You are on page 1of 35

KATA PENGANTAR

Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami


perubahan yang sangat besar terutama berkaitan dengan gerakan reformasi
1998. Oleh karena itu, materi perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan tidak
mungkin dilepaskan dari perkembangan kenegaraan tersebut agar kadar
keilmiahan serta obyektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Banyak tuduhan dialamatan kepada sosok Pendidikan
Kewarganegaraan dan tuduhan itu barangkali juga ada benarnya. Beberapa
tuduhan itu antara lain (i) Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat politis
daripada akademis, lemah landasan keilmuannya, (ii) tidak tampak sosok
keilmiahannya, dan (iii) sering dititipi kepentingan politik penguasa.
Berdasarkan kenyataan tersebut sudah merupakan keharusan untuk
menata ulang materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan agar sesuai dengan
perkembangan zaman, terutama tuntutan reformasi. Dalam proses
penyusunan ulang materi Pendidikan Kewarganegaraan penulis berupaya
untuk mengumpulkan buku-buku referensi yang sesuai dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Penulis senantiasa terbuka menerima masukan untuk perbaikan
naskah buku ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat membantu
kelancaran perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan.

Malang, 12 Mei 2011


Penulis.

1
DAFTAR ISI

1. Kata pengantar...............................................................................1
2. Daftar isi........................................................................................2
3. Bab I Pendahuluan..........................................................................3
4. Bab II Ruang Lingkup......................................................................7
5. Bab III Langkah-langkah pelaksanaan..............................................8
6. Bab IV Realisasi.............................................................................10
7. Bab V Penutup..............................................................................34
8. Daftar Pustaka..............................................................................35

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta


didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten
untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara
kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada
semangat kebangsaan--atau nasionalisme--yaitu pada tekad suatu
masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara
yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras,
etnik, atau golongannya. [Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1998].

Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat


kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu
ditularkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang
mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis,
negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara Kesatuan dengan bentuk
Republik.

3
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
[Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945]
Dalam perkembangannya sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan
penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai
peristiwa yang mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang
mendalam dan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan
semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia
perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya
generasi muda sebagai penerus bangsa.
Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem
pemerintahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk
menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-
organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dimulai, diinternalisasi, dan
diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh
warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya
dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul
tanggung jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk
masa depan yang cerah.

4
Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan
dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka
pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, sekolah memiliki peranan
dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan warga
negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah
menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai
kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran
Kewarganegaraan (Citizenship).
Keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan, media masa, dan
lembaga-lembaga lainnya dapat bekerjasama dan memberikan kontribusi
yang kondusif terhadap tanggung jawab sekolah tersebut.

B. PENGERTIAN
Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-
kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945.

C. TUJUAN DAN FUNGSI


Kewarganegaraan di SMA dan MA mempunyai tujuan dan fungsi berikut ini.
1. Tujuan
Tujuan mata pelajaran Kewarganegaraan adalah untuk memberikan
kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
(1)berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan,

5
(2)berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
(3)berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

(4)berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara


langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.

2. Fungsi
Mata pelajaran Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk
membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia
kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD
1945.

6
BAB II
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup mata pelajaran Kewarganegaraan dikelompokkan ke dalam


komponen rumpun bahan pelajaran dan sub komponen rumpun bahan
pelajaran sebagai berikut:
ASPEK
SUB ASPEK
SISTEM BERBANGSA DAN BERNEGARA
1.Persatuan bangsa dan negara
2.Nilai dan norma ( agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum )
3.Hak Asasi Manusia
4.Kebutuhan hidup warga negara
5.Kekuasaan dan politik
6.Masyarakat demokratis
7.Pancasila dan konstitusi negara
8.Globalisasi

7
BAB III
LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN

Standar Kompetensi Lintas Kurikulum merupakan kecakapan untuk


hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh
peserta didik melalui pengalaman belajar.
Langkah-langkah pelaksanaan ini meliputi:
1. Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban,
saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang
dianutnya
2. Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan
mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan
orang lain.
3. Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik,
pola, struktur, dan hubungan.
4. Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang
diperlukan dari berbagai sumber.
5. Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan
teknologi, dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
untuk mengambil keputusan yang tepat.
6. Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan
budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan
historis.
7. Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta
menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju
masyarakat beradab.
8. Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan

8
peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
9. Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan
bekerja sama dengan orang lain.

