Professional Documents
Culture Documents
TANGERANG
Oleh :
ELMA RAHMALIA
10606049
2009
BAB I
PENDAHULUAN
III-6
Tommy, kemudian media ditempatkan di dalam laminar untuk
pendinginan. Setelah suhu media turun menjadi 50- 80 oC, 20 ml media
dituang ke dalam tiap cawan petri. Media dibiarkan hingga mengeras.
Inokulasi R. oligosporus. Sampel tempe yang diperoleh dari tiga lokasi
diberi label, yaitu T1, T2, dan T3. Tiap sampel tempe kemudian dipotong
kecil menggunakan spatula steril secara aseptis di dalam laminar air flow.
Satu potongan kecil dari tiap sampel diinokulasikan pada medium PDA
plate yang telah disiapkan sebelumnya. Media isolasi kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24- 48 jam. Koloni R. oligosporus yang tumbuh
pada media diamati pada jam ke- 24 dan ke- 48.
III-7
suspensi spora dalam kultur slant dihomogenisasi dan diambil sebanyak
100 µ l. Kemudian dilakukan pengenceran suspensi spora sampai
pengenceran 10-4 dengan air steril. Suspensi spora yang telah diencerkan
kemudian diinokulasikan sebanyak 10 µ l ke dalam media seleksi koloni
dengan cara menempatkannya tepat di tengah cawan petri. Media kultur
seleksi koloni diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Jumlah spora
dalam sisa suspensi kultur agar miring dihitung menggunakan
hemositometer. Diameter lingkaran tumbuh kultur seleksi koloni diukur
saling tegak lurus pada jam ke 16, 24, 40, dan 48. Koloni dengan
pertumbuhan paling cepat dan sedikit menghasilkan spora dipilih untuk
masuk ke tahap selanjutnya.
III-8
menggunakan jarum oose steril. Setelah itu suspensi spora dalam kultur
slant dihomogenisasi. Sebanyak 10 % suspensi spora kemudian
diinokulasi ke dalam media inokulum substrat. Setelah itu media inokulum
substrat diinkubasi dalam inkubator shaker pada suhu 37 oC, kecepatan
100 rpm selama 48 jam. Setelah 48 jam inkubasi, kultur vegetatif R.
oligosporus yang tumbuh pada media siap digunakan.
III-9
Fermnetasi dilakukan secara triplo untuk tiap perlakuan. Substrat
kemduian diinkubasi pada suhu 37oC selama 4- 5 hari. Jumlah sel spora
pada sisa suspensi spora inokulum P dan S dihitung menggunakan
hemasitometer.
III-10
3.2 Pengamatan dan Analisis Data
3.2.1 Isolasi Kapang R. oligosporus
Hasil isolasi Rhizopus oligosporus setelah inkubasi ditunjukkan pada
Gambar B.1 dan Gambar B.2 pada Lampiran 2. Tempe yang digunakan untuk
isolasi R. oligosporus berasal dari tiga tempat, yaitu daerah Pamulang untuk T1,
daerah Serpong untuk T2, dan daerah Jakarta Pusat untuk T3. Setelah inkubasi
selama 4 hari, diperoleh koloni tunggal kapang yang diperkirakan adalah R.
oligosporus. Hal ini didasarkan pada ciri morfologis R. oligosporus yaitu miselia
yang kompak dan berwarna putih (Kuswanto, 1988). Hasil penelitian Rusmin dan
Ko (1974) menyebutkan bahwa R. oligosporus ditemukan di lebih dari 80 sampel
tempe yang dikoleksi dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Hasil penelitian
lain juga menyebutkan bahwa Rhizopus oligosporus merupakan jenis yang paling
sering dijumpai pada sampel tempe (Hesseltine et al., 1963 dalam Jurus and
Sanberg, 1976).
Pada Gambar B.1 koloni kapang T1A dan T1E terlihat tumbuh menyebar
sedangkan pertumbuhan T1B, T1C, dan T1D cenderung mengumpul. Sebaliknya,
Gambar B.2 menunjukkan bahwa kapang yang diisolasi dari sampel T 2 dan T3
tumbuh menyebar. Pada pengamatan hari keempat, koloni T1A adalah koloni yang
paling banyak membentuk spora dibandingkan koloni kapang lainnya. Hal ini
mungkin dikarenakan T1A adalah koloni yang pertumbuhannya paling cepat
dibandingkan koloni lainnya. Hal ini terlihat dari besarnya diameter koloni T1A
dibandingkan koloni lainnya. Semakin cepat pertumbuhan koloni maka nutrisi
yang ada pada media semakin cepat habis. Landecker (1996) menyebutkan bahwa
kapang cenderung membentuk spora ketika miselia telah menghabiskan nutrien
pada media dan pertumbuhan miselia menurun. Pada koloni T 1A sporulasi dimulai
dari daerah pinggir cawan petri. Hal tersebut dikarenakan benda keras (seperti
pinggiran cawan petri) merupakan salah satu faktor fisik yang menstimulus
sporulasi (McDonald and Bond, 1976, dalam Landecker, 1996).
