You are on page 1of 16

Bab 206. Gangguan Cemas.

Gangguan cemas sering ditemukan pada orang yang memiliki riwayat penyakit kronis,

termasuk pada pasien penderita epilepsi (PWE). Berdasarkan studi berdasar populasi

menunjukkan tingkat prevalensi sebesar 25%, setara dengan dua kali lipat dari populasi umum.

Tingkat insiden secara nyata dan tingkat prevalensi dari gangguan kecemasan pada pasien

penderita epilepsi belum diketahui dengan pasti. Kurangnya data dasar menjadi masalah

metodologi beberapa penelitian termasuk kurangnya studi yang berdasar populasi, penggunaan

alat skrining (uji saring) yang dapat mengidentifikasi “gejala cemas” dan bukan merupakan

“gangguan cemas” (Lihat bagian epidemiologi), untuk mencapai derajat tinggi gangguan cemas,

gejala cemas yang tidak dikenal oleh pasien dan keluarganya. Pasien sering salah menafsirkan

gejala dari gangguan cemas sebagai “reaksi normal karena hidup dengan epilepsi” atau sebagai

respon yang muncul terhadap stressor yang harus dihadapi yang berhubungan dengan berbagai

rintangan yang harus dihadapai oleh pasien penderita epilepsi, terutama jika keluhan kejang

gagal untuk diatasi.

Penentuan apabila gejala cemas merupakan respon yang sesuai terhadap kondisi stres

yang dialami atau sebagai manifestasi (ekspresi) proses patologis telah menjadi bahan

perdebatan, dengan beberapa peneliti mengemukakan adanya rangkaian (hubungan) diantara

kedua hal tersebut. Menurut Hans Selve, stres merupakan “respon non-spesifik” dari tubuh

terhadap beberapa kebutuhan. Dia menambahkan bahwa situasi yang penuh stres pada kehidupan

sehati-hari tidak membahayakan, pada kenyataannya dapat membantu individu untuk beradaptasi

terhadap berbagai keadaan hidup yang baru dihadapi. Sebagai dukungan terhadap pengamatan

ini, Levine menemukan bahwa tikus muda yang terpapar dengan stres sedang dari waktu ke

waktu lebih baik dalam mengatasi keadaan yang penuh stres dan menjadi lebih kuat serta lebih
besar seperti tikus dewasa dibandingkan tikus yang tidak terpapar terhadap pencetus stres

(stressor).

Pada titik (taraf) mana suatu respon “normal” terhadap stres menjadi suatu proses

patologis dan merupakan gejala dari gangguan cemas? Selye mengemukakan dalil bahwa

keberadaan dari “sindrom adaptasi umum” meliputi 3 fase: (a) alarm (signal pengaman) (b)

resistance (ketahanan) (c) exhaustion (kelelahan). Fase alarm memicu respon dari sistem nervus

simpatik dengan aktivasi dari corticotrophin-releasing hormone (CRH), yang pada gilirannya

akan menimbulkan sekresi dari adrenocorticotropic hormone (ACTH), menyebabkan pelepasan

dari kortisol dan norepinefrin dari kelenjar adrenal. Tahap resistance dipertimbangkan timbul

untuk mengatasi keadaan yang menimbulkan stres, dengan mempersiapkan binatang untuk

bertarung atau menghindar . Selama fase ini terdapat peningkatan vesikel yang mengandung

kortikosteroid pada kelenjar adrenal yang mengatur pelepasan kortikosteroid. Menurut teori

Selye, jika fase resistance tidak berhasil dicapai, maka tubuh akan mencapai tahap exhaustion,

dimana selama fase ini tidak ada vesikel kostikosteroid yang dapat diidentifikasi sehingga

mengakibatkan kematian hewan. Kesimpulan dari perubahan ini pada manusia di ekspresikan

melalui perkembangan gangguan mental dalam bentuk depresi, gangguan cemas, dan gangguan

psikosomatik. Beberapa dari observasi ini dapat diaplikasikan terhadap perkembangan gangguan

cemas pada pasien penderita epilepso (PWE). Sebagai contoh . Hermann dkk menemukan bahwa

psikopatologi berhubungan dengan penyesuaian yang buruk terhadap epilepsi, peningkatan

jumlah kejadian yang menimbulkan stres selama beberapa tahun yang lalu, stres finansial,

masalah pendidikan, kontrol terhadap faktor eksternal dengan peningkatan perasaan yang

negatif, dan onset awal dari epilepsi. Analisi regresi multipel mengidentifikasi 3 prediktor
independen dari psikopatologi: Penijngkatan jumlah kejadian yang menimbulkan stres pada

beberapa tahun yang lalu, penyesuaian yang buruk terhadap epilepsi, dan stres finansial.

