You are on page 1of 13

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010

DARI PERSPEKTIF PENYIDIKAN


OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

oleh:
FERDINAND T. ANDI LOLO, SH, LL.M, Ph.D1

PENDAHULUAN
Pada 22 Oktober 2010 telah disahkan dan diberlakukan Undang-undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Undang-
undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan penegakan hukum dan menyesuaikan praktek-praktek
pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang nasional dengan
praktek-praktek yang berlaku sesuai dengan standar internasional.

Pemerintah mengkategorikan tindak pidana pencucian uang sebagai salah


satu tindak pidana yang sangat serius karena jika dibiarkan tanpa penanganan yang
tepat, efektif dan efisien, praktek-praktek pencucian uang tidak hanya mengancam
stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan tetapi juga, dalam konteks
yang lebih luas, membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus


Husein dengan tepat menganalogikan pertarungan antara aparat penegak hukum
dengan para pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai pertarungan sepakbola

1
Analis dan Penyidik pada Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK) Kejaksaan Agung
RI; Penuntut Umum pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Instruktur pada Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 1
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
dilapangan hijau. Dengan diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang
yang baru, pemerintah sebagai “pelatih” menerapkan strategi yang lebih agresif. Jika
dahulu striker (penyerang) hanya dibebankan kepada POLRI maka sekarang, sang
“pelatih” memasukkan lebih banyak striker lagi. Setiap penyidik pada tindak pidana
asal (predicate crime), dengan undang-undang ini, memiliki kewenangan menjadi
penyidik tindak pidana turutannya, yaitu pencucian uang. Striker POLRI akan
bekerja bahu membahu dengan striker-striker lain seperti Kejaksaan, KPK, dan Para
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi-instansi terkait.

Dengan demikian kekuatan penyerangan aparat penegak hukum (yang


diibaratkan oleh Yunus Husein sebagai striker-striker dalam penanganan tindak
pidana pencucian uang) akan semakin bertambah sehingga diharapkan dapat lebih
banyak menekan “gawang” para pencuci uang dan menghasilkan lebih banyak “gol”
lagi (atau lebih banyak lagi success story tentang penanggulangan tindak pidana
pencucian uang).

Pemberlakukan undang-undang ini, terutama dalam hal memperbanyak


“striker,” akan membawa beberapa perubahan pada instansi-instansi yang
menangani tindak pidana asal dari pencucian uang, dimana Kejaksaan RI
merupakan salah satunya. Konsekuensi logis dari penambahan wewenang
penyidikan Kejaksaan (selain penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat) adalah peningkatan kapasitas dan kapabilitas personil
penyidik Kejaksaan serta pengadaan sarana-sarana tambahan yang mendukung
teknis operasional para jaksa dalam menjalankan fungsi barunya ini.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya pengenalan oleh Kejaksaan atas


suatu “dunia yang relatif baru” yang dibawa oleh undang-undang pencucian uang.
Selama ini jaksa hanya berkecimpung dalam tataran penuntutan dan eksekusi untuk
perkara-perkara terkait pencucian uang, dan belum pernah sebelumnya bertindak
sebagai penyidik. Dalam tulisan ini akan diobservasi wewenang penyidikan jaksa,
sekaligus juga dianalisis faktor-faktor atau hal-hal yang mungkin menjadi
penghambat (batu sandungan) bagi jaksa dalam menjalankan wewenangnya
tersebut. Dibagian berikutnya dari tulisan ini akan didiskusikan upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi atau paling tidak meminimalisir tantangan dan
hambatan yang mungkin akan ada dalam pelaksanaan tugas jaksa penyidik.

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 2


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
WEWENANG KEJAKSAAN PRA DAN PASCA UU No.8 TAHUN 2010

Sebelum diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang, Kejaksaan


menjalankan fungsi penyidikan didua bidang, yaitu korupsi (bersama-sama dengan
POLRI dan KPK) dan dibidang pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagai
satu-satunya penyidik). Sekarang, bertambah satu lagi wewenang jaksa yaitu
penyidikan tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asalnya (yang dalam hal
ini adalah tindak pidana korupsi) disidik oleh Kejaksaan. Bagian ini akan membahas
wewenang penyidikan Kejaksaan sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-
undang anti pencucian uang.