Teknik isolasi dilakukan untuk memisahkan populasi campuran mikroflora
yang ada pada tempe sehingga diperoleh satu jenis mikroorganisme yang
diinginkan. Mikroflora dalam tempe terdiri atas bakteri, ragi, dan kapang. Kapang
dalam tempe adalah Rhizopus spp. dan pada umumnya satu diantara R.
III-11
oligosporus, R. oryzae, R. arrhizus, dan R. stolonifer (Hesseltine, 1968; Ambsah,
1979 dalam Listryowati, 1988). Pertumbuhan kapang yang diisolasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti nutrisi, suhu, pH, ketersediaan air dan oksigen.
Nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang disediakan oleh media.
Media yang digunakan untuk isolasi R. oligosporus adalah Potato Dextrose Agar
(PDA). PDA merupakan media umum (undefined media) yang terdiri atas materi-
materi alami sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang karena
mengandung gula, protein, vitamin, dan mineral yang mudah diasimilasi. Media
umum sering digunakan dalam kultur rutin berbagai jenis kapang karena mudah
dalam penyiapannya. PDA dan jenis media untuk kapang lainnya memiliki pH
dibawah 7 karena sebagian besar kapang tumbuh optimum pada pH asam
(Landecker, 1996). pH mempengaruhi ketersediaan kompleks ion-ion logam
dimana ion logam menjadi tidak larut pada kisaran pH tertentu. Hal tersebut akan
menyebabkan kapang mengalami defisiensi logam sehingga mengganggu
pertumbuhan kapang. Hadioetomo (1993) menyebutkan bahwa semua organisme
memerlukan unsur logam seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan,
besi, seng, tembaga, fosfor, dan kobalt untuk pertumbuhan normalnya. Selain itu,
pH juga mempengaruhi permeabilitas sel kapang dan aktivitas enzim. Enzim
menjadi inaktif pada pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan kapang adalah kelembaban.
Agar-agar pada media PDA mengandung air yang berikatan dengan gel. Kapang
membutuhkan sumber air yang cukup untuk pertumbuhannya karena air
merupakan sumber hidrogen dan oksigen. Kedua elemen tersebut dibutuhkan
kapang untuk pembentukan molekul-molekul organik. Selain itu air berperan
penting dalam aktivitas enzim di dalam sel atau hifa dan pencernaan ekstraselular
berbagai nutrien. Air juga berperan dalam translokasi nutrien ke dalam miselium
karena nutrien organik maupun mineral umumnya larut dalam air. Aerasi juga
mempengaruhi pertumbuhan kapang. Apabila udara terlalu banyak maka
permukaan media akan kering dan menghambat pertumbuhan kapang. Jika udara
terlalu lembab pertumbuhan kapang akan kalah oleh bakteri karena difusi oksigen
ke dalam massa media menjadi berkurang (Listryowati, 1988).
III-12
Suhu yang digunakan untuk inkubasi hasil isolasi adalah 37oC yang
merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan R. oligosporus (Rusmin and Ko,
1974). Landecker (1996) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan besar dan laju pertumbuhan organisme. Suhu
berpengaruh terhadap aktivitas enzim dan aktivitas kimia dalam sel. Enzim
menjadi inaktif pada suhu yang terlalu rendah dan terdenaturasi pada suhu tinggi.
Selain itu suhu juga mempengaruhi sintesis vitamin, asam amino, dan metabolit
lainnya.
Setelah diperoleh biakan murni hasil isolasi, kapang R. oligosporus
kemudian diinokulasi ke media yang mengandung onggok untuk seleksi koloni.
Seleksi koloni dilakukan untuk memilih strain R. oligosporus yang memiliki
kemampuan tumbuh paling baik pada media onggok. Sebelum diinokulasi ke
media seleksi, dilakukan subkultur R. oligosporus dari tiap sampel. Subkultur
dilakukan untuk memelihara dan mempersiapkan pengaktifan simpanan biakan
murni (Cappucino, 2004).
III-13
dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada media. Karena media yang digunakan
adalah sama maka dapat disimpulkan bahwa koloni T2A lebih mampu
menggunakan onggok pada media sebagai sumber nutrisinya dibandingkan T3B.
Oleh karena itu koloni yang terseleksi untuk digunakan pada fermentasi onggok
adalah T2A.