Kejang yang tidak dapat diprediksi dapat muncul dan memainkan peranan penting

sebagai perkembangan gejala cemas atau gangguan cemas yang timbul yang difasilitasi oleh

persepsi hilangnya kontrol terhadap sekitar. Secara experimental, fenomena ini dapat dipelajari

pada hewan model dalam kondisi ketakutan. Model ini berdasarkan paradigma yang terkondisi

secara klasik yang terdiri dari 20 detik stimulus yang terkondisikan pada percobaan hewan

(menggunakan suara yang terkondisikan) yang dihentikan oleh onset dari stimulus yang tidak

terkondisikan dan tidak diinginkan yang berupa foorshock (kejutan) dengan durasi selama 0.5

detik.

Mekanisme Patogenik.

Terdapat beberapa mekanisme patogenik timbulnya gangguan cemas pada pasien penderita

epilepsi (PWE), yang diklasifikasikan menjadi 3 grup: (a) psiko-sosial (b) endogen; yang

meliputi neurokimia, neurofisiologi, neuroanatomi, dan perubahan fungsional yang terkait

dengan kelainan kejang (c) iatrogenik, yang meliputi efek samping obat anti epilepsi (AED) dan

komplikasi operasi epilepsi.

Bagaimanapun, kekuatiran yang muncul secara mendadak, tingkah laku yang tidak terprediksi

untuk rekan sekerja dengan epilepsi lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan multiple

sklerosis. Responden mempunyai tingkat kenyamanan lebih rendah secara signifikan

memberikan pertolongan pertama untuk rekan sekerja dengan epilepsi dibandingkan rekan

sekerja dengan depresi dan multiple sklerosis. Tingkat pekerjaan lebih rendah dan tingkat

penghasilan lebih rendah berhubungan dengan lebih ketidak-nyamanan untuk ketiga penyakit

diatas.
Faktok Psiko-sosial

Pasien dengan epilepsi menghadapi banyak hambatan psiko-sosial yang dapat

memfasilitasi/memicu perkembangan dari gejala cemas dan/atau (pada pasien dengan faktor

presdiposisi) gangguan cemas yang sedang timbul. Stigma merupakan contoh dari halangan

tersebut yang dapat memicu perkembangan gejala cemas. Pada pasien dengan epilepsi sering

ditemukan mempunyai gangguan fisik secara bersamaan (penyakit penyerta).

Type Gangguan Kejang

Perkembangan gangguan cemas dan suasana hati (mood) berkaitan dengan gangguan kejang

yang melibatkan struktur limbik, seperti kejang yang timbul dari lobus temporal dan frontal.

Pada kenyataannya, ketakutan “ictal” dapat diidentifikasi dari asal kejang di amygdala,

hipocampus, dan girus cingulate. Kemudian gejala cemas dapat diidentifikasi dari epilepsi

general primer.

Perubahan Endogen dari Gangguan Cemas pada Epilepsi.

Sementara menarik untuk menyimpulkan bahwa cemas pada epilepsi merupakan reaksi

sederhana karena perasaan tertekan/stres yang berhubungan dengan kejang dan hidup dengan

“Damocles sword(pedang)” dari risiko kejang pada masa depan, memaksa bukti pada dunia

biologi akan menimbulkan pertentangan tingkat kerumitan lebih tinggi terhadap hubungannya

satu sama lain. Untuk memahami mekanisme yang mendasari gangguan cemas masih terlalu

awal, pengetahuan akan area potensial yang menggunakan komponen sama antara cemas dan

kejang telah meletakkan dasar untuk diagnosis dan penanganan untuk penyakit penyerta yang

menimbulkan kesulitan/stres. Mekanisme yang umum sebagai komponen perkembangan

gangguan cemas dan epilepsi meliputi: (a) neurotransmiter (b) abnormalitas struktural dan
anatomical pada struktur neuroanatomi pada umumnya, terutama pad amygdala, hippocampus,

dan girus cingulate.

