You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jepang merupakan salah satu negara yang populasi lansia tertinggi di dunia.
Hal ini sesuai dengan kondisi di Indonesia khususnya di provinsi D.I Yogyakarta
yang memiliki populasi lansia terbanyak di Indonesia. Usia Harapan Hidup di D.I
Yogyakarta berada pada usia 74 tahun, usia ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan
usia harapan hidup di Indonesia yang berada pada usia 72 tahun.

Masa lanjut usia merupakan masa perkembangan terakhir manusia.


Perkembangan manusia akan diikuti dengan perubahan-perubahan khas yang
menyertai. Perubahan fisik yang terjadi pada lansia seperti penurunan fungsi pada
berbagai sistem organ. Selain itu pada lansia juga terdapat perubahan fungsi
psikologis misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan,
perasaan tersisih atau merasa diabaikan.

Dukungan sosial merupakan kunci utama dalam memelihara kesehatan pada


lansia dari segi psikologis. Dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang
berasal dari teman, anggota keluarga, bahkan pemberi perawatan kesehatan yang
membantu individu ketika terdapat suatu masalah (Videbeck, 2008). Sumber
dukungan sosial bermacam-macam. Dukungan sosial bisa saja datang dari berbagai
pihak, tetapi dukungan sosial yang sangat bermakna dalam kaitannya dengan masalah
kesepian adalah dukungan sosial yang bersumber dari mereka yang memiliki
kedekatan emosional seperti keluarga dan kerabat dekat.

Sementara itu, hubungan negatif yang dialami lansia juga dinilai ada
hubungannya dengan fungsi mental lansia. Beberapa kejadian seperti kritikan,
ketidakpercayaan terhadap lansia yang dilakukan oleh orang lain ada hubungannya
dengan kesehatan mental lansia. Kondisi ini dianalisis dalam jurnal Mental health
among older adults in Japan: do sources of social support and negative interaction
make a difference.

1
B. Tujuan
1. Mengetahui Evidence Based Nursing pada aspek psikososial khususnya pengaruh
dukungan sosial dan interaksi negatif dari berbagai sumber yang berbeda terhadap
kesehatan jiwa dewasa tua (lansia).
2. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kesehatan jiwa pada dewasa
tua (lansia).

C. Manfaat
1. Bagi Perawat
Dapat memberikan tindakan selanjutnya seperti promosi kesehatan mengenai
kesehatan jiwa lansia.
2. Bagi Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan tentang kesehatan jiwa, dukungan sosial, dan
interaksi negatif yang terjadi pada lansia.
3. Bagi Klien dan Keluarga
Dapat memberikan dukungan sosial dan interaksi yang positif untuk menunjang
kesehatan jiwa lansia yang lebih sehat.

2
BAB II
LITERATUR REVIEW

A. Kesehatan Jiwa
Kesehatan Jiwa (mental health) adalah status kinerja fungsi kejiwaan yang
baik yang memberikan hasil berupa aktivitas yang produktif, penjalinan hubungan
dengan orang lain dan suatu kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan
dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Kesehatan jiwa yang baik diungkapkan dalam kematangan emosional,
kesehatan jiwa yang baik akan dapat:
– Tetap berfungsi saat berada dalam tekanan.
– Berubah atau beradaptasi terhadap perubahan disekitar mereka.
– Memeiliki kepuasaan lebih dalam memberi bukan menerima.
– Memberikan perhatian kepada orang lain.
– Dapat menahan benci dan bersalah
– Menyayangi orang lain.

Perkembangan jiwa di dunia:


LAYANAN KESEHATAN JIWA ERA PD II
_ Era pengobatan moral (tradisional), pasung dll
_ Rumah sakit jiwa (pengobatan medis)
_ Gerakan higiene mental (identifikasi dan pengobatan secara dini)

LAYANAN KESEHATAN JIWA PASCA PD II


_ Deinstitusionallisasi (pemulangan pasien dalam skala besar dari RSJ)
_ Dibuatkan UU (orang sakita jiwa TJ negara).
_ Lembaga Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat.
_ Pelintaslembagaan (pemidandahan pasien dari institusi publik ke institusi lain akibat
perubahan kebijakan)
_ Program dukungan masyarakat (dukungan sosial bagi penderita kejiwaan)

LAYANAN KESEHATAN JIWA DI INDONESIA


_ Dibangun RSJ hampir disetiap daerah.
3
_ Adanya pembinaan bagi penderita gangguan jiwa yang liar
_ Rumah bagi Tunawisma
_ Pemasungan merupakan pelanggaran HAM
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas
pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari
Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI,
1992:6)
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi
para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
 Penurunan Kondisi Fisik
 Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
 Perubahan Aspek Psikososial
 Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
 Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga
berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin
rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia
mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan
gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan
lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau
tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir

4
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya
makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti :
 Gangguan jantung
 Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus
 Vaginitis
 Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
 Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang
 Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer, serta
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
 Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
 Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya
 Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
 Pasangan hidup telah meninggal
 Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia
sebagai berikut:

5
 Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
 Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
 Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika
tidak segera bangkit dari kedukaannya.
 Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
 Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status
dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari
model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi
masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang
merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh
terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak
bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup
lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun
yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan

6
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-
masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan
arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan
pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara
berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini
ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi
masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka
menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.
Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan
kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya
dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang
bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika
keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain
dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung
diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis
bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung
karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan
pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali
menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation
yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial
7
Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai
seorang lansia.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


_ Pencegahan
_ Primier yaitu mencegah munculnya kesakitan jiwa misalnya pelatihan pemecahan
masalah kognitif untuk mencegah kegagalan disekolah serta kelompok dukungan
sosial bagi yang baru menjanda.
_ Sekunder yaitu intervensi kejadian krisis, program penurunan kejahatan dan
program dukungan bagi karyawan.
_ Tersier yaitu pengobatan dan rehabilitas.
_ Pelayanan Pencegahan, misalnya NMHA (National Mental Health Association)
lembaga relawan swasta: memberikan pelatihan manajemen stress, pengembangan
kepercayaan diri dan keterampilan.
_ Pendekatan Terapi, misalnya psikoterapi, psikofarmakologi.