Tabel 3.1 Diameter pertumbuhan koloni R. oligosporus pada media seleksi
Waktu
Sampel Diameter X (cm) Diameter Y (cm)
Pengamatan
T1A Kontaminasi
T1E 2 2
T2A 2.3 2.3
JAM KE- 20
T2A 2 3
T3B 2 1.3
T3B 2.5 2.6
T1A Kontaminasi
T1E 3.8 3.8
T2A 4.5 4.5
JAM KE- 48
T2A 3.7 3.7
T3B 3 3.1
T3B 4 4
T1A Kontaminasi
T1E 6 5.5
T2A 6 5.7
JAM KE- 88
T2A 8 7.3
T3B 4.5 5
T3B 8 8.5
III-14
Kapang tumbuh lebih subur pada M2 dikarenakan adanya penambahan
larutan mineral pada media M2. Larutan mineral yang dicampurkan pada substrat
sebelum fermentasi terdiri atas urea, amonium sulfat, dan KH2PO4. Urea
merupakan sumber N yang mudah digunakan oleh mikroba karena strukturnya
yang sederhana. Amonium sulfat terdiri atas amonia yang merupakan sumber
nitrogen dan ion sulfat. Sulfur merupakan salah satu komponen dari molekul-
molekul yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kapang, seperti
asam amino (sistein, sistin, dan metionin) dan vitamin (tiamin dan biotin). Ion
sulfat masuk ke sel-sel kapang dengan transpor aktif dan kemudian direduksi dan
disatukan ke dalam molekul-molekul organik (misalnya protein). Selain itu sulfur
juga merupakan komponen dari beberapa produk samping metabolit yang
berperan memberikan aroma khas pada produk fermentasi makanan oleh ragi atau
kapang (Slaughter, 1989 dalam Landecker, 1996). KH2PO4 yang terdapat pada
larutan mineral mengandung ion potasium dan ion fosfat yang merupakan
makroelemen tambahan bagi kapang. Potasium digunakan dalam bentuk K2+ dan
berperan dalam regulasi potensial osmotik seluler dan proses transpor di dalam
sel. Ion fosfat termasuk unsur pokok dari makromolekul seperti DNA, RNA,
fosfolipid, dan molekul kecil seperti NAD, FAD, koenzim A, dan beberapa
vitamin. Selain itu fosfat penting dalam penyimpanan energi dan proses transfer di
dalam sel karena fosfat merupakan komponen dari ATP dan GTP. Sel kapang
mengambil fosfor dalam bentuk ion ortofosfat (HPO42-) (Landecker, 1996).
Satu sampel dari tiap perlakuan kemudian dipilih untuk analisis kadar
protein. Sampel yang dipilih adalah sampel dengan pertumbuhan kapang paling
subur pada tiap perlakuan dari tiga pengulangan yang dilakukan. Hasil analisis
kandungan protein total ditunjukkan oleh tabel pada Lampiran 4 dan Gambar 3.4.
III-15
18 16.75
16
14 13.38
12 11.13
10
8
6
4
1.94 2.13 2.13
il(%
) p
g
d
u
n
ro
tea
k
2
0
M1 M2
G
Gambar 3.4 Perbandingan kandungan protein total pada M1 dan M2
III-16
6 5.63
3
2.25
2
1
il(%
) p
g
d
u
n
ro
tea
k
0
M2
inokulum P inokulum S
Gambar 3.5 Perbandingan kenaikan protein total pada M2 yang diinokulasi dengan
inokulum P dan S
III-17
Gambar 3.6 Perbandingan kenaikan protein total pada M1 yang diinokulasi dengan
inokulum P dan S
III-18
mudah dicerna (Arbianto, 1987 dalam Listryowati, 1988). Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa onggok mengandung non-strach polysaccharide
(NSP) dalam jumlah tinggi yang merupakan struktur karbohidrat yang tidak dapat
dicerna, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin (Iyayi et al., 1997 dalam
Aro, 2008). Selulosa dan lignin tersebut didegradasi pada saat fermentasi sehingga
dihasilkan protein (Landecker, 1996). Hasil yang sama juga dibuktikan oleh
Miszkiewicz et al. (2004) dimana R. oligosporus menggunakan pati yang
terkandung pada substrat sebagai sumber karbon dan pada akhir fermentasi
jumlah protein pada substrat meningkat.
III-19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Rhizopus oligosporus yang berasal dari sampel T2A adalah strain yang
memiliki potensi sebagai strain terbaik untuk digunakan dalam fermentasi
substrat onggok karena pertumbuhannya yang menyebar dan sedikit
menghasilkan spora pada media yang mengandung onggok.
