You are on page 1of 25

One Stop Wakaf Service

Friday, 22 October 2010 09:52


Oleh : Veldy V. Armita

"Kami serahkan tanah ini untuk dikelola Tabung Wakaf Indonesia dengan pengelolaan untuk
kemaslahatan ummat dan jika untuk kepentingan tersebut tanah ini perlu dijual dan akan lebih
manfaat, kami persilakan," sepenggal ikrar dan pesan dari wakif (orang yang berwakaf),
menggetarkan hati kami sebagai nadzhir (pengelola wakaf).

Instrumen ekonomi ummat berupa wakaf sedikit demi sedikit mulai digemari oleh masyarakat
luas. Masyarakat semakin sadar bahwa perlunya donasi reusable, donasi yang secara otomatis
manfaatnya akan berulang, untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi ummat di dunia sekaligus
mendapatkan pahala abadi di akhirat kelak.

Saat ini Tabung Wakaf Indonesia menerima dan mengelola berbagai jenis wakaf, antara lain :

1. Wakaf tunai, berupa uang yang akan diasetkan dalam usaha produktif
2. Wakaf natura, berupa barang bergerak (laptop, mobil, motor, dll) maupun tidak bergerak
(tanah, bangunan). Wakaf natura ini akan dikelola untuk diproduktifkan.
3. Wakaf surat berharga, berupa wakaf uang (uang sebagai aset yang akan diinvestasikan),
wakaf saham, dan wakaf obligasi.

Kategorisasi ini kami buat untuk memudahkan para wakif menunaikan wakafnya. Harta apapun
dapat diwakafkan, dan wakif tinggal memberikan arahan kemana manfaat wakafnya
diperuntukkan, apakah untuk pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan sosial dan ekonomi.

Saat ini dari pengelolaan 3 jenis wakaf di atas Tabung Wakaf Indonesia menginisiasi beberapa
program :

A. WAKAF NATURA KOMBINASI DENGAN WAKAF TUNAI


1. Depok Waqf Junction (DWJ)
Merupakan bangunan wakaf dengan 2 lantai. Lantai 1 terdiri dari 3 toko yang
disewakan dan lantai 2 dipergunakan untuk program perpustakaan dan rumah baca
(Rumah Cahaya). Hasil penyewaan toko dari lantai 1 menjadi masukkan untuk
pembiayaan kegiatan Rumah Cahaya.
2. Countrywood Waqf Junction (CWJ)
Terletak di kawasan Ciputat, area ini masih dalam proses studi kelayakan untuk
dikembangkan secara produktif. Salah satu alternatif yang sedang dikaji adalah
mendirikan lapangan futsal dan pusat jajanan. Manfaat sewa dari aset produktif ini
akan disalurkan untuk pembiayaan operasional SMART Ekselensia Indonesia,
sekolah gratis yang dikelola Lembaga Pengembangan Insani-Dompet Dhuafa
Republika.
3. Zamrud Waqf Foodcourt (ZAWAF), terletak di Bekasi, kawasan ini telah
dibangun area foodcourt yang disewakan kepada para pedagang kecil. Manfaat
sewa dari aset produktif ini disalurkan melalui Layanan Kesehatan Cuma-Cuma
(LKC), layanan kesehatan gratis yang dikelola oleh Dompet Dhufa Republika.
4. Waqf Town House (WTH), masih dalam proses analisis, direncanakan dibangun
di area Sawangan, Depok. Program ini masih membutuhkan dukungan dalam
merealisasikannya
5. Kebayoran Waqf Area (KWA), masih dalam proses analisis, sebidang tanah di
sekitar Jl. Kelapa Gading, Kelurahan Gandaria Selatan, dekat dengan jalan Radio
Dalam. Program ini masih membutuhkan dukungan dalam merealisasikannya.
6. Wakaf Wardah dan Jannah (WWJ), gedung wakaf di Islamic Village, Karawaci,
disewakan untuk Institut Kemandirian, sebuah program pelatihan ketrampilan dan
wirausaha. Sebagian area gedung juga disewakan untuk kegiatan rapat , pelatihan,
dan seminar.
7. Wakaf perkebunan karet di Lahat, Sumatera Selatan dan Wakaf perkebunan coklat
di Banggai, Sulawesi Tengah. Surplus dari wakaf ini diserahkan kepada nadzhir
lokal untuk disalurkan manfaatnya kepada masyarakat setempat.
8. Beberapa ruko yang sudah disewakan dan tanah yang masih dalam proses analisis.
B. WAKAF SURAT BERHARGA
1. Wakaf Saham, saat ini TWI mengelola beberapa portofolio saham perusahaan
besar/Multi National Company.
2. Tabung Wakaf Fund (TWF) dan Tabung Wakaf Ritel (TWR). TWI bekerja sama
mengelola wakaf uang dengan dengan BMT Ventura, sebuah usaha ventura yang
memiliki akses kepada ratusan Baitul Maal Wa Tamwil seluruh Indonesia. Wakif
dapat berwakaf uang dengan nominal berapa pun melalui seluruh BMT yang
menjadi anggota BMT Center, untuk kemudian dikelola sebagai investasi melalui
BMT-BMT dengan pengelolaan oleh BMT Ventura.
C. LAIN-LAIN (WAKAF NATURA DAN WAKAF TUNAI UNTUK PROGRAM
SOSIAL)
1. SMART Ekselensia Indonesia di Parung, Jawa Barat. Bekerja sama dengan
Dompet Dhuafa Republika mendirikan sekolah gratis bagi siswa dari keluarga
dhuafa dari seluruh Indonesia.
2. Layanan Kesehatan Cuma-Cuma di Ciputat. Bekerja sama dengan Dompet Dhuafa
Republika mendirikan klinik layanan kesehatan gratis bagi masyarakat tak
mampu.
3. Wisma Mualaf di Bintaro. Sebuah tempat persinggahan bagi para mualaf untuk
mendapatkan penguatan nilai agama dan mental sebelum akhirnya bersosialisasi di
masyarakat luas.
4. Rumah Sehat Terpadu (RST) di Zona Madina, Parung. Bekerja sama dengan
Dompet Dhuafa Republika mendirikan sebuah layanan kesehatan komprehensif
bagi masyarakat tak mampu, saat ini masih dalam proses pembangunan dan masih
sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat luas/para wakif.
5. Beberapa masjid yang dibangun dan direnovasi.

Semoga dengan keragaman pilihan pengelolaan wakaf ini aset-aset wakaf yang terhimpun
menjadi semakin produktif hingga mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk
ummat.
Last Updated on Tuesday, 16 November 2010 02:45
Wakaf Uang, Saham dan Manfaat

Diposting oleh : Administrator


Kategori: Wakaf Tunai Spektakuler - Dibaca: 228 kali

Wakaf secara bahasa, adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari
ungkapan waqfu al-syai’i, yang berarti menahan sesuatu. Terdapat perbedaan pendapat tentang
pengertian wakaf. Wakaf menurut para Fuqaha, yaitu : Menurut Hanafiyyah; Menahan benda
yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja. Malikiyyah ;
Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan
kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh yang mewakafkan. Syafi’iyyah: Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
dengan menjaga utuhnya barang. Hanabilah : Menahan kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya
dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Disamping definisi diatas terdapat pula perbedaan terhadap mauquf bih, antara benda bergerak
dan benda tidak bergerak sebagai mauquf bih, yang mana dalam hal ini Hanafiyyah tidak
memperbolehkan mewakafkan benda bergerak karena mauquf bih yang tidak bergerak dipastikan
‘ain-nya memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus, namun
Madzhab Hanafi memberikan pengecualian pada benda yang bergerak dengan syarat bahwa
benda bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam; barang tersebut
mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, dan yang kedua benda bergerak
yang digunakan untuk membantu benda tidak bergerak. Sedangkan menurut Ulama Syafiiyyah
bahwa benda yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang tak
bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi.
Pedebatan boleh atau tidaknya mewakafkan aset bergerak semakin berkembang ketika aset
bergerak tersebut berupa uang bukan berupa barang. Kajian mengenai wakaf uang atau biasa
disebut dengan wakaf tunai ”cash waqf” diperdalam dan dimodifikasi produknya agar sesuai
dengan perkembangan laju sistem ekonomi dan keuangan modern, ditambah lagi dengan adanya
wakaf yang berupa surat-surat berharga seperti halnya saham, obligasi maupun SUN.

