You are on page 1of 26

PENINGKATAN KANDUNGAN PROTEIN ONGGOK MELALUI

PROSES FERMENTASI OLEH Rhizopus oligosporus TERSELEKSI

DI BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI BPPT, SERPONG,

TANGERANG

LAPORAN KERJA PRAKTEK

Oleh :

ELMA RAHMALIA

10606049

PROGRAM STUDI BIOLOGI

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2009
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan merupakan komponen penting dalam industri peternakan. Produksi
peternakan dunia meningkat seiring dengan peningkatan di dalam permintaan hasil-hasil
ternak seperti daging, telur, dan susu. Kebutuhan produk peternakan yang sangat tinggi
tersebut akan berkaitan dengan kebutuhan pakan untuk meningkatkan produk
peternakan. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah- langkah dalam peningkatan
penyediaan pakan. Salah satunya adalah dengan pemanfaatan limbah organik hasil
pertanian. Umumnya nilai gizi limbah pertanian sangat rendah, terutama dari segi
kandungan protein. Selain itu limbah pertanian mengandung serat kasar tinggi sehingga
nilai ketercernaannya rendah (Landecker, 1996). Salah satu limbah pertanian yang dapat
dimanfaatkan sebagi bahan baku pakan ternak adalah onggok. Onggok berasal dari
singkong (Manihot esculenta) yang merupakan ampas padat dari industri tepung
tapioka. Ingram (1975) menyebutkan bahwa onggok dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi karena mengandung karbohidrat dalam jumlah tinggi, yaitu sekitar 88.2
%. Selain kandungan karbohidrat yang tinggi, onggok berpotensi menjadi bahan baku
alternatif pakan karena harganya yang murah dan mudah diperoleh. Namun
pemanfaatan onggok sebagai bahan baku pakan dibatasi oleh rendahnya kandungan
protein ( sekitar 2.5%). Masalah lainnya adalah singkong dan produk limbahnya
mengandung non-strach polysaccharide (NSP) dalam jumlah tinggi. NSP merupakan
struktur karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan
lignin (Iyayi et al., 1997 dalam Aro, 2008). Limbah singkong juga mengandung anti-
nutrisi seperti hidrogen sianida (HCN) dan tannin dalam jumlah tinggi (Akpan and
Ikenebomeh, 1995 dalam Aro, 2008). Kehadiran anti-nutrisi tersebut mengakibatkan
rendahnya ketercernaan pakan oleh hewan ternak serta menurunnya kinerja hewan
ternak (Alawa and Amadi, 1990 dalam Aro, 2008).
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan protein onggok
adalah melalui fermentasi menggunakan kapang (Vanneste, 1982 dalam Soccol, et al.,
1993). Fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan
baku menjadi produk yang bernilai lebih tinggi, seperti asam-asam organik, protein sel
tunggal, antibiotika dan biopolimer (Muhiddin et al., 2001). Salah satu kapang yang
dapat digunakan untuk fermentasi adalah Rhizopus sp. Rhizopus merupakan kapang
yang dapat dikonsumsi (edible) dan telah lama digunakan dalam fermentasi makanan di
banyak negara timur, seperti Cina, Korea, Jepang, Indonesia, Malaysia, dan negara
lainnya (Raimbault and Alazard, 1980).
Rhizopus termasuk ke dalam ordo Mucorales. Anggota dari genus ini
diantaranya R. oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer, R. arrhizus dan lainnya. Fermentasi
menggunakan Rhizopus dapat meningkatkan kandungan protein dan ketercernaan
makanan (Soccol et al., 1993). Fermentasi dengan Rhizopus juga tidak menghasilkan
produk- produk yang bersifat toksik, seperti aflatoksin . Selain itu, penggunaan
Rhizopus untuk fermentasi menghasilkan biosida aktif yang dapat melawan bakteri
(Wang et al., 1969 ) dan mendetoksifikasi komponen anti nutrisi dari singkong
(Padmaja and Balagopal, 1985). Rhizopus dapat diisolasi dari tempe dimana Rhizopus
oligosporus merupakan jenis yang paling sering dijumpai pada sampel tempe meskipun
jenis Rhizopus lainnya kadang ditemukan (Hesseltine et al., 1963 dalam Jurus and
Sanberg, 1976). Selama proses fermentasi kapang mengubah senyawa-senyawa yang
ada di dalam substrat untuk pertumbuhan dan pembentukan protein sehingga produk
fermentasi merupakan bahan pakan dengan kandungan protein yang lebih tinggi. Selain
itu terjadi pula perombakan bahan-bahan yang kompleks menjadi lebih sederhana
sehingga mudah dicerna dan diserap oleh ternak. (Landecker, 1996).
1.2 Tujuan
Tujuan kerja praktek ini adalah:
1. Melakukan seleksi koloni kapang Rhizopus oligosporus pada beberapa sampel
tempe yang berasal dari pasar untuk mendapatkan strain yang paling baik dalam
fermentasi substrat onggok.
2. Mengetahui peningkatan kadar protein pada proses fermentasi onggok
menggunakan isolat strain Rhizopus oligosporus terseleksi/terpilih.