Abnormalitas Neurotransmiter.

Beberapa neurotransmiter dan neuropeptida telah diketahui mempunyai peran penting dalam

mekanisme patogenik pada perkembangan gangguan cemas, termasuk γ-aminobutyric acid

(GABA), NE, serotonin, (5-hydroxytryptamine), dan beberapa hormon dan neuropeptida yang

terlibat di axis hipotalamus-pituitari, terutama CRH. Cukup menarik,, neurotansmiter-

neurotransmiter ini juga memegang peranan signifikan dalam gangguan mood dan epilepsi dan

menjelaskan tingginya nilai comorbiditas dari tiga gangguan tersebut.

γ-aminobutyric acid satu area neurokimia yang jelas menggunakan komponen sama melibatkan

GABA, dimana menghasilkan hambatan dari eksitabilitas (perangsangan) berdasarkan efek

terhadap channel ion chlorida.Peran penting GABA pada patogenesis epilepsi telah diketahuin

secara luas. Sebagai contoh, penggunaan umum dari benzodiazepines, barbiturate, dan tiagabine

yang mempunyai efek anxiolityc (penenang) melalui potensiasi dan perpanjangan dari aksi

hambatan sinaps GABA. Barbiturate sebagai contoh, menghambat potensial aksi, pelepasan

neurotransmiter, pengaturan voltage channel kalsium, penghambatan aktivitas sinaps oleh

glutamate. Dengan cara yang sama, efek dari tiagabine dan vigabatrin diperantarai oleh

peningkatan konsentasi GABA dalam sinaps, melalui penghambatan dari pengambilan kembali

(reuptake) GABA atau penghambatan metabolisme GABA. Beberapa obat anti epilepsi (AED)

secara tidak langsung meningkatkan GABA melalui aksi channel(pompa) sodium atau kalsium.

Sebagai contoh pregabalin, secara farmakologi aktif S-enantioner dari 3-aminomethyl-5-

methylhexanoid acid, struktur analog dari GABA, meskipun itu tidak aktif pada reseptor GABA,

atau tidak secara akut mengubah uptake GABA atau degradasinya. Pregabalin terikat dengan
afinitas tinggi terhadap α-δ protein sub-unit dari voltage-gate pompa kalsium pada jaringan

susunan safaf pusat (SSP) dan bertindak seperti modulato(pnggerak) presinaps pada pelepasan

yang berlebihan, pada neuron yang hipereksitasi, pada berbagai neurotransmiter-neurotransmiter

eksitasi. Ikatan dari pregabalin ke α-δ sub-unit tampaknya diperlukan untuk menimbulkan efek

anxiolitik(penenang), analgesik, dan anti-konvulsan(antikejang) pada hewan model.

Konvulsan pentylenetetrazol (PTZ; model untuk kejang umum/general), dimana menghambat

fungsi reseptor GABAA , juga menimbulkan gejala cemas. Dengan tanda yang sama,efek

anxiolitik dari asam valproat diidentifikasi pada beberapa hewan model dari gangguan“cemas”

yang diduga dimediasi melalui proses GABAergic dimana mereka dapat dihambat dengan

antagonis reseptor GABA. Asam valproat telah dilaporkan mempunyai efikasi antipanik dan efek

anxiolitik pada percobaan ternuka, tapi studi case-control belum dilakukan sampai kini.`