Dalam sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting dalam pengembangan
kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Institusi wakaf telah
menjalankan sebagian dari tugas-tugas pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti
Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.

Kondisi tersebut tentu sangat didukung oleh adanya paham dan orientasi wakaf yang memiliki
pandangan sosial yang jauh ke depan. Wakaf dipahami secara dinamis, bahwa ajarannya tidak
diposisikan sebagai ’barang mati’ yang terbebas dari reintrepetasi atau ijtihad, namun wakaf
terus dikembangkan menjadi social capital yang terbuka bagi inovasi dan kreatifitas untuk
dikembangkan demi kemajuan umat.

Rumusan Masalah

Menyikapi wakaf yang memunculkan permasalahan baru sesuai dengan deskripsi di atas, maka
akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya;

1. Bagaimana status wakaf uang, serta bagaimana penjelasan para Ulama’?

2. Bagaimana korelasi wakaf uang dengan wakaf saham?

3. Bagaimana aplikasi dan interpretasi dari wakaf manfaat?

1. Kajian Teoritik

Secara teoritik tidak ada dalil baik dari Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan secara rinci
mengenai perwakafan khususnya mengenai wakaf manfaat/uang bahkan saham, namun dalam
hal ini konsensus Ulama menjadikan landasan bagi perwakafan diantaranya,

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya. QS. Ali Imran : 92

Dari Ibn Umar, ia berkata: Umar mengatakan kepada Nabi SAW saya mempunyai seratus
dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti
itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatkan kepada Umar: Tahanlah
(jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah
untuk sabilillah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari dua dalil di atas para ulama’ telah menetapkan hukum bagi masalah perwakafan, dalam hal
ini akan dikutip beberapa pendapat ulama yang menjadi sentral bahasan dalam makalah ini; Al-
Bakri mengemukakan pendapat Syafi’I tentang wakaf uang, yaitu tidak boleh. Karena dirham
dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. Sedangkan inti ajaran
wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis
sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda
yang tahan lama, tidak habis dipakai. Kedua, uang seperti dinar dan dirham diciptakan sebagai
alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik
manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Begitu juga pendapat Kamal Ibn Hammam bahwa
tidak boleh mewakafkan harta yang bermanfaa tetapi musnah dalam hal ini seperti emas, perak,
makanan, dan minuman, berdasarkan pendapat fuqoha secara umum. Dan yang dimaksud dengan
emas dan perak adalah (mata uang) dinar dan dirham.

Jumhur ulama (Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah) selain Syafiyah, membolehkan wakaf uang
dan menjawab alasan Hanafiyah yang menyatakan bahwa dalam wakaf uang telah hilang makna
wakaf yaitu “menahan asalnya” yang memiliki makna berkesinambungan sebagaimana hadits
Umar dan Abi Tholhah. Dijawab oleh jumhur ulama bahwa wakaf uang tidak menghilangkan
makna menahan dengan ungkapan mereka bahwa dalam setiap objek yang ditahan tentu ada
batasannya, jika objek yang ditahan itu memiliki kelestarian yang berkesinambungan maka itulah
batasannya, seperti tanah misalnya, tapi jika yang ditahan itu objek yang dalam kurun waktu
tertentu akan punah, maka saat kepunahan itulah batasannya. Dan ulama Malikiyah menyatakan
bolehnya wakaf uang sebagaimana yang diungkap oleh Ibn Rusd Al Jadd dalam
Muqoddimahnya.

Imam Bukhari di dalam Shahih-nya meriwayatkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri mengenai orang
yang memberikan seribu Dinar untuk fi sabilillah yang ia berikan kepada anak laki-lakinya yang
menjadi pedagang yang berdagang dengan modal uang tersebut serta menjadikan keuntungannya
sebagai sedekah untuk orang-orang miskin dan kaum kerabat (Ibnu Hajar Al-'Asqallani¸ Fath Al-
Bari 'ala Shahih Al-Bukharib.)

Benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan.
Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja
diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada benda-benda yang memiliki
sifat tidak musnah. Namun, dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf),
uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan
bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan
manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah.
Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i bahwa definisi harta
tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi
elemen penting dalam mendefinisikan harta. Sehingga konsekuensi pemahaman ini adalah
munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam
mekanisme wakaf yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat
bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan
kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan.
Begitupun masalah terkait saham yang merupakan selembar kertas yang merupakan bentuk
sahnya kepemilikan terhadap suatu perusahaan dalam hal ini saham bisa dianalogikan seperti
uang yang mana sama-sama memiliki nilai atau harga. Dalil syara’ tentang dibolehkannya wakaf
saham ini bisa diklasifikasikan sebagai benda bergerak, sama saja halnya dengan uang.

2. Kerangka Konseptual

Dari kajian teoritik di atas telah dijelaskan bahwa wakaf memiliki dimensi yang lebih dari
sekedar ibadah kepada Allah, dan saat ini lebih ditekankan dengan dihadapkannya pada isu-isu
kontemporer yang memerlukan reinterpretasi wakaf, diantaranya isu ekonomi sosial yang
bersentuhan langsung pada subyek wakaf. Untuk memecahkan hal tersebut perlu dibagun
kerangka konseptual agar dimensi yang tertuju tepat sasaran.

3. Analisis

a. Wakaf Uang

Para ulama berijtihad mengklasifikasi dan merinci jenis-jenis benda mana yang dapat
diwakafkan dan yang tidak dapat diwakafkan. Imam Muhyiddin al-Nawawi mensyaratkan agar
benda wakaf itu mempunyai daya tahan agar manfaat dan keuntungan dari benda wakaf itu tetap
terjaga. Menurutnya, benda wakaf itu tidak dapat berupa sesuatu yang dapat dimakan dan tidak
pula dalam bentuk minyak wangi. Ia membolehkan mewakafkan binatang ternak dan benda-
benda bergerak lainnya. Abu Ishaq al-Syirazi, dalam rangka menafsirkan potongan Hadits
mengatakan bolehnya mewakafkan setiap sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara terus
menerus. Senada dengan Muhyiddin al-Nawawi dan Abu Ishaq al-Syirazi, Sayyid Sabiq, seorang
ulama kontemporer, mengatakan bahwa tidak sah mewakafkan benda yang berpotensi rusak dan
musnah atau menjadi hilang jika dimanfaatkan semisal uang, parfum, makanan, minuman dan
juga tidak sah mewakafkan benda-benda yang cepat rusak seperti yang terbuat dari parfum dan
wewangian.