B. Dukungan Sosial
Informasi yang meliputi satu atau lebih 3 hal berikut:
1. Informasi terkemuka subjek bahwa ia dicintai dan diperhatikan
2. Informasi terkemuka subjek bahwa ia dihargai
3. Informasi terkemuka subjek bahwa ia termasuk jaringan sosial dalam komunikasi

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang


diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Dukungan social ini mengarah
pada variable tingkat individual, dan merupakan sesuatu yang dimiliki tiap orang dan
dapat diukur dengan pertanyaan tertentu. Dukungan sosial bisa saja datang dari
berbagai pihak, tetapi dukungan sosial yang sangat bermakna dalam kaitannya dengan
masalah kesepian adalah dukungan sosial yang bersumber dari mereka yang memiliki
kedekatan emosional seperti keluarga dan kerabat dekat.
Dukungan Sosial merupakan dukungan emosional yang berasal dari teman,
anggota keluarga, bahkan pemberi perawatan kesehatan yang membantu individu
ketika terdapat suatu masalah. Dukungan sosial merupakan faktor penting dalam
promosi dan pemeliharaan kesehatan umum dalam jangka panjang, berkontribusi

8
terhadap fisik dan kognitif, serta berfungsi dan mendukung keterlibatan dengan
kehidupan. Dukungan sosial sangat berpengaruh tidak hanya dalam kaitannya dengan
perilaku kesehatan, baik pencegahan dan pengobatan, tetapi juga pada bagaimana
individu dengan masalah medis serius bereaksi dan pulih dari berbagai penyakit.
Penentu lingkungan sosial termasuk dukungan sosial, kekerasan dan pelecehan,
dan pendidikan. Faktor ini mempengaruhi kualitas hidup orang tua untuk
mempengaruhi lingkungan mereka positif atau negatif. Dukungan sosial dapat
mengurangi jumlah obat yang dibutuhkan, mempercepat pemulihan dan memfasilitasi
sesuai dengan resimen medis yang ditentukan.

Dukungan Keluarga
Keluarga sebagai sumber dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam
penyembuhan pasien. Walaupun keluarga tidak selalu merupakan sumber positif
dalam kesehatan jiwa, mereka merupkan bagian penting dalam penyembuhan pasien
yang paling sering. Petugas kesehatan khususnya perawat tidak dapat sepenuhnya
menggantikan peranan anggota keluarga. Perawat juga harus mendorong anggota
keluarga untuk terus mendukung pasien dan mengidentifikasi kekuatan keluarga
seperti cinta dan perhatian, yang merupakan sumber bagi pasien.

C. Negative Relathionship
Negative Relationship atau dalam bahasa Indonesia disebut hubungan yang
negatif. Dalam statistika relationship atau hubungan, mempunyai dua variabel karena
adanya ketidaksesuaian dalam kemiringan grafik. Contoh: pada pengamatan
hubungan negatif antara penyakit dan vaksinasi. Insidensi vaksinasi meningkat,
kejadian penyakit mengalami penurunan dan sebaliknya. Dapat dibandingkan pada
contoh hubungan positif antara penyakit dan waktu sakit. Akan dapat terlihat jika
kejadian penyakit meningkat maka hari untuk cuti kerja juga meningkat.
(Wikipedia,2011)
Analogi itu merupakan contoh statistika mengenai gambaran hubungan tidak
sehat. Lansia sering mengalami hubungan yang negatif. Beberapa penyebab hubungan
yang negatif menurut Connors antara lain:
1. Unresolved conflicts. Konflik yang tidak terselesaikan sering memicu adanya
siklus negatif dalam menjadi hubungan. Apabila konflik tersebut tidak ditangani
dengan baik maka akan terjadi siklus negatif. Konflik yang belum terselesaikan
9
secara fisiologis adalah luka yang menimbulkan pus atau nanah yang
menggerogoti satu atau kedua pasangan. Konflik sosial terjadi adanya
ketidakharmonisan dalam hubungan. Ahli hubungan John Gotman mengatakan
bahwa keberhasilan hubungan sering tergantung pada orang dalam menerima
pengaruh dari kekuasaan dan berbagai nasehat dari perempuan. Konflik antara
kedua pasangan lansia yang sama – sama mempunyai kebutuhan yang sama dan
saat mencukupi kebutuhan menimbulkan konflik yang tidak dapat dihindarkan.
Baiknya pasangan tersebut saling memngungkapkan perasaan dan lebutuhan agar
pasangan mereka mendengarnya dan pasangan juga mengerti serta belajar
mengenai perasaan mereka.
2. Negative reciprocity is the other driver. Interpretasi dan Reaksi yang salah
terhadap suatu hal akan mengakibatkan terjadinya hubungan negatif. Penggunaan
interpretasi yang negatif akan menurunkan tingkat interaksi yang menurun
mencerminkan penurunan tingkat spiritual.
3. Loss of trust.kepercayaan merupakan kunci utama dalam nejalin hubungan. Jika
kepercayaan bertahap menghilang bertahap karena buruknya perilaku dan sikap
maka akan semakin memperburuk pula hubungan. Kehilangan kepracayaan
dalam menjalin hubungan sering mengakibatkan matinya komunikasi dan dapat
menyebabkan penghindaran psikologis dan menarik diri. Begitu kepercayaan
tumbuh, maka ada sedikit motivasi untuk bersikap baik atau untuk
mempertimbangkan orang lain. Sebaliknya, begitu kepercayaan hilang, hubungan
memiliki sedikit kesempatan untuk bertahan hidup
Becoming Enemies. Hubungan negatif juga muncul karena masalah masa lalu
yang kemudian diakumulasikan pada masa datang. Beberapa orang mungkin memang
sengaja membuat hubungan menjadi negatif terhadap pasangannya karena merupakan
wujud balas dendam. Beberapa gaya yang terjadi pada fase ini adalah beberapa orang
sering menjadi musuh psikologis. Artinya berusaha melemahkan lawan bicara berupa
kesejahteraan dan reputasi si lawan bicara. Ada juga musuh materi yang
menggunakan manipulasi hukum untuk menyita uang. Ketiga, merupakan menyakiti
dan memanipulasi anak – anak. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan hubungan
menjadi sangat negatif.

