You are on page 1of 32

Ibnu Kholdun dilahirkan pada abad ke 14, tepatnya pada bulan Ramadhan tahun

732 hijriyah atau yang bertepatan dengan tahun 1332 masehi di sebuah lorong kota
madinah di tunisis. Lorong Tourbet el Bey yang oleh pemerintah Tunisia diabadikan
dalam sebuah mata uang. Di lorong tersebut Abdurrohman bin Muhammad bin
Kholdun yang terkenal dengan sebutan Ibnu Kholdun menkmati masa kecilnya.
Nama Kholdun di ambil dari nama kakenya yang bernama Kholid, namun dalam
logat Andalusia disebut sebagai Kholdun, karena mereka menambahkan 'un' pada
akhir katanya.
 
Keluarga Ibnu Kholdun berasal dari yaman. Mereka kemudian pindah dari yaman ke
Andalusia atau yang disebut sekarang dengan nama panyol. Ketika fase kejayaan
Andalusia sedang mengalami keruntuhan, mereka berhijrah kembali dari Andalusia
ke Tunisia. Ketika itulah Ibnu Kholdun dilahirkan.
 
Keluarga Ibnu khodun berasal dari keluarga bangsawan. Kakek Ibnu khodun
memiliki kedudukan di kerajaan, yaitu sebagai pengurus keuangan pemerintahan Al-
Hafsyi pada waktu itu.
 
Ibnu Kholdun di besarkan dalam keluarga bangsawan, akan tetapi kemewahannya
tidak mempengaruhi pembinaan orang tua Ibnu Kholdun terhadapnya. Ayah Ibnu
Kholdun tidak bergerak dalam bidang politik, akan tetapi dia lebih mengutamakan
dalam bidang pendidikan, terutama dalam pendidikan agama di masjid Zaitunah
yang terlatak di pusat kota madinah berdampingan dengan rumah Ibnu Kholdun.
Masjid tersebut merupakan pusat pembinaan masyarakat Tunisia pada waktu itu
sebelum berdirinya Universitas Al-Azhar di mesir.
 
Ibnu Kholdun mendapatkan pendidikan awalnya di Al-Azhar, seperti ilmu
Ushuluddin, Syariah dan Mantik. Ibnu Kholdun juga adalah seorang Qori yang
disegani.
 
Lebih istimewa lagi Ibnu Kholdun mendapatkan pandidikan dan Pengasuhan
langsung dari Ayahnya sendiri. Ayah Ibnu Kholdun mengadakan majlis ilmu yang di
hadiri oleh ilmuwan dari Andalusia dan Afrika Utara. Majlis tersebut diantaranya
mengajarkan ilmu Mantik, Filosofi, Matematika, Astronomi dan Sains.
 
Ibnu Kholdun juga menguasai ilmu kaligrafi pada masa remajanya. Kemahirannya
menulis dengan baik membuatnya berani menuliskan beberapa surat kepada
beberapa orang raja. Dari sana, mulailah episode kehidupan politiknya sebagai
sosok yang dihargai maupun dibenci. Pengalamannya mengabdi kepada penguasa
Afrika Utara dan Andalusia, mengajarkannya arti kehidupan di penjara dan menjalani
hidup sebagai orang buangan karena tuduhan maupun cemburu.
 
Pada usianya yang ke 36, Ibnu kholdu mulai menlis tentang fenomena sosial yang
tertuang dalam kitabnya, Muqoddimah Ibnu Kholdun.
 
Muqoddimah Ibnu Kholdun merupakan salah satu karya Ibnu Kholdun yang sangat
spektakuler, Ibnu Kholdun juga adalah seorang perintis ilmu sosiologi modern. Ahli
sejarah inggris abad ke 20, Arnold J. Toynbee menggangap Muqoddimah Ibnu
Kholdun sebagai karya yang agung yang tiada bandingnya dalam peradaban
manusia.
 
Ibnu Kholdun merupakan salah seorang pencetus pemikiran baru yang menyatakan
bahwa system social manusia berubah mengikuti pengaruh sekitarnya. Pengeruh-
pengaruh tersebut adalah Kemampuan mansia berfikir, keadaan muka bumi dimana
mereka tinggal, pengaruh iklim atau cuaca, jenis makanan yang mereka makan,
emosi dan jiwa mereka itu sendiri.
 
Dia juga berpendapat bahwa institusi masyarakat berkembang menurut tahapan-
tahapan sebagai berikut: di mulai dengan tahap primitif, kemudian tahap pemilikan,
diikuti setelahnya tahap beradab dan kemakmuran dan yang terakhir adalah tahap
kelemahan, kerusakan akhlak dan kemundran
 
Pendapat Ibnu Kholdun tersebut sangat dikagumu oleh seorang doktor sejarah
keturunan yahudi, Bernard Lewis. Dia berpendapat bahwa Ibnu Kholdun merupakan
sejarawan arab yang sangat agung, bahkan Ibnu Kholdun adalah sejarahwan yang
paling hebat di zaman pertengahan.
 
Wacana dan pemikiran Ibnu Kholdun diaplikasikan oleh masyarakat moderen yang
mampu mengimbangi pembangunan secara fisik dan spiritual. Sebagai contoh
Negara Malaysia yang sedang menuju ke tahap negara maju
 
Salah seorang cendikiawan Malaysia, doktor Usman Al-Muhammady, yang
dinobatkan sebagai tokoh Maal Hijrah Negara, maninjau kiprah Ibnu khldun secara
Universal. Dia pernah berbagi pandangan dengan tokoh Internasianal, seperti
mendiang Pope John Paul 2. Dia merujuk kembali kunjungan Ibnu Kholdun ke
Sevilla di Spanyol ketika beliau bertemu dengan Don Pedro, seorang Rahib dan raja
pada abad ke 14.
 
Sementara di Tunisia, Negara kelahran ilmuwa agung tersebut, menjadi pusat
Ilmuwan internaisonal maupun Ilmuwan setempat yang terkesan dengan pemikiran
Ibnu Kholdun. Perpustakaan Negara Tunisia yang mengumpulkan semua hasil karya
Ibnu Kholdun dalam berbagai macam bahasa, menjadi salah satu tempat kajian para
ilmuwan tersebut. Diantaranya adalah Prof. Dr. Kholid Romadhoni, seorang sarjana
dari Tunisia yang mampertahankan status Ibnu Kholdun sebagai peletak ilmu
sosiologi moderen.
 
Dia berpendapat bahwa buku Muqoddimah Ibnu Kholdun bemberikan sejumlah
pemikiran, dan melihat fenomena dalam masyarakat dengan lebih dekat.
SelanjutnyaIbnu Kholdun menggambarkan fenomena tersebut sebagai benda hidup.
Seperti manusia, dimulai dari masa kanak-kanak, kemudian menjadi dewasa  dan
selanjutnya menjadi tua. Penafsiran terhadap peringkat itulah yang mendukung ilmu
sosiologi. Dan Ibnu Kholdun merupakan Peletak ilmu tersebut.
 
Seorang ilmuwan berkebangsaan Perancis Abad ke 19, Auguste Comte, yang
memunculkan istilah Sosiology. Auguste berharap untuk menyatukan kajian
mengenai manusia termasuk sejarah, psikologi dan ekonomi.
 
Pada hakikatnya pemikiran Auguste telah dijelaskan oleh Ibnu Kholdun dalam
kitabnya 'Muqoddimah Ibnu Kholdun' mendahului 500 tahun sebelum ilmuwan Eropa
tersebut mengemukakannya. Kitab tersebut menyentuk beberapa aspek seperti
pembinaan manusia, Penataan kota, ekonomi, etos kerja, pemeliharaan peradaban.
 
Ibnu Kholdun dan Auguste Comte memiliki karakter yang berbeda. Auguste pernah
masuk rumah sakit jiwa akibt gangguan mental. Sedangkan Ibnu Kholdun pernah
dipenjara akibat tuduhan dan rasa cemburu pesaingnya. Auguste gagal dalam
pernikahannya karena terkenal dengan sikap pongah, arogan dan temperamental.
Sementara Ibnu Kholdun berpisah dengan istri dan anak-anaknya karena tragedi
kecelakaan kapal di laut Mediterrania yang merenggut nyawa mereka. Auguste
menikah untuk yang kedua kalinya, namuan pernikahannya itu menyebabkannya
mengeku sebagai nabi agama baru, agama kemanusiaan. Sedangkan Ibnu Kholdun
meneruskan kehidupan ilmiahnya sebagai guru besar di mesir hingga
menghembuskan nafas terakhirnya  di Cairo.

ad dan Terorisme
by Atthullab on 05:16 AM, 01-Sep-09

Jihad dan Terorisme

Di berbagai media massa marak diberitakan serangan teroris. Umumnya mereka berasal dari
kelompok Islam. Mereka selalu mengaku membela Islam dan melakukan jihad. Apakah
sebenarnya pengertian jihad itu?

