You are on page 1of 6

KONSEP AL-INSAN AL-KAMIL IBN ‘ARABI DAN AL-JILI

Oleh: H. Abd Mujib Adnan1

Pengantar
Insan Kamil dalam kajian ilmu tasawuf dikenal dengan dua ajaran penting,
yaitu: wihdat al-wujud dan al-Haqiqat al-Muhammadiyah yang dikembangkan oleh
Ibn ‘Araby pada pertengahan abad keenam hijriah. Berangkat dari kedua ajaran
inilah Ibn ‘Arabi memunculkan satu ajaran baru yakni al-Insan al-Kamil. Ajaran ini
kemudian disempurnakan oleh muridnya yang bernama “Abd al-Karim al-Jili. Ia
merupakan tokoh sufi yang kreatif yang menghasilkan sebuah kitab yang sangat
terkenal di bidang tasawuf, khususnya tentang ajaran al-Insan al-Kamil dengan
karyanya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al- Awail.2

Ajaran Insan Kamil Ibn ‘Araby


Istilah “Insan Kamil” dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan
“manusia sempurna”, namun dalam ilmu tasawuf yang dimaksud dengan istilah
tersebut ialah manusia yang dalam dirinya terdapat Nur Muhammad atau Haqiqat
Muhammadiyah. Nur Muhammad ini dipandang sebagai makhluk yang mula-mula
diciptakan oleh Allah swt dan juga merupakan sebab diciptakannya alam semesta.
Nur Muhammad selalu berpindah-pindah dari satu generasi ke generasi selanjutnya
dalam berbagai bentuk, misalnya Nabi Adam as, Nabi Ibrahim as, Nabi Muhammad
saw dan para Wali.3
Menurut Ibn Araby, manusia sebenarnya adalah gambaran wujud Tuhan dan
sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya cipta-Nya. Manusia adalah tempat
Tajally (baca: penampakan/manifestasi) Tuhan yang paling sempurna; ia merupakan
alam kecil (baca: Mikrokosmos) yang tercermin padanya alam besar (baca:
Makrokosmos); dan tergambar padanya sifat-sifat ke-Tuhanan. Oleh sebab itu

1 Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.


2Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al Awail,:(Dar
al-Fikr, tt,), h 8.
3Sebagaimana dikutip dalam A. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton pada Abad 19, Jakarta:INIS, 1995, h 110.

1
manusia diangkat sebagai Khalifah di bumi.4
Pada diri setiap manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam di mana
substansi Tuhan dengan segala sifat dan asma-Nya akan tampak padanya. Dia (baca:
manusia) laksana cermin yang dapat menyingkap wujud Tuhan. Manusia mempunyai
sifat yang disifatkan dengan sifat yang ada pada Tuhan; Wujud manusia sebenarnya
adalah manifestasi wujud-Nya.5
Senada dengan pendapat di atas, Abu al-‘Ala’ ‘Afify juga mendefinisikan
Insan Kamil sebagai istilah yang secara umum menjadi atribut bagi orang-orang
yang telah mencapai kesempurnaan, yakni ketika keberadaan seseorang itu sesuai
dengan hakikat wujudnya, dan yang mencapai derajat ini ialah para Nabi dan Wali.6
Pendapat lain mengatakan bahwa Insan Kamil adalah nama yang
dipergunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang muslim yang telah sampai
pada tingkatan tertinggi, yaitu Fana’ Fillah.7 Sesuai dengan pendapat ini maka Insan
Kamil pada akhirnya akan menjadi seperti Tuhan. Mengapa? Sebab pada hakekatnya
Insan Kamil yang hakiki adalah Tuhan itu sendiri, karena setiap diri manusia yang
telah menjelma menjadi Insan Kamil akan hilang dan sirna dalam Tuhannya. Untuk
dapat mencapai derajat Insan Kamil tersebut, seseorang harus menempuh berbagai
macam riyadlah dan mujahadah dengan pembersihan hati dari segala macam kotoran
yang pada akhirnya sampai pada derajat ma’rifat billah, hatinya penuh dengan sinar
(baca: Nur) dari Allah swt.8 Orang-orang yang mencapai derajat ini akan selalu
mengikuti semua jejak baik yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw;
semua perbuatannya didasarkan atas rasa cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Ajaran Insan Kamil tidak terlepas dari Nur Muhammad (ruh ilahiyah) yang
ditiupkan kepada Adam as. Oleh karena itu, Adam as adalah esensi kehidupan dan
awal manusia. Ia bukan hanya khalifah melainkan juga Insan Kamil, yang mana
selanjutnya Insan Kamil ini berwujud dalam sosok Nabi Muhammad saw. Beliau