10
BAB III
ISI JURNAL

A. Jurnal
Judul : Mental health among older adults in Japan: do sources of social
support and negative interaction make a difference?
Pengatang : Hideki Okabayashi, Jersey Liang, Neal Krause, Hiroko Akiyama,
Hidehiro Sugisawa.
Tahun terbit : 2004

B. Isi Jurnal
Latar Belakang Jurnal
Penelitian yang ekstensif telah menyarankan bahwa dukungan sosial
merupakan penentu utama kesehatan di usia tua. Dewasa akhir memiliki jaringan
sosial yang mendukung, mereka yang mempunyai dukungan sosial yang adekuat
cenderung lebih baik dalam fisik dan mental kesehatan daripada mereka yang tidak
(Berkman, 1984; House, Landis & Umberson, 1988; Krause, 2001; Rowe & Kahn,
1998).
Selain itu, dewasa akhir menerima dukungan sosial dari sumber-sumber yang
berbeda, karena beberapa peran sosial mereka (yaitu, pasangan, orang tua, saudara,
dan teman), tergantung paling dekat hubungan interpersonalnya. Jika beberapa peran
lebih dihargai daripada yang lain, dan berkomitmen terhadap mereka. Kemudian
pertukaran sosial dalam peran tersebut juga akan berdampak lebih besar pada
kesejahteraan psikologis.
Menurut model kompensasi hirarki, kerabat lain, teman, dan tetangga adalah
pilihan sumber bantuan dalam rangka berurutan setelah pasangan dan anak-anak,
dengan organisasi formal yang tidak disukai dan tidak akan dipanggil untuk meminta
bantuan (Antonucci, 2001; Cantor & Little, 1985).Sehubungan dengan gejala depresi
di kalangan orang tua, Dean, Kolody, dan Wood (1990) menemukan bahwa pasangan,
teman, dan anak-anak yang telah dewasa menduduki peringkat yang penting,
sedangkan kerabat lainnya menunjukkan tidak ada pengaruhnya. Temuan ini semakin
11
diperkuat oleh bukti bahwa Amerika dan India, dukungan emosional dari pasangan
jauh lebih penting daripada dengan anak-anak dewasa, teman-teman, atau keluarga
dalam mempengaruhi kesejahteraan personal (Venkatraman, 1995).
Sebagian besar didasarkan pada penelitian yang berasal dari Amerika Serikat
atau Western developed nations yang lain , bukti yang relevan dari masyarakat lain
sangat jarang. Budaya memainkan peran penting dalam membentuk individu kognitif,
emosional, dan perilaku (Fiske, Kitayama, Markus, & Nisbett, 1998).
Sebagai contoh, budaya Asia bahwa anak-anak dewasa diharapkan untuk
mematuhi dan menghormati orang tuanya, mendukung orang tua mereka di usia tua,
dan memberikan prioritas kebutuhan orangtua mereka selama mereka sendiri (Ishii-
Kuntz, 1997). Sebaliknya, budaya Amerika tidak menempatkan penekanan yang sama
pada keterhubungan tersebut. Sebaliknya, individu berusaha untuk mempertahankan
kemandirian mereka dari orang lain dengan memperhatikan diri sendiri dan
menemukan serta mengekspresikan kekhasan mereka (Markus & Kitayama,1991).
Nilai-nilai budaya (misalnya, individualisme versus kolektivisme) dapat
mempengaruhi hubungan sosial dan kesejahteraan, karena kewajiban orang terhadap
orang lain ditentukan oleh konteks budaya . Sebagai contoh, ada beberapa bukti
positif yang mempengaruhi keterkaitan dengan keterlibatan interpersonal diri di
Jepang dengan pelepasan diri interpersonal di Amerika Serikat (Kitayama, Markus, &
Kurokawa, 2000).
Baik Jepang dan Amerika Serikat berada dalam tahap yang sama dalam
pembangunan ekonomi dan penduduk yang cepat mengalami penuaan (OECD,
1998).Namun, perbedaan signifikan dari Amerika Serikat dan Jepang adalah dalam
mendukung usia tua. Merawat lanjut usia sangat dihargai di Jepang, dan merupakan
tanggung jawab generasi berikutnya. Mampu tergantung pada anak-anak mereka di
usia tua umumnya dipandang sebagai suatu berkat dan keberuntungan.
Di sisi lain, di Amerika Serikat, beberapa pengamat telah menafsirkan tren
selama 50 tahun terakhir Lanjut usia di Amerika Serikat berusaha untuk hidup
mandiri dari anak-anak mereka sebagai tanda penurunan keluarga sebagai sumber
keamanan usia tua (Silverstein & Bengtson, 1997). Namun, pada tahun 1960-an, studi
menunjukkan bahwa lansia tidak terisolasi dari anak-anak dewasa mereka tetapi
sering berinteraksi dan bertukar bantuan bahkan ketika terpisah oleh jarak fisik besar
(Shanas, 1979). Namun, secara keseluruhan tingkat memberi dan menerima dukungan
antara orang tua dan anak-anak dewasa mereka tidak terlalu tinggi, dan mereka yang
12
baru-baru ini mengalami menjanda, mereka dalam kemiskinan, dan mereka yang
menjadi caregivers, tidak lebih mungkin untuk menerima dukungan dari anak-anak
mereka dibandinkan ornag tua yang tidak membutuhkan (Hogan & Eggebeen, 1995).
Usia dukungan di Jepang mungkin bersifat konvergen dibandingkan dengan
mereka negara-negara maju di Barat, karena beberapa makro-demografi dan sosial
tren. Pertama, penurunan wirausaha, sebagai akibat dari perubahan struktural ekonomi
di Jepang, telah berkurang keuntungan ekonomi dari co-tinggal. Kedua, ditandai
meningkatnya partisipasi perempuan dalam bekerja, secara signifikan telah
mengurangi waktu dan energi perempuan tersedia untuk perawatan keluarga. Ketiga,
peningkatan cakupan dan imbalan yang diberikan oleh pensiun publik sehingga
meningkatkan status keuangan lansia di Jepang, dan telah mengurangi ketergantungan
mereka pada anak-anak mereka di beberapa dekade terakhir (Ogawa & Retherford,
1993, 1997). Keempat, pelayanan perawatan jangka panjang termasuk panti penitipan
pada siang hari, pembantu rumah, dan pusat pensiun telah tumbuh secara signifikan di
Jepang. Pada tahun 2000 sebuah nasional sistem asuransi perawatan jangka panjang
dimulai untuk melengkapi perawatan informal berbasis keluarga (Campbell &
Ikegami, 2000). Akhirnya, survei secara konsisten menunjukkan penurunan tidak
hanya dalam sikap yang menguntungkan terhadap anak yang berpusat pada
penyediaan pelayanan untuk orang tua lanjut usia, tetapi juga dalam proporsi setengah
baya dan tua orang yang berharap untuk mengandalkan dukungan dari anak-anak
mereka (Ogawa & Retherford, 1993, 1997). Dilihat dari perubahan ini, survei juga
menunjukkan bahwa sebagian besar orang Jepang yang sudah tua dan anak-anak
mereka sekarang berencana untuk mulai mempertimbangkan co-tinggal hanya bila
satu orangtua meninggal dunia atau sakit parah (Naoi, 1996). Akibatnya, Ogawa dan
Retherford (1993, 1997) berpendapat bahwa dukungan usia tua di Jepang merupakan
contoh dari perubahan normatif di balik transformasi cepat yang mendasari kondisi
sosial ekonomi dan demografi.