Kata jihad dalam al-Qur'an diulang sekitar tujuh puluh kali. Kata jihad berasal dari juhdu atau
jahdu. Juhdu berarti mengeluarkan segala kemampuan, dan kekuatan dan jahdu berarti
kesungguhan dalam bekerja. Menurut Imam Raqib al-Isfahani (ahli bahasa al-Qur'an), kata
jihad didalam al-Qur'an mempunyai tiga arti, yaitu, berjuang melawan musuh yang nyata,
berjuang melawan syetan, dan berjuang melawan nafsu.
Dalam terminologi (istilah) fiqh, menurut ulama madzhab Hanafi, jihad adalah "dakwah
(ajakan) kepada agama Islam dan perang melawan orang yang tidak menerima dakwah itu,
baik dengan harta maupun jiwa". Ulama fiqh selain madzhab Hanafi memberi pengertian
yang hampir sama. Ulama madzhab Syafi'i misalnya, mengartikan jihad dengan "perang
melawan orang kafir untuk kemenangan Islam". Maka jihad dapat dilakukan dengan belajar
dan mengajar hukum-hukum Islam serta menyebarkannya, amar ma'ruf-nahi munkar, atau
dengan harta, dan ikut serta dalam medan pertempuran jika penguasa menyerukan perang.
Imam Badruddin az-Zarkasyi berpendapat, kewajiban jihad adalah kewajiban wasilah (untuk
mencapai tujuan) bukan tujuan. Karena yang akan dicapai dalam berjihad adalah hidayah
(petunjuk agama Islam) -sedangkan membunuh orang-orang kafir bukanlah tujuan-, oleh
karenanya jika tujuan itu dapat dicapai dengan menegakkan dalil (berdiplomasi, menyerukan
kebenaran) maka (jalur itu) akan lebih utama.
Jihad diwajibkan kepada kaum Muslimin secara kolektif (fardlu kifayah), artinya diwajibkan
kepada semua orang yang dapat berperang, tetapi apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian
umat Islam dan musuh dapat dihalau atau kemenangan dapat dicapai, atau terjadi perjanjian
damai antara orang-orang kafir dengan orang-orang Islam, kewajiban itu gugur bagi kaum
Muslim yang lain. Kewajiban jihad berlaku kepada Muslim yang mukallaf (aqil baligh), laki-
laki, merdeka (bukan hamba sahaya), mampu dan mempunyai persenjataan untuk perang.
Adapun fenomena bom bunuh diri yang akhir-akhir ini juga marak, sama sekali bukan bagian
dari ajaran Islam. Allah berfirman:
َ ‫وا بِأ َ ْي ِد ْي ُك ْم ِإ‬
‫لى التَّ ْهلُ َك ِة‬ ْ ُ‫َوالَ تُ ْلق‬
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan".QS.Al-Baqoroh:195.
Meskipun dalam medan pertempuran melawan orang-orang kafir, seorang pejuang di
perbolehkan melakukan mubarozah, yaitu tampilnya seseorang maju sendiri dalam medan
pertempuran dengan segala resikonya. Bom bunuh diri jauh dari yang dimaksud dengan
mubarozah, sebab mubarozah beresiko hilangnya nyawa akibat senjata musuh, bukan senjata
yang dipicu sendiri serta dilakukan ditengah-tengah medan pertempuran, sementara pelaku
bom bunuh diri tewas dengan senjata yang dipicunya sendiri serta dilakukan di tengah-tengah
orang yang dilindungi, tidak dalam medan pertempuran melawan orang-orang kafir.

Apakah yang dimaksud dengan terorisme?

Terorisme adalah penggunaan kekerasan secara sengaja, tidak dapat dibenarkan, dan bersifat
acak, demi tujuan-tujuan politik dengan sasaran orang-orang yang dilindungi. Jelas, tindakan
terorisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam.
Dalam kenyataannya, sering terdapat kerancuan yang amat besar antara fenomena kekerasan
politik dan terorisme. Istilah terorisme berlaku pada kategori tindakan keji tertentu dan tidak
pada seluruh tindakan kekerasan yang bersifat politik. Tindakan kekerasan tidak dapat
dibenarkan kecuali untuk memerangi ketidak-adilan. Tindakan terorisme berakibat jatuhnya
korban pada orang-orang yang semestinya dilindungi agama. Meskipun dalam jihad (perang
yang disetujui oleh agama), terdapat keadaan yang mungkin membawa resiko bagi mereka
yang tidak ikut berperang, namun membahayakan mereka yang tidak ikut berperang tidak
boleh dilakukan secara sengaja atau berlebihan. Oleh karena itu tren "terorisme Islam" secara
signifikan memberi gambaran yang keliru terhadap akar keagamaan dari kekerasan yang
dilakukan oleh kaum muslim.

Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin, socius yang artinya
teman, dan logos dari kata yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam
buku yang berjudul “Cours De Philoshophie Positive” karangan August Comte (1798-
1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.

A.MAKNA PENELITIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI AGAMA

Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan
sosiologi sebagai basis pendekatannya. Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang
selama ini digunakan dipandang harus dilengkapi dengan pendekatan antropologi dan
sosiologi tersebut. Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang ada selama ini antara
lain pendekatan teologis, normatif, filosofis, dan historis.

Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan
dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata
sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan
beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama
dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan penelitian antropologi, golongan
masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain pada umumnya lebih tertarik kepada
gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa pendekatan antropologi, dengan jelas dapat


mendukung menjelaskan bagaimana suatu fenomena agama itu terjadi.

Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat


diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri
sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi
dalam memahami gejala-gejala keagamaan.

Selanjutnya, kita lihat mengenai makna pendekatan sosiologi dalam memahami


agama. Diketahui bahwa sosiologi merupakan ilmu yang membahas sesuatu yang telah
teratur dan terjadi secara berulang dalam masyarakat. Dalam tinjauan sosiologi masyarakat
dilihat sebagai suatu kesatuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan
boleh dikatakan stabil.

Sehubungan dengan ini, dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan yang


dalam bingkai strukturnya (proses sosial) diselidiki oleh sosiologi.

Dalam pandangan kaum sosiolog, agama lebih lanjut dibuktikan memiliki fungsi yang
amat penting. Dalam hubungan ini, paling kurang ada enam fungsi agama bagi kehidupan
masyarakat.

Pertama, agama dapat memenuhi kebutuhan –kebutuhan tertentu dari manusia yang
tidak dapat dipenuhi oleh lainnya. Seorang Sarjana Ekonomi Amerika pernah menulis buku
dengan judul yang amat provokatif, yaitu Janji-janji untuk kehidupan manusia. Menurutnya,
janji-janji itu adalah kredit. Fakta menunjukkan bahwa sirkulasi sumber kehidupan dari suatu
sistem ekonomi tergantung dari apakah manusia satu sama lain dapat saling menaruh
kepercayaan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban-kewajiban bersama dibidang
keuangan. Keharusan orang-orang menepati janji-janji tersebut diperintahkan dalam ajaran
agama.

Kedua, agama dapat berperan memaksa orang untuk menepati janji-janjinya.


Diketahui bahwa beberapa jenis persetujuan bersama atau consensus mengenai kewajiban-
kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya kekuatan yang memaksa
orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
tersebut, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.

Ketiga, bahwa agama dapat membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai


sifat dan isi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan kewajiban-
kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-
sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.

Keempat, agama berperan membantu merumuskan nilai-nilai luhur yang dijunjung


tinggi oleh manusia dan diperlukan untuk menyatukan pandangannya.
Kelima, agama pada umumnya menerangkan fakta-fakta bahwa nilai-nilai yang ada
hampir semua masyarakat bukan sekedar nilai yang bercampur aduk tetapi membentuk
tingkatan (hirarki). Dalam hirarki ini agama nilai-nilai yang tertinggi. Nilai-nilai yang
tertinggi, berikut implikasinya dalam bentuk tingkah laku, memperoleh arti dalam agama.

Keenam, agama juga telah tampil sebagai yang memberikan standar tingkah laku,
yaitu berupa keharusan-keharusan yang ideal yang membentuk nilai-nilai sosial yang
selanjutnya disebut sebagai norma-norma sosial.

B. MODEL PENELITIAN ANTROPOLOGI AGAMA

Penelitian di bidang antropologi agama antara lain dilakukan oleh seorang antropolog
bernama Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Hasil penelitiannya itu telah dituliskan dalam
buku berjudul The Religion Of Java. Model penelitian yang dilakukan Geertz adalah
penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data
yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, survey, dan penelitian Grounded
Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang
ditelitinya.

Dari segi waktu yang digunakan untuk penelitian tersebut selama tiga tahap.

Tahap pertama, antara September 1951 sampai 1952, persiapan yang intensif dalam
bahasa Indonesia (yakni melayu) dilakukan di Universitas Havard, mula-mula di bawah
Professor Isadora Dyen dan kemudian di bawah Tuan Rufus Hendon, yang kemudian hari
menjadi direktur proyek, dengan bantuan orang-orang Indonesia. Waktu antara bulan juli
sampai Oktober 1952 dipergunakan di Negeri Belanda, mewawancarai sarjana-sarjana
Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas leiden dan di Tropical Institut di
Amsterdam.

