Professional Documents
Culture Documents
Mafia peradilan adalah "perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur
yang dilakukan oleh aktor tertentu ( aparat penegak hukum dan pencari keadilan ) untuk
memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan
perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga
menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan " ( Definisi
KP2KKN, 2006 , dalam pelatihan Anti Mafia Peradilan ). Penyalahgunaan wewenang sendiri
sebagaimana tersebut di atas, menurut UU No 3/1971 yang telah diperbarui oleh UU No31/ 1999
jo UU No20/ 2001 termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Ada beberapa hal yang membedakan antara penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada
korupsi yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif, dengan penyalahgunaan wewenang
yang bermuara pada korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum antara lain:
Pertama,status tanggung jawab yang melekat pada mereka sebagai aparat penegak hukum jika
mereka korupsi maka akan melakukan kesalahan ganda, karena otomatis tidak menjalankan
tanggung jawabnya untuk memberantas korupsi melalui penegakan hukum, dan melakukan
korupsi yang seharusnya ia berantas sendiri.
Kedua, sebagai penegak hukum yang telah ahli dalam membaca aturan dan praktik peradilan,
tentunya ia paham sekali lubang-lubang aturan sehingga sangat mudah baginya untuk
meloloskan diri dari jeratan hukum.
Masih maraknya korupsi di peradilan dan munculnya mafia peradilan menyebabkan pengadilan
di Indonesia berubah menjadi bursa keadilan. Siapa yang mempunyai uang dan kekuasaan bisa
membelinya dan menyebabkan pengadilan bukan lagi sebagai tempat mendapatkan keadilan.
" Siapa mampu memberi banyak, akan mendapatkan keadilan yang diinginkannya. Praktik ini
masih banyak ditemui dibeberapa pengadilan" kata koordinator Bidang hukum dan Monitoring
Peradilan Indonesia Corruption Watch ( ICW ) Emerson Yuntho ( Kompas 30 /8/ 2007 ).
ICW mengakui, bahwa mafia peradilan itu melibatkan semua unsur, mulai dari hakim,
pengacara, jaksa, polisi, hingga panitera, karyawan dan tukang parkir. Tetapi celakanya, hal itu
sudah dianggap hal yang biasa.
Data ini diperkuat dengan banyaknya pengaduan ke berbagai Lembaga Bantuan Hukum ( LBH )
terkait mafia peradilan. Tahun 2006, LBH Jakarta dilapori 13 kasus terkait mafia peradilan, 7
kasus di LBH Semarang dan 4 kasus di LBH Palembang.
Saat merayakan ulang tahun ke-62 Mahkamah Agung 20 Agustus yang lalu, Ketua mahkamah
Agung Bagir Manan menyatakan bantahan atas kondisi lembaga negara yang dipimpinnya, yang
dinilai pihak lain sebagai lembaga yang sarat dengan "mafia peradilan" dan tidak independen
seperti tujuh atau delapan tahun yang lalu. Sebaliknya, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro
Mukoddas mengungkapkan bahwa masih terdapat banyaknya laporan yang diterima lembaganya
dari korban atau pengacara yang menandakan masih maraknya mafia peradilan.
Bahkan hasil survei Transparency International ( TI ) memperkuat bahwa dugaan suap berasal
dari aparat pengadilan.
Proses penegakan hukum tidak pernah lepas dari tantangan dan godaan serta
variable-variabel yang melekat pada proses penegakan hukum antara lain karakter
hukum (nomo-logos), penerapan keadilan prosedural (teknologos), integritas moral,
dan ketangguhan mental para penegak hukum. Agar penegak hukum tidak
mengalami degradesi moral dan defisit mental, diperlukan adanya nutrisi knowledge
dan skill serta mekanisme kontrol yang berkelanjutan baik dalam hal kode etik,
social maupun yuridis terhadap tingkah laku para penegak hukum termasuk advokat.
3.Tantangan advokat
Dengan misi yang altruistic dan kepribadian yang diunggulkan , advokat dapat
memperluas jangkauan peran baik regional maupun internasional. Sebagai anggota
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan setelah era reformasi, Indonesia telah
mengadopsi dan meratifikasi konvensi-konvensi internasional, maka advokat
Indonesia dapat mengambil peran aktif dalam penegakan hukum yang terkait
dengan konvensi-konvensi internasional. Norma internsional juga telah mengatur
tentang profsi advokat. Antara lain tentang Basic Principles on the role of lawyers.
Guarantees for the functioning of lawyers:
16. Goverments shall ensure that lawyers(a) are able to perform all of their
professional function without intimidation, hindrance, harassment or improper
interference, (b) and able to travel and to consult with their clients freely booth
within their own country and abroad,and (c) shall bot suffer, or be threatened with,
prosecution or administrative, economics or other sanetions for any cation taken in
accordance with recognized professional duties, standard and ethics.
17. where the scurity of the lawyers is threatened as a result of diseharging their
function, they shall be adequately safeguarded by autoritis.
18. Lawyers shall not be identified with their clients or their clients causes as a result
of discharging their functions.
22. governments shall, recognize and respect that all communications and
consultation between lawyers and their clienta within their professional relationship
are confidential. (Adopted by the Eight United Nations Conggress on the Prevention
of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 september
1990).