Metode
Sampel
Data dalam penelitian ini diperoleh dari survey national Probability jepang
dengan usia 60 tahun atau lebih sejumlah 2200 orang Jepang. Dengan tingkat
respon 69%, maka sampel yang ditentukan telah mewakili jumlah penduduk
lanjut usia (Jay, Liang, Liu, & Sugisawa, 1993). Responden dibagi kedalam
13
empat kategori yaitu : (1) memiliki pasangan dan anak-anak, (2) hanya memiliki
anak-anak, (3) hanya memiliki pasangan, (4) tidak memiliki pasangan dan anak-
anak.
Pengukuran
Dukungan sosial diukur dengan menggunakan 2 item yaitu (1) sejauh mana
pasangan anda atau anak-anak atau saudara lain dan teman-teman bersedia
mendengarkan anda berbicara tentang kekhawatiran anda? dan bagaimana
pasangan anda atau anak-anak atau saudara yang lain atau tetangga anda
melakukan hal yang membuat anda merasa bahwa anda menyayangi dan
mencintai mereka?
Sementara itu, hubungan negatif dinilai dengan menggunakan 3 item
pertanyaan yang mengacu pada tiga sumber yang sama, yaitu (1) seberapa sering
pasangan atau anak-anak atau saudara atau teman anda mengkritik apa yang anda
lakukan? (2) seberapa sering pasangan, anak-anak, saudara atau teman-teman
anda menuntut terlalu banyak kepada anda? apakah pasangan, anak-anak, saudara
atau teman-teman ada terlalu menjaga anda (over protecting)? skala skor pada
item ini yaitu dari 1 (tidak sama sekali) - 5 (Sering Sekali).
Kesehatan mental terdiri dari 3 komponen, yaitu : (a) kepuasan hidup, (b)
gejala depresi, dan (c) kognitif. Komponen pertama kepuasan hidup diukur
dengan menggunakan 10 item yang dipilih dari 20 item indeks kepuasan hidup-A
(LSI-A) yang dikembangkan oleh Neugarten, Havighurst, dan Tobin (1961).
Semangat hidup didefinisikan sebagai melakukan aktiftas-aktifitas yang
menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari seperti item “saya mengharapkan
hal-hal yang menyenangkan terjadi dalam masa depan saya”. Keselarasan
mengacu pada tujuan dan hal yang ingin dicapai yang berkaitan, seperti item
“saya merasa teah berhasil mencapai tujuan utama saya”. Skor Gabungan
merupakan hasil perhitungan dari semua faktor. Nilai alpha chronbach dari
semangat hidup dan keselarasan masing-masing adalah 0,64 dan 0,65.skor yang
tinggi menandakan kesejahteraan psikologi yang sangat baik.
Komponen kedua yaitu gejala depresi diukur dengan singkat menggunakan
studi epidemiologi skala depresi (CES-D). komponen yang terakhir yaitu
kognitif, diukur dengan menggunakan Short Portable mental status versi bahasa
jepang. Secara khusus, 13 item yan digunakan tersebut untuk mengetahui 2
faktor, yaitu : pengaruh depresi (6 item, alpha chronbach : 0,74) dan gejala
14
somatic dan retardasi (7 item, alpha chronbach : 0,75). Skor gabungan adalah
hasil perhitungan dari keduanya, skot yang tinggi menandakan distress psikologi
yang tinggi.
Komponen yang terakhir, penurunan kognitif (deficit cognitive) diukur dengan
menggunakan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) (Pfeiffer,
1975; Liang, Borawski-Clark, Liu, & Sugisawa, 1996), yang tediri dari 9 item.
Skor gabungan adalah hasil kalkulasi dengan menambahkan jawaban yang salah.
Skor yang tinggi pada instrument ini menggambarkan penurunan kognitif yang
sangat besar standar error variance dari SPMSQ sebesar 0,189 sebab berdasarkan
hasil test-retest uji reliabilitas adalah sebesar 0,82 (Pfeiffer, 1975).

