You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kehidupan beragama di Indonesia mendapat tempat dalam kehidupan

bernegara. Hal itu dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 pasal 29 bahwa

kehidupan beragama di Indonesia dijamin oleh negara. Setiap penduduk sebagai

warga negara diberi kemerdekaan untuk memeluk agama masing-masing dan

beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Negara tidak hanya melindungi

dan memberi kebebasan bahkan mendorong umat beragama untuk memajukan

kehidupan agamanya. Perwujudan dari jaminan UUD 1945 itu adalah diakuinya

agama-agama yang ada dan hidup di Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan,

Hindu dan Budha.

Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional maka

pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupan

beragama. Pembangunan di bidang kehidupan beragama bertujuan agar

kehidupan beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari serta

mengurangi ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan

ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan

kehidupan beragama, terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan

antar umat beragama, karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu

ketegangan hubungan antar umat beragama.


Sebagai realisasi dari kebijaksanaan tersebut adalah terbitnya Peraturan

Pemerintah dalam hal penyiaran agama, yaitu antara lain: (1) Keputusan Menteri

Agama No. 70 dan 77 tentang Penyiaran dan Penyebaran Agama dan tentang

Bantuan Asing Bagi Lembaga Keagamaan di Indonesia (2) Keputusan Menteri

Agama Nomor:44 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Dakwah Agama dan Kuliah

Subuh melalui Radio (3) Keputusan Bersama Bersama Menteri Dalam negeri

Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan

bantuan Luar negeri Kepada lembaga keagamaan di Indonesia dan (4) Surat

Edaran Menteri Agama No: MA/432/1981 perihal Penyelenggaraan Peringatan

Hari-hari Besar keagamaan.

Selain berbagai aturan di atas pemerintah dalam hal ini Departemen

Agama juga menetapkan arah kehidupan intern dan antar ummat beragama pada

tiga bentuk yang dikenal dengan istilah Tri Kerukunan yaitu: Kerukunan Hidup

Intern Ummat Beragama, Kerukunan Hidup Antar Ummat Beragama dan

Kerukunan Hidup antar ummat Beragama dengan Pemerintah.

Banyaknya aturan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama

tersebut menunjukkan seberapa jauh campur tangan pemerintah dalam kehidupan

beragama di Indonesia. Adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan

beragama tersebut memunculkan berbagai persoalan yang dianggap merugikan

hak hidup masing-masing agama.

Bagi umat Islam adanya keputusan Menteri agama nomor 44 tahun 1978

jelas dianggap membatasi ruang gerak amar ma’ruf nahi mungkar. Demikian pula

bagi ummat Kristen keputusan bersama Menteri Agama Nomor 70 dan 77 tahun
1978 dirasakan membatasi dan merugikan aktivitas misi Kristen di Indonesia.

Pada saat keputusan tersebut diundangkan mendapat reaksi keras dari tokoh-tokoh

MAWI dan DGI (Depag RI, 1979). Adanya reaksi dari tokoh agama terhadap

kebijakan pemerintah tersebut disebabkan dalam agama missionary (Islam,

Kisten, Katolik dan Budha) penyebaran agama kepada seluruh ummat manusia

dinilai sebagai tugas suci, atau dikenal dengan istilah “mission sacre”. Adanya

penilaian semacam itu mendorong para pemeluknya untuk menyebarkan agama

dan tidak merasa puas sebelum menyampaikan agamanya itu kepada siapa saja

yang belum mengetahuinya, dan di mana saja ada kesempatan (Arnold, 1957: 27).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pluralisme

Pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Allah


menciptakan alam ini di atas sunah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan.
Isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama
kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai
perkembangan zaman.

Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri,


yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah,
maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun
pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan
pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai
dilapangan.

Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan


ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani
kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak
mempertimbangkan sampai pada tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas
yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan
berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai

mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya


sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar,
alamiahberubah menjadi hal yang sangat penting.

Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang


menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi
atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada
gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan.
Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah
juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian
rupa, yang hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat,
ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi
terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan,
persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah
musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus
mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut
bahasa kaum liberal , merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi
yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.

Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan


medium budaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat
pemeluknya dan ia diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada
sang Khaliq. Disini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara
universal, namun disisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan
legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak
mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konplik.
Pluralitas agama disatu sisi, dan hiterogenitas realitas social pemeluknya disisi
yang lain, tidak jarang

menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama


maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi
problem kebangsan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat
pendekatan teologi normatif.
B. Pembangunan Nasional

1. Batasan
Sumitro Djojohadikusuma menyatakan, “Pembangunan ekonomi berarti suatu
proses perubahan structural dalam perimbangan-perimbangan ekonomi yang
terdapat dalam masyarakat.” Pembamgunan ekonomi berarti suatu proses
perubahan struktural produksi (pendapatan nasional). Struktur ppenduduk dan
mata pencaharian (lapangan pekerjaan) dan struktur lalu lintas barang, jasa dan
modal dalam hubungan internasional. Apabila konsep ini diterapkan untuk
pengertian pembangunan Negara-kebangsaan, maka pembangunan berarti suatu
proses perubahan struktural kehidupan bernegara kebangsaan, yang tercakup
didalam struktural politik dan pertahanan keamanan, struktur ekonomi, serta
struktur tata masyarakat dan budaya.

