You are on page 1of 11

Zaman Batu

Zaman Batu adalah masa zaman prasejarah yang luas, ketika manusia menciptakan alat dari batu
(karena tak memiliki teknologi yang lebih baik). Kayu, tulang, dan bahan lain juga digunakan, tetapi
batu (terutama flint) dibentuk untuk dimanfaatkan sebagai alat memotong dan senjata. Istilah ini
berasal sistem tiga zaman. Zaman Batu sekarang dipilah lagi menjadi masa Paleolitikum,
Mesolitikum,megalithikum dan Neolitikum, yang masing-masing dipilah-pilah lagi lebih jauh.

Zaman batu tua (Paleolitikum)


Zaman batu tua (palaeolitikum), Disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia
masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata
pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana.
Pendukung kebudayaan ini adalah Homo Erectus yang terdiri.
Zaman batu tengah (Mesolitikum)
Pada Zaman batu tengah (mesolitikum), alat-alat batu zaman ini sebagian sudah
dihaluskan terutama bagian yang dipergunakan. Tembikar juga sudah dikenal. Periode ini
juga disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat lanjut. Pendukung kebudayaan
ini adalah homo sapiens (manusia sekarang), yaitu ras Austromelanosoid (mayoritas) dan
Mongoloid (minoritas).
Zaman batu baru (Neolitikum)
Alat-alat batu buatan manusia Zaman batu baru (Neolitikum) sudah diasah atau dipolis
sehingga halus dan indah. Di samping tembikar tenun dan batik juga sudah dikenal.
Periode ini disebut masa bercocok tanam. Pendukung kebudayaan ini adalah homo
sapiens dengan ras Mongoloide (mayoritas) dan ras Austromelanosoide (minoritas).

Zaman batu paleotikum

Awak mula zaman palaeloitik di Korea masih belum jelas, tetapi bukti keberadaan awal manusia
di Korea sudah ada sekitar tahun 500.000 SM. Arkeolog Yi dan Clark agak ragu untuk
memasukkan periode ini ke dalam zaman Palaeolitikum Awal[1]. Zaman Palaeolitikum berakhir
ketika kebudayaan tembikar muncul di Korea sekitar tahun 8000 SM.

Penelitian radiokarbon menunjukkan bahwa awal mula manusia mendiami semenanjung Korea
adalah antara tahun 40.000-30.000 SM[2]. Jika zaman manusia purba (hominid) dimulai tahun
500.000 SM, tampaknya pada saat itu Homo erectus sudah menempati semenanjung Korea.

Di Seokjang-ni, sebuah situs dekat Gongju, propinsi Chungcheong Selatan, ditemukan artefak
yang memiliki kesamaan dengan peralatan batu zaman Palaelitik Awal pada level bawah dari
situs tersebut. Beberapa artefak yang ditemukan adalah benda pemotong dan kapak tangan.

Di situs Jeommal di dekat Jecheon serta di situs Durubong dekat Cheongju ditemukan bukti
bahwa hominid pada zaman Palaelitik Tengah tinggal dalam gua. Dari kedua situs ini ditemukan
pula fosil-fosil hewan seperti badak, beruang, hyena, serta rusa (Pseudaxi gray var.), serta fosil
hewan-hewan yang sudah punah.
Pada situs Seokjang-ni dan situs-situs yang berada dekat sungai, ditemukan peralatan batu yang
menguatkan bukti zaman Palaelotitik seperti peralatan yang dibuat dari bebatuan bagus dan
indah seperti quarzit, phorphyry, obsidian, rijang, pegmatit, dan felsit yang mencirikan
karakteristik Acheulian, Mousteroid, dan Levalloisian. Peralatan ini contohnya pemotong yang
berbentuk sederhana dan mempunyai sumbing. Pada lapisan tengah situs Seokjang-ni, ditemukan
juga senjata untuk berburu yang terbuat dari batu.