1.3 Waktu dan Tempat Kerja Praktek


Waktu : 1- 30 Juni 2009
Tempat : Laboratorium Mikrobiologi Veteriner,
Balai Pengkajian Bioteknologi- Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (Biotek-BPPT), Kawasan Puspiptek, Serpong.
BAB III
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK

3.1 Deskripsi Aktivitas


3.1.1 Alat dan Bahan
Alat Bahan
laminar air flow sampel tempe T1, T2, dan T3
autoklaf onggok
heater media PDA 3.9 %
inkubator suhu 37oC media PDB 2.65%
neraca analitik air steril
pH meter onggok
hemasitometer KH2PO4 0.01%
mikroskop pepton
shaker yeast extract 0.2%
blender KH2PO4 0.08%
tabung destruksi urea 1.6%
unit destruksi ammonum sulfat 1.6 %
unit destilasi semi automatis larutan NaOH 5%
Burret otomatis 50 ml selenium tablet
pipet volumetrik 25 ml indikator BCG- MM 0.1 %
lemari asam Larutan HCl 0.05 N
mikropipet larutan NaOH 40%
cawan petri larutan H3BO3 4%
tabung kultur H2SO4 pekat
jarum oose tips mikropipet
labu erlenmeyer 250 dan 500 ml alkohol 70%
pembakar bunsen alkohol 95%
spatula aluminium foil
beaker glass
tabung eppendorf
corong
gelas ukur

3.1.2 Cara Kerja


Isolasi Kapang R. oligosporus
 Penyiapan media isolasi. Media yang digunakan adalah Potato Dextrose
Agar (PDA) 3.9 %. Media dibuat dengan melarutkan 3.9 gram PDA untuk
setiap 1 liter air steril dalam labu erlenmeyer. Media disterilisasi pada suhu
121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit menggunakan autoclave

III-6
Tommy, kemudian media ditempatkan di dalam laminar untuk
pendinginan. Setelah suhu media turun menjadi 50- 80 oC, 20 ml media
dituang ke dalam tiap cawan petri. Media dibiarkan hingga mengeras.
 Inokulasi R. oligosporus. Sampel tempe yang diperoleh dari tiga lokasi
diberi label, yaitu T1, T2, dan T3. Tiap sampel tempe kemudian dipotong
kecil menggunakan spatula steril secara aseptis di dalam laminar air flow.
Satu potongan kecil dari tiap sampel diinokulasikan pada medium PDA
plate yang telah disiapkan sebelumnya. Media isolasi kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24- 48 jam. Koloni R. oligosporus yang tumbuh
pada media diamati pada jam ke- 24 dan ke- 48.

Seleksi Koloni R. oligosporus


 Penyiapan kultur slant. Regenerasi kultur R. oligosporus dilakukan
menggunakan media agar miring (slant) PDA. Media dibuat dengan
melarutkan 3.9 gram PDA untuk setiap 1 liter air steril dalam beaker glass.
Kemudian 12 ml media dimasukkan ke dalam tiap tabung reaksi. Media
disterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit.
Kemudian media dimiringkan dan dibiarkan hingga mengeras. Setelah itu
sampel T1, T2, dan T3 hasil isolasi diinokulasi secara duplo ke dalam media
slant dengan metode gores. Hasil regenerasi kemudian diinkubasi pada
suhu 37 oC selama 24- 48 jam.
 Penyiapan media seleksi koloni. Media seleksi koloni R. oligsporus
dibuat dengan melarutkan PDA 3.9%, onggok 1%, KH2PO4, dan 0.2 %
yeast extract dalam air steril. pH media diatur pada kisaran pH 5- 6. Media
kemudian disterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15
menit. Setelah itu media ditempatkan di dalam laminar untuk pendinginan.
Setelah suhu media turun menjadi 50- 80 oC, 20 ml media dituang ke
dalam tiap cawan petri. Media dibiarkan hingga mengeras.
 Inokulasi media seleksi koloni. Inokulasi dilakukan menggunakan
suspensi spora dari kultur slant. Air steril sebanyak 10 ml disuspensikan
permukaan kultur slant secara merata. Permukaan kultur slant kemudian
dikerik secara perlahan menggunakan jarum oose steril. Setelah itu

III-7
suspensi spora dalam kultur slant dihomogenisasi dan diambil sebanyak
100 µ l. Kemudian dilakukan pengenceran suspensi spora sampai
pengenceran 10-4 dengan air steril. Suspensi spora yang telah diencerkan
kemudian diinokulasikan sebanyak 10 µ l ke dalam media seleksi koloni
dengan cara menempatkannya tepat di tengah cawan petri. Media kultur
seleksi koloni diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Jumlah spora
dalam sisa suspensi kultur agar miring dihitung menggunakan
hemositometer. Diameter lingkaran tumbuh kultur seleksi koloni diukur
saling tegak lurus pada jam ke 16, 24, 40, dan 48. Koloni dengan
pertumbuhan paling cepat dan sedikit menghasilkan spora dipilih untuk
masuk ke tahap selanjutnya.

