You are on page 1of 32

ESENSI PUASA (RAMADHAN) ATAS NILAI, MORAL DAN

PERADABAN MANUSIA

“Ya, Allah aku mencintai keduanya, cintailah orang yang mencintai keduanya

(Mustadrak al-Hakim, Shahih Muslim)”

A. PENDAHULUAN

Segala Puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang Maha Suci dari

segala keterbatasan, Yang Maha Tinggi atas segala kerendahan prasangka makhluk-Nya.

Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan atas baginda Rasulullah, Muhammad SAWW.

Utusan yang tiada meminta ganti selain mencintai yang ditinggalkannya. Nikmat nyata

akan alam semesta. Beserta keluarga-keluarga penjaga risalahnya dan hujjah semesta

serta tak lupa kepada para sahabatnya yang setia.

Ramadhan merupakan salah satu bulan yang diharamkan (dimuliakan) di dunia

muslim oleh syari’at yang diyakininya. Dimana pada bulan ini secara umum kaum

muslim menganggapnya sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan. Kenyataan

untuk mementingkan bulan ini tampak mulai dari para kalangan Ulama, Umaro

(pemerintah) bahkan masyarakat biasa dengan segalam macam ragam dan bentuknya.

Namun perlu kita ketahui, apakah gerangan yang terjadi pada bulan tersebut. Satu

istilah yang sering didengung-dengungkan hingga akhirnya sampai ke telinga kita ialah

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 1
bahwa pada bulan ini terdapat salah satu ritual penting yang diwajibkan atas sekalian

umat muslim untuk melaksanakannya, yaitu ibadah shaum (puasa).

Pada umumnya, puasa dimengerti sebagai serangkaian perilaku ritual yang dimana

para pelakunya senantiasa untuk menyengajakan diri menahan (tidak melakukan)

beberapa kebiasan dan melakukan kebiasan baru dari kebiasaan yang senantiasa

dilakukan di luar bulan Ramadhan, hal tersebut didasarkan atas keyakinan dalam

menjalankan hukum Tuhan yang telah ditetapkan (dalam syari’at Islam). Tidak sedikit

pula dilain sisi, kita pun menjumpai hal yang serupa (puasa) dilakukan oleh beberapa

penganut agama atau kepercayaan lainnya (bentuk dan cara yang berbeda), khususnya

untuk penganut dua agama samawi yang lain (Nasrani dan Yahudi).

Puasa dalam bulan Ramadhan senantiasa disimbolkan oleh agama Islam dengan

mengisyaratkan adanya kesucian yang terkandung didalamnya, hal ini dapat kita tinjau ke

dalam bentuk sejauh mana para penganutnya memaknai dan mengimplementasikan nilai

kesucian tersebut didalam kehidupan sosialnya. Bahkan jika memang dianggap betul ada

muatan suci, maka nilai yang dimaksud tersebut ialah apa ? dan benarkah demikian

adanya ?.

Melalui dasar pertimbangan diatas, maka penulis merasa perlu untuk

mengetengahkan tema dalam essai kali ini yaitu “Esensi Puasa (Ramadhan) atas Nilai,

Moral Dan Peradaban Manusia”. Adapun cara yang ditempuh penulis dalam menyusun

essai ini berdasarkan pada studi literatur yang ada dan dianggap berhubungan.

B. DEFINISI DAN MAKNA PUASA

Puasa secara bahasa berasal dari upawasa atau upavasa dalam bahasa Sanskerta. Upa

bermakna 'dekat', sedangkan vasa atau wasa berarti 'sifat kemahatahuan dari Hyang

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 2
Widhi'. Secara lengkap, upawasa berarti mendekatkan diri kepada Hyang Maha Pencipta.

Hal ini menegaskan bahwa puasa pun dikenal oleh agama di luar Islam, dalam hal ini

Hindu misalnya. Bahkan sumber lain menyatakan bahwa sejarah mencatat, puasa

merupakan  ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat manusia, yakni sejak

manusia pertama Adam as. hingga umat terakhir dari segala Nabi dan rasul Muhammad

saw. (Moede, 1990:14).

Sedangkan istilah yang sering dianggap sinonim dengan kata “Puasa” ialah “Shaum”.

Kata shaum secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab, artinya

adalah imsaak (menahan diri). Menurut kalangan ulama yang dimaksud menahan diri

disini, yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal yang

membatalkan shaum dari shubuh sampai malam (maghrib) disertai niat.

Menurut A. Khudori Soleh (2008: 1)1, Kata “puasa” dengan segala bentuknya, dalam

bahasa Arab, disebut 13 kali dalam al-Qur`an. Paling sering digunakan istilah shiyâm dan

hanya satu kali dengan kata shaum. Meski demikian, kata shaum mengandung makna

lebih dibanding shiyâm. Shiyâm hanya berarti berpuasa dengan mencegah makan, minum

dan “bergaul” dengan dengan istri mulai fajar sampai maghrib, sedangkan shaum

mencegah lebih dari apa yang tidak boleh dalam shiyâm, yaitu harus mencegah bicara,

mencegah mendengar, mencegah melihat, dan bahkan mencegah pikiran.

Dilain kesempatan, Sepul Rochman (2010)2 menambahkan khazanah, bahwa ayat

yang berkenaan dengan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan yaitu QS. 2:183

merupakan ayat yang mendapatkan perhatian dari para penafsir al-Quran (Mufasirin)

1
Soleh A. Khudori. 2008. Puasa, Antara Shaum Dan Shiyam. Tersedia di
http://www.scribd.com/doc/4857963/Puasa-Antara-Shaum-dan-Shiyam
2
Rochman Saepul. (2010). Fenomenologi Puasa: Kontemplasi Sufistik dan Jihad. Tersedia di
http://kompasiana.com/104413 .
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 3
dikarenakan muatan berat filosofis yang dikandungnya, yaitu menyangkut pemilihan kata

“kutiba” yang menandai puasa sebagai konsekuensi dari ritme kehidupan, sebagai jeda,

bergerak dengan percepatan ketukan nada yang berenergi dan bersenergi dalam musik

kehidupan. Asumsi semiotis penggunaan kata “kutiba” pada ayat-ayat jihad (QS. 2:216)

dan ayat yang mengenai hukum syari’at (QS. 2:178) menjadikan puasa sebagai kekuatan

untuk berjihad dan mengandaikan kedudukannya yang setingkat dan saling melengkapi

antara aspek-aspek puasa itu sendiri, jihad dan tegaknya syari’at dalam konteks al-Quran.

Sedangkan secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang diperintahkan Allah

kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan,

minum, dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada

waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (MUI DKI Jakarta, 2006:

15). Dalam pengertian lain, puasa bermakna sebagai berikut3 :

“Yang dimaksud dengan puasa dalam syariat suci Islam adalah manusia

menghindarkan diri dari makan, minum dan melakukan hal-hal lainnya dalam

keseluruhan hari (dimulai dari terbitnya fajar hingga maghrib) dengan niat untuk

melaksanakan perintah Allah SWT” (Istifta' dari Kantor Rahbar, Bab Puasa,

masalah 1).