Di situs ini, para arkeolog mengklaim telah menemukan pula bukti zaman Palaelitikum Akhir,
yaitu rambut manusia berras Mongoloid berpigmen limonitik dan mangan di dekat tempat yang
diduga digunakan sebagai perapian. Beberapa figur binatang buatan manusia juga ditemukan
seperti patung batu anjing, kura-kura dan beruang. Penelitian karbon menunjukkan bahwa
artefak-artefak tersebut berasal dari 20.000 tahun yang lalu.

GAMBAR:


Zaman batu mesolitikum

Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga
mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara sederhana.[2] Tempat
tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas
kebudayaan manusia pada zaman itu.[2]
*
Kejokenmoddinger

Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum yang ditemukan di sepanjang
pantai timur Pulau Sumatera.[3] Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun
1925 dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung
dari hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut setinggi
7 meter.[3] Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses
pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.[3] Di antara tumpukan
sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan
untuk menghaluskan cat merah.[3] Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan
atau ilmu sihir.[3] Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak
genggam yang disebut pebble atau kapak genggam Sumatera (Sumeteralith) sesuai dengan
tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya
masih kasar.[3] Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah bache courte (kapak pendek)
yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper.[3] Berdasaran pecahan
tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang
hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan
Melanesoid)[3]

Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.

Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai
tempat tinggal.[3] Penelitian mengenai kebudayaan Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun).[4]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung
Bone Culture.[4] Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera
dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred
Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon bertangkai dan hal ini diduga merupakan
peninggalan bangsa Papua Melanesoide.[5]. Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di
Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala[3]. Kebudayaan Toala
ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang PattaE dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan pebble[3]. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan
Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan pusat budaya prasejarah
Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaa pebble (alat-alat tulang yang
datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)[3]. Sementara itu,
penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di daerah Padalarang, Bandung
Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat Cililin. Kebudayaan yang ditemukan
berupa flakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu[3].

GAMBAR:

Tengkorak mesolitikum

Goa Mesolitikum
Zaman batu Neolithikum
Kebudayaan Neolithikum. Hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis
kapak persegi dan kapak lonjong. Gambar : Peninggalan zaman Neolithikum Nama kapak persegi
diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang
atau trapesium.Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil.
Yang ukuran besar lazim

Gambar gumpalan karet

Kampak batu
Kapak perunggu

Peninggalan Zaman Neolitikum

Zaman Mesolitikum
Zaman batu Megalitikum
Punden berundak merupakan contoh struktur tertua buatan manusia yang tersisa di Indonesia,
beberapa dari struktur tersebut beranggal lebih dari 2000 tahun yang lalu. Punden berundak bukan
merupakan “bangunan” tetapi merupakan pengubahan bentang-lahan atau undak-undakan yang
memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah, bahan pembantunya
batu;menghadap kePenulis-penulis pertama tentang Indonesia yang sangat dipengaruhi R. von
Heine-Geldern, berpendapat setidaknya terdapat dua tahap kebudayaan megalitik di Indonesia
yang berkaitan dengan perpindahan penduduk di Asia. Punden berundak dan menhir dipercaya
termasuk tahap yang lebih awal dari zaman Neolitikum. Pendekatan ini sesuai dengan
kelompok difusionis (ajaran penyebaran) yang berpikir atas dugaan bahwa budaya Asia
Tenggara mengalami kemunduran rangsangan dari luar, tidak lebih giat menuntut pembaharuan
budaya.

Penafsiran arsitektur bentang-lahan prasejarah Indonesia telah diabaikan secara besar-besaran,


sebagian karena perubahan tanggapan mengenai peran orang Indonesia dalam membangun
kebudayaannya sendiri, selain itu karena kenyataan banyak situs berundak yang diperkirakan
berawal pada zaman prasejarah telah memberi bukti digunakan diwaktu lebih kini. Sangat sulit
membuat kesimpulan mengenai umur situs yang mengalami perubahan sejak pertamakali
dibangun.
anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak Ada kemungkinan,
sedikitnya beberapa punden berundak sudah ada sejak zaman prasejarah bila mempertimbangkan
keberadaan struktur serupa di Polynesia. Marae dari kepulauan Pasifik barat merupakan
ungkapan kearsitekturan dari kepercayaan budaya yang sama seperti punden berundak Indonesia.
penduduk kedua wilayah kepulauan ini berbahasa Austronesia, yang mulai mendiami Indonesia
dan pulau di Pasifik sejak 5.000-7.000 tahun yang lalu. Punden merupakan kosakata Jawa, secara
harfiah bermakna “terhormat”. Kini sering dipakai pada tempat khusus di dekat desa, kerapkali
diatas bukit dan dikaitkan dengan roh-roh pendiri desa. Kadang-kadang bangunan kubur bergaya
isalam didirikan diatasnya.