Satu teori yang dikemukakan bahwa gangguan cemas dapat terjadi karena tidak sempurnanya

proses hambatan neuron (neuroinhibitory), yang diperantarai sebgaian melalui GABA, sementara

abnormalitas dari reseptor benzodiazepine juga diduga memegang peranan patogenik pada

epilepsi. Kaitan potensial antara abnormalitas pada sistim reseptor benzodiazepine dan gangguan

cemas diduga karena induksi dari gejala panik pada pasien gangguan panik ketika antagonis

benzodiazepine yaitu flumazenil diberikan. Jika hal tersebut lebih lanjut didukung oleh laporan

secara luas penurunan ikatan flumazenil terhadap reseptor benzodiazepine pada pasien dengan

gangguan cemas. Lebih dalam, Malizia dkk membandingkan secara kuantitatif secara penuh,

studi Positron emission tomography (PET-Scan) yang sangat sensitif dengan menggunakan

flumazenil yang dilabel dengan karbon-11 pada 7 pasien dengan gangguan cemas yang telah

menghentikan obat-obatan paling kurang 6 bulan dan yang tidak pernah kecanduan alkohol dan 8

orang sehat. Studi pasien dengan PET-Scan menunjukkan penurunan secara global pada lokasi
ikatan benzodiazepine pada keseluruhan otak dibandingkan pada pasien kontrol. Sebagai

tambahan, area dengan penurunan regional terbesar pada daerah ikatan (kortek orbito-frontal

kanan dan insula kanan) dimana diduga sebagai area yang sangat penting pada mediasi sentral

dari gangguan cemas. Pertanyaan yang timbul ketika regulasi bawah dari reseptor-reseptor ini

secara konsekuensi terpapar oleh stres atau apakah tingkat rendah sebelumnya dari densitas

reseptor benzodiazepine dapat menjadi faktor risiko genetik untuk perkembangans gangguan

cemas yang berhubungan dengan stres.

Abnormalitas Noradrenergik.

Terdapat mata rantai yang penting antara sistem noradrenergik dan dan gangguan cemas,

karena perasaan ketakutan mengaktifkan neuron pada locus coeruleus dan meningkatkan sekresi

NE pada locus coeruleus; struktur limbik seperti amygdala, hippocampus, dan hipotalamus, dan

kortek serebri. Dengan terjadinya stres pada hewan model yang tidak-berdayaan untuk

mengatasinya, deplesi pada norepinefrin dapat terlihat. Lebih lanjut, agen seperti reboxetine yang

menghambat reuptake norepinefrin sangat efektif sebagai terapi PD. Pada kenyataannya gejala

kronik yang dialami oleh pasien dengan gangguan cemas, seperti serangan panik, insomnia,

kejutan yang menakutkan (startle), aktivitas otonom yang timbul berlebihan, merupakan

ekspresi dari peningkatan aktivitas noradrenergik. Gejala-gejala tersebut dapat dikurangi dengan

locus coeruleus, seperti benzodiazepines, alkohol, dan opiat, sementara obat yang meningkatkan

pencetusan neuron (contoh: kokain) dapat memperburuk gejala-gejala tersebut.

Gangguan pada sistim nor-adrenergik sering ditemukan pada penderita epilepsi. Sebagai

contoh, pada hewan model epilepsi, peran patogenik oleh NE diilustrasikan pada studi dari dua

strain dari genetic epilepsy-prone rats (GEPR), GEPR-3, dan GEPR-9, yang mempunyai

karakteristik sebagai presdiposisi sebagai suara yang menginduksi kejang umum tonik-klonik
dan terutama pada GEPR-9 sebagai penanda peningkatan dari pemicu kejang. Kedua strain dari

tikus mempunyai bawaan kurangnya transmisi nor-adrenergik pre dan post sinaps. Defisiensi

noradrenergik pada GEPRs muncul sebagai akibat dari kurangnya arbosasi dari neuron yang

muncul pada locus coeruleus, berpasangan dengan supresi pre-sinaps yang berlebihan dari

pelepasan NE pada bagian terminal dan kurangnya up-regulasi kompensasi post-sinaps. Tikus

GEPR-9 memiliki lebih banyak defisit tranmisi NE dan, yang pada gilirannya menimbulkan

kejang yang lebih berat dibandingkan tikus GEPR-3. Kenaikan baik dari transmisi NE yang

dapat mencegah kemunculan kejang, sedangkan penurunan akan mempunyai efek yang

berkebalikan. Sebagai contoh, obat yang mengganggu pelepasan atau sintesis dari NE akan

memperburuk kejang pada GEPRs, termasuk reserpine atau tetrabenazine yang meng-inaktivasi

vesikel penyimpanan NE dan transmiter NE yang palsu yaitu α-methyl-m-tryosine.

