You are on page 1of 16

MANAJEMEN DIRI:UPAYA MEMBANGUN KARAKTER

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Ar-Ra’ad [13]:11).

Iftitâh
Bismillâh. Sejak 2004, seperti air hujan, mahasiswa baru (MABA) dari Indonesia datang membanjiri lembah Sungai Nil. Jumlahnya mencapai 1054. Tahun
berikutnya pun demikian. Peningkatan drastis pada dua tahun (2004-2005) itu, satu sisi membahagiakan, karena jumlah kader ummat dan bangsa yang akan
mengeluarkan Indonesia dari krisis multidimensi semakin banyak. Namun di sisi lain menyedihkan, setelah natijah imtihân turun, banyak yang rasib. Muncullah
sebuah kesimpulan, bahwa secara kuantitas Masisir besar, namun secara kualitas kecil. Ini pula yang membuat Departemen Agama (Depag) RI, tahun ini (2006),
mengeluarkan kebijakan untuk menyeleksi, lewat testing di perguruan tinggi Islam di beberapa propinsi, terhadap semua CAMABA, baiknya jalur Depag maupun
“Terjun Bebas” dan mensyaratkan adanya “uang bekal” (living cost) sebesar US$. 2500,- (25 juta rupiah).
Terlepas dari polemik dan pro-kontra Masisir terhadap kebijakan Dapag yang dianggap “sepihak” dan “sangat mendadak” tersebut, yang jelas peningkatan jumlah
MABA perlu kita respon dengan proaktif dan bijaksana. Sebab, persoalannya, tidak hanya masalah akademis saja, tapi masalah patologi sosial —penyakit
masyarakat (baca: Masisir)— yang muncul akibat “penumpukan” emigran; ketidakseimbangan antara kedatangan MABA dengan kepulangan mahasiswa lama.
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, saya ingin mengajak diskusi Anda dan para MABA yang dianggap sebagai “persoalan” (problem) agar berubah menjadi solusi
dari masalah (problem solver). Ada empat pembahasan yang akan kita diskusikan di sini, (1) fenomena kehidupan Masisir sebagai upaya identifikasi sekaligus
mencari akar masalah Masisir; (2) Manajemen Diri sebagai tawaran solusi dari persoalan Masisir; (3) Tujuh Prinsip dan Kiat Praktis Manajemen Diri sebagai
bentuk konkrit dari Manajemen Diri itu; dan terakhir, (4) Manajemen Waktu sebagai pelengkap untuk menjelaskan salah satu prinsip dari 7 prinsip yang saya
rumuskan.

Fenomena Kehidupan Masisir


Ada sebuah fenomena kehidupan Masisir, yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan, yaitu “pembusukan karakter”. Maksudnya adalah
menggunakan kebanyakan waktu —minjam istilah Stephen R. Covey— “untuk hal-hal yang tidak mendesak dan tidak penting”, serta tidak ada hubungannya
dengan Mahasiswa/i Indonesia Mesir (selanjutnya dibaca: Masisir) sebagai civitas akademica.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kita sepakati bersama, bahwa Masisir yang kita maksud adalah Masisir berperan sebagai civitas akademika, bukan peran-
peran yang lainnya. Mengapa demikian? Sebab,di lapangan, ada yang mendaftarkan diri di lembaga pendidikan di Mesir —baik Al-Azhar maupun yang lainnya
— dengan tujuan untuk mendapatkan iqâmah (visa). Betul, status mereka adalah mahasiswa-mahasiswi, tapi peran mereka tidak hanya demikian. Ada yang
berperan sebagai suami bagi isterinya yang sedang kuliah. Selama di Mesir, ia hanya menunggu tamat isterinya yang sedang kuliah di Mesir dan mencari nafkah
untuk keluarganya. Sebaliknya, ada yang berperan sebagai isteri. Ia hanya mendampingi suaminya menyelesaikan studi.
Mereka tidak kuliah. Mereka hanya mengikuti imtihân (ujian) agar nama mereka tidak tercoret dari lembaga pendidikan itu. Ada juga yang sama sekali tidak
mengikuti ujian, karena orang yang ia tunggu tidak sampai tiga tahun. Artinya, kalau pun ia tidak ikut imtihân, maka ia tidak akan mafshûl (dropt out). Di luar
peran itu, masih banyak peran lainnya, misalnya karena ia menjadi TKI atau TKW, ingin talaqqi dengan seorang syaikh, dan seterusnya. Jadi, Masisir —dalam
tulisan ini— adalah para mahasiswa-mahasiswi yang tinggal di Mesir dengan tujuan untuk menyelesai jenjang pendidikan kesarjanaan (strata 1 sampai strata 3)
pada lembaga pendidikan —Al-Azhar atau yang lainnya— di Mesir. Dengan definisi ini meskipun mereka memiliki peran lain —sebagai suami, isteri, aktivis,
businessman, dan lain-lain— kalau tujuan utama mereka memperoleh gelar kesarjanaan, inilah yang kita sebut Masisir sebagai civitas akademika.
Sebagai civitas akademika, seharusnya yang terbangun di Masisir adalah budaya ilmiah. Ini dapat terukur dari tiga hal, yaitu (1) budaya membaca —menela’ah;
mengkaji; meneliti— karya-karya ilmiah; (2) budaya menulis karya tulis ilmiah, baik itu buku, jurnal, majalah, buletin, maupun media tulisan ilmiah lainnya; (3)
budaya diskusi; dan (4) pola pikir, mental, serta perbuatan berdasarkan ilmu. Namun, realitasnya adalah budaya membaca sangat rendah, budaya menulis sangat
lemah; dan budaya diskusi sangat susah. Indikator dari keempat hal tersebut dapat dilihat dari: (1) Masisir yang aktif di kelompok kajian (Studi Club) atau Senat
Fakultatif, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang aktif di organisasi atau komunitas lainnya; (2) yang sering muncul dalam acara-acara Masisir sebagai
pembicara dan dalam media massa Masisir sebagai penulis hanya berputar kepada beberapa orang saja; (3) setiap ada lomba Karya Tulis Ilmiah, pesertanya
sangat sedikit; (4) buku; jurnal; dan karya ilmiah Masisir masih sangat minim; dan (5) dalam intraksi sosial dan menghadapi persoalan belum mencerminkan
sebagai ilmuan.
Lantas, jika waktu Masisir tidak banyak terkuras untuk membangun budaya ilmiah, maka terpakai untuk apa? Wallahu ‘alam. Menurut pengamatan saya, waktu
mereka banyak terbuang —meminjam perkataan Stephen R. Covey— untuk hal-hal yang tidak mendesak dan tidak penting. Misalnya, bergadang malam suntuk
ketika musim panas; tidur seharian di musim dingin; membaca Kho Ping Kho berseri-seri; menonton TV atau film “Korea” belasan episode, bahkan film forno;
main beragam “game” atau Play Station (PS) tak mengenal waktu, bahkan ada perlombaannya; main gaple sampai Shubuh; chatting, searching, e-mail-email, atau
“main internet” tak ada tujuan yang jelas, bahkan ada yang sering meninggalkan sholat lima waktu, dan seterusnya. Inilah contoh pembusukan karakter secara
individu —bisa dilakukan sendirian, dalam istilah Al-Quran, perbuatan munkar (al-munkar).

Ada lagi pembusukan karakter secara sosial —tidak bisa dilakukan sendirian, minimal harus ada dua orang, dalam Al-Quran disebut perbuatan keji (al-fahsya’).
Tanpa menafikan betapa banyaknya Masisir yang baik dan komitmen menjaga ‘iffah (kehormatan diri), namun tidak bisa kita pungkiri juga, dari sekian banyak
Masisir itu, meskipun hampir 100% kuliah di Al-Azhar —yang nota benenya mempelajari Islam— mereka melakukan kehidupan yang tidak Islami. Misalnya,
khalwah (berdua-duaan di tempat sepi) dan ikhtilâth (percampuran tanpa uzur syar’i, pacaran jama’i dan pegang-pegang tangan). Sebagian memahami pacaran itu
suatu kemestian sebelum nikah, bahkan mencampuradukan dengan al-haq, istilah mereka “pacaran Islami”. Akhirnya, kebablasan. Mereka sering jalan berduaan,
nangkring di sûq sayyarât, ngobrol di telpon berjam-jam, SMS-an dan chatting tak kenal waktu, berduaan dalam saqoh, bahkan rihlah berduaan ke objek wisata
Mesir. Kondisi inilah yang melahirkan Tim Pemerhati Intraksi Masir (TPIM) yang mengundang pro-kontra Masisir.