Kultur Inokulum R. oligosporus


 Penyiapan kultur slant. Regenerasi kultur R. oligosporus dilakukan
menggunakan media agar miring (slant) PDA yang ditambahkan dengan
onggok 1%. R. oligosporus yang berasal dari koloni pada media seleksi
diinokulasi secara duplo ke dalam media slant dengan metode gores. Hasil
regenerasi kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC. Setelah kultur tumbuh
subur memadati seluruh permukaan media agar, kultur siap digunakan.
 Penyiapan media inokulum. Media kultur vegetatif R. oligosporus yang
digunakan adalah media PDB 2.65%. Media dibuat dengan melarutkan
1.325 gram PDB untuk dalam 50 ml air steril dalam beaker glass.
Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 0.1 g yeast extract, 0.05 g
KH2PO4, dan 0.5 g onggok. Media disterilisasi pada suhu 121oC dan
tekanan 1 atm selama 15 menit. Kemudian media inokulum steril
ditempatkan dlaam laminar air flow untuk pendinginan sehingga mencapai
suhu 35- 40 oC. Pada saat suhu mencapai 35- 40 oC, media inokulum siap
diinokulasi menggunakan koloni R. oligosporus dari kultur slant yang
telah disiapkan sebelumnya.
 Inokulasi media inokulum substrat. Inokulasi dilakukan menggunakan
spora kultur slant yang disuspensikan dengan air steril sebanyak 10 ml per
tabung. Permukaan kultur slant kemudian dikerik secara perlahan

III-8
menggunakan jarum oose steril. Setelah itu suspensi spora dalam kultur
slant dihomogenisasi. Sebanyak 10 % suspensi spora kemudian
diinokulasi ke dalam media inokulum substrat. Setelah itu media inokulum
substrat diinkubasi dalam inkubator shaker pada suhu 37 oC, kecepatan
100 rpm selama 48 jam. Setelah 48 jam inkubasi, kultur vegetatif R.
oligosporus yang tumbuh pada media siap digunakan.

Fermentasi Substrat Onggok


 Penyiapan substrat. Media yang digunakan dalam fermentasi diberi dua
perlakuan yang berbeda. Media pertama (M1) adalah campuran onggok
dengan air steril sedangkan media kedua (M2) adalah campuran onggok
dengan larutan mineral. Pada M1, onggok yang telah dihaluskan
menggunakan blender dicampurkan air steril, dengan perbandingan 240 g
onggok : 360 ml air steril. Setelah dicampur rata, 31 gram campuran
ditimbang pada cawan petri (diameter 9 cm). Pembuatan M2 sama seperti
M1 namun digunakan air mineral sebagai pengganti air steril. Larutan
mineral yang digunakan terdiri dari 1.6% urea, 1.6% ammonium sulfat,
dan 0.08% KH2PO4 (pH diatur pada kisaran 7-7.2). Substrat kemudian
disterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit.
 Inokulasi substrat onggok. Media onggok M1 dan M2 difermentasi
menggunakan dua inokulum yang berbeda. Inokulum pertama berasal dari
kultur vegetatif R. oligosporus yang ditumbuhkan pada media campuran
PDB dan onggok. Inokulum diberi label P. Sedangkan inokulum kedua
berasal dari biakan murni hasil regenerasi dari media yang tidak
mengandung onggok (diberi label S). Inokulum P yang telah disiapkan
sebelumnya dicampurkan dengan 60 ml air steril dan dihaluskan dengan
blender. Sebanyak 3 ml inokulum P kemudian diinokulasi secara merata
ke seluruh permukaan M1 dan M2. Inokulum S diperoleh dengan
menambahkan air steril sebanyak 10 ml ke permukaan slant. Permukaan
kultur slant kemudian dikerik secara perlahan menggunakan jarum oose
steril. Setelah itu suspensi spora dalam kultur slant dihomogenisasi dan
diambil sebanyak 3 ml untuk diinokulasi ke permukaan M1 dan M2.

III-9
Fermnetasi dilakukan secara triplo untuk tiap perlakuan. Substrat
kemduian diinkubasi pada suhu 37oC selama 4- 5 hari. Jumlah sel spora
pada sisa suspensi spora inokulum P dan S dihitung menggunakan
hemasitometer.