Ekspresi lain dari peran patogenik oleh NE pada epilepsi dapat dinilai pada efek anti-

epilepsi yang diperantarai NE dari sebagian stimulasi nervus vagus (VNS) melalui aktiviasi

locus coeruleus. Lebih lanjut, penurunan pada neuron nor-adrenergik menurunkan efek

antiepilepsi terhadap tegangan listrik atau kejang yang diinduksi oleh pentylenetetrazol.

Abnormalitas Serotonergik.

Peranan patogenik yang penting telah diidentifikasi pada gangguan cemas dan epilepsi. Peran

serotonin pada gangguan cemas didukung oleh pengamatan terhadap efek anxiolitik yang kuat

dari anti-depresan trisiklik (TCA) dan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRIs), yang

meningkatkan konsentrasi 5-HT pada sinaps. Efek anxiolitik dari serotonin dapat berkaitan

dengan inhibisi dari aktivasi nor-adrenergik, melalui proyeksi nukleus raphe menuju ke locus

coeruleus, inhibisi periaqueductal gray dari respon diam/menghindar (freeze/flight), inhibisi


hipotalamus terhadap faktor pelepasan corticotropin, dan jalur eksitasi penghambatan amygala

dari kortek dan thalamus. Studi PET-Scan dengan menggunakan radioligan 5-HT1A trans-4-

fluoro-N-2(4-(2-methoxyphenyl)piperazin-1-yl)ethyl-N-(2-pyridyl)cyclohexanecarboxamide

(FCWAY) memungkinkan penilaian in-vivo dari pusat ikatan 5-HT1A yng telah digunakan

sebagai alat untuk mengidentifikasi fungsi 5-HT yang abnormal pada PD (panic disorder)

melalui studi pada pasien rawat jalan PD dengan gejala yang tidak mendapat terapi ( tujuh

diantaranya juga menderita gangguan mood derajat sedang dan lima belas pasien sehat sebagai

kontrol. Neumeister dkk menemukan volume distribusi rendah pada cingulate anterior, cingulate

posterior, dan raphe pada pasien dibandingkan kontrol, mengindikasikan penurunan reseptor 5-

HT1A pada stuktur-strukur tersebut. Tidak mengherankan, agen yang menjadi perantara terhadap

efek terapeutik melalui peningkatan aktivitas serotonergik pada otak seperti TCAS dan SSRIS

telah menjadi terapi lini pertama dari PD dan gangguan cemas lainnya.

Peran dari 5-HT pada epilepsi telah terlihat pada hewan model epilepsi GEFR. Otak dari

hewan ini mempunyai kekurangan arbosasi serotonergik dan penurunan densitas reseptor 5-Ht

post-sinaps pada hippocampus. Kebalikannya, obat-obatan yang meningkatkan transmisi

serotonergik, seperti SSRIS sertraline, menurunkan frekuensi kejang yang tergantung dosis

pemberian pada GEPR yang berhubungan dengan konsentrasi thalamik serotonergik thalamus

ektra-selular. Prekusor 5-HT 5-hydroxy-L-tryptophan mempunyai efek antikonvulsan pada

GEPRS ketika dikombinasikan dengan SSRIS fluoxetine. SSRIS SSRIS dan penghambat

monoamine oxidase (MAOIs) dapat menunjukkan efek anti konvulsan pada percobaan hewan,

seperti pada tikus dan baboon, yang secara genetik mudah terjadi epilepsi seperti yang secara

genetik tidak mudah terjadi epilepsi yaitu pada kucing, kelinci, monyet rhesus. Sebagai

tambahan, efek anti-epilepsi dari reseptor 5-HT telah berhubungan dengan respon hiperpolarisasi
membran, dimana dikaitkan dengan peningkatan aktivitas kalium di hippocampus yang

menimbulkan kejang pada kucing dan pada kejang yang diinduksi asam kainic intra-

hippocampus pada tikus yang bebas bergerak.

Seperti yang telah disebutkan, AEDs yang telah ditetapkan mempunyai efek psikotropik

(karbamazepin, asam valproat, dan lamotrigine) dapat menyebabkan peningkatan 5-HT pada

GEPRS , proteksi anti-konvulsi dari karbamazepin dapat dihambat dengan obat yang mendeplesi

5-HT.