Bulan Ramadhan sebagai media yang diberikan oleh Allah SWT yang dimana

merupakan berkah, rahmah dan maghfirah bagi kaum beriman dan agar dapat

memperoleh derajat taqwanya, memang benar-benar merupakan jamuah Allah ‘azza wa

3
Ibnu Razak. (2009). Puasa (Shaum): Tuntunan Fikih Praktis Ibadah Puasa Berdasarkan Fatwa Marja' Ayatullah
'Udzma Sayyid Ali Khamene'i. Tersedia di http://mulyadirazak.blogspot.com/2009/02/puasa-shaum.html.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 4
jalla. Hal ini dapat kita pahami dari penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril

Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (dalam khotbahnya)4 :

“Wahai manusia! Telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa

berkah, rahmah dan maghfirah. Ia adalah bulan yang di sisi Allah merupakan

bulan yang paling utama, hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama,

malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama dan saat-saatnya

adalah saat-saat yang paling utama. Ia adalah bulan yang padanya kalian

diundang kepada jamuan Allah, dan padanya kalian hendak dijadikan di antara

orang-orang yang mendapatkan kemuliaan Allah…”.

Adapun ayat suci al-Quran yang berkenaan dengan kewajiban puasa di bulan Ramadhan

ini ialah sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. 2. 183).

Mengenai tujuan diwajibkannya puasa agar kaum beriman dapat menajadi insan

taqwa (muttaqin) dikarenakan Islam merupakan sebuah agama yang yang memandang

semua manusia adalah sama, tidak terdapat perbedaan anatara si kulit putih dengan si

kulit hitam, orang dari bangsa Arab dengan non-Arab, si kaya posisinya dengan si

miskin, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan

tingkatan. Islam membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah

dimana manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama
4
Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Sya’ban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan
Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad .
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 5
sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Semakin

dekat ia dengan sumber wujud (Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan

dan ketaqwaannya. Sebagaimana penggalan ayat al-Quran surat al-Hujaraat ayat 13

berbunyi “ …Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah

orang yang paling taqwa diantara kamu… “.

Bulan Ramadhan satu-satunya bulan yang namanya diabadikan dalam al-Quran yang

disebut dengan bulan nuzul al-Quran (turunnya al-Quran). Allah swt berfirman:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya

diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-

penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”

(QS. Al-Baqarah (2): 185).

Masalah terpenting menyangkut bulan suci Ramadhan adalah bahwa manusia

memiliki kesempatan menempa ruh dan spiritualitasnya untuk menuju pada

kesempurnaan. Hal ini dapat dipahami sebagaimana pendapat Rahbar Ali Khamenei

(2008)5 menyatakan “-Secara tabiatnya, ruh dan jiwa manusia selalu bergerak menuju

kesempurnaan-. Bulan ini (Ramadhan) memberikan peluang kepada manusia untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menghiasi diri dengan akhlak ketuhanan. Bulan

suci Ramadhan ibarat musim semi bagi manusia untuk memperbarui diri, membangun

diri sendiri dan bercengkerama dengan Tuhan.”.

Puasa tingkatan orang awam itu adalah menahan diri dari lapar, haus, dan kegiatan

seksual sepanjang siang. Sedangkan puasanya orang pilihan ialah tingkatan yang dimana

puasa sebagai menahan diri dari segala hasrat indrawi, yaitu mempuasakan diri dari apa

5
khamenei.ir. (2008). Perspektif Rahbar Tentang Bulan Suci Ramadhan. Tersedia di
http://indonesian.khamenei.ir/Perspektif%20Rahbar%20Tentang%20Bulan%20Suci%20Ramadhan.htm.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 6
yang haram, dari mendengar atau berpikir yang bukan-bukan, atau dari segala sesuatu

yang mengobarkan hawa nafsu rendah. Sedangkan puasanya orang pilihan dari orang

terpilih adalah adalah tingkatan dengan memusatkan hati hanya kepada Allah. Hal ini

dapat kita pahami berdasarkan pendapat Ulama Islam terkemuka Rahbar Ali Khamenei

(2008), dimana membagi puasa kepada tiga tingkatan makna, yaitu :

1. Tahapan umum puasa yaitu menghindari makan, minum dan apa yang dilarang dalam

puasa. Kita diuji dan kita diajari dengan puasa. Dengan kata lain, dalam ibadah ini

ada pembelajaran dan ada ujian untuk kehidupan. Pelatihan dan penempaan. Dalam

sebuah riwayat Imam Jafar Shadiq (as) berkata, "...agar orang kaya dan orang miskin

sederajat." Allah SWT mewajibkan puasa agar orang kaya dan orang miskin dalam

waktu tertentu merasakan satu hal yang sama. Orang miskin sepanjang hari tidak bisa

membeli dan memakan atau meminum apa saja yang ia inginkan. Tetapi orang kaya

mampu membeli dan memakan atau meminum apa saja yang ia mau. Orang kaya

tidak bisa merasakan apa yang dirasa orang miskin untuk memperoleh apa yang

diinginkannya. Tetapi di hari ketika berpuasa, semua orang (kaya dan miskin) dengan

pilihan sendiri menahan diri dari beberapa hal yang diinginkan hawa nafsunya.

2. Tingkatan kedua puasa adalah menghindari dosa. Artinya, menjaga telinga, mata,

lidah dan hati -bahkan dalam sejumlah riwayat disebutkan menjaga kulit dan bulu

badan- dari dosa. Kesempatan yang ada pada bulan Ramadhan adalah peluang bagi

manusia dalam melatih diri untuk menghindari perbuatan dosa.

3. Tingkatan ketiga puasa adalah menghindarkan diri dari segala hal yang melupakan

dan membuat hati lalai dari mengingat Allah (dzikrullah). Ini adalah tingkatan

tertinggi puasa. Ketika puasa menghidupkan dzikrullah di hati dan menyalakan pelita

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 7
ma'rifatullah di hati, hati akan menjadi terang. Karena itu segala hal yang membuat

seseorang lalai akan dzikrullah pada tingkatan ini, berbahaya bagi puasa. Sungguh

berbahagia mereka yang mampu meraih derajat puasa yang seperti ini.

Maka dapat kita simpulkan pula, setidak-tidaknya yang dipahami, bahwa puasa pada

bulan suci Ramadhan mengakibatkan terbentuknya kualitas kesalehan sosial, individual

dan sipritual yang didapat melalui penempaan dan pendidikan yang terkandung

didalamnya selama sebulan penuh berdasarkan syari’at.

Segala kesengsaraan manusia timbul karena mengikuti hawa nafsu. Semua bentuk

kezaliman dan ketidakadilan, peperangan yang zalim dan adanya rezim yang lalim,

tertindasnya mustad’afin (kaum lemah) dan semua kepasrahan menerima penindasan

yang ada di tengah umat manusia, semua itu terjadi karena kepasrahan kepada hawa

nafsu dan ketundukan kepada bisikan syahwat.

Dalam Islam, tidak terdapat keagungan dan kemuliaan yang melebihi kebebasan.

Adapun kebebasan yang dimaksud ialah bebasnya kita dari belenggu syahwat dan

kecenderungan yang ada dalam diri. Jika ingin mengetahui apakah kita termasuk dalam

kategori orang yang merdeka atau justru seorang tawanan, kita harus melihat kepada

amal perbuatan kita. Dalam khutbahnya pada Jumat terakhir bulan Sya’ban, Rasulullah

saw bersabda6: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadaikan dengan

amal kalian, maka bebaskanlah (jiwa kalian) dengan ber-istighfar”. Tentunya perintah

ber-istighfar disini bukan hanya merefleksikan kesadaran atas diri semata terhadap Allah

swt melainkan juga akan ketimpangan dan ketidakadilan realitas sosial yang terjadi dari

segala bentuk kezaliman yang ada.