Maka, nyatalah klasifikasi dan rincian jenis benda-benda mana yang dapat diwakafkan dan yang
tidak dapat diwakafkan di atas terkait erat dengan prinsip langgengnya manfaat (dawam al-
intifa’). Dengan kemajuan teknologi barangkali benda yang dulu dianggap tidak ada manfaatnya
akan menjadi sebaliknya dan itu berarti dapat diwakafkan. Dan bisa jadi, dengan kemajuan
teknologi, benda yang dulu tidak tahan lama akan menjadi tahan lama dan itu berarti dapat
diwakafkan. Barangkali dulu orang menganggap bahwa uang menjadi tidak ada lagi jika
ditukarkan (dibelikan) karena uang dipandang sebagai alat tukar belaka. Berbeda halnya dengan
kondisi kini dimana uang dapat dijadikan komoditi dagang yang menguntungkan, uang dapat
didepositokan yang setiap jangka waktu tertentu dapat diambil keuntungannya, dan uang dapat
diinvestasikan dalam bentuk saham-saham perusahaan yang dalam periode tertentu dapat
menerima keuntungan. Persoalan ini dapat dikembalikan jawabannya pada prinsip langgengnya
manfaat (dawam al-intifa’) di atas.[3]

b. Wakaf Saham
Saham adalah bentuk paling murni dan sederhana dari kepemilikan perusahaan. Saham adalah
selembar kertas yang menyatakan kepemilikan dari sebagian perusahaaan. Saham merupakan
tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan, selembar
saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah
pemiliknya (berapapun porsinya/jumlahnya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas
(saham) tersebut. Selembar saham mempunyai nilai atau harga.

Investasi finansial dalam ketentuan syariah Islam harus berkaitan langsung dengan sektor riel
atau dalam istilah investasi disebut mempunyai underlying transaction. Investasi ini dapat
dilakukan dalam bentuk penerbitan surat berharga yaitu saham dan obligasi.

Saham merupakan salah satu sekuritas diantara sekuritas-sekuritas lainnya yang mempunyai
tingkat risiko yang tinggi. Risiko tinggi tercermin dari ketidakpastian return yang akan diterima
oleh investor di masa datang. Hal ini sejalan dengan definisi investasi menurut Sharpe bahwa
investasi merupakan komitmen dana dengan jumlah yang pasti untuk mendapatkan return yang
tidak pasti di masa depan.

Di atas telah dijelaskan hal ihwal pelarangan dan kebolehan mewakafkan uang, dalam hal ini
terkait masalah mewakafkan saham bisa dianalogikan dengan wakaf uang karena pada dasarnya
dalam sistem perekonomian masa lalu tidak keterangan yang menunjukkan wakaf saham. Perlu
dicatat pula bahwa Prinsip dasar transaksi menurut syariah dalam investasi keuangan yaitu: (1)
Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari setiap transaksi
yang dzalim. Setiap transaksi yang memberikan manfaat akan dilakukan bagi hasil; (2) Setiap
transaksi harus transparan tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan disalah satu pihak,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja (gharar). Diharamkan praktek insider trading,
cornering, netting dan short selling; (3) Risiko yang mungkin timbul harus dikelola sehingga
tidak menimbulkan risiko yang besar atau melebihi kemampuan menanggung risiko (maysir); (4)
Dalam Islam setiap transaksi yang mengharapkan hasil harus bersedia menanggung risiko; (5)
Manajemen yang diterapkan adalah manajemen Islami yang tidak mengandung unsur spekulatif
dan menghormati hak asasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.

Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang
dapat didedikasikan untuk kepentingan umat kebanyakan. Bahkan, dengan modal yang besar,
saham malah justru akan memberi konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas
perdagangan yang lain Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalah yang
diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Hal ini disebabkan karena cara yang lazim dipakai oleh
masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf, seperti tanah, gedung, rumah dan semacamnya.

Adapun jenis instrumen pasar modal yang jelas diharamkan syariah adalah sebagai berikut: (1)
Preffered Stock (saham instimewa). Saham jenis ini diharamkan oleh ketentuan syariah karena
terdapat dua karakteristik utama, yaitu: a. Adanya keuntungan tetap (pre-determinant revenue),
hal ini menurut kalangan ulama dikategorikan sebagai riba; b. Pemilik saham preferen
mendapatkan hak istimewa terutama pada saat likuidasi.

Hal ini mengandung unsur ketidakadilan. 2. Forward Contract. Forward contract diharamkan
karena segala bentuk jual beli utang (dayn bi dayn) tidak sesuai dengan syariah. Bentuk kontrak
forward ini dilarang dalam Islam karena dianggap jual beli utang/piutang terdapat unsur-unsur
ribawi, sedangkan terjadinya transaksi jual beli dilakukan sebelum tanggal jatuh tempo. 3.
Option. Option merupakan hak, yaitu untuk membeli dan menjual barang yang tidak disertai
dengan underlying asset atau real asset.

Transaksi option ini bersifat exist dan dinilai oleh kalangan ulama bahwa kontrak option ini
termasuk future mengandung unsur gharar (penipuan/spekulasi) dan maysir (judi). Kecuali jika
transaksi option atau hak tersebut merupakan representasi dari nilai intangible asset tersebut,
maka dianggap sebagai nilai real asset dan dapat dibenarkan menurut syariah. Misalnya, pentium
intel yang merupakan intangible asset karena merupakan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI)
yang melekat pada produk komputer yang memanfaatkan teknologi tersebut, maka transaksi ini
halal jika jual beli dilakukan juga pada aktiva berwujudnya. Jadi instrumen investasi syariah
tersebut bebas dari jenis riba apapun, baik riba nashiah yaitu pinjam meminjam uang maupun
riba fadl, yaitu riba dalam perdagangan, gharar (penipuan) dan maysir (judi).

c. Wakaf Manfaat

Pada dekade akhir-akhir ini hak harta dan manfaat semakin meluas dan itu merupakan salah satu
bentuk dari berbagai macam harta yang bisa diwakafkan. Mungkin hal inilah yang disinyalir oleh
Rasulullah SAW dalam hadits ‫ أو علم ينتفع به‬yang memberikan isyarat –walaupun jauh- tentang
adanya hak adabi.

Untuk memahami manfaat kontekstual wakaf dapat dilihat dari sistem pengelolaannya, apakah
secara tradisional atau modern. Kalau pengelolaan tradisional hanya menempatkan kekekalan
benda berada pada posisi teratas dengan mengesampingkan sistem pengelolaan. Sedangkan
pengelolaan modern lebih mengedepankan pada aspek kemanfaatan benda melalui pengelolaan
produktif dengan tetap menjaga eksistensi bendanya tetap ada dan tidak berkurang.

Substansi perintah Nabi adalah menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf dengan
cara mengelola secara profesional, sementara hasilnya untuk kepentingan kebajikan umum.
Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran
wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih
penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut.

Kalau konsisten memegangi maksud hadits Nabi di atas, maka harusnya tidak ada benda-benda
wakaf yang terbengkelai. Problemnya adalah karena ada sebagian ulama yang bersiteguh
memahami wakaf lebih kepada keutuhan benda-benda wakaf, meskipun telah rusak atau tidak
memberi manfaat sedikitpun untuk masyarakat banyak.

Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa benda-benda wakaf tidak boleh “diutak-atik”
tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih bermanfaat harus kita mulai
tinggalkan. Hal ini kita lakukan agar dapat menciptakan sebuah kondisi dimana segala sesuatu
akan bisa memberikan nilai manfaat (ekonomi) apabila dikelola secara baik. Sejarah berdirinya
masjid Nabawi di masa Rasulullah yang dulunya hanya terbuat dari pelepah kurma dan sekarang
sudah dirombak sedemikian rupa hingga menjadi salah satu masjid termegah dan termewah di
dunia dengan segala fasilitas modern lainnya merupakan gambaran betapa pentingnya
pengembangan potensi (kekayaan) umat Islam untuk kemanfaatan yang lebih besar.