Pertama, harus dilihat secara kasuistik, (a) perkara komersial besar (b) perlakuan
istimewa pada penggugat atau tergugat (c) pelanggaran telanjang hukum acara (d)
putusan yang aneh dan bertentangan dengan hukum. Kedua, penelusuran kekayaan:
(a) hakim, Jaksa dan Pengacara dalam perkara tertentu, (b) investigasi partikelir
(LSM seperti ICW, ICM, Judicial watch, Komisi yudisial, KPK PPATK).
Dalam pengelolaan ilmu hukum dan hukum sebagai pranata social, pendekatan
doctrinal juga dipengaruhi oleh dinamika pendekatan dialektika ilmu hukum.
Juga pusaran-pusaran perubahan-tatanan kehidupan masyarakat baik yang
menyangkut perubahan kualitas dan kesempatan memperoleh hak-hak
publiknya yang acapkali dipengaruhi oleh tekanan structural dari kekuatan-
kekuatan dominant dalam masyarakat. (Muh. Busyro Muqoddas, Ketua Komisi
Yudisial, 2005)
Dalam masyarakat dimana kelas menengah belum berperan sebagai kekuatan
pengontrol, penyeimbang dan perubah terhadap struktur plitik (kekuasaan
Negara), Negara yang berada ditangan kekuatan hegemonik, akan menyebabkan
posisi tawar rakyat tidak berdaya dihadapan kekuatan Negara. Dalam situasi
seperti ini, meningkatnya syahwat politik penguasa modal dan penguasa Negara
memudahkan terjadinya konspirasi politik. Kondisi ini akan diperparah ketika
elemen-elemen formil demokrasi (parpol dan parlemen) berselingkuh secara
terbuka dengan kekuatan konspiratif tersebut.
Bertitik tolak dari pandangan teoretikal bahwa hukum sebagai instrument yang
diperlukan bagi perubahan-perubahan social politik ekonomi dan
ketatanegaraan, ditangan kekuasaan yang hegemonic, alih-alih, hukum
pembentukannya dalam proses legislasi nasional dan melalui putusan hakim
sebagai instrument “pembebas ketertindasan dan ketidakadilan”, bahkan
sebagai system norma yang menindas dan memperkuat serta memperpanjang
ketidak adilan structural.
Praktik kehidupan hukum nasional dalam legislasi maupu dalam bentuk proses-
proses peradilan yang bersifat menindas telah terjadi dalam era Presiden
soekarno da Presiden Soeharto. Diantara banyak pengamat keadilan, Daniel
S.Lev mendeskripsikan hal demikian; bahwa dalam komunitas kaum
cendekiawan, sebagaimana ditulis Daniel Dakhidae dalam kedua era otoritarian
iu terjadi praktik pelacuran cendekiawan. Pidato kebudayaan Ahmad Syafi’i
Ma’arif tahun 2005 di TMI Jakarta mempertegas kembali, bahwa kini tengah
terjadi “pengkhianatan” terhadap kaum intelektual di Indonesia.
Komunitas Advokat, Hakim, jaksa serta Polisi yang relatif merupakan kelas
menengah dari segi intelektual serta mapan dari segi ekonomisnya,
dipertanyakan perannya, bagaiman harus memahami dan menyikapi situasi
ketika hukum berada dalam sejumlah berbagai setting ermasalahan diatas.
Patut dipertanyakan, bagaimana advokat menegaskan otentisitas pandangan
dasarnya mengenai hal-hal esensial yang terkait dengan hubungan antara hak,
kewajiban, klien, makna kebenaran, nilai-nilai dan ruh keadilan serta
keberpihakan pada komunitas tertindas (mustadz’afien).
Pertanyaan diatas cukup relevan, ketika dewasa ini, suara nurani dan akal sehat
komunitas ini semakin jauh terdengar dari wilayah-wilayah problem riil
ketidakadilan sebagai akibat system yang menindas. Juga sebagai akibat dari
desakan godaan materialisme yang menempatkan “materi” sebagai “berhala”
yang disembah-sembah, selain tentunya live style advokat dan keluarganya (istri,
anak dll) penganut dan pengamal glamour style. Merata dan menguatnya mafia
peadilan dewasa ini, harus diakui sebagai sumbangan terbesar dari sementara
kalangan advokat.
Skandal tragis dan memalukan di Mahkamah Agung dengan sejumlah kasus
mafia peradilan akhir-akhir ini, dengan jelas menggambarkan kinerja yang
sistemik antara elemen advokat, broker (cukong, pegawai Mahkamah Agung),
dan Hakim Agung. Dan patut disesalkan, dalam menyikapi praktik mafia
peradilan yang merupakan “jenis kejahatan terbesar” dan pembunuh masa
depan bangsa ini, komunitas advokat penegak hukum dan keadilan hanya
bersuara lirih, ragu-ragu dan sayup-sayup dilorong-lorong kecil. Yang menjadi
pertanyaan adalah sejauh mana signifikasinya terhadap usaha menca[pai
keadilan dalam system peradilan.
TUGAS
MAKALAH
PKN
MATERI:MAFIA PERADILAN
Daftar Isi…………………………………………...
Pengertian mafia peradilan Hal 1.
Peradilan Sebagai Bursa Hal 2.
Terdapat beberapa langkah untuk mendeteksi adanya praktik mafia peradilan sebagai
sebuah judicial corruption. Hal 5.