu tempuh
2. Dinamisasi kelompok Tartili (kemampuan homogen)
3. Kelompok kecil atau sedang
4. Jilid 6 mulai dikenalkan dengan mushaf Al Quran
b. Khotmil Quran
1. Penyeragaman mushaf Al Quran
2. Alat peraga konsep tajwid
3. Menyeimbangkan antara membaca klasikal dan individual
4. Worksheet
5. Lembar tajwid
6. Lembar muhasabah (pantauan orang tua)
7. Pagi ceria
c. Tahfidzul Quran
1. Tahsin surat yang dihafal
2. Hafalan mandiri
3. Muroja’ah dan menyimak
4. Pagi ceria
G. PROGRAM MATERI
1. Khotmil Quran Kelas III
Al Quran Mushaf Baghdadi
- 30 Juz x 8 lembar = 240 lembar
- 30 Juz x 16 halaman = 480 halaman
a. Tahap Reguler
1) Ilmu tajwid dan tahsin tadarrus
4 pekan (20 TM) x 2 hal : 40 halaman
2) Ghorib dan tahsin tadarrus
2 pekan (10 TM) x 2 hal : 20 halaman
b. Tahap Mandiri
1) Makhorijul huruf dan tahsin tadarrus regular
28 pekan (140 TM) x 2 hal : 280 halaman
2) Tadarrus mandiri (rumah)
28 pekan (140 HE) x 2 hal : 140 halaman:
480 halaman
gambar 4
Gambar 5
Analisis SWOT
Analisis Proses
1. Alat peraga sama dengan buku baik jumlah maupun isinya, namun ada beberapa
halaman yang berbeda isinya karena buku mengalami revisi sedangkan alat
peraga tetap.
Permasalahan :
- Jumlah halaman peraga yang banyaknya sama dengan halaman buku menyebabkan
pengkhataman alat peraga berlangsung lama (membutuhkan banyak pertemuan), jika satu
pertemuan membaca peraga 4 halaman dengan Teknik 1 (guru membaca murid
mendengarkan) dan Teknik 2 (guru membaca murid menirukan) maka satu kali khatam
peraga dalam ±12 pertemuan. Khatam peraga 3 kali dengan Teknik 1 dan 2 membuthkan
36 pertemuan. Teknik 3 (guru membaca murid membaca) baru digunakan pada
pertemuan ke-37 sampai 60.
- Murid kesulitan pada saat klasikal alat peraga dengan Teknik 2 (guru membaca murid
menirukan) karena kalimat pada halaman-halaman akhir peraga panjang dan kompleks
- Murid yang merasa kesulitan kurang tertarik untuk mengikuti pembelajaran klasikal
sehingga pembiasaan membaca tidak tercapai
- Guru kelelahan untuk melakukan Teknik 1 dan Teknik 2 sedangkan hasilnya kurang
efektif
Pemecahan :
- Setiap jilid peraga Tartili dibagi menjadi 2 yakni peraga a dan b. Jumlah halaman
peraga a dan b masing-masing separuh jumlah halaman peraga.
- Klasikal alat peraga dengan membaca peraga a terlebih dahulu secara berulang-ulang,
baru kemudian peraga b. Tujuannya agar pengulangan halaman awal untuk melancarkan
bacaan murid tidak perlu menunggu waktu yang lama.
- Pertemuan ke-19 sampai 30 atau sampai murid membaca buku halaman akhir peraga
a, klasikal peraga a menggunakan Teknik 3. Khatam peraga a dengan Teknik 3 sebanyak
4 kali khatam (1 pertemuan 8 halaman klasikal peraga)
- Dilanjutkan klasikal peraga b pada pertemuan ke-31 sampai 60 dengan cara yang
sama. Contoh penerapannya dapat dibaca pada tulisan sebelumnya Skenario
Pembelajaran Al Quran.
Pemecahan :
- Guru membaca dengan suara sedang sampai terdengar oleh murid terjauh. Tujuannya
agar tidak berbenturan dengan kelompok lain dan tidak terlalu lelah
- Murid menirukan dengan suara sedang, jika terlalu keras guru mengingatkan
- Posisi duduk murid memungkinkan menjangkau atau melihat alat peraga dengan jelas.
Guru menunjuk tulisan/kalimat untuk membantu murid dalam membaca
- Guru memberikan perhatian yang menyeluruh kepada seluruh murid. Tekun
memberikan motivasi agar murid aktif dalam klasikal.
- Guru memberikan pujian langsung kepada murid yang aktif dan bersungguh-sungguh
- Berikan jeda beberapa saat antar halaman pada saat membaca dengan Teknik 2.
B. Baca simak
1. Klasikal buku
Permasalahan :
- Isi halaman pada buku ada yang tidak sama, baik kalimat maupun urutannya
Pemecahan :
- Jika isi halaman tidak sama, maka klasikal baca simak menggunakan alat peraga
- Guru mempunyai buku Tartili untuk mengatasi murid yang tidak membawa
Permasalahan :
- Suara murid pelan, tidak keluar suaranya sehingga tidak bisa didengar oleh murid lain.
Mayoritas terjadi pada murid perempuan
Pemecahan :
- Murid yang pelan suaranya, diposisikan paling dekat dengan guru. Berikan motivasi
dan contoh suara jelas.
- Berikan ice breaking jika murid merasa bosan dan tidak konsentrasi
- Murid yang bercakap-cakap atau bermain sendiri ditangani dengan arif dan tegas
- Mintalah murid untuk menunjuk kalimat yang dibaca dengan menggunakan alat atau
dengan jari. Ini akan membantu murid untuk mengikuti baca simak.