Analisis Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl


Sebelum dianalisis kadar proteinnya, onggok hasil fermentasi dijemur
dibawah sinar matahari hingga kering. Setelah itu onggok terfermentasi
dihaluskan menggunakan blender. Sampel dari tiap perlakuan ditimbang sebanyak
2 gram. Satu butir selenium tablet dan 10 ml H 2SO4 kemudian ditambahkan pada
tiap sampel dan didestruksi dalam alat destruksi sampai sampel menjadi bening.
Sampel kemudian didinginkan. Setelah itu larutan H3BO3 4% dipipet sebanyak 25
ml ke dalam erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian didestilasi dengan alat
destilasi sampai selesai. Setelah itu dilakukan titrasi sampel dengan larutan HCl
0.05 N sampai titik akhir (sampel berubah warna menjadi abu-abu). Jumlah
pemakaian larutan HCl dicatat dan kandungan nitrogen total dihitung
menggunakan rumus pada Lampiran 4. Hasil penghitungan nitrogen total
kemudian dikalikan dengan faktor pengali (6.25) sehingga diperoleh kandungan
protein total.

III-10
3.2 Pengamatan dan Analisis Data
3.2.1 Isolasi Kapang R. oligosporus
Hasil isolasi Rhizopus oligosporus setelah inkubasi ditunjukkan pada
Gambar B.1 dan Gambar B.2 pada Lampiran 2. Tempe yang digunakan untuk
isolasi R. oligosporus berasal dari tiga tempat, yaitu daerah Pamulang untuk T1,
daerah Serpong untuk T2, dan daerah Jakarta Pusat untuk T3. Setelah inkubasi
selama 4 hari, diperoleh koloni tunggal kapang yang diperkirakan adalah R.
oligosporus. Hal ini didasarkan pada ciri morfologis R. oligosporus yaitu miselia
yang kompak dan berwarna putih (Kuswanto, 1988). Hasil penelitian Rusmin dan
Ko (1974) menyebutkan bahwa R. oligosporus ditemukan di lebih dari 80 sampel
tempe yang dikoleksi dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Hasil penelitian
lain juga menyebutkan bahwa Rhizopus oligosporus merupakan jenis yang paling
sering dijumpai pada sampel tempe (Hesseltine et al., 1963 dalam Jurus and
Sanberg, 1976).
Pada Gambar B.1 koloni kapang T1A dan T1E terlihat tumbuh menyebar
sedangkan pertumbuhan T1B, T1C, dan T1D cenderung mengumpul. Sebaliknya,
Gambar B.2 menunjukkan bahwa kapang yang diisolasi dari sampel T 2 dan T3
tumbuh menyebar. Pada pengamatan hari keempat, koloni T1A adalah koloni yang
paling banyak membentuk spora dibandingkan koloni kapang lainnya. Hal ini
mungkin dikarenakan T1A adalah koloni yang pertumbuhannya paling cepat
dibandingkan koloni lainnya. Hal ini terlihat dari besarnya diameter koloni T1A
dibandingkan koloni lainnya. Semakin cepat pertumbuhan koloni maka nutrisi
yang ada pada media semakin cepat habis. Landecker (1996) menyebutkan bahwa
kapang cenderung membentuk spora ketika miselia telah menghabiskan nutrien
pada media dan pertumbuhan miselia menurun. Pada koloni T 1A sporulasi dimulai
dari daerah pinggir cawan petri. Hal tersebut dikarenakan benda keras (seperti
pinggiran cawan petri) merupakan salah satu faktor fisik yang menstimulus
sporulasi (McDonald and Bond, 1976, dalam Landecker, 1996).
Teknik isolasi dilakukan untuk memisahkan populasi campuran mikroflora
yang ada pada tempe sehingga diperoleh satu jenis mikroorganisme yang
diinginkan. Mikroflora dalam tempe terdiri atas bakteri, ragi, dan kapang. Kapang
dalam tempe adalah Rhizopus spp. dan pada umumnya satu diantara R.