6
Ayatullah Jawadi Amuli. Rahasia Puasa: Rahasia-rahasia Ibadah. Tersedia di http://www.siah.org/Rahasia
%20Puasa_files/Rahasia Puasa.htm.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 8
C. MANFAAT PUASA ATAS DIRI PERSONAL

Kesehatan

Salah satu hal yang menjadi fenomena pada bulan suci Ramadhan ialah adanya suatu

klaim secara medis mengenai manfaat dalam menjalankan ibadah puasa terhadap

kesehatan pelakunya. Hal ini ternyata bukanlah sebuah bentuk isapan jempol semata,

banyak hasil riset dan penelaahan terperinci atas organ tubuh manusia dan aktifitas

fisiologisnya dari kalangan medis sendiri yang meng-iya kan perihal tersebut, dimana

menemukan kesimpulan bahwa puasa merupakan7 “sesuatu yang harus dilakukan oleh

tubuh manusia sehingga ia bisa terus melakukan aktivitasnya secara baik. Dan puasa

benar-benar sangat penting dan dibutuhkan bagi kesehatan manusia sebagaimana

manusia membutuhkan makan, bernafas, bergerak, dan tidur.” (Ramiyyah: 2003).

Adapun macam-macam jenis penyakit yang dapat dikendalikan dengan adanya

aktifitas puasa bagi organ tubuh manusia misalnya diabetes, darah tinggi, kolesterol

tinggi, maag dan kegemukan. Pengendalian ini disebabkan karena puasa bisa membantu

badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus sel-sel atau hormon atau zat-

zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh yang merupakan metode yang

bagus untuk sistem pembuangan sel-sel atau hormon yang rusak dan membangun

kembali badan dengan sel-sel baru.

Dalam pandangan medis, puasa8 “berarti mengistirahatkan saluran pencernaan

(usus) beserta enzim dan hormon yang biasanya bekerja untuk mencerna makanan terus

menerus selama kurang lebih 18 jam. Dengan berpuasa organ vital ini dapat istirahat

7
Ramiyyah SawaEid. 2003. Manfaat Puasa Secara Medis. Tersedia di http://www.mail-archive.com/hira@alumni-
hira.org/msg01376.html .
8
Sekarindah, . Dr. Titi ,MS. 2002. Manfaat Puasa Bagi Kesehatan, Besarkah..?. Tersedia di
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1036128399,33212 .
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 9
selama 14 jam” (Sekarindah: 2002). Puasa diyakini dapat mengaktifkan sistem

pengendalian kadar gula darah, dengan kadar gula darah turun pada tubuh, maka

cadangan gula dalam bentuk glikogen yang ada di hati mulai dapat digunakan.

Untuk dapat mengoptimalkan dampak positif dari berpuasa bagi kesehatan maka

asupan nutrisi dari makanan pun perlu dapat perhatian. Makanan dengan menu seimbang

yaitu makanan yang terdiri dari karbohidrat 50-60%, protein 10-20%, lemak 20-25%,

cukup vitamin dan mineral dari sayur dan buah serta cukup serat dari sayuran untuk

memperlancar buang air besar. Adapun cairan yang dibutuhkan melalui minum kurang

lebih 7-8 gelas sehari. Setidaknya terdiri dari 3 gelas waktu sahur dan 5 gelas dari buka

sampai sebelum tidur.

Mental

Manusia dalam memenuhi segala macam bentuk kekurangannya sebagai bagian dari

upaya penyempurnaan dirinya banyak terbutakan oleh gerlap-gempita keindahan dunia

yang bersifat materialistik semata. Hal ini tentu saja membawa dampak yang kurang baik

bagi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaian besar manusia dengan

adanya bantuan dari perkembangan teknologi modern, mungkin dapat cukup tertolong

untuk senantiasa mencukupi dan menjaga katahanan dan kesehatan fisiknya. Namun

untuk psikis di balik fisiknya tersebut, bahkan ruh spiritualnya yang kering dari

penghambaan yang sebenarnya, masih patut dipertanyakan dengan tanda tanya besar?.

Sebuah fakta menunjukkan, lebih dari separuh tempat tidur di semua rumah sakit di

Amerika Serikat terisi oleh pasien-pasien gangguan mental (Fromm, 1995:5).

Sebagaimana dimaklumi bersama, Amerika Serikat tergolong sebagai Negara maju yang

senantiasa memiliki kemajuan teknologi dan perekonomian yang pesat, bahkan karena

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 10
hal itu senantiasa dijadikan kiblat pembangunan bagi Negara-negara berkembang

termasuk oleh Indonesia sendiri. Tapi data tersebut menunjukan kepada mata kita adanya

sesuatu yang hilang dari kebutuhan dasar manusia itu sendiri, yaitu kebutuhan akan

tujuan dan sandaran yang bersifatk mutlak dan abadi.

Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwasyahnya ganguan mental dapat berakar dari

tidak terpenuhinya kebutuhan psikis dasar yang berasal dari kekhasan eksistensi manusia

yang harus dipenuhi. Selanjutnya Fromm sendiri mengemukakan (1995:74) konsep

kesehatan mental sebagai sesuatu yang mengikuti kondisi dasariah eksistensi manusia

dimana kesehatan mental tersebut dicirikan oleh kemampuan mencintai dan menciptakan

dengan lepas dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas

yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subjek dan pelaku dorongan-dorongan

dirinya dengan menangkap realitas di dalam dan di luar dirinya, yaitu dengan

mengembangkan obyektivitas dan akal budi, atau dengan kata lain kemampuan untuk

mencintai dan menciptakan kecenderungan non-fisik yang lebih hakiki ketimbang realitas

fisik yang mengitarinya.

Bahkan dalam kasus ini, seorang ahli psikologi Zakiah Daradjat (1995:78),

memandang bahwa peran agama dalam menumbuhkan dan menjaga kesehatan mental

manusia merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Beliau menuturkan 9

“pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi seseorang dari

gangguan jiwa (mental) dan dapat pula mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah.

Karena kegelisan dan kecemasan yang tidak berujung pangkal itu, pada umumnya

berakar dari ketidak puasan dan kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong

9
Fuad Dra. Siti Uriana Rahmawati , MA. 2006. Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan Mental. Tersedia di
http://www.masjidrayavip.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:pengaruh-puasa-terhadap-
kesehatan-mental&catid=65:dra-siti-uriana-rahmawati-fuad-ma&Itemid=104
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 11
seseorang untuk menerima kekecewaan sementara dengan jalan memohon ridla Allah

dan terbayangkan kebahagian yang akan dirasakan di kemudian hari”. Dalam hal ini

pengharapan akan kehidupan yang lebih baik setelah mati atau ganjaran dan pahala di

akhirat berperan sebagai konsepsi mental yang menenangkan jiwa manusia.

Manusia yang merupakan makhluk istimewa senantiasa memiliki dua dimensi dalam

satu eksistensinya, yaitu dimensi lahiriah yang berkenaan dengan jasmani dan dimensi

batiniah yang berkenaan dengan dunia lain yang tidak tampak dan lebih tinggi. Di dalam

dunia batiniah manusia senantiasa terjadinya peperangan yang secara terus-menerus,

dimana kekuatan daya-daya intelektualitas ke-Illahiahan bertempur dengan daya-daya

keburukan dan kehinaan hawa nafs. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan sebuah

riwayat dibawah ini10 :

“Al-Sukuni meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah Al-Shadiq (a.s): Ketika Rasul saw

melihat pasukan yang kembali dari sebuah peperangan, beliau bersabda:

‘Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan

masih harus melaksanakan jihad akbar’. Ketika orang-orang bertanya tentang

makna jihad akbar itu, Rasul saw menjawab: ‘Jihad melawan diri sendiri (jihad

al-nafs)’ ”.

