You are on page 1of 6

SILATURAHIM

Menyambung Tali yang Putus


oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab

dari buku Lentera Hati


Setiap kali menjelang Idul Fitri, arus mudik demikian besar. Banyak penduduk kota yang
kembali ke kampung halaman, bersilaturahim sambil berlibur, bernostalgia, bahkan mungkin
juga – sebagaimana disinyalir oleh beberapa pengamat – memamerkan sukses yang telah diraih
di kota.ide mudik sendiri, selama dikaitkan dengan silaturahim, merupakan ajaran yang
dianjurkan oleh agama.hal ini dapat dilihat dari akar kata dan pengertian silaturahim.
Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berakar
dari kata yang berarti “menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus
dan yang berseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti
“kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena
anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Tidak jaranghubungan dantara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang
– bahkan terputus – akibat berbagai faktor. Dan dengan mudik yang bermotifkan silaturahim ini
akan terjalin lagi hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta
terhimpun apa yang tersentak. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat silaturahim. Nabi
saw. Bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau
pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus”
(Hadis Riwayat Bukhari).
Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang mudik dan juga oleh
mereka yang tetap tinggal di kota bila ia berusaha mengingat-ingat siapa yang hatinya pernah
terluka oleh ulahnya atau yang selama ini jarang dikunjungi akibat kesibukannya. Mudik dan
kunjungan seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang putus,
menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.
Sungguh baik jika ketika mudik, atau berkunjung, kita membawa sesuatu – walaupun kecil –
karena itulah salah satu bukti yang paling konkret dari rahmat dan kasih sayang. Dari sinilah kata
shilat diartikan pula sebagai “pemberian”. Dan tidak ada salah seorang yang mudik
menampakkan sukses yang diraih selama ini asalkan tidak mengandung unsur pamer, berbangga-
bangga, dan pemborosan. Lebih-lebih jika yang demikian itu akan mengantar kepada
kecemburuan sosial. Menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat
Allah, sebagaimana sabda Rasul saw.: “Allah senang melihat hasil nikmatnya (ditampakkan)
oleh hamba-Nya.”
Adapun nikmat Tuhanmu maka ucapkan (sampaikanlah) (QS 93:11). Sebagian mufasir
memahami ayat ini sebagai perintah untuk menyampaikan kepada orang lain dalam bentuk
ucapan atau sikap betapa besar nikmat Allah yang telah diraihnya. Mudik berlebaran adalah hari
gembira yang berganda: gembira karena lebaran dan gembira karena pertemuan. Di sini setiap
yang mudik hendaknya merenungkan pesan Ilahi: Jangan bergembira meampaui batas terhadap
apa yang dianugerahkan (Tuhan) kepadamu, (kegembiraan yang mengantar kepada keangkuhan
dan lupa diri). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membangakan diri (QS 57:23).
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari silaturahim yang telah kita lakukan.[]
—–
Arief Hikmah Mengucapkan Mohon Maaf Lahir Batin
MAKNA HALAL BI HALAL
Posted by admin on October 7th, 2008
Oleh Prof. Dr. Quraish Shihab
Buku Lentera Hati
Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu
dari istilah-istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut
seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenaranya dalam segi bahasa,
walaupun semua pihak menyadari tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.
Hemat saya paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah
tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum
Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.
Menurut pandangan pertama – dari segi hukum – kata halal biasanya dihadapkan dengan kata
haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan
mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang
diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian halal bihalal adalah menjadikan sikap
kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan
mohon maaf.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan
keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang makruh atau yang
tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, misalnya)
merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. Atas dasar itu, ada baiknya makna halal
bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.
Menurut pandangan kedua – dari segi bahasa – akar kata halal yang kemudian membentuk
berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan
rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut,
antara lain, berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”,
dan “mencairkan yang beku”.
Jika demikian, ber-halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan para
pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku
sehingga cair kembali, melepaskan ikata yang membelenggi, serta menyelesaikan kesulitan dan
problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang
dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda
lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang Anda ambil namun
menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungandari kesalahpahaman akibat ucapan dan
lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum,
namun perlu diselesaikan secara baik; yang berku dihangantkan, yang kusut diluruskan, dan yang
mengikat dilepaskan.
Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan Anda gunakan,
katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehungga semakin banyak dan seringnya
Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang Anda obati
dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap
hakikat halal bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat
ajaran Islam.[]
MINAL AIDIN WAL FAIZIN
Posted by admin on October 7th, 2008
oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab
dari buku Lentera Hati
“Minal ‘aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak keluarga
dan handai tolan pada Idul Fitri. Apakah yang dimaksud dengan ucapan ini? Sayang, kita tidak
dapat merujuk kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata ‘aidin,
karena bentuk kata tersebut tidak bisa kita temukan di sana. Namun dari segi bahasa, minal
‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali.” Kembali di sini adalah
kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap
Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dn menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci
sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini
semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah,
yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.
Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”. Apakah
“keberuntungan” yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29
kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa
Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan
ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang
bersifat material (baca QS 4:73)
Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang
menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali QS 4:73) mengandung makna
“pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal
faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang
memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan
surga-Nya.
Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam surah
An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abubakar r.a. dengan
salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus istri
Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan
tidak memberi bantuan apapun kepadanya.
Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka meaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS 24:22).
Marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal ‘aidin
wal faizin. semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita semoga kita bersama
memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.[]
Arief Hikmah mengucapkan Minal Aidin wal Faizin
Sejarah Asal Mula Halal Bihalal
Filosofi Idul Fitri
ketupatTanbihun.com – Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan
bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para
ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan
masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan
penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut,
kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan
Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi
berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang
secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat
Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa
berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran
Surat Ali Imran ayat 134).
Budaya sungkem
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan
yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan
perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua,
sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari
bahasa Arab “ghafura”.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk
meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau
diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung
mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih
bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?
Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan
yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara
kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai),
dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan
perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
Sejarah halal bihalal
Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan
Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I,
yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para
punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan
tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi
Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga
mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk
agama.
Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga
masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat
menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan.
Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga
masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada
akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan
kepentingan.
Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri
dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri
menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah
SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai
dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang
melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam
diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab,
pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam
diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri
manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat
Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi
tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan
representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat
fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum
pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu
bergembira ria merayakan Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai
menangis, karena tidak ada yang dimakan.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-
orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf
(kelompok), di antaranya adalah kaum fakir miskin.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode
pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang
suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial
yang harmonis. hf/www.wawasandigital.com

You might also like