4Abd Qadir Mahmud, al-falsafah al-Sufiyyah fi al-Islam (Dar al-Fikr al-Araby, tt), h 575.
5 Gibb & Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1965), h 170.
6Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, cet.3 (Kairo: Muassasat al-Khaniji,
1963), h 266.
7Abd al-Hamid Yunus, Dairat al Ma’arif al-Islamiyah, juz III, (Kairo: Dar al-Shab, tt,) h 69
8Ibrahim Basyuni, Nash’at al-Tasawwuf al-Islamy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), h 265
adalah figur Insan Kamil yang paling sempurna dengan al-Haqiqat al-
Muhammadiyah.
Sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam filsafat Ibn Araby
mengenai ajaran tentang al-Insan al-Kamil, yaitu: (1) Aspek Metafisika, yakni
Haqiqat al-Haqaiq merupakan esensi hidup dan esensi alam semesta, dalam hal ini
adalah Tuhan; (2) Aspek Sufistik yaitu: al-Haqiqat al-Muhammadiyah sebagai
sumber yang memancarkan ilmu ke-Tuhanan dan yang gaib; tergambar pada sosok
Nabi dan Wali; dan yang terakhir (3) Aspek Kemanusiaan yakni Insan Kamil sebagai
wujud manusia sempurna.9
Untuk sampai pada tingkatan tersebut, setiap orang harus melalui jalan
sebagai berikut yaitu (1) fana’ yang berarti sirna dalam wujud Tuhan sehingga dalam
pandangannya; dan (2) baqa’ yang berarti kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga
dalam pandangannya, wujud Tuhanlah yang ada pada ke-segala-an ini.10

Ajaran Insan Kamil al-Jili


Abd al-Karim al-Jili memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan Ibn
‘Arabi tentang Insan Kamil. Ia mengidentifikasikan ajaran ini dalam dua hal:
Pertama. Insan Kamil dalam pengertian konsep mengenai manusia yang sempurna.
Dalam pandangan ini Insan Kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang
dianggap mutlak yaitu Tuhan. Dzat yang mutlak tersebut mempunyai sifat-sifat
tertentu yakni sifat baik dan sempurna, yang patut ditiru oleh segenap manusia. Pada
dasarnya semua manusia itu sama, adapun hal-hal yang datang kemudian adalah
kejadian yang baru. Seandainya tidak ada hal-hal yang baru tersebut maka mereka
bagaikan dua buah cermin yang saling memantulkan gambar; satu sama lain akan
dapat melihat bentuknya dari yang lainnya. Bila seseorang berusaha menyamakan
atau memiripkan diri pada sifat-sifat sempurna dari-Nya, maka semakin sempurnalah
dirinya. Kedua. Keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu
mencakup kesatuan nama, sifat-sifat dan hakekat-Nya, dan selanjutnya bagaimana
hal tersebut terwujud dalam diri manusia.
Menurut al-Jili Insan Kamil adalah seseorang yang telah menerima pancaran

9 Laily Mansur, Tasawuf Islam, (Banjarmasin: Univ. Lambung Mangkurat Press, 1992), h 80-81.
10Asmaran As., Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1994), h 348.

3
sifat-sifat ilahiyah yang sempurna. Dia merupakan cerminan zat serta sifat Tuhan
yang tidak mungkin bisa dilihat kecuali pada diri Insan Kamil. Barang siapa ingin
melihat Tuhan maka ia dapat melihat-Nya lewat Insan Kamil. Menurutnya, Insan
Kamil adalah kutub atau sentral tempat beredarnya segala sesuatu yang wujud dari
awal hingga akhir. Ia memiliki berbagai bentuk; muncul dalam rupa yang bermacam-
macam; dan ia dipanggil dengan nama yang berbeda-beda. Walaupun begitu, nama
yang sebenarnya ialah Muhammad bin Abdillah yang bergelar Syams al-Din.11
Sebagai contoh dari penjelasan tersebut adalah peristiwa pertemuan al-Jili dengan
Nabi Muhammad saw yang berada dalam rupa dan wujud gurunya yaitu Syaikh
Syaraf al-Din Isma’il al-Jabarti.
Makna hakiki yang terjadi dalam peristiwa tersebut di atas ialah bahwa Nabi
Muhammad saw memiliki kekuatan untuk menampilkan diri dalam berbagai bentuk,
manakala ia menampilkan diri dalam bentuk lain dan diketahui maka akan dipanggil
dalam namanya dalam bentuk tersebut. Nama Muhammad tidak dapat disandarkan
kepada sesuatu kecuali kepada al-Haqiqat al-Muhammadiyah. Dengan demikian
ketika ia muncul dalam bentuk al-Syibli, maka al-Syibli berkata kepada muridnya:
“saksikanlah bahwa saya adalah Rasul Allah”, dan muridnya –sebagai seseorang
yang telah mencapai derajat kasyaf segera menjawab “Saya bersaksi bahwa
sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah”.12
Seorang sufi yang telah sampai pada derajat Insan Kamil mempunyai
perangai yang amat baik dan sempurna bagaikan awan di ketinggian; angin yang
selalu membawa kesejukan; bumi yang memberi kehidupan; api yang senantiasa
memancarkan sinar; air yang menghilangkan setiap dahaga. Begitulah karakteristik
seorang sufi yang sempurna baik dalam kelemah-lembutan, sikap tawadlu’, dan
kemampuannya dalam memberikan penerangan pada perjalanan ruhani. Para sufi
seperti itulah yang dapat memberikan bimbingan dan petunjuk untuk sampai kepada
derajat ma’rifat kepada Allah swt.
Sungguhpun manusia merupakan manifestasi diri Tuhan yang paling
sempurna di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain, Tajalli yang dimiliki tidak
akan sama pada setiap manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat pada Insan