Wewenang Penyidikan pra UU No.8 tahun 2010

Hukum Pidana formil yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No.8 tahun 1981
atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana2 membatasi
pejabat yang dapat melakukan penyidikan yaitu Pejabat Polisi Negara RI dan
pejabat Pegawai negeri sipil di instansi tertentu yang menjalankan fungsi
penyidikan.3

Pejabat Kejaksaan tidak termasuk kedalam salah satu dari dua kategori
tersebut, karena Jaksa bukanlah polisi dan Jaksa juga bukan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS). Namun, Undang-undang ini tidak secara limitatif memberikan
kewenangan kepada kedua pejabat tersebut diatas. Pada bagian lain, yaitu pada
ketentuan peralihan, KUHAP masih memberikan wewenang kepada Jaksa untuk
melakukan penyidikan4 tindak pidana tertentu5, walaupun wewenang ini hanya

2
Vide Pasal 285 KUHAP.
3
KUHAP, Pasal 1 angka 1: Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan Penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil [PPNS] tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan; Menurut Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi
negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
4
PP 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bab VII Penyidikan terhadap
Tindak Pidana Tertentu, Pasal 17: Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 3
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
bersifat sementara saja, karena akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.6

Memang beberapa tahun setelah diberlakukannya KUHAP, Jaksa tidak lagi


memiliki wewenang penyidikan dalam tindak pidana ekonomi. Wewenang tersebut
dilaksanakan oleh Penyidik POLRI atau PPNS terkait, namun wewenang penyidikan
atas tindak pidana korupsi masih tetap dimiliki oleh Jaksa, disamping Penyidik
POLRI dan Penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).7

Selain tindak pidana korupsi, masih ada lagi kewenangan penyidikan yang
dimiliki oleh Jaksa, yaitu kewenangan penyidikan atas dugaan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat. Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
memberikan wewenang kepada Jaksa Agung secara ex officio untuk melakukan
penyidikan atas dugaan pelanggaran hak azasi manusia yang berat.8

Undang-undang tentang Kejaksaan RI menentukan bahwa Jaksa Agung


(person-nya atau orangnya) adalah pemimpin dan penanggung jawab tertinggi

penyidik [vide pasal 6 ayat (1) KUHAP], jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Fungsi penyidikan Jaksa diperkuat lagi dalam UU 16/2004 Pasal 30 ayat (1)
huruf d: Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
5
Penjelasan KUHAP Pasal 284 ayat (2) huruf b, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana ekonomi (UU No.7
Drt tahun 1955) dan UU No.3 tahun 1971).
6
Pasal 284 ayat (2) KUHAP: Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

7
Pasal 26 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi [tindak pidana tertentu] dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku [KUHAP] kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Untuk Jaksa selaku penyidik berlaku pasal 284 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 17 PP 27/1983; Lebih lanjut
kewenangan Penyidikan Jaksa diatur dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal Pasal 2 ayat 1: Kejaksaan
Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan “kewenangan lain” antara lain adalah penyidikan atas
tindak pidana tertentu sebagaimana termaktub pada Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang ...[d]... melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang. Pengertian “tindak pidana tertentu” adalah sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal
284 ayat (2) huruf b KUHAP, yang salah satunya adalah tindak pidana Korupsi. Wewenang Polisi selaku
penyidik diatur didalam KUHAP Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1). Wewenang anggota KPK selaku penyidik
diatur dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 45.
8
UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 21 ayat (1) mengatur: Penyidikan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 4
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Kejaksaan yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk memimpin dan
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang institusi Kejaksaan. 9 Selanjutnya,
Kejaksaan (institusi atau lembaganya) menurut undang-undang ini adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka dalam dua
bidang, yaitu bidang penuntutan dan dibidang lain dimana Kejaksaan diberikan
wewenang untuk itu.10 Bidang lain yang dimaksud disini adalah bidang diluar
penuntutan (pidana umum dan pidana khusus), seperti penyidikan untuk tindak
pidana tertentu (sebagaimana telah dijelaskan diatas), bidang perdata dan tata
usaha negara dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.11