III-11
oligosporus, R. oryzae, R. arrhizus, dan R. stolonifer (Hesseltine, 1968; Ambsah,
1979 dalam Listryowati, 1988). Pertumbuhan kapang yang diisolasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti nutrisi, suhu, pH, ketersediaan air dan oksigen.
Nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang disediakan oleh media.
Media yang digunakan untuk isolasi R. oligosporus adalah Potato Dextrose Agar
(PDA). PDA merupakan media umum (undefined media) yang terdiri atas materi-
materi alami sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang karena
mengandung gula, protein, vitamin, dan mineral yang mudah diasimilasi. Media
umum sering digunakan dalam kultur rutin berbagai jenis kapang karena mudah
dalam penyiapannya. PDA dan jenis media untuk kapang lainnya memiliki pH
dibawah 7 karena sebagian besar kapang tumbuh optimum pada pH asam
(Landecker, 1996). pH mempengaruhi ketersediaan kompleks ion-ion logam
dimana ion logam menjadi tidak larut pada kisaran pH tertentu. Hal tersebut akan
menyebabkan kapang mengalami defisiensi logam sehingga mengganggu
pertumbuhan kapang. Hadioetomo (1993) menyebutkan bahwa semua organisme
memerlukan unsur logam seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan,
besi, seng, tembaga, fosfor, dan kobalt untuk pertumbuhan normalnya. Selain itu,
pH juga mempengaruhi permeabilitas sel kapang dan aktivitas enzim. Enzim
menjadi inaktif pada pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan kapang adalah kelembaban.
Agar-agar pada media PDA mengandung air yang berikatan dengan gel. Kapang
membutuhkan sumber air yang cukup untuk pertumbuhannya karena air
merupakan sumber hidrogen dan oksigen. Kedua elemen tersebut dibutuhkan
kapang untuk pembentukan molekul-molekul organik. Selain itu air berperan
penting dalam aktivitas enzim di dalam sel atau hifa dan pencernaan ekstraselular
berbagai nutrien. Air juga berperan dalam translokasi nutrien ke dalam miselium
karena nutrien organik maupun mineral umumnya larut dalam air. Aerasi juga
mempengaruhi pertumbuhan kapang. Apabila udara terlalu banyak maka
permukaan media akan kering dan menghambat pertumbuhan kapang. Jika udara
terlalu lembab pertumbuhan kapang akan kalah oleh bakteri karena difusi oksigen
ke dalam massa media menjadi berkurang (Listryowati, 1988).

III-12
Suhu yang digunakan untuk inkubasi hasil isolasi adalah 37oC yang
merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan R. oligosporus (Rusmin and Ko,
1974). Landecker (1996) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan besar dan laju pertumbuhan organisme. Suhu
berpengaruh terhadap aktivitas enzim dan aktivitas kimia dalam sel. Enzim
menjadi inaktif pada suhu yang terlalu rendah dan terdenaturasi pada suhu tinggi.
Selain itu suhu juga mempengaruhi sintesis vitamin, asam amino, dan metabolit
lainnya.
Setelah diperoleh biakan murni hasil isolasi, kapang R. oligosporus
kemudian diinokulasi ke media yang mengandung onggok untuk seleksi koloni.
Seleksi koloni dilakukan untuk memilih strain R. oligosporus yang memiliki
kemampuan tumbuh paling baik pada media onggok. Sebelum diinokulasi ke
media seleksi, dilakukan subkultur R. oligosporus dari tiap sampel. Subkultur
dilakukan untuk memelihara dan mempersiapkan pengaktifan simpanan biakan
murni (Cappucino, 2004).

3.2.2 Seleksi Koloni R. oligosporus


Pada hasil pengamatan, R. oligosporus yang diinokulasikan pada media
seleksi tumbuh secara radial. Miselia kapang tumbuh dimulai dari titik pusat
inokulasi ke arah luar sehingga membentuk lingkaran. Hasil pengukuran diameter
koloni secara periodik ditunjukkan oleh Tabel 3.1.
Pengukuran diameter secara periodik dilakukan untuk mengestimasi
besarnya pertumbuhan kapang. Landecker (1996) menyebutkan bahwa
pengukuran diameter koloni merupakan metode yang paling sederhana dalam
menaksir pertumbuhan kapang. Pengukuran diameter koloni dilakukan dua kali
(saling tegak lurus). Koloni dengan pertumbuhan diameter paling cepat
merupakan koloni yang memiliki pertumbuhan paling baik pada media seleksi.
Berdasarkan tabel 3.1, pertumbuhan koloni yang paling cepat pada media seleksi
adalah koloni T2A dan T3B. Namun koloni T3B lebih cepat dan lebih banyak
membentuk spora dibandingkan koloni T2A. Hal ini menunjukkan bahwa T2A
lebih mampu beradaptasi pada media yang mengandung onggok dibandingkan
T3B. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembentukkan spora

III-13
dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada media. Karena media yang digunakan
adalah sama maka dapat disimpulkan bahwa koloni T2A lebih mampu
menggunakan onggok pada media sebagai sumber nutrisinya dibandingkan T3B.
Oleh karena itu koloni yang terseleksi untuk digunakan pada fermentasi onggok
adalah T2A.
Tabel 3.1 Diameter pertumbuhan koloni R. oligosporus pada media seleksi
Waktu
Sampel Diameter X (cm) Diameter Y (cm)
Pengamatan
T1A Kontaminasi
T1E 2 2
T2A 2.3 2.3
JAM KE- 20
T2A 2 3
T3B 2 1.3
T3B 2.5 2.6
T1A Kontaminasi
T1E 3.8 3.8
T2A 4.5 4.5
JAM KE- 48
T2A 3.7 3.7
T3B 3 3.1
T3B 4 4
T1A Kontaminasi
T1E 6 5.5
T2A 6 5.7
JAM KE- 88
T2A 8 7.3
T3B 4.5 5
T3B 8 8.5