“Berundak” berarti ‘bertingkat’. Contoh peninggalan yang terawatt ditemukan didataran tinggi
Jawa barat. Salah satu situs terluas, Gunung Padang, muncul kepermukaan pada tahun 1979.
Situs, dipuncak bukit berketinggian 885 m, terdiri atas lma undakan yang terluas diantaranya
berukuran 28 x 40 m. gunung Padang istimewa karena menggunakan ribuan balok basal yang
alami atau dibuat secara sengaja. Penggalian di situs ini pada tahun 1982 oleh Dra. Bintarti dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan alat pecah belah sederhana terbuat dari tanah.
Tidak ditemukan bukti adanya kuburan. Situs ini mungkin merupakan pusat
penyembahan dengan monolit yang dinyatakan sebagai rumah leluhur.
Situs ditata sepanjang sumbu baratlaut-tenggara, sitentukan oleh topografi setempat. Tidak ada
usaha untuk mengarahkan ke mata angina tau petunjuk yang dapat dilihat secara signifikan,
seperti G. Karuhun (gunung leluhur) yang mudah dilihat. Gunung Padang terbebas dari
gangguan penduduk saat ini, tidak seperti situs punden berundak lain di Jawa yang telah
mendirikan kuburan Islam atau masih melaksanakan kegiatan upacara keagamaan.
Punden berundak lain di Jawa Barat termasuk Arca Domas ‘sembilan undakan’, terletak di
daerah Baduy, dan Lemah Duhur dengan lima undakan di ketinggian 1.000 m diatas permukaan
laut. Walaupun beberapa kubur baru dibangun disini, situs ini kembali tampak terpelihara.
Ditempat lain tempat punden berundak berkembang meliputiJawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan,
Sumatera Selatan, dan Nias. Di daerah Pasemah, Sumatera Selatan, Dr haris Sukendar mengenal
jenis “kubur berundak” paduan punden berundak dan kubur pra-Islam. Di Nias, bangunan
berundak dan menhir masih digunakan
Situs zaman Klasik Akhir berdasarkan punden berundak juga ditemukan disejumlah gunung di
Jawa, meliputi Lawu, Muria, Penanggungan, Arjuna, Welirang, dan Argapura. Hampir semua
contoh ini digunakan antara tahun 1.000 dan 1.500 M. Dr. Hariani Santiko yang
mempertanyakan kemungkinan bangunan ini berakar pada zaman prasejarah mengusulkan
bahwa bangunan tersebut justru merupakan lambing gunung Semeru. Kemungkinan
menyesuaikan penafsiran tersebut ada; bagi orang Jawa, gunung Semeru dapat secara mudah
dihubungkan dalam kepercayaan purba pada gunung keramat.
Punden berundak di Bali berjumlah banyak. Situs utama meliputi Panebel, Tenganan, Selulung,
Kintamani, dan Sambiran. Miniature punden berundak yang masih digunakan dalam ibadah saat
ini ditemukan di dua pura dalem di Sanur. Satu dari pura di Bali yang plaing penting yaitu pura
Besakih, dapat dilihat sebagai punden berundak.

Masalah utama bagi ilmuwan yang tertarik mengetahui perlambang punden berundak di
Indonesia dan pengaruhnya pada sejarah kearsitekturan adalah penanggalannya.tidak terdapat
penanggalan awal (yakni proto-sejarah) yang pasti untuk berbagai bagian punden berundak.
Kendala ini harus dapt diatasi supaya penelitian dapat berkembang. Saat ini tidak meungkin
memetakan tahap perubahan bentuk arsitektur bentang-darat pada masa lebih dari 2000 tahun.
GAMBAR:

You might also like