2. Kandungan protein onggok meningkat dari 1.93% sebelum fermentasi
menjadi 2.12% pada perlakuan onggok yang tidak ditambah larutan
mineral, baik pada inokulum P maupun inokulum S. Kandungan protein
onggok yang ditambah larutan mineral meningkat dari 11.12 % menjadi
16.75 % pada produk fermentasi inokulum P dan 13.37 % pada produk
fermentasi inokulum S.
4.2 Saran
1. Optimasi proses fermentasi padat perlu dilakukan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik lagi.
2. Identifikasi kapang hasil isolasi di Lab. Genetika sebaiknya dilakukan
untuk memastikan bahwa kapang yang digunakan adalah Rhizopus
oligosporus (prosedur ini biasa dilakukan di Lab. Probiotik Balai
Bioteknologi namun keterbatasan waktu kerja praktek dan padatnya
kegiatan lab. Genetika menyebabkan prosedur ini tidak dapat dilakukan).
IV-1
Daftar Pustaka
1. ARO, S. O., 2008. Imrpovement in the nutritive quality of cassava and its
by-products through microbial fermentation. African Journal of
Biotechnology, 7(25), pp. 4789- 4797.
2. CAPPUCINO, J.C. and SHJERMAN, N., 2004. Microbiology:
Laboratory Manual. San Fransisco: Benjamin Cummings Publishing
Company, Inc.
3. HADIOETOMO, R. S., 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
4. INGRAM, J. S., 1975. Standards, specifications, and quality requiremnets
for processed cassava products. London: Tropical Products Institute.
5. JURUS, A. M. and SUNDBERG, W. J., 1976. Penetration of Rhizopus
oligosporus into soybeans in tempeh. Applied and Environmental
Microbiology. 32(2), pp. 284- 287.
6. KUSWANTO, K.R. 1988. Fermentasi. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada.
7. LANDECKER, E. M., 1996. Fundamentals of the fungi. New Jersey:
Prentice Hall International Inc.
8. LISTRYOWATI, S., 1988. Membandingkan nilai cerna tempe hasil
fermnetasi inokulum tunggal hasil fusi Rhizopus oligosporus dengan R.
oryzae terhadap tempe hasil fermentasi inokulum campuran. Tesis Sarjana
Biologi. Institut Teknologi Bandung.
9. MISZKIEWICZ, H., BIZUKOJC, M., ROZWANDOWICZ, A. and
BIELECKI, S. 2004. Physiological properties and enzymatic activities of
Rhizopus oligosporus in solid state fermentations. Electronic joutnal of
polish agricultural universities. 7(1), pp. 1-7.
10. MUHIDDIN, N. A., JULI, N., ARYANTHA, I. N. P., 2001. Peningkatan
kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. JMS,
6(1), pp 1-12.
11. PADMAJA, G. and BALAGOPAL, 1985. Cyanide degradation by
Rhizopus. Can J Microbiol, 35(8), pp. 663-669.
IV-1
12. RAIMBAULT, M. and ALAZARD, D., 1980. Culture method to study
fungal growth in solid fermentation. Critical Reviews in Biotechnology, 4,
pp. 199-209.
13. RUSMIN, S. and KO, S. D., 1974. Rice-grown Rhizopus oligosporus
inoculum for tempeh fermentation. Applied Microbiology. 28(3), pp. 347-
350.
14. SOCCOL C.R., LEON, J. R., MARIN B., ROUSSOS S., and
RAIMBAULT, M., 1993. Growth kinetics of Rhizopus in solid state
fermentation of treated cassava. Sci Technol Leners, 7, pp. 563-568.
15. WANG, H.L., RUTTLE, D.I., HESSELTINE, C.W., 1969. Antibacterial
compound From a soybean product fermented by Rhizopus oligosporus.
Proc Soc Exper Biol Med, 131, 579-583.
IV-1
Lampiran 1
Struktur organisasi Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT
IV-1
Lampiran 2
Gambar Hasil Pengamatan Isolasi R. oligosporus
T1D T1E
Gambar B.1 Hasil isolasi R. oligosporus dari sampel T1 setelah inkubasi 4 hari
T2A T2B
T3A T3B
Gambar B.2 Hasil isolasi R. oligosporus dari sampel T2 dan T3 setelah inkubasi
4 hari
IV-1
Lampiran 3
Gambar Hasil Pengamatan Fermentasi Onggok
IV-1
Lampiran 4
Hasil Analisis Kadar Nitrogen dan Protein Total Produk Fermentasi
Perlakuan Media
Inokulum
M1 M2
Kontrol 0.31 % 1.78 %
Inokulum P 0.34 % 2.68 %
Inokulum S 0.34 % 2.14 %
Perlakuan Media
Inokulum
M1 M1
Kontrol 1.93 % 11.12 %
Inokulum P 2.12 % 16.75 %
Inokulum S 2.12 % 13.37 %
IV-1