Bukan satu atau dua kali, saya menemukan faktanya. Betapa sering Masisir yang mengadu, karena miris melihat temannya sudah tidak lagi mengindahkan norma-
norma Islam dalam berintraksi dengan lawan jenis. Bahkan, saya masih ingat, di bulan suci Ramadlan tahun lalu, tepatnya hari Ahad, 9 Oktober 2005, tiba-tiba,
telpon di rumah saya berdering. Saya dekatkan gagang telpon ke telinga. Di ujung sana, terdengar suara akhwat: “Betul ini rumah Udo Yamin? Boleh aku bicara
dengannya?” Saya membetulkan bahwa saya adalah Udo Yamin. Akhwat itu ingin minta nasehat saya, tapi ia tidak mau memperkenalkan siapa dirinya. Ia
mengajukan empat pertanyaan: (1). Bagaimana pandangan Udo terhadap akhwat yang suka main ke rumah laki-laki sendirian? (2). Apa yang Udo lakukan, bila
Udo serumah dengan laki-laki yang didatangi akhwat itu? (3) Bagaimana supaya adik-adik kelasnya yang serumah tidak mengikuti kebiasaan jelek akhwat itu?
(4) Bagaimana solusi dari semua itu? Saya, tidak akan memaparkan jawaban saya di sini, sebab bukan tempatnya. Yang jelas, saat saya menjawab empat
pertanyaan itu, saya dengar akhwat itu menangis. Hati saya ikut tercabik-cabik. “Oooi, napa Masisir kok jadi gini???” batin saya berteriak. Kisah nyata ini saya
ceritakan, sekali lagi, untuk menguatkan bahwa apa yang saya sampaikan kepada Anda berdasarkan data dan fakta. Bukan fiktif, apalagi fitnah. Na’ûdzubillâh
min dzâlik!

Manajemen Diri adalah Solusi. Tentu saja, bagi Anda sebagai mahasiswa baru (MABA), mungkin fenomena atau realitas di atas, membuat Anda terkejut dan
kecewa. Hanya saja, jangan berlarut-larut dalam rasa kecewa itu; mulailah hidup bermakna! Sebab, seburuk apapun situasi dan kondisi di luar sana, apabila Anda
respon secara proaktif, maka akan memberikan manfa’at. Bahkan, dengan fenomena di atas, seharusnya membangkitkan nurani Anda untuk merubahnya. Akan
tetapi, sebelum merubah Masisir, sebuah keniscayaan Anda —termasuk saya, harus terlebih dahulu merubah diri. Suatu hal yang mustahil Masisir akan berubah,
apabila “anfûs” Masisir tidak berubah. Allah Swt pun tidak akan merubahnya. Sebaliknya, manakala kita mulai dari diri kita sendiri (baca lagi firman Alllah
diawal tulisan ini), maka Allah Swt. akan membantu kita. Untuk merubah diri itu, kita butuh alat yang kita sebut dengan “manajemen diri”.
Apa itu manajemen diri? Secara sederhana, manajemen —merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001)— memiliki dua arti, yaitu; (1)
penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; dan (2) pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannnya perusahaan dan organisasi. Dalam
kajian kita saat ini, arti pertama yang relevan dan perlu kita eksplorasi lebih lanjut.
Selanjutnya, apa arti “diri” atau “saya”? Apakah yang kita sebut “diri” itu adalah akumulatif dari pikiran kita, seperti yang dikatakan David J. Schwarz bahwa
“Kita adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita”, atau jargon yang diucapkan oleh Rene Descartes, “Saya berpikir, maka saya ada”? Apakah diri itu adalah
apa yang kita rasakan, seperti yang dinyatakan Andre Gide, “Saya merasa, maka saya ada”? Apakah diri itu adalah perbuatan; tindakan; kebiasaan kita, seperti
ucapan Albert Camus, “Saya memberontak, maka itulah saya”, atau pernyataan Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.” Atau, ungkapan
Nurcholis Madjid, “Aku berbuat, maka aku ada”? Apakah diri itu gabungan dari pikiran dan perasaan kita, sebagaimana dalam konsep “ego” Muhammad Iqbal,
bahwa ego (diri) adalah suatu kesatuan perasaan-perasaan —mental— kehidupan personal dan merupakan bagian dari sistim pemikiran. Dan, apakah diri itu
adalah gabungan dari semua itu? Wallâhu a’lâmu.
Kata “diri” (anfûs) —jamak dari nafsun— dalam Al-Quran banyak maknanya, diantaranya: rûh (nyawa), dhamîr (hati nurani), jinsun (jenis), dan syahshiyah
(pribadi) atau “totalitas manusia” dimana terpadu jiwa-raga manusia. Nah, makna yang terakhirlah yang kita maksud dengan “diri” itu. Yang kita sebut diri,
pribadi, individu, adalah totalitas manusia sebagai perpaduan dari jasad dan ruhani, fisik yang bisa kita lihat dan sesuatu yang tak terlihat yang menggerakan fisik
(hati; pikiran; jiwa). Diri adalah totalitas dari pemikiran, keinginan, dan gerakan kita dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, perpaduan antara intelektual,
emosional, spiritual, dan fisik.
Berangkat dari makna dua kata —“manajemen” dan “diri”— di atas, maka manajemen diri —yang saya maksud— adalah sebuah proses merubah “totalitas diri”
—intelektual, emosional, spiritual, dan fisik— kita agar apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai.
Tujuh Prinsip dan Kiat Praktis Manajemen Diri
Dalam kitab At-Tafsîr al-Munîr fî al-’Aqîdah wa as-Syarî’ah wa al-Manhaj (Darul Fikri, 1998), Al-Ustadz Dr. Wahbah az-Zuhaily meriwayatkan perkataan Ibnu
Abbas: “Al Fatihah adalah inti dari Al Quran. Dan basmalah —bismillâhirrahmânirrahîm— adalah inti dari surat Al-Fatihah!”
Tentu saja kesimpulan sahabat nabi yang mendapat gelar dari Khalid Muhammad Khalid —penulis Rijâlu Haula Rasûl (Darul Muqatham, 1994)— sebagai “Kiai
Umat” adalah benar. Apalagi, sejak kecil beliau sering bersama rasulullah Saw. dan beberapakali beliau menepuk-nepuk punggungnya sambil berdo’a: “Ya Allah,
berikanlah ilmu agama yang mendalam dan ajarakan kepadanya ta’wil (Al-Quran)!”
Dari dua belas nama surat Al-Fatihah —Fâtihah Al-Kitâb, Ummu Al-Kitâb, Ummu Al-Quran, Al-Qurân Al-‘Adhîm, As-Sab’u Al-Matsâni, Ash-Shalâh, Ar-
Ruqiyah, Al-Asâs, Asy-Syifa’, Al-Kâfiyah, Al-Wâfiyah, dan Al-Hamdu— yang disepakati oleh ulama, ada tiga nama yang menguatkan kesimpulan Ibnu Abbas
tersebut, yaitu Fâtihah Al-Kitâb, Ummu Al-Kitâb dan Ummu Al-Quran. Iyya, Al-Fatihah memang sebagai pembuka dan induk dari Al-Quran.
Dengan demikian, jika surat Al-Fatihah inti Al-Quran dan Al-Quran adalah sebagai prinsip hidup kita, maka sudah barang tentu dalam surat Al-Fatihah ada
prinsip hidup, termasuk prinsip-prinsip untuk manajemen diri. Tinggallah kemauan kita, apakah mau mencari prinsip itu atau tidak? Bukankah dalam ‘ulûmi al-
Qurân (ilmu-ilmu Al-Quran), kita telah mempelajari tentang manthûq (arti tersurat) dan mafhûm (arti tersirat)? Lantas, apa arti tersirat dalam surat Al-Fatihah?
Setiap hari kita minimal membaca surat Al-Fatihah sebanyak 17 kali sehari-semalam dalam sholat. Tapi, pernahkah kita memikirkan makna —baik tersurat
maupun tersirat— yang terkandung di dalamnya? Oke, mari kita renungkan bersama makna yang tersimpan dalam surat Al-Fatihah dan kita kaitkan dengan
pembahasan kita saat ini.