Walaupun undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia hanya


mengatur bahwa penyidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung, tidak bisa diartikan secara harafiah hanya Jaksa Agung
melakukan penyidikan dalam konteks ini. Prinsip yang berlaku di lembaga
Kejaksaan dan diadopsi oleh undang-undang kejaksaan adalah “Kejaksaan adalah
satu dan tidak terpisahkan.”12 Hal ini menunjukkan bahwa secara fungsi dan
wewenang, jaksa adalah satu. Setiap jaksa adalah personifikasi atau representasi
dari jaksa agung, sehingga tindakan yang dilakukan seorang jaksa pada dasarnya
adalah tindakan jaksa agung sendiri, walaupun nantinya tindakan tersebut harus
dipertanggung jawabkan secara hierarkis oleh jaksa yang bersangkutan kepada
atasannnya dan seterusnya hingga ke pemimpin tertinggi, jaksa agung. 13

Berdasarkan prinsip dan prosedur pertanggung jawaban ini [yang diatur


dalam undang-undang kejaksaan] maka wewenang penyidikan yang melekat
kepada jaksa agung dalam penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat

9
UU 16/2004, Pasal 18 ayat (1): Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
10
UU 16.2004 Pasal 2 ayat (1): Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini
disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang; Pasal 2 ayat (2): Kekuasaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
11
UU 16/2004, Pasal 30.
12
UU 16/2004 Pasal 2 ayat (3): Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.
13
UU 16/2004, Pasal 8 ayat 92): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas
nama negara bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 5
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
[yang diatur dalam undang-undang pengadilan hak asasi manusia] dapat
didelegasikan kepada jaksa-jaksa dibawahnya.

Wewenang Penyidikan pasca UU No.8 tahun 2010

Salah satu tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate
crime) dari tindak pidana pencucian uang didalam undang-undang tersebut adalah
korupsi.14 Selanjutnya, undang-undang ini, pada Pasal 74, mengatur bahwa
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Kejaksaan adalah salah satu lembaga


yang berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana korupsi. Dengan
diberlakukannya undang-undang ini, maka kewenangan penyidikan Kejaksaan
bertambah satu lagi. Bila dalam penyidikan tindak pidana korupsi tersebut terdapat
juga dugaan terjadi tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari korupsi
maka Kejaksaan kini berwenang untuk menindak lanjutinya dengan penyidikan,
tanpa perlu menyerahkan berkasnya kepada POLRI.

Dengan bertambahnya kewenangan ini maka bertambah juga tanggung


jawab Kejaksaan. Sebelumnya domain Kejaksaan dimulai dari tahap pra
penuntutan, yang meneliti / mempelajari berkas perkara pencucian uang yang disidik
oleh POLRI serta memberi petunjuk untuk kelengkapan berkas. Namun sekarang,
domain tersebut diperluas. Bukan lagi mulai dari tahap pra penuntutan tapi sudah
dimulai lebih awal lagi, yaitu tahap penyidikan.

Sebagaimana dua sisi mata uang. Selain manfaatnya, terdapat juga


tantangan / hambatan bagi Kejaksaan dalam mengemban fungsinya yang baru ini.
Hal-hal tersebut sebagaimana akan diuraikan lebih jauh pada bagian tulisan
dibawah ini.

14
UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1) huruf a: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yangdiperoleh dari tindak
pidana: [a] korupsi.
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 6
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Manfaat Penambahan “Striker”

Undang-undang yang baru, khususnya pasal 74 ini, telah memperluas lingkup


penyidikan yang pada undang-undang sebelumnya hanya terbatas pada domain
POLRI. Berdasarkan undang-undang yang baru ini siapapun instansi penyidik tindak
pidana asal15 berwenang pula menyidik tindak pidana turutannya.