Tahap kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 dipergunakan terutama di
Yogyakarta, tempat ia mempelajari bahasa Jawa, dengan mempergunakan mahasiswa-
mahasiswa Universitas Gajah Mada, dan memperoleh sejumlah pengetahuan umum
mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Selama masa ini, satu setengah bulan
lamanya dihabiskan juga untuk mewawancarai pemimpin-pemimpin agama dan politik di ibu
kota Negara, Jakarta, sambil mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi
pmerintah pada umumnya dan Departemen Agama pada khususnya.

Tahap ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, merupakan masa penelitian
lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Ia dan istrinya sepanjang masa itu
tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota, rumah itu sebenarnya tidak terletak
di desa Mojokuto, tetapi di desa sebelahnya, yang hanya bersifat kota di bagian tenggaranya.

Semua kegiatan, temasuk wawancara dengan para informan, ia lakukan dengan


menggunakan bahasa jawa, kecuali beberapa pelajar yang sangat nasionalistik dan lebih
senang berbahasa Indonesia (Melayu).

Selanjutnya, dari segi informan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitiannya
itu, Geertz megatakan bahwa ia melakukan banyak kegiatan sistematis dan lama dengan
informan-informan tertentu mengenai suatu topik , baik dirumah mereka sendiri maupun di
kantor.
Sedangkan pendekatan analisisnya sebagaimana tersebut di atas adalah dengan
menggunakan kerangka teori yang terdapat dalam ilmu antropologi. Dengan pendekatan ini,
fenomena keagamaan yang terjadi di daerah Jawa dapat di jelaskan dengan baik.

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa


model penelitian antropologi agama yang dilakukan Geertz dapat di jadikan model atau
bahan perbandingan bagi para peneliti selanjutnya. Hal ini, karena secara metodologi dan
konseptual penelitian yang dilakukan Geertz tergolong penelitian yang lengkap dan
memenuhi prosedur penelitian lapangan yang baik.

C. MODEL PENELITIAN SOSIOLOGI AGAMA

Penelitian sosiologi agama pada dasarnya adalah penelitian tentang agama yang
mempergunakan pendekatan ilmu sosial (sosiologi). Dalam kaitan ini, berbagai persoalan
yang terdapat dalam ilmu sosial dilihat secara seksama dalam hubungannya dengan agama.
Dalam penelitian ini dapat dilihat agama yang terdapat pada masyarakat industri modern,
agama pada lapisan masyarakat yang berbeda-beda, agama yang dikembangkan pada
kalangan penguasa, politikus, dan lain sebagainya.

Agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci merupakan Das Sollen, sesuatu yang
harusnya terjadi. Sedangkan agama yang terdapat dalam kenyataan adalah Das Sein, sesuatu
yang tampak terjadi di lapangan. Antara agama yang terdapat pada dataran Das Sein dengan
yang terdapat pada Das Sollen bisa saja terjadi kesenjangan. Inilah yang selanjutnya yang
dianggap sebagai problema yang harus didekati dengan melakukan berbagai kegiatan
pembaharuan melalui jalur pendidikan, dakwah, pembinaan, dan sebagainya.

Mengenai metodologi penelitian sosiologi agama lengkap dengan perangkatnya pada


dasarnya sama dengan langkah-langkah dalam penelitian antropologi agama.hal ini tidak
mengherankan karena antropologi sering dikelompokkan sebagai salah satu cabang dari
sosiologi.

KESIMPULAN

Suatu hal yang perlu dicatat, bahwa suatu hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa
saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan
mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama
tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang
ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para
sosiolog membuat kesimpulan tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat. Jika
suatu pemeluk agama terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan,
kebersihan, dan lain sebagainya, kaum sosiolog terkadang menyimpulkn bahwa agama
dimaksud merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin
akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam
kitab suci yang memang diakui ideal.

DAFTAR PUSTAKA

 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998)

 Abdullah, Amin, Studi Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), cet. I


Kepedulian Sosial Dalam Islam
Posted by shariahlife on January 15, 2007

Ada beberapa kisah kepedulian sosial yang terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian
dari kita sudah hafal isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak
terlupa, boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan
disampaikan di bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-
kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur’an
yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.

Kita terbang lima belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul
bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama
sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal,
Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi
mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.

Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat
orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka
berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis
khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari
berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami
duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari
kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka
Anda.”

Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau
jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami
sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga
mereka tidak berkumpul bersama kami.”

Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An’am [6] ayat 52:

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.”

Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka
merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-
akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.

Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling
dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan
tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau
memilih duduk dalam kelompok mereka.Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji
Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama
mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan
cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang
kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara
orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”

Sekarang bukalah cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin
itu. Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang miskin.
Apabila tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota baru
gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah kumuh
digusur. Ah…betapa perilaku kita lebih menyerupai pembesar quraisy daripada perilaku Nabi
Yang Mulia.

Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang
memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa
tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk
mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,”
seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang
tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam,
kasar dan melepuh.

Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam
dan melepuh menunggu uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang
mau mencium tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar
akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas bila
orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata kultur tak mengizinkan
kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa
hormat yang seharusnya kita berikan dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau
mencium tangan mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang
kita peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.

Di atas kita telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya
kita telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan (uswatun
hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita
buka Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup ini.

Surat al-Balad [90] ayat 10 -18


“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya
(denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah
jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau
memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat,
atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan
salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayangMereka (orang-
orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan
harta kita. Al-Qur’an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan mendaki,
yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah
tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang sukar.

Mengapa disebut jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat
atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa
sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan yang
kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi. Apakah kita merasa sukar untuk
beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya cermin hati yang teramat dalam yang
mampu menjawabnya dengan jujur.

Surat al-Ma’arij [70] ayat 19-25


“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia
ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”

Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan
manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya
pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta
kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk
kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak
menjelma atau dapat kita padamkan.

Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara
kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu
untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah
dan sifat kikir yang kita miliki.

Sekali lagi, bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita untuk sejenak. Tidakkah kita
rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk kita dalam ayat-ayat-Nya yang suci.
Subhanallah….

Surat al-Qalam [68] ayat 17-33


“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami
telahmenguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-
sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah

Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang
tidur,maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka
panggilmemanggil di pagi hari

“Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada
seorangMISKINpun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari
dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (meonolongnya),
Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benaroarng-
orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)”

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku
telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?”

Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orangyang
zalim.”

Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela Merekaberkata:
“Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yangmelampaui
batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan(kebun) yang lebih
baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dariTuhan kita”

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika
merekamengetahui”

Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum masa
Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan sangat baik betapa harta manusia
itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah. Kebun yang sudah sekian lama diurus dan
tinggal sekejap mata saja untuk dipetik hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan
pemilik kebun tersebut sehingga mendapat azab sedemikian rupa?

Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di
atas ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang
luar biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup
kita. Kita tak tahu “skenario” Allah terhadap diri kita.

Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke
kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada
mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik
kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi!

Cermin hati kita mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab Allah di dunia, manakala kita
memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan untuk memberi sebagian pada orang
miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah kita melaksanakan kata-hati kita?

Kalau Allah mampu memusnahkan dengan amat mudah kebun yang siap dipanen, jangan-
jangan Allah pun akan memusnahkan sumber penghasilan kita, bila kita berlaku kikir!
Na’udzu billah…

Demikianlah sekedar pengantar untuk pengajian kita; sekedar saling ingat mengingatkan
bahwa di cermin hati kita telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan kepedulian
kita. Persoalannya, maukah kita melihat ke dalam cermin tersebut?

source : http://www.pkpu.or.id/zakat.php
Fenomena Kekerasan dan Peran PBB

15-February-2007

Pemerintah Thailand yang didukung militer, menyalahkan pendukung Thaksin Shinawatra,


Perdana Menteri terguling, atas serangkaian ledakan bom yang terjadi saat malam pergantian
tahun baru 2007. Kelompok pendukung Thaksin dianggap sebagai tersangka utama
peledakan tersebut. Pemimpin Kudeta, Jenderal Sonthi Boonyatkalin, menuduh politisi dari
pemerintahan Thaksin berupaya mengacaukan pemerintahan saat ini dengan ledakan bom
tersebut. Boonyaratkalin memerintahakan empat di antara pendukung Thaksin menghadap
junta militer untuk ditanyai (Kompas, 3 Januari 2007).

Gejala Mengkhawatirkan
Kekhawatiran masyarakat Thailand akan terjadi tindakan kekerasan pasca kudeta damai,
akhirnya terjadi pada malam pergantian tahun baru. Mantan Perdana Menteri Tahksin
Shinawatra yang dikudeta olah militer Thailand yang dipimpin Boonyaratkalin dengan kudeta
damai tanpa berdarah, yang diduga telah melakukan korupsi uang negara, saat ini dituduh
oleh pihak pemerintahan dan militer Thailand sebagai “otak” ledakan bom yang terjadi di
beberapa daerah di kota Bangkok.