2. Tujuan (Masyarakat Masa Depan)


Pembangunan nasional Indonesia harus bertujuan mencapai Negara kesatuan
yang berkedaulatan rakyat serta adil dan makmur berdasarkan pancasila, yang
mampu:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumrah darah Indonesia.
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

3. Strategi Pelaksanaan
Tujuan akhir pembangunan nasional Indonesia dilakukan dengan jalan
melaksanakan serangkaian pembangunan. Rangkaian upaya pembangunan
tersebut dibagi dalam tahap-tahap pembangunan jangka panjang selama 25
tahun dan tahap pembangunan jangka pendek yang berlangsung selama 5 tahun.
Srategi dasar pembangunan nasional nasional Indonesia selama kurang lebih 30
tahun yang bertumpu pada pembangunan ekonomi yang terkait dengan
pembangunan dibidang lainnya.
4. Karakteristik
a. Pembangunan nasional Indonesia merupakan bentuk pengamalan
Pancasila secara serasi dan kesatuan yang utuh.
b. Pembangunan nasional Indonesia merupakan pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
c. Pembangunan nasional Indonesia dilaksanakan secara berencana,
menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap, dan berlanjut.
d. Pembangunan nasional Indonesia adalah pembangunan dari, oleh dan
untuk rakyat yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa.
e. Trilogi Pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan
stabililitas nasional

5. Asas
a. Kemampuan dan Ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
b. Manfaat.
c. Demokrasi Pancasila
d. Adil dan Merata.
e. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan dalam Perikehidupan.
f.Hukum.
g. Kemandirian.
h. Kejuangan.
i. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

6. Kedudukan Pembangunan Pendidikan


a. Pembangunan Pendidikan merupakan subordinat atau bagian dari
keseluruhan Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Nasional
Indonesia mencakup tujuh bidang yaitu bidang ekonomi; bidang
kesejahtraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan; bidang keagamaan dan
kepercayaan kepada tuhan YME; bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
bidang hukum; bidang politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi
dan media massa; bidang pertahanan dan keamanan.
b. Peranan Pembangunan Nasional
Pembangunan Nasional mempunyai peranan sebagai berikut:
1. Payung Pembangunan pendidikan Nasional
2. Sumber yang memberikan masukan pada pembangunan pendidikan
nasional
BAB III

PEMBAHASAN

A. Dasar Pemikiran
1. Penyebaran Agama

Menurut Max Muller agama-agama besar di dunia terbagi dalam dua

kelompok, yaitu (i) Agama-agama Missionary, yaitu agama-agama yang

menganjurkan pemeluknya untuk menyebarkan kepada seluruh manusia.

Masuk ke dalam kelompok ini agama Islam, Kristen dan Budha. (ii) Agama-

agama bukan Missionary, yaitu agama yang tidak disebarkan oleh penganut-

penganutnya, seperti agama Yahudi, Zoroaster dan Hindu. (Arnold, 1957: 25).

Dalam agama missionary penyebaran agama kepada seluruh ummat

manusia dinilai sebagai tugas suci, atau dikenal dengan istilah “mission

sacre”. Adanya penilaian semacam itu mendorong para pemeluknya untuk

menyebarkan agama dan tidak merasa puas sebelum menyampaikan

agamanya itu kepada siapa saja yang belum mengetahuinya, dan di mana saja

ada kesempatan (Arnold, 1957: 27). Dengan adanya perintah penyebaran

agama tersebut dapat memperbanyak pemeluk suatu agama dan mendorong

berkembangnya agama tersebut.

Dalam Islam penyebaran agama disebut dengan dakwah, yaitu

mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan ajaran Islam agar

memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat. Dasar dari pelaksanaan

dakwah ialah Al Qur’an surat Ali Imron Ayat 104: “Hendaklah ada diantara
kamu suatu golongan yang mengajak ummat manusia kepada kebaikan,

menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mengerjakan yang

mungkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung. Juga Ali Imron ayat

110 dan An Nahl ayat 125.

Menurut Mukti Ali (1971: 8) tujuan dakwah adalah untuk menjadikan

orang dan masyarakat beriman kepada Allah SWT, jiwanya bersih diikuti

dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan ucapan batinnya,

mengagungkan Alah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk

kepentingan umat manusia demi berbakti kepada Allah SWT.

