You are on page 1of 8

MAKALAH ULUMUL HADIS

SEJARAH KODIFIKASI HADIS

DOSEN PEMBIMBING :

DI SUSUN OLEH:

BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah Singkat Kodifikasi Hadis
Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam
setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi
hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum
lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas
jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah
daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”
Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan
tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam
menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka
merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama
diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun
untuk seluruh manusia.
Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari
kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan
orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan
sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat
termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses
periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-
ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.
Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu
pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana
yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah
berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di
sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal
kau muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai
merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.

Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak
jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan
dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-
Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah
berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis
sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang
mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah
sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari
Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku!
Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan
tidak perlu segan..” (HR Muslim).

Masa Tabi’in dan setelahnya


Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in
sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz.
Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.
Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul
‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku
mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan
kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar
bin Abdul aziz merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya
ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu
dapat melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi,
“Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”
Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul
‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli
Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah
dan mengumpulkannya dalam kitab mereka.
- Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-
shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”.
- Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan
“al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”.
- Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”,
Hammad bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”.
- Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-
Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
- Di Syam Al-‘Auza’I,
- Di Washith Husyaim, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul
Mubarak di Khurasan.
Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka
masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.
Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan
seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode
Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam
al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan
mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan
nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih
muslim”.
Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir
tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh, ajzaa`
dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis.
Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab
itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak diperhitungkan.
Proses Kodifikasi al-Hadits

Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses
pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini
adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan
adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk
itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap
orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang
akan hilang pada masa sesudahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada
Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada
hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu
sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw
(Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29)

PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS PADA ABAD KE II DAN KE III H

A. PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS PADA ABAD KE II H


Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah.
Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal
hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia , jika tidak segera dibukukan maka
hadits-hadits itu akan lenyap bersama-sama para perawi / penghafalnya.
Kitab-kitab hadits yang disusun pada abad ke II H. Ialah (1) Al Muwatto karya Imam
Malik,(2) Al Maroghi, karya Muhammad bin Ishaq,(3) Al Jami’, karya Abdurrazad,(4) Al
Musannaf, karya Al Auza’i, (5) Al Musnad, karya Asy-Syafi’i, dsb.
Penulisan pada zaman tabiin ini masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan
fatwa sahabat serta tabiin, seperti dalam kitab Muwatta yang disusun Imam Malik. Para
ulama hadits ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadits ini termasuk kategori
musnad ( kitab yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadits dari
Nabi SAW) dan adapula yang memasukkannya kedalam kategori al-jami’ (kitab hadits
yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan
minum,tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela)
atau al mu’jam ( kitab yang memuat hadits menurut nama sahabat, guru, kabilah, atau
tempat hadits itu didapatkan; yang diurutkan secara alfabetis).

MASA MEN-TASHIH-KAN HADIS DAN PENYUSUNA KAIDAH-KAIDAH NYA


Abad ketiga hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab ibnu
juraji, kitab muatha’ tersebar dalam masyarakat dan di sambut dengan gembira, kemauan
menghapal hadis, mengumpul, dam membukukannya semakin meningkat dan milai liah
ahli-ahli ilmu berpindah dari satu tempat ke tempat lain dari sebuah negri ke negri lain
untuk mencari hadis.
Dan syarat-syarat menerima hadis para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
a. Membahas keadaan rawi-rawu dari berbagai segi,baik dari segi keadilan,tempat
kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang shahih dari hadis yang dhoif ya’ni dengan men-
tashih-kan hadis.

DARI ABAD IV HINGGA TAHUN 656 H.


Pada masa ‘abbasiyyah angkatam kedua periode ini di namakan ashru at-tahdib
wa at-tartibi wa al-istidroki wa al-fami.
di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1. Mengumpulkan hadis bukhori/muslim dalam sebuah kitab.
2. Mengumpulkan hadis dalam kitab enam.
3. Mengumpulka hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
4. Mengumpulka hadis-hadis hukum da menyusun kitab-kitab athraf.

MASA SEKARANG
Periode ini adalah masa sesudah meninggal nya khalifah abbasiyyah ke XVII al-
mu’tasim (w.656 h) sampai sekarang.ini di namakan ahdu as-sarhi wa al-fami’
wa at-tahrijiwa al bahtsi,usaha yang di lakukan oleh ulama pada masa ini
menerbitkan isi kitab-kitab hadis ,menyaringnya , dan mwnyusun kitab enam
kitab tahrij,erta membuat kitab jami’ yang umum.
Tokoh-tokoh yang terkenal ada masa ini adalah (1)adz-dzahabi (784 h),(2) ibnu
sayyidinas (734 h),(3) ibnu daqiq al ‘ied (4) muglathai (862 h),(5) al –asqalani
(852 h),(6) ad-dyamyati (705 h),(7) az-zarkaye (794 h), dan lain-lain.
KESIMPULAN
Para sahabat sangat antusias dalam mencari, menyaksikan, dan mendengar Hadist
dari Nabi saw, tetapi Hadist pada waktu itu hanya diingat-ingat atau dihapal saja.
Secara umum penulisan Hadist dilarang Rasul saw karena khawatir bercampur
aduk dengan penulisan al-Qur’an. Penulisan Hadist pada waktu itu berfungsi
untuk membantu ingatan mereka agar tidak lupa.

Setelah Al-Qur’an terkodifikasi (pada masa Usman), para sahabat senior terpencar ke
berbagai daerah, timbul dan tersebar Hadis Mawadhu’, dan para ulama banyak yang
meninggal, pada masa Umar bin Abd al-‘Aziz abad ke 2 H Hadist dihimpun dan
dikodifikasikan pertama kali dalam Islam. Namun, pada masa ini hanya sekedar
menghimpun dalam sebuah buku dan belum difilter mana yang Hadist dari Nabi dan
mana perkataan sahabat, seperti al-Muwaththa’ karya Malik. Baru pada abad ke 3 H
Hadist mulai dapat dihimpun, dikodifikasi, diklasifikasikan dan diadakan filterisasi /
penyaringan antara Hadist dari Nabi dan perkataan atau fatwa sahabat dan dapat pula
diklasifikasikan mana yang shahih dan mana yang dha’if. Pada abad ketiga inilah
perkembangan kodifikasi Hadist mengalami puncaknya yaitu timbulnya 6 buku induk
Hadist.

Pada abad berikutnya yaitu abad ke 4 dan seterusnya tidak mengalami perkembangan
yang signifikan, karena para ulama ahli Hadist hanya bereferensi dari kitab-kitab abad
sebelumnya. Perkembangan pengkodifikasian Hadist berikutnya hanya terfokus pada segi
kuantitas saja. Di antara buku Hadist yang dipedomani umumnya umat islam adalah al-
Muwaththa’, kitab-kitab Shahih, Sanad dan Musnad Ahmad. Atau kitab-kitab lain yang
telah diketahui tingkat keshahihannya.

You might also like