11 al-Jili., h 74.
12 Ibid., h 75
Kamil. Dan untuk mencapai derajat ini seorang sufi harus menjalani proses
pendakian spiritual yang terdiri dari tiga tahapan yakni bidayah, tawassuth dan
khitam.
Tahap bidayah (permulaan) merupakan penyerapan diri dari sifat Tuhan.
Seorang sufi pada tahap ini akan disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain
Tuhan menampakkan diri dalam bentuk sifat pengasih, penyayang dan sebagainya.
Pada tahap tawassuth seorang sufi disinari sifat-sifat Tuhan yang berupa qudrah,
ilmu, mendengar, melihat dan sebagainya. Seorang sufi yang sampai pada tahap ini
dapat menghayati dan menjiwai kehalusan manusiawi dengan hakekat ruhaniah
Tuhan sehingga dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Sedangkan pada tahap Khitam
seorang sufi disinari zat Tuhan dan ia dapat memperoleh pengetahuan yang
sempurna tentang berbagai macam hikmah penciptaan. Pada tahap ini sufi dapat
mencapai derajat Insan Kamil dan mempunyai sifat-sifat ke-Tuhanan, karena dalam
dirinya merupakan manifestasi (Surah) dari Allah swt. Dia merupakan cerminan
Tuhan yang sempurna dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dengan
Tuhan. Insan Kamil terdapat pada diri Nabi dan Wali, dan di antara semuanya, Insan
Kamil yang paling sempurna terdapat pada diri Muhammad saw. Ia memiliki
berbagai bentuk; muncul dalam rupa yang bermacam-macam; dan ia dipanggil
dengan nama yang berbeda-beda.

Penutup
Konsep Insan Kamil merupakan salah satu ajaran dalam tasawuf yang pada
awalnya dikembangkan oleh Ibn ‘Araby yang selanjutnya disempurnakan oleh Abd
al-Karim al-Jili. Ia merupakan tokoh sufi besar yang mengembangkan secara
sempurna ajaran tersebut.
Insan Kamil menurut al-Jili ialah orang-orang yang dalam perjalanan
tasawufnya telah mencapai derajat kesempurnaan. Mereka menerima pancaran sifat
ilahiyah yang sempurna sehingga bagaikan cerminan zat Allah. Mereka yang dapat
diidentifikasi sebagai Insan Kamil adalah para Nabi dan Wali, namun yang paling
tinggi derajat kesempurnaannya adalah Rasulullah Muhammad saw.

5
Daftar Pustaka.

al-Jili, Abd al-karim Ibn Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al


Awail, Dar al-Fikr, tth.
Asmaran As. Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1994
Basyuni, Ibrahim tt. Nasy’at al-Tasawwuf al-Islamy, Mesir: Dar al-Ma’arif.
Gibb & Kramers, 1965. Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill
Mahmud, Abd Qadir. al-Falsafah al-Sufiyyah fi al-Islam. tk: Dar al-Fikr al-Araby.
Musa, Muhammad Yusuf.. Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Kairo: Muassasat al-
Khaniji, cet3. 1963
Yunus, A. Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
pada abad 19, Jakarta:INIS. 1995.
Yunus, Abd al-Hamid, Dairat al Ma’arif al-Islamiyah, juz III, Kairo: Dar al-Shab

You might also like