Dalam agama Budha penyebaran agama disebut dengan penyebaran

Dhamma, yaitu usaha menyebarkan ajaran Budha Gautama kepada seluruh

ummat manusia. Perintah untuk menyebarkan Dhamma didasarkan kepada

perkatan Budha: “Kini tibalah waktunya untuk menyiarkan ajaran. Kamu

semua yang telah sampai di seberang sungai dari kedamaian, kesentausaan

yang kekal abadi, bagimu tidak ada lagi kelahiran, atau kematian telah bersatu

dengan Yang Maha Tunggal. Pergilah kamu menyebar ke tempat lain,

berikanlah pengetahuan kepada mereka yang belum menerimanya, bantulah

mereka, Kami pun akan pergi sendirian ke Gayasis, karena tugas telah

memanggil” (Aris Munandar, 1971: 29).

Dalam agama Kristen penyebaran agama dikenal dengan sebutan

pekabaran Injil yaitu segenap usaha umat Kristen yang tertuju kepada

penanaman dan pengorganisasian gereja diantara orang-orang yang bukan


Kristen (Kuiper, 1968: 5-12). Perintah penyebaran agama itu termuat dalam

Matius XXVIII: “Pergilah kamu ke segenap penjuru, beritakanlah ini

kesegenap bangsa, baptiskanlah mereka ke dalam nama Allah Bapa, Allah

anak dan Roh Kudus. Ajarilah mereka melaksanakan apa yang telah

kuanjurkan ini kepada kamu” (Chodidjah, 1971: 6).

Tujuan Pekabaran Injil : (i). Pengakuan dosa yang diwarisi dari Adam

(ii). Pembangunan Gereja di seluruh permukaan bumi (iii). Pengakuan

anugerah Ilahi.

2. Dasar dan Kebijakan Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan

Kehidupan beragama

Kehidupan beragama di Inonesia secara yuridis mempunyai landasan

yang kuat dalam hukum ketatanegaraan sebagai mana termaktub dalam

Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Negara

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa bangsa Indonesia

adalah bangsa yang beragama atau bukan negara teokrasi dan bukan pula

suatu negara sekularistik. Sedangkan ayat dua mengandung pengertian : (1)

Negara menjamin kemerdekaan, tekandung arti bahwa menjadi kewajiban

pemerintah untuk meberi kesempatan dan mendorong tumbuhnya kehidupan

agama yang sehat (2) negara tidak punya kompentensi untuk memaksa agam
sebagaimana agama sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluknya

(3) Kebebasan beragama merupakan hak asasi yang paling mendasar dan (4)

karena agama itu sendiri bersifat universal (Hamidi, 2001)

Berdasarkan kepada pasal 29 UUD 1945 beserta tafsirnya tersebut,

pemerintah merasa berkewajiban untuk mengatur kehidupan beragama di

Indonesia dengan membentuk Departemen Agama. Campur tangan

pemerintah dalam urusan agama ini mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh

diantaranya adalah Hatta dan Daliar Noor. Menurut Hatta masalah agama dan

negara harus dipisahkan sedangkan menurut Daliar Noor berpendapat bahwa

intervensi negara/pemerintah dalam masalah agama sebatas lingkup

administrasi (Hamidi, 2001). Pendapat senada dikemukakan oleh Jazim

Hamidi dan M. Husnu Abadi (2001) yang menyatakan intervensi negara atau

pemerintah terhadap agama terbatas pada masalah administrasi belaka

meliputi: fasilitas, sarana dan prasarana. Jadi bukan pada materi agamanya

atau dengan kata lain negara tidak mencampiri dan tidak ingin mencampuri

urusan syari’ah dan ibadah agama-agama di Indonesia.

Pembangunan kehidupan beragama di Indonesia bertujuan agar

kehidupan beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari

serta mengurangi ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak

kesatuan dan ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam

pembangunan kehidupan beragama, terutama difokuskan pada penyiaran

agama dan hubungan antar umat beragama, karena disinyalir bahwa penyiaran

agama sering memicu ketegangan hubungan antar umat beragama.


Sebagai realisasi dari kebijaksanaan tersebut adalah terbitnya

peraturan pemerintah antara lain, yaitu :

a. Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.

01/Ber/MDN-MAG/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur

Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan kelancaran Pelaksanaan

Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-pemeluknya.

b. Keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77 tentang Penyiaran dan

Penyebaran Agama dan tentang Bantuan Asing Bagi Lembaga

Keagamaan di Indonesia.

c. Keputusan Menteri Agama Nomor:44 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan

Dakwah Agama dan Kuliah Subuh melalui Radio

d. Keputusan Bersama Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan bantuan Luar

negeri Kepada lembaga keagamaan di Indonesia

e. Surat Edaran Menteri Agama No: MA/432/1981 perihal

Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar keagamaan

f. Instruksi Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1995 Tentang Tindak

lanjut Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

Nomor. 01/BER/MDN-MAG/1969 di Daerah.