Hasil
Statistik deskriptif dari berbagai tindakan yang diperiksa secara terpisah untuk
dua sub kelompok (yaitu, mereka dengan pasangan, anak-anak, dan kerabat lain /
teman, dan mereka dengan anak-anak dan kerabat lain / teman-teman saja). Pada
umumnya, yang tanpa pasangan secara signifikan lebih tua, kebanyakan perempuan,
dengan pendidikan rendah, dan memiliki kekurangan fisik dan mental kesehatan
dibandingkan dengan yang memiliki pasangan. Pada saat yang sama, yang tanpa
pasangan cenderung memiliki dukungan yang lebih besar dari anak-anak dan kerabat
lainnya atau teman dan kurang interaksi negatif dari kedua sumber. Untuk menghemat
ruang, statistik deskriptif tidak termasuk di sini, tetapi akan tersedia dibuat oleh
penulis atas permintaan.
Sebelum memeriksa temuan substantif, sangat penting untuk mengevaluasi
keseluruhan yang diusulkan model untuk data. Untuk M1 (disajikan pada Gambar
1.), dengan 235 derajat kebebasan, Indeks Kebaikan-of-Fit (GFI) adalah 0,960,
sedangkan GFI disesuaikan dengan ukuran sampel (AGFI) adalah 0,936; Indeks Fit
Bentler-Bonnett bernorma (IFN) adalah 0,940; Non-bernorma Tucker-Lewis Fit Index
(NNFI) adalah 0,937; dan CN Hoelter adalah 511. Dengan mengacu pada mereka
yang tidak mempunyai pasangan, revisi model termasuk dari dukungan sosial dan
interaksi negatife dengan pasangan (M2) telah digunakan. Dengan 153 derajat
kebebasan, GFI adalah 0,949, AGFI adalah 0,916; Index Fit bernorma adalah 0,908;
Indeks Fit Tucker-Lewis Non-bernorma adalah 0,907; dan CN Hoelter adalah 318.
Langkah-langkah ini mencerminkan lebih dari cukup untuk kebaikan keduanya M1
dan M2
15
Pengukuran spesifikasi
Faktor standar yang menghubungkan materi variabel laten dengan indikator
lebih dari satu berkisar dari 0,332-0,884, mencerminkan tingkat umum yang
memadai. Umur, jenis kelamin, pendidikan, dan gangguan kognitif diperlakukan
sebagai variabel laten-indikator tunggal, dengan memuat faktor mereka dibatasi jadi
1. Mengingat bahwa kata-kata yang sama dan format respon digunakan untuk menilai
dukungan sosial dan interaksi negatif dengan referensi untuk pasangan, anak-anak,
dan lain-lain, berkorelasi kesalahan pengukuran telah ditentukan antara indikator di
sumber yang berbeda. Umur, jenis kelamin, pendidikan, dan penurunan kognitif yang
dioperasionalkan sebagai variabel laten indikator tunggal. Sebuah tabel mengandung
perkiraan akan tersedia berdasarkan permintaan.

Korelasi antara dukungan sosial dan tindakan interaksi negatif


Ada korelasi positif substansial antara dukungan sosial dari pasangan, anak-
anak, dan kerabat lainnya dan teman-teman (Tabel 1). Misalnya, di antara mereka
menikah, emosional dari anak-anak berkorelasi dengan itu dari pasangan dan kerabat
lain / teman. Demikian pula, di antara mereka tanpa pasangan, dukungan dari anak-
anak secara signifikan berkorelasi dengan itu dari kerabat yang lain atau teman.
Korelasi antara hubungan negatif dari berbagai sumber secara substansial lebih besar.
Korelasi antara pertukaran sosial yang positif dan interaksi negatif tampaknya
tergantung pada sumber hubungan sosial dan sifat jaringan di mana seorang individu
melekat. Di antara mereka dengan pasangan, interaksi negatif dengan pasangan adalah
berkorelasi dengan dukungan sosial dari semua sumber. Sebaliknya, ketegangan
antara responden dan anak-anaknya secara signifikan berkorelasi dengan dukungan
dari anak-anak dan dari orang lain. Akhirnya, hubungan negatif dengan orang lain
secara positif berkorelasi dengan dukungan sosial dari semua sumber. Dengan
demikian, hubungan antara positif dan pertukaran sosial yang negatif adalah sumber-
spesifik.
Di antara orang tua jepang tanpa pasangan, hubungan negatif dengan anak-
anak tidak berkorelasi dengan dukungan sosial dari anak-anak dan orang lain. Namun,
ketegangan interpersonal dengan saudara lain dan teman-teman terbalik terkait
dengan dukungan dari anak-anak tapi positifnya berkorelasi dengan dukungan sosial
dari orang lain. Selain itu, hubungan antara dukungan sosial dan ketegangan
16
tampaknya lebih tinggi untuk pertukaran dengan orang lain dari mereka dengan
pasangan dan anak-anak. Hal ini berlaku untuk responden di kedua jenis jaringan
sosial.