Pasal ini merupakan salah satu dari beberapa terobosan baru yang dimuat
oleh undang ini. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya pasal ini.
Pertama: penanganan perkara menjadi lebih ekfektif dan efisien, karena tindak
pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana turutannya (yaitu pencucian uang)
ditangani secara terintegrasi ditangan satu instansi penyidik. Bandingkan dengan
sebelumnya dimana kedua tindak pidana tersebut ditangani oleh dua instansi yang
berbeda dengan sistem birokrasi penanganan perkara yang berbeda. Sistem
penanganan yang terdahulu jelas tidak mengacu kepada prinsip peradilan pidana
kita yang [seharusnya] cepat dan murah (speedy and inexpensive criminal justice
system).

Kedua: Mengingat begitu kompleksnya masyarakat Indonesia ditambah


populasinya yang sangat besar (sekitar 230 juta jiwa), maka merupakan pilihan yang
strategis jika pembuat undang-undang menambah daya serang aparat penegak
hukum dengan mengikut sertakan lembaga-lembaga penyidikan lain, selain POLRI,
untuk bersama-sama “mengeroyok” pelaku tindak pidana pencucian uang. Ibarat
jaring penangkap ikan, pemerintah dengan undang-undang ini lebih “merapatkan
jaring” dengan menambahkan instansi-instansi lain, seperti Kejaksaan, sehingga
“ikan” akan lebih sulit lolos. Terlalu berat tanggung jawab POLRI bila instansi
tersebut sendiri yang harus menangani tindak pidana yang skala dan intensitasnya
semakin lama semakin mengkhawatirkan.

15
UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1): korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan migran; bidang perbankan; bidang pasar modal; bidang perasuransian; kepabeanan; cukai;
perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; bidang perpajakan; bidang kehutanan; bidang lingkungan hidup; bidang
kelautan dan perikanan; tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 7


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
Ketiga: Diharapkan akan terjadi duplikasi bahkan multiplikasi sumber daya –
sumber daya manusia yang handal dalam menangani tindak pidana pencucian
uang. Pada mulanya adalah penyidik-penyidik POLRI yang menjadi pionir dalam
penyidikan tindak pidana pencucian uang, karena undang-undang yang terdahulu
mengamanatkan demikian. Kapabilitas dan kapasitas penyidik POLRI tentunya
dapat dipelajari dan jika mungkin dikembangkan (benchmarking) oleh penyidik dari
intansi-instansi lain, termasuk Kejaksaan yang relatif masih “hijau” dalam penyidikan
jenis ini. Dengan terciptanya penyidik-penyidik handal di berbagai instansi
penyidikan yang relevan, maka Pemerintah dan Negara Indonesia akan memiliki
lebih banyak “striker” dan peluang untuk terjadinya “lebih banyak gol ke gawang
lawan” akan menjadi lebih besar secara signifikan.

Keempat: Dengan tersebarnya penyidik tindak pidana pencucian uang


diberbagai instansi maka masing-masing instansi akan memperoleh dan
membagikan keuntungan kepada instansi rekannya (counterpartnya). Misalnya
kegagalan dan keberhasilan instansi A dapat dibagikan kepada instansi B dan
instansi-instansi lain sehingga intansi-instansi tersebut tidak mengulangi kegagalan
instansi A dan dapat menjadikan keberhasilan instansi A sebagai model atau bahkan
lebih meningkatkannya dengan menyesuaikan dinamika situasi dan kondisi
setempat.

Tantangan dan / atau Hambatan

Fungsi penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah fungsi yang baru
bagi Kejaksaan. Saat ini masih belum ada sosialisasi internal Kejaksaan mengenai
implementasi undang-undang ini dan implikasinya bagi pelaksanaan tugas jaksa.
Tantangan dan mungkin juga hambatan riel saat ini adalah belum siapnya sumber
daya manusia Kejaksaan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani
perkara-perkara pencucian uang.