Untuk mengatasasi ketegangan hubungan antar ummat beragama yang

sering terjadi di Indonesia pemerintah dalam hal ini Departemen Agama juga

menetapkan arah kehidupan intern dan antar ummat beragama pada tiga

bentuk yang dikenal Tri Kerukunan yaitu: Kerukunan Hidup Intern Ummat
Beragama, Kerukunan Hidup Antar Ummat Beragama dan Kerukunan Hidup

antar ummat Beragama dengan Pemerintah.

Banyaknya aturan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama

tersebut selain berdampak positif yaitu mengurangi potensi konflik antar

agama sekaligus juga menunjukkan seberapa jauh campur tangan pemerintah

dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Adanya campur tangan

pemerintah dalam kehidupan beragama tersebut memunculkan berbagai

persoalan yang dianggap merugikan hak hidup masing-masing agama.

2. Pandangan Tokoh Agama Kebijakan Pemerintah Tentang Penyiaran

dan Penyebaran Agama dan Bantuan Asing Bagi Lembaga Keagamaan

di Indonesia

Aktivitas penyiaran agama yang semakin meningkat sejak seputar

tahun tujuh puluhan menimbulkan kompetisi untuk mengkonversikan

penganut agama sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan dampak

negativnya. Salah satu dampaknya adalah ketegangan antar umat beragama

khususnya Islam dan Kristen yang mengarah pada konflik terbuka.

Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah tersebut Menteri Agama

berdasarkan hasil musyawarah antar pemimpin agama mengeluarkan

Keputusan No. 70 dan 77 Tentang Penyiaran dan Penyebaran Agama dan

Tentang Bntuan Asing Bagi Lembaga Keagamaan di Indonesia. Kemudian

Keputusan tersebut dikuatkan dengan Keputusan Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Penyiaran dan Penyebaran Agama

dan tentang Bantuan Asing Bagi Lembaga Keagamaan di Indonesia.


Menurut RA. Hanafi dalam pelaksanaannya peraturan tersebut hanya

sekedar himbauan, tidak ada sanksi hukum maupun moral, sehingga

selamanya tidak efektif. Yang konsekwen menjalan kode ethik penyiaran

agama hanya dari kalangan Islam, sedang yang lain terus melanggar rambu-

rambu. Bantuan luar negeri sulit untuk dipantau; perlu ditinjau kembali

peraturan dimaksud.

Searah dengan pandangan Hanafi, HM. Kholili memandang bahwa

keputusan bersama ini cukup baik oleh karena itu masalah penyiaran agama

dan bantuan LN terhadap kegiatan agama berikut penyiaran agama perlu

dibina dan ditertibkan. Perlu diketahui bahwa munculnya keresahan dan

kerusuhan yang menimbulkan kesusahan bagi semua pihak adalah karena

tidak terlaksananya keputusan bersama No.1/79 ini.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ida Bagus Agung. Menurutnya isi

dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 1

tahun 1979 ini sudah memadai; tapi nampaknya sulit untuk dimonitor tentang

penerimaan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan karena masih

banyak bantuan yang mengalir tanpa sepengetahuan PKKTLN (pasal 6 ayat

(1))

Berbeda dengan pandangan kedua tokoh diatas Simanjuntak

mengemukakan bahwa Keputusan ini terkesan sebagai satu usaha menekan

perkembangan agama tertentu khususnya agama Kristen. Pada hal secara

teologis dogmatis sifat gereja itu merupakan persekutuan universal yang tidak

dapat dipisahkan satu sama lain.


Dalam hal ini memutus atau menghalangi hubungan gerejawi dari luar

negeri kepada gereja dalam negeri Indonesia berarti menolak keberadaan

agama Kristen. Bantuan gerejawi dari luar negeri seharusnyalah dipandang

sebagai hal yang menguntungkan bagi kehidupan agama di Indonesia secara

keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dihalangi.

Dalam pandangan Muhammadiyah aturan tersebut tidak efektif karena

kenyataan riil di lapangan sering menunjukkan bahwa aparat berwenang yang

mempunyai tugas mengawasi jalannya aturan tersebut bersikap diam saja

ketika ada pelanggaran. Oleh karena itu menurut Muhammadiyah aturan

hukum di atas saat ini perlu diperbaharui seiring dengan perkembangan

masyarakat yang cepat dan semakin hilangnya sekat-sekat wilayah negara,

artinya hubungan antar negara bisa dijalin dengan cara yang singkat, tepat dan

cepat. Sementara aturan itu sudah sangat lama atau malahan konsideran

hukum itu sudah tidak ada lagi.