Prinsip 1: Awali Dengan Basmalah
“Sesungguhnya (hasil) setiap amal perbuatan”, sabda nabi Muhammad Saw. yang diwartakan oleh Imam Bukhari, “tergantung dengan niat.” Begitu pula dengan
buah yang akan kita petik dari menajemen diri, itu sangat tergantung pada benih yang kita tabur. Dan benih itu bernama niat.
Nah, apakah niat kita ketika hendak melaksanakan manajemen diri? Apakah hanya sebatas ingin meraih pujian dari ortu, adik-kakak, teman, atau dari yang
lainnya? Apakah karena merasa iri dengan prestasi dan apa yang orang lain raih? Apakah hanya sekedar ingin mendapatkan pekerjaan? Apakah sebagai bentuk
rasa syukur kepada Allah Swt. dan untuk mencari ridla-Nya?
Ayat pertama —Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)— dari surat Al-Fatihah ini, mengajarkan kepada
kita, apapun yang kita lakukan harus kita niatkan atas nama Allah; karena-Nya; dan untuk-Nya semata. Semakin ikhlas niat kita, maka semakin bermakna
aktivitas kita. Sebaliknya, semakin jauh kita dari-Nya, maka apa yang kita lakukan akan kehilangan makna. Di sinilah, perbedaan antara manajemen diri Islami
dengan konsep manajemen diri Barat. Manajemen diri Islami berpusat kepada Allah Swt. (Allah-sentris), sedang konsep manajemen diri lain berpusat kepada
manusia (antroposentris).
Langkah praktis dari prinsip 1 ini adalah: Carilah waktu dan tempat yang kondusif untuk melakukan “Majlis Iman” seperti yang sering dilakukan oleh sahabat
nabi —Ibnu Rawahah—, yaitu merenungi diri sejenak. Atau, minjam istilah Kang Hernowo; dalam bukunya Self Digesting (MLC, 2004)— melaksanakan
Komunikasi-Internal Diri, yaitu menyingkirkan seluruh wujud di luar diri dan kemudian, secara aktif, bertanya tentang keberadaan diri.
Nah, yang kita tanyakan kepada batin kita kali ini adalah niat kita: Apa tujuan saya melakukan manajemen diri? Dengarkan semua jawaban yang muncul dalam
hati nurani. Lalu, tutup dengan sebuah pertanyaan: “Apakah saya melakukan hal ini karena Allah?” Bila nurani Anda mengatakan “YA” dan tidak ada keraguan
sama sekali, maka mulailah melangkah dan ucapkan “Bismillâhirrahmanirrahîm”. Sebaliknya, jika jawabannya: “TIDAK”, atau masih ada keraguan, maka ulang
perenungan ini dari awal, hingga mendengarkan nuranimu berkata: “YA!”.
Prinsip 2: Terimalah Diri Apa Adanya
Salah satu ciri utama muslim adalah beriman sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya. Maka dalam melihat diri harus dengan kaca mata iman. “Iman itu”, sabda
nabi Muhammad Saw., “setengahnya berada pada syukur dan separonya lagi ada pada sabar”. Kita harus bersyukur terhadap nikmat dari Allah, yaitu berupa apa
saja yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sebaliknya, kita harus bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita, yaitu apa saja yang tidak sesuai dengan
yang kita inginkan.
Selanjutnya, kita harus mampu membedakan, mana yang bisa kita ubah, dan mana yang tidak bisa kita ubah dalam diri kita. Contoh yang kita bisa ubah adalah
pikiran, perasaan, kebiasaan kita, dan seterusnya. Yang tidak bisa kita ubah adalah hari lahir kita, ortu kita, semua pengalaman hidup kita, dan seterusnya. Maka
ubahlah terhadap hal-hal yang bisa kita ubah! Sebaliknya, terimalah apa adanya yang tidak bisa kita ubah.
Misalnya, ada yang tidak mengakui ortunya orang kampung. Di hadapan teman-temannya, ia mengaku anak ningrat dan ortunya sudah lama meninggal, padahal
kedua orang tuanya masih ada di kampung bertarung dengan lumpur di sawah. Itu bukan langkah ke arah kemajuan, tapi ia sedang memotong cabang pohon
tempatnya berpijak; lambat laun tapi pasti, ia akan jatuh oleh kebohongan itu.
Atau, ada yang tidak menerima kenyataan pengalaman hidup yang pahit. Hari demi hari, ia terbelenggu dengan masa lalu. Segala upaya ia lakukan agar
melupakan pengalaman itu. Padahal masa lalu tidak mungkin bisa kita ubah. Bahkan, tidak bisa kita lupakan. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai atau
menerima masa lalu itu apa adanya. Yang kita ubah, bukan masa lalu itu, tapi pikiran, perasaan, dan sikap kita terhadap masa lalu itu. Alias respon kita.
Seburuk apapun yang kita miliki —ortu, adik-kakak, rumah, kampung halaman, daerah, negara, dst— terimalah apa adanya. Sekelabu apapun masa lalu,
biarkanlah ia berlalu dan jangan merasa terbelenggu. Kesempatan menghirup udara detik ini adalah nikmat yang terbesar untuk kita syukuri. Artinya, Allah masih
memberi kesempatan kepada kita untuk mengubah apa yang bisa kita ubah dan menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Gunakan detik ini dan detik berikutnya
untuk merubah diri. Paling tidak, ucapkan dengan tulus: “Al-hamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn!” (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam) atas semua nikmat
dari Allah —otak, telinga, mata, kaki, tangan, jantung, dan seluruh anggota tubuh lainnya— yang masih berfungsi sampai detik ini.
Intinya, dengan kaca mata iman, semuanya menjadi kebaikan; bila kita mampu meraih sesuatu sesuai dengan keinginan, maka kita akan bersyukur. Sebalik, jika
mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan, maka kita akan sabar. Sehat, syukur. Sakit, sabar. Bagi orang beriman, tidak ada bedanya antara sehat dan sakit,
keduanya tetap mendatangkan rasa bahagia. Wajar jika nabi bersabda: “Sungguh sangat mengagumkan orang yang beriman. Segala urusannya adalah baik
baginya. Dan itu terjadi, kecuali hanya pada orang yang beriman. Jika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur. Maka itu merupakan kebaikan bagi dirinya. Apabila
ditimpa musibah, ia bersabar. Maka itu merupakan kebaikan bagi dirinya.” (Muslim & Ahmad)
Langkah praktis prinsip 2 ini adalah: Lakukan lagi Majlis Iman Ibnu Rawahah: Merenunglah sejenak! Gunakan “kesadaran diri” (yaqdzah/self awarness) untuk
melihat apa yang telah (pengalaman hidup) dan apa yang sedang terjadi (kondisi hidup) pada dirimu. Lalu, aktifkan “suara nurani” (bashîrah/conscience) dalam
dirimu. Pelajari dan catatlah, mana yang bisa Anda ubah, dan mana yang tidak bisa Anda ubah! Dari data dirimu itu, “gunakanlah” (use it) apa yang Anda bisa
ubah sebagai bahan pelajaran untuk merubah diri atau melejitkan potensi diri. Bersyukurlah! Sedangkan yang tidak bisa Anda ubah, maka abaikanlah (lose it)!
Dan bersabarlah!
Prinsip 3: Berikanlah Yang Terbaik
“Tidak pernah akan rugi orang yang beristikharah,” petuah nabi Muhammad Saw. yang dituturkan oleh Imam Malik, “dan tidaklah menyesal orang yang
bermusyawarah.” Istikharah adalah mendiskusikan persoalan kepada Allah Swt. Sedangkan musyawarah mendiskusikan masalah kepada manusia. Keduanya
bertujuan ingin mencari solusi terbaik dari apa yang kita hadapi.
Namun sayang, terkadang kita begitu menginginkan Allah Swt. dan manusia memberikan yang terbaik untuk kita, sedangkan kita sendiri enggan memberikan
yang terbaik untuk-Nya dan mereka. Maka sebelum memohon petunjuk kepada Allah Swt. dan minta pendapat kepada manusia, berikanlah yang terbaik untuk
Allah Swt. dan manusia dengan cara menyambungkan tali kasih sayang kepada-Nya (hablum minallâh) dan kepada manusia (hablum minannâs).