Apapun motif yang dilakukan oleh si pelaku pemboman, baik itu bermotif politik, kriminal
murni, ataupun motif yang lainnya, yang jelas perbuatan tersebut merupakan perbuatan
biadab yang tidak berprikemanusiaan dan melanggar HAM.

Maraknya pemboman di beberapa negara dengan motif yang sangat beragam merupakan
fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Apa yang kita bayangkan dengan fenomena
tersebut? Tentu saja kita akan merasa prihatin dan sedih karena akibat dari tindakan
pemboman tersebut yang dirugikan dan menjadi korban adalah rakyat yang tidak berdosa.

Kini, teror bom bukan hanya dilakukan oleh organisasi teroris dunia seperti Al-Qaeda, tetapi
juga dilakukan oleh “orang biasa” di tingkat lokal di beberapa negara dengan motif politik.
Bahkan dalam upaya pemberantasan teroris yang telah meresahkan masyarakat dunia saat ini,
penanganannya pun paradoks dengan tujuan perdamaian. Teroris ditangani secara militer
melalui pemboman ke negara yang disinyalir sebagai kawasan berbasis teroris.
Penanganan tersebut tidak akan efektif karena tidak tepat sasaran. Pemberantasan teroris
dengan cara seperti itu justru menciptakan banyak jatuh korban warga sipil yang tidak terlibat
sama sekali dengan gerakan terorisme dunia tersebut.

Perlu Peran PBB


PBB (Peserikatan Bangsa Bangsa), sebagai organisasi yang salah satu tujuannya menjaga
perdamaian dunia, mestinya segera mengambil tindakan secara cepat dan tepat mengenai cara
mengatasi terorisme yang bisa menghindari pelanggaran HAM. Perlu kiranya PBB
melakukan usaha tindakan preventif dalam mencegah laju terorisme, misalnya melalui:
Pertama, membuat aturan yang ketat terhadap kepemilikan senjata, bom, dan peralatan militer
lainnya ke seluruh negara tanpa ada diskriminasi.

Kedua, PBB membuat aturan bagi seluruh negara di dunia untuk tidak memiliki senjata
pemusnah masal (nuklir). Karena selama ini PBB dalam penyelesaian nuklir di dunia masih
tebang pilih yaitu hanya memberlakukan aturan tersebut kepada beberapa negara tertentu
sedangkan negara-negara lainnya tetap dibiarkan. Artinya, ada tindakan yang tidak adil dari
PBB yang sangat polititis. Kalau itu masih terjadi dikhawatirkan justru akan menciptakan
problem baru bagi perdamaian dunia.

Ketiga, dalam menyelesaikan konflik di beberapa kawasan negara yang terlibat konflik
hendaknya PBB lebih memprioritaskan melakukan pendekatan diplomatis daripada
pendekatan militer. Karena kalau PBB melakukan pendekatan secara militer dalam
penanganannya justru dikhawatirkan langkah PBB akan menjadi pemicu konflik lokal
(perang saudara).

Sebagai penduduk dunia yang merindukan dan membutuhkan rasa aman, kita berharap PBB
meningkatkan kinerjanya sehingga dapat melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi dan
tujuan didirikannya organisasi ini. Alangkah indahnya manusia bisa hidup di dunia ini tanpa
ada teror, peperangan, ledakan bom, sehingga kita bisa hidup berdampingan dengan berbagai
masyarakat dunia yang sangat plural Dapatkah kehidupan indah itu terwujud? Semoga!
(CMM/Muhajir Arif Rahmani

Teror dan terorisme adalah dua kata yang hampir sejenis yang dalam hampir satu dekade ini
menjadi sangat populer, atau tepatnya sejak peristiwa 9/11 pada tahun 2001. Jika Anda
memasukan kata terorisme pada mesin pencari di internet, maka Anda akan mendapati ribuan
bahkan jutaan hasilnya, dengan segala latar belakang, pembelaan, tuduhan, perkembangan,
dan lain-lainnya (yang ironisnya, selalu saja menjadi kata sifat dan keterangan dari sebuah
agama bernama Islam). Sebenarnya apa dan bagaimana terorisme itu?

Arti Teror atau Terorisme

Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Diakhir abad ke-19, awal abad
ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam
rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga disebut ”pemerintahan teror”. Di era perang
dingin, teror dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.

Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula dipergunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan
kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh
melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk
menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak
awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan
yang anti pemerintah.

Namun, istilah ”terorisme” sendiri pada 1970-an dikenakan pada beragam fenomena: dari
bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan.
Beberapa pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai ”teroris” dan aksi-aksi
mereka disebut ”terorisme”. Istilah ”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah
”genosida” atau ”tirani”. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi
membuka peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan
politis.

T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan


terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi
dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan
terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu
tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.

Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik
yang tengah berlaku

Terorisme berkembang sejak berabad lampau. Asalnya, terorisme hanya berupa kejahatan
murni seperti pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian
berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu
kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini
sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme.

Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang
ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982),
manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok
sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis
tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Perkembangan Terorisme

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi
hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak
dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara
yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh
orang-orang yang berpengaruh.

Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan
cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di
Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat
acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa
yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun
60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa
saja untuk tujuan publisitas.

Penghalang Terorisme

Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu
sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai
dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang
bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal
"damai".

Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara


adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia
Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan
penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga,
pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan
bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam
perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang
muncul dan meluasnya Terorisme.

Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror
telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan,
pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan
kekuasaannya.

Teror di Masa Sekarang

Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme jelas berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan
dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses
globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan
menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan liputan edia yang luas membuat jaringan
dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuan.

Saat ini, a motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti
nilai, ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial maupun konstelasi dunia.
Namun tidak dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam diidentikan sedemikian rupa sebagai
agama yang mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi dan ataupun
individualnya, telah mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang
jelas sama sekali.

Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai belahan
dunia.Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan
seperti itu, padahal tak sedikitpun agama ini menganjurkan kekerasan. Dalam berperang,
Islam telah mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan, tidak boleh
membunuh non-kombatan, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan
sebagainya. (sa/berbagaisumber)

 
Agama dan Kekerasan
REP | 22 February 2011 | 06:40 235 5 Nihil

Oleh: Adie Prasetyo

Sejarah peradaban umat manusia adalah sejarah peperangan dan penaklukan. Dalam film
berjudul Mongol, diceritakan orang-orang suku Borjigins di pedalaman Mongolia berperang
sepanjang hidupnya melawan suku-suku lainnya. Perang dan penaklukan yang mereka
lakukan berdiri di atas identitas komunal (tribal). Dan, belakangan perang itu ditujukan untuk
’mempersatukan’ Mongolia menjadi satu kesatuan (negara) di bawah seorang Khan.

Di sudut belahan dunia yang lain, tahun 1798 orang-orang Perancis mendarat di pelabuhan
Iskandariyah. Niat awalnya menyelamatkan gereja-gereja ortodoks di Timur Tengah. Padahal
kita tahu, ekspansi itu sebenarnya ditujukan guna memperluas imperium Eropa dan mencari
bahan baku baru bagi industri mereka. Dalam kasus lain, Islam sebagai agama dan negara
juga berkembang melalui peperangan. Ketika Muhammad membawa agama baru (Islam) di
Mekah, ia bersama para pengikut setianya rela mempertahankan basis ideologinya, salah
satunya dengan cara berperang dan menyerang.
Sekarang, ketika dunia makin bergeser ke arah modernisasi, perang atas nama Tuhan dan
agama masih mengemuka. Atas nama agama, bom meledak di mana-mana. Janji-janji
sorgawi (eskatologis), niat besar membangun imperium berdasarkan agama, yang dibalut
dengan perasaan dendam-buta kepada bangsa (agama) lain, telah menjadi pemicu terjadinya
konflik atas nama agama. Kita lebih akrab dengan sebutan terorisme atau jihad atas nama
agama. Yakni aksi kekerasan dengan berbagai cara untuk memberikan peringatan atau untuk
melumpuhkan mereka yang dianggap sebagai ancaman dan musuh.

Memang, seperti kita pahami, terorisme dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi kata
yang sering muncul di media cetak maupun elektronik. Di Indonesia, kata terorisme semakin
populer seiring dengan berbagai rentetan peristiwa peledakan bom di berbagai daerah. Jauh
sebelum teror mengguncang Indonesia, sebenarnya peristiwa-peristiwa teror itu juga sudah
dialami oleh berbagai negara di dunia. Biasanya, jaringan teroris ini berlindung di balik
institusi keagamaan, baik bertopeng agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan sebagainya.
Sebagai contoh, dari gerakan Kristen kita mengenal peristiwa pengeboman klinik aborsi dan
juga Timothy McVeigh. Di Inggris, terkenal dengan peristiwa peledakan truk-truk dan bis-bis
oleh tentara Nasionalis Katholik Irlandia. Di Jepang, dunia dikejutkan oleh serangan gas
beracun di jalur kereta api bawah tanah oleh anggota sekte Hindu-Budha. Dan, tentu saja
orang sulit melupakan peristiwa pengeboman menara kembar WTC 11 September 2001 yang
dilakukan oleh jaringan Al-Qaeda.
Sebagai fenomena yang menggemparkan, merisaukan dan mengancam tatanan dunia, aksi
kekerasan dan teror atas nama agama tersebut tak luput dari penelitian para sosiolog maupun
agamawan terkemuka. Salah seorang ilmuan yang konsen meneliti masalah itu adalah Mark
Juergensmeyer. Seorang guru besar sosiologi dan Direktur Global and International Studies
Universitas California di Santa Barbara, Amerika Serikat. Untuk memahami lebih jauh latar
belakang fenomena teror ini, tidak tanggung-tanggung, Juergensmeyer melakukan studi
selama 15 tahun. Mulai dari pembunuhan Indira Gandhi di India, sampai Tragedi 11
September di World Trade Center (WTC), New York, Amerika Serikat.