Support sosial dan kesehatan mental


Pengaruh dukungan sosial bervariasi sesuai dengan hasil kesehatan mental
spesifik dan di mana jaringan sosial berada. Pada lansia Jepang yang tinggal dengan
pasangan, dukungan sosial dari pasangan, anak-anak, dan lain-lain memiliki efek
yang signifikan signifikan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan. Dukungan dari
pasangan memiliki dampak lebih besar daripada dukungan yang berasal dari keluarga
lain, teman atau anak-anak. Sebaliknya, peningkatan dukungan dari anak-anak dapat
mengurangi gejala depresi, sedangkan dukungan sosial dari pasangan dan orang lain
tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Hingga pada akhirnya, tidak ada
sumber dukungan sosial yang spesifik terkait dengan gangguan kognitif.
Hubungan antara dukungan sosial dan kesehatan mental antara lansia tanpa
pasangan berbeda dengan mereka yang tinggal dengan pasangan. Secara khusus,
dukungan dari anak-anak tidak hanya menyebabkan kesejahteraan meningkat tetapi
juga menurunkan gejala depresi dan menghilangkan gangguan kognitif. Dukungan
sosial dari kerabat dan teman-teman lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kesehatan mental.

Interaksi negatif dan kesehatan mental


Interaksi negatif berasal dari 3 sumber yaitu pasangan, anak, dan orang lain.
Konsekuensi interaksi negatif pada mereka yang menikah dan mempunyai anak
dikatkan dengan sumber spesifik tidak mempunyai efek yang bermakna berhubungan
dengan kesehatan mental. Sebaliknya, pada mereka yang hidup tanpa pasangan,
interaksi negatif dengan anak meningkatkan gejala depresi lebih tinggi. Namun, ini
mungkin merupakan akibat dari tingginya korelasi antara ketiga sumber ketegangan
yang negatif.
Untuk menghindari bias dilakukan tambahan analisis tindakan interaksi
negatif agregat. Menurut analisis ini, di antara mereka dengan pasangan, ketegangan
negatif/interaksi negatif yang lebih besar berhubungan dengan rendahnya tingkat
kesejahteraan yang positif (B = -0.118, p<0.001), gejala depresi meningkat (B =
0.146, p<0.001), dan hasilnya terjadi penurunan nilai tingkat kognitif (B = -0.082,
17
p<0,05). Di antara mereka yang tidak mempunyai pasangan, ukuran gabungan
interaksi negatif negatif hanya bermakna jika dikaitkan dengan disstres psikologis (B
= 0.212. p<0.001. Akibatnya, meskipun tiga sumber interaksi negatif digabungkan
maupun dipisah, tidak ada dampak yang signifikan yang berkaitan dengan kesehatan
mental. Hal ini menunjukkan bahwa sumber interaksi negatif yang diberikan tidak
cukup membuktikan adanya dampak negatif pada kesehatan mental. Namun
demikian, akumulai interaksi negatif dari berbagai sumber bisa berbahaya bagi
kesehatan mental.