Disfungsi dari Axis Hippothalamus-Pituitari-Adrenak pada Gangguan Cemas dan

Epilepsi.

Seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan, axis hippothalamus-pituitari (HPA)

mempunyai peranan patogenik yang penting pada gangguan cemas, gangguan mood, dan

epilepsi. Neuron pada nukleus para-ventrikel di kelenjar hipothalamus mensekresi CRH, yang

menstimulasi sekresi ACTH dari kelenjar pituitari. ACTH pada gilirannya, melepaskan

glukocorticoid dari kelenjar adrenal, yang mempunyai dampak terhadap berbagai daerah di otak,

dan bila terdapat pada sirkulasi maka mereka akan mempunyai efek penghambat pada axis HPA.

Pada kondisi normal, hippocampus dan amygdala juga mempunyai peran dalam penghambatan

dari axis HPA. Kadar CRH dan glukocorticoid yang tinggi muncul pada stres yang akut dan

kronik seperti yang terdapat pada gangguan cemas, khususnya PTSD, gangguan depresi, dan

epilepsi. Pemberian intravena dari CRH dapat menyerupai fenomena yang diinduksi stres. Hal

tersebut termasuk peningkatan norepinefrin dalam plasma, epinefrin, dan konsentrasi glukosa

juga peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, transit usus memanjang, peningkatan

aktivitas lokomotor pada lingkungan keluarga, peningkatan kejutan yang menakutkan secara

akustik, grooming, diam membeku yang diinduksi shock. Fenomena-fenomena tersebut tidak
bersifat reversibel dengan adrenalektomi atau hipofisektomi tapi dapat dicapai dengan antagonis

CRH , yang mengindikasikan efek langsung CRH ke otak. Sebagai catatan, reseptor CRH jumlah

ditemukan dalam banyak pada amygdala, yang mengaktifkan tingkah laku terkait perasaan takut.

Reseptor CRH juga terdistribusi secara luas pada kortek dan fungsi mereka dipercaya

menurunkan harapan penghargaan pada hewan model. Lebih lanjut CHR menghambat fungsi

neurovegetatif yang melibatkan aktivitas seksual dan asupan intake makanan sepertu juga pada

fungsi endokrin yang berkaitan dengan reproduksi dan pertumbuhan. Beberapa studi

menunjukkan stressor hidup pada fase awal menghasilkan peningkatan jangka panjang dari

aktivitas CRH pada susunan saraf pusat (SSP).

Dengan tanda yang sama, aktivasi dari axis HPA tampak dari peningkatan sekresi CTH ,

ACTH, dan kortisol yang telah diketahui pada postictally manusia mengikuti kejang umum

tonik-klonik dan kejang parsial komplek. Lebih lanjut, Wang dkk menemukan bahwa

konsentrasi CRH lebih tinggi pada otak postmortem anak dengan epilepsi dibandingkan pada

kontrol. Peran patogenik secara langsung oleh CRH disampaikan oleh Baram dkk pada studi

pada bayi dengan kejang pada masa kanak-kanak dimana ditemukan kadar ACTH yang rendah

pada cairan serebrospinal dan kortisol, yang merefleksikan kadar CRH yang tinggi dalam otak.

Abnormalitas dari Struktur Neuroanatomi

Kemiripan dari sifat dari gejala panik atau gangguan cemas lain dan gejala dari beberapa

type kejang menunjukkan bahwa struktur otak yang mirip dan jalur yang terlibat pada dua

kondisi tersebut. Sebagai contoh, pemberian prokain secara intarvena pada relawan sehat

menghasilkan gejala emosional yang berbeda yaitu euforia, gangguan cemas, depresi, ketakutan,

dan derealisasi, kesemuanya dapat ditemukan pada kejang, khususnya yang melibatkan struktur
limbik. PET-scan selama proses tersebut mengungkapkan peningkatan aktiuvitas metabolik pada

limbik anterior dan area paralimbik.