9
BAB IV
REALISASI
A. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan
Watak dan Peradaban bangsa Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya


merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara
yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara
Pancasila. Atau dengan perkataan lain merupakan pendidikan Pancasila
dalam praktek. Secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dapat
dilihat sebagai suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1996,
Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan potensi peserta didik
agar memiliki “civic intelligence” dan “civic participation” serta
“civic responsibility” sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak
dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001,
2006).
Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat? Untuk menjawab pertanyaan ini,
pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan
Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah),
sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya
sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan
Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).
1. Pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler
Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah
mengalami pasang surut (Winataputra:2001). Dalam kurikulum sekolah
sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara
dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975,

10
Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan
Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah
dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila
dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan
tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa itu dikenal sebagai civic
education dalam konteks wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang
demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing. Sebagaimana
berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagai
nomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di
dalamnya “civic education” (USA) atau disebut juga pendidikan
kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al
watoniyah (Timur Tengah) atau “educacion civicas” (Mexico), atau
“Sachunterricht” (Jerman) atau “civics” (Australia) atau “social studies” (New
Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society”
(Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999;
Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter
( character education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott:
1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.
Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler
pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan
dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal
dua muatan wajib yakni
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 3
pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan
dasar dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang

11
di Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan
Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini
ternyata menimbulkan kesan di kalangan komunitas dosen pengasuh kedua
mata kuliah itu bahwa Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan dua kemasan kurikuler yang berbeda.
Pendidikan Pancasila dianggap sebagai kemasan kurikuler untuk pendidikan
nilai-nilai Pancasila, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
kemasan kurikuler pendidikan kewiraan dan pendidikan pendahuluan bela
negara. Adanya dua persepsi ini ternyata masih terbawa sampai saat ini,
ketika memahami konsepsi muatan pendidikan kewarganegaraan menurut
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dualisme ini masih menyisakan
kontroversi tentang perlu tidaknya di perguruan tinggi ada dua mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sama-sama
merupakan wahana kurikuler pendidikan nilai-nilai Pancasila, yang secara
filosofik dan substantif-pedagogis merupakan pendidikan kewarganegaraan
ala Indonesia.
Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara
memerlukan wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan
menjamin kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi
antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu
terjadi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia,
pendidikan kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu dengan cara berfikir konsistensi
dan keherensi, pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah
pendidikan Pancasila, atau Menurut Heri Ahmadi yang bersama dengan Noor
Syam dan penulis menjadi pembicara dalam Seminar Pendidikan dan
Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila pada tanggal 8 Juni 2006 di Jakarta,

12
kemudian disepakati sebagai kesimpulan Seminar tersebut, ditegaskan bahwa
core dari pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah Pancasila.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa pendidikan kewarganegaraan
untuk Indonesia secara filosofik dan substantif-pedagogis/andragogis,
merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta
didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban,
berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan
berkeadilan.
Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah
dicapai sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi
lingkup mata pelajaran ini, mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma
hukum dan peraturan, hak azasi manusia, kebutuhan warga negara,
konstitusi negara, kekuasaaan dan politik, Pancasila, dan globalisasi.
Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan sejajar dengan aspek
lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman belajar hendaknya
ditempatkan sebagai core atau concerto dalam orkestrasi kesemua aspek
untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara generik.
Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 4
dikembangkan pendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan
pendidikan nilai-nilai Pancasila.
Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan
tinggi adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak
usia sekolah yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan
menuju kematangan. Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi
dalam tiga tataran, yakni (a) Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b)

13
Pancasila pada tataran instrumental-sociokultural, dan (c) Pancasila pada
tataran psikososial-individual dan kolektif. Pada tataran filosofik-ideologik
Pancasila perlu dilihat sebagai integrated knowledge system yang memiliki
dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang seyogyanya dikaji secara
akademik/ilmiyah. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai ideologi
terbuka untuk pengembangan secara keilmuan.
Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai
yang menjadi ingredient dan spirit/ ethos dari keseluruhan sistem konstitusi
dan kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
konteks ini
Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi
kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai
parameter untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi
kehidupan kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara
normatif-inferensial. Pada tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila
harus dilihat sebagai sistem nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam
pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial-kultural individu dalam
keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai sumber rujukan prilaku yang
perlu diinternalisasi oleh individu dalam perannya sebagai anggota
masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.
Dengan argumen tersebut, ada dua alternatif pengemasan pendidikan
Pancasila di perguruan tinggi. Pertama, konsisten dengan pasal 37 UU No.20
tahun 2003 tentang Sisdiknas, ketiga tataran pendidikan Pancasila (filosofik-
ideologik, tataran instrumental -sociokultural dan psikososial-individual dan
kolektif) dikemas utuh dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
dengan beban belajar 3-4 sks. Kedua, secara kurikuler, pendidikan Pancasila