Hawa nafsu merupakan sumber dari segala bentuk perbudakan. Manusia yang tunduk

kepada dominasi hawa nafsunya dan diri jasmaniahnya maka ia telah menjadi budak bagi

hawa nafsunya dan diri jasmaniyahnya tersebut. Bagi manusia yang mendambakan dan

merasa memiliki kehormatan serta martabat sejati seyogyanya dapat melepaskan setiap

belenggu hawa nafsu dan ambisi duniawi tersebut.

10
Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1992. hal 11. Buku Pertama: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-
hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 12
Puasa di bulan Ramadhan merupakan pelatihan-pelatihan yang dapat membebaskan

jiwa manusia dari cinta akan dunia yang berlebihan dan perbudakan hawa nafsu menuju

jiwa yang terbebas dengan nilai-nilai kebajikan dan keluhuran akhlak. Janji ini tidaklah

berlebihan jika kita menengok kebutuhan akan kualitas kesabaran dari seseorang yang

sedang menjalankan puasa.

Pada hari diluar bulan suci Ramadhan, setiap orang yang beriman di halalkan untuk

makan dan minum sesuatu yang halal pada siang harinya. Namun hal itu tidak sebaliknya

jika dibulan Ramadhan. Dimana hal ini mengisyaratkan betul suatu pengendalian diri

seseorang sebagai bentuk dari sabar untuk dapat menahan rasa lapar dan haus dahaga

walaupun itu untuk makanan dan minuman yang halal sekalipun. Kondisi mental sabar

ini lah yang dapat membina dan mendisiplinkan jiwa serta menghantarkan manusia ke

derajat “Manusia Bebas” yang sesungguhnya, sebagaimana riwayat berikut yang

disampaikan oleh Muhammad ibn Ya’qub Al-Kulayni11 :

“Aku mendengar Abu ‘Abdillah as berkata, ‘Manusia bebas itu adalah manusia

yang senantiasa bebas. Andaikata musibah menimpanya, dia menanggungnya

dengan sabar… Kemerdekaannya menyelamatkannya dari mudharat… Maka

dari itu bersabarlah, dan terimalah keadaamnu dengan sabar agar kamu

mendapatkan pahala’ ”.

Selain itu puasa merupakan riyadlah (exercise) yang bersifat pribadi atau personal

yang mengisyaratkan sebuah rahasia antara seseorang manusia dengn Tuhannya melalui

sebuah ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (ompripresent) dan yang

mutlak serta tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap tingkah

Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1993. hal 83. Buku Kedua: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-hadist
11

Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan


HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 13
laku hamba-hamba-Nya, walaupun dalam hal keutuhan dan ketaatan dalam menjalankan

puasa senantiasa tidak dapat diketahui oleh orang yang lain (baik itu orang tuanya,

kerabat-kerabatnya, atasannya, guru-gurunya, dan teman-temanya, bahkan istrinya

sekalipun).

Kesadaran seseorang akan beradaan Tuhan itu akan menjadikan dirinya senantiasa

mengontrol emosi serta perilakunya, sehinga muncul keseimbangan lahiriyah dan

batiniyah. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Bastaman (1995:181) yang menyatakan

bahwa “puasa akan berpengaruh positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will),

karya (performance), bahkan kepada ruh, jika syarat dan rukunnya dipenuhi dengan

sabar dan ikhlas”. Dilain sisi dengan nada yang menguatkan Hawari (1995:251) dimana

puasa sebagai bentuk dari pengendalian diri (self control) yang dimana jika hal tersebut

terganggu, maka akan timbul berbagai reaksi patologik (kelainan) baik dalam alam

pikiran, perasaan, dan perilaku yang bersangkutan. Reaksi patologik yang muncul tidak

saja menimbulkan keluhan subyektif pada diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu

lingkungan dan juga orang lain.

Spiritual

Selain jasmaniah dan mental psikis, wilayah ruhaniah manusia yang merupakan

subtansi sekaligus wujud dari eksistensi yang sebenarnya dari cakupan dua hal tersebut.

Melalui medan kawah candra dimuka pada bulan suci Ramadhan pencapaian

kesempurnaan ruhaniah merupakan hal yang paling urgens. Kondisi ruh yang senantiasa

mendekat (taqarrub) dan penuh harap serta takut akan keberadaan dirinya yang nir

(tiada) dihadapan Sang Khaliknya merupakan konsekuensi dari kesadaran diri.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 14
Bentuk taqwa diri atas segala perilaku sabar, mawas dan pengendalian diri, berharap

dan takut merupakan kekuatan qolbu yang dibutuhkan sebagai upaya selanjutnya untuk

melakukan pendekatan wujud ruh kepada wujud sejati-Nya (dzikrullah). Cahaya taufiq

dan ampunan dari syarat ke-fitri-an ruh merupakan maksud dari ibadah puasa tersebut.

Penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib

(dalam khotbahnya)12 :

“…Nafas-nafas kalian padanya (Ramadhan) dijadikan tasbih (senilai membaca

subhanallah, walhamdu lillah, wa la ilaha ilallah, wallahu akbar), tidur kalian

padanya dihitung ibadah, amal kalian padanya diterima dan doa kalian padanya

diijabah. Maka mintalah kepada Allah Tuhan kalian dengan niat yang benar dan

hati yang suci agar Dia memberi kalian taufiq untuk dapat mempuasainya

(dengan baik) dan membaca kitab-Nya. Sesungguhnya orang yang celaka itu

adalah orang yang tidak memperoleh ampunan Allah pada bulan yang agung

ini… “.

Berpuasa pada bulan Ramadhan selama sebulan penuh dapat menghantarkan diri kita

kepada kondisi yang fitri. Oleh karena itu setiap hari lebaran atau hari terakhir puasa dan

keesokan harinya kita sering menamakannya dengan id’il fitri (Hari Kemenangan). Saya

pikir hal tersebut bukanlah tanpa dasar.

Menjalankan puasa pada bulan Ramadhan dengan benar dan sungguh-sungguh

merupakan ciri taqwa seseorang dalam menghadapkan wajahnya kepada agama, yang

dimana agama itu sendiri merupakan fitrah bagi manusia. Perhatikan riwayat berikut13 :

12
Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Sya’ban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan
Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad .
13
Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1993. hal 1. Buku Kedua: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-hadist
Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 15
“Muhammad ibn Ya’qub (Al-Kulaini), dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad

ibn Muhammad, dari Abu Mahbub, dari ‘Ali ibn Ri’ab, dari Zurarah, yang

mengatakan: ‘Saya bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Al-Imam Al-Shidiq)

mengenai firman Allah: ‘Maka hadapkanlah wajahmu dengan menatap kepada

agama – fitrah Allah yang dengannya Ia menciptakan manusia. Tak ada

perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan

manusia tak mengetahuinnya’ (QS. 30:30). Imam menjawab: ‘Ia menciptakan

manusia dalam tauhid’’ “.

Merujuk kepada keadaan esensial kemaujudan manusia, fitrah Allah merupakan

sesuatu yang ada dalam esensi penciptaan manusia itu sendiri yang berjalin kelidan

dengan substansinya. Tidak satupun diri manusia, baik itu orang yang bodoh atau

terpelajar, manusia barbar atau berperadaban, penduduk di kota-kota atau desa, dan lain-

lain keberagaman ada-nya tetap memiliki fitrah yang sama dan tidak berubah dengan

fitrah tersebut walaupun dari masing-masing manusia itu memiliki keragaman adat-

istiadat dan latar belakang yang berbeda-beda.

Salah satu diantara fitrah-fitrah utama manusia ialah kecintaan dan kerinduan akan

kesempurnaan. Dalam kenyataannya kesempurnaan yang dimaksud oleh manusia

beragam bentuknya baik itu yang berasal dari sesuatu yang nyata/jelas ataupun khayali,

seluruh manusia akan tetap mengusahakan kesempurnaan tersebut dengan sepenuh hati.

Ramadhan merupakan sebuah medan pelatihan dan pendidikan manusia agar segala

nilai-nilai kesempurnaan yang di milikinya tercerahkan dan murni menuju kepada bentuk

kesempurnaan yang sejati. Kecintaan akan kesermpurnaan yang merupakan bentuk dari

cinta yang nyata maka harus dapat mencari dan menemukan Kekasih yang Nyata.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 16
D. PUASA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Kesempurnaan dan Persamaan Manusia

Fitrah manusia untuk cenderung ke sesuatu yang sempurna merupakan keabsahan

yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun bentuk kesempurnaan yang dimaksud

tentunya masih harus ditinjau dari keragaman zat dan sifat dari setiap bentuk

kesempurnaan yang dimaksud. Hawa nafsu manusialah yang me-reduksi setiap makna

kesempurnaan dari masing-masing individu yang notabene-nya itu pun sangat bergantung

kepada tingkatan ma’rifat-nya akan kesempurnaan itu sendiri.

Seperti pada pembahasan sebelumnya, hanya zat Yang Maha Sempurna lah yang

dapat dijadikan sumber rujukan serta tujuan dari penghambaan diri manusia kepada

kesempurnaan. Kecintaan diri manusia sebagai fitrah terhadap kesempurnaan

mengisyaratkan adanya upaya peleburan terhadap kesempurnaan itu sendiri, hal ini dapat

di mengerti dengan tindakan kesadaran manusia yang senantiasa menyempurnakan

dirinya dari segala bentuk kekurangan yang ada pada dirinya. Namun sebagaimana yang

kita ketahui pula hanya yang memiliki lah yang dapat memberi, manusia yang dengan

hawa nafsunya jelas jauh dari bentuk kesempurnaan, bahkan alam semesta sekalipun

yang dengan sifat materialnya tidak luput dari sifat ketidaksempurnaan dan kekekalan.

Oleh karena itu bagi setiap manusia yang hanya dapat membebaskan belenggu hawa

nafsu-nya lah yang akan dapat benar-benar meraih kenikmatan sempurna untuk dapat

menyatu dengan kesermpurnaan-Nya tersebut. Sebagaimana pelajaran yang dapat kita

petik bersama dalam ibadah puasa, dimana dengan pelatihan mengekang hawa nafsu pada

siang hari kita telah belajar bagaimana menyapih segi kemanusiaan kita dengan sifat

hewaniyah (hawa nafsu) yang ada dalam diri menuju ke segi ruhaniah yang kekal dan

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 17
abadi. Baru pada malam harinya kita kembali memberikan pemenuhan kebutuhan sifat

hewaniyah kita sebagai bentuk dari realisasi pemenuhan hak semata.

Kesediaan kita sebagai umat Islam untuk menahan rasa lapar, dahaga serta segala hal

yang dapat membatalkan ibadah puasa merupakan simbol peleburan ego manusia dengan

pelepasan diri dari segala bentuk nafsu jasadi-duniawi (hewaniyah), sekaligus

menegaskan pembebasan (al-hurriyah) manusia dari penghambaan terhadap materi.

Dengan kemampuan dalam mengendalikan ego tersebutlah segenap kesadaran dan rasa

persamaan yang dimiliki oleh setiap insan manusia dapat kita penuhi. Sikap persamaan

(al-musawah) harkat dan martabat sesama manusia ini sesuai dengan semangat al-Quran

yaitu pada hakikatnya semua manusia sama dihadapan Tuhan, hanya tingkat

ketaqwaannyalah yang membedakan satu sama lainnya. (Q. S. 49: 13). Bahkan mengenai

persamaan harkat dan martabat sesama manusia ini, Rasulullah saww bersabda14 :

“Lakukanlah terhadap orang lain sebagaimana engkau ingin agar orang lain

berlaku demikian. Jangan melakukan sesuatu yang sekiranya engkau tidak suka

diperlakukan demikian”.

Prinsip kesetaraan (egalitarianisme) sesama manusia ini pada gilirannya akan

menumbuhkan sikap solidaritas sosial. Louise Marlow (1997)15 mengutarakan bahwa

“secara prinsip, agama-agama monoteis menganggap pengikutnya bersaudara meskipun

asal mereka berbeda. Egalitariansme religius atau moral semacam ini terkandung dalam

al-Quran, demikian juga injil”. Dimensi vertikal (hablun min Allah) yang disimbolkan

dengan penafian terhadap segala nafsu duniawi dan dimensi horisontal (hablun min an-

14
Penerjemah: Ali Muhsein. (1993). Hal.86. Bimbingan Sikap dan Perilaku Muslim. Bangil. Yayasan Pesantren
Islam.
15
Djunedi Didi. (2008). Puasa dan Nilai-nilai Kemanusiaan. Tersedia di
http://didijunaedihz.wordpress.com/2008/09/02/puasa-dan-nilai-nilai-kemanusiaan/
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 18
nas) yang tercermin dari sikap solidaritas sosial sesama manusia berupa pengakuan akan

kesetaraan, persamaan derajat dan kesadaran akan eksistensi kemanusiaan, harus berjalan

secara selaras dan seimbang.

Pada akhirnya ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dapat menghantarkan manusia

untuk meraih kesempurnaanya beserta penciptaan komitmen bersama untuk menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, empati dan persamaan, sehingga setiap

individu ataupun kelompok sosial terjamin hak-haknya sebagai manusia yang merdeka

dan bermartabat yang sesuai dengan cita-cita Islam yang luhur.

Hal ini merupakan penegasan kembali akan pentingnya keutuhan kualitas kesalehan

orang-orang beriman, agar dalam perjalan kehidupannya tidak hanya berorientasi

terhadap kesalehan yang bersifat formalistic – symbolic semata sehingga menimbulkan

gejala dan penyakit split integrity. Menurut Didi Djuanedi (2008) menjelaskan bahwa

gejala split integrity merupakan fenomena sosiologis dimana di satu sisi seseorang

terlihat sebagai sosok yang saleh secara ritual, namun di sisi lain ia juga sosok manusia

yang bobrok secara moral.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 19
Keutamaan Kebaikan

Kebebasan kehendak (ikhtiar), merupakan salah satu fitrah lain yang dimiliki

manusia. Melalui ikhtiar ini manusia dapat mencapai pemenuhan kesempurnaanya

masing-masing. Sebagaimana nilai dari derajat kesempurnaan itu sendiri berbeda-beda

secara makrifat, jatuhnya pilihan-pilihan terhadap jalan yang ditempuh pun ikut andil

dalam menenentukannya.

Seseorang yang senantiasa dapat mengendalikan dirinya dari pilihan-pilihan yang

jauh dari kesempurnaan, pada dasarnya mencoba mengsinkronkan antara kehendak diri

pribadinya dengan kehendak dari Yang Maha Berkehendak. Bahkan pada derajat tertentu

setiap kehendak yang dimiliki manusia dapat benar-benar melebur dengan Kehendak

Sang Maha Kuasa, sehingga tampak darinya setiap tindakan yang dilakukan itu semata-

mata merupakan pengejewantahan Kehendak Sang Khalik semata. Di lain sisi, kita pun

memahami bahwa, pada dasarnya kehendak bebas individu itu tak terbatas kecuali

dibatasi oleh kehendak bebas individu yang lain. Oleh karena itu jika dalam konteks

masyarakat, menjadi sebuah kemestian jika setiap kehendak bebas masing-masing

individu senantiasa saling di waqaf kan sebagian terhadap individu yang lainnya. Dalam

hal inilah kita memahami hadirnya sebuah kesepakatan (rule of law) sebagai sebuah

keniscayaan dalam hidup bermasyarakat.

Puasa yang dengannya kita ditempa untuk dapat menelanjangi diri dari segala bentuk

keterbatasan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu hewaniyah dengan mengukukuhkan jiwa

oleh nilai-nilai spiritual ke-Illahiyahi-an menuju hawa nafsu yang mutma’innah,

senantiasa menghantarkan kesesuaian fitrah kebebasan kehendak kita dengan kehendak-

Nya. Kesesuaian tersebut merupakan bentuk dari keutaman kebaikan dari kecintaan diri

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 20
itu sendiri akan kesempurnaan. Bahkan dalam konteks kemasyarakatan pun, dengan

adanya pembatasan hakiki atas kehendak bebas oleh kehendak Ilahi sebagai sebuah

kemaslahatan dapat dipandang sebagai jaminan sosial yang sebenarnya ketimbang

terhadap kesepakatan sesama manusia semata sebagai sebuah konstitusi. Hal ini wajar

jika kita mengingat potensi negatif dari kebebasan tak terbatas tersebut mengindikasikan

adanya dominasi kehendak bebas individu yang berkuasa atas sebagian kehendak bebas

individu yang lebih lemah lainnya, dimana kekhawatiran yang mungkin sekali terjadi atas

adanya perbudakan dan penjajahan sebagai bentuk eksploitasi atas manusia oleh sebagian

yang lain akibat dari keserakahan dan tabi’at hewaniyah manusia itu sendiri.

Islam memposisikan nilai dari keutaman kebaikan sebagai sesuatu yang terintegrasi

bagi tiap-tiap jiwa umat, maka agama ini pun mengajarkan nilai-nilai kebaikan, baik itu

untuk diri sendiri maupun lingkungannya sebagai keutamaan. Sebagai perenungan

semata, mari kita perhatikan barisan ayat suci al-Quran sebagai berikut:

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang

maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan

(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS.

3. 134).

Orang beriman yang mencari nafkah semata sebagai penyempurnaan bagi kebaikan

dirinya tidak lah akan sempurna sebagai sebuah keutamaan dari kebajikan jika kebaikan

nafkah tersebut tidak dimanifestasikan kedalam kehidupan sosialnya. Amarah yang

merupakan ledakan emosional dari ketidaksetujuan kehendak diri akan realitas yang

timpang berdasarkan nilai yang diyakininya –misal kita marah terhadap segala bentuk

kedzaliman- senantiasa diekspresikan oleh sikap yang disertai dengan cara-cara yang baik

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 21
(hanif) dan mengutamakan pengampunan –tanpa melanggar dari ketentuan syari’at dan

keadilan- atas sebuah ke-khilafan merupakan ciri kebajikan yang dimiliki oleh orang

yang beriman.

Kejadian yang menjadi lumrah dan akrab, jika pada bulan suci ini propaganda saling

maaf-memaafkan antara sesama muslim pada khususnya maupun antara sesama manusia

pada umumnya menjadi ciri khas tersendiri yang dimiliki bulan suci Ramadhan.

Fenomena puasa pada bulan suci Ramadhan sebagai bulan yang penuh dengan maghfirah

ini merupakan pengkondisian atas jiwa kita agar senantiasa tidak putus harap akan

ampunan-Nya dan daya dari nilai kebaikan untuk dapat saling memaafkan diantara kita.

Pengharapan akan ampunan dari Allah swt tersebut bukanlah seuatu kondisi yang

dimana diri menjadi pasif, sebagaimana puasa tetap mengharuskan yang menjalankannya

aktif beribadah baik secara vertical (hablum min Allah) maupun aktif secara ibadah

horizontal (hablum min an-nas), maka tobat dari suatu kesalahan haruslah sebuah bentuk

penyesalan dan perbaikan dari segala akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan yang

diperbuatnya tersebut disertai dengan pencegahan-pencegahan terjadinya kembali

kesalahan yang serupa. Jadi ampunan atau pengampunan merupakan keutamaan kebaikan

itu sendiri, dimana dengan adanya perbuatan aktif dalam melakukan perbaikan-perbaikan

tersebut merupakan ikhtiar nyata dalam menggapai harapan adanya timbangan neraca

amal yang memberatkan ganjaran pahala di akhirat nanti.

Bahkan relevansi antara kebaikan yang didapat oleh orang yang menjalankan ibadah

puasa bagi dirinya sendiri terhadap keutamaan kebaikan bagi lingkungan yang

dimilikinya merupakan sebuah rumusan dari kesempurnaan beribadah puasa dalam bulan

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 22
Ramadhan. Penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam ‘Ali bin

Abi Thalib (dalam khotbahnya)16:

“…Ingatlah dengan rasa lapar dan dahaga kamu padanya akan kelaparan dan

kehausan kamu pada hari kiamat. Bersedekahlah kamu kepada orang-orang faqir

dan orang-orang miskin kamu. Hormatilah orang-orang yang usianya lebih tua

dari kamu, sayangilah orang-orang yang umurnya lebih muda dari kamu,

sambungkan rahim-rahim kamu, jagalah lidah-lidah kamu, tundukkanlah

penglihatan kamu dari segala perkara yang diharamkan melihatnya,

palingkanlah pendengaran kamu dari segala yang diharamkan untuk

mendengarnya dan santunilah anak-anak yatim orang lain agar mereka

menyantuni anak-anak yatim kamu… ”.

Merdeka dan Memerdekakan

Orang yang merdeka pada dasarnya ialah seseorang yang dengan kehendak bebasnya

dapat mengoptimalkan segala potensi dirinya dengan menjatuhkan pilihannya kepada

kesempurnaan hidup. Islam memandang agung dan mulia sebuah kebebasan, adapun

kebebasan hakiki yang dimaksud oleh agama ini tentunya ialah kebebasan dari belenggu

syahwat dan kecenderungan hewaniyah dalam diri, dimana hal tersebut dapat

mengakibatkan reduksi dari pemaknaan kesempurnaan serta kekeliruan dalam

menjatuhkan pilihan hidup.

Mari kita ingat kembali sebuah hadist dari Rasul saww yang disampaikan pada saat

khutbahnya pada Jumat terakhir bulan Sya’ban “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya

jiwa kalian tergadaikan dengan amal kalian, maka bebaskanlah (jiwa kalian) dengan

Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Sya’ban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan
16

Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad.


HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 23
ber-istighfar”. Refleksi kesadaran atas diri dari ekspresi ber-istighfar bukan hanya

semata-mata dihadiratkan kepada Allah swt semata, melainkan juga sebagai kesadaran

social. Tergadainya diri oleh amal perbuatan tidak akan dapat dimengerti jika tidak

menghadirkan objek dari perbuatan sebagai predikat oleh subjek diri kita. Lingkungan

dan masyarakat lah yang menjadi objek dari setiap perbuatan kita, maka perbuatan yang

didasari oleh pilihan kehendak bebas yang tepat lah yang dapat menghantarkan

kebebasan jiwa yang fitri.

Dalam bulan suci Ramadhan ini, salah satu nilai edukasi yang dihadirkan oleh Allah

swt ialah menunjukan pentingnya sebuah kemerdekaan diri sebagai modal utama untuk

dapat memerdekakan yang lain, karena tidak mungkin seseorang yang tidak memiliki

kemerdekaan pada dirinya dapat senantiasa memerdekakan orang lain, sebagaimana para

budak dan hamba sahaya. Dalam penggalan riwayat yang sama dengan sebelumnya,

dimana disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (dalam

khotbahnya)17 “…Wahai manusia! Barangsiapa memberikan makanan dan minuman

untuk berbuka puasa orang yang beriman pada bulan ini, maka dengan itu dia akan

mendapatkan pahala memerdekakan hamba di sisi Allah dan pengampunan atas dosa-

dosanya yang telah lalu… Barangsiapa yang meringankan beban (pekerjaan) dari

hambanya (pembantu rumah tangganya) pada bulan ini, niscaya Allah akan ringankan

pengadilan-Nya… Barangsiapa yang memuliakan seorang anak yatim padanya, Allah

akan memuliakan dia pada hari dia bertemu dengan-Nya. Barangsiapa yang

menyambungkan rahimnya padanya, Allah akan menyambungkannya dengan kasih-Nya

pada hari dia berjumpa dengan-Nya…”.

Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.6. Sya’ban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan
17

Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad.


HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 24
Keadilan atas Sesama

Berbuat adil, berarti berupaya untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.

Dalam memandang keutaman dari seseorang manusia terhadap manusia lainnya haruslah

berdasarkan atas azas keadilan tersebut. Sebagaimana yang telah kita pahami bersama

bahwa pada hakikatnya manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan,

semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat

eksistensinya.

Dalam ibadah puasa, kesediaan untuk menahan rasa lapar, dahaga serta segala hal

yang dapat membatalkan ibadah puasa merupakan simbol peleburan ego manusia dengan

pelepasan diri dari segala bentuk nafsu jasadi-duniawi (hewaniyah), sekaligus

menegaskan kembali pembebasan (al-hurriyah) manusia dari penghambaan terhadap

materi. Dengan jalan ini setiap kaum beriman dapat menajadi insan taqwa (muttaqin)

sebagaimana maksud yang disampaikan oleh kewajiban ibadah puasa itu sendiri (QS.

2:183). Sedangkan keutamaan dari seseorang manusia terhadap manusia mestilah

berdasarkan kedekatan yang diupayakannya sebagai wujud mungkin terhadap wujud

wajib yaitu Allah swt sebagai bentuk dari keber-ada-an keimanan dan ketaqwaannya.

Sebagaimana penggalan ayat al-Quran surat al-Hujaraat ayat 13 berbunyi “ …

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang

paling taqwa diantara kamu… “.

Azas keadilan ini meliputi fitrah manusia dalam memiliki kemerdekaan hidup,

dimana setiap kehendak bebasnya dalam menjatuhkan pilihan merupakan dasar dan hasil

dari kesadaran dan upaya kemerdekaannya sendiri dalam meraih kesempurnaan. Oleh

karena itu Islam memandang manusia secara fitri sebagai makhluk percaya dan

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 25
berketuhanan. Makluhk percaya dan berketuhanan ini senantiasa mengakibatkan

perlunya penempatan kemerdakaan dirinya diatas jalan kehendak Sang Maha Kuasa,

karena hanya dengan demikian lah kita telah dapat berbuat adil terhadap diri sendiri yang

serba tidak sempurna menuju kepada kesempurnaan-Nya yang sejati itu. Semakin ia

dapat menempatkan kehendaknya sesuai dengan kehendak yang Maha Sempurna maka

semakin adil lah ia pada dirinya, sehingga derajat taqwa pun dapat diraihnya.

Puasa dapat kita pandang sebagi fenomena dimana orang-orang beriman sebelumnya

selama 11 bulan lamanya mungkin terlalu tenggelam dalam hiruk-pikuk kesibukan

aktifitas dan kelamnya kehidupan duniawi sebagi upaya pemenuhan hajat jasmaniyah

semata, maka dengan memberikan hak pada diri sendiri melalui jamuan Allah swt (puasa)

merupakan upaya yang adil untuk dapat memenuhi hajat dimensi ruhaniyah yang kita

miliki. Didalam menjalankan ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan itu sekalipun,

pemenuhan hak jasmaniyah kita tetap menjadi suatu kewajiban, hal ini dilakukan dengan

batasan waktu pada praktik puasa itu sendiri yang dimulai dari fajar sejati hingga malam

(maghrib).

Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa rumusan dari kesempurnaan

beribadah puasa itu sendiri ialah terletak dari adanya keutamaan kebaikan yang bukan

hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi lingkungannya. Bagi seseorang yang

terbiasa untuk senatiasa menghadirkan keadilan bagi dirinya berarti berkualitas sebagai

seseorang yang memiliki rasa adil dalam dirinya. Oleh karena itu untuk menyempurnkan

rasa adil itu maka implementasi pada tataran sosial sebagai bentuk dari keadilan sosial

merupakan hal patut dan utama.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 26
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran”. (QS. 16. 90).

Menegakkan keadilan dan memberantas segala bentuk kedzaliman seharusnya

merupakan sikap yang dihasilkan oleh setiap orang beriman yang menempa dirinya pada

madrasah Ramadhan. Sebagaimana kepemilikan rasa adil pada diri individu merupakan

jaminan dari keadilan sosial bagi lingkungannya, maka budaya adil yang dimiliki oleh

komunitas muslim merupakan jaminan bagi keadilan universal dalam tatanan masyarakat

dunia.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan

janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu

untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada

taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan.” (QS. 5. 8).

Untuk menegaskan kembali bahwa keadilan merupakan pondasi dasar dari tatanan

komunitas muslim, Rasulullah saw bersabda18: “Seorang yang memakan makanan

tambahan (camilan/makanan ringan setelah makan makanan pokok), sedang saudara-

saudara Muslimnya sedang lapar, berarti dia tidak percaya terhadap kenabianku”.

18
Penerjemah: Ali Muhsein. (1993). Hal.90. Bimbingan Sikap dan Perilaku Muslim. Bangil. Yayasan Pesantren
Islam.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 27
Mawas Diri atas Perbincangan mengenai Kebenaran

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa menjalankan ibadah puasa bukanlah hanya

menahan dari makan dan minum semata, namun juga dapat menahan diri dari segala

bentuk penglihatan, pendengaran, perkataan, dan pikiran yang tidak baik. Dengan bekal

dari pengendalian diri tersebut, sebenarnya kaum muslim telah dapat mempertahankan

dan mengembangkan kepribadian jujurnya. Jujur dalam mengemukakan dan penerimaan

diri atas kebenaran misalnya.

Ada pandangan umum bahwa, ketika seseorang yang tadinya sering membicarakan

kepedulian akan segala bentuk permasalahan social disekitarnya dan jika seseorang

tersebut sudah masuk ke ruang elite sesudahnya maka bekesudahan pula pembelaan dan

kepedulian social nya terhadap kaum lemah. Hal ini merupakan permasalahan inti dari

permasalahan yang tampak sebenarnya, jika seseorang muslim sudah tidak lagi memiliki

kecenderungan dalam jujur terhadap memenangkan kebenaran dan keadilan dalam

hatinya maka pertanda rusak lah tatanan masyarakat muslim disekitarnya.

Sikap agresif dalam diskusi-diskusi akademik, khususnya jika di sana hadir pula

ulama-ulama besar dan orang banyak merupakan kecenderungan yang buruk. Diskusi

intelektual seharusnya dapat menjadi ibadah yang masuk pada tingakatan yang tinggi, hal

tersebut jika dilakukan dengan niat sungguh-sungguh dalam memenangkan kebenaran

dan keadilan. Perhatikan hadist dibawah ini19 :

“Diriwayatkan dari sahabat Nabi bahwa sekali waktu Rasul saw datang kepada

mereka ketika mereka sedang berdebat keras tentang suatu masalah agama.

Rasul saw amat tidak menyukai hal itu dan belum pernah semarah ini. Rasul saw

19
Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1992. hal 33. Buku Pertama: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-
hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 28
berkata kepada mereka bahwa karena berdebatlah para pendahulu mereka

dihancurkan, dan beliau menambahkan bahwa seseorang yang gemar berdebat

amatlah merugi. ‘Tinggalkanlah perdebatan yang berlarut-larut, sebab aku tidak

akan memberikan syafaat kepadanya pada Hari Kiamat. Aku menjanjikan tiga

buah rumah dengan taman-taman dan tingkat-tingkatnya bagi siapa yang

meninggalkan perdebatan, sebab ia adalah hal kedua setelah penyembahan

berhala, yang aku dilarang mengerjakannya oleh Tuhanku. Tidak akan sempurna

hakikat keimanan seseorang kecuali setelah ia meninggalkan perdebatan

walaupun ia dalam kebenaran.’ Lanjut Rasulullah saw” .

Perdebatan jelas merupakan perkerjaan yang sia-sia dan menghancurkan, berbeda

sekali dengan maksud dari diskusi yang sebenarnya. Jalaluddin Rakhmat (2003:19)20

mengutip sebuah riwayat yang berasal dari Imam Husain bin Ali as, dimana perdebatan

itu tidak lebih dari empat macam, yaitu :

1. Kamu dan temanmu berdebat tentang apa yang kalian berdua mengetahuinya.

Dalam hal ini kalian telah meninggalkan nasihat dan mencari kesalahan serta

menghilangkan ilmu itu.

2. Kalian bedebat tentang apa yang kalian berdua tidak mengetahuinya, maka kalian

telah menampakkan kebodohan dan berselisih tentang sesuatu yang tidak

diketahui.

3. Kalian berdebat sedangkan kamu mengetahui hal yang diperdebatkan dan

kawanmu tidak, maka kamu telah menzalimi temanmu dengan mencari

kesalahannya.

Rakhmat Jalaluddin. 2003. Hal 13. Mukhtasar Shahifah Husainiyyah “Nasihat, Kisah dan Doa Imam Husain as”.
20

Bandung. Muthahhari Press.


HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 29
4. Kalian berdebat sedangkan temanmu mengetahui hal yang diperdebatkan dan

kamu tidak, maka kamu tidak menghormatinya meskipun kedudukannya tidak

jatuh.

Bahkan penjelasan dari riwayat itu selanjutnya menyatakan bahwa jika perdebatan

ditinggalkan dengan sikap yang adil dan senantiasa terbuka untuk menerima kebenaran

maka hal itu merupakan upaya nyata dalam meneguhkan keimanan dan memperbaiki

persahabatan agamanya serta menjaga akalnya.

Debat sebagai sesuatu yang sia-sia jika dilakukan dan mesti kita tinggalkan ialah

sesuatu yang sangat wajar, dimana debat itu sendiri memang suatu metoda yang keliru

dalam menentukan kebaikan dan kebenaran dari sesuatu. Hal ini dapat kita pahami dari

makna dan maksud debat itu sendiri berdasarkan definisinya yaitu21 “Pembicaraan yang

berisi bantahan-bantahan saling menyanggah dengan mempertahankan pendapatnya

masing-masing”.

Hal tersebut sudahlah menyalahi pencarian kebenaran sebagai upaya kebaikan itu

sendiri, dimana argumentasi yang paling menang dan bertahanlah yang diunggulkan

dengan tidak memperhatikan kebenaran dari argumentasi tersebut terhadap kebenaran

dari argumentasi-argumentasi lainnya.

Berbeda dengan diskusi, dimana memiliki pengertian sebagai 22 “Pertemuan ilmiah

yang dihadiri oleh beberapa orang yang membahas suatu masalah dengan saling tukar

pendapat”. Dimana diskusi itu sendiri merupakan upaya komunikasi (tukar pendapat)

dengan semangat untuk mencari kebenaran (solusi) dari suatu permasalahan tertentu.

21
Afrina, Dra. Eka Yani. Hal 74. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. TIGA DUA.
22
Idem. Hal 90.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 30
Diskusi itu sendiri tetap memperhatikan proses pemenuhan kebenaran dari beberapa

argumentasi yang hadir dengan rumusan :

1. A + B = A (Jika argumentasi A lebih benar maka argumentasi B keliru, maka

demi kebenaran argumentasi A diterima dengan keterbukaan pihak B).

2. A + B = B (Jika sebaliknya dari yang pertama)

3. A + B = C (Jika argumentasi A dan B saling melengkapi dan menguatkan

kebenaran yang ada, maka argumentasi C yang merupakan kesimpulan yang

dipegang bersama).

Berdiskusi yang logis menyebabkan pahala spiritual bagaikan pahala shalat yang

diterima. Hal ini berdasarkan sabda Imam Muhammad Baqir as. Bahkan Imam Ali as

bersabda mengenai musyawarah (bentuk diskusi) sebagai sesuatu yang penting

sebagaimana berikut :

“Siapupun yang merasa dirinya benar sehingga tidak perlu bermusyawarah

dengan lainnya, ia akan menghadapi beberapa kesulitan”.

“Aku benci kepada orang-orang yang diajak musyawarah oleh seseorang Muslim

sedangkan ia tahu sesuatu yang baik bagi si Muslim, tapi ia diam tidak

mengatakannya”.

Dalam diskusi itu sendiri mensyaratkan dari ketidak sia-siannya sebuah komunikasi

pencarian kebenaran dengan memperhatikan adanya persamaan di wilayah objek

permasalahan yang ditunjuk atau dibatasi dan dengan konteks bahasa yang dipahami

bersama. Selain itu juga adanya perbedaan di wilayah tingkat pengetahuan terhadap objek

yang ditunjuk tersebut.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 31
E. KESIMPULAN

Puasa dalam bulan Ramadhan senantiasa disimbolkan oleh agama Islam dengan

mengisyaratkan adanya kesucian yang terkandung didalamnya. Puasa pada bulan suci

Ramadhan mengakibatkan terbentuknya kualitas kesalehan sosial, individual dan sipritual

dengan meniadakan segala bentuk kesengsaraan manusia yang timbul karena mengikuti

hawa nafsunya.

Semua bentuk kezaliman dan ketidakadilan, tertindasnya mustad’afin (kaum lemah)

dan semua kepasrahan menerima penindasan yang ada di tengah umat manusia, semua itu

terjadi karena kepasrahan kepada hawa nafsu dan ketundukan kepada bisikan syahwat.

Dalam Islam, tidak terdapat keagungan dan kemuliaan yang melebihi kebebasan.

Kebebasan dari belenggu syahwat dan kecenderungan yang ada dalam diri dengan

merefleksikan kesadaran atas diri terhadap Allah swt dan juga akan ketimpangan dan

ketidakadilan realitas sosial yang terjadi dari segala bentuk kezaliman yang ada. Wallahu

`alam bishowab.

HMI Menulis Kreatif Ramadhan : “Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia” , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 32

You might also like