You are on page 1of 11

1

BAB I
PENDAHULUAN

Para penulis yang menggunakan kerangka acuan islami tidak menerima


formulasi kontemporer mengenai teori perilaku konsumen dengan alasan bahwa ia
diselewengkan oleh nilai-nilai ideology dan social masyarakat bukan muslim dimana
ia dikembangkan. Namun demikian mereka biasanya tidak memberikan
penggantinya. Keberatan mereka tampaknya ditujukan pada nilai-nilai konsumen
bukan pada alat-alat analisis, bahkan meskipun kita dapat mengatakan bahwa
seperangkat nilai yang berbeda bisa memerlukan alat-alat yang berbeda.
Sudah sangat umum dikalangan para penulis semacam itu untuk memandang
teori konsumsi dalam pengertian keabsahan hukum barang-barang konsumen dan
jasa-jasa. Hanya sedikit pencetus teori yang berani mengulangi isu-isu pokok
mengenai teori perilaku konsumen tersebut, seperti rasionalisme konsumen dan
konsep barang-barang konsumen. Bab ini mengikuti ancangan yang disebut
belakangan. Karena itu bagian pertamanya akan membahas rasionalisme perilaku
konsumen, bagian kedua akan membahas konsep barang-barang, dan bagian ketiga
akan menjelaskan norma-norma etika mengenai konsumen muslim, konsumsi
intertemporal, konsumsi intertemporal dalam islam, hubungan terbalik riba dengan
sedekah, serta hubungan terbalik rasio tabungan dengan konsumsi akhir.
2

BAB II
TEORI KONSUMSI DALAM ISLAM

A. Rasionalisme Islam
Rasionalisme adalah salah satu istilah yang peling bebas digunakan dalam
ekonomi, karena segala sesuatu dapat dirasionalisasikan sekali kita mengacunya
kepada beberapa perangkat aksioma yang relevan. Proses maksimisasi itu menjadi
latihan teknis semata-mata setelah mengetahui peta pemanfaatannya. Masalah
yang menentukan itu terkait dengan bentuk dan berbagai dimensi peta itu sendiri,
yang secara etik dan kultur ditentukan dan berbeda dalam berbagai bidang
kehidupan.
Teori perilaku konsumen yang dikembangkan dibarat setelah timbulnya
kapitalisme merupakan sumber dualitas, yakni “rasionalisme ekonomik” dan
“utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomik menafsirkan perilaku manusia sebagai
suatu yang dilandasi dengan ”perhitungan cermat, yang diarahkan dengan
pandangan ke depan dan persiapan terhadap keberhasilan ekonomik.”
keberhasilan ekonomik secara ketat didefinisikan sebagai ”membuat uang dari
manusia” . Memperoleh harta, baik dalam pengertian uang atau berbagai
komoditas, adalah tujuan hidup yang terakhir dan, pada saat yang sama,
merupakan tongkat pengukur keberhasilan ekonomik.
Etika dari filsafat ini dikaitkan dan dipungut dari ”keberhasilan ekonomik”.
Keberhasilan dalam membuat uang adalah hasil dan ekspresi kebaikan dan
keahlian. Utilitarianisme adalah sumber nilai-nilai dan sikap-sikap moral.
”kejujuran berguna karena ia menjamin kepercayaan;demikian juga ketepatan
waktu,ketekunan bekerja dan sikap hemat.”
Dari sumber yang dua inilah timbul teori perilaku konsumen. Teori ini
mempertimbangkan maksimisasi pemanfaatan sebagai tujuan konsumer yang
dipostulasikan. Pemanfaatan yang dimaksimisasikan adalah pemanfaatan ”homo-
3