Sebaik apapun yang kita berikan —waktu, tenaga, pikiran, harta, dan seterus— untuk mengabdi kepada Allah Swt. sebagai bukti menyambungkan kasih sayang
kepada-Nya, maka semua itu tidak pernah mampu membalas apa kasih sayang-Nya kepada kita. Wajar, jika Allah Swt., mengulangi kalimat: “Arrahmânirrahim”.
Dan sebanyak apapun rahmat yang kita terima di dunia ini, maka hanya seper-sekian dari satu persen (1%) nikmat-Nya.
“Allah menciptakan rahmat menjadi seratus bagian,” ujar Imam Bukhari menyampaikan hadis dari nabi, “kemudian menetapkan 99 bagian di sisi-Nya dan
menyempurnakan satu bagian inilah semua makhluk saling mengasihi, hingga seekor kuda mengangkat kaki dari anaknya karena khawatir menginjaknya.” Dalam
riwayat Imam Muslim, hadis itu ada lanjutannya, yaitu “maka bila datang hari kiamat Allah menyempurnakan rahmat-Nya (99 rahmat di sisi-Nya) menjadi
seratus rahmat dengan tambahan rahmat ini (rahmat dunia).”
Dan sebaik dan sebanyak apa pun yang kita berikan kepada manusia, itu tak mampu menggerakan manusia untuk membalas kebaikan kita, tanpa bantuan Allah
Swt.. Allahlah yang membukakan hati manusia untuk membalas atas kebaikan kita (baca: QS. Al-Anfâl [8]: 63). Kuncinya, sekali lagi, minta bantuan kepada
Allah Swt..
Bila hubungan kita dengan Allah sudah harmonis, maka insyâ Allâh, kita akan mudah berhubungan dengan manusia. Sebaliknya, bila hubungan kita dengan
Allah, terputus, maka kita akan sulit harmonis dengan manusia, bahkan dengan diri kita sendiri kita tidak harmonis. Lantas, bagaimana kita mmelakukan
manajemen diri, jika diri kita berantakan?
Langkah praktis prinsip 3 ini adalah: Pertama, bila selama ini kita lalai melaksanakan kewajiban kepada Allah, terutama sholat lima waktu, maka cepatlah taubat.
Setelah sholat wajib itu kita perbaiki, maka lakukan sholat istikharah, yaitu sholat dua raka’at untuk meminta sesuatu kepada Allah, terutama sesuatu yang
membingungkan kita. Bertanyalah dan pintalah kepada Allah, cara me-manajemen diri. Insya Allah, dengan cara-Nya, Allah akan menjawab pertanyaan dan
permintaan kita; Kedua, setelah kita minta fatwa dari hati nurani dan Allah, maka berdiskusilah kepada orang yang paling Anda percayai dan ahli dalam persoalan
yang Anda hadapi. Ceritakan keinginanmu untuk merubah diri dan mintalah pendapatnya. Dan buatlah rencana untuk menjalin hubungan lebih erat kepada Allah
dan manusia.
Prinsip 4: Lihatlah Impian
“Barang siapa menjadikan akhirat sebagai impiannya,” pesan rasulullah Saw. dalam kesempatan lain, “Allah akan menjadikan kekayaan dan rasa cukup dalam
hatinya, mengumpulkan yang tercerai-berai darinya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barang siapa menjadikan dunia sebagai impiannya, maka
Allah akan menjadikan kefakiran di hadapannya, mencerai-beraikan urusannya dan dunia tidak datang kepadanya kecuali yang telah disempitkan kepadanya.”
“Hai Harits,” sapa nabi Muhammad Saw. kepada Harits bin Malik r.a., “gimana keadaanmu pagi ini?” Harits menjawab: “Pagi ini, saya dalam keadaan beriman,
ya rasulallah!” Rasulullah Saw. kembali bertanya: “Setiap perkataan itu ada hakikatnya. Nah, apa buktinya imanmu itu?” Dengan mantap Harits menanggapi:
“Diriku menjauhi dunia. Malamnya aku bergadang (qiyamullail), sedangkan siangnya, aku shaum. Dan aku seolah-olah telah melihat ‘Arsy Tuhanku dengan
begitu jelas. Aku juga, seakan-akan telah melihat para ahli surga yang saling datang berkunjung, sedangkan ahli neraka meliuk-liuk kelaparan!” Mendengar
curhat Harits bin Malik r.a, rasulullah Saw. baru yakin seraya bersabda: “Hai Harits, sekarang saya baru percaya. Maka, pertahankanlah!” Kemudian rasulullah
memberitahukan bahwa Harits telah sampai kepada yang menjadi tujuan hidupnya, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat ahli surga, maka coba
perhatikan Harits!” (HR. Thabrani)
“Mâliki yaumi ad-dîn” (Yang menguasai hari pembalasan). Ini adalah prinsip lebih dahsyat dari prinsip “Mulai dengan Akhir dalam Pikiran” —Merujuk Pada
Tujuan Akhir— milik Stephen R. Covey. Allah Swt. mengajak kita untuk membayangkan “yaumi ad-dîn” (hari pembalasan). Semakin jelas hari pembalasan itu
dalam hati dan pikiran kita, maka hidup kita akan semakin baik.
Dalam Al-Quran dan hadis, Allah dan rasul-Nya, menjelaskan semua kejadian pada hari pembalasan ini. Bagi yang mendapatkan buku catatan dengan tangan
kanan, berat timbangan kebaikannya banyak, bisa melewati “shirâth al-mustaqîm”, dan seterusnya, maka akan bertemu dengan Allah dalam surga. Sebaliknya,
bagi yang mendapatkan buku catatan dengan kanan kiri, timbangan kejelekannya berat, tidak bisa melewati “shirâth al-mustaqîm”, dan seterusnya, maka akan
bersama syetan dalam neraka. Perhitungan pada hari itu, semuanya adil, sebab Allah Maha Melihat, Mengetahui, dan Mendengar semua yang kita lakukan,
apalagi semua saksi akan dihadirkan, mulai dari malaikat, rasul, manusia, benda-benda, bahkan seluruh anggota tubuh kita.
Sedangkan Stephen R. Covey —dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People— mengajak kita membayangkan upacara pemakaman. Di sana ada
empat kelompok manusia yang akan memberikan sambutan; (1) keluarga dekat —anak, kakak, adik, sepupu, bibi, paman, keponakan, kakek, dan nenek; (2)
perwakilan teman; (3) dari tempat kerja; dan (4) dari gereja atau ormas. Lalu, ia suruh kita membayangkan, apa yang kita inginkan dalam sambutan keempat
perwakilan itu?
Setelah saya coba visualisasi pemakaman tersebut, yang saya rasakan adalah, pertama; membangun diri kita untuk riya’, sebab berpusat kepada manusia
(antroposentris); dan kedua; sambutan (penilaian) dari perwakilan empat komponen itu tidak pernah akan objektif, sebab mereka tidak setiap detik menyertai kita.
Jauh berbeda dengan cara Al-Quran dan hadis mengajak kita membayangkan hari akhirat, bahwa kaki, tangan, telinga, mata, kulit kita akan bicara jadi saksi atas
semua perbuatan kita di hadapan Allah Swt. (baca: QS. Yasin [36]: 65 atau Fushshilat [41]: 20-21). Visualisasi berpusat kepada Allah ini lebih menyentuh hati
dan menggerakan jiwa untuk berbuat baik.
Nah, jika kita mampu membayangkan semua kejadian di akhirat nanti, lalu mengapa kita tidak mampu membayangkan impian hidup kita beberapa tahun yang
akan datang? Ingat, salah satu ciri orang sukses adalah dapat melihat sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi. Seperti Harits bin Malik di atas.
Langkah praktis prinsip 4 ini adalah: Gunakan imajinasi (fikrah/imagination) untuk memvisualisasikan (menggambarkan dalam pikiran) saat di alam akhirat; alam
kubur; detik-detik menjelang kematian; dan beberapa tahun yang akan datang (5, 10, 35 tahun).