Percikan pemikiran Juergensmeyer tentang aksi kekerasan atas nama agama ini terangkum
dalam beberapa bukunya, antara lain; Global Rebellion: Religious Challenges to the Secular
State (2008), Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2003), dan
The New Cold War: Religious Nationalism Confronts the Secular State (1993). Kemudian
buku-buku lain karya Juergensmeyer yang terkenal antara lain; Radhasoami Reality: The
Logic of a Modern Faith (1996), Religion as Social Vision: The Movement Against
Untouchability in 20th Century Punjab (1982).

***
Mengawali pembacaan tentang studi agama dan kekerasan, kita bisa mengajukan pertanyaan
awal: apakah terorisme merupakan fenomena yang baru? Dalam buku Terorisme Para
Pembela Agama (2003), Juergensmeyer menjawab bahwa terorisme bukanlah fenomena yang
baru. Dalam sejarah, kekerasan atas nama agama ini terjadi sejak dulu. Hal itu seperti
fenomena permainan politik yang memanfaatkan respons keagamaan menjadi perang sekuler.
Tapi, terorisme dapat juga menjadi hal baru, karena menjadi fenomena global dalam
menentang globalisasi dan modernisme.

Setiap kelompok teroris, ungkap Juergensmeyer, mempunyai tujuan khusus dengan latar
belakang masing-masing. Tapi, yang terjadi hampir sama. Terorisme di belahan dunia
manapun selalu mengatasnamakan agama. Ada kesamaan antara pemboman Gedung Federal
di Oklahoma, yang dilakukan Christian Militant Movement, dan Al-Qaeda yang membom
WTC 11 September 2001, juga bom Bali. Kesamaan dasarnya ialah masalah sosial yang
diintroduksi ke dalam perjuangan agama. Sebuah perjuangan kosmik antara kebaikan dan
kejahatan, benar dan salah, agama dan sekuler. Singkatnya, mereka ingin menarik perhatian
publik.

Dalam hal ini, tentu saja agama tidak salah. Sebab, agama selalu mengajarkan hal yang baik.
Dalam pengamatan Juergensmeyer, kekerasan itu sendiri merupakan bagian dari respons
masyarakat dalam menyikapi masalah politik. Mereka menggunakan agama sebagai jalan
keluar untuk mengkritik, dengan memobilisasi kekerasan sebagai alternatif. Dus, masalahnya
justru terletak dalam masyarakat (pemeluk agama) itu sendiri. Agama memang memiliki
aturan dalam memberikan pilihan bagaimana memperbaiki kerusakan moral dalam
masyarakat. Tapi, tentu saja ketika dilakukan dengan tingkat ekstrem dalam bentuk tindak
kekerasan, hal ini tak sesuai lagi dengan moralitas yang diajarkan agama. Singkatnya, agama
telah dihinakan di balik aksi terorisme itu, dan kaum penganutnya wajib bertindak.

Lalu, bagaimana cara mengerem terorisme atas nama agama agar tidak beranak pinak
menjadi kekerasan dengan segala dimensinya? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
Juergensmeyer mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana dunia Barat, khususnya
Amerika Serikat, dalam menanggapi aksi kekerasan tersebut dengan metode yang salah
kaprah. Kita tahu, sejak peledakan WTC 11 September 2001, Amerika menjadi negara yang
paling paranoid, terutama dengan gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia. Kita juga paham,
Amerika menempatkan diri sebagai panglima dunia yang memungkinkan negara itu
memainkan politiknya dengan bertindak secara global. Artinya, di mana pun aksi teroris itu
terjadi, intelijen Amerika akan menelusurinya. Kebijakan Amerika untuk menuntaskan
terorisme ini berlaku di seluruh dunia, baik di Jerman, Timur Tengah, Inggris, dan lain-lain.
Tapi, ingat saat menyerang Afganistan dan Irak, Amerika juga sedang melakukan tindakan
teroris. Dus, tanpa disadari Amerika sendiri memanfaatkan peluang politik ini untuk
melancarkan agresinya dengan membawa bendera perang melawan terorisme. Padahal, kita
tahu di balik itu terdapat motif-motif ekonomi-politik (neokolonialisme) Amerika serikat
untuk menguasai sumber-sumber ekonomi di Irak. Penanganan terorisme seperti itu tentu
bukan cara terbaik untuk memotong akar terorisme di dunia. Justru, tindakan tersebut telah
memantik perlawanan dan dendam berkepanjangan dari jaringan gerakan agams politik
radikal. Dalam proses selanjutnya, secara samar-samar kita dapat melihat apa yang disebut
Juergensmeyer sebagai fenomena ”Perang Dingin Baru.”

Menurut Juergensmeyer, The New Cold War ini terjadi karena westoxifikasi budaya ,
kebijakan luar negeri dan globalisasi sekulerisme yang dipromosikan Amerika telah
melahirkan persepsi penghinaan dan ketertindasan berbagai kelompok agama. Setelah
berbicara dengan banyak pelaku teror, Juergensmeyer menemukan tumbuhnya sikap
ketidaknyamanan makro akibat globalisasi dan perubahan sosial. Ada banyak luapan
kekecewaan dan kemarahan yang hadir di berbagai belahan dunia, bukan hanya dunia Islam,
akan serangan westoksifikasi. Dominasi politik dan ekonomi AS dan Barat, dengan bauran
persepsi ini, kemudian juga menjadi sumber kemarahan baru. Ada fenomena menentang
globalisasi dan modernisme yang seakan hendak mengendalikan dunia. Akhirnya, reaksi
kekerasan pun menjadi pilihan.
Pada muaranya, seperti membangkitkan kenangan perang dingin dulu, di mana tercipta
persepsi bahwa pihak yang di seberang itu jahat. Di dunia Islam, banyak tercipta persepsi
bahwa Amerika Serikat dan Barat itu jahat dan di Barat juga terdapat persepsi bahwa Islam
agama yang penuh dengan kekerasan. Fenomena ini turut diperparah oleh kesimpulan ilmuan
Gedung Putih, salah satunya Samuel P. Huntington, yang menyatakan bahwa dunia saat ini
sedang bergerak menuju perang peradaban antara Islam di satu pihak dan Barat di pihak lain.
Padahal, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah perang yang diciptakan oleh persepsi. Ada
introduksi konsep perjuangan agama dalam menjawab masalah sosial. Yakni sebuah
pertarungan kosmik antara kebaikan dan kejahatan, benar dan salah, agama dan sekulerime.

***
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana cara mengakhiri kekerasan atas nama agama ini?
Menurut Juergensmeyer, ada lima skenario yang dapat dilakukan untuk mengakhiri teror atas
nama agama. Skenario pertama, merupakan salah satu dari solusi yang dilakukan melalui
kekuatan (power). Hal ini dilakukan dengan cara membinasakan atau mengendalikan teroris-
teroris itu dengan jalan kekerasan. Cara yang dianggap solusi ini pada kenyataannya bukan
solusi yang baik, karena setiap kekerasan yang dihadapi kekerasan akan menimbulkan
kekerasan baru. Inilah yang dilakukan oleh Amerika ketika mendeklarasikan perang total
melawan terorisme agama dan melaksanakannya selama bertahun-tahun. Penggunaan
kekuatan untuk menghancurkan terorisme tidak jarang hanya merupakan manipulasi untuk
membenarkan kepentingan di balik itu.

Kedua, solusi dalam bentuk ancaman pembalasan dengan kekerasan atau pemenjaraan untuk
menakut-nakuti aktifis-aktifis keagamaan sehingga mereka ragu-ragu untuk melakukan
aksinya. Cara ini pun dianggap tidak efektif, karena meski para aktivis itu diancam atau
dipenjara, bahkan dibunuh sekalipun tidak akan berpengaruh terhadap para aktivis
keagamaan lainnya.

Ketiga, dengan melakukan kompromi atau negosiasi dengan para aktifis yang terlibat dalam
terorisme. Cara ini pun seperti dikatakan oleh Marx Juergensmeyer sendiri merupakan
penyelasaian yang tidak selalu berhasil. Beberapa aktifis barangkali menjadi lunak, tapi yang
lain menjadi marah dikarenakan apa yang mereka sebut sebagai penjualan prinsip. Kasus
Arafat dan Hamas merupakan contoh dalam skenario ini. Setiap upaya kompromi yang
dilakukan sekelompok aktifis Palestina akan membuat marah kelompok lainnya.

