You are on page 1of 15

Latar Belakang

1. Input
Berdasarkan pengalaman pembelajaran Al Quran terdapat fakta bahwa tingkat
kemampuan murid sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya bimbingan orangtua, lingkungan, dan tingkat kecerdasan murid. Pencapaian
prestasi murid dalam kurun waktu tertentu dalam satu kelompok pembelajaran berbeda-
beda. Sebagian murid mencapai prestasi cepat, sebagian sedang dan sebagian lagi lambat.
Murid yang mencapai prestasi lambat bukan berarti murid tersebut tidak mampu untuk
membaca Al Quran dengan baik dan benar. Murid tersebut hanya membutuhkan
pembiasaan dan waktu yang lebih.
2. Kompeksitas Materi
Metode Tartili telah disusun sedemikian rupa agar memberikan kemudahan bagi anak
untuk belajar membaca Al Quran. Materi yang terdapat dalam setiap jilid disusun dengan
sistematika dari materi yang sederhana, meningkat materi yang sedang, disusul materi
yang kompleks. Penulis tidak menggunakan istilah mudah, sedang, dan sulit karena
keyakinan tidak ada yang sulit dalam mempelajari Al Quran. Sistematika ini
menunjukkan adanya peningkatan kompleksitas materi di setiap jilid Tartili. Semakin
tinggi jilid Tartili, materi yang disajikan semakin kompleks dengan banyak konsep,
hukum bacaan dan tadribat (latihan).
3. Sarana Prasarana
Situasi dan kondisi kelompok pembelajaran Al Quran sangat beragam. Hal ini
disesbabkan adanya perbadaan sarana prasarana yang ada. Perbedaan ini menuntut
penyesuaian metode yang digunakan oleh guru dalam setiap kelompok. Kondisi setiap
kelompok tidak bisa disamaratakan dan mempengaruhi prestasi yang dicapai oleh murid.

Evaluasi Program Semester tahun lalu


• Hanya mengakomodir satu tingkat kemampuan anak, yaitu kemampuan sedang dengan
pencapaian standar 6 jilid diselesaikan dalam 5 semester.
• Disusun tidak berdasarkan data prestasi murid sehingga program semester yang ada
menyeragamkan kemampuan murid
• Sebaran materi kurang proporsional di setiap semester/kurang memperhatikan
kompleksitas materi
• Ada penumpukan materi di jilid atas pada semester tertentu. Sedangkan materi di jilid
atas memuat materi yang lebih kompleks.
Alternatif Solusi

Berdasarkan latar belakang dan evaluasi di atas, maka perlu disusun Program Semester
yang memperhatikan kemampuan anak yang beragam, kompleksitas materi dan kondisi
kelompok. Kelompok yang disusun pada awal semester memiliki pencapaian prestasi
yang beragam. Apabila program semesternya diseragamkan/disamaratakan maka ada
sebagian kelompok yang telah melewati program semester, ada yang sesuai, dan ada
sebagian yang lain kurang dari program semester. Berarti program semester tidak bisa
mengakomodir kemampuan murid yang lebih dan akan menyulitkan bagi murid yang
memiliki prestasi lebih lambat.

Solusi yang ditawarkan adalah dengan menyusun program semester dalam tiga tingkatan
yaitu :

1. Prosem Reguler untuk murid dengan kemampuan sedang


2. Prosem Bimbingan Belajar untuk murid dengan kemampuan lambat
3. Prosem Bina Prestasi untuk murid dengan kemampuan cepat.

Program ini diharapkan dapat mewujudkan pembelajaran Al Quran berbasis inklusi.


Pembelajaran inklusi yang diterapkan adalah program inklusi dalam arti luas. Artinya
pembelajaran yang diterapkan adalah proses pembelajaran yang terbuka terhadap semua
karakter dan kemampuan muid. Proses yang dijalankan sejauh mungkin dapat
mengakomodir semua tingkat kemampuan murid dan mendorong prestasi murid yang
lebih baik. Program pembelajaran Al Quran inklusi ini didukung dengan metode yang
bervariatif dan sesuai dengan situasi kondisi kelompok pembelajaran Al Quran.