Saat memvisualisasikan akhirat, bertanyalah kepada dirimu: “Apakah saya termasuk orang bisa menatap wajah Allah atau tidak? Apakah saya ahli surga atau
neraka? Apakah saya selamat melintasi shirâth al-mustaqîm atau terjatuh? Apakah buku amalan saya hasil catatan malaikat Raqib dan Atid lebih banyak memuat
kisah iman dan amal shaleh atau kekafiran dan kemaksiatan? Apakah “rekaman perbuatan” saya yang dilakukan oleh Allah, diri sendiri, rasul-Nya, orang
beriman, manusia, dan benda-benda yang kita miliki banyak merekam kebaikan atau keburukan? Apakah tatkala matahari beberapa senti di atas kepala kita, kita
termasuk orang yang mendapat naungan cahaya dari Allah atau bukan? Apakah ketika air keringat meluap sebatas lutut; dada; hidung; bahkan sampai
menenggalamkan kepala, kita termasuk yang mendapat pertolongan Allah atau bukan? Ketika manusia berbondong-bondong meminta syafa’at kepada nabi,
apakah kita termasuk orang yang menerimanya atau justru ditolak nabi karena kita tidak pernah mengikuti cara hidupnya? Dan seterusnya.
Ketika memvisualisasikan diri dalam alam kubur: “Apakah saya bisa menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir? Apakah di alam kubur saya termasuk
orang yang mendapat nikmat atau tersiksa? Apakah amal perbuatan saya akan menjelma jadi penghibur atau penyiksa? Apakah kuburan saya termasuk
dilapangkan oleh Allah Swt. atau tidak? Apakah di alam kubur saya diperlihatkan keindahan surga atau justru kepedihan neraka? Dan seterusnya.
Tatkala memvisualisasikan detik-detik menjelang kematian: “Apa yang telah aku lakukan untuk diri sendiri, ibu-bapak, adik-kakak, pasangan hidup, anak, nenek-
kakek, bibi-paman, teman, dan seluruh manusia? Apakah menjelang kematian saya berada di tengah-tengah orang saya cintai atau bukan? Apakah ketika mati
saya dalam keadaan dekat dengan Allah atau tidak? Apakah saat nyawa dicabut, saya mengucapkan dua kalimat syahadat atau tidak? Ketika saya meninggal,
apakah saya meninggalkan anak sholeh yang memandikan, mengapani, menyolatkan, dan menguburkan saya atau tidak? Setelah saya meninggal, apakah saya
menjadi buah tutur yang baik atau bukan?
Sewaktu memvisualisasikan beberapa tahun yang akan datang, misalnya 25 tahun —bayangkan berdasarkan peran: “Sebagai hamba Allah: Apakah ketika itu
pemikiran, perasaan, dan tidakkan saya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak? Apakah saya termasuk orang istiqamah dengan tuntutan iman atau
tidak? Apakah ibadah saya ikhlas dan sesuai dengan contoh nabi? Apakah akhlak saya Islami atau bukan? Sebagai pribadi: “Apakah saya telah mengoptimalkan
potensi diri saya atau belum? Apakah saya berbahagia atau tidak? Apakah diri berkembang atau tidak? Sebagai anak: “Apakah saya termasuk berbakti atau tidak?
Apa yang telah saya berikan untuk kedua ortu saya? Apakah saya sering mendo’akan ortu atau tidak? Sebagai ortu: “Berapa anakkah yang saya miliki? Apakah
saya telah menjadi ortu yang baik atau bukan? Apa yang telah saya berikan terhadap anak saya? Sebagai pekerja: “Apakah saya memiliki pekerjaan tetap atau
tidak? Apa jenis pekerjanan saya? Di mana saya bekerja? Berapa gaji saya? Sebagai anggota masyarakat: “Apakah kontribusi saya terhadap masyarakat? Apakah
masyarakat menyukai saya atau tidak? Begitu seterusnya.
Prinsip 5: Temukan Potensi dan Peluang Diri
“Mukmin yang kuat,” sabda nabi Muhammad Saw., “lebih baik dan lebih Allah cintai dari pada mukmin yang lemah. Walaupun keduanya tetap memiliki
kebaikan —potensi. Seriuslah terhadap sesuatu yang bermanfa’at bagimu dan minta bantuan kepada Allah, serta jangan bersikap lemah. Jika ada sesuatu yang
menimpamu, jangan bilang: “Andaikan saya melakukan ini, pasti deh akan begini. Andaikan saya melakukan itu, pasti deh akan begitu!” tetapi katakan: “Inilah
taqdir Allah, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi!”, sebab kata “berandai-andai” —kalau begini, kalau begitu— akan membuka tindakan syetan.” (HR. Muslim)
Suatu hari, seorang pengemis datang kepada Nabi Muhammad Saw.. Ia minta sedekah, tapi tidak Nabi beri. Padahal kita tidak meragukan kedermawan Nabi.
Lantas, mengapa beliau tidak memberi pengemis itu sesuatu? Baik kita lanjutkan kisah ini.
“Apa yang Anda miliki?” tanya Nabi. Pengemis itu menjawab: “Saya hanya punyai selembar permadani dan sebuah nampan.” Beliau berkata lagi, “Bawa kedua
barang itu ke sini!” Lantas, Nabi menawarkan barang itu kepada para sahabatnya. “Siapa yang mau membeli barang ini?” tanya Nabi. Salah seorang sahabat
mengajukan harga, “Saya berani beli lima dirham!” Maka tanya beliau lagi, “Siapa yang berani membayar lebih?” Lalu, sahabat yang lain memberikan harga
lebih. Nabi pun mengedarkan pandang dan bertanya lagi, “Siapa yang berani membayar lebih?” Akhirnya, barang itu dilelang seharga 15 Dirham. Hasil lelang ini,
Nabi perintahkan, setengahnya untuk keperluan rumah tangga pengemis, separuhnya lagi untuk beli kampak, seraya berpesan, “Pergilah ke hutan dan carilah kayu
bakar, dan jangan perlihatkan dirimu selam tujuh hari sebelum kamu berhasil!”
Dari kisah itu, ada enam strategi Nabi dalam membantu orang supaya hidup mandiri, antara lain, (1). Mempelajari posisi dan mendudukan masalah sesuai dengan
porsinya; (2). Mengundang para sahabatnya dan menganjurkan untuk bergotong royong meringankan beban saudaranya dengan jalan membeli barangnya; (3)
menyisihkan separoh hasil lelang untuk keperluan keluarganya; (4) memerintahkan agar menginvestasikan sisa uang untuk membeli alat yang dapat digunakan
untuk mencari nafkah; (5) melalui cara investasi modal, produksi dapat digalakkan dan pembangunan dapat ditingkatkan. Semua ini adalah sarana yang tepat
untuk memecahkan problem ekonomi; (6). Mengawasi pelaksanaan anjuran atau perintah tersebut, apakah sudah berjalan sesuai dengan yang dimaksud.
Saya tidak akan membicarakan 6 hal itu. Tapi kita perhatikan pertanyaan beliau: “Apa yang Anda miliki?” Ini sebuah pertanyaan yang menuntut kita untuk hidup
mandiri (independensi) —dan ini inti dari manajemen diri— seperti yang dikatakan oleh Stephen R. Covey. Dan menurutku, kunci utama untuk melakukan
kemandirian itu adalah dengan menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Swt. semata; tidak kepada makhluk-Nya.
Sebab, bila kita masih menggantungkan diri kepada makhluk-Nya, kita tidak pernah mandiri, hingga pada tingkat tertentu rasa ketergantungan kita terhadap
makhluk-Nya —manusia—, maka diri kita akan terjatuh dalam perilaku menghambakan diri kepada selain-Nya. Bila sudah demikian, maka kemandirian itu
hilang, akhirnya berubah menjadi keterjajahan. Jiwa yang terjajah, tidak pernah akan mengalami perkembangan.
Maka ungkapan kita dalam surat Al-Fatihah ayat 5 —“Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în” (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan)— merupakan sebuah afirmasi (penguatan) terhadap diri agar kita hidup mandiri.
Pengakuan untuk menyembah dan minta tolong, sebuah isyarat bahwa betapa lemahnya kita di hadapan Allah Swt.. Semakin kita merasa lemah di hadapan-Nya,
rasa ketergantung terhadap-Nya juga akan semakin besar. Kita pun semakin banyak beribadah kepada-Nya. Ibadah itu akan mengembangkan seluruh potensi diri
kita. Buahnya adalah kekuatan diri. Saat itu pula, akan muncul rasa kuat di hadapan manusia. Dua perasaan itu bersatu dalam diri kita: satu sisi merasa lemah di
hadapan Allah, dan di sisi lain, merasa kuat di hadapan manusia. Inilah salah satu ciri manajemen diri Islami, yaitu kemampuan kita untuk menggabungkan dua
hal yang berbeda dalam diri kita secara bersamaan dan keduanya membuahkan kebaikan.
