You are on page 1of 11

SEJARAH WAHABI

Filed under: Uncategorized by Ismed Sariyadi — Komentar Dimatikan


Februari 26, 2010

Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya


Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal
usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan
berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-
jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan, I?tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah
Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan
lain-lain.

Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin
Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia
adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke
negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah
Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M,
dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher
yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah.
Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran
barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan
agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha?i. Bahkan
Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja
kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.

Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut


madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang
sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah
dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa
dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh
orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang
lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun
menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak
kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab
Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawaiqul
Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah.

Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad


bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafii, menulis surat berisi nasehat: Wahai
Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari
mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa
orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah,
maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah
tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang
bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-
Sawadul Adham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena
engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari
kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak
mengikuti
Jalan muslimin.

Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini


adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : Dan barang siapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam,
dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)

Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab,
adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul,
ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang
disampaikan ahlussunnah wal jamaah berkaitan dengan tawassul, ziarah
kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima.

Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin


sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.

Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul


Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan
Ramadhan??
Dengan segera dia menjawab, Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu
orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak
hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir
Ramadhan. Lelaki itu bertanya lagi kalau begitu pengikutmu tidak
mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum
muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak
itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang
muslim.? Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu
bahasa.

Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat


ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran
Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed.
Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh.
Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dariyah, Muhammad bin
Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang
dikemudian hari menjadi mertuanya.

Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas


wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah
Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau
merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan
bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih,
dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari


sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-
Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku
nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari
daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar
daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi
pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya
kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah
musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui
bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir.

Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya,


kalau tidak dia pun langsung dibunuh. Muhammad bin Abdul Wahab juga
sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga
membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-
sampai seorang pengikutnya berkata : Tongkatku ini masih lebih baik
dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular,
sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama
sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya
seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan
wilayah kekuasaan semakin luas.

Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya


keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur,
peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia.
Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan
jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena
makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada
Allah.

Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah


yang ada di atas kuburan, menjarah hisan – hiasan yang ada di Hujrah
Nabi Muhammad.

Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah


pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Kabah yang terbuat dari
sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah
tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan
Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin
Abbas.

Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum


solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang.
Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di
kubur kaum solihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan
Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka.
Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan
Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah
bisa direbut kembali.

Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Saud
bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil
menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan
Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I.

Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di


Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan
ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah
tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu
selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafii yang
sudah mapan.

Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah


di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah),
di Baqi dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan
tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di
atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan
tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta,
namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka
dibangun perpustakaan.

Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah


dan menghormati nilai-nilai luhur Islam. Semula AI-Qubbatul Khadra
(kubah hijau) tempat Nabi Muhammad SAW dimakamkan juga akan
dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman
International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan
mengurungkan niatnya.

Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan


dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak
yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak
mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan
yang menjadi saksi sejarah Rasulullah SAW dan sahabatnya. Bangunan
itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan
sekarang, tempat kelahiran Nabi SAW terancam akan dibongkar untuk
perluasan tempat parkir.

Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal,


disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu
juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan wahabisme paling punya
andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah
itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru.

Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di
wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam
kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu
akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah
jamaah haji dan umrah.
Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah.
Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat
parkir, katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300
bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun
terakhir.

Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak


Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan
maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun
1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, Pelestarian bangunan bangunan
bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.

Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan.


Mereka banyak menghancurkan peninggalan- peninggalan Islam sejak masa
Ar-Rasul SAW. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh
modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para
arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan
juta dollar untuk menggali peninggalan- peninggalan sebelum Islam baik
yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata.

Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah
menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini
merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu
keraguan di kemudian hari.
Gerakan wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan
ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh
keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang
tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli
bidah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan,
mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali
kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan
kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-
Islam-kan penduduk negeri ini.

Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan


Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 %
penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang
10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja
tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka
dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid
kepada Allah SWT.

Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo
untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi
corong kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme,
penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).

Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai


faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka
berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai
golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka.
Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai
ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz
(yang sekarang dinamakan Saudi).

Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari
para ulama yang sholeh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun
mereka bantai di hadapan ibunya.
Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka
lakukan dengan dalih memberantas bidah, padahal bukankah nama Saudi
sendiri adalah suatu nama bidah Karena nama negeri Rasulullah SAW
diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi
yaitu As-Saud.

Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini
dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam
memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini
adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI &
MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: Fitnah itu datangnya dari sana,
fitnah itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur
(Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)

Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an
namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke
hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari
busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak
akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul).
(HR Bukho-ri no 7123, Juz 6 hal 20748).