Program pembelajaran yang disusun dalam program semester disusun bersama oleh tim.
Program ini diturunkan menjadi program semester kelompok yang disusun oleh
pengampu masing-masing kelompok. Mekanisme ini memungkinkan setiap kelompok
memiliki program sesuai dengan situasi dan kondisi kelompoknya dengan pencapaian
prestasi yang jelas dan realistis bagi anggota kelompok tersebut.

Sebaran Materi untuk Program Pembelajaran Al Quran Berbasis Inklusi

1. Program Reguler
2. Program Bimbingan Belajar

3. Program Bina Prestasi

A. PENDAHULUAN
Program Pembinaan Al Quran Intensif adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang
terarah, sistematis, dan berjenjang untuk membantu murid mencapai kemampuan
membaca dan menghafal Al Quran yang berkualitas.
Kegiatan pembelajaran yang terarah berarti kegiatan pembelajaran Al Quran yang
memiliki tujuan dan terget yang jelas sesuai dengan kemampuan murid. Sistematis berarti
memiliki alur pembelajaran yang terstruktur dan terorganisir dengan administrasi yang
rapi. Berjenjang berarti murid mengikuti pembelajaran yang bertahap agar mengalami
peningkatan kemampuan dan kualitas.

B. TUJUAN
1. Murid mampu membaca Al Quran dengan baik dan benar
2. Murid menguasai ilmu tajwid
3. Murid terbiasa membaca Al Quran dan memiliki rutinitas tadarus baik di rumah
maupun di sekolah
4. Murid mampu menghafal Al Quran dengan mudah melalui proses tahsin.

C. PESERTA
1. Murid kelas III semester 1 Tahun Pelajaran 2010/2011 yang telah lulus Tartili jilid 6.
2. Murid kelas II semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011 yang telah lulus Tartili jilid 6
3. Murid kelas I Tahun Pelajaran 2010/2011 sebagai calon peserta

D. BENTUK KEGIATAN
1. Khotmil Quran
a. Kelompok Tahsin Tadarus Reguler untuk murid dengan kemampuan membaca Al
Quran dengan kriteria B.
b. Kelompok Tadarrus Mandiri untuk murid dengan kemampuan membaca Al Quran
dengan kriteria A.
Kriteria A : Murid mampu membetulkan bacaan sendiri setelah ditegur
Kriteria B : Murid mampu membetulkan bacaan sendiri setelah diingatkan
konsep
2. Tahfidul Quran juz 30-29
a. Kelompok tahfidz juz 30
b. Kelompok tahfidz juz 29 + muroja’ah juz 30

E. ALUR PROGRAM/SISTEMATIKA
1. Kelompok Khotmil Quran
Kelas III Tahun Pelajaran 2010/2011

Gambar 1

Kelas II Tahun Pelajaran 2010/2011


Gambar 2

2. Kelompok Tahfidz Juz 30 – 29

Kelas IV Tahun Pelajaran 2011/2012

Gambar 3

F. STRATEGI
a. Tartili
1. Pemahaman konsep Tartili dan percepatan waktu tempuh
2. Dinamisasi kelompok Tartili (kemampuan homogen)
3. Kelompok kecil atau sedang
4. Jilid 6 mulai dikenalkan dengan mushaf Al Quran
b. Khotmil Quran
1. Penyeragaman mushaf Al Quran
2. Alat peraga konsep tajwid
3. Menyeimbangkan antara membaca klasikal dan individual
4. Worksheet
5. Lembar tajwid
6. Lembar muhasabah (pantauan orang tua)
7. Pagi ceria
c. Tahfidzul Quran
1. Tahsin surat yang dihafal
2. Hafalan mandiri
3. Muroja’ah dan menyimak
4. Pagi ceria
G. PROGRAM MATERI
1. Khotmil Quran Kelas III
Al Quran Mushaf Baghdadi
- 30 Juz x 8 lembar = 240 lembar
- 30 Juz x 16 halaman = 480 halaman
a. Tahap Reguler
1) Ilmu tajwid dan tahsin tadarrus
4 pekan (20 TM) x 2 hal : 40 halaman
2) Ghorib dan tahsin tadarrus
2 pekan (10 TM) x 2 hal : 20 halaman
b. Tahap Mandiri
1) Makhorijul huruf dan tahsin tadarrus regular
28 pekan (140 TM) x 2 hal : 280 halaman
2) Tadarrus mandiri (rumah)
28 pekan (140 HE) x 2 hal : 140 halaman:

480 halaman

gambar 4

Gambar 5

2. Khotmil Quran kelas II


Gambar 6

Analisis Pembelajaran Al Quran (Metode Tartili)


Memangkas Gap Idealitas dan Realitas
Agustus 26, 2009 Rahmat Safari Tinggalkan komentar Go to comments

Analisis SWOT

Analisis Proses

A. Pembiasaan membaca dengan alat peraga Tartili

1. Alat peraga sama dengan buku baik jumlah maupun isinya, namun ada beberapa
halaman yang berbeda isinya karena buku mengalami revisi sedangkan alat
peraga tetap.

Permasalahan :
- Jumlah halaman peraga yang banyaknya sama dengan halaman buku menyebabkan
pengkhataman alat peraga berlangsung lama (membutuhkan banyak pertemuan), jika satu
pertemuan membaca peraga 4 halaman dengan Teknik 1 (guru membaca murid
mendengarkan) dan Teknik 2 (guru membaca murid menirukan) maka satu kali khatam
peraga dalam ±12 pertemuan. Khatam peraga 3 kali dengan Teknik 1 dan 2 membuthkan
36 pertemuan. Teknik 3 (guru membaca murid membaca) baru digunakan pada
pertemuan ke-37 sampai 60.

- Khatam peraga membutuhkan waktu lama menyebabkan pengulangan membaca


sebagai pembiasaan menjadi kurang efektif karena menunggu menyelesaikan semua
halaman.

- Murid kesulitan pada saat klasikal alat peraga dengan Teknik 2 (guru membaca murid
menirukan) karena kalimat pada halaman-halaman akhir peraga panjang dan kompleks

- Murid yang merasa kesulitan kurang tertarik untuk mengikuti pembelajaran klasikal
sehingga pembiasaan membaca tidak tercapai

- Guru kelelahan untuk melakukan Teknik 1 dan Teknik 2 sedangkan hasilnya kurang
efektif

Pemecahan :

- Setiap jilid peraga Tartili dibagi menjadi 2 yakni peraga a dan b. Jumlah halaman
peraga a dan b masing-masing separuh jumlah halaman peraga.

- Klasikal alat peraga dengan membaca peraga a terlebih dahulu secara berulang-ulang,
baru kemudian peraga b. Tujuannya agar pengulangan halaman awal untuk melancarkan
bacaan murid tidak perlu menunggu waktu yang lama.

- Khatam alat peraga a 1 kali dalam 6 pertemuan menggunakan Teknik 1 dan 2,


kemudian 12 pertemuan berikutnya diulang kembali sampai 2 kali khatam masih
menggunakan Teknik 1 dan 2.

- Pertemuan ke-19 sampai 30 atau sampai murid membaca buku halaman akhir peraga
a, klasikal peraga a menggunakan Teknik 3. Khatam peraga a dengan Teknik 3 sebanyak
4 kali khatam (1 pertemuan 8 halaman klasikal peraga)

- Dilanjutkan klasikal peraga b pada pertemuan ke-31 sampai 60 dengan cara yang
sama. Contoh penerapannya dapat dibaca pada tulisan sebelumnya Skenario
Pembelajaran Al Quran.

1. Teknik klasikal peraga

Permasalahan Teknik 1 (guru membaca murid mendengar) :


- Suara guru kurang lantang

- Guru membaca terlalu cepat

- Murid tidak memperhatikan tulisan pada alat peraga

- Murid bercakap-cakap atau mempermainkan sesuatu

- Suara guru berbenturan dengan suara guru dari kelompok lain

- Tulisan pada alat peraga terlalu kecil

Permasalahan Teknik 2 (guru membaca murid menirukan) :

- Suara murid pelan dan pengucapan kurang jelas

- Murid menirukan tetapi tidak memperhatikan tulisan

- Murid memperhatikan tulisan tetapi tidak ikut menirukan

- Murid pasif, bercakap-cakap atau bermain sendiri

- Murid kesulitan mengikuti karena kalimat panjang dan kompleks

- Suara murid berbenturan dengan suara murid dari kelompok lain

- Guru dan murid kelelahan

Permasalahan teknik 3 (guru membaca murid membaca) :

- Teknik 3 sementara belum dipraktikkan

Pemecahan :

- Guru membaca dengan suara sedang sampai terdengar oleh murid terjauh. Tujuannya
agar tidak berbenturan dengan kelompok lain dan tidak terlalu lelah

- Guru membaca dengan kecepatan menyesuaikan taraf kemampuan murid, panjang


pendek atau komplesksitas kalimat pada peraga.