Manajemen diri itu kita arahkan untuk menjadi rahmatan lil âlamîn. Makna rahmatan lil ‘alamin adalah ketika kita mampu memberikan manfa’at kepada manusia
dan inilah manusia yang paling Allah cintai: “Sejatinya, seluruh makhluk adalah satu keluarga Allah. Orang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling
banyak memberikan manfa’at terhadap keluarga-Nya.” (HR. Abu Ya’la)
Maka bila makna surat Al-Fatihah ayat 5 kita hayati betul, maka akan muncul sifat tawadhu’ (QS. Al-Furqan [25]: 63). Orang tawadhu adalah orang yang melihat
dirinya secara objektif; apa adanya tanpa imbuhan. Mereka tidak menutupi kelebihan dan kekurangan dirinya. Orang yang suka menutupi kelebihannya, ini tanda
ia kurang percaya diri dan rendah diri, akhirnya mereka akan jadi manusia putus asa. Sebaliknya, orang yang suka menutupi kelebihannya, ini tanda ia terlalu
percaya diri, akhirnya ia akan sombong. Jadi, orang yang tawadhu adalah orang yang mensyukuri kelebihannya dengan cara memberikan apa yang ia miliki untuk
membantu orang lain dan orang tawadhu adalah orang yang bersabar atas kekurangan dirinya dengan cara belajar dari siapa saja yang memiliki apa yang ia
butuhkan.
Langkah praktis prinsip 5 ini adalah: Anda pernah mempelajari konsep problem solving SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Treatment)? Nah,
luangkan waktumu untuk mengajukan pertanyaan nabi itu kepada dirimu sendiri: “Apa yang kamu miliki?” Arahkan pertanyaan ini ke “dalam” dirimu.
Perhatikan, kelebihan (strength) dan kekurangan (weakness) yang kamu miliki. Lalu, arahkan pertanyaan nabi ke sesuatu “di luar” dirimu —keluarga, sekolah,
lingkungan, dst. Perhatikan, kesempatan (opportunity) dan rintangan (treatment). Sambil bertanya, ambillah pulpen dan kertas. Tulis empat kolom besar di kertas
itu. Pada bagian atas kolom itu, masukan empat kata itu. Tulislah jawabanmu dalam empat kolom sesuai dengan katagori: kekuatan, kekurangan, kesempatan, dan
peluang. Simpan hasilnya, nanti akan Anda butuhkan sebagai bahan melaksanakan langkah praktis prinsip selanjutnya.
Prinsip 6: Rumuskan Cara Meraih Impian
“Iman itu bukan sekedar angan-angan kosong, bukan buah bibir,” tutur nabi Muhammad Saw., “tapi tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan tindakan.” Hadis
yang diceritakan oleh Dailami ini, menegaskan kepada kita, sebuah impian harus ada tindakan nyata untuk meraihnya.
Iman itu keyakinan. Keyakinan akan bertemu dengan Allah, inilah impian, misalnya. Bila kita yakin akan bertemu dengan Allah di surga dan sudah tergambar di
benak kita di dunia ini, maka tercapai atau tidaknya, apa yang kita lihat lewat kekuatan majinasi ini, tergantung dengan usaha. Sekadar yakin tanpa tindakan,
itulah yang disebut nabi dengan angan-angan kosong atau khayalan. Sedangkan keyakinan disertai tindakan, inilah yang disebut C.R. Snyder —ahli psikologi dari
Universitas of Kansas— harapan. Menurutnya, harapan adalah “yakin bahwa kamu mempunyai kemauan maupun cara untuk mencapai sasaran kamu, apapun
sasaran kamu itu.”
Nah, sebagus dan sebesar apapun impian kita, bila kita tidak mampu menerjemahkannya dalam bentuk sasaran atau target, maka kecil kemungkinan akan
tercapai. Diantara kita, banyak yang memimpikan masuk surga, tapi dalam kehidupan sehari-hari tidak sungguh-sungguh menempuh jalan menuju surga. Atau,
mengimpikan jadi orang sukses, tapi cara menjadi orang sukses itu tidak kita lakoni.
Biasanya, manakala ada kesenjangan antara impian dengan tindakan, maka akan melahirkan tidak percaya diri, kemalasan, keputus-asaan, kehilangan arah hidup
(disorientasi), dan akhirnya, keterpecahan pribadi (split personality). Sebaliknya, sekecil apapun tindakan yang kita target dan itu dapat kita raih, akan
mendatangkan rasa percaya diri, semangat, harapan, hidup bermakna, dan integritas.
Dalam bertindak, kita memerlukan juknis (petunjuk teknis) atau juklak (petunjuk pelaksana). Petunjuk, dalam bahasa Al-Qurannya adalah “hidâyah”. Di sinilah
surat Al-Fatihah ayat 6: “Ihdinash shirâth al-mustaqîm” (Tunjukilah kami jalan yang lurus), menemukan maknanya. Ya, untuk meraih impian surga, kita butuh
petunjuk “jalan lurus” atau Islam.
Dalam Al-Quran, kata “shirath” (jalan) —murâdif (sinonim) dari kata “sabîl” (jalan)— selalu dalam bentuk mufrad (tunggal) dan selalu berkaitan dengan al-haqq
(kebenaran). Sedangkan jalan menuju al-bâthil (kesesatan) memakai kata jama’ (plural), yaitu kata “as-subul” (sebagai contoh, baca: QS. Al-An’am [6]: 153). Ini
menunjukan jalan kebenaran itu hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu sangat banyak dan tidak terhitung. Maka sangat keliru, orang yang
menyakini pluralisme agama: semua agama benar dan jalan menuju surga.
Islam diturunkan oleh Allah di muka bumi ini untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam menjalani hidup ini. Ajaran Islam begitu canggih dalam menjelaskan
cara untuk meraih impian surga. Pertama, Islam mengajarkan kita untuk membuat misi pribadi berupa dua kalimat syahadat. Lalu, disusul dengan sasaran target
—baik yang wajib maupun sunnah— yang berskala waktu seumur hidup (haji), tahunan (shaum dan zakat fitrah), bulanan (shaum ayyâm al-bidh: puasa 13, 14,
dan 15 bulan hijriyah), mingguan (sholat Jum’at; shaum Senin-Kamis), harian (sholat lima waktu), pagi dan sore, bahkan skala detik (dzikir).
Nah, bila kita mampu menjalankan ajaran Islam itu dengan baik, maka akan semakin bagus kita melaksanakan manajemen diri; kita lebih mudah lagi dalam
mengelola hidup dan merencanakan masa depan. Karena semua ajaran Islam mengajak kita untuk hidup disiplin. Misalnya, kemampuan kita untuk sholat lima
waktu tepat waktu dan di masjid, ini akan membangun berbagai karakter baik dalam diri kita, seperti hidup bersih, komitmen, integritas, disiplin, dan seterusnya.
Begitu juga dengan ajaran Islam lainnya, selalu mendidik kita untuk meraih kesuksesan pribadi dan publik seperti yang dikemukakan oleh Stephen R. Covey.
Langkah praktis prinsip 6 ini adalah: Gabungkan hasil langkah praktis prinsip 5 dan 6 dalam bentuk naskah hidup yang tertulis di atas kertas. Dari semua yang
telah Anda visualisasikan pada prinsip 5 simpulkan dalam satu kalimat yang pendek, jelas, dan menggugah. Inilah yang disebut visi. Selanjutnya, terjemahkan visi
ini dalam tujuan hidupmu secara global, atau sering kita sebut dengan misi. Ya, Anda buat pernyataan misi pribadi. Lalu, terjemahkan visi dan misi itu dalam
bentuk target hidup, baik secara pribadi maupun sosial. Dari sana, buatlah blue print hidup yang menggambarkan keinginanmu dalam kurun waktu tertentu.
Prinsip 7: Belajarlah dari Pengalaman
“Bukanlah orang cerdas kecuali pernah tergelincir, bukan pula orang yang bijak kecuali berpengalaman” pesan nabi Muhammad Saw. kepada kita lewat Imam
Tirmidzi. Ini sebuah isyarat bahwa nabi sepakat dengan metode belajar trial and error —berani mencoba meskipun nanti bisa jadi salah— dalam menjalani hidup
ini.