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan
Ibnu Hibban : Nabi SAW pernah berdoa: Ya Allah, berikan kami berkah
dalam negara Syam dan Yaman, Para sahabat berkata: Dan dari Najed,
wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Allah, berikan kami berkah dalam
negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW
bersabda: Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana
pula akan muncul tanduk syaitan., Dalam riwayat lain dua tanduk
syaitan.

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka


adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas
ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia
telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya
hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari
majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah
terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya.

Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: Tidak


perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab,
karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu
sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah
bercukur (gundul), karena ahli bidah sebelumnya tidak pernah berbuat
demikian. Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub
Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jalaudz Dzolam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW:
Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah BANY HANIFAH seorang
lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya
selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi
kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk
berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin. (AI-Hadits)

BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan


Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid AIwi
menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad
bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi SAW yang mengisyaratkan
bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk
setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua
tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan
Muhammad Ibn Abdil Wahab.

Pendiri ajaran wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H / 1792 M, seorang


ulama mencatat tahunnya dengan hitungan Abjad: Ba daa halaakul
khobiits (Telah nyata kebinasaan Orang yang Keji) (Masun Said Alwy)

Diambil dari rubrik : Bayan, majalah bulanan Cahaya Nabawiy No. 33 Th.
III Syaban 1426 H / September 2005 M

Wassalamualaikum wr wb

Sejarah Wahabi (Bagian 1)


Filed under: Uncategorized by Ismed Sariyadi — Komentar Dimatikan
Februari 26, 2010

Info pesantrenbuntet

Oleh: M. Zaim Nugroho


MENULIS sejarah Wahabi tidak terlepas dari negara asalanya aliran ini berasal, yaitu Arab
Saudi. Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di mana para ulama masih mendominasi peran
perubahan masyarakat. Di negeri ini, nasionalisme, Pan-Arabisme, Pan-Islamisme, sosialisme
Islam, yang memainkan peran di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak punya gaung. Satu-satunya
doktrin yang ditoleransi adalah paham Wahhabiyah. Dengan itu, Arab Saudi menjadi sebuah
kerajaan yang totalitarian, tak kenal kompromi.

Tidak mengherankan jika kerajaan Saudi memandang nasionalisme Nasser di Mesir sebagai
ancaman langsung terhadap keberadaannya. Untuk menahan pengaruh Nasser yang makin
menguat, kerajaan Saudi mengulurkan tangannya kepada para aktivis Ikhwanul Muslimin – tidak
saja mereka yang terusir dari Mesir, tetapi juga dari negara-negara Arab sekular lainnya seperti
Syria dan Irak.

Nama “Wahabisme” dan “Wahabi” berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1792).
Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan
makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-
Tawhid sebagai nama kelompok mereka. Menurut Algar, penggunaan nama-nama ini
mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tawhid, yang merupakan
landasan Islam itu sendiri.

Pada saat yang sama, mereka membedakan diri dari seluruh umat Islam yang lain, yang mereka
cap telah melakukan syirik. Akan tetapi, tidak ada alasan menerima monopoli atas prinsip tawhid
tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang
manusia, yakni Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk
menyebut mereka “Wahabisme” dan “kaum Wahabi” (Algar, 2003: 1-2).

Dalam sejarah pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahabisme tidak
menempati tempat yang begitu penting. Secara intelektual gerakan ini adalah marjinal, tetapi
bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari
semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan
jantung dunia Muslim.

Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahabisme, bernasib baik ketika pada
abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya
digunakan menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut, Wahabisme
mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur
pendek. Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan
dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah menyebabkan
Wahabisme dapat bertahan lama. (Algar, 2003: 2)

Sebagai aliran pemikiran atau sekte tersendiri, Wahabi dicirikan, khususnya oleh para pengamat
non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem”
atau sebagai kaum Sunni yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “keras” atau “ketat”
ditambahkan di belakangnya, untuk memberikan gambaran yang lebih pasti. Namun, kalangan
Sunni mengamati bahwa kaum Wahabi, sejak pertama kali aliran mereka dikumandangkan, tidak
bisa dimasukkan sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Hal itu karena hampir semua
praktik, tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab sudah lama
diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan dalam banyak sekali literatur dan
diterima oleh sebagian besar kaum Muslim.