Terdapat tiga makna kontekstual bahwa benda wakaf akan mendapatkan nilai pahala yang terus
mengalir karena kemanfaatannya, yaitu:

1. Benda tersebut dapat dimanfaatkan (digunakan) oleh orang banyak. Ketika seseorang
mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah misalnya, maka masyarakat umum
akan bisa memetik kemanfaatan yang begitu besar terhadap kehadiran sekolah itu. Terlebih jika
biaya sekolah itu sangat murah atau gratis setelah disubsidi dari dana pengelolaan wakaf, maka
masyarakat sekitar sangat terbantu dalam menyekolahkan anak-anaknya. Itu baru satu contoh
kecil, masih banyak contoh-contoh lain dari benda wakaf yang memberikan manfaat lebih
banyak lagi terhadap kepentingan kebajikan. Dengan kehadiran benda wakaf yang memiliki nilai
guna sangat tinggi itu, maka paradigma baru wakaf harusnya didasari oleh aspek tersebut,
sehingga jika ada benda wakaf yang hanya memberikan kemanfaatan kecil atau tidak sama
sekali, sudah selayaknya benda tersebut diberdayakan secara produktif dalam rangka
meningkatkan fungsi yang berdimensi ibadah dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
maksud wakifnya.

2. Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat materialnya. Atau bisa disederhanakan
dengan bahwa nilai ekstrinsik benda wakaf melebihi nilai intrinsiknya. Karena titik tekan wakaf
itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang lain dari pada benda itu sendiri.
Sehingga dengan demikian, orang yang mewakafkan tanah untuk mendirikan bangunan fasilitas
ibadah, misalnya, harusnya bisa pula dimaknai secara lebih luas tentang ibadah sendiri itu apa,
sehingga tidak hanya terfokus pada pendirian bangunan masjid semata. Sebagai contoh, tanah
wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya di bangun sebuah
masjid atau musholla yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi harusnya bisa dibangun dengan
mempertimbangkan letak tanah tersebut. Paradigmanya, masjid tetap didirikan di atas tanah
tersebut bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang
memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian, nilai tanah tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah (ritual formal seperti shalat),
pusat koordinasi dakwah, pusat perniagaan Islami, pusat santuan kaum lemah, pusat koordinasi
pemberdayaan ekonomi lemah dan sebagainya.

3. Harta benda wakaf itu bukan berupa benda yang dapat menimbulkan bahaya (madharat) bagi
orang lain (mauquf ‘alaih) dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf jika ada seseorang
yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian, misalnya. Atau bisa jadi
bukan tempat yang haram, namun bisa juga yang mengarah kepada kemaksiatan, seperti
menyumbangkan tanah untuk dibangun tempat bilyard. Secara substansi hukumnya tempat
bilyard tidak haram selama untuk sarana olah raga atau hiburan yang benar. Namun,
kecenderungan saat ini tempat-tempat bilyard cenderung digunakan untuk arena perjudian
(taruhan) atau tempat bercampurnya kaum laki-laki kepada kaum perempuan non muhrim. Oleh
karena itu, benda wakaf harus yang memberikan manfaat bukan mendatangkan bahaya.

Paradigma yang melekat pada masyarakat mengenai wakaf perlu direinterpretasi karena pada
dasarnya hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi
ataupun politik pada waktu tertentu, Para ulama’ terdahulu telah memberikan klasifikasi terhadap
persyaratan pada mauquf bih bahwa harus dawam al intifa’. Di samping itu terdapat persyaratan
pula bahwa mengenai benda mauquf bih haruslah benda tak bergerak, namun dari penjelasan di
atas berdasarkan kerangka teoritik bahwa kita akan mendapatkan adanya kongklusi mengenai
wakaf yang lebih menitikberatkan pada nilai guna benda yang diwakafkan, karena tidak terdapat
dalil yang secara eksplisit menjelaskan mengenai wakaf uang ataupun saham. Dengan
pengelolaan dan menejemen perwakafan yang lebih modern akan didapatkan suatu perbedaan
mendasar wakaf sebagai hal yang tidak dapat di’utak-atik’ atau wakaf sesuai dengan tujuan
Rosulullah yakni memberikan manfaat pada masyarakat yang membutuhkan, hari ini telah
berkembang berbagai macam sistem perwakafan uang, disamping itu telah dijelaskan pula
dengan kebangkitan sistem ekonomi yang berasaskan Syariah maka dari sini ditepis keraguan
mengenai perwakafan yang berupa surat berharga atau dikenal dengan saham.

Sejalan dengan keterangan di atas berkembang pula perwakafan mengenai manfaat suatu benda
yang mungkin saja tidak tergolong pada benda tidak bergerak ataupun benda bergerak, dan yang
akhir-akhir ini telah ada, wakaf hak milik ma’nawi seperti hak cipta mengarang, hak nama atau
merk dalam perdagangan, Wakaf pelayanan, seperti pelayanan pengangkutan mushhaf ke masjid,
Dan jasa Pendidikan ataupun Pelatihan-pelatihan tertentu, yang mana semua itu telah
menekankan pada kemanfaatan sesuai tujuan syariah. Maka, sudah saatnya pemahaman manfaat
kontekstual wakaf yang lebih menekankan pentingnya aspek pengembangan manfaat menjadi
semacam “gizi” baru untuk memberdayakan benda-benda wakaf secara produktif .

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2006, Wakaf Tunai di Indonesia,
Jakarta. 2007, Fiqh Wakaf, Jakarta.

Muhammad Abid Abdullah al Kabisi, 2004, Hukum Wakaf, IIMAaN Press, Jakarta.

Latar Belakang Wakaf

Pengertian Wakaf ialah salah satu ibadah menyerahkan harta yang kita miliki untuk kegunaan
umum masyarakat dengan niat sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Contoh
Amalan Wakaf ialah apabila Baginda Rasulullah SAW membina Masjid Quba’ yang dibina di
atas tanah yang diwakafkannya ketika penghijrahan Baginda dan para sahabat ke Madinah.
Begitu juga dengan pembinaan Masjid Nabawi di Madinah yang juga dibina dengan sumber
wakaf.

Dalil pensyariatan wakaf di dalam menggalakkan umat Islam menyumbangkan hartanya untuk
manfaat umat Islam terdapat pada Firman Allah SWT pada ayat 96 Surah Ali Imran:
Maksudnya : “Kamu tidak sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian
(yang sempurna) sebelum kamu dermakan sebahagian dari apa yang kamu sayangi. Dan
sesuatu apa jua yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Firman Allah SWT lagi :

Maksudnya : “Bandingan
(derma) orang-orang yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah, ialah sama seperti sebiji
benih yang tumbuh menerbitkan tujuh tangkai; tiap-tiap tangkai itu pula mengandungi seratus
biji. Dan (ingatlah), Allah akan melipatgandakan pahala bagi sesiapa yang dikehendakiNya,
dan Allah Maha Luas (rahmat) kurniaNya, lagi Meliputi ilmu pengetahuanNya.”
(Surah Al Baqarah : Ayat 261)

Rasulullah SAW sendiri juga menggalakkan umatnya memperbanyakkan sedekah seperti hadith
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :

Maksudnya : " Apabila mati anak Adam, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,
SEDEKAH JARIAH, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh yang mendoakan kepadanya."