Untuk menangani tindak pidana asalnya (korupsi) Kejaksaan tidak memiliki


masalah karena pengalaman bertahun-tahun ditambah lagi dengan dukungan

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 8


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
struktur dan pelatihan yang secara reguler diadakan telah mampu menciptakan
penyidik-penyidik tindak pidana korupsi yang handal. Namun untuk penanganan
tindak pidana pencucian uang, ceritanya bisa berbeda. Pencucian uang (Money
Laundering) dalam beberapa tahun terakhir sudah dimasukkan dalam kurikulum
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, terutama dalam pelatihan dan
pembentukan calon-calon jaksa. Namun modul-modul yang diberikan masih berada
dalam tataran pengenalan umum. Tidak seperti tindak pidana korupsi yang bukan
hanya membekali calon-calon jaksa dengan dasar-dasar teoritis namun juga melatih
mereka dengan simulasi-simulasi seperti latihan penanganan korupsi dari tingkat
penyelidikan dan penyidikan hingga tingkat penuntutan (dalam bentuk simulasi
peradilan semu atau moot court), dan dilengkapi juga dengan praktek kerja lapangan
ke kejaksaan-kejaksaan negeri yang merupakan unit kerja kejaksaan yang menjadi
ujung tombak pemberantasan korupsi.

Karena begitu intensnya pendidikan dan pelatihan mengenai penanganan


tindak pidana korupsi (dengan begitu banyak jam pelajaran yang digunakan baik
teori, praktek maupun penulisan kertas kerja) maka secara legal yuridis dan
psikologis jaksa-jaksa yang baru menyelesaikan pendidikannya akan lebih siap
menangani tindak pidana korupsi dibanding tindak pidana pencucian uang.

Dalam dunia kerja jaksa, tantangan dan / hambatan yang serupa juga terjadi.
Sudah ada standard operating procedure (SOP) yang baku dan seragam dalam
penanganan tindak pidana korupsi bagi jaksa-jaksa yang bertugas di seluruh wilayah
Indonesia. Disamping itu, jaksa-jaksa yunior bisa menjadikan jaksa-jaksa senior
sebagai tempat bertanya dan menimba ilmu, karena jam terbang mereka yang
sudah tinggi dalam menangani berbagai jenis tindak pidana korupsi. Tidak demikian
halnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Dalam konteks
penyidikan, tidak ada senioritas karena semua jaksa, dengan perkecualian bagi
mereka yang diperbantukan di PPATK, jam terbangnya masih rendah dalam hal
penanganan tindak pidana pencucian uang ditingkat penyidikan. Belum ada SOP
dan tidak ada tempat bertanya.

Selain kapasitas dan kapasitas sumber daya manusia Kejaksaan yang masih
terbatas, tantangan dan / hambatan yang lain adalah masalah teknis yuridis

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 9


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
penyidikan. Undang-undang yang baru ini sebagian besar mengacu kepada KUHAP
dalam melakukan acara penyidikan tindak pidana pencucian uang, padahal dari segi
hakekat KUHAP berbeda dengan hakekat undang-undang anti pencucian uang.
KUHAP pada hakekatnya adalah serangkaian peraturan yang lebih menitik beratkan
pada penanganan tindak pidana umum, sementara pencucian uang dengan ciri-ciri
khasnya lebih tepat bila digolongkan kedalam tindak pidana yang khusus. Yang
menjadikan penyidikan lebih rumit adalah bagaimana melakukan penanganan tindak
pidana pencucian uang yang pada hakekatnya bersifat khusus dengan berpedoman
pada aturan-aturan yang pada hakekatnya mengatur tindak pidana yang bersifat
umum?