Menurut MUI aturan tersebut tetap relevan karena pada dasarnya

setiap agama mempunyai kepentingan untuk menyebarkan agamanya kepada

setiap anggota masyarakat, sehingga kalau mungkin semua warganegara ini

memeluk agamanya itu. Selanjutnya MUI memberikan argumentasi bahwa di

masyarakat terdapat berbagai agama (paling tidak ada 5 agama; Islam,

Kristen, Katholik, Hindu dan Budha) sehingga supaya pelaksanaan penyiaran

ini tidak saling mengganggu maka dibuat rambu-rambu untuk menjamin

kelancaran pelaksanaanya. Maka itu Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran ini

merupakan rambu-rambu yang harus ditaati oleh masing-masing umat

beragama. Sedangkan mengenai bantuan luar negeri MUI melihat bantuan


luar negeri, kadangkala menimbulkan kecemburuan dinatara umat beragama,

karena potensi bantuan yang tidak sama dan merata. Maka untuk menjaga

keseimbangan dan adanya pengawasan terhadap berbagai bantuan dari luar

negeri untuk suatu kelompok agama, pemerintah mengatur tatacaranya, yang

termuat dalam SKB tersebut.

Dari paparan pandangan tokoh agama terhadap SKB tersebut nampak

bahwa tokoh-tokoh non Islam merasa SKB tersebut sebagai kendala dalam

menyebarkan agama dan dalam penerimaan bantuan luar negeri padahal

pemerintah sendiri kurang mendukung dalam hal pemberian bantuan kepada

umat non Islam, kalau toh diberi jumlahnya tidak memadai. Pandangan tokoh

Islam lebih menyoroti terhadap peran yang dimainkan oleh aparat dalam

pelaksanaan SKB tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan SKB tersebut.

Pelanggaran-pelanggaran yang ada terhadap SKB tersebut cenderung

didiamkan sehingga dengan tindakan aparat yang demikian dianggap

merugikan umat Islam.

yang sudah berjalan dengan baik. Pandangan ini menafikan tehadap

pemilahan antara ibadah yang tidak boleh diikuti pemeluk agama lain dan

kegiatan keagamaan yang bisa diikuti oleh pemeluk agama lain.

3. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pelaksanaan Peraturan Pemerintah


dalam Kehidupan Beragama Di Lapangan

Hampir semua tokoh agama yang diwawancarai mengemukakan

pandangan bahwa pelaksanaan peraturan pemerintah dalam kehidupan


beragama di lapangan belum sesuai dengan isi dari peraturan tersebut.

Berikut dikemukakan pandangan dari masing-masing tokoh agama

Menurut Ida bagus Agung tokoh agama Hindu penetapan Presiden RI

No. 1Th. 1965; tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan

agama, dalam praktek belum berfungsi secara efektif. Dalam kenyataannya,

penodaan suatu agama oleh pemeluk agama yang lain baik dengan ucapan

maupun dengan perbuatan pengrusakan masih terjadi; dan pemerintah tidak

pernah atau kurang aktif menyelesaikannya.

Demikian juga dalam pendirian tempat badah di lapangan,

pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut seringkali memojokkan agama

tertentu, bukan karena peraturannya akan tetapi ulah dari oknum pejabat,

misalnya mengenai izin pendirian tempat ibadah; yang mempersulit adalah

oknum bukan peraturannya.

RA. Hanafi tokoh agama Islam melihat di basis pemeluk Islam yang

taat dan membaca dan mengerti peraturan tersebut tidak terjadi

perayaan/Natal bersama. Akan tetapi khusus dikalangan rumput paling bawah

(pedesaan dan kantor/instansi pemerintah dan swasta peraturan tersebut tidak

dilaksanakan dengan baik, anggapan mereka yang penting rukun dan saling

menghargai).

Kritik yang sama juga disampaikan oleh Supomo bahwa pelaksanaan

pemerintah di lapangan tidak dapat berjalan mulus. Karena aparat pemerintah

secara diam-diam memiliki dwi fungsi, di satu sisi sebagai aparat negara di

sisi lain sebagai pimpinan agama, sehingga apabila mengambil kebijakan ia


memihak pada agama yang dianutnya. Dia memberikan contoh : pasal 4. no.

1, 2, 3 tentang pendirian tempat ibadah, di DI Yogyakarta untuk mendirikan

gereja, Vihara, Pure benar-benar sangat sulit, bagi umat beragama sendiri

kurang menyadari bahwa agama lain pun butuh menambah tempat ibadah.