Lebih lengkap lagi, kita dengarkan cerita Thalhah bin Abdullah. “Aku bersama rasulullah Saw.,” ujar Thalhah mulai bercerita, “melewati sekelompok orang yang
berada dipucuk pohon-pohon kurma. Rasulullah Saw. bertanya, “Apa yang sedang mereka perbuat?” Jawab para sahabat, “Mereka sedang mengawinkan pohon
kurma. Mereka masukkan yang jantan ke dalam betina agar berbuah.” Lalu nabi bersabda, “Aku rasa, hal itu tidak akan berhasil.” Thalhah berkata, “Lalu mereka
diberitahu tentang hal itu dan mereka akhirnya meninggalkannya.” Kemudian rasulullah Saw. diberitahu tentang hal itu dan beliau bersabda: “Jika hal itu
bermanfa’at bagi mereka, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya aku hanya memperkirakan saja. Maka jangan kalian menyiksaku dengan sebuah dugaan. Akan
tetapi jika aku menginformasikan sesuatu dari Allah, maka ambillah. Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah berdusta tentang urusan dunia kalian”. Dan
dalam riyawat Imam Muslim, setelah itu nabi bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian!”
Jadi, kita boleh mencoba sesuatu, meskipun kita tidak tahu, apakah itu akan berhasil atau gagal. Karena gagal setelah mencoba, jauh lebih baik daripada gagal
untuk mencoba. Karena dari kegagalan itu kita akan memiliki pengalaman. Konon, ketika Thomas Alfa Edison 1000 kali gagal dalam percobaannya, ia berkata:
“Saya tidak gagal, tapi saya telah menemukan 1000 cara yang salah!”
Dari prinsip 1 sampai 6 lebih terfokus pada diri sendiri. Sekarang keluarlah, lihat apa yang terjadi pada orang lain. Dalam ayat terakhir surat Al-Fatihah, kita
membaca: “Shirâthalladzîna an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhûbi ‘alaihim wa ladhdhâllîn” (yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat).
Nah, dalam ayat 7 surat Al-Fatihah ini, Allah menceritakan tentang jalan orang mendapatkan ni’mat Allah, yaitu jalan para nabi, ash-shiddiqîn, asy-syuhadâ, dan
ash-shâlihîn (baca: (QS. Ani-Nisa [4]: 69). Inilah jalan keimanan. Lalu, Allah menceritakan jalan orang yang mendapat murka Allah Swt. dan tersesat.
Berdasarkan keterangan Ibnu Katsir, rasulullah Saw. menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-maghdûbi” (yang dimurkai Allah) adalah orang Yahudi,
sebab mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengamalkannya. Dan “adhadhâllîn” (Yang Tersesat) adalah orang Nashrani (Kristen) karena mengamalkan
sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya. Jadi, jalan kebenaran; Islam hanya satu, begitu juga jalan iman itu tunggal, sedangkan jalan kafir itu sangat banyak.
Untuk kesuksesan akhirat, kita harus mempelajari mana jalan keimanan yang akan membawa kita menuju surga, sebaliknya mana jalan kekafiran yang akan
menjerumuskan kita ke jurang neraka. Kita harus menempuh jalan keimanan dan menjauhi jalan kekafiran. Dalam hal keimanan, mau tidak mau kita harus belajar
dari pengalaman orang yang beriman. Karena, Allah telah berlepas tangan dari orang kafir dan memberikan “ar-rahim”-Nya hanya kepada orang beriman saja.
Adapun untuk kesuksesan duniawi, kita mempelajari pengalaman siapa saja —terutama untuk diri sendiri, meskipun dari orang kafir. Karena sifat “ar-rahmân”
Allah Swt., tidak membedakan antara orang beriman dan orang kafir, orang beriman tapi malas akan bodoh; orang kafir rajin belajar akan cerdas. Orang beriman
menanam cabe, tidak akan manis. Orang kafir menanam cabe, tidak akan pahit. Rasanya akan sama, yaitu pedes. Di sini, hukum kausalitas tetap berlaku. Bila
orang kafir banyak mencoba, setelah sekian kali gagal, maka mereka akan menemukan cara sukses. Nah, cara sukses yang ditemukan oleh orang kafir ini adalah
hikmah yang hilang dari orang yang beriman. Maka Imam Tirmidzi meriwayatkan sabda nabi: “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman.
Dimana saja ia menemukannya, maka ambillah.”
Langkah praktis prinsip 7 ini adalah: (1). Pelajari setiap pengalaman pribadi, baik itu kesuksesan maupun kegagalan. Lakukan dengan pola pengalaman
berstruktur (structured experiences) —dengan daur (perputaran)— lima hal ini: melakukan—mengungkapkan—mengolah/menganalisa—menyimpulkan—
menerapkan kembali/eksprimen. Gunakan “Jurnal pribadi” atau “Diary” (Catatan Harian) untuk mencatat seluruh pengalaman itu; (2). Pelajari pengalaman hidup
orang yang sukses dan orang gagal, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi! Sebelum mempelajari yang lain, yang pertama dan utama adalah pelajari tarîkh
Nabi Muhammad Saw. Sebab, beliau adalah profil orang yang sukses melaksanakan ajaran Al-Quran termasuk tentang kecerdasan. Beliau orang yang sukses di
dunia dan di akhirat. Setelah Anda benar-benar memahami seluruh kehidupan nabi Muhammad Saw. baru pelajari kisah-kisah yang ada dalam Al-Quran, baik itu
kisah para nabi dan rasul maupun kisah para musuh Allah Swt. Setelah itu, pelajari para tokoh-tokoh dunia baik zaman dulu maupun zaman kini. Buatlah sinopsis
biografi tokoh yang sedang Anda pelajari, misal umur sekian ia lahir; umur sekian meraih prestasi ini; dan seterusnya. Pelajari sebab-sebab kesuksesan dan
kegagalan mereka, baik itu berhubungan dengan diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat, negara, maupun situasi zaman.
Itulah 7 prinsip melejitkan manajemen diri yang saya tawarkan. Sengaja, dalam menguraikan prinsip itu, saya lebih banyak mengutip hadis. Bagi saya “role
model” —contoh, panutan, atau idola— dalam melaksanakan manajemen diri yang paling berhasil adalah Nabi Muhammad Saw.. Wallahu a’lâmu bish shawâb.
Manajemen Waktu
Baik, masih ada satu lagi hal penting untuk kita diskusikan di sini, yaitu Manajemen Waktu. Sebab, hubungan antara keduanya sangat erat, terutama dengan
prinsip keenam —Rumuskan Cara Meraih Impian. Dalam buku “First Think First” (Dahulukan Yang Utama), Stephen R. Covey menjelaskan dengan sangat
menarik tentang “tiga generasi manajemen waktu”.
Menurutnya, generasi pertama, adalah generasi berdasarkan reminder (sarana yang akan mengingatkan kita bagaimana kita harus memanfa’atkan waktu kita).
Generasi ini menganjurkan kita untuk “Ikut Arus”, tetapi sambil berusaha memperhatikan hal-hal yang harus kita beri waktu untuk kita kerjakan —membaca
muqarar, menghadiri acara atau rapat, mencuci, membersihkan rumah. Generasi ini ditandai dengan catatan-catatan singkat atau checklist (daftar kegiatan). Daftar
ini kita bawa kemana-mana agar kita tidak lupa. Di malam hari kita coret daftar kegiatan yang telah kita lakukan, dan menuliskannya kembali keesok harinya
yang belum kita capai.
Generasi kedua, adalah manajemen waktu yang berdasarkan diri pada “perencanaan dan persiapan”. Ini ditandai dengan penanggalan dan buku agenda atau
catatan mengenai janji pertemuan atau kegiatan yang akan kita lakukan. Generasi ini adalah generasi efisiensi, tanggungjawab pribadi, pencapaian dalam
kerangka tujuan yang telah ditetapkan, merencanakan ke depan, dan penjadwalan kegiatan-kegiatan maupun peristiwa-peristiwa yang akan datang. Kita buat janji,
menuliskan komitmen kita, menentukan deadline, dan mencatat seluruh kegiatan kita, baik itu dalam buku, maupun komputer atau network.