Keempat, pemisahan agama dari politik dan kembali pada landasan-landasan moral dan
metafisikal. Artinya, politisasi agama dapat dipecahkan melalui sekulerisasi. Solusi seperti ini
telah dilakukan di beberapa negara di dunia. Namun, cara ini nampaknya belum
menunjukkan keberhasilan. Alih-alih dapat melunakkan prinsip mereka, cara ini justru
menimbulkan reaksi keras dari aktifis-aktifis keagamaan yang kadarnya semakin tinggi.

Kelima, solusi-solusi yang mengharuskan pihak-pihak yang saling bertikai untuk, paling
tidak pada tataran minimal, menyerukan adanya saling percaya dan saling menghormati. Hal
ini ditingkatkan dan kemungkinan-kemungkinan ke arah penyelesaian dengan jalan
kompromi semakin menguat ketika aktifis-aktifis keagamaan memandang otoritas-otoritas
pemerintahan memiliki integritas moral yang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Di luar kelima skenario itu, Juergensmeyer menegaskan bahwa aksi kekerasan atas nama
agama akan terus berlangsung, selama kita salah menyikapinya. Kalau kita menyikapinya
dengan cara yang salah, maka terorisme justru akan berkembang dengan subur. Dus, ke
depan diskursus keagamaan harus mampu melakukan terobosan-terobosan baru guna
mendekontekstualisasi kekerasan, seperti doktrin perang suci atau jihad, yang kerap dijadikan
justifikasi untuk menghalalkan kekerasan. Saat ini sangat diperlukan pemahaman keagamaan
yang turut mendorong perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
yang mengancam terwujudnya masyarakat pluralis. Karena bagaimanapun, agama
menghendaki agar setiap umat dapat hidup berdampingan tanpa harus menebarkan kebencian
dan kecurigaan pada yang lain.

***
Itulah percikan pemikiran Mark Juergensmeyer, seorang profesor sosiologi dan studi agama
di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat. Ilmuan yang serius meneliti
tentang agama, kekerasan dan konflik politik di berbagai belahan dunia. Tak heran, karena
keseriusannya Juergensmeyer mendapat julukan sebagai ahli agama dan ahli resolusi konflik.
Ia telah menerbitkan lebih dari 200 artikel dan selusin buku. Sejak 11 September,
Juergensmeyer aktif menjadi komentator di media, termasuk CNN, NBC, CBS, NPR, Fox
News dan ABC’s Politically Incorrect.

Juergensmeyer mendapatkan gelar Ph. D. Ilmu Politik di University of California, Berkeley,


di mana ia kemudian dikoordinasikan program studi agama. Ia juga memiliki gelar dari
Union Theological Seminary di New York, Columbia University (hubungan internasional)
dan University of Illinois (bachelor dalam filsafat seni). Sang Profesor ini dibesarkan di
daerah perdesaan di pusat Illinois dan pernah bekerja sebagai koresponden perang di
Vietnam. Sebelumnya, Juergensmeyer pernah menjabat sebagai Ketua Pacific Rim Penelitian
Program, University of California dari 1993-1997, Dekan School of Hawaii, Asia & Pacific
Studies, Profesor Agama dan Ilmu Politik, Universitas Hawaii, dari 1989-1993; Direktur
Program Studi Agama, Universitas California, UC Berkeley, dan sebagai Profesor dan
Direktur Perbandingan Agama, di Graduate Theological Union, UC Berkeley 1974-1989.

Karena dedikasinya yang tinggi terhadap masalah agama dan kekerasan, The Washington
Post dan Los Angeles Times memasukkan Juergensmeyer sebagai ilmuan dan penulis terbaik
(2003) dan bukunya “Teror dalam Pikiran Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama”
menjadi salah satu buku nonfiksi terbaik tahun 2003. Buku sebelumnya, “The New Cold
War? Religious Nationalism Confronts the Secular State” menjadi salah satu buku terkemuka
tahun 1993 versi The New York Times. (*)

Deskripsi

This module introduces students to the in-


depth study of terrorism and political violence, and deepens their knowledge of the
controversial aspects of this subject. Modul ini memperkenalkan siswa untuk studi yang
mendalam tentang terorisme dan kekerasan politik, dan memperdalam pengetahuan mereka
tentang aspek-aspek kontroversial dari subjek ini. The lectures will first address the
definitional and epistemological problems involved in the concept of 'terrorism' and thereafter
concentrate on theories about the causes of political violence in its different forms. Kuliah
pertama akan membahas masalah definisi dan epistemologis terlibat dalam konsep 'terorisme'
dan selanjutnya berkonsentrasi pada teori tentang penyebab kekerasan politik dalam berbagai
bentuknya. This will be followed by a detailed chronological review which traces the origins
of the phenomenon long back in history, and focuses on the emergence of political terrorism
during the second half of the 19th century. Ini akan diikuti oleh suatu tinjauan rinci
kronologis yang menelusuri asal-usul fenomena yang lama kembali dalam sejarah, dan
berfokus pada munculnya terorisme politik selama paruh kedua abad ke-19. Against this
historical background the lectures will address emergence of terrorism and political violence
in three broad regions: Latin America, Western Europe and the Middle East. Terhadap latar
belakang historis kuliah akan membahas munculnya terorisme dan kekerasan politik di tiga
wilayah luas: Amerika Latin, Eropa Barat dan Timur Tengah. The module will also focus on
the question of terrorism in relation to the internet, the relationship between terrorism and
organised crime and implications of various counter-terrorism strategies and the 'War on
Terrorism' for democracy and human rights. Modul ini juga akan fokus pada pertanyaan
terorisme dalam kaitannya dengan internet, hubungan antara terorisme dan kejahatan
terorganisir dan implikasi strategi kontra-terorisme dan berbagai 'Perang terhadap Terorisme'
untuk demokrasi dan hak asasi manusia. All these issues will be addressed with a special
focus on methodological problems involved in the study of terrorism and political violence.
Semua masalah ini akan ditangani dengan fokus khusus pada masalah metodologis yang
terlibat dalam studi mengenai terorisme dan kekerasan politik. Against this historical
background the lectures will address emergence of state terrorism and dissident terrorism in
its right wing and left wing forms. Terhadap latar belakang historis kuliah akan membahas
munculnya terorisme negara dan terorisme pembangkang di sayap kanan dan bentuk sayap
kiri.

MEMAHAMI SOSIOLOGI ISLAM ALI SHARI

PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ali Shari’ati adalah seorang doktor sosiologi dan filsafat, alumni Perancis, aktif dalam
pergerakan revolusi Iran tahun 70-an khususnya melalui tulisan-tulisannya. Shari’ati
mengklaim bahwa uraiannya merupakan tinjauan sosiologi Islam, yaitu uraian sosiologis
yang bersumber dari fenomena, pesan-pesan, konsep-konsep di dalam Islam. Ia tidak setuju
dengan pendekatan sebaliknya yakni pendekatan yang mendeduksi begitu saja konsep-konsep
atau teori sosiologi ke dalam ajaran Islam.

Ali Shariati mencoba menguraikan fakta dan logika di dalam sejarah dan konsep-konsep di
dalam agama Islam dengan menggunakan model analisis sosiologi dan hasilnya memang
menarik sekali, meskipun di akhir uraiannya saya merasakan ada kesimpulan Shariati yang
tak lepas dari konteks revolusi Iran saat itu.

HIJRAH

Ali Shari’ati memulai dengan pertanyaan kenapa hijrah itu begitu penting? Kita dapat pula
bertanya , mengapa tahun Islam dimulai dari saat nabi hijrah? Mengapa tidak dimulai dari
tahun kelahiran nabi?

Ternyata hijrah (perpindahan, migrasi) itu tidak hanya merupakan fenomena


geografis/politik, tapi secara sosiologis hijrah itu merupakan fenomena fundamental dalam
kemajuan peradaban. Setiap kemajuan peradaban, dari Summeria sampai dengan Amerika,
selalu diawali dengan peristiwa hijrah. Dan, tak satu pun suku-suku yang menetap (tidak
berhijrah) bisa mencapai kemajuan dalam peradabannya.

UNIK

Selanjutnya dalam fenomena kenabian, nabi Muhammad saw sungguh unik secara sosiologis,
beliau tumbuh dan dibesarkan pada kawasan yang fakum, di luar pengaruh hegemoni
peradaban2 yang maju saat itu, yaitu Romawi dan Parsi. Lalu dari sudut teori sosialisasi
beliau juga tak tersentuh oleh agen-agen sosialisasi primer layaknya, semasa kecil Indonesian
Muslim Society in America (IMSA) beliau adalah anak yatim yang diasuh bergantian dan
menjadi penggembala. Dari sudut teori perubahan sosial, dengan sendirinya peranan beliau
juga sangat unik, karena dengan latar belakang seperti itu bisa melakukan perubahan sosial
luar biasa luas dan dalam.
Namun, sesuai dengan teori perubahan sosial, Islam menghargai peranan the people/pengikut
itu sendiri, mengingat nabi sebenarnya hanya penyampai pesan sedangkan the people itu
sendiri yang menentukan apakah mereka mau menolak atau menerima. Seorang nabi tidak
bisa memaksakannya karena memang tidak ada paksaan pula dalam agama. Ayat-ayat Qur’an
selalu menekankan al nas ini: ya ayyuhannas, jadi secara konseptual posisi the people itu
amat penting di dalam Islam.