- Guru melakukan pengulangan jika murid merasa kesulitan mengikuti

- Murid menirukan dengan suara sedang, jika terlalu keras guru mengingatkan

- Posisi duduk murid memungkinkan menjangkau atau melihat alat peraga dengan jelas.
Guru menunjuk tulisan/kalimat untuk membantu murid dalam membaca
- Guru memberikan perhatian yang menyeluruh kepada seluruh murid. Tekun
memberikan motivasi agar murid aktif dalam klasikal.

- Guru memberikan pujian langsung kepada murid yang aktif dan bersungguh-sungguh

- Perlengkapan murid sebaiknya diletakkan di tempat tertentu agar tidak menarik


perhatian murid pada saat klasikal

- Berikan jeda beberapa saat antar halaman pada saat membaca dengan Teknik 2.

B. Baca simak

1. Klasikal buku

Permasalahan :

- Isi halaman pada buku ada yang tidak sama, baik kalimat maupun urutannya

- Murid tidak membawa buku Tartili

- Permasalahan pada klasikal peraga Teknik 1 dan 2

Pemecahan :

- Jika isi halaman tidak sama, maka klasikal baca simak menggunakan alat peraga

- Guru mempunyai buku Tartili untuk mengatasi murid yang tidak membawa

- Pemecahan pada klasikal peraga Teknik 1 dan 2

1. Baca simak buku Tartili

Permasalahan :

- Suara murid pelan, tidak keluar suaranya sehingga tidak bisa didengar oleh murid lain.
Mayoritas terjadi pada murid perempuan

- Murid tidak memperhatikan tulisan

- Murid tidak mendengarkan bacaan teman

- Murid bercakap-cakap atau bermain sendiri

- Murid melamun, bosan karena lelah

- Murid kesulitan membaca karena belum memahami konsep


- Waktu habis sebelum selesai baca simak

Pemecahan :

- Murid yang pelan suaranya, diposisikan paling dekat dengan guru. Berikan motivasi
dan contoh suara jelas.

- Berikan ice breaking jika murid merasa bosan dan tidak konsentrasi

- Murid yang bercakap-cakap atau bermain sendiri ditangani dengan arif dan tegas

- Mintalah murid untuk menunjuk kalimat yang dibaca dengan menggunakan alat atau
dengan jari. Ini akan membantu murid untuk mengikuti baca simak.

- Ajak murid untuk saling mengoreksi bacaan (jika waktu memungkinkan)

- Murid yang keliru membaca segera diluruskan, ulangi konsep dengan singkat dan
jelas

- Manajemen waktu

C. Muroja’ah dan hafalan

1. Muroja’ah tidak terlalu banyak


2. Setoran hafalan dengan sistem penjadwalan (misal 1 pertemuan 2-3 murid setoran
hafalan). Awali dari murid yang hafalannya bagus/lancar. Setoran tidak
ditentukan atau dibatasi jumlah ayatnya.
3. Setoran mulai dari ayat 1 hingga akhir, tidak sepotong-potong
4. Berikan motivasi dan dorongan untuk menghafal
5. Sempatkan minimal 5 menit untuk muroja’ah di setiap pertemuan.