3.2.3 Fermentasi Substrat Padat


Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum pertumbuhan miselium
kapang pada media yang diberi larutan mineral lebih subur dibandingkan pada
media kontrol. Lampiran 3 menunjukkan gambar hasil fermentasi pada hari
kelima. Pada hari kelima, R. oligosporus yang berasal dari inokulum P tumbuh di
kedua jenis media (M1 dan M2). Namun pertumbuhan terlihat lebih padat pada
media yang diberi larutan mineral. R. oligosporus yang berasal dari inokulum S
tumbuh di ketiga ulangan pada M1 dengan pertumbuhan yang tidak begitu subur.
Pada M2, kapang tumbuh subur dan menyebar pada pengulangan pertama
sedangkan di pengulangan kedua dan ketiga pertumbuhannya tidak menyebar.
Pada media M1 dan M2 kontrol tidak teramati adanya miselia yang tumbuh.

III-14
Kapang tumbuh lebih subur pada M2 dikarenakan adanya penambahan
larutan mineral pada media M2. Larutan mineral yang dicampurkan pada substrat
sebelum fermentasi terdiri atas urea, amonium sulfat, dan KH2PO4. Urea
merupakan sumber N yang mudah digunakan oleh mikroba karena strukturnya
yang sederhana. Amonium sulfat terdiri atas amonia yang merupakan sumber
nitrogen dan ion sulfat. Sulfur merupakan salah satu komponen dari molekul-
molekul yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kapang, seperti
asam amino (sistein, sistin, dan metionin) dan vitamin (tiamin dan biotin). Ion
sulfat masuk ke sel-sel kapang dengan transpor aktif dan kemudian direduksi dan
disatukan ke dalam molekul-molekul organik (misalnya protein). Selain itu sulfur
juga merupakan komponen dari beberapa produk samping metabolit yang
berperan memberikan aroma khas pada produk fermentasi makanan oleh ragi atau
kapang (Slaughter, 1989 dalam Landecker, 1996). KH2PO4 yang terdapat pada
larutan mineral mengandung ion potasium dan ion fosfat yang merupakan
makroelemen tambahan bagi kapang. Potasium digunakan dalam bentuk K2+ dan
berperan dalam regulasi potensial osmotik seluler dan proses transpor di dalam
sel. Ion fosfat termasuk unsur pokok dari makromolekul seperti DNA, RNA,
fosfolipid, dan molekul kecil seperti NAD, FAD, koenzim A, dan beberapa
vitamin. Selain itu fosfat penting dalam penyimpanan energi dan proses transfer di
dalam sel karena fosfat merupakan komponen dari ATP dan GTP. Sel kapang
mengambil fosfor dalam bentuk ion ortofosfat (HPO42-) (Landecker, 1996).
Satu sampel dari tiap perlakuan kemudian dipilih untuk analisis kadar
protein. Sampel yang dipilih adalah sampel dengan pertumbuhan kapang paling
subur pada tiap perlakuan dari tiga pengulangan yang dilakukan. Hasil analisis
kandungan protein total ditunjukkan oleh tabel pada Lampiran 4 dan Gambar 3.4.

III-15
18 16.75
16
14 13.38

12 11.13

10
8
6
4
1.94 2.13 2.13
il(%
) p
g
d
u
n
ro
tea
k

2
0
M1 M2

kontrol inokulumP inokulumS

G
Gambar 3.4 Perbandingan kandungan protein total pada M1 dan M2

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa kandungan protein produk fermentasi


onggok pada M2 lebih tinggi dibandingkan M1. Hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan R. oligosporus pada M2 lebih padat dibandingkan M1. Muhiddin et
al. (2001) menyebutkan bahwa total protein diakhir fermentasi merupakan hasil
biokonversi dan protein mikroba hasil pertumbuhan. Jumlah massa mikroba yang
besar akan menyebabkan kandungan protein pada produk fermentasi meningkat
karena protein hasil pertumbuhan besar dan aktivitas biosintesis protein oleh
mikroba lebih tinggi. Protein merupakan makromolekul yang tersusun atas asam
amino dengan ikatan peptida. Asam- asam amino tersebut terdiri dari gugus amino
(-NH2) sehingga untuk mengetahui protein total sampel dianalisa kadar
nitrogennya (Kapoor et al., 1975 dalam Listryowati, 1988).