Kita ambil satu contoh, yaitu teknis penyitaan. KUHAP menganut asas in
Persona, yaitu yang dianggap jahat adalah orangnya (pelakunya atau personnya).
Sedangkan dalam tindak pidana pencucian uang, penyitaan akan lebih efektif
dilakukan bila memakai asas In rem, yaitu yang dianggap jahat adalah barangnya.
Bila mengacu kepada KUHAP maka banyak hasil dari transaksi keuangan yang
mencurigakan tidak dapat disita. KUHAP membatasi upaya penyidikan hanya
kepada benda-benda atau tagihan yang dikaitkan dengan tersangka dan tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka (vide Pasal 39 KUHAP). Para tersangka
tindak pidana pencucian uang pada umumnya adalah pelaku-pelaku yang memiliki
intelegensi tinggi, mempunyai akses politik, hukum dan keuangan dan dibantu
dengan orang-orang yang ahli dibidangnya. Mereka akan selalu berupaya
memutuskan rantai yang dapat mengkaitkan mereka dengan hasil tindak pidana dan
dengan tindak pidananya. Berbagai cara dapat dilakukan seperti menyamarkan aset
dengan menggunakan nama atau bantuan pihak lain, memecahkan kemudian
mereingtegrasi aset, dan masih banyak lagi.

Bila menggunakan prinsip In persona yang masih konvensional seperti yang


diatur dalam KUHAP maka akan susah menyita aset-aset tersebut. Amerika Serikat
dan beberapa negara lain telah sukses menyita aset-aset yang berada didalam
wilayah abu-abu (grey area) sebagai hasil dari upaya pengaburan identitas (aset-
aset tersebut), misalnya aset-aset dari kejahatan terorganisir (narkoba atau
terorisme) dan korupsi. Metode yang mereka pakai bukan lagi metode In Persona,
karena tidak ada label nama pelaku pada aset-aset abu-abu tersebut. Mereka
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 10
F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
menggunakan metode yang lain yaitu metode in rem. Secara singkat cara kerjanya
adalah sebagai berikut: Pihak berwenang akan menyita aset-aset yang dicurigai
walaupun tanpa didahului oleh suatu tindakan penyidikan. Pihak berwenang tidak
mencari siapa yang memiliki aset-aset ini, karena yang dianggap bermasalah adalah
aset-aset itu sendiri, sehingga harus disita. Bila ada pihak yang berani mengklaim
bahwa aset-aset itu adalah miliknya dan didapat secara legal dan dapat
membuktikannya melalui jalur hukum (pengadilan) maka pihak berwenang akan
melepaskan aset-aset yang mereka sita. Namun bila tidak, atau tidak ada yang
mengklaim, maka aset-aset tersebut menjadi milik negara. Dengan mengajukan
klaim, tentu pihak terkait menyadari risiko bahwa ada kemungkinan ia akan disidik
bila ternyata dikemudian hari klaimnya tidak memiliki dasar hukum. Inilah yang
menghambat pelaku pencucian uang (seperti kartel, organisasi-organisasi teroris
atau pelaku korupsi) untuk menyembunyikan hartanya dengan aman

Contoh lainnya adalah teknis pemblokiran. Pada Pasal 71 ayat (1) huruf a
undang-undang memberi wewenang kepada Penyidik (berarti Kejaksaan juga
memiliki wewenang) untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui
atau patut diketahui merupakan hasil tindak pidana dari setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK. Sebagaimana dilembaga penyidikan lainnya, ada 2 fase
dalam proses penyidikan, yaitu fase penyidikan awal (preliminary investigation) atau
yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyelidikan” dan fase penyidikan
lanjutan (investigation) yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyidikan.”
Pada fase penyelidikan, unit penyidikan suatu instansi hanya berfungsi untuk
mengumpulkan data dan keterangan (data and information gathering/collection)
untuk memetakan persangkaan atau dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana,
mengumpulkan minimal dua alat bukti yang saling berkaitan dan mendukung
persangkaan atau dugaan telah terjadinya tindak pidana dan mengidentifikasi
pelakunya.