Pendidikan Indonesia, sekarang tidak jongkok,


Melainkan TENGKURAP and NGESOT!!!
Pendidikan di Indonesia saat ini tidak hanya bisa dikatakan jongkok melainkan tengkurap
alias sudah sangat parah. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk
Consultacy (PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia berada diurutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam.
Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada
tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174
negara atau sangat jauh dibandingkan dnegan Singapura yang berada pada urutan ke-24,
Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77
(Satunet.com). hasil penelitian yang lainnya pun juga menggambarkan betapa Negara
Indonesia ini tertinggal jauh dengan negara lain dalam bidang pendidikan. Belum tuntas
dengan ketertinggalan kita diantara Negara lain, pendidikan Indonesia juga dinodai
dengan tinta pekat oleh pelaku pendidikan itu sendiri. Tahun 2007 kita dikagetkan
dengan meninggalnya Cliff Muntu, Praja tingkat II IPDN dalam aksi premanisme dan
kekerasan yang dilakukan oleh senior-seniornya. Sesungguhnya premanisme pendidikan
sudah menjadi tontonan umum di masyarakat kita, satu contoh lagi pada jawapos
20/12/08 diberitakan seorang guru SMP lamongan yang menyuruh muridnya untuk
melayani nafsu bejadnya di tenda. Krisis kejujuran pun juga dialami oleh pendidikan kita.
Data menunjukkan bahwa 18 pengawas, 17 guru, dan seorang kepala sekolah yang
tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG) diminta untuk mengundurkan diri
karena telah membongkar kebocoran UN 2007 (wibowo, 41:2008). Sungguh julukan apa
lagi yang harus kita katakan pada pendidikan ini bila kejujuran dihadiahi dengan
kedzaliman sepihak bukan ucapan terimakasih.
Tidak berheti disitu, pendidikan yang kita saksikan saat ini juga melahirkan ratusan
pengangguran terdidik pertahunnya. Menurut badan statistic tenaga kerja, pengangguran
sarjana lulusan universitas sekitar 385 jiwa-pemuda (184.497); pemudi (200.921), bila
ditotalkan sekitar 708.254 jiwa. Itu semua tentunya bukan prestasi yang pantas kita
banggakan. Mahalnya pendidikan juga kita rasakan saat ini. Berapa juta orang yang tak
mampu untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi hanya karena tidak memiliki dana
yang memadai. Kesenjangan pendidikan yang semakin parah ini sampai membuat orang
mengatakan bahwa rakyat miskin dilarang sekolah. Padahal semua warga berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. Bukankah majunya pendidikan juga akan
menjadikan bangsa ini terpandang?. Silang sengkarut dunia pendidikan kita diatas masih
belum mencapai klimaksnya. Banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan,
tidak mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional
yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial. Diakui atau tidak, sistem
pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang
sekular-materialistik. Hal tersebut dapat kita lihat dalam realita disekitar kita. Pendidikan
yang ada dalam Negara kita ini semakin tinggi semakin sedikit pula porsi pendidikan
agamanya (sekuler). Padahal hal tersebut sangat penting, betapa tidak ketika seseorang
itu pandai dan memiliki kedudukan namun dalam dirinya tidak terdapat aqidah yang kuat
maka jabatannya itupun akan digunakan untuk korupsi, mencabuli muridnya, menganiaya
juniornya dan bahkan menindas para orang-orang yang jujur seperti yang tergabung
dalam KAMG. Dampak dari pendidikan yang sekuler juga bisa kita lihat pada maraknya
budaya bebas pada remaja kita, mulai dari pacaran, freesex, aborsi dan juga tawuran.
Pantas saja di Negara ini gagal dalam melahirkan orang-orang yang sholeh dan
intelektual. Selain sekuler sisterm pendidikan saat ini juga materialistik. Hal ini juga
dapat kita lihat betapa seorang mahasiswa kebanyakan kuliah hanya untuk mencari
pekerjaan. Padahal motivasi yang dibangun atas dasar materi adalah motivasi terendah
setelah emosi dan spiritual. Mereka besar kemungkinan akan terjangkit krisis
kepribadian, ya inilah awal kehancuran bangsa.
Melihat peliknya masalah yang dihadapi sistem pendidikan yang saat ini, maka kami dari
Hizbut Tahrir Indonesia memberikan solusi alternatif dengan islam. Solusi ini pun juga
sudah teruji selama 13 abad lamanya dan pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Inilah
sistem pendidikan islam, dimana tujuan sistem pendidikan ini adalah membentuk
manusia yang (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai
ilmu kehidupan (sainsteknologi dan keahlian) yang memadai. Sehingga tidak heran jika
pada zaman kekhilafahan islam dahulu banyak sekali ilmuan yang juga sekaligus sebagai
ulama yang menggali hukum islam untuk dijadikan solusi kehidupan. Sebut saja Ibnu
Sina, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusydi, dan masih banyak lagi merupakan
ilmuwan-ilmuwan Islam yang karya-karyanya tercatat terus dipakai bahkan hingga saat
ini. Tidak hanya itu, dalam sistem islam juga menjamin pendidikan gratis karena
pendidikan dalam pandangan islam adalah hak setiap warga, sehingga tidak memandang
batasan kaya dan miskin. Negara juga memfasilitasi jalannya pendidikan dengan biaya
dari baitul Maal. Contohnya, Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al
Muntashir di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa sebesar satu
dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas
seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan pemandian tersedia lengkap di sana. Begitu
pula dengan Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah
oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain
seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan untuk siswa, staf
pengajar dan para pelayan serta ruang besar untuk ceramah. Khalifah Umar Ibnu Khattab
jauh sebelum itu, memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di
kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (kira-kira 7,7 juta). Tentu saja
tidak akan pernah cukup kertas ini untuk menulis bagaimana keagungan sistem islam
baik secara material maupun spiritual.
Menuju kegemilangan islam tidak hanya cukup sistem pendidikan islam, namun
membutuhkan juga sistem perpolitikan islam, perekonomian islam, dan sistem
pertahanan islam. Semua itu bisa terwujud tidak dari sistem kapitalis demokrasi saat ini
melainkan sistem pemerintahan islam dalam bingkai Khilafah islamiyah. Khilafalah yang
mampu mewujudkan kesejahteraan umat. Bukankah kejayaan diatas terlahir dari sistem
islam bukan dari sistem kapitalis seperti saat ini?. Oleh karena itu mari kita jemput dan
kita perjuangkan Khilafah yang juga merupakan janji Allah Swt. (7L) -dimuat di nasroh
HTI CHAPTER UNESA LIDAH, cuma judulnya aja dah diganti lebih garang-