Dan, generasi ketiga, adalah generasi “perencanaan, pemrioritas, dan kontrol atau pengendalian”. Waktu kita banyak kita manfa’atkan untuk memperjelas nilai-
nilai dan prioritas-prioritas kita, dengan pertanyaan ini: “Apa yang kumaui?” Kita membuat master plans —tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek, untuk
meraih nilai-nilai tersebut. Kita memberikan prioritas pada kegiatan kita secara harian. Generasi ini ditandai dengan bervariasi sarana perencanaan dan
pengorganisasian —baik elektronik maupun kertas— dengan formulir terperinci bagi perencanaan harian.
Nah, menurut saya, baik pengalaman menjadi peserta pelatihan manajemen waktu dan melaksanakannya maupun “pengamat” terhadap manajemen waktu yang
digunakan Masisir, ternyata berputar pada tiga generasi tersebut. Dalam batasan tertentu, tiga generasi itu memang meningkatkan efektivitas dalam hidup kita —
misalnya, efisiensi, perencanaan, skala prioritas, memperjelas nilai dan penetapan tujuan— namun, pada dasarnya masih bercokol kesenjangan antara “apa yang
sungguh sangat penting” bagi kita dan “cara kita memanfa’atkan waktu” Lebih parahnya lagi, kesenjangan antara “hasil” dengan “apa yang kita rasakan”.
Maka tidak sedikit, Masisir yang “cepat” menamatkan studi sebagai salah satu buah manajemen waktu, namun ketika gelar Lc. telah mereka raih justru muncul
“rasa cemas” tidak siap menghadapi masyarakat, “rasa tertekan” karena mendapat predikat sarjana tapi “merasa” —bahkan memang kenyataan— ilmu sangat
minim, “bingung” untuk kemana, dan seterusnya.
Bagaimana solusinya? Perlu generasi keempat —generasi yang merengkah semua kekuatan tiga generasi itu, sekaligus menyingkirkan kelemahan-kelemahan—
adalah jawabannya. Dengan kata lain, kita beranjak dari manajemen waktu menuju kepemimpinan hidup (life leadership). Generasi ini didasarkan pada paradigma
“ke-pentingan-an” —dahulukan yang utama. Berkaitan dengan paradigma ini, maka cara kita memanfa’atkan waktu berada dalam salah satu dari keempat cara —
empat kuadran— berikut ini:
Kwadran I mewakili hal-hal yang “mendesak” (urgent) dan “penting” (importance). Dalam kwadran ini, kita menangani tuan rumah menagih sewa rumah dengan
marah-marah, mengejar deadline makalah atau tulisan, kuliah istitsna-i, memperbaiki kompor rusak, atau krisis-krisis yang lain. Di sinilah kita mengatur,
memproduksi, memanfa’atkan pengalaman dan kemampuan penilaian kita untuk menjawab berbagai kebutuhan dan tantangan. Kalau kita mengabaikannya, kita
akan terkubur hidup-hidup. Tetapi, kita perlu menyadari bahwa banyak kegiatan penting menjadi “mendesak” karena “penundaan” atau karena kita tidak cukup
melakukan “antisipasi” —penanggulangan— dan perencanaan.
Kaudran II mencakup kegiatan yang “penting tetapi tidak mendesak”. Ini kwadran kualitas. Di sinilah kita melakukan perancanaan jangka panjang,
mengantisipasi dan menanggulangi masalah-masalah, memberikan kekuasaan atau wewenang (mendelegasikan) kepada orang lain, memperluas cakrawala pikir
kita, dan meningkatkan keahlian kita melalui bacaan dan pengembangan “karir” terus-menerus, merancang bagaimana kita hendak membantu teman kita dalam
kesulitan, mempersiapkan diri untuk rapat atau presentasi penting, dan menjalin hubungan dengan cara mendengarkan orang lain secara jujur dan penuh
perhatian. Intinya, meningkatkan kemampuan kita untuk berbuat.
Pengabaian kwadran itu akan memperluas dan menambah hal-hal pada kwadran I, sehingga menciptakan stress, “kabakaran jenggot”, dan menciptakan krisis
yang lebih mendalam bagi orang yang terkuras tenaga dan perhatiannya di sana. Perencanaan, persiaan, dan upaya penanggulangan menghindarkan banyak hal
sehingga tidak menjadi sesuatu yang mendesak. Kwadran II tidak menguasai kita; kitalah yang menguasainya. Inilah kwadran Kepemimpinan Pribadi.
Kwadran III hampir meruapakan bayang-bayang dari kwadran I, dan mencakup “hal-hal yang mendesak, tetapi tidak penting”. Ini merupakan kwadran tipuan.
Bunyi “mendesak” itu menciptakan ilusi seakan-akan itu penting. Tetapi kenyataannya, kalau pun itu penting, hanya penting bagi orang lain. Menerima telpon,
rapat, dan kunjungan masuk dalam katagori ini. Kita memenuhi prioritas dan harapan orang lain, dan itu mengira bahwa sungguh di Kwadran I.
Kwadran IV dikhususkan bagi kegiatan-kegiatan yang “tidak mendesak” dan “tidak penting”. Ini Kwadran Pemborosan. Memang, kita sesungguhnya sama sekali
tidak perlu berada di situ. Tetapi kita tidak begitu babak belur karena terus terjerembab dalam Kwadran I dan III, sehingga sering “melarikan diri” ke Kwadran IV
untuk bertahan hidup. Hal-hal macam apakah yang terdapat dalam Kwadran IV ini? Hal-hal yang di situ tidak harus merupakan hal yang bersifat rekreatif, karena
rekreasi dalam arti yang sesungguhnya dari re-kreasi —dari bahasa Latin: re-cratio (harfiah: penciptaan kembali)— merupakan kegiatan Kwdran II yang amat
berharga. Tetapi membaca serilal Kho Ping Ho yang membuat kita semacam “kecanduan”, kebiasaan nonton film, atau ngobrol semalam suntuk dan tidur
seharian, pantas disebut “pemborosan waktu”. Kwadran IV ini bukan merupakan sarana pertahanan hidup yang sesungguhnya. Sebaliknya, kwadran ini adalah
pembusukan. Dari sinilah saya memunculkan istilah “pembusukan karakter” Masisir.
Ikhtitâm
Sebagai pamungkas, pertama, saya ingin menegaskan kembali bahwa manajemen diri adalah sebuah keniscayaan bagi kita yang ingin merubah diri sendiri dan
merubah Masisir ke arah lebih baik. Sebagai insan akademis muslim, sudah seharusnya kita tidak “melahap” atau “membeo” begitu saja konsep manajemen diri
yang berkembang —terutama dari Barat—, akan tetapi bagaimana kita “menyinari” manajemen diri yang ada dengan “cahaya” Islam. Dengan kata lain,
manajamen diri yang saya maksud tak lain adalah sebuah upaya membangun karakter Islami dalam diri kita dengan mengambil hal-hal yang baik dari manajemen
diri kontemporer.
Kedua, “pembusukan karakter” ini adalah persoalan kita bersama (we-ness) , bukan masalah orang lain (the other). Oleh sebab itu, butuh kerja kolektif (‘amal
jama’i) untuk menyelesaikannya, agar Masisir menjadi creative minority —saya sedikit agak berbeda dengan Toynbee dalam mendefinsikan kata ini, menurut
saya creative minority adalah “thaifatun liyatafaqquhû fiddîn” (Qs.at-Taubah[9]:122) meskipun jumlah mereka sedikit (Qs.al-Baqarah[2]:249) tapi mereka adalah
pribadi-pribadi yang terbaik untuk memperbaiki manusia. (Qs.Ali Imran[3]:110)— yang akan membangun masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Bila
tidak, maka tunggulah, akan tercipta para “Generasi Buih”. Orang menyangka “air” (berilmu), ternyata hanya “buih” (tidak berilmu, sehingga mudah terbawa arus
dan tidak memiliki manfa’at atau menjadi sampah masyarakat). Jadi, sudah saatnya, kita “mendesain” dinamika Masisir sebagai proses merubah logam menjadi
sesuatu yang berharga dan istimewa. Wallâhu a’lâmu bish shawâb.
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,maka arus itu membawa buih yang mengembang.Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi.Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS. Ar-Ra’ad [13]:17)

You might also like