(Hadis Riwayat Muslim)

Wakaf juga dikenali sebagai Sedekah Jariah, para Ahli Fiqh dan ulama’ berpendapat amalan
wakaf adalah satu-satunya ibadah yang berbentuk sedekah jariah yang menjanjikan ganjaran
pahala yang berkekalan dan mengalir kepada pewakaf hingga ke hari akhirat selagi harta tersebut
kekal dan dimanfaatkan. Malahan amalan wakaf ini juga bukan hanya sebagai satu ibadah
sahaja, malahan merupakan satu sistem yang berpotensi untuk menyumbang kepada
kesejahteraan masyarakat Islam melalui konsep pengumpulan harta bersama.

APA ITU SAHAM WAKAF?


Saham Wakaf Selangor adalah satu cara berwakaf melalui wang tunai. Iaitu dengan cara
membeli unit-unit saham yang ditawarkan oleh Majlis Agama Islam Selangor (MAIS) sebagai
pemegang amanah dan mewakafkan unit-unit saham tersebut selama-lamanya kerana Allah SWT
dengan tujuan demi kepentingan dan kebajikan umat Islam.

Penyertaan adalah terbuka kepada semua umat Islam dan syarikat-syarikat perniagaan yang
dimiliki oleh orang Islam tanpa had maksimum. Konsep saham wakaf adalah sama dengan
konsep perlaksanaan wakaf kaki, wakaf hasta, dan wakaf lantai yang dipraktikkan di sesetengah
negeri di Malaysia ini.

PANDANGAN ULAMA’ TERHADAP WAKAF MELALUI WANG TUNAI

Ulama’ mempunyai beberapa pendapat mengenai amalan wakaf melalui wang tunai. Secara
umumnya di dalam ibadah wakaf, Ulama Fiqh telah bersepakat bahawa harta wakaf itu
hendaklah sesuatu yang bernilai, jelas dan diketahui tentang harta tersebut serta dimiliki
sepenuhnya oleh pemiliknya sama ada harta itu berbentuk harta alih (manqul) atau pun harta
tidak alih (I’qar).

Di dalam Kitab Al-Wasoya Wal-Awqof yang ditulis oleh Dr. Muhamad Kamaluddin Imam,
menyatakan bahawa Ulama’ Fiqh dengan jelas telah membahagikan harta wakaf kepada dua
bentuk iaitu :

1. Harta alih (manqul) iaitu harta yang boleh dipindah alih seperti baju, Al-Quran, wang dan lain-
lain
2. Harta tidak alih (I’qar) iaitu harta yang kekal pada asalnya seperti rumah, tanah atau bangunan

Walaupun terdapat perselisihan pendapat di atas penerimaan harta alih untuk dijadikan sebagai
harta wakaf akan tetapi Jumhur Ulama’ iaitu Mazhab Syafie, Hanafi, dan Hambali
mengharuskan wakaf manqul berasaskan kepada kenyataan bahawa semua harta yang harus
dijual dan boleh mendatangkan manfaat dan kekal zatnya, maka boleh diwakafkan.

Di dalam membahaskan perkara ini, Mazhab Hanafi mempunyai pandangan yang berlainan dan
tidak membenarkan wakaf melalui harta alih kerana ianya berlawanan dengan pengertian wakaf
itu sendiri iaitu menahan harta untuk diambil manfaatnya. Kesimpulannya, Mazhab Hanafi
berpendapat, harta yang boleh diwakafkan adalah harta yang berbentuk kekal contohnya seperti
tanah.

Walau bagaimanapun, Mazhab Hanafi mengharuskan wakaf dengan harta alih pada tiga keadaan
berikut :

1. Jika keadaan harta alih itu kedudukannya terletak pada harta tidak alih seperti pokok yang
terdapat di atas tanah yang diwakafkan
2. Jika terdapat nas di dalam Al-Quran dan hadith yang menjelaskan bentuk harta alih yang boleh
diwakafkan. Contohnya, mewakafkan kuda dan senjata perang, kerana terdapat beberapa
hadith yang menunjukkan bahawa Khalid Ibnu Walid telah mewakafkan kuda dan senjatanya
di medan perang. Begitu juga hadith yang menyatakan Talhah bin Ubaidillah telah
mewakafkan perisainya untuk tentera-tentera Islam dalam peperangan
3. Sekiranya harta alih tersebut telah menjadi kebiasaan di suatu tempat dan negara untuk
dijadikan harta wakaf seperti wakaf hasil-hasil penulisan, Al-Quran dan wang tunai. Tambahan
pula u’ruf atau kebiasaan amalan masyarakat adalah menjadi sumber hukum yang masyhur
pada Mazhab Hanafi

Mazhab Maliki pula mengharuskan sepenuhnya wakaf harta alih tanpa di syaratkan kekal
fizikalnya. Mazhab Maliki berpendapat bahawa harus wakaf dengan menggunakan wang tunai
seperti yang telah disebut di dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Ar-Rushd Al-Ka’bi kerana bagi
Mazhab Maliki, tujuan asal wakaf itu adalah untuk mendapat manfaat daripada harta tersebut.

Dalam konteks kita di Malaysia, penggunaan wang tunai dalam ibadah wakaf ini masih baru
untuk diperkenalkan kepada masyarakat sebagai bekalan dan amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT sejajar dengan hadith Qudsi iaitu :

Maksudnya :

“Sesungguhnya hambaku dapat menghampirikan diri kepadaKu dengan melakukan ibadah-


ibadah sunat.”

Ibadah wakaf yang dilakukan oleh orang-orang tua dan generasi terdahulu lebih dilakukan
dengan cara individu (fardi). Ibadah ini dilakukan atas kemampuan yang ada pada individu
tersebut untuk berwakaf sama ada mewakafkan tanah, rumah, atau aset-aset yang lain. Tetapi
senario hari ini, dengan adanya perlaksanaan Skim Saham Wakaf Selangor maka ianya akan
lebih mudah dan rasional untuk dipraktikkan oleh masyarakat yang rata-rata kurang memiliki
harta yang berbentuk aset tetap. Skim yang dilaksanakan ini menjurus kepada wakaf am yang
dilakukan secara berkelompok (jama’ie) oleh pewakaf-pewakaf yang menyertainya melalui
sumbangan wang tunai.

Berdasarkan kepada kupasan-kupasan yang diberikan maka dapatlah dirumuskan bahawa


Jumhur Ulama’ mengharuskan wakaf harta alih termasuklah wang tunai yang ketika ini menjadi
amalan di beberapa negeri di Malaysia.

FATWA NEGERI SELANGOR

i. Hasil daripada wang Skim Saham Wakaf Selangor hendaklah dibelanjakan bagi tujuan
pembelian aset kekal. Manakala wang manfaat wakaf Selangor boleh dibelanjakan untuk
memberi bantuan dan perbelanjaan lain yang difikirkan sesuai oleh Majlis Agama Islam
Selangor.

(Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor yang bersidang pada 5 September 2006 )


FATWA KEBANGSAAN

WAKAF WANG TUNAI


Berwakaf dalam bentuk wang tunai adalah dibolehkan di dalam Islam.

( Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia kali Ke-77
yang bersidang pada 10-12 April 2007 di Primula Beach Resort, Kuala Terengganu )

ENAKMEN WAKAF NEGERI SELANGOR

Merujuk kepada buku Enakmen Wakaf Negeri Selangor No. 7 Tahun 1999 Seksyen 17 (1)
menyatakan :

"Majlis boleh menawarkan saham wakaf terhadap apa-apa harta yang diperolehinya atau yang
akan diperolehinya kepada mana-mana orang untuk saham-saham itu dibeli dan kemudiannya
diwakafkan kepada Majlis."

Seksyen 17 (2) pula menyatakan :

"Apa-apa harta yang dibangunkan daripada apa-apa hasil di bawah subseksyen (1), hendaklah
menjadi wakaf am."

WAKAF PRODUKTIF

Islam, sebagai agama moral, tertantang tidak saja untuk menghancurkan ketimpangan struktur sosial
yang terjadi saat ini, melainkan juga berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena
di sini, Islam tidak hanya sebagai agama yang sarat dengan nilai elitis−normatif yang sama sekali tidak
memiliki kepedulian sosial, tetapi Islam secara integral merupakan bangunan moral yang berpretensi
untuk turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial−kemasyarakatan.

Lebih dari itu, Islam juga merupakan agama keadilan. Pelabelan sebagai agama keadilan lebih karena
kandungannya terhadap cita−cita keadilan sosial yang mengejawantah dalam doktrin−doktrinnya.
Karena itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, pengabaian atau ketidakseriusan penanganan
terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa’ yang tersebar di seluruh tanah air
merupakan sikap yang bahkan berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap solidaritas
kemanusiaan dan keadilan sosial.
Dalam pada itu, wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung
secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah−masalah sosial dan kemanusiaan, seperti
pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi umat.
Demikian ini karena wakaf sesungguhnya memiliki elan besar dalam mewujudkan tata sosial yang
berkeadilan.

Dominasi Wakaf Konsumtif

Sebagaimana diketahui, wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di seantero dunia
umumnya, Indonesia khususnya. Dalam konteks negara Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan
oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf telah
menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Ini karena sebagian besar rumah
ibadah, perguruan Islam dan lembaga−lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.

Islam, selama ini mengenal lembaga wakaf yang merupakan sumber aset yang memberikan
pemanfa'atan sepanjang masa. Namun pengumpulan, pengelolaan dan pandayagunaan harta wakaf
secara produktif di tanah air kita ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain. Begitu pun,
studi perwakafan di tanah air kita masih terfokus kepada segi hukum fiqh an sich, dan belum menyentuh
pada manajemen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan
memberikan hasil kepada masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar−benar menjadi
sumber dana dari masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.

Dalam kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan ini, sesungguhnya wakaf di samping tak dapat
dipungkiri peran dan fungsi instrumen−instrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah
dan lain−lainnya−sangat berperan penting dalam upaya mewujudkan perekonomian nasional yang
sehat. Dalam jangkauan yang lebih luas, kehadiran wakaf dapat pula dirasakan manfaatnya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang ekonomi, terutama sekali jika wakaf dikelola dengan
manajemen yang rapi, teratur dan profesional disertai kualitas para pengelolanya.

Namun demikian, fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat masih sangat
minim, jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasikan ke khalayak umum. Selama ini,
distribusi aset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan
hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan−kegiatan ibadah mahdlah. Ini dapat dimaklumi, karena
memang pada umumnya ada keterbatasan umat Islam akan pemah aman wakaf, baik mengenai harta
yang diwakafkan, peruntukan (distribusi) wakaf maupun nadzir wakaf.

Pada umumnnya, umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk
kepentingan peribadatan dan hal−hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti tercermin dalam
pembentukan masjid, mushalla, sekolah, makam dan lain−lain, sebagaimana telah sebutkan diatas.
Peruntukan yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih
belum diterima sebagai yang inheren dalam wakaf.
Model distribusi wakaf, dalam deskripsi di atas, juga kelihatan sangat konsumtif, dalam pengertian tidak
dapat dikembangkan untuk mencapai hasil−hasil yang lebih baik, terutama untuk kepentingan
peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pun, bahwa orientasi wakaf yang konsumtif seperti ini,
jelas−jelas selain tidak mendewasakan umat, juga cenderung membuat mereka malas dan menjauhi
usaha−usaha yang produktif.

Wajar kalau karena alasan ini pula, umat kemudian tidak kreatif menemukan solusi−solusi persoalan
kemiskinan struktural yang dijangkiti oleh hampir mayoritas umat Islam. Umat dalam jangka pendek,
akan tidak dapat memenuhi basic need (kebutuhan mendasar) dalam kehidupan, terutama bagi mereka
yang miskin. Dan dalam jangka panjang, akan membuat umat tidak akan mampu bersaing dengan
ekonomi global yang kian tak terkendalikan

Karena itu, sejenis penafsiran lain mengenai wakaf penting dihadirkan untuk memenuhi
kebutuhan−kebutuhan yang mendesak umat Islam. Bukan hal yang salah jika wakaf produktif, sebagai
salah satu bentuk penafsiran yang relatif baru mengenai wakaf, sangat diharapkan mampu menginjeksi
ekonomi umat (Islam) yang telah lama terpuruk.

Wakaf Produktif Sebagai Solusi

Pemunculan wakaf produktif, karenanya menjadi pilihan utama, ketika umat sedang dalam
keterpurukan kemiskinan akut. Wakaf produktif, berarti bahwa wakaf yang ada memperoleh prioritas
utama ditujukan pada upaya yang lebih menghasilkan. Tentu dengan ukuran−ukuran paradigma yang
berbeda dengan wakaf konsumtif, memberi harapan−harapan baru bagi sebagian besar komunitas umat
Islam. Wakaf ini tidak berkehendak untuk mengarahkan wakaf pada ibadah mahdlah an sich,
sebagaimana yang diarahkan wakaf konsumtif.

Wakaf produktif memiliki dua visi sekaligus; menghancurkan struktur−struktur sosial yang timpang dan
menyediakan lahan subur untuk mensejahterakan umat Islam. Visi ini secara langsung digapai ketika
totalitas diabdikan untuk bentuk−bentuk wakaf produktif yang selanjutnya diteruskan dengan
langkah−langkah taktis yang mengarah pada capaiantersebut. Langkah taktis, sebagai derivasi dari
filosofi disyari’atkannya wakaf produktif dimana lebih berupa teknis−teknis pelaksanaan wakaf yang
produktif.

Jenis wakaf produktif ini tentu saja juga sangat berdimensikan sosial. Ia semata−mata hanya
mengabdikan diri pada kemaslahatan umat Islam. Sehingga, yang tampak dari hal ini, adalah wakaf yang
pro−kemanusiaan, bukan wakaf yang hanya berdimensikan ketuhanan. Makanya juga, yang tampak
dalam wakaf jenis ini adalah wakaf lebih menyapa realitas umat Islam yang berujud kemiskinan,
keterbelakangan dan kebodohan.

Wakaf produktif, dengan demikian, merupakan pengembangan dari penafsiran−penafsiran lama tentang
wakaf. Wakaf produktif seperti dikemukakan di atas, dapat diselenggarakan paling kurang, dengan dua
cara, sebagaimana keterangan berikut:
1. Wakaf Uang.

Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi
lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia
merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama
dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang
lebih banyak.

Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata−mata sebagai alat tukar,
melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya,
memberlakukan sertifikat−sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini
memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mentasharufkan hartanya dalam bentuk
wakaf. Demikian ini karena wakif tidak perlu memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya
dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan−satuan yang lebih kecil
misalnya, Rp. 5000.

Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena
beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa.
Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan
segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan dengan mudah
memberikan konstribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu pengumpulan kapital dalam
jumlah yang sangat besar. Karena, meskipun sangat kecil jumlahnya, wakaf dalam bentuk uang ini masih
saja dapat menerimanya, disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan wakif.

Wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai", yang telah
diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash−wakf) – istilah yang dipopulerkan oleh Profesor A.
Mannan, pemikir ekonomi Islam asal Bangladesh − alam konsepnya merupakan bagian menjadikan
wakaf sebagai sumber−sumber dana tunai.

Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Uthmaniyah. Salah satu kelebihan
wakaf uang adalah pemberian peluang unik bagi penciptaan investasi di bidang ekonomi, termasuk
bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial. Sehingga, wakaf dalam bentuk ini lebih meluas
sifatnya, dari pada sekedar benda bergerak yang lainnya, sebagaimana yang telah diselenggarakan
dalam wakaf konsumtif.

Salah satu tindakan riil operasional wakaf tunai adalah sertifikat wakaf tunai yang dipelopori oleh M.A
Manan dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)−nya. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai
sebagaimana yang diterapkan oleh SIBL adalah sebagai berikut:
1. Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai dengan shari'ah. Bank harus mengelola Wakaf
tersebut atas nama Wakif.

2. Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang
ditentukan oleh Wakif.

3. Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan−tujuan yang diinginkan asal tidak bertentangan dengan
shari'ah.

4. Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan oleh bank
dari waktu kewaktu.

5. Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk
tujuan−tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara
otomatis ditambahkan pada wakaf dan profil yang diperoleh akan bertambah terus.

6. Wakif dapat meminta bank mempergunakan keseluruan profil untuk tujuan−tujuan yang telah ia
tentukan.

7. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan
memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya dengan jumlah tertentu.
Deposit−deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan jumlah setoran pertama atau kelipatannya.

8. Wakif dapat juga meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk
dipindahkan dari rekening wakif pada SIBL

9. Atas setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut
mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat

10.Prinsip dan dasar−dasar peraturan shari'ah wakaf tunai dapat ditinjau kaembali dan dapat berubah.

Beberapa poin yang terdapat dalam Wakaf Tunai di atas, tak lebih dari eksperimentasi Prof. A. Mannan.
Makanya, ketika beberapa poin dibuat, A. Mannan masih membuka kemungkinan perubahan menuju
yang lebih baik. Karenanya, tradisi ekspe−rimentasi A. Mannan bersifat tidak absolut dan, oleh
karenanya, harus dipandang sebagai teladan yang cukup baik dalam komunitas umat.

2. Wakaf Saham

Termasuk juga bagian yang disebut dalam wakaf produktif adalah wakaf saham. Saham sebagai barang
yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat didedikasikan untuk
kepentingan umat kebanyakan. Bahkan, dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi
konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain.
Dalam sebuah perusahaan, seorang penguasa dapat mengkhususkan perun−tukan sebagian sahamnya
sebagai harta wakaf yang hasilnya (deviden) untuk senya−tanya digunakan untuk kemaslahatan umat.
Wakaf saham boleh juga diambil dari keuntungan seluruh saham yang dimiliki pemiliknya. Semua itu
tergantung pada keinginan dan kehendak pemilik saham. Sebab, yang penting bukanlah nominal
besar−kecilnya hasil saham, melainkan lebih pada komitmen keberpihakan para wakif terhadap
kesejah−teraan umat Islam.

Walhasil, wakaf saham, hanya hendak mewakafkan sebagian hasil saham yang dimiliki wakif kepada
umat. Pangsa pasar yang dibidik oleh wakaf saham dengan begitu hanya terbatas para pemegang saham
yang kebanyakan kelas menengah ke atas. Demikian ini sangat tepat, mengingat kebanyakan umat
Islam, terutama mereka yang secara ekonomi telah mapan, terpaksa dibuat bingung untuk
mendayagunakan hartanya di jalan Allah Swt. Dengan adanya wakaf saham, maka sedikit banyak harta
mereka dapat digunakan untuk kesejahteraan ekonomi umat yang ada di bawah garis kemiskinan.

Wakaf Produktif Antara Harapan dan Hambatan

Besar harapan, dengan dua model wakaf produktif di atas –dalam bentuk wakaf uang, wakaf saham atau
juga wakaf yang lain—disebut−sebut sebagai yang lebih mampu mensejahterakan umat. Dengan cara ini
pula, gapaian−gapaian yang senantiasa jauh dari asa dalam cita keadilan sosial sedikit akan
mendapatkan momentumnya. Kendati tidak secara total dan langsung ‘menjadi’ (being), modul wakaf
produktif dipandang salah satu terobosan baru untuk mencita−citakan kesejahteraan sosial umat.

Namun persoalannya justru muncul dari massa akar rumput, umat yang dalam konteks Indonesia, telah
membentuk karakter sosial yang dalam batas−batas tertentu malah menghambat eksistensi wakaf
produktif. Karakter sosial, sebagaimana dimaksud, misalnya bangunan berpikir madhab. Karena itu,
pertanyaannya kemudian adalah, apakah umat dapat begitu saja menerima jenis wakaf produktif
tersebut? Bukankah mindset umat Islam Indonesia khususnya sedemikian rupa telah terbentuk,
utamanya karena mereka telah memiliki logika hukum Islam yang bersandarkan mazhab empat: Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali?

Tidak salah kiranya, kalau kemudian jenis wakaf produktif baik yang dalam bentuk wakaf uang, wakaf
saham dan wakaf sementara harus dihubungkan dengan landasan hukum yang terdapat dalam madzhab
empat. Pilihan madzhab empat lebih karena mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut fanatik
paham ahlussunah wal al−jama’ah yang dilandasi oleh pemikiran fiqh empat madhab. Lebih jauh, karena
empat madhab ini dipandang mu’tabar dalam arti lebih dipandang sistematis dalam cara berpikirnya,
banyak referensi yang mengokohkannya dan juga dipandang lebih adaptif dalam setting masyarakat
Indonesia.

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

from:wacanaislam.blogspot.com
Wakaf Saham
Friday, 19 November 2010 04:03

Termasuk dalam kategori wakaf produktif adalah wakaf saham. Saham sebagai barang yang
bergerak yang dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat digunakan untuk
kepentingan umat. Bahkan, dengan modal yang besar, saham mampu memberikan konstribusi
yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain.

Dalam sebuah perusahaan, seorang penguasa dapat mengkhususkan peruntukan sebagian


sahamnya sebagai harta wakaf yang hasiln/devidennya dialirkan untuk kemaslahatan umat.
Wakaf saham boleh juga diambil dari keuntungan seluruh saham yang dimiliki sang pemilik.
Semua tergantung pada keinginan dan kehendak sang pemilik saham. Sebab, yang penting
bukanlah nominal besar−kecilnya hasil saham, melainkan lebih pada komitmen keberpihakan
para wakif terhadap kesejahteraan umat Islam.

Wakaf saham telah dikelola oleh Tabung Wakaf Indonesia per Muharram 1427. TWI telah
menerima sejumlah wakaf saham dari masyarakat. Salah satunya adalah wakaf dari wakif Mun
Kusmanti senilai Rp 200 juta . Wakaf tersebut bersumber dari saham di 39 perusahaan. Wakaf
lainnya adalah dari wakif Muhammad Fuadi senilai Rp 3 juta.
KEPUTUSAN FATWA
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
WAKAF UANG
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
Menimbang :

1. bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain,
adalah:
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tesebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,
“(al-Ramli. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar alFikr, 1984], juz V, h. 357; al-Khathib al-
Syarbaini. Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376);
atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, balk bergerak atau tidak bergerak,
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam” (Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Buku III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)); sehingga atas dasar pengertian
tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah;
2. bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan ) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh
benda lain;
3. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa
tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaijakan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya “(QS. Ali Imron [3]:92).
2. Firman Allah SWT :
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluar-kan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir.• seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati ” (QS. al-Baqarah [2].261-262).
3. Hadis Nabis s.a.w.:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r:a. bahwu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia meninggal
dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah
(wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya ” (H.R. Muslim, alTirmidzi, al-
Nasa’ i, dan Abu Daud).
4. Hadis Nabi s.a.w.:
‘Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bin alKhaththab r. a. memperoleh tanah (kebun) di
Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia herkata,
“Wahai Rasulullah.’ Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta Yang
lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya? ” Nabi s. a. w
menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. ” Ibnu Umar berkata,
“Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan men ysaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual,
tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fugara, kerabat, riqab
(hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang
mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada
orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. ” Rawi berkata, “Sava menceritakan hadis
tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia herkata ‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai
harta hakmilik) ‘. “(H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
5. Hadis Nabi s.a.w.:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r. a.; ia berkata, Umar r a. berkata kepada Nabi s. a. w., “Saya mempunyai
seratus saham (tanah, kebun) di Khaibst, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi
melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya. ” Nabi s.a.w berkata “Tahanlah pokoknya dan
sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).
6. Jabirr.a. berkata :
“Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf/. ” (lihat Wahbah al-
Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wu Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, hi. 157; al-Khathib al-
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj. [Beirut: Dar al-Fikr, t.th', jus II, h. 376).
Memperhatikan :
1. Pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa mewakafkan dinas hukumnya boleh, dengan cara
menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf
'alaih (Abu Su'ud Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-2 1).
2. Mutaqaddimin dari ulaman mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,
[Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai
pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-’Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a:
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i:
“Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”
(alMawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr,1994[, juz IX,m h. 379).
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002,. antara
lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurna-an (pengembangan) definisi wakaf yang
telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat
konsideran mengingat [adillah] nomor 4 dan 3 di atas :
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf
sebagai berikut: yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya,
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau
mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,”
6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor
Dt.1.IIU5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG Pertama :
1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakafuang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’ ia
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau
diwariskan.
Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan :
Jakarta, 28 Shafar 1423H
11 Mei 2002 M

Artikel ini ditulis pada 4 June 2010 at 08:05 oleh Choir

Wakaf selama ini diketahui merupakan investasi sosial yang dapat dimanfaatkan untuk
selamanya. Namun dalam UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan UU Wakaf, wakaf dapat pula dilakukan secara berjangka dalam waktu
tertentu.

Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Mustafa Edwin Nasution, mengatakan dalam
peraturan yang ada wakaf berjangka memang dapat dilakukan. ”Umumnya saat ini wakaf yang
ada tidak berjangka. Wakaf uang di bank syariah juga bisa dilakukan berjangka, tetapi untuk
wakaf uang ini juga perlu ada penjaminan,” katanya kepada Republika, Rabu (2/6).

Ia menuturkan, penjaminan diperlukan untuk meminimalisir risiko jika suatu hal terjadi di bank
syariah karena pokok wakaf tidak boleh berkurang. Dalam pasal 27 PP No 42 disebutkan pada
saat jangka waktu wakaf berakhir, nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang
kepada wakif.

Mustafa menyatakan, wakaf berjangka juga memungkinkan untuk penempatan dana haji calon
jamaah yang telah mendapat porsi haji melalui bank syariah. Namun, tambah dia, di tahap awal
ini untuk sementara wakaf uang hanya bisa ditanamkan di produk perbankan syariah yang harus
ada jaminan.

”Saat ini BWI sedang membahas untuk penjaminan risiko, jaga-jaga jika bank kolaps. Salah satu
yang kita mulai bahas adalah membuat sistem seperti pengumpulan dana wakaf produktif dan
dari sejumlah hasil yang diperoleh dari wakaf produktif, dananya untuk penjaminan risiko,” jelas
Mustafa.

sumber : republika.co.id

Artikel ini ditulis pada 15 December 2010 at 01:57 oleh Choir


Negara-negara Islam hendaknya dapat
membentuk lembaga wakaf di negara masing-masing sebagai bagian rencana mempromosikan
ekonomi dan keuangan syariah. Deputi Presiden Malaysian Islamic Chamber of Commerce
(MICC), Tan Sri Muhammad Ali Hashim, mengatakan lembaga wakaf lebih lekat dengan
komunitas. “Sekarang ini banyak orang di negara barat enggan dengan sistem konvensional
terutama setelah krisis ekonomi 2008. Kelemahan sistem itu semakin jelas saat ini,” kata Ali,
dimuat laman Bernama, Selasa (14/12).

Karena itu, ia mengusulkan negara-negara muslim membentuk lembaga wakaf demi kepentingan
umat dan agar dapat memberi keuntungan lebih besar bagi masyarakat, termasuk non muslim.
Ali menambahkan setelah negara-negara Islam memperkenalkan konsep korporasi waqaf, maka
konsep tersebut pun dapat diperluas ke negara-negara lainnya. “Mulai dengan negara-negara
Islam pertama. Lakukan dengan benar. Buktikan dampak positif dengan laba menghasilkan dan
dampaknya dirasakan oleh banyak orang,” tukas Ali.

Ia memaparkan dalam kondisi dunia yang didominasi oleh sistem Barat, negara-negara Islam
harus bersama-sama beralih ke sistem ekonomi Islam yang lebih berfokus pada kepentingan
umum daripada kepentingan orang tertentu saja. “Tidak terlambat untuk menerapkannya. Sistem
ekonomi Islam adalah jalan bagi kita untuk keluar dari masalah dalam sistem keuangan saat ini,”
ujar Ali.

Jika konsep wakaf diterapkan dengan benar, tambahnya, hal itu akan menguntungkan
masyarakat karena sistem keuangan Islam menawarkan potensi yang baik. Menurutnya sistem
ekonomi konvensional yang dibawa negara Barat telah mendominasi sistem ekonomi seluruh
dunia. Namun ketidakseimbangan sistem yang dibawanya telah memperluas kesenjangan antara
kaya dan miskin.

Sementara, di Indonesia sendiri wakaf cukup berkembang dengan digalakkannya wakaf uang
dalam beberapa bulan terakhir. Dalam memajukan wakaf produktif, Badan Wakaf Indonesia
(BWI) pun menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan syariah seperti bank syariah sebagai
penerima setoran wakaf uang.

Wakil Ketua BWI, Mustafa Edwin Nasution, mengatakan kerja sama BWI dengan bank syariah
agar informasi tentang wakaf yang disampaikan lebih konkret. “Salah satu bentuk kerja sama ini
adalah agar dana wakaf tersebut dapat digunakan untuk investasi produktif tertentu,” kata
Mustafa.

Ia menambahkan penerimaan setoran wakaf melalui bank syariah diharapkan juga akan dapat
turut mendorong industri perbankan syariah. Dengan penerimaan setoran wakaf melalui bank
syariah, tambah dia, lembaga tersebut juga akan memperoleh dana untuk dikelola. “Bank
berfungsi sebagai lembaga intermediasi dan dengan ditaruhnya dana wakaf di bank syariah dan
bisa diolah, maka akan turut memperbesar pangsa perbankan syariah,” ujar Mustafa.

Bank-bank syariah penerima setoran wakaf uang adalah Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat,
UUS Bank DKI, BNI Syariah, Bank Mega Syariah, UUS BTN, Bank Syariah Bukopin, dan UUS
BPD Yogyakarta.

Mustafa mengatakan, saat ini pihaknya lebih berusaha untuk menggalakkan wakaf di masyarakat
dengan terus mendorong pengelolaan produktif di lahan wakaf. BWI pun berencana membuat
kantor perwakilan di beberapa daerah untuk dapat menjangkau sosialisasi kepada masyarakat
dan menggali potensi wakaf, seperti di Kalimantan Timur, Riau, Jawa Timur, Kalimantan
Selatan, Gorontalo.

Sumber : Republika

You might also like