Di fase ini, unit penyidikan hanya memiliki wewenang yang sangat terbatas.
Pengumpulan data dan keterangan hanya dapat dilakukan dari pihak-pihak yang
dimintai keterangan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan secara sukarela
(voluntary consent) dari yang bersangkutan. Wewenang yang sangat sempit ini
karena dibatasi oleh KUHAP yang mengadopsi prinsip asas praduga tidak bersalah

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 11


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
(presumption of innocence) sejalan dengan kaidah-kaidah perlindungan hak asasi
manusia, termasuk juga kepada mereka yang berpotensi menjadi tersangka.

Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan atau pemblokiran


belum dapat dilakukan pada fase kedua yaitu fase penyidikan. Masalah yang
kemudian timbul adalah pada laporan PPATK. Dari penjelasan umum undang-
undang ini dapat diketahui bahwa pada hakekatnya PPATK adalah unit intelijen
dibidang keuangan (financial intelligence unit). Sebagai unit intelijen, produk yang
dihasilkannya, termasuk juga laporan adanya transaksi keuangan yang
mencurigakan yang disampaikan ke penyidik, adalah berupa produk Intelijen.
Penyidik-penyidik pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tidak
dapat menggunakan data intelijen sebagai dasar yuridis untuk memulai suatu
penyidikan. Yang dapat dilakukan adalah mengolah data tersebut melalui proses
penyelidikan (fase pertama). Bila elemen-elemen pembuktiannya memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh KUHAP, barulah dapat ditingkatkan ke penyidikan, dimana
penyidik dapat melakukan upaya paksa seperti pemblokiran.

Secara teknis yuridis, produk PPATK bukan produk hukum oleh karena itu
Kejaksaan tidak dapat serta merta melakukan upaya paksa hukum berdasarkan
produk non yuridis (bukan pro justitia). Selain itu untuk melakukan tindakan hukum,
terutama upaya paksa, instansi penyidik harus berdasarkan pada analisis yuridis
sementara melakukan analisis yuridis tidak berada didalam domain fungsi PPATK.
Analisis yang dilaporkan PPATK adalah analisis keuangan (finansial) yang
berpotensi mempunyai implikasi tindak pidana tetapi bukan analisis yuridis.

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 12


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D
KESIMPULAN DAN SARAN

Implementasi dilapangan dapat dipastikan tidak semudah yang dijabarkan dalam


aturan-aturan tertulis, seperti undang-undang ini. Akan ada banyak kegamangan,
kebingungan dan bahkan mungkin ketakutan akan suatu hal yang “baru dan belum
bersifat pasti” terkait dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang jaksa yang baru ini.
Diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang yang baru membawa negara
dan pemerintah Indonesia selangkah lebih maju lagi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana yang serius ini. Namun Kemajuan legislasi kita harus
juga diimbangi dengan kesiapan aparat hukum yang akan melaksanakannya
dilapangan.

Kejaksaan berada didalam masa transisi dalam konteks implementasi fungsi


barunya sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang (yang terkait dengan tindak
pidana asal yaitu korupsi). Untuk dapat melalui masa ini dengan baik, Kejaksaan
mau tidak mau harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan PPATK dan lembaga-
lembaga lain, terutama POLRI yang memiliki pengalaman, sumber daya manusia
dan sarana dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang. Selain kerjasama dan
koordinasi antar lembaga, dukungan penuh pemerintah memainkan peran yang
sangat krusial dalam membantu menciptakan dan menambah penyerang-penyerang
yang handal.

Bila tidak ada kerjasama dan koordinasi yang baik, serta dukungan yang
hanya setengah hati dari pemerintah maka striker-striker yang diharapkan dapat
tercipta dan bertambah oleh undang-undang ini hanya akan menjadi macan kertas,
dan hal itu jelas tidak sesuai dengan tekad kita semua untuk menjaga stabilitas
ekonomi dan mempertahankan integritas finansial Indonesia.

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 13


F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

You might also like