economicus” yang tujuan tunggalnya adalah mendapatkan kepuasan ekonomik


pada tingkatan tertinggi dan dorongan satu-satunya adalah ”kesadaran akan
uang”.
Teori perilaku konsumen dalam sistem kapitalis sudah melampaui dua tahap.
Tahap pertama berkaitan dengan teori marginalis, yang berdasarkan teori tersebut
pemanfaatan konsumen secara tegas dapat diukur dalam satuan-satuan pokok.
Konsumen mencapai keseimbangannya ketika ia memaksimisasikan
pemanfaatannya sesuai dengan keterbatasan penghasilan, yakni, ketika rasio-rasio
pemanfaatan –pemanfaatan marginal dari berbagai komuditas sama dengan rasio-
rasio harga-harga uangnya masing-masing. Tahap kedua yang lebih modern
mengatur kemungkinan diukurnya dan kardinalitas pemanfaatan itu.
Namun,berbagai kondisi yang sekarang menjadi kesamaan antara tarip marginal
substitusinya, yakni garis miring dari kurva tetap, dan rasio-rasio harga uang,
yakni garis miring dari keterbatasan penghasilan itu.
Para penulis muslim memandang perkembangan rasionalisasi dan teori
konsumen yang ada selama ini dengan penuh kecurigaan dan menuduhnya
sebagai aspek perilaku manusia yang terbatas dan berdiensi tunggal. Mereka
menyatakan bahwa ia didasarkan atas ”perhitungan-perhitungan cermat yang
diarahkan untuk melihat ke depan dan pengawasan terhadap keberhasilan
ekonomi,” sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Tetapi mereka tidak
setuju dengan Max Weber bahwa alternatif menuju kepada ”rasionalisme
ekonomi” adalah ”keberadaan petani yang sangat menderita” atau tradisionalisme
kalangan pedagang yang memiliki hak-hak istimewa”. Dengan mengikuti
pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa rasionalisme merupakan konsep
kultural,rasionalisme islam dinyatakan sebagai alternatif yang konsisten dengan
nilai-nilai islam. Unsur-unsur pokok dari rasionalisme ini adalah sebagai berikut.
1. Konsep Keberhasilan
Konsep keberhasilan dalam islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai
moral. M.N. Siddiqi mengatakan :
4

Keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku


manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan
moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin berhasil
....selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap
langkah, individu muslim berusaha berbuat selaras dengan nilai-
nilai moral.
Kebaikan, dalam peristilahan islam, berarti sikap positif terhadap
kehidupan dan orang lain. Hal yang paling buruk yang bisa dilakukan orang
adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat tau melaksanakan
negativisme terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus yang ditampilkan
secara tidak benar baik oleh tradisi-tradisi sufi yang ada dalam masyarakat
muslim selama enam abad yang lampau maupun oleh orang-orang bukan
-muslim dari kalangan kresten yang melihat islam dari lensa prakonsepsi-
prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya. Dr.Siddiqi sudah mengembangkan
konsep ini lebih jauh.
Dari konsep yang dikembangkannya dapat disimpulkan bahwa upaya
untuk mendapatkan kemajuan ekonomik bukan kejahatan menurut pandangan
islam. Bahkan, sebenarnya ia menjadi salah satu kebaikan bila ia bisa
diseimbangkan dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan.
2. Skala Waktu Perilaku Konsumen
Keberhasilan yang sebenarnya bagi setiap muslim adalah keberhasilan
yang mencakup cakrawala waktu secara utuh, karena usaha yang sama untuk
melakukan kebaikanlah yang akan menghasilkan keberhasilan baik dalam
kehidupan dunia dengan segala aspeknya,maupun dalam kehidupan akhirat
kelak.
3. Konsep Harta
Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah. As-Sibai
berpendapat bahwa islam tidak membenarkan adanya kemiskinan, dengan
5

mengacu pada sabda Nabi Muhammad SAW “ Kemiskinan hampir-hampir


mendekatkan orang kepada pengingkaran terhadap islam (kekufuran).“
Inilah komponen-komponen dalam keberadaan perilaku mu’min. Kajian
terhadap ekonomi menunjukkan bahwa asumsi terhadap motivasi yang sekedar
materialistik jelas tidak realistik. Namun demikian, faktor-faktor non materialistik
tersebut dengan serta merta dapat disisihkan dari analisis ekonomik dengan
maksud memisahkan gejala-gejala ekonomiknya. Namun demikian meskipun hal
ini bisa menyederhanakan persoalannya demi mencapai tujuan kajian, faktor-
faktor non material itu harus diintegrasikan kembali dalam tahap analisis yang
lebih tinggi.
Dengan demikian faktor-faktor ini, maksimisasi perencanaan itu tidak lagi
menimbulkan perdebatan dari sudut pandang pemikiran Islam.