Bukti yang melimpah menunjukkan peran sentral dari amygdala pada model yang

dikondisikan ketakutan. Sebagai contoh, pengaturan lesi bilateral menuju ke nukleus lateral dari

amygdala dari tikus mengurangi diam membeku yang diinduksi perasaan takut sebagai respon

dari stimulus takut yang dikondisikan secara auditorik. Lesi bilateral dari nukleus sentral dari

amygdala kelinci mengakibatkan hilangnya bradikasi yang diinduksi rasa takut sebagai respon

dari stimulus takut yang dikondisikan secara auditorik. Lesi dari nukleus sentra dari tikus

menghilangkan takut yang dari kejutan.

Amygdala terutama bertanggung jawab sebagai perantara takut (reaksi emosional

terhadap kejadian yang tidak diinginkan) dan cemas ( ketakutan akan kejadian yang tidak

diinginkan yang akan terjadi), Nukleus sentral terutama beperan penting dalam fungsi ini. PET-

Scan menampilkan peningkatan perfusi menuju amygdala ketika individu menunjukkan wajah

ketakutan sebagai kebalikan dari wajah bahagia. Magnetic Resonance Imaging (MRI) fungsional

dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana individu dengan phobia sosial menampilkan

peningkatan aktivasi amygdala sebagai respon terhadap paparan stimulus wajah ketakutan

dibandinkan orang sehat sebagai kontrol.

Amygdalam secara konsep dapat terbagi menjadi tiga kelompok utama dari nukleus: Nukleus

medial menerima informasi olfaktori dan mentransmisikan signal eksitasi menuju ke

hipothalamus. Nukleus basolateral/lateral menerima informasi sensorik yang berbeda seperti

informasi yang terkait dengan memori dari hipocampus. Nukleus sentral menerima informasi

dari nukleus lateral dan nukleus basolateral dari amygdala dan mentransmisikan signal eksitasi
ke daerah yang berbeda yang berkaitan dengan gairah (contohnya hipothalamus, struktur otak

tengah, pons dan medulla)

Terdapat banyak koneksi (hubungan) afferen dan efferen ke nukleus basolateral.

Hubungan-hubungan tersebut mempunyai implikasi penting sebagai respon terhadap stimulus

takut. Hubungan ke daerah frontal orbital memegang peranan pada pilihan respon tingkah laku

terhadap situasi menakutkan, menimbulkan “emotional coloring” dari kejadian-kejadian,

Keluaran dari struktur striatum dorsal dan ventral dipercaya menjadi kesatuan terhadap

penghargaan dan motivasi yang penting untuk tingkah laku menghindar atau tingkah laku yang

menjadi kebiasaan. Hubungan ke nukleus sentrak dan/atau nukleus lapang lateral dari stria

terminalis (BNST) menimbulkan manifestasi “otonom dan somatik” dari takut, dan perhatian

individu terhadap stimulus spesifik.

Hubungan efferen dari nukleus sentral dari amygdala dapat diwujudkan kepada berbagai

gejala dan tanda yang secara umum dikaitkan dengan cemas. Peran dari nukleus sentral pada

takut lebih lanjut dibuktikan pada percobaan hewan terhadap respon rasa takut ( diam membeku,

menggigil, dan aktivasi sistim nervus otonom seperti peningkatan denyut jantung dan

peningkatan tekanan darah) sebagai respon terhadap stimulasi terhadap daerah ini. Hal ini

menunjukkan bahwa aktivitas listis abnormal, baik secara eksperimental atau dalam bentuk

epilepsi spontan pada daerah tertentu pada lobus temporal medial seperti amygdala, dapat

menghasilkan rasa takut mendadak secara kuat, yang mengingatkan kepada gejala panik.

Alternatif lainnya, lesi pada nukleus amygdala menurunkan tingkat laku ketakutan. Pada

percobaan klasik dimana nukleus sentral di rusak, tikus akan sacara langsung gagal untuk

bertindak yang seharusnya terhadap stimulus dari kucing yang tidak menyenangkan. Saat
menghadapi bahaya, tikus tidak lagi merasakan stimulus sensorik dari kucing untuk timbulnya

rasa takut dan akticasi sistim otonom yang diharapkan tidak lagi dihasilkan.