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas


Mei 13, 2007 oleh writingsdy

BENARKAH pendidikan di Tanah Air belum berkualitas? Pertanyaan sederhana itu


cukup tepat guna mengawali perbincangan kondisi pendidikan Indonesia terkini.
Memang diakui, pendidikan kita masih dilingkupi banyak persoalan. Secara umum,
dikatakan pendidikan kita mengalami penurunan kualitas. Hal itu terlihat dari
menurunnya kualitas dan penghargaan terhadap riset, serta penurunan kualitas sumber
daya manusia.

Seperti disinggung Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta), potret penurunan
kualitas pendidikan tidak lepas dari sejarah. Yakni, ketika bangsa Indonesia kehilangan
momentum penting guna membangun dunia pendidikannya. Setelah merdeka, Indonesia
sibuk dengan persoalan politik.

Padahal, di negara lain, seperti Jepang, selepas perang justru dimanfaatkan guna
membangun sistem pendidikannya, terutama kualitas para gurunya.
Di tataran itu, kita bisa katakan kebijakan politik telah menjadi penyebab menurunnya
kualitas pendidikan. Jelasnya, pada masa Orde Baru (Orba), hal penting yang lebih
diperhatikan ialah eksploitasi sumber daya alam (SDA) ketimbang pembangunan
intelektual melalui pendidikan. Akibatnya, pendidikan Indonesia kurang diperhatikan.
Pada gilirannya, kelak terjadi pula kemandekan (stagnasi) pemikiran pendidikan.

Mandeknya pemikiran tersebut disebabkan banyak faktor. Di antaranya, karena


pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan, baik dalam pembuatan
kebijakan maupun praktik pendidikan. Misalnya, penerapan paradigma belajar yang lebih
memusat ke guru (teacher center learning), padahal dalam Ki Hadjar Dewantara telah
dikenal konsep guru yang ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.

Selama ini, disadari atau tidak, pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur tidak
kita perhatikan. Ironisnya, kita justru bangga dengan menerima barang jadi dari Amerika,
Eropa, atau Australia. Padahal, pemikiran-pemikiran dari budaya Timur, seperti Ki
Hadjar Dewantara (Taman Siswa-Yogyakarta), Mohammad Sjafei (INS Kayutanam-
Padang), KH Imam Zarkasyi (Pondok Modern Gontor-Ponorogo), atau lainnya cukup
bagus.

Itu terbukti bahwa UNESCO kini justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti
yang digagas-bangun Ki Hadjar atau Sjafei. Untuk itulah, tanpa adanya keberpihakan
politik (political will), pemikiran dari tokoh-tokoh lokal ataupun ide-ide pendidikan yang
bersumber dari khasanah budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Jika hal itu tidak
direspon, kelak fenomena kemandekan pemikiran pendidikan masih terjadi di masa-masa
mendatang.