III-16
6 5.63

3
2.25
2

1
il(%
) p
g
d
u
n
ro
tea
k

0
M2

inokulum P inokulum S

Gambar 3.5 Perbandingan kenaikan protein total pada M2 yang diinokulasi dengan
inokulum P dan S

Gambar 3.5 menunjukkan bahwa diantara perlakuan M2 kenaikan protein


total pada media yang difermentasi dengan inokulum P lebih besar (5.625%)
dibandingkan media yang diinokulasi dengan inokulum S (2.25%). Hal ini
berbanding terbalik dengan jumlah sel spora dalam inokulum S yang lebih besar
(1x109) dibandingkan sel spora dalam inokulum P (2x105). Perbedaan jumlah
mikroba pada awal fermentasi secara teoritis mengakibatkan penggandaan jumlah
sel yang berbeda pula. Berdasarkan hal tersebut seharusnya massa sel R.
oligosporus pada M2S lebih besar dibandingkan M2P. Hal ini mungkin
dikarenakan inokulum P berasal dari koloni T2A yang sebelumnya telah
diadaptasikan pada media onggok ketika seleksi koloni, sedangkan inokulum S
belum pernah ditumbuhkan pada media yang mengandung onggok. Akibatnya R.
oligosporus yang berasal dari inokulum P lebih mampu mendegradasi komponen
pada onggok menjadi protein.

III-17
Gambar 3.6 Perbandingan kenaikan protein total pada M1 yang diinokulasi dengan
inokulum P dan S

Berdasarkan Gambar 3.6, kenaikan protein total pada M1 yang


diinokulasikan dengan inokulum P dan S adalah sama, yaitu sebesar 0.1875%. Hal
ini dikarenakan kurang suburnya pertumbuhan R. oligosporus akibat tidak adanya
larutan mineral pada media. Hal tersebut menyebabkan aktivitas biosintesis
protein rendah dan protein hasil pertumbuhan kecil.
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa
fermentasi dengan R. oligosporus dapat meningkatkan kandungan protein onggok.
Selama fermentasi, R. oligosporus mensintesis berbagai macam enzim yang
menghidrolisis substrat dan mengubah tekstur, rasa, serta aroma substrat. Proses
ini juga mengurangi komponen anti-nutrisi pada produk fermentasi. Penelitian
yang dilakukan oleh Miszkiewicz et al. (2004) membuktikan bahwa selama
fermentasi, R. oligosporus mensintesis enzim-enzim yang mendegradasi
polisakarida, lemak, dan protein, diantaranya lipase, alfa-amilase, xylanase,
endoglukanase, dan beta- glukosidase. R. oligosporus merupakan jenis yang
memiliki aktivitas proteolitik yang paling kuat dibandingkan anggota genus
Rhizopus lainnya. Dalam fermentasi, enzim lipolitik dan proteolitik memiliki
peranan penting dimana enzim-enzim tersebut akan memutuskan rantai
polipeptida protein dan membentuk oligopeptida dan asam amino bebas.
Berdasarkan hal tersebut maka onggok yang telah difermentasi menjadi lebih

III-18
mudah dicerna (Arbianto, 1987 dalam Listryowati, 1988). Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa onggok mengandung non-strach polysaccharide
(NSP) dalam jumlah tinggi yang merupakan struktur karbohidrat yang tidak dapat
dicerna, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin (Iyayi et al., 1997 dalam
Aro, 2008). Selulosa dan lignin tersebut didegradasi pada saat fermentasi sehingga
dihasilkan protein (Landecker, 1996). Hasil yang sama juga dibuktikan oleh
Miszkiewicz et al. (2004) dimana R. oligosporus menggunakan pati yang
terkandung pada substrat sebagai sumber karbon dan pada akhir fermentasi
jumlah protein pada substrat meningkat.

III-19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Rhizopus oligosporus yang berasal dari sampel T2A adalah strain yang
memiliki potensi sebagai strain terbaik untuk digunakan dalam fermentasi
substrat onggok karena pertumbuhannya yang menyebar dan sedikit
menghasilkan spora pada media yang mengandung onggok.
2. Kandungan protein onggok meningkat dari 1.93% sebelum fermentasi
menjadi 2.12% pada perlakuan onggok yang tidak ditambah larutan
mineral, baik pada inokulum P maupun inokulum S. Kandungan protein
onggok yang ditambah larutan mineral meningkat dari 11.12 % menjadi
16.75 % pada produk fermentasi inokulum P dan 13.37 % pada produk
fermentasi inokulum S.

4.2 Saran
1. Optimasi proses fermentasi padat perlu dilakukan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik lagi.
2. Identifikasi kapang hasil isolasi di Lab. Genetika sebaiknya dilakukan
untuk memastikan bahwa kapang yang digunakan adalah Rhizopus
oligosporus (prosedur ini biasa dilakukan di Lab. Probiotik Balai
Bioteknologi namun keterbatasan waktu kerja praktek dan padatnya
kegiatan lab. Genetika menyebabkan prosedur ini tidak dapat dilakukan).