Hipereksitabilitas dari sirkuit rasa takut termasuk amygdalam telah dikemukakan sebagai

etiologi yang potensial dari gangguan cemas. Yang lain dapat berspekulasi lalu jika kejang

memancarkan dari atau melibatkan amygdala ( yang pada umumnya tampak terekam intrakranial

pada kandidat operasi epilepsi) dan hubungan diantaranya menimbulkan seperti hipereksitabilitas

menyebabkan peningkatan cemas.

Cemas dan Hippocampus

Gangguan struktur selain amygdala, seperti hippocampus, telah mencakup pada

gangguan cemas. Konsentrasi kortikosteroid yang tinggi pada serum, dihasilkan dari sekresi

CRH yang berlebihan, dan telah dikaitkan dengan kerusakan dari pembentukan hippocampus.

Paparan kronik terhadap kadar glukokorticoid serum yang tinggi diduga menimbulkan atrofi

hippocampus pada pasien dengan PTSD dan gangguan depresi utama. Lebih lanjut, pada studi

tikus dan monyet, peningkatan konsentrasi jangka panjang dari glukocorticoid menimbulkan

kerusakan neuron hippocampus, khususnya neuron piramidal CA3, kemungkinan karena

penurunan dari percabangan dendrit dan hilangnya dendrit tulang vertebra (spine) yang termasuk

input sinaps glutamanergik. Atrofi sel piramidal CA3 telah diketahui mengikuti sekresi glutamat

pada hippocampus yang diinduksi stres, yang pada gilirannya mengakibatkan konsentrasi

kalsium intraselular yang tinggi, yang meningkatkan kerapuhan dari sel-sel tersebut dan dalam

keadaan tersebut meningkatkan risiko kejang. Efek ini ditekan oleh antagonis N-methyl-D-

aspartate (NMDA). Efek merugikan dari paparan glukocortocid kronik ditemukan

mengakibatkan mulainya sampai sementara dan atrofi reversibel dari cabang dendrin CA3 dan
peningkatan kerapuhan sampai berbagai akibat dan pada akhirnya mengakibatkan kematian sel

karena berada dalam kondisi ekstrem dalam jangaka panjang.

Kondisi yang saling mempengaruhi akibat kadar glukokortivoid yang tinggi dan sekresi

glutamat di hippocampus sesuai dengan usaha kamu untuk memahami hubungan antara

gangguan cemas seperti PTSD, gangguan depresi utama, dan epilepsi. Peran dari neurotransmiter

eksitasi dan lokasi reseptor glutamate NMDA pada epilepsi telah diketahui. Antagonis NMDA

telah menunjukkan efek anti-epileptogenik pada hewan model dan menunjukkan efek anti-

epilepsi.

Hiperkortisolemia yang disebabkan stres kronis atau gangguan depresi juga ditemukan

mengganggu perkEmbangan sel granula baru pada girus dentate hippocampus dewasa. Efek ini

diduga disebabkan penurunan sekresi faktor neurotropik penghantar di otak (BDNF) pada girus

dentate, lapisan sel piramidal dari hippocampus, amygdala, dan neokortek. Perubahan ini dapat

diatasi dengan terapi obat anti-depresant kronik (bukan akut). Pemberian obat anti-depresan

kronik meningkatkan ekspresi BDNF dan juga mencegah peningkatan kadar BDNF yang

diiunduksi oleh stres. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa obat anti-depresan dapat

meningkatkan kadar BDNF pada manusia. Data-data tersebut mengindikasikan bahwa

antidepresan yang terkait up-regulasi dari BDNF secara hipotesa dapat memperbaiki kerusakan

neuron hippocampus dan menproteksi neuron yang rentan dari kerusakan tambahan. Sudi terkini

menunjukkan, meskipun demikian BDNF meningkatkan survival sel oleh inhibisi dari sel

cascade.

Pada sisi lain, studi lain menunjukkan pada individual-individual dengan atrofi

hippocampus yang sudah ada sebelumnya yang mempunyai presdiposisi terhadap

perkembangan gangguan cemas seperti pada PTSD. Mirip dengan perdebatan kontroversial
apakah kejang menginduksi atau akibat dari atrofi hippocampus, hubungan antara abnormalitas

hippocampus dan gangguan cemas masih belum jelas.

You might also like