B. Konsep Islam Tentang ”Barang”


Dalam konsep Islam, barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi
yang berguna dan baik manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material,moral
maupun spiritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki
kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menuntut konsep
Islam,bukan barang dan juga tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat
muslim. Karena itu, barang-barang yang terlarang tidak dianggap sebagai barang
dalam islam
Marilah kita bandingkan konsep Islam mengenai barang-barang konsumsi ini
dengan konsep bukan-ilahi mengenai pemanfaatan yang ada dalam ekonomi
modern. Meskipun dalam ekonomi modern segala sesuatu memiliki manfaat
ekonomik bila ia dapatdipertukarkan kepasar, dalam islam merupakan salah satu
syarat yang perlu tetapi tidak memadai untuk mendefinisikan barang-barang.
Barang-barang seharusnya bermanfaat secara moral dan juga dapat dipertukarkan
dipasar sehingga memiliki manfaat ekonomik.
6

C. Etika Konsumsi Dalam Islam


Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas manusia tidak
mengenal Tuhan, dikutuk dalam islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau Tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti menggunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan-
tujuan yang terlarangseperti penyuapan,hal-hal yang melanggar hukum atau
dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis
penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala Pada masyarakat yang
berorientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-
lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal ini seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran islam menganjurkan
pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola
yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan
melampaui tingkat modern (wajar) dianggap Israf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah
nilai-niai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan
menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memilki daya
aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau Tabzir.
Dalam hukum (fiqih) Islam, oran semacam ini dikenai pembatasan-pembatasan
dan bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta
miiknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah dia seharusnya diperlakukan sebagai
orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus
hartanya selaku wakilnya.
D. Konsumsi Intertemporal Konvensional
Konsumsi intertemporal (dua periode) adalah konsumsi yang dilakukan
dengan dua waktu yaitu masa sekarang(periode pertama) dan masa yang akan
datang (periode kedua) dalam ekonomi konvensional, pendapatan adalah jumlah
konsumsi dan tabungan yang secara matematis dinotasikan ;
7

Y=C+S

Y = Pendapatan
C = Konsumsi
S = Tabungan

E. Konsumsi Intertemporal Dalam Islam


Monzer kahf (1981) berusaha mengembangkan pemikiran konsumsi
intertemporal islami, dengan memulai membuat asumsi sebagai berikut ;
1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat
2. Zakat hukumnya wajib
3. Tidak ada riba dalam perekonomian
4. Mudarabah merupakan wujud perekonomian
5. Perilaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan
Dalam konsep Islam konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadis Rasulullah
s.a.w. yang maknanya adalah ”Yang kamu miliki adalah apa yang kamu makan
dan apa yang telah kamu infaqkan” oleh karena itu persamaan pendapatan
menjadi ;
Y= ( C + INFAQ ) + S

Secara grafis hal ini seharusnya digambarkan oleh tiga dimensi, namun untuk
kemudahan penyajian grafis digambarkan dengan dua dimensi sehingga
persamaan ini disederhanakan manjadi
Y = Fs + S dengan Fs = C + Infaq
Fs adalah final spendinger (konsumsi akhir) dijalan Allah, penyederhanaan ini
memungkinkan kita untuk menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan
dalam teori konsumsi yaitu memaksimalkan utility function (fungsi utilitas)
dengan budget line (garis anggaran) tertentu atau meminimalkan garis anggaran
dengan fungsi tertentu.
8