Pembahasan
Penelitian ini merupakan salah satu yang pertama dalam menguji kepentingan
relatif dari dukungan sosial sumber-spesifik dan hubungan negatif antara kesehatan
mental di masyarakat non-Barat seperti Jepang. Hal ini telah memberikan kontribusi
terhadap pengetahuan terkini dalam beberapa cara. Pertama, penelitian ini telah
memberikan pengamatan baru tentang hubungan antara berbagai sumber dukungan
sosial dan interaksi negatif. Di antara orang Jepang, lama dengan dukungan, mitra
sosial dari pasangan, anak-anak, dan lain-lain yang positif dan cukup berkorelasi,
sedangkan nilai korelasi antara interaksi negatif dari sumber-sumber ini jauh lebih
tinggi. Korelasi yang serupa diamati di antara mereka tanpa pasangan. Hasil
penelitian konsisten dengan temuan terbaru tentang korelasi antara interaksi negatif
yang signifikan dan sering substansial (Akiyama, Antonucci, Takahashi, & Langfahl,
2003; Krause & Rook, 2003; Okun & Keith, 1998). Korelasi berdasarkan data yang
diperoleh agak lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Okun dan Keith
(1998). Di sisi lain, Krause dan Rook (2003) melaporkan korelasi tinggi antara tiga
variabel laten merupakan interaksi negatif dengan peran pasangan-spesifik, anak-anak
dan kerabat lainnya. Selanjutnya, Akiyama dan rekan (2003) telah menemukan bahwa
di antara orang dewasa Amerika dan Jepang dari segala usia, adanya interaksi negatif
dengan ibu, ayah, pasangan, anak (orang terdekat) adalah berkorelasi secara
signifikan, terutama pada lansia Jepang .
Korelasi tersebut berdasarkan karakteristik pribadi dari lansia (misalnya,
keterampilan sosial yang terbatas atau karakter kepribadian, dll) dan status sosial
ekonomi serta interaksi sosial (Krause, 2001 sosial stres; Krause & Rook, 2003).
Sebagai contoh, beberapa orang tua mungkin tidak bergaul dengan orang lain karena
mereka memiliki kemampuan interpersonal yang buruk (Hansson & Carpenter, 1990).
18
Adanya status ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi interaksi sosial. Lansia
yang memiliki status ekonomi yang rendah cenderung mengalami gangguan dalam
berinteraksi sosial. Perbedaan budaya juga dapat mempengaruhi dalam berinteraksi
sosial.
Berdasarkan hasil dari analisis peneltian ini, dukungan sosial dan hubungan
negatif dapat menjadi positif atau negatif H. PASAL DALAM PERS 2266 et al
Okabayashi. / Ilmu Sosial & Medicine 59 (2004) 2259-2270 berkorelasi tergantung
pada sumber dan jaringan sosial yang ada.
Namun, ada peneliti yang melaporkan korelasi positif antara dukungan sosial
dan interaksi negatif (Liang, Krause, & Bennett, 2001). Kurangnya konsistensi
mungkin sebagian akibat heterogenitas dalam tindakan pertukaran sosial dan
konfigurasi jaringan sosial. Okun dan Lockwood (2003) telah menyarankan bahwa
korelasi antara interaksi positif dan negatif tergantung pada apakah hubungan ini
diukur pada kategori, tingkat agregat, atau individu. Maka dari itu perlu dilakukan
penelitian yang lebih lanjut.
Menurut hasil penelitian ini bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh anak-
anak lebih penting daripada dari sumber lain (misalnya, pasangan, teman, dll).
Dukungan sosial yang diberikan pada anak-anak secara signifikan berhubungan
dengan ketiga hasil kesehatan kecuali adanya gangguan fungsi kogintif dan belum
menikah. Sebaliknya, dukungan sosial yang diterima dari teman terdekat atau kerabat
lainnya secara bermakna terkait dengan tingkat kesejahteraan yang positif dan hanya
di antara mereka yang sudah menikah. Namun, di antara mereka yang memiliki
pasangan, dukungan dari suami lebih besar berpengaruh terhadap kesejahteraan dari
pada dukungan dari anak.
Analisis lebih lanjut didapatkan hasil bahwa dukungan sosial yang didapatkan
dari anak-anak secara signifikan lebih penting dalam memberikan dampak positif bagi
kesejahteraan lansia yang tidak menikah daripada di antara mereka yang sudah
menikah. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan yang mengacu pada tekanan
psikologis dan kognitif. Oleh karena itu, dampak dari dukungan sosial berbeda-beda,
tergantung pada jenis jaringan sosial dan hasil kesehatan mental. Maka dari itu,dalam
mengambil penyimpulan harus dilakukan secara mengenai dampak dari dukungan
sosial dan hasil kesehatan mental.
Penelitian ini lebih difokuskan pada hubungan antara dimensi interaksi sosial
dan kesehatan mental mereka. Termasuk efek langsung dan dukungan sosial terhadap
19
depresi dan penurunan kognitif. Dalam penelitian ini disampaikan bahwa dampak dari
interaksi negatif terhadap kesehatan mental tidak sepenuhnya konsisten. Beberapa
penelitian lain menyarankan bahwa interaksi sosial yang negatif menunjukan
pengaruh yang kuat daripada interaksi sosial positif.
Pada yang sudah menikah interaksi negatif tidak membuat perbedaan dalam
kesehatan mental. Interakasi negatif tampaknya tidak membuat dampak lebih besar
daripada interaksi social positif.
Penelitian ini juga digunakan untuk mengkaji hubungan dukungan sosial dan
interaksi negatif dengan gangguan fungsi kognitif pada lansia di jepang.
Seeman and Associates (2001) menemukan bahwa dukungan emosional dan interaksi
negatif secara signifikan dengan fungsi kognitif. Namun, tidak diteliti perbedaan efek
antara sumber dukungan serta sumber ketegangan.
Ada hubungan yang signifikan antara dukungan emosioal dari anak-anak
dengan berkurangnya gangguan fungsi kognitif. Namun, hal ini hanya berlaku di
antara mereka tanpa pasangan. Diantara mereka yang memiliki pasangan meskipun
tidak ada korelasi antara sumber dukungan emosional dengan kerusakan kognitif,
interaksi negatif pada sumber yang berbeda telah menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan penurunan fungsi kognitif. Hal ini menunjukkan pertanyaan
menarik terkait konsekuensi interaksi negatif pada fungsi kognitif.
Terdapat beberapa hipotesis bahwa ketegangan interpersonal ada
hubungannya dengan fungsi kognitif orang tua, khususnya di antara mereka yang
kognitif relatif utuh seperti yang ditemukan dalam sampel.
Dengan demikian, interaksi negatif dapat menjaga orang yang aktif dan tajam,
mungkin melalui perdebatan, yang pada gilirannya akan mengurangi penurunan
kognitif. Di sisi lain, hubungan ini bisa disebabkan keengganan responden dengan
kognitif mengkritik anggota keluarga dan teman-teman, kepada siapa mereka
bergantung bantuan. Analisis lebih lanjut tentang sifat dan frekuensi interaksi negatif
diperlukan menguraikan teka-teki ini.
Aspek unik lain yang diteliti adalah terletak pada kontras eksplisit hubungan
antara hubungan sosial dan kesehatan mental antara kedua jenis jaringan sosial:
mereka yang memiliki pasangan dan mereka yang tidak. Pendekatan ini konsisten
dengan sarat bahwa pengaruh jumlah dukungan dari sumber tertentu harus dibedakan
dari sumber yang tidak tersedia.