FREE WILL

Dalam konsep manusia, Islam menekankan pentingnya free will, manusia terbuat dari tanah
liat dan ruh ilahi yang ditiupkan kepadanya dan hanya manusia /individu itu sendirilah yang
nantinya harus menentukan dirinya mau memilih ke arah sifat Tuhan atau kebawa godaan
setan. Selanjutnya secara konseptual, di dalam Islam, manusia juga menerima tugas sebagai
wakil Tuhan di bumi, manusia adalah khalifatullah fil ardh.

Ini tugas berat tapi mulia. Jadi, secara konseptual manusia dalam Islam sebenarnya lebih
tinggi dari sekedar konsep humanisme, tidak pula sama dengan konsep dosa turunan.

UMMAH

Dalam struktur sosial, konsep ‘ummah’ di dalam Islam memiliki makna yang lebih
bersahabat, lebih damai, lebih beramanah daripada sekedar konsep society, apalagi kalau
hubungan antar kelompok social di dalamnya bersifat eksploitatif dan imperialistic seperti
terjadi dalam banyak sejarah masyarakat manusia, maupun kehidupan masa kini.

CATATAN

Di atas saya katakan bahwa di akhir uraian Shari’ati terselip subyektivitas pengaruh revolusi
Iran. Ini saya catat dari penegasan Shariati mengenai pentingnya peranan immamah. Saya
tidak menemukan uraian atau alasan yang cukup mengapa Shari’ati sampai pada kesimpulan
itu. Saya lalu menduga mungkin itu pengaruh suasana revolusi Iran saat itu dan kalau alas an
itu diuraikan bias saja merupakan halpositif yang kita belum tahu.

Terus terang saya baru membaca satu* ini saja dari buku-buku yang membahas tentang
sosiologi Islam. Saya mendengar buku karya Tabrani dan Ibnu Khaldun katanya telah
meletakkan dasar-dasar analisis sosiologi, sayang saya belum sempat membacanya. Kalau
menunggu seselai membaca buku-buku tersebut mungkin saya baru bisa menulis untuk
IMSA tahun depan. Tentunya kalau ada kawan-kawan yang pernah baca buku-buku Ibnu
Khaldun, khususnya al Mukadimmah, silakan dishare di forum ini.

Kalau ada komentar, koreksi, atau tambahan, tentu saya dan kita semua akan berterima kasih.

Wassalamu laikum warahmatullahi wabarakatuh.

IBNU KHALDUN. BAPAK SOSIOLOGI ISLAM


Post Body Copy

ibnu khaldun
Oleh: Zaldy Munir

Sebenarnya siapakah Bapak Sosiologi Ibnu Khaldun atau August Comte? Waktu pertama
kali masuk kuliah Sosiologi, kita dikenalkan dengan sosok August Comte yang disebut-sebut
sebagai Founding Fathernya Sosiologi lantaran pemikirannya waktu Abad pencerahan
dengan mengemukakan Teori 3 Fase Masyarakat: Teologi, Metafisika dan Positivistik. Saat
itu, sebenarnya dosen telah menyebutkan satu tokoh muslim sebagai orang yang
mengenalkan Sosiologi jauh hari sebelum August Comte lahir dialah Ibnu Khaldun. Akan
Tetapi, tokoh itu nggak dibahas secara detail dan lengkap. Jadilah pertanyaan hadir dalam
diriku, siapa sebenarnya Ibnu Khladun? di buku-buku Sosiologi memang disinggung sedikit
tentangnya. Akhirnya saya mencoba mencari-cari di beberapa sumber untuk meyakinkan
saya bahwa Ibnu Khaldunlah Bapak Sosiologi. Dan ketemulah saya dengan artikel dengan
judul “Ibnu Khaldun, Bapak Sosiologi Islam yang ditulis oleh Mas Zaldy Munir yang dapat
dilihat langsung karya orisinal beliau di link: http://zaldym.wordpress.com/2008/10/2
3/ibnu-khaldun-bapak-sosiologi-islam/

Denganartikel yang memuat biografi Ibnu Khaldun ini kita dapat mengatakan bahwa orang
yang pertama kali mengenalkan Sosiologi adalah Ibnu Khaldun maka pantaslah beliau yang
disebut sebagai Bapaknya Sosiologi.Hanya saja waktu itu beliau tidak mengenalkan istilah
Sosiologi meskipun secara teori dan ajarannya sangatlah sosiologis. Dan August Comte
hanya penemu istilah Sosiologi dan bukanlah orang yang pertama melahirkan ilmu itu.
Maka tepatkah kiranya kalau dia disebut anak Sosiologi.:) Baik, untuk selengkapnya silakan
baca artikel Mas Zaldy Munir berikut yang mengupas secara lengkap perihal Ibnu Khaldun,
Bapak Sosiologi. Selamat membaca,

IBNU Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn
Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani
ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal
dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid
Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan
tanggal 27 Mei 1332 M.

Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga,
karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan
kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua
Pengadilan di Mesir.

Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah
nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk
berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang
memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang
diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan
kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan, dan
pengalamannya.

Perjalanan Ibnu Khaldun dari Masa ke Masa

Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses
penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan,
pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada
tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk
(1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada
percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan,
kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan
Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian
dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian
krisis ekonomi yang parah.

Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya
membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial,
Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa
menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-
faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457
H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan
kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan
kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun
adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk
berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan
yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di
tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari
kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.

Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan
Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana
perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana
seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama
Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan
(sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi, karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak
disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2104915-ibnu-koldun-sebagai-
bapak-sosiologi/#ixzz1NYpSwPEk

Nasional
Jawa Timur

Din Syamsudin: Negara Biarkan Kekerasan


"Saya bersama tokoh-tokoh nasional lainnya sepakat bahwa negara tidak hadir."
Sabtu, 2 Oktober 2010, 16:23 WIB
Antique
Din Syamsudin (VivaNews/ Tri Saputro)
BERITA TERKAIT

 Polri: Perusuh Bersenjata Akan Ditembak


 Bom Kalimalang Belum Dipastikan Aksi Teroris
 Pemerintah Pantau Perkembangan Damai Tarakan
 Bentrok Ampera, Polda Akui Intelijennya Lemah
 Ratusan Polisi Kepung Kebun Sawit di Serdang

VIVAnews - Maraknya tindakan kekerasan yang terjadi beberapa hari terakhir seperti di
Tarakan dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan adalah fenomena yang menyedihkan.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, rentetan fenomena kekerasan ini


muncul lantaran negara membiarkan adanya tindakan kekerasan.

"Saya bersama tokoh-tokoh nasional lainnya sepakat bahwa rentetan peristiwa kekerasan itu
karena negara tidak hadir. Kekerasan itu ada karena ada pembiaran dan pengabaian oleh
negara. Artinya negara yang ghoib di dalam menyelesaikan masalah," ujar Din seusai
meresmikan RS PKU Surakarta, Sabtu, 2 Oktober 2010.

Fenomena kekerasan ini, lanjut Din, harus segera diselesaikan, bukan hanya dengan
himbauan. Tetapi, dengan tindakan yang cepat dan tepat. "Harus segera diselesaikan, bukan
hanya dengan himbauan sebagaimana yang sering dinyatakan Kepala Negara. Tetapi harus
ada tindakan yang nyata dan tepat," tutur dia.

Menurutnya, fenomena kekerasan ini harus segera diatasi. Sebab, jika dibiarkan akan
membuat bangsa ini sebagai negara kekerasan, state of vioelence. Untuk mengatasinya, tidak
perlu saling menyalahkan satu sama lain.

"Bahkan, sempat ada pimpinan Nasional yang menyatakan bahwa masjid sebagai kampanye
terorisme. Ini tentu saja bukan pernyataan yang arif dan tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru ini akan melukai perasaan dari mayoritas masyarakat Islam yang mengedepankan
toleransi, kasih sayang dan perdamaian," ujar Din.

Namun, kalau ada tuduhan dari presiden bahwa masjid digunakan untuk kampanye terorisme
bukanlah pernyatan yang arif, Din Berharap pernyataan seperti itu jangan terulang lagi.
"Sebenarnya dalam terorisme, ormas –ormas Islam, MUI, NU, dan Muhammadiyah sudah
menampilkan perannya dan menunaikan tanggung jawabnya. Itu ada fatwa MUI terorisme,
bom bunuh diri. Dan para ulama, dai, mubaligh kita berdakwah yang mencerahkan. Coba
kalau dai dan mubaligh tidak berbuat akan  lebih banyak lagi masyarakat yang terpengaruh,"
kata dia.