Mengutip pendapat Bedjo Sujanto (2006), gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan


sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan
tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan karena
keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Itu terbukti dari masih minimnya
perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah alternatif.

Padahal, sekolah-sekolah tersebut cenderung lebih bisa memberdayakan masyarakat


kelas bawah ketimbang sekolah-sekolah formal. Dengan segala upayanya, para pengelola
sekolah-sekolah alternatif berusaha sedemikian rupa, agar pendidikan bisa terjangkau
bagi semua kalangan. Pasalnya, tidak semua anak-anak merasa nyaman belajar di sekolah
formal. Untuk itulah, akan sangat baik jika pemerintah mulai memperhatikannya.

Apalagi sejak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wajib Belajar itu terbit, pemerintah
pusat maupun daerah dituntut harus mampu memberikan perhatian selain pendidikan
formal, yakni pendidikan informal dan nonformal. Dalam hal ini, pendidikan seyogianya
juga melibatkan pihak keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan itu bersifat terbuka dan komponen pelaksananya ialah sekolah, keluarga, dan
masyarakat.
Ketiganya, pada hemat saya, perlu bersinergi dalam membenahi kondisi pendidikan yang
belakangan sudah melenceng dari jalur idealnya. Betapa tidak, saat ini masyarakat
cenderung melimpahkan tugas mendidik anak-anak kepada pihak sekolah. Padahal, pihak
sekolah (dalam hal ini guru di kelas) tidak sepenuhnya sanggup melaksanakan tugas
tersebut. Kondisi yang demikian, jelas pada umumnya sangat merugikan pihak sekolah.

Idealnya, pendidikan di sekolah berjalan efektif; dan pada gilirannya akan menciptakan
kondisi pembelajaran kreatif. Murid akan aktif dan guru menjadi fasilitator. Adapun
sumber belajar tak lagi terbatas pada buku pelajaran atau hanya di dalam ruang kelas.
Kelak, dengan pola tersebut diharapkan terjadi proses produksi pengetahuan sehingga
prinsip penyelenggaraan pendidikan yang membaharui seperti diatur dalam UU
Sisdiknas, dapat terlaksana.

Namun, kondisi objektif berkata lain. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum, pendidikan
kita masih terjebak pada fakta lama, bukan fakta baru. Maksudnya, konsep penguasaan
yang dibidik pendidikan kita masih mengacu pada temuan pakar terdahulu. Sementara
penemuan fakta baru yang sesungguhnya lebih bisa membuat siswa menjadi kreatif tidak
digunakan. Akibatnya, mutu pendidikan cenderung menurun dan menurun.

Ironis, konsep tersebut masih banyak diterapkan hingga saat ini, sejak dari jenjang
pendidikan dasar (SD-SMP) hingga perguruan tinggi (PT). Suatu konsep di mana siswa
(juga mahasiswa) terus dimasuki berbagai ilmu tanpa berusaha mengajak mereka mencari
sesuatu yang baru. Dalam filsafat kuno, siswa (juga mahasiswa) lebih banyak diberikan
ikan ketimbang kail. Akibatnya, mereka cenderung pasif dan menunggu tambahan ilmu
dari guru (juga dosen).

Jika demikian halnya, tugas untuk mengubah konsep pendidikan dari yang semula
tradisional menjadi modern ialah menjadi kewajiban semua pihak. Guru menjadi faktor
penggerak utama, yakni dengan menjadi inspirator bagi siswanya. Ini sulit karena guru-
guru kita sudah terbiasa patuh pada aneka peraturan, seperti juklak (petunjuk
pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis). Bagaimanapun, guru tetap perlu didorong
untuk melakukan perubahan tersebut.

Dengan begitu, kualitas pendidikan di Tanah Air perlahan namun pasti akan menjadi
lebih baik. Jika pemerintah memang memiliki komitmen, segeralah wujudkan komitmen
itu dalam bentuk strategi ekstrem yang lebih mengedepankan proses dan perbaikan
infrastruktur. Program pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru ialah salah
satu contohnya. Keduanya amat penting dalam mewujudkan kualitas pendidikan kita saat
ini.[]

You might also like