- Murid yang keliru membaca segera diluruskan, ulangi konsep dengan singkat dan
jelas
- Manajemen waktu
Seperti disinggung Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta), potret penurunan
kualitas pendidikan tidak lepas dari sejarah. Yakni, ketika bangsa Indonesia kehilangan
momentum penting guna membangun dunia pendidikannya. Setelah merdeka, Indonesia
sibuk dengan persoalan politik.
Padahal, di negara lain, seperti Jepang, selepas perang justru dimanfaatkan guna
membangun sistem pendidikannya, terutama kualitas para gurunya.
Di tataran itu, kita bisa katakan kebijakan politik telah menjadi penyebab menurunnya
kualitas pendidikan. Jelasnya, pada masa Orde Baru (Orba), hal penting yang lebih
diperhatikan ialah eksploitasi sumber daya alam (SDA) ketimbang pembangunan
intelektual melalui pendidikan. Akibatnya, pendidikan Indonesia kurang diperhatikan.
Pada gilirannya, kelak terjadi pula kemandekan (stagnasi) pemikiran pendidikan.
Selama ini, disadari atau tidak, pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur tidak
kita perhatikan. Ironisnya, kita justru bangga dengan menerima barang jadi dari Amerika,
Eropa, atau Australia. Padahal, pemikiran-pemikiran dari budaya Timur, seperti Ki
Hadjar Dewantara (Taman Siswa-Yogyakarta), Mohammad Sjafei (INS Kayutanam-
Padang), KH Imam Zarkasyi (Pondok Modern Gontor-Ponorogo), atau lainnya cukup
bagus.
Itu terbukti bahwa UNESCO kini justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti
yang digagas-bangun Ki Hadjar atau Sjafei. Untuk itulah, tanpa adanya keberpihakan
politik (political will), pemikiran dari tokoh-tokoh lokal ataupun ide-ide pendidikan yang
bersumber dari khasanah budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Jika hal itu tidak
direspon, kelak fenomena kemandekan pemikiran pendidikan masih terjadi di masa-masa
mendatang.
Apalagi sejak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wajib Belajar itu terbit, pemerintah
pusat maupun daerah dituntut harus mampu memberikan perhatian selain pendidikan
formal, yakni pendidikan informal dan nonformal. Dalam hal ini, pendidikan seyogianya
juga melibatkan pihak keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan itu bersifat terbuka dan komponen pelaksananya ialah sekolah, keluarga, dan
masyarakat.
Ketiganya, pada hemat saya, perlu bersinergi dalam membenahi kondisi pendidikan yang
belakangan sudah melenceng dari jalur idealnya. Betapa tidak, saat ini masyarakat
cenderung melimpahkan tugas mendidik anak-anak kepada pihak sekolah. Padahal, pihak
sekolah (dalam hal ini guru di kelas) tidak sepenuhnya sanggup melaksanakan tugas
tersebut. Kondisi yang demikian, jelas pada umumnya sangat merugikan pihak sekolah.
Idealnya, pendidikan di sekolah berjalan efektif; dan pada gilirannya akan menciptakan
kondisi pembelajaran kreatif. Murid akan aktif dan guru menjadi fasilitator. Adapun
sumber belajar tak lagi terbatas pada buku pelajaran atau hanya di dalam ruang kelas.
Kelak, dengan pola tersebut diharapkan terjadi proses produksi pengetahuan sehingga
prinsip penyelenggaraan pendidikan yang membaharui seperti diatur dalam UU
Sisdiknas, dapat terlaksana.
Namun, kondisi objektif berkata lain. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum, pendidikan
kita masih terjebak pada fakta lama, bukan fakta baru. Maksudnya, konsep penguasaan
yang dibidik pendidikan kita masih mengacu pada temuan pakar terdahulu. Sementara
penemuan fakta baru yang sesungguhnya lebih bisa membuat siswa menjadi kreatif tidak
digunakan. Akibatnya, mutu pendidikan cenderung menurun dan menurun.
Ironis, konsep tersebut masih banyak diterapkan hingga saat ini, sejak dari jenjang
pendidikan dasar (SD-SMP) hingga perguruan tinggi (PT). Suatu konsep di mana siswa
(juga mahasiswa) terus dimasuki berbagai ilmu tanpa berusaha mengajak mereka mencari
sesuatu yang baru. Dalam filsafat kuno, siswa (juga mahasiswa) lebih banyak diberikan
ikan ketimbang kail. Akibatnya, mereka cenderung pasif dan menunggu tambahan ilmu
dari guru (juga dosen).
Jika demikian halnya, tugas untuk mengubah konsep pendidikan dari yang semula
tradisional menjadi modern ialah menjadi kewajiban semua pihak. Guru menjadi faktor
penggerak utama, yakni dengan menjadi inspirator bagi siswanya. Ini sulit karena guru-
guru kita sudah terbiasa patuh pada aneka peraturan, seperti juklak (petunjuk
pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis). Bagaimanapun, guru tetap perlu didorong
untuk melakukan perubahan tersebut.
Dengan begitu, kualitas pendidikan di Tanah Air perlahan namun pasti akan menjadi
lebih baik. Jika pemerintah memang memiliki komitmen, segeralah wujudkan komitmen
itu dalam bentuk strategi ekstrem yang lebih mengedepankan proses dan perbaikan
infrastruktur. Program pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru ialah salah
satu contohnya. Keduanya amat penting dalam mewujudkan kualitas pendidikan kita saat
ini.[]