Din justru mengkritik, gaya pemberantasan terorisme oleh Densus 88 Polri. ”Kelihatannya
Densus 88 ini bergerak sendiri, semena-mena, tanpa konsultasi dan tanpa koordinasi.
Seharusnya, kita mendukung pemberantasan terorisme. Sebab, terorisme musuh umat
beragama, musuh agama. Tapi mari kita lakukan bersama-sama. Agar bangsa ini bisa keluar
dari kemelut," ujarnya. (sj)

 1 Sejarah istilah sosiologi


 2 Pokok bahasan sosiologi
 3 Ciri-Ciri dan Hakikat Sosiologi
 4 Objek Sosiologi
 5 Ruang Lingkup Kajian Sosiologi
 6 Perkembangan sosiologi dari abad ke abad
o 6.1 Perkembangan pada abad pencerahan
o 6.2 Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan
o 6.3 Gejolak abad revolusi
o 6.4 Kelahiran sosiologi modern
 7 Referensi
 8 Lihat pula

[sunting] Sejarah istilah sosiologi

Potret Auguste Comte.


 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan
Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi.
[rujukan?]
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat lahir di Eropa karena
ilmuwan Eropa pada abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari
kondisi dan perubahan sosial.[rujukan?] Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu
teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.[rujukan?]
Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada hukum-
hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat dan sosiologi dinamis dimana perhatian
dipusatkan tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte
tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan
besar di bidang sosiologi.[rujukan?] Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile
Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya
berasal dari Eropa).[rujukan?] Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam
pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
[rujukan?]

 Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai


disiplin akademis.[rujukan?] Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya
menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan
sosial.
 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan
pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai
suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
 Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik
antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
 Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya
menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
 Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology.

[sunting] Pokok bahasan sosiologi


Pokok bahasan sosiolgi ada empat: 1. Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan
berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan
mengendalikan individu tersebut.[rujukan?]

Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan
seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke
dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa
dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah),
yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).

2. Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku


orang lain.[rujukan?]

Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial,
tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat
perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.

3. Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun
yang ada dalam diri manusia.[rujukan?] Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita
mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara
keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah persmasalahan (troubles) dan
isu (issues). Permasalahan pribadi individu merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi.
Isu merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu.

Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran
itu adalah masalah. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan
keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang
menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan isu, yang
pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.

4. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh
sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah
dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta
menghindari penilaian normatif.

[sunting] Ciri-Ciri dan Hakikat Sosiologi


Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi
sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M. Johnson,
yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri, sebagai
berikut.[1]

 Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat
spekulasi (menduga-duga).
 Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di
lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun
secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
 Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki,
diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
 Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah
tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.

Hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sebagai berikut.[2]

 Sosiologi adalah ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala kemasyarakatan.
 Sosiologi termasuk disiplin ilmu normatif, bukan merupakan disiplin ilmu kategori yang
membatasi diri pada kejadian saat ini dan bukan apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
 Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan terapan.
 Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konkret.
Artinya yang menjadi perhatian adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat secara
menyeluruh, bukan hanya peristiwa itu sendiri.
 Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum, serta mencari prinsip-
prinsip dan hukum-hukum umum dari interaksi manusia, sifat, hakikat, bentuk, isi, dan
struktur masyarakat manusia.
 Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Hal ini menyangkut
metode yang digunakan.
 Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala
umum yang ada pada interaksi antara manusia.
[sunting] Objek Sosiologi
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mempunyai beberapa objek.[3]

 Objek Material

Objek material sosiologi adalah kehidupan sosial, gejala-gejala dan proses hubungan antara
manusia yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri.

 Objek Formal

Objek formal sosiologi lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau
masyarakat. Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan manusia antara
manusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

 Objek budaya

Objek budaya salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dengan yang lain.

 Objek Agama

Pengaruh dari objek dari agama ini dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosial
masyarakat.dan banyak juga hal-hal ataupaun dampak yang memengaruhi hubungan
manusia.

[sunting] Ruang Lingkup Kajian Sosiologi


Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi mengkaji lebih mendalam pada bidangnya dengan cara
bervariasi.[4] Misalnya seorang sosiologi mengkaji dan mengamati kenakalan remaja di
Indonesia saat ini, mereka akan mengkaji mengapa remaja tersebut nakal, mulai kapan remaja
tersebut berperilaku nakal, sampai memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut.
Hampir semua gejala sosial yang terjadi di desa maupun di kota baik individu ataupun
kelompok, merupakan ruang kajian yang cocok bagi sosiologi, asalkan menggunakan
prosedur ilmiah. Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas dari ilmu sosial lainnya.[5] Hal ini
dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang berlangsung
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan
kelompok di lingkugan masyarakat. Ruang lingkup kajian sosiologi tersebut jika dirincikan
menjadi beberapa hal, misalnya antara lain:[6]

 Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil yang berhubungan dengan produksi,
distribusi,dan penggunaan sumber-sumber kekayaan alam;
 Masalah manajemen yaitu pihak-pihak yang membuat kajian, berkaitan dengan apa yang
dialami warganya;
 Persoalan sejarah yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya usaha kegiatan
manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan sebagainya.

Sosiologi menggabungkan data dari berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar penelitiannya.
Dengan demikian sosiologi dapat dihubungkan dengan kejadian sejarah, sepanjang kejadian
itu memberikan keterangan beserta uraian proses berlangsungnya hidup kelompok-kelompok,
atau beberapa peristiwa dalam perjalanan sejarah dari kelompok manusia. Sebagai contoh,
riwayat suatu negara dapat dipelajari dengan mengungkapkan latar belakang terbentuknya
suatu negara, faktor-faktor, prinsip-prinsip suatu negara sampai perjalanan negara di masa
yang akan datang. Sosiologi mempertumbuhkan semua lingkungan dan kebiasaan manusia,
sepanjang kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan dapat memengaruhi
pengalaman yang dirasakan manusia, serta proses dalam kelompoknya. Selama kelompok itu
ada, maka selama itu pula akan terlihat bentuk-bentuk, cara-cara, standar, mekanisme,
masalah, dan perkembangan sifat kelompok tersebut. Semua faktor tersebut dapat
memengaruhi hubungan antara manusia dan berpengaruh terhadap analisis sosiologi.

[sunting] Perkembangan sosiologi dari abad ke abad


[sunting] Perkembangan pada abad pencerahan

Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles
beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah,
masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.

Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti
Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk
hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi
dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan
masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.

Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut
berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai
tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai
perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.

[sunting] Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan

Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner


sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat struktur masyarakat lama berganti dengan struktur
yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam revolusi Amerika, revolusi
industri, dan revolusi Perancis. Gejolak-gejolak yang diakibatkan oleh ketiga revolusi ini
terasa pengaruhnya di seluruh dunia. Para ilmuwan tergugah, mereka mulai menyadari
pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.

[sunting] Gejolak abad revolusi

Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat


yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula
bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula
berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak
kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah.
Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas

Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan
masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat
yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan
kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi
secara dini.

Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya
penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :

 Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan
dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
 Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan
perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
 Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan
perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi
sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.

[sunting] Kelahiran sosiologi modern

Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada.
Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul
pertama kalinya).

Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala
itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru,
bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar
masyarakat pun tak terelakkan.

Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk
sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi.
Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada
saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.

Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro


(lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari
mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat
ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari
betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.

[sunting] Referensi
1. ^ William D Perdue. 1986. Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology.
Palo Alto, CA: Mayfield Publishing Company. Hlm. 20
2. ^ Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Hlm. 5
3. ^ James. M. Henslin, 2002. Essential of Sociology: A Down to Earth Approach Fourth
Edition. Boston: Allyn and Bacon. Hlm 10
4. ^ Pitirim Sorokin. 1928. Contemporary Sociological Theories. New York: Harper. Hlm.
25
5. ^ Randall Collins. 1974. Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. New
York: Academic Press. Hlm. 19
6. ^ George Ritzer. 1992. Sociological Theory. New York: Mc Graw-Hill. Hlm. 28

 Sosiologi: KBBI. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002


 Andrey Korotayev, Artemy Malkov, and Daria Khaltourina, Introduction to Social
Macrodynamics, Moscow: URSS, 2006. ISBN 5-484-00414-4 [1].

[sunting] Lihat pula

Analisa Lainnya

 Mimpi Buruk Amerika di Afghanistan (3) Komandan Satu Pintu


Sabtu, 08/08/2009 08:21 WIB
 Mimpi Buruk Amerika di Afghanistan (2) Taliban Yang Dekat dan Melindungi Rakyat
Jumat, 07/08/2009 08:11 WIB
 Mimpi Buruk Amerika di Afghanistan (1) Abdul Ghani Baradar, Si Nomor 2 Pejuang Taliban
Selasa, 04/08/2009 08:02 WIB
 Tak Boleh Ada Sendawa Di Tengah Gemuruh
Senin, 03/08/2009 10:39 WIB
 Political Business Cycle, Bom Kuningan?
Kamis, 30/07/2009 09:15 WIB
 Masa Dep

You might also like