Misalkan pendapatan, konsumsi, dan tabungan pada periode pertama adalah


Y1, C1, S1 dan pendapatan, konsumsi dan tabungan pada periode kedua adalah Y 2,
C2, S2, maka persamaan diatas dapat dinotasikan sebagai berikut ;
Pendapatan pada periode pertama adalah
Y1 = C1 +S1
Pendapatan pada periode kedua adalah
Y 2 = C2 + S 2
Apabila konsumsi diperiode pertama lebih kecil dari pada pendapatan tabungan
dan konsumsi diperiode kedua semakin besar ;
Y1 = C1 + S1 dan C1<Y1
Y 2 = C2 + S 2
= ( C2 + S1) + S2
Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa semakin besar konsumsi pada
periode pertama, akan semakin kecil tabungan dan konsumsi diperiode kedua
C2

C1
Semakin besar konsumsi pada periode pertama, maka tabungan periode
pertama dan konsumsi pada periode kedua semakin kecil.
Hubungan konsumsi masa sekarang dengan konsumsi masa depan (konsumsi
intertemporal konvensional). Dalam keadaan selisih antara pendapatan dan
jumlah uang yang digunakan untuk konsumsi, perilaku konsumen dapat dibagi
menjadi tiga ;
9

1. lender ketika jumlah konsumsi lebih kecil dari pada pendapatan


2. borrower ketika jumlah konsumsi lebih besar dari pada pendapatan
3. polonius point ketika jumlah konsumsi sama dengan jumlah pendapatan

F. Hubungan berbalik Riba dengan Sedekah


Kasus I
Garis anggaran YY menunjukkan keadaan berikut
1. Orang tidak mau memakan riba, berarti tambahan pendapatannya nihil secara
matematis dinotasikan
Yt = Yt + 1 Riba dengan riba = 0, sehingga Yt0 + 1 = Yt
2. Orang tidak mengeluarkan zakat atas hartanya, bila ia mengeluarkan zakatnya
ketika menerima pendapatan , ia tidak mengeluarkan zakat lagi pada periode pertama
atau dengan kata lain Yt adalah pendapatan setelah zakat.
Tidak optimal terjadi pada persinggungan garis anggaran dengan kurva
indeverensi yaitu pada titik R yang menunjukkan tingkat kunsumsi dan infaqnya
adalah sebesar Fs

G. Hubungan terbalik ratio tabungan dengan konsumsi akhir


Untuk melihat hubungan antara tabungan dan konsumsi akhir, kita lihat pada
konsumsi akhir periode pertama dan periode kedua. Total konsumsi akhir pada
dua periode tersebut adalah konsumsi akhir periode pertama ditambah konsumsi
akhir periode kedua.
10

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulakan bahwa terdapat tiga unsur pokok
dalam rasionalisme yaitu ;
1. Konsep keberhasilan, untuk mendapatkan kemajuan ekonomik bukanlah
kejahatan menurut pandangan islam, tetapi merupakan kebaikan jika diseimbangkan
dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan.
2. Skala waktu perilaku konsumen, setiap muslim wajib menggunakan waktunya
dengan sebaik-baiknya, dengan engingat allah dan memanfaatkannya untuk
menyiarkan agama allah
3. Konsep harta, Harta merupana anugerah dari allah swt yang harus kita jaga, dan
kita harus menggunakannya dijalan allah.
Barang-barang konsumen adalah barang-barang yang seharusnya
bermanfaaat secara moral dan juga dapat ditukarkan dipasar dan emilki manfaat
secara ekonomik.
Etika konsumsi dalam islam adalah tidak boleh berlebih-lebihan seperti
pemborosan dan mnghamburkan harta tanpa ada gunanya
Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu
yaitu masa sekarang ( periode pertama) dan masa yang akan datang (periode
kedua).
11

DAFTAR PUSTAKA

- Sukirno, Sudono.1994. Pengantar teori Mikro EkonomiI. Jakarta : PT. Raja


Grafindo Persada
- Kahf, Monzer. 1994. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Adiwarman, Azwar karim.2004.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada

You might also like