Simanjuntak tokoh Kristen juga mengeluh Peraturan pemerintah itu

sering disalah gunakan di lapangan untuk menekan oleh penganut agama yang

satu terhadap penganut agama yang lain. Keluhan utama umat Kristen adalah

dipersulitnya pembangunan rumah ibadah yang sering dihalangi dengan

memperdalihkan surat surat keputusan Menteri dan ketentuan ketentuan yang

ada di daerah masing-masig; protes 3 atau 4 orang saja sudah cukup

menggagalkan pembangunan rumah ibadah, atau betapa mudahnya seseorang

atau segelintir orang melakukan pengumpulan tanda tangan untuk menolak

pendirian rumah ibadah di tempat tertentu.

Demikian juga HM. Kholili Ketua LDNU DIY melihat banyak yang

tidak jalan, dan ada pihak agama teretntu yang jelas-jelas melanggar aturan

sementara pemerintah tidak banyak bertindak sehingga berakumulasi dan

akhirnya terjadi kerusuhan dan kesusahan bagi semua pihak.

Menanggapi pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut di lapangan

Muhammadiyah memandang aturan-aturan hukumnya sudah baik, tetapi

aparat penegak hukum yang tidak baik. Karena itu menurut Muhammadiyah

agenda kedepan pemerintah adalah mendidik aparatur pemerintah sehingga

menjadi lebih baik dan sadar akan tugasnya.

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas yang memandang

pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut di lapangan dari sisi pemerintah,


MUI melihat peraturan pemerintah tersebut lebih dari sisi umat agama sendiri,

karena itu MUI memandang peraturan perundang-undangan tersebut diatas

perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat, dalam hal ini oleh

Ummat beragama masing-masing di bawah pengawasan dan perlindungan

dari pemerintah. Ketaatan terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah adalah ujud ketaatan warga negar akepada pemerintah, dan

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh warga negara.

Terlaksananya peraturan-peraturan tersebut adalah untuk kepentingan umum,

baik berguna untuk ummat beragama, juga untuk menegakkan kewibawaan

pemerintah.

Pandangan tokoh agama terhadap pelaksanaan pemerintah di lapangan

mengerucut pada pandangan bahwa pelaksanaan peraturan tersebut belum

berjalan dengan baik. Tokoh agama Islam melihat masih banyak pelanggaran

terhadap peraturan tersebut di lapangan dan kurang mendapat pengawasan

dari pemerintah. Sebaliknya dari tokoh non Islam memandang bahwa dalam

pelaksanaan peraturan tersebut di lapangan pejabat kurang adil, cenderung

memihak pada agama tertentu dan mengabaikan pemeluk agama yang lain.

4. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Peran Pemerintah Dalam


Pelaksanaan Kehidupan Beragama

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa peran pemerintah

dalam kaitannya dengan keehidupan beragama adalah sebagai administrator

dan kordinator bagi terselenggaranya kehidupan beragama yang baik di

negara Indonesia.
Berkaitan dengan itu para tokoh agama yang menjadi informan

penelitian ini mengemukakan pandangannya sebagai berikut: RA. Hanafi

Tokoh agama islam berpendapat pemerintah tidak hanya memproduksi

aturan/keputusan yang banyak; yang penting pentrapan/implementasi terus

dipantau dan diberikan peringatan/pengaraha.

Menurut Ida Bagus Agung Pemerintah harus mengayomi semua

agama, dan memberi perlakuan yang sama kepada semua agama yang ada di

Indonesia tanpa membeda-bedakan agama mayoritas dan agama dengan

penganut minoritas. Pemerintah adalah “Guru semua umat beragama”.

Menurut Supomo tokoh agama Budha mengenai seharusnya bagaimana

peran pemerintah dalam pelaksanaan kehidupan beragama berpandangan

masing-masng mempunyai peran sendiri-sendiri. Peran pimpinan

pemerintahan (Umaro) dan pimpinan agama (Ulama) sebaiknya ditempatkan

secara proporsional, artinya kedudukan pimpinan pemerintahan dibedakan

fungsinya dengan pimpinan agama, demikian pula pimpinan agama, untuk

menghindari terjadinya depolitisasi. “Pimpinan pemerintahan keberadaannya

sebagai administrator, vasilitator yang diberi mandat oleh rakyat untuk

mengatur jalannya roda pemerintahan sesuai dengan perundang-undangan

yang berlaku. “Peran pimpinan agama/agamawan memiliki satu kepentingan

ialah mendidik, mengarahkan, mengajarkan ajaran agama masing-masing

supaya umat manusia menjadi manusia berahlak mulia. Selain itu pimpinan

agama berkuwajiban memberikan kesadaran atau mengingatkan bahwa


kekuasaan yang diperoleh merupakan amanat rakyat, keberadaannya bukan

sebagai penguasa mutlak.