Karena alasan ini, banyak ulama yang hidup pada masa ketika Wahabisme pertama kali
dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-
Jama`ah. Bahwa sekarang Wahabisme dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu
menunjukkan bahwa istilah “Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa longgar. (Algar,
2003: 2-3)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab pada karya-karya Ibn
Taymiyah, Wahabisme senantiasa diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari
warisan Ibn Taymiyah. Klaim ini sulit dipertahankan. Apapun pendapat orang tentang posisi atau
sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh lebih canggih dan
produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab. Lebih dari itu, perbedaan kunci
antara kedua orang ini adalah: kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme
pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, ia tidak menolak Sufisme secara
keseluruhan. Ia sendiri adalah pelopor tarikat Qadiriyyah. Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-
Wahhab menolak tasawuf secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya manifestasi
tertentu tasawuf. (Algar, 9-10)

Ekspansi Wahabi
Wahhabisme atau Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-
1792), pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada akhirnya
berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi. Ia dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina,
sebuah kota yang sekarang ini sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia. Ia memperoleh
pendidikan agama, dan pernah belajar di Madinah. Ia kemudian berkelana ke mana-mana,
berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak, Kurdistan, dan Persia. Ketika
kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum
Muslim untuk kembali kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan
hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

Pada sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn al-Wahhab menjadi
“pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud. Pada masa itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok
pembesar atau elite lokal yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang.
Wahhab lalu menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn Sa`ud,
pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya akan mendukung upaya-upaya
keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-
Sa`ud – sebagai konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.
Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah. Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis
sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini milikmu,
dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah, bahkan jika semua [orang] Najd
dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.”
Muhammad ibn `Abd al-Wahhab menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di
sini dan Anda adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda kepada
saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap orang-orang kafir. Sebagai
imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi
pemimpin dalam masalah-masalah keagamaan. (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi
ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut
sebagai gerakan Wahhabiyah pun dimulai. Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn
Sa`ud dan `Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Banyak deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal menekankan fakta
bahwa raid sejalan dengan praktik-praktik kesukuan yang dominan kala itu. Sekalipun
mengandung kebenaran, hal ini menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang
menjadi daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal. Selain keuntungan
material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja di dunia ini, melainkan juga di
akhirat kelak. Menurut sejarawan Madawi al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu
yang baru, yakni pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya
didominasi fiqh.

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka dengan kaum Khawarij, kelompok puritan
dan ekstremis pertama dalam sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik
itu, mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk menghancurkan
apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslim. Karena itu, mereka
mulai memerangi suku-suku yang ada di sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut
untuk mengikuti versi Islam mereka.

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai
ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah
berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan
menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang
jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh.
Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-
Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka semua diwajibkan untuk
membayar zakat ke Dir`iyyah.

Ekspansi awal Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz, di


mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi ini mereka
berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif Mekkah, yang memperoleh
legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani. Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk
bertahan, koalisi Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802,
Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu, para ulama
Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di makam-makam Nabi Muhammad
dan para sahabatnya di Madinah.

Kemenangan di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke wilayah


selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk Wahhabisme dan ikut serta
dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya pertahanan orang-orang Yaman, ditambah
dengan kondisi geografis yang kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak
berhasil ditundukkan sepenuhnya.

Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian


penting daerah kekuasaan Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak
tembok Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil
merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-
makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi, Fatimah.

Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka
membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan
perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari
seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah,
makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah
Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah
dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan
dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir
dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah.
Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas
dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn
Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di
Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad
Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan
tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal
di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki
Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah.
Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan
kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak
untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di
depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir
Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan
dikepung, mereka menyerah.

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan
ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat
keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari
keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka
sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan
berdarah teologi Wahabi.’

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo
dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling
kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan
tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi
menjadi tawanan di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi
bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku
pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua
orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai
akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalui pasukan Muslim.”
(Allen, 2006: 68).

Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I,
berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi
terbentuk. (Bersambung)

Zaim Nugroho, keluarga dari Buntet Pesantren, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Kini aktif di
salah satu Lembaga Penelitian Pemilu.
3.588983 98.485679
Comments RSS feed
Suka
Be the first to like this post.

Komentar telah ditutup


« Etika Merayakan Peringatan Maulid Nabi
SEJARAH WAHABI »

*
Blog Stats
o 213 hits
*
Tulisan Terkini
o Karya Stephen Sulaiman Schwartz : “Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs
Fundamentalisme”
o SEJARAH WAHABI
o Sejarah Wahabi (Bagian 1)
o Etika Merayakan Peringatan Maulid Nabi
o Hello world!
*
Tulisan Teratas
o Sejarah Wahabi (Bagian 1)

You might also like