IV-1
Daftar Pustaka

1. ARO, S. O., 2008. Imrpovement in the nutritive quality of cassava and its
by-products through microbial fermentation. African Journal of
Biotechnology, 7(25), pp. 4789- 4797.
2. CAPPUCINO, J.C. and SHJERMAN, N., 2004. Microbiology:
Laboratory Manual. San Fransisco: Benjamin Cummings Publishing
Company, Inc.
3. HADIOETOMO, R. S., 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
4. INGRAM, J. S., 1975. Standards, specifications, and quality requiremnets
for processed cassava products. London: Tropical Products Institute.
5. JURUS, A. M. and SUNDBERG, W. J., 1976. Penetration of Rhizopus
oligosporus into soybeans in tempeh. Applied and Environmental
Microbiology. 32(2), pp. 284- 287.
6. KUSWANTO, K.R. 1988. Fermentasi. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada.
7. LANDECKER, E. M., 1996. Fundamentals of the fungi. New Jersey:
Prentice Hall International Inc.
8. LISTRYOWATI, S., 1988. Membandingkan nilai cerna tempe hasil
fermnetasi inokulum tunggal hasil fusi Rhizopus oligosporus dengan R.
oryzae terhadap tempe hasil fermentasi inokulum campuran. Tesis Sarjana
Biologi. Institut Teknologi Bandung.
9. MISZKIEWICZ, H., BIZUKOJC, M., ROZWANDOWICZ, A. and
BIELECKI, S. 2004. Physiological properties and enzymatic activities of
Rhizopus oligosporus in solid state fermentations. Electronic joutnal of
polish agricultural universities. 7(1), pp. 1-7.
10. MUHIDDIN, N. A., JULI, N., ARYANTHA, I. N. P., 2001. Peningkatan
kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. JMS,
6(1), pp 1-12.
11. PADMAJA, G. and BALAGOPAL, 1985. Cyanide degradation by
Rhizopus. Can J Microbiol, 35(8), pp. 663-669.

IV-1
12. RAIMBAULT, M. and ALAZARD, D., 1980. Culture method to study
fungal growth in solid fermentation. Critical Reviews in Biotechnology, 4,
pp. 199-209.
13. RUSMIN, S. and KO, S. D., 1974. Rice-grown Rhizopus oligosporus
inoculum for tempeh fermentation. Applied Microbiology. 28(3), pp. 347-
350.
14. SOCCOL C.R., LEON, J. R., MARIN B., ROUSSOS S., and
RAIMBAULT, M., 1993. Growth kinetics of Rhizopus in solid state
fermentation of treated cassava. Sci Technol Leners, 7, pp. 563-568.
15. WANG, H.L., RUTTLE, D.I., HESSELTINE, C.W., 1969. Antibacterial
compound From a soybean product fermented by Rhizopus oligosporus.
Proc Soc Exper Biol Med, 131, 579-583.

IV-1
Lampiran 1
Struktur organisasi Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT

IV-1
Lampiran 2
Gambar Hasil Pengamatan Isolasi R. oligosporus

T1A T1B T1C

T1D T1E

Gambar B.1 Hasil isolasi R. oligosporus dari sampel T1 setelah inkubasi 4 hari

T2A T2B

T3A T3B

Gambar B.2 Hasil isolasi R. oligosporus dari sampel T2 dan T3 setelah inkubasi
4 hari

IV-1
Lampiran 3
Gambar Hasil Pengamatan Fermentasi Onggok

Gambar hasil fermentasi pada hari kelima*


* Keterangan: M1: media onggok tanpa larutan mineral
M2: media onggok dengan larutan mineral
K : kontrol
P : inokulum yang berasal dari koloni teradaptasi pada onggok
S : inokulum yang berasal dari koloni belum teradaptasi pada
onggok

IV-1
Lampiran 4
Hasil Analisis Kadar Nitrogen dan Protein Total Produk Fermentasi

Kandungan nitrogen total pada produk fermentasi dihitung dengan rumus:


Ntotal (% w/w)= (Vs- Vb) x NHCl x 14.01 x 100
berat contoh
Vs = volume HCl yang digunakan pada titrasi sampel
Vb = volume HCl yang digunakan pada titrasi blanko
NHCl = Normalitas HCl
Berat contoh dalam mg

Tabel 1. Kadar nitrogen produk fermentasi onggok menggunakan R. oligosporus

Perlakuan Media
Inokulum
M1 M2
Kontrol 0.31 % 1.78 %
Inokulum P 0.34 % 2.68 %
Inokulum S 0.34 % 2.14 %

Tabel 2. Kadar protein produk fermentasi onggok menggunakan R. oligosporus

Perlakuan Media
Inokulum
M1 M1
Kontrol 1.93 % 11.12 %
Inokulum P 2.12 % 16.75 %
Inokulum S 2.12 % 13.37 %

IV-1

You might also like