20
Pengaruh hubungan yang mendukung dengan pasangan harus dibedakan dari
efek yang tidak memiliki pasangan. Apakah dia menikah atau janda karena ini
berpengaruh pada penelitian.
Temuan kami yang menghubungkan antara hubungan sosial dan kesehatan
mental dapat bervariasi antara berbagai jenis jaringan sosial mungkin sebagian karena
fakta bahwa wanita yang lebih tua secara substansial lebih mungkin untuk menikah.
Meskipun laki-laki dan perempuan memiliki jenis yang sama hubungan sosial
(misalnya, pasangan, anak-anak, kerabat lainnya, dan teman-teman), itu juga
mengakui bahwa sifat hubungan yang berbeda secara signifikan di seluruh gender.
Secara khusus, wanita mungkin mengalami perasaan yang kuat dan positif terhadap
orang lain yang signifikan, tetapi mereka juga lebih mungkin melaporkan lebih
banyak konflik, perbedaan pendapat, dan frustrasi dengan hubungan yang sama.
Selain itu, jaringan perempuan yang terkait dengan pasangan, keluarga, dan teman-
teman langsung, sedangkan jaringan laki-laki yang terkait dengan pasangan yang pada
gilirannya hubungan mereka dengan keluarga dan teman-teman (atau secara tidak
langsung).
Seperti semua upaya ilmiah, penelitian ini dapat ditingkatkan. Secara khusus,
menganalisis pengaruh interaksi sosial yang positif dan efek negatif terhadap
kesehatan mental harus dieksplorasi. Dalam kerangka ini, prioritas kausal dan efek
timbal balik dapat diperiksa. Sebagai contoh, dianggap kesehatan mental fungsi efek
negatif dengan interaksi sosial. Namun, ada kemungkinan bahwa kesehatan mental
juga dapat mempengaruhi dukungan sosial (lihat, sebagai contoh, Henderson et al,
1986.). Untuk melakukan analisis, data longitudinal diperlukan. Dalam studi ini,
karena data cross-sectional saja yang digunakan, maka waktu antara konstruksi urutan
kunci yang tidak didefinisikan dengan baik dan harus bergantung pada asumsi teoritis
yang kuat.
Namun, seperti yang diamati oleh Davey dan Eggebeen (1998), sangat sedikit
penelitian pertukaran sosial dan kemakmuran telah didasarkan pada data longitudinal.
Akibatnya, ada pemahaman yang sangat terbatas dari link dinamis antara berbagai
sumber dukungan sosial, dan ketegangan. Sebagai contoh, kebanyakan studi
melibatkan hubungan sosial yang positif dan negatif adalah cross sectional, dan
waktu-urutan antara kedua jenis hubungan sosial yang belum ditangani (Okun &
Keith, 1998).

21
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN

1. Perawat Sebagai Edukator


Perawat bisa menerapkan EBN ini di Indonesia dengan memberikan pendidikan
kepada keluarga terkait interaksi negative terhadap lansia sehingga kognitifnya tetap
bisa berjalan dengan baik.
2. Perawat Sebagai Konselor
Perawat bisa menyarankan agar lansia tidak tinggal sendiri melainkan agar tinggal
dengan keluarga baik anak maupun saudaranya sehingga lansia tidak merasa kesepian
dan mengurangi dampak depresi.
3. Perawat Sebagai Klinisi
Perawat bisa memberikan intervensi terhadap lansia tentang EBN ini.
4. Perawat Sebagai Peneliti
Perawat sebaiknya mencoba mengaplikasikan EBN ini di Indonesia melalui
penelitian-penelitian yang berkualitas.

22
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lansia yang diberikan interaksi negatif memiliki dampak yang baik dalam fungsi
kognitifnya dibandingkan dengan lansia yang hanya mendapatkan dukungan sosial
saja tidak memiliki perubahan yang signifikan terhadap kesehatan mentalnya.
Pada lansia Jepang yang tinggal dengan pasangan, dukungan sosial dari pasangan,
anak-anak, dan lain-lain memiliki efek yang signifikan berpengaruh positif terhadap
kesejahteraan. Dukungan dari pasangan memiliki dampak lebih besar daripada
dukungan yang berasal dari keluarga. Sebaliknya, peningkatan dukungan dari anak-
anak dapat mengurangi gejala depresi, sedangkan dukungan sosial dari pasangan dan
orang lain tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.

B. Saran
1. Bagi mahasiswa
Dapat menambah ilmu pengetahuan dalam menangani lansia dengan masalah
psikososial.
2. Bagi perawat
Dapat memeberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga lansia dapat
mencapai kesehatan mental yang optimal dan berpengaruh positif terhadap
hubungan psikososial.
3. Bagi masyarakat
Dapat mengetahui bagaimana kondisi lansia dengan segala keterbatasannya,
sehingga dapat memberikan dukungan sosial yang tepat pada lansia.

23
DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/Negative_relationship dikutip pada hari Sabtu 21 Mei


2011;pukul 13.55
http://www.desertexposure.com/200910/200910_bms-neg_relationships.php dikutip pada
hari Sabtu 21 Mei 2011;pukul 13.58
Okabayashi, Hideki, et all. 2004. Mental health among older adults in Japan: do sources of
social support and negative interaction make a difference. Jepang : Elsevier
Toward an integrated medicine: classics from Psychosomatic medicine, 1959-1979. Oleh
Ann Maxwell Eward,American Psychosomatic Society
Videbeck, Sheila L.2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC

24

You might also like