14
dikemas dalam dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan
Kewarganegaraan dengan beban belajar masing-masing 2 sks. Mata kuliah
Kajian Pancasila yang dikembangkan sebagai program kurikuler yang
mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran filosofik-ideologik dan
instrumental-sosiokiltural, sedangkan mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dikembangkan sebagai program kurikuler yang mewadahi
pendidikan Pancasila pada tataran psikososial individual dan kolektif.
Sebagai benchmark, marilah kita lihat konsep civic education secara generik-
akademik, yang di Indonesia disebut pendidikan kewarganegaraan dalam
makna generik pendidikan Pancasila, kini menjadi konsep yang lebih
multifaset. Adalah CIVITAS International (2006) yang merumuskan kosep
tersebut secara lebih luas seperti berikut.
“Civic education involves many things: the study of constitutions; the rule of
law and the operations of public institutions; the study of electoral
processes;instruction in the values and attitudes of good citizenship; the
development of the skills of government and politics; issues of human rights
and intergroup relations; and conflict resolution.Civic education is
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 5
pedagogy, encompassing education and training of both youths and adults in
and outside of schools. Civic education can also take place through radio and
televition broadcasting and othr means. Distance learning techniques are
increasingly important, particularly in the developing world.
2. Pendidikan Pancasila sebagai Proses Pendidikan: Praksis
Pembelajaran
Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan
prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti
dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning.
Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan

15
misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif,
dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan
bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan
(SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan
universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang
terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses
belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi
sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi
pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.
Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik,
harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya
dalam pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan
Pancasila yang menjadi tema sandingan pendidikan Pancasila, menjadi
sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia
yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya
dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-
nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang
membudayakan dan mencerdaskan.
3. Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan
Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan:
Proses nation’s character building.
Gerakan reformasi yang masif di Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an,
telah berujung dengan jatuhnya Presiden Soeharto selaku penguasa Orde
Baru. Kemudian naiknya Presiden Habibie telah berhasil memancangkan
tonggak awal demokratisasi berupa kebebasan pers yang bertambah luas,

16
Pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Lalu terpilihnya Presiden
Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah memungkinkan reformasi demokrasi
terus berlanjut. Dengan naiknya Presiden Megawati Soekarnoputri (Mbak
Mega) reformasi demokrasi terus bergulir. Pada kurun waktu tiga Presiden
pasca Soeharto inilah dihasilkan Perubahan ke 1 sampai ke 4 atas UUD 1945
yang secara konseptual dan normatif diyakini merupakan konstitusi yang
lebih mewadahi cita-cita dan demokrasi yang tepat untuk Indonesia. Atas
dasar UUD 1945 yang telah diamandemen ini untuk pertamakalinya
diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yang
mengantarkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Mohamad Jusuf Kala
(MJK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan Pancasila seperti
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya atas batang tubuh
UUD 1945 kehidupan berkonstitusi mengalami banyak perubahan baik pada
tataran instrumental maupun pada tataran praksis. Proses demokratisasi di
Indonesia yang
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 6
berdasarkan Pancasila telah menjadi semakin luas jangkauannya dan semakin
tinggi intensitasnya. Namun demikian ternyata semakin banyak pula
anomalinya pada semua tataran, seperti disharmoni antar peraturan
perundang-undangan pada tataran instrumental, dan fenomena proses
demokrasi yang cenderung anarkhis. Selain dalam Upacara dimana Pancasila
dibaca serempak dibawah pemandu Pembina Upacara, tampaknya banyak
pejabat, dosen, atau tokoh masyarakat yang malu-malu kucing menyebut
Pancasila. Keadaan ini memang benar-benar menyedihkan. Apakah hal ini
mencerminkan bahwa telah terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dari
instrumentasi dengan idea dan sistem nilai Pancasila?
Fenomena tersebut di atas, memberi ilustrasi bahwa ternyata untuk
membangun kehidupan berdemokrasi konstitusional yang berdasarkan