Menurut Simanjuntak Pemerintah seharusnya memposisikan diri

sebagai fasilitator dan memperlakukan penganut atau institusi agama secara

sama dalam hal dukungan dana, kesempatan kerja dan perkembangan karir

dan jabatan umum. Departemen Agama seharusnya diganti dengan sebuah

badan yang lebih sesuai, karena adanya “Departemen Agama” itu

mengartikan bahwa negara mengatur kehidupan beragama. Sementara HM

Kholili lebih melihat dari sisi manajemen bahwa pemerintah harus lebih

aktif, profesional dan proporsional, tidak menyerahkan kepada organisasi-

organisasi sosial keagamaan tapi bagaimana pemerintah aktif membina

masyarakat dan lembaga masyarakat yang ada.

Peran-peran yang bisa dilakukan adalah peran membina, melindungi,

mendidik, dan mensupport bagi kehidupan beragama. peran mengatur

sebaiknya dihindari, karena kecenderungannya membawa persoalan agama

ke negara dan melegitimasi kebijakan politik negara dengan agama. Nalar

masyarakat bukan lagi nalar diatur, karena ancaman keadilan, egaliter,

kebebasan, sudah menjadi makanan sehari-hari.

MUI berpendapat bahwa peran-peran pemerintah dalam pelaksanaan

kehidupan beragama adalah mengawasi dan mengendalikan pelakansaan

peraturan tersebut dan memberikan sangksi terhadap setiap pelanggaran

peraturan tersebut. Setiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah perlu

dilaksanakan dengan konsekuen dan penuh tanggung jawab. Karena di


Indonesia menganut adanya pluralitas agama, maka agar supaya jaminan

ketertiban dan kelancaran bagi setiap pemeluk agama untuk beribadat

menurut agama dan kepercayaannya itu, maka pemerintah harus pro aktif

mengatur kehidupan warganya dalam pelaksanaan ibadat, sebagaimana

diamanatkan oleh UUD pasal 29 ayat 2.

Paparan pandangan tokoh agama di atas menunjukkan bahwa semua

tokoh agama melihat pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan kehidupan

beragama belum sepenuhnya berperan sebagaimana mestinya. Peran sebagai

fasilitator, administrator, dan sebagai pengayom terhadap umat beragama

belum dimainkan dengan baik sehingga banyak terjadi keluhan-keluhan dari

umat beragama.

B. Sasaran Pembangunan Nasional Terhadap Kehidupan Beragama

1. Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama serta


Kehidupan Beragama

a. Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran


agama bagi masyarakat, termasuk peserta didik di semua jalur, jenis dan
jenjang pendidikan, sehingga pemahaman dan pengamalan ajaran agama
dapat tercermin dalam perilaku keseharian;
b. Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan
masyarakat sebagai bentuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat dalam
memeluk agamanya serta beribadat sesuai agama dan kepercayaan masing-
masing;
c. Penyediaan sarana dan prasarana keagamaan khususnya didaerah terpencil
dan peningkatan peranan tempat-tempat peribadatan sebagai pusat bagi
pendalaman dan pemahaman nilai-nilai ajaran agama serta pengembangan
kegiatan-kegiatan keagamaan baik yang bersifat ritual keagamaan maupun
sosial kemasyarakatan;

d. Peningkatan kualitas pelayanan KUA sesuai tugas pokok dan fungsi KUA
sebagai lini terdepan pelayanan keagamaan bagi masyarakat;
e. Peningkatan kualitas pengelolaan dana sosial keagamaan (zakat, wakaf,
infak, shodaqoh, kolekte, dana punia, dan dana paramita), serta
peningkatan kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam rangka
memenuhi kewajiban agama pada aspek sosial kemasyarakatan dalam
rangka memberdayakan masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial di
masyarakat;
f. Peningkatan kualitas pelayanan ibadah haji dalam rangka meningkatkan
efisiensi, pencegahan korupsi, dan mengurangi indirect cost yang
dibebankan kepada jamaah haji; serta
g. Peningkatan kapasitas dan peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga
pendidikan agama dan keagamaan sebagai agen pembangunan dan agen
perubahan sosial dalam rangka meningkatkan daya tahan masyarakat dalam
menghadapi berbagai krisis, serta memberikan solusi dalam menghadapi
berbagai tantangan dan persoalan kemasyarakatan.

2. Peningkatan Kerukunan Intern dan Antarumat Beragama

Peningkatan dan pemantapan kerukunan hidup antarumat beragama


sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati
dalam semangat keberagaman melalui dialog dan musyawarah intern dan
antarumat beragama.
C. Arah Kebijakan Pembangunan Nasional Terhadap Kehidupan Beragama

Sesuai dengan agenda pembangunan nasional, arah kebijakan peningkatan


kualitas kehidupan beragama yaitu:

1. Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama serta Kehidupan


Beragama

a. Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran


agama;
b. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
c. Peningkatan kualitas dan jumlah tenaga pendidik dan kependidikan bidang
agama dan keagamaan;
d. Pembinaan keluarga harmonis (sakinah/bahagia/sukinah/hita sukaya) untuk
menempatkan keluarga sebagai unit terkecil pembentukan karakter
individu dan pembinaan moral dan etika masyarakat;
e. Peningkatan kualitas tenaga penyuluh agama dan pelayanan keagamaan
lainnya, terutama yang bertugas di daerah rawan konflik, daerah terpencil
dan daerah terkena musibah.
f. Peningkatan kualitas penataan dan pengelolaan serta pengembangan
fasilitas peribadatan, dengan memberikan akses yang sama bagi setiap
pemeluk agama dengan memperhatikan kepentingan seluruh lapisan umat
beragama;
g. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, wakaf, infak,
shodaqoh, kolekte, dana punia, dan dana paramita, serta penyempurnaan
metode pengelolaan dan peningkatan profesionalisme tenaga pengelola;
h. Peningkatan penghematan biaya ongkos naik haji, pencegahan korupsi, dan
peningkatan kualitas pelayanan terhadap jamaah haji;
i. Peningkatan kualitas dan kapasitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga
pendidikan keagamaan; serta
j. Peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan agama untuk
mendukung perumusan kebijakan pembangunan bidang agama.

2. Peningkatan Kerukunan Intern dan Antarumat Beragama

a. Peningkatan kerjasama kelembagaan baik internal maupun eksternal;


b. Peningkatan kerukunan yang hakiki dikalangan elit dan pemuka agama;
c. Pembangunan dan penataan kembali aliran-aliran keagamaan;
d. Peningkatan kerukunan pada kelompok atau segmen generasi muda;
e. Pemulihan kondisi sosial dan psikologis masyarakat paskakonflik melalui
penyuluhan dan bimbingan keagamaan; serta
f. Peningkatan kerjasama intern dan antarumat beragama di bidang sosial
ekonomi, dan budaya.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan data sebelumnya maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa sebagian besar tokoh agama memandang bahwa kebijakan

perintah dalam bdang kehidupan beragama sudah cukup memadai namun

masih memiliki beberapa kelemahan.

Pertama dalam pelaksanaannya yang sering tidak sesuai dengan isi

aturan yang tertuang dalam kebijakan yang ada.

Kedua kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendirian

tempat ibadah dan bantuan luar negeri dipandang sebagai kebijakan yang

deskriminatif karena lebih menguntungkan ummat Islam, ummat non Islam

sangat dirugikan dengan adanya aturan tersebut.

Ketiga kebijakan penmerintah yang berkaitan dengan peringatan

hari besar keagamaan dipandang belum sepenuhnya berjalan dengan baik

bahkan ada tokoh agama yang menilai kebijakan ini berdampak negatif

terhadap hubungan antar umat beragama yang sudah berjalan dengan baik.

Pandangan ini menafikan tehadap pemilahan antara ibadah yang tidak boleh

diikuti pemeluk agama lain dan kegiatan keagamaan yang bisa diikuti oleh

pemeluk agama lain.

Keempat peran pemerintah dipandang oleh sebagian tokoh non

Islam lebih berpihak kepda mayoritas muslim sehingga dianggap merugikan

perkembangan agama minoritas. Peran sebagai fasilitator, administrator, dan


sebagai pengayom terhadap umat beragama belum dimainkan dengan baik

sehingga banyak terjadi keluhan-keluhan dari umat beragama..

Kelima sosialisasi dan pengawasan di lapangan terhadap

pelaksanaan peraturan pemerintah dalam bidang kehidupan beragama

dipandang masih sangat lemah sehingga menimbulkan pelanggaran-

pelanggaran.

B. Saran

Saran yang bisa diajukan, pertama perlunya diadakan dialog antar tokoh

agama dan perintah secara lebih intensiv, terbuka dan terus menerus untuk

mengatasi berbagai persoalan yang muncul dari implikasi penerapan kebijakan

pemerintah tersebut di lapangan. Kedua perlunya sosialisasi kebijakan pemerintah

tersebut sampai pada tingkat desa sehingga peratuan tersebut bisa dipahami

minimal oleh tokoh agama yang secara riil berhadapan dengan persoalan

hubungan antar umat beragama.


BAB V

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Semarang, Thoha Putra, Edisi Baru, 1989.
Aris Munandar, Upasaka Pandita Ananda, Riwayat Kehidupan Sang Budha,
Yogyakarta, Lembaga Pendidikan Agama Budha, 1971.

Chodidjah Nasution, Missionary Dalam Agama Budha dan Kristen Dan Dakwah
Dalam Agama Islam, Paper tidak diterbitkan, 1971.

Depag RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat


Beragama. Edisi ke-IV, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta, 1995/1996.

--------------, Masalah Hubungan Antar Ummat Beragama di Indonesia, Jakarta,


Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1979.

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Lesfi, Yogyakarta,
2002.

You might also like