You are on page 1of 7

Rabu, 18-05-2011 

  

Inovasi Pendidikan di Era


Reformasi Yang Mengaharukan
Sabtu, 16-06-2007 10:26:13 oleh: Maman Suratman,S.Pd
Kanal: Layanan Publik

A. Pendahuluan

Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi,


yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun
oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah
harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini
dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih belum menjadi
harapan. Bahkan hampir dikatakan bukan kemajuan yang diperoleh, tapi “sebuah
kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.

Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan
yang terjadi dilapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang
mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.

Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi
kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan
undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni
yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip MBS.

Namun kenyataannya apa yang terjadi di lapangan..?

Berikut ini penulis akan paparkan, mengapa penulis berani mengatakan bahwa
inovasi pendidikan di era reformasi merupakan sebuah kemunduran yang tak
pernah terjadi selama bangsa ini berdiri..?

B. Ujian Nasional

Ketika penulis menjadi pengawas dalam EBTANAS dengan sistem pengawasan


silang antar sekolah , hampir semua komponen, baik Panitia maupun Pengawas
Ruangan EBTANAS begitu disiplin dan sangat tertib, serta sangat menjaga
kerahasiaan dalam pelaksanaannya, sehingga hasil yang diperoleh benar-benar
murni dan tanpa sedikitpun kecurangan.
Namun, setelah diberlakukannya kebijakan tentang Ujian Nasional (UN) sebagai
penentu kelulusan seorang siswa pada jenjang satuan pendidikan. Sekolah merasa
takut, jika banyak siswanya tidak bisa memperoleh nilai sesuai dengan standar
minimal kelulusan. Mengapa demikian...?

1. Sekolah akan dianggap gagal jika banyak siswanya tidak lulus. Bahkan
mungkin orang tua tidak akan mempercayai sekolah tersebut untuk
menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.

2. Di era reformasi, dengan temperamen emosional masyarakat yang masih labil


bahkan tak terkendali. Jika banyak orang tua yang anaknya tidak lulus, akan
menimbulkan suatu gerakan emosional sosial yang tak terkendali dan
kemungkinan sekolah akan menjadi sasaran amuk masa.

3. Guru sebagai orang tua di sekolah yang selama 3 tahun membimbing siswa,
tidak akan tega jika ternyata banyak siswanya tidak bisa lulus, hanya karena
dengan sebuah penilaian sesaat.

Dari ke tiga alasan tersebut, akhirnya dengan berbagai cara, sekolah melakukan
sebuah usaha untuk bisa membantu siswanya lolos dari jeratan Ujian Nasional.
Semuanya dilakukan dengan penuh suka-rela tanpa paksaan, walaupun seluruh
batin Guru merintih sedih dan penuh haru.

“Inilah salah satu kecurangan di dunia pendidikan khususnya sekolah, yang


belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”, dan semuanya dilakukan
sebagai perlawanan sekolah terhadap kebijakan pemerintah.

Yang paling menyedihkan lagi, ketika aparat birokrat dengan bangga menyatakan
keberhasilannya dengan menyebutkan sekolah-sekolah yang meluluskan siswanya
sampai 100%, dan akan diberikan penghargaan. (Jika menggunakan akal manusia,
tidak mungkin seluruh siswa pada sebuah sekolah bisa lulus sampai 100%. Bebek
saja ada yang tidak bertelurnya. Benar khan Bapak/Ibu Guru..??). 

C. Administrasi Sekolah

Sebelum era-reformasi, siswa yang lulus akan segera memproses ijasahnya untuk
bisa dibawa dan digunakan, baik untuk melanjutkan sekolahnya maupun untuk
dijadikan syarat mencari pekerjaan.

Namun apa yang terjadi sekarang..?

Setelah dinyatakan lulus, siswa dihadapkan kepada proses menunggu ijasah yang
begitu lama dan tak tentu kapan Izasah tersebut dapat diterima. Untuk tahun
ajaran 2005-2006, blanko ijasah baru diterima oleh sekolah setelah lebih dari
sebulan dari  semenjak siswa dinyatakan lulus, sehingga tak heran jika di setiap
sekolah masih banyak tumpukan ijasah yang belum diambil oleh pemiliknya,
dengan alasan, siswa tersebut sudah berada di luar kota dan belum membutuhkan
ijasah tersebut.

“Inilah kejadian yang belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri...”

 Bahkan Buku Raport untuk tahun ajaran 2006-2007, sampai saat ini belum tentu
rimbanya. Ini juga belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri.

Benar-benar luar biasa khan...????? 

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2741

[M3B] Problem Pendidikan di Era


Reformasi
agussyafii
Sun, 17 Feb 2008 23:34:29 -0800

Problem Pendidikan di Era Reformasi

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan


adalah
konsep,gagasan,fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu
masyarakat
dalamwaktu lamasehinggi menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah
konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi
dengan
sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.

Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi


(Panca
Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan
dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun
kebudayaan
dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat
mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel
pada
pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda
kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya
justeru
tidak ada yang mengerjakan.

Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan


lebih
tepat berada di departemen pendidikan (depdikbud), karena
pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi
sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara
pendidikan
anak usia dini (PAUD)dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada
masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan
local.

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia


Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:

1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia


Indonesia
dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45
dan
cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak
sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh
lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi
Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah
banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik
menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka
itu
satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.

Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun


berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa
kita
dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi
pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul
sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok
yang
kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang
terpelajar. What wrong?

2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang


bisa
membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada
pendidikan
generasi ini?

Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan


nasional
kita selama ini (masa orde Baru), meliputi:

[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan


penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi
lainnya
sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split
personality,
kepribadian yang pecah.

[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi


yang
hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya
tumpuan
harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang
tersedia di
daerah masing-masing.

[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan


masyarakat yang berdisiplin.

[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia


global

[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi


dan
hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru
negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14
siswa,
tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa.
Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri
mencapai
Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya
Rp.
4.000,-/anak/tahun.

[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM


dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas
masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.

[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya


gagasan-gagasan otonomi daerah.

[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya,


bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.

[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang


dipaksakan
–yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga
kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini
sekarang
telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan


imajinasi idealistik.

2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan


kerja
pasar global.

3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.

4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair

5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis

6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah

7. Cendekiawan yang hipokrit,


8. Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan

9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.

10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus


tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus
menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Pendidikan pada Era reformasi

1. Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang


yang
terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat
tembok
penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang
sangat
berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas.
Suasana
psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir
jernih,
menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu
menawarkan soulusi

2. Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system


pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan
global
sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya
tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga
skill
dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru
dapat
dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari
ini
adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang
lalu.
Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya
problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari
system
pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah
instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer
kebudayaan
kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.

3. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang


sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia
menjadi
pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih
berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di
lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan
guru
–yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan
nasional
kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan
tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system
pendidikan
berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan
menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk
kemudian
mengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori
Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar,
maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan
berikutnya.

4. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran


pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika
kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan
pada
pengembangan pendidikan.

5. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan


tanpa
terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat
menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang
orientasinya pada bisnis pendidikan.

6. Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap


globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing
sangat
riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya
berbeda.

7. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya


anggaran
pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal,
tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada
satu
titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah
formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa
dikermbangkan
di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-
gelar
akademik juga tidaklagi relefan.

Wassalam,
agussyafii

http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg02733.html

You might also like