17
Pancasila itu tidaklah semudah yang diduga kebanyakan orang, karena
memang kehidupan demokrasi konstitusional tidak bisa dibangun seketika
atau dalam waktu singkat. Sangat banyak faktor yang mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu negara. Bahmuller
(1996:216-221) menidentifikasi sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap
perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree of economic
development; …a sense of national identity; …historical experience and
elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan
ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya
kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya
kewarganegaraan adalah “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak
kewarganegaraan yang terpancar dari nilai-nilai Pancasila mencakup
keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya
dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat
kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan
saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau
masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan
kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat
interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic
virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan yang
ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya dan
berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi
konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-
Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus
mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang
menjadi inti dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah

18
tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk
membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.
Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang
ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar
organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial
sesuai Pancasila, perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice
for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension
participation of citizens in public decision making at various levels, and
implementation of the new form of civic education to develop smart and good
citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan
masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai
oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum,
partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 7
publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara
(Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi
pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya
pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas
warganegara dan kualitas kehidupan ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD
1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada
perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila
yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi,
dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan
orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh
atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam

19
masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang
tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena
itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua
wara negara sebagai individu dan memperlakukan semua individu secara
sama. Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang
kewarganegaraan yang berisikan …a set of ideas that can be embodied
effectively in cultural representations for the purpose of shaping civic
identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif
dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas
warganegara. Oleh karena itu Civic culture merupakan salah satu sumber
yang sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education
(http://www.civsoc.com/nature/nature1). Sementara itu budaya politik atau
political culture diartikan sebagai Distinctive and patterned way of thinking
about how political and economic life ought to be carried out, atau pemikiran
yang khas dan terpolakan tentang bagaimana kehidupan politik dan ekonomi
seharusnya diselenggarakan, dalam pengertian diwujudkan
(http://www.socialstudies help.com/ APGOV _Notes_WeekFour.). Dari kedua
pengertian tentang civic culture dan political culture dapat dikatakan bahwa
civic culture berada dalam domain sosiokultural yang berorientasi pada
pembentukan kualitas personal-individual warga negara, jadi bersifat
psikososial. Sedangkan political culture berada dalam domain makro
masyarakat negara, jadi bersifat sosiopolitis dalam konteks kehidupan
demokrasi. Keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai hasil pemikiran yakni
civic culture sebagai perangkat gagasan atau set of ideas sedangkan political
culture sebagai perangkat pemikiran atau distinctive and patterned way of
thinking. Perbedaannya adalah dalam hal civic culture berkenaan dengan
proses adaptasi psikososial individu dari ikatan budaya komuniter (keluarga,

20
suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya kewargaan suatu negara/
kewarganegaraan.
Secara konseptrual antara civic culture dengan political culture satu sama lain
memiliki saling ketergantungan (interdependence). Di satu pihak civic culture
memberi kontribusi dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-
Indonesiaan setiap warga negara, termasuk para pelaku politik dalam
berbagai latar. Dengan demikian prilaku politik dari para pelaku politik seperti
anggota dewan perwakilan rakyat, para pejabat negara dan organisasi non-
pemerintah secara substantif dan praksis menggambarkan karakter ke
Indonesiaan, bukan karakter komunitarian suku, agama, golongan dan partai
politik. Di lain pihak, political culture memberi kontribusi dalam membangun
konteks sosial, politik,
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 8
ekonomi, dan kultural yang memungkinkan warga negara baik secara
perseorangan maupun kelompok mau dan mampu berpartisipasi secara
cerdas (intelligent) dan bertanggungjawab (responsible) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture perlu
dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk
dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu
dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah
…the willingness of the citizen to set aside private interests and personal
concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau
kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi. Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang
secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic
commitments. Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang
dimaksud dengan civic dispositions adalah …those attitudes and habit of mind

21
of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good
of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara
yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan
kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments
adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to the
fundamental values and principles of constitusional democracy atau
komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap
nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue
tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara
efektif untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan
memberi kontribusi terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik
termasuk …protection of the rights of the individual” atau pelindungan hak-
hak azasi manusia (Quigley, dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan
dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi
berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di
dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan
politik yang ditopang kuat oleh civic culture.
Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik
kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan
partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau
tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes
atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka,
skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas
kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience
and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan ,
generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples
atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14).
Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi

22
manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap
masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme,
pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-
prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaaman,
kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap
bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap
warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara
untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 9
fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang
meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law,
separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of
the military, separation of church and state, power of the purse, federalism,
common good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic,
and the pursuit of happiness), justice, equality (political, legal, social,
economic), diversity, truth, and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16).
Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip
negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak
minoritas, kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan
agama, kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-
hak individual yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik,
ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik,
hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu
saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia.
Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan
civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education,
atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation
dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills

23
required to participate effectively;…practical experience in participation
designed to foster among students a sense of competence and efficacy dan
mengembangkan … an understanding of the importance of citizen
participation (Quigley, dkk, 1991:39), yakni pengetahuan dan ketrampilan
yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat,
pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran
berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan
pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk dapat
berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental
concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the
matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition
to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the
realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39).
Yang dimaksud dengan semua hal tersebut di muka adalah pengetahuan
tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta
yang berkaitan dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan watak dari warganegara, yang dalam konteks Indonesia harus
ditempatkan dalam konteks nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif
dikemukakan bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan
warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.”
Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

24
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-
korupsi
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 10
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.”
Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada
setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar
yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri
atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan
berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan
pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.”
Berdasarkan Permendiknas N0. 22 tahun 2006 Ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara
umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan,
Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda,
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan
negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan

25
2. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-
peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan,
penghormatan dan perlindungan HAM
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri ,
Persamaan kedudukan warga negara
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan konstitusi
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem
politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem
pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-
nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi
terbuka
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan
organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.”
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 11
Namun demikian perlu diberi catatan bahwa enumerasi ke 8 (delapan)
substansi, termasuk di dalamnya terdapat Pancasila, memberi kesan yang

26
kuat bahwa Pancasila belum menjadi core-nya PKn. Oleh karena itu
sesungguhnya substansi Pancasila harus menjadi core dari ke 7 (tujuh) butir
substansi lainnya itu.
Proses pendidikan yang dituntut dan menjadi kepedulian PKn adalah proses
pendidikan yang terpadu utuh, yang juga disebut sebagai bentuk confluent
education (McNeil:1981). Tuntutan pedagogis ini memerlukan persiapan
mental, profesionalitas, dan hubungan sosial guru-murid yang kohesif. Guru
seyogyanya siap memberi contoh dan menjadi contoh. Ingatlah pada postulat
bahwa Value is neither tought now cought, it is learned (Herman 1966). Nilai
tidak bisa diajarkan atau pun ditangkap sendiri tetapi dicerna melalui proses
belajar. Oleh karena itu nilai harus termuat dalam materi pelajaran PKn.
PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan
demokrasi yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai
demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan
politik. Namun yang paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan
pendidikan moral. Oleh karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata
pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara
lain sebagai berikut.
1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45 beserta
dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam
perilaku nyata kehidupan sehari-hari.
3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan
sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya
dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati (bersifat afektif) dan dilaksanakan
(bersifat perilaku).
Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup
dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut “educating for

27
character” atau “pendidikan watak”. Lickona mengartikan watak atau
karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-
51), yakni
Compatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary
stories, the sages, and persons of common sense down through history.
Artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang
tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan
manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992,
51) memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling
berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior atau
konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Bila buah pemikiran
Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan karakteristik PKn SD, nampaknya
kita dapat menggunakan model Lickona itu sebagai kerangka pikir dalam
melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai Pancasila yang telah
dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus memiliki aspek
konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.
Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn
harus menyentuh ketiga aspek seperti berikut:
Konsep Moral
1. Kesadaran perlunya kejujuran
2. Pemahaman tentang kejujuran
3. Manfaat kejujuran di masa depan
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 12
4. Alasan perlunya kejujuran
5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran
6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran
Sikap Moral
1. Kata hati kita tentang kejujuran

28
2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain
3. Empati kita terhadap orang yang jujur
4. Cinta kita terhadap kejujuran
5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur
6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur
Perilaku Moral
1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur
2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur
3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur
Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral
dikaitkan dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-
hal sebagai berikut:
1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai
pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada
pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk
kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.
2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri
peserta didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku
moral setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.
Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program
pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada
terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak
ini pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi
keterpaduan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan
UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn
merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep,
strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan
perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.

29
B. Kebijakan Kurikulum PKn untuk Masa Depan
Ada beberapa asumsi normatif dan asumsi positif mengenai PKn masa depan,
sebagai berikut.
1. Bahwa Pembukaan UUD 1945, tidak akan berubah karena diterima sebagai
inti komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final
ketatanegaran RI, sebagaimana hal itu menjadi komitmen MPR.
2. Bahwa tatanan kehidupan demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan
sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari
dasar negara Pancasila sebagaimana tersurat pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 13
3. Bahwa pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia mengandung
missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi melalui
instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan pendidikan
demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan yang
berdasarkan konstitusi. Demokrasi konstitusional dapat diartikan sebagai
demokrasi yang berlandaskan pada prinsip negara hukum, yang di dalamnya
terkandung kehidupan berdasar pada rule of law yang memberikan implikasi
pada pentingnya pendidikan kewarganegaraan untuk menumbuhkan
kesadaran hukum warga negara.
4. Bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana psiko-pedagogis
pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan
epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi
konstitusional Indonesia.
5. Bahwa sebagai wahana pendidikan demokrasi, pendidikan
kewarganegaraan berfungsi mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan

30
pola tindak yang koheren dari konsepsi pendidikan tentang demokrasi,
pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, memiliki fungsi
sebagai pendidikan untuk membangun karakter bangsa, yang secara
substansial dirancang secara nasional, dan diwujudkan sebagai praksis
pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan
Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.
7. Bahwa pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis
yang menjadi missi PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan
kosmopolit guna menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas,
partisipatif, dan bertanggung jawab sekaligus menjadi warga dunia yang
toleran.
Bertolak dari ke 7 asumsi tersebut, ada beberapa substansi kebijakan
nasional tentang Kurikulum PKn Masa depan sebagai berikut.
1. Sebagai sumber ide dan norma inti dari PKn, perlu kajian mendalam
terhadap ide dan nilai yang secara substantif terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945, dalam konteks historis dan sosio-politis tumbuh dan
berkembangnya komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan bentuk final ketatanegaran RI.
2. Sebagai instrumentasi dari ide dan norma inti Pancasila dan UUD 1945,
perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap tatanan kehidupan
demokrasi Indonesia sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
3. Dalam rangka pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia yang
mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi
Pancasila, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap visi dan

31
missi nasional dari instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan
dan aras pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa
di masa depan.
4. Diperlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi pendidikan
kewarganegaraan sebagai wahana: psiko-pedagogis pada domain kurikuler,
sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain
akademik dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia agar lebih
efektif dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat
sesuai tuntutan zaman.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 14
5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, perlu
difungsikan sebagai wahana pendidikan yang mampu mewujudkan kesatuan
pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua unsur bangsa Indonesia secara
koheren dengan konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui
demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, perlu dirancang secara
sistematis dan sistemik untuk membangun karakter bangsa, yang secara
substansial-nasional dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang
konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat
satuan pendidikan.
7. Perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif agar pendidikan untuk
kewarganegaraan Indonesia yang demokratis melalui PKn, tidak bersifat
chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit dalam menghasilkan
warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan
bertanggungjawab dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.
Ke 7 (tujuh) substansi kebijakan kurikulum tersebut merupakan kebijakan
dasar yang diharapkan menghasilkan pemikiran komprehensif tentang

32
pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia untuk berbagai domain, yang
dapat memberi masukan yang secara akademik valid, secara sosio-politis dan
sosiokultural akseptabel, dan secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis
layak bagi pengembangan dan perwujudan pendidikan kewarganegaraan
Indonesia.
Elemen pendidikan kewarganegaraan yang memerlukan reposisi,
rekonseptualisasi, dan reaktualisasi untuk masa depan, antara lain:
1. Grand design pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan
demokrasi konstitusional Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kerangka sistemik kompetensi kewarganegaraan lulusan pada berbagai
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
3. Kerangka sistemik isi pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan;
4. Kerangka sistemik proses pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
5. Kerangka sistemik asesmen dalam pendidikan kewarganegaraan untuk
berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
6. Kerangka sistemik dan programatik pendidikan dan pelatihan guru/tutor
pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan;
7. Kerangka akademik penelitian dan pengembangan pendidikan
kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

33
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Mata pelajaran Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk


membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia
kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD
1945.

34
DAFTAR PUSTAKA

http://pengetahuankita-pengetahuankita.blogspot.com/
Bahar, Saafroedin. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik
http://www.ditjen-otda.go.id/otonomi/detail_berita.php?id=27
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm
http://supardiyo.wordpress.com